Anak itu bernama Desma. Umurnya kira-kira sepuluh tahun. Ia sekarang duduk di kelas empat sekolah dasar. Ayah Desma telah meninggal dunia. Sekarang dia hanya tinggal bertiga dengan emak, dan adiknya. Setiap hari mereka berkerja. Emak membuat kue, Desma dan adik yang menjualnya. Kue itulah yang mereka jajakan ke berbagai tempat. Suatu kali, Desma sedang menjajakan kuenya. Lorong-lorong di telusurinya sambil menjunjung kue di atas kepala. Satu demi satu kue di beli orang. Desma melayani pembeli dengan ramah dan sopan. Budi pekerti Desma yang baik membuat orang suka padanya. Bila Desma lewat, mereka sering memanggilnya, lalu membeli kue dari Desma.
Menjelang senja, kue telah habis terjual. Desma pulang menuju rumahnya. Ia ingin cepat sampai, karena ingin melaporkan keberhasilannya dala menjual kue kepada ibunya. Dalam perjalanan pulang, Desma melihat langit mendung. Angin bertiup dengan kencang. Kilat sambar-sambar. Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar. Desma amat ketakutan.
Hujan mulai turun. Desma berlari-lari kecil mencari tempat berteduh. Di sebuah rumah kecil Desma berhenti. Ia berdiri sambil merapatkan tubuhnya ke dinding rumah. Hujan tidak juga berhenti. Desma telah lama menunggu hujan reda. Hari pun mulai malam. Desma semakin gelisah. Apakah ia harus berjalan menerobos hujan ini?. Desma tidak mempunyai pilihan lain, ia harus segera pulang. Ia tidak ingin ibunya menjadi cemas lalu mencari-carinya. Kemana ibunya akan mencari? tentu ibunya akan jatuh sakit karena kehujanan.
Sambil menjujung wajan tempat kue, Desma pergi meninggalkan rumah kecil itu. Ia melangkah ters dalam hujan. Berkali-kali Desma terpeleset. Jalan sangat licin dan gelap.
Seorang nenek yang baru pulang dari masjid tampaknya mengennal Desma. Desma memang bergaul baik dengan siapa saja. Desma juga suka menolong orang. Desma dipanggilnya. Ternyata nenek itu ingin memberikan obor pada Desma. Malam memang semakin gelap saja. Hujan masih turun. Nenek itu tampak begitu sayang pada Desma.
Setelah pamit dan mengucapkan terimakasih, dengan hati-hati, Desma membawa obor yang diberikan nenek tadi. Obor itu terbuat dari potongan bambu yang di sisi dengan kain yang di basahin minyak tanah. Kain itu dimasukkan ke dalam potongan bambu itu dan ujungnya di sulut dengan api. Desma berusaha agar api itu tidak basah oleh air.
Sekujr tubuh Desma terasa dingin. Ia terus saja melangkahkan kakinya. Akhirnya, ia sampai di rumahnya. Desma menghela nafas sejenak. Perasaannya tersa lega. Desma segera masuk. Tetapi perasaannya kembali gelisah. Rumahnya ternyata hanya di tunggui adiknya. Dugaan Desma ternyata benar. Emaknya telah pergi mencarinya.
Desma kembali menyalahkan obor. Ia segera pergi. Menurut adiknya, Ibu mencari ke kampung seberang. Kampung seberang berada di seberang sungai yang melintas di desanya. Tadi sore Desma memang berjualan ke sana.
Desma kembali berjalan menerobos hujan. Langkahnya dipercepat. Ia ingin segera tiba di kampung seberang. Tak jauh dari rumahnya, terdapat sebuah sungai, antara kampungnya dan kampung seberang dihubungkan oleh sebuah jembatan. Lewat jembatan itulah Desma biasanya pulang pergi ke seberang.
Tak lama berjalan, tiba-tiba terdengar suara benda berat yang runtuh. "Brak......brak.....brak......bum...," kemudian hening mencekam. Suara apakah itu? Desma tidak jadi melangkah.
Desma mencari arah datangnya suara tersebut. Rasa-rasanya suara itu datang dari arah jembatan. Desma melangkah ke arah jembatan. Obor diangkatnya tinggi-tinggi sehingga menerangi jalan. Desma terus melangkah. Ternyata jembatan itu telah di hantam air bah yang meluap, besi tiang jembatan itu ikut jatuh ke dalam air sungai.
Desma menjadi panik. Pikirannya menjadi kacau. Bukankah emak harus melewati jembatan itu untuk sampai ke rumah. Desma semakin cemas. Dengan sekuat tenaga, Desma berteriak minta tolong. "Tolong....tolong...jembatan....runtuh......!" suaranya hilang di telan gemuruh air sungai dan terpaan hujan yang tak mau kompromi.
Berkali-kali Desma berteriak, tapi tak seorang pun yang bisa mendengarnya. Ingin dia berlari mengatakan pada penduduk, tapi tempat itu jauh dari keramaian. Ia semakin cemas, mungkinkah emak ikut jatuh ke dalam sungai? ah....tak mungkin....tak mungkin!
Desma tal tahu harus pergi kemana. Ia benar-benar bingung dan cemas. Baiklah, aku segera memberitahukan hal ini kepada orang di ujung jalan itu, bisik Desma dalam hati. Baru saja ia hendak pergi, sebuah cahaya terang muncul dan bergerak cepat. "Celaka.......sebuah bus penumpang akan segera lewat !" Bus itu semakin mendekat dan meluncur deras menuju jembatan yang telah ambruk itu. Dengan cepat Desma bergerak ke tengah jalan sambil mengangkat obor tinggi-tinggi. Ia tak peduli lagi dengan keselamatan dirinya, bus dan penumpangnya harus dapat di selamatkan.
Dalam jarak yang amat dekat. Pak sopir menginjak rem secara mendadak. Desma hampir saja dihantam bus yang serat penumpang itu. Karena tak kuasa lagi memegang obor, persedian Desma terasa goyah, pandangannya kabur. Akhirnya ia roboh tak sadarkan diri. Takkala setelah sadar, banyak orang di sekelilingnya. Di antara mereka juga terlihat emak Desma. Matanya bengkak, ia menangis.
Di sebelahnya terlihat adik yang tengah memandangi Desma dengan sayu. Desma baru menyadari kalau dia sekarang berada di rumah sakit. Orang-orang cukup ramai menjenguknya, sebagian adalah penumpang bus yang selamat itu. Berbagai hadiah diberikan mereka. Kepala kampung dan beberapa tokoh masyarakat juga hadir. Mereka meyalami Desma dan memuji pengorbanannya.
"Tanpa budi baik Nak Desma, entah apalah jadinya nasib keluarga kami". ujar salah satu penumpang bus. Penghargaan pada Desma ternyata tidak sampai di situ saja. Di sekolah guru-guru sering memuji-muji Desma. Ia dijadikan teladan bagi teman-temannya. Penghargaan lain datang dari pemilik bus yang di tolong oleh Desma. Karena Desma berbudi pekerti baik, mereka ingin mengangkat Desma sebagai anaknya. Mereka akan membiayai sekolah Desma dan memberikan bimbingan dan bantuan yang di perlukan Desma dalam menuntut ilmu.
No comments:
Post a Comment