1. Ibu Guru Triwik
Bel telah berbunyi. Istirahat ke dua usai. Anak-anak kembali masuk, mereka siap menerima pelajaran. Jam itu pelajaran Biologi.
"Selamat siang anak-anak!" kata Bu Triwik setelah meletakkan bukunya di atas meja.
"Selamat siang!" sambut muridnya pula bersama-sama.
"Siapkan buku pelajaran dan sekalian LKSnya! Kita lanjutkan pelajaran kemarin."
"Latihan dua dikerjakan, Bu?" tanya seorang anak.
"Ya! Sudah jelas, kan?"
Anak-anak itu tidak menjawab. Mereka sedang menyiapkan pekerjaannya sendiri-sendiri. Bu Triwik mengamati murid-muridnya yang mulai sibuk mengerjakan tugas yang baru saja diberikannya. Di antara mereka ada seorang murid menarik perhatian Bu Triwik, Pamulatsih namanya. Bu Triwik kemudian mendekati dan bertanya.
"Mengapa Pamulatsih tidak mengerjakan di LKS? Lupa tidak membawa, ya?"
Pamulatsih tidak menjawab. Ia menunduk, menyembunyikan perasaan malu. Dengan takut -takut Pamulasih menjawab,"Belum punya LKS, Bu!"
"Belum punya?" tanya Bu Triwik lagi agak keras.
"Ya, Bu!"
"Kok, bisa?"
"Saya minta uang ayah berkali-kali belum di beri, Bu!"
Pamulatsih masih menunduk. Wajahnya memerah, matanya mulai berkaca-kaca, teringat akan ayahnya yang bekerja keras menambang pasir di sungai seharian namun tetap tidak cukup memiliki uang. Bu Triwik tidak meneruskan pertanyaannya.
"Baik! Kalau begitu, silakan kerjakan di buku latihan, Pamulatsih!" perintah Bu Triwik.
Sesaat kemudian Bu Triwik duduk kembali di kursi, menghadap murid-muridnya. Bu Triwik tidak sampai hati bertanya banyak-banyak kepada Pamulatsih. Murid-muridnya yang lain tidak memperhatikan Pamulatsih yang sedang menanggung malu itu, kecuali tiga anak putri. Seorang, teman semeja Pamulatsih dan dua orang lainnya teman yang duduk di belakangnya.
Bu Triwik duduk termenung di depan murid-muridnya. Sementara itu, mereka tekun mengerjakan tugas yang baru saja diberikannya. Bu Triwik merasa bersalah dan menyesal karena telah memberikan pertanyaan keras kepada Pamulatsih, yang menjadikan Pamulatsih sedih dan ketakutan. Bu Triwik melemparkan pandangan ke langit-langit ruang kelas, dan sebentar-sebentar mengamati murid-muridnya yang sibuk mengerjakan tugas. Mereka tidak saling memperhatikan temannya, apalagi memperhatikan perasaan gurunya yang sebenarnya tiba-tiba dilanda gundah.
Pamulatsih, muridnya kembali mengusik pikiran Bu Triwik, mengingatkan nasib dirinya ketika masa kanak-kanak yang tidak memberikan kebahagiaan. Dibandingkan dengan keadaan Bu Triwik pada masa itu lebih tidak menyenangkan dari pada keadaan Pamulatsih. Orangtua Triwik dahulu bukan hanya tidak bisa membelikan buku, tetapi tidak bisa menyediakan cukup makan. Penderitaan Bu Triwik sedikit demi sedikit berkurang, tertolong oleh usaha dan kerja keras ibunya yang mengantarkannya hingga mencapai keberhasilan. Nasib tidak selalu memberikan kebahagiaan bagi setiap orang. Sekalipun demikian, Bu Triwik tidak pernah takut menghadapi nasib dirinya, biar apa pun yang datang. Dengan semangat dan kerja keras akhirnya Bu Triwik berhasil mengubah nasib yang tidak membahagiakan itu.
Orang harus menerima kodratnya, karena itu pemberian Tuhan, namun orang harus mengubah nasib dengan berusaha dan ikhtiar. Bukankah kita tidak boleh putus asa. Bu Triwik teringat syair nyanyian ketika ia masih kecil,"Jangan putus asa itulah semboyan kita. Maju terus maju jangan goncangan atau bimbang..."
Dari kekecewaan dan penyesalan hati Bu Triwik menegur Pamulatsih, nasib duka seperempat abad lewat hadir kembali dalam ingatannya. Seperempat abad sudah nasib duka itu menimpa diri Bu Triwik, hikmahnya melahirkan kemandirian yang sebenarnya.
Bu Triwik masih ingat benar apa yang dialaminya. Siang itu sinar matahari menyengat tajam sekali. Sepi menyelubungi rumah bambu yang dindingnya tampak jelas berlubang-lubang. Rasa lapar mengoyang perut. Di tengah-tengah kemauan ingin lekas makan, pintu rumah bambu itu tertutup rapat. Diintipnya ke dalam melalui lubang-lubang dinding, jelas benar tetapi tidak ada orang. Terpaksa, ditunggunya di luar cukup lama.
"Lama sekali, Bu? Lapar sekali perutku! kata Bu Triwik waktu itu kepada ibunya yang baru datang dengan tergesa-gesa.
"Sebentar! Ibu baru mendapatkan beras dari warung sebelah."
"Aduh! Bu, ayah ke mana?"
"Ooo, ayah pergi sejak pagi belum pulang!"
"Belum pulang....?"
Kehadiran masa lalu Bu Triwik yang penuh kepahitan dalam ingatannya itu tiba-tiba terpenggal oleh pertanyaan seorang muridnya.
"Nomor empat diberi contoh, Bu?" kata Pusparini minta penjelasan.
Bu Triwik terkejut seketika, untung murid-muridnya tidak memperhatikan. Bu Triwik masih tampak tenang dan katanya,"Maksud Rini?"
"Nomor empat a, Bu! Apakah jawaban nomor itu juga diberi contoh jenis-jenis tanaman yang penyimpanan makanannya terdapat pada akar-akarnya."
"Untuk lebih lengkap jawabanmu, sebaiknya dengan contoh."
"Jadi harus diberi contoh ya, Bu?"
"Ya!"
"Berapa, Bu?" tanya murid yang lain pula.
"Sebanyak-banyaknya. Sebanyak kalian tahu!"
"Aduh......, sudah terlanjur!" kata seorang murid lagi, "Tidak urut boleh, Bu?"
"Boleh asal jelas!"
Perhatian Bu Triwik berganti tertuju kepada Pursparini. Pusparini seorang muridnya yang cantik selalu memberikan pertanyaan bilamana pelajaran berlangsung. Ia anak yang ceria dan akrab dengan teman-temannya.
"Berbahagialah Pusparini dapat menikmati masa kanak-kanaknya. Anak secantik dan seriang dia tentu tidak pernah mengalami duka," kata Bu Triwik tersimpan dalam hatinya. Bu Triwik menyadari, empat puluh muridnya yang berada di hadapannya tentu saja terdapat empat puluh pula warna kehidupan yang menyertai mereka. Suka duka, susah gembira mereka alami dan jalani sendiri-sendiri.
Sementara itu satu dua anak sudah mulai gaduh. Ada pula di antara mereka mulai beromong-omong.
"Sudah selesai semua, anak-anak?"
"Sudah, Bu!" jawab mereka bersama-sama.
"Baik, waktu yang tersedia untuk mengerjakan sudah habis! Mari kita bahas!"
"Ditukarkan, Bu?"
"Tidak usah. Kita bahas bersama-sama saja!"
Pamulatsih seketika itu lega, karena ia sendiri yang mengerjakan di buku, tidak di LKS. Ia tidak terlalu malu. Dengan pembahasan pekerjaan yang tidak ditukarkan itu, pekerjaan Pamulatsih tidak menjadi bahan pertanyaan teman-temannya. Bu Triwik sengaja mengambil kebijaksanaan membahas tugas seperti itu untuk menjaga perasaan Pamulatsih yang telah ditegurnya.
"Masih ada kursi kosong, ada yang tidak masuk? Tadi Ibu lupa tidak memperhatikan, " kata Bu Triwik sebelum membahas tugas yang diberikannya.
"Ada, Bu!"
"Siapa?"
"Rita Rina!" jawab beberapa anak-anak serentak.
"Rita Rina, ke mana dia?"
"Tidak tahu, Bu!"
"Biarlah Rina tidak masuk! Kelas kita malah tenang."
"Benar, Bu! Rina tidak ada, teman-teman senang," kata anak-anak itu susul-menyusul mengungkapkan perasaannya.
"Sudah, sudah......, ada apa dengan Rita Rina?" tanya Bu Triwik keheranan.
"Minta ampun, Bu! Yang namanya Rita Rina, teman-teman ini tidak ada yang belum pernah disakiti hatinya oleh Rina, Bu!"
"Benar, Bu! Dia seperti Mak Lampir!" kata seorang anak pula.
"Cukup....., cukup....!" kata Bu Triwik dengan nada lembut. "Tidak baik kita menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain, sementara kita menutup mata dengan kesalahan kita sendiri. Apalagi itu kita lakukan terhadap teman. Bukankah kita juga pernah berbuat salah kepada orang lain?"
Anak-anak itu pun kemudian diam. "Ya, Bu!" kata salah seorang anak di antara mereka kereka keras-keras.
"Makanya, tidak ingatkah kita peribahasa, "Kuman di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tak tampak?"
"Kita mulai saja! Nomor satu siapa yang bisa, silakan!"
"Saya, Bu!" kata Pusparini mengawali memberikan jawaban.
"Baik, Pusparini!"
"Fungsi daun bagi tumbuhan-tumbuhan untuk pembuatan makanan melalui proses fotosintesis. Ketika pada tumbuh-tumbuhan berlangsung proses fotosintesis terjadi penguapan air paling banyak. Penguapan tersebut penting dalam pengangkutan air dan garam-garam mineral dari akar melalui batang."
"Nomor dua masih pertanyaan tentang daun. Baiklah perhatikan pekerjaan kalian! Daun mangga termasuk daun lengkap, bukan?"
"Ya, Bu!" jawab Anang dengan keras.
Teman-temannya tertawa, "Sudah keras, salah pula! kata seorang anak.
"Bagaimana jawabanmu, Pamulatsih?" tanya Bu Triwik memberikan perhatian.
"Daun mangga tidak termasuk daun lengkap, Bu!"
"Mengapa?"
"Sebab, daun lengkap itu terdiri atas helai daun, tangkai daun, dan pelepah. Adapun daun mangga hanya memiliki helai daun dan tangkai daun."
"Berilah contohnya sekalian, Pamulatsih!"
"Contoh yang mana, Bu?"
"Contoh daun lengkap!"
"Ya, Bu! Contoh daun lengkap antara lain daun talas."
"Betulkah contoh yang diberikan Pamulatsih tadi, Arif?"
Arif yang sejak tadi banyak bicara dengan teman semeja terkejut, "Tik, Etik! Apa tadi, Tik?" tanya Arif berbisik-bisik kepada seorang teman putri yang duduk di depannya.
"Jawah saja, betul!" kata Etik.
Arif masih diam dan ragu-ragu.
"Ayo cepat, uuuh.....!" kata Etik sambil menengok ke belakang, "Ngomong sendiri!" katanya lagi.
Dengan tergesa-gesa Arif pun menjawab keras, "Betul, Bu!"
"Ya, betul! Jawaban apa tadi?"
Arif terdiam, Etik tersenyum, Pusparini sudah siap dengan jawaban, dan Antok, teman berbincang Arif gemetar kalau-kalau pertanyaan Bu Triwik itu dilemparkan kepada dirinya.
"Bagaimana Antok?"
Antok terbengong-bengong. Ia pun tidak siap menjawab pertanyaan Bu Triwik itu.
"Budi?"
"Daun talas jawaban Pamulatsih tadi contoh daun lengkap, Bu!"
"Bagaimana menurut kalian yang lain?"
"Betul, Bu!" jawab mereka bersama-sama.
"Ya, bagus! Ada lagi daun yang memiliki pelepah daun dan helai daun. Kalian dapat memberikan contohnya, bukan? Daun apa coba?"
"Daun bambu!" jawab Etik.
"Ya, betul! Bilamana kita melihat daun-daun pada tumbuh-tumbuhan dengan seksama, pada umumnya tangkai atau helai daun terdapat berkas pengangkut yang merupakan kelanjutan dari berkas pengangkut tersebut tampak berupa ibu tulang daun dan urat daun. Keadaan urat daun itulah yang sering dijadikan dasar pengelompokan tumbuhan berbiji tertutup. Baiklah, kita lanjutkan saja. Sekarang nomor berapa?"
"Nomor tiga, Bu!"
"Fungsi batang, ya?"
"Ya!"
"Coba, Dani!"
Meskipun banyak diam, Dani selalu siap untuk menjawab. Cepat-cepat ia memberikan jawaban kepada Bu Triwik, "Bagi tanaman batang berfungsi untuk mengantarkan daun mendekati sumber energi cahaya."
"Bagaimana dengan jawabanmu, Beti?"
"Betul! Fungsi batang bagi tanaman, selain untuk mengantarkan daun mendekati sumber energi cahaya, batang juga mempunyai fungsi menghubungkan akar dengan daun."
"Ya, bagus! Oleh karena fungsi batang itu menghubungkan akar dengan daun, di dalam batang terdapat berkas pengangkut berupa pembuluh. Pembuluh kayu atau xilem tersebut untuk jalan air dan garam-garam mineral. Ada pun pembuluh tapis atau floem untuk jalan zat hasil fotosintesis."
"Bu Guru, apa yang dimaksud xilem atau floem itu? tanya Pusparini setelah tunjuk jari.
"Baik, kalian ada yang tahu?" Bu Triwik mengembalikan pertanyaan itu kepada murid-murid yang lain.
"Xilem dan floem itu pembuluh, Bu!" jawab seorang murid.
"Ya! Ada yang mau melengkapi?"
Anak-anak itu tidak menjawab. Setelah ditunggu beberapa saat pun tidak ada jawaban dari mereka. Kemudian kata Bu Triwik lagi, "Benar, xilem itu pembuluh. Untuk lebih lengkapnya begini, xilem adalah jaringan pembuluh pada tumbuhan tinggi yang mengantarkan air dan garam-garam mineral yang diserap akar ke seluruh bagian tanaman. Xilem berfungsi untuk menopang tanaman secara mekanis.
Adapun floem ialah jaringan pembuluh tapis yang berfungsi mengangkut zat makanan dari daun ke bagian tumbuhan lainnya. Tadi sudah Ibu katakan bahwa floem untuk jalan zat hasil fotosintesis.
Untuk itu baiklah nanti coba kalian amati, apa yang kalian ketahui tentang keadaan batang yang ada di sekitar kalian? Tidak perlu kalian mencari batang yang jauh-jauh. Waktu istirahat tadi, kamu semua keluar dari ruang kelas, kan?"
"Ya, Bu!" jawab mereka.
"Tumbuhan apa saja yang berbatang, yang ada di sekitar sekolah kita?"
"Bunga mawar, Bu!"
"Bunga sepatu!"
"Pohon palem!"
"Pohon cemara di tepi jalan depan gedung sekolah!"
"Ada lagi, Bu! Di kebun belakang sekolah kita tumbuh subur pohon pisang!" jawab anak-anak itu berganti-ganti.
"Bagus! Ada yang belum kalian sebut."
"Yang mana, Bu?"
"Bunga-bunga di pot yang berada di teras depan kelas kalian ini! Tanaman-tanaman di pot itu juga mempunyai batang, bukan?"
"O, ya! Saya lupa, Bu," kata salah seorang anak.
"Bagus, apa yang kalian ketahui batang pohon yang kalian sebut-sebut tadi?"
Mereka diam, kemudian kata Pamulatsih, "Batang pohon itu bercabang-cabang!"
"Baik, apalagi?"
"Panda batang pohon tempat tumbuh tunas dan daun-daun!" kata Pusparini pula.
"Jawaban Pusparini itu pun tidak salah! Masih ada yang lain?"
"Batang pohon ada yang berbuku-buku!"
"Contohnya?"
"Batang tebu dan bambu!"
"Bagus, jawabmu benar, Anang! Jadi dari semua jawaban kalian tadi bila dirangkum, batang ada yang berbuku-buku, bercabang-cabang, dan batang menumbuhkan tunas serta daun. Pada umumnya batang terdapat di atas tanah. Akan tetapi ada pula yang terdapat di dalam tanah yang disebut rizoma."
"Rizoma itu apa, Bu?" tanya Beti.
"Rizoma adalah sebuah istilah yang biasa digunakan untuk menyebut akar tinggal. Jadi yang dimaksud rizoma ialah akar tinggal. O, ya, tadi ada yang menyebut-nyebut pohon pisang, mengingatkan Ibu bahwa pohon pisang memiliki batang semu. Mengapa batang pisang disebut batang semu? Karena batang pisang terbentuk dari pelepah-pelapah daun yang saling membungkus. Barangkali ada pertanyaan?"
Bu Triwik diam sesaat. Pandangannya tertuju kepada murid-muridnya. Mereka pun ikut diam.
"Tidak ada? Kalau tidak ada pertanyaan kita lanjutkan nomor empat. Coba Dika, bacakan pekerjaanmu!"
Dika pun langsung membacakan pekerjaannya dengan lantang.
"Akar adalah bagian tumbuhan yang berfungsi untuk menyerap air dan garam-garam mineral."
"Bagaimana jawaban Dika, betul tidak menurut kalian?"
"Betul, Bu!" jawab teman-teman Dika bersama-sama.
"Bagus! Sekarang, bagaimana akar bagian penting tumbuh-tumbuhan itu dapat melaksanakan fungsinya menyerap air, dan garam-garam mineral?"
"Ayo, Rif! Kamu jawab Rif!" kataEtik setelah ia tahu Bu Triwik memperhatikan dirinya. Etik takut kalau-kalau pertanyaan itu diberikan kepadanya. Ia tidak tahu jawabannya.
Arif diam saja. Tetapi, tiba-tiba ia berkata, Etik mau menjawab, Bu!"
"Ya, bagus silakan Etik!"
Etik tidak berkutik, ia diam. Arif memandanginya dari belakang. Wajah Etik tampak pucat. Ia malu tidak bisa menjawab pertanyaan yang diberikan Bu Triwik. Setelah Bu Triwik mengalihkan pertanyaan kepada teman lain,"Awas ya, pembalasan lebih kejam!" kata Etik sambil menoleh ke belakang dan mengepalkan tangannya. Arif tertawa-tawa saja.
Pertanyaan Bu Triwik itu pun belum terjawab. "Coba anak-anak buka buku pelajaran kalian halaman tiga puluh satu. Pada bab itu akan kalian dapatkan bagaimana akar tumbuhan melakukan fungsinya," kata Bu Triwik memberitahukan murid-muridnya.
"Sudah ada yang menemukan jawabannya?"
"Saya, Bu!"
"Ya, silakan Pusparini!" kata Bu Triwik.
Sebelum Pusparini segera menjawab, "Akar dapat melakukan fungsinya menyerap air dan garam-garam mineral dari dalam tanah, karena akar memiliki bagian yang tipis sehingga air dan mineral mudah diserap melalui bagian tersebut. Bagian akar yang menyerap itu disebut bulu akar yang terdapat pada bagian ujung akar muda."
"Baik, sekalian jelaskan apa yang dimaksud bulu akar itu, Pusparini!"
"Bulu akar adalah perluasan sel epidermis pada ujung akar yang masih muda."
"Ya, seperti penjelasan Pusparini itulah yang benar. Bagaimana kalian semua, jelas?"
"Jelas, Bu!"
"Kacau jelas, apa yang dimaksud epidermis?"
"Saya, Bu!"
"Silakan, Budi!"
"Epidermis adalah wabah penyakit. Yaitu penyakit menular yang terjangkit dengan cepat di daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban, misalnya penyakit yang tidak secara tetap berjangkit di daerah itu."
"Bagaimana jawaban Budi tadi, betul atau salah?"
"Betul!" kata seorang anak.
"Betul sekali, Bu!" kata Arif pula dengan keras.
"Salah, Bu! Pendapat Arif sangat salah," Etik mulai memberi balasan kepada Arif.
"Mengapa Etik mengatakan sangat salah?"
"Ya, Bu! Karena jawaban salah ia katakan betul. Ditambah lagi dengan kata betul sekali. Bisa-bisa Arif hanya ikut-ikutan, asal jawab saja Bu!"
Teman-teman Etik sekelas tertawa dan Bu Triwik pun ikut tersenyum. Sesaat kemudian mereka agak gaduh.
"Sudah......, sudah....!" kata Bu Triwik untuk menenangkan mereka.
"Kacau jawaban Budi tadi salah, yang benar bagimana, Etik?" tanya Bu Triwik lagi.
"Mungkin Budi tadi salah pengertian, Bu!"
"Pengertian yang mana?"
"Epidermis lain dengan epidemi. Budi tadi menjelaskan epidemi, bukan epidermis. Menurut buku pelajaran yang saya baca epidermis ialah jaringan tertular dari tubuh makhluk. Atau, sel paling luar pada hewan atau tumbuh-tumbuhan, pada tumbuh-tumbuhan tebalnya hanya satu lapis. Pada binatang tebalnya beberapa lapis kecuali pada inverterbrata."
Bu Triwik mengangguk-anggukkan kepala tanda menyetujui penjelasan Etik lalu katanya, "Kalian masih ingat, apa invertebrata?"
"Inverterbrata artinya binatang bukan bertulang belakang, Bu!"
"Ya, murid Ibu pandai-pandai! Jadi, epidermis yang Ibu tanyakan benar seperti yang dijelaskan Etik. Baiklah kita kembali ke fungsi akar. Akar selain berfungsi menyerap air dan garam-garam mineral, apa saja fungsi akar yang lain bagi tumbuh-tumbuhan? Coba, Dita!"
"Fungsi akar bagi tumbuh-tumbuhan antara lain untuk mengkokohkan tumbuhan pada tempat tumbuhannya dan sebagai tempat menyimpan makanan cadangan. Contoh tumbuhan yang menyimpan makanan pada akarnya adalah ubi kayu, bit, dan lobak," jawab Dita dengan lantang.
"Bagus!" kata Bu Triwik, "Ada yang mau menambah lagi?"
"Tidak, Bu!" jawab anak-anak itu bersama-sama.
Sementara Bu Triwik dan murid-muridnya belum selesai membahas pelajarannya, "Theng....., theng......, theng." Bel berbunyi tiga kali, pelajaran Biologi dua jam sudah berakhir.
"Tidak terasa, waktu sudah habis. Kita lanjutkan pada minggu depan saja. Selamat siang!" kata Bu Triwik mengakhiri pelajarannya.
"Selamat siang, Bu!" sambut mereka pula.
Hari itu Bu Triwik memberikan pelajarannya dengan perasaan bersalah. Bu Triwik merasa bersalah kepada Pamulatsih yang telah ditegurnya setelah teringat dari data Bp, bahwa ayah Pamulatsih termasuk orang tua murid yang terkena PHK. Rasa bersalah Bu Triwik tidak bisa lepas begitu saja, terbawa hingga berhari-hari. Dalam doanya Bu Triwik pun menyebut-nyebut nama Pamulatsih untuk mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Pemurah.
Pamulatsih melewatkan pelajarannya dengan rasa bersalah pula. Pamulatsih menyesal telah mengecewakan ibu gurunya yang bijaksana dan baik hati. Malam harinya Pamulatsih duduk sendiri di depan rumah. Ia arahkan wajahnya melihat bintang-bintang di langit. Kemudian ia tatap bunga-bunga yang tumbuh subur di halaman tanaman sendiri. Terbuka hatinya ketika ia melihat bintang-bintang dan bunga-bunga. Baginya bintang-bintang itu selalu ceria dan bunga-bunga selalu indah, tidak seperti dirinya yang selalu hanyut dalam kesedihan, terlalu meratapi nasib orangtuanya. Perasaan Pamulatsih yang telah berganti segar itu memberanikan dirinya menemui Bu Triwik untuk minta maaf karena telah dikecewakannya.
2. Menengok Teman Sakit
Meskipun belum sehat benar, pagi itu Siwi sudah masuk sekolah. Waktu tinggal setengah jam. Dengan badan masih lemah, ia menyiapkan diri dengan tergesa-gesa. Siwi belum berselera makan, ia makan pagi hanya sedikit. Ia berangkat terburu-buru diantar kakaknya. Ia takut terlambat.
Di kelas Siwi merasa gemetar. Seharusnya ia masih istirahat, tetapi memaksakan diri untuk masuk, takut tertinggal pelajaran. Wajahnya tampak pucat pasi. Bu Triwik yang memberikan pelajaran pada jam itu diam-diam memperhatikannya, "Siwi sudah masuk?, sudah sembuh, ya?"
"Sudah, Bu! Tetapi belum sembuh benar," jawab Siwi pelan.
"Ya, Bu! Badan Siwi masih panas," kata Desta teman Siwi semeja.
"Kacau Siwi mau istirahat di ruang UKS, silakan, Ibu mengizinkan!"
"Di sini saja, Bu!"
"Baik, tetapi kalau masih sakit jangan dipaksakan, biar Siwi cepat sembuh!"
"Ya, Bu!"
"O, ya! Sakit apa hingga tidak masuk berhari-hari?"
"DHF!"
"Apalagi sakit DHF, Siwi perlu banyak istirahat! Memang, wabah penyakit DHF atau yang dikenal oleh masyarakat luas demam berdarah sekarang ini sudah menjalar ke mana-mana. Yang diserang kebanyakan anak-anak. Penyakit DHF atau demam berdarah termasuk penyakit menular. Nah, barangkali Siwi tertular dari teman sepermainan atau tetangga," kata Bu Triwik memberi tahu.
Siwi diam. Ia dalam hati jengkel kepada tetangga dekatnya tidak mau membersihkan bekas kolam di depan rumahnya. Bekas kolam di taman tetangganya itu penuh air dan banyak jentik-jentik nyamuk. Anak terkecil tetangga Siwi juga terserang penyakit DHF lebih dulu.
Bu Triwik pun kemudian membicarakan penyakit DHF kepada murid-muridnya agar mereka lebih mengetahui penyakit itu. "Anak-anak coba perhatikan sebentar! menurut catatan Ibu. Teman kalian sudah dua anak yang terserang DHF. Agar cepat sembuh, apa yang bisa kita lakukan bilamana kita menderita sakit DHF? Untuk membantu kesembuhan penyakit DHF dapat dilakukan dengan banyak minum dan istirahat cukup. Kondisi badan harus dijaga, agar daya tahan tetap kuat. Penyakit DHF akan cepat sembuh bilamana daya tahan badan kuat."
"Bu Guru, penyakit demam berdarah sungguh dapat menular, ya?" tanya Rita Rina yang terkenal judes terhadap teman-temannya.
"Benar, penyakit DHF atau demam berdarah ini bisa menular. Untuk itu kalian harus berhati-hati!"
"Uuuh, saya tidak mau duduk dekat-dekat Siwi, bisa-bisa tertular penyakit DHF," kata Rita Rina mengundang perhatian teman-temannya. Sesaat kemudian ia pindah tempat menjauh ke belakang. Dengan membawa tas dan bukunya, ia langsung menempati kursi kosong tempat duduk Weni yang kebetulan tidak masuk. Rina Rina berganti duduk semeja dengan Wulan.
Beberapa teman putri memperhatikan sikap Rita Rina, mereka memandang sinis. Ada di antara temannya itu yang mencibirkan bibirnya tertuju kepada Rita Rina. Siwi yang masih merasakan sakit sangat tersinggung oleh kata-kata Rita Rina itu. Ia menjadi sedih, dengan sebisanya air matanya ditahan untuk tidak menetes.
Bu Triwik memahami perasaan Siwi dan menyesal mengapa ia membicarakan penyakit DHF. Siwi, murid Bu Triwik yang pendiam dan perasa itu kemudian menundukkan kepala hingga lama.
"Siwi, tidak usah bersedih!" kata Bu Triwik, "Kita hanya berbagi pengalaman saja. Siapa pun orangnya tidak ada yang menginginkan menderita sakit, bukan? Bilamana suatu ketika kita menderita sakit, bisa saja penyakit itu datangnya bukan karena kita. Siapa pun bisa terserang penyakit, dan kebetulan Siwilah yang baru mendapatkan giliran. Ibu ikut senang dan bersyukur, Siwi sudah sembuh. Demikian pula teman-teman Siwi tentunya. Ibu sarankan sekarang Siwi istirahat saja di ruang UKS agar tidak terlalu capek. Di sana silakan Siwi istirahat secukupnya," kata Bu Triwik kepada muridnya yang masih terus menunduk.
Pusparini mendengar saran gurunya itu segera beranjak dari tempat duduknya. Ia mendekati Siwi dan mengajaknya memenuhi nasihat Bu Triwik. Pusparini memegang pundak Siwi, berjalan mendampingi menuju pintu.
"Baik, Pusparini antarkan Siwi ke UKS."
"Ya, Bu!" jawab Pusparini lalu keluar bersama Siwi meninggalkan kelas. Siwi berjalan pelan bersama Pusparini menuju UKS. Setelah beberapa saat Pusparini kembali lagi masuk kelas mengikuti pelajaran.
"Sudah Pusparini......., cepat sekali?" tanya Bu Triwik kemudian.
"Sudah, Bu! Siwi sudah ditemani Bu Rokim."
"Baik, terima kasih!"
"Penyakit DHF itu katanya ditularkan oleh nyamuk ya, Bu?" tanya seorang anak yang menginginkan penjelasan penyakit DHF lebih banyak lagi.
"Ya, benar! Tetapi tidak semua jenis nyamuk dapat menularkan penyakit DHF. Kalian tahu tidak nyamuk penular penyakit DHF?"
"Tahu, Bu! Nyamuk aedes aegypti!" jawab Arif keras-keras.
"Penyakit DHF atau demam berdarah disebabkan oleh virus yang namanya Dengue, oleh karena itu penyakit ini juga disebut DBD. Adapun nyamuk aedes aegypti yang sering dikatakan sebagai penyebab DHF sebenarnya hanya menjadi pengantar atau penular. Lalu bagaimana aedes aegypti menularkan penyakit DHF itu? Penyakit DHF ditukarkan oleh nyamuk aedes aegypti melalui gigitannya. Bilamana nyamuk itu menggigit penderita DHF kemudian berpindah menggigit seseorang yang sehat, sama halnya menebarkan virus Dengue."
"Tanya, Bu Guru!" kata Desta dengan mengacungkan jarinya.
"Ya, silakan Desta!"
"Saya beluma jelas, Bu! Mengapa penyakit demam berdarah disebut DBD dan DHF?"
"Baik! Ini pertanyaan bagus. Seperti yang telah Ibu jelaskan tadi, penyakit demam berdarah disebabkan oleh virus Dengue. Nah, DBD itu akronim dari Demam Berdarah Dengue dan DHF akronim Dengue Hemorrhagic Fever. Kalian ketahui bahwa virus Dengue saaedes aegypti. Apabila nyamuk itu menggigit dan bekas gigitan terasa gatal, berarti virus Dengue sudah masuk ke dalam tubuh. Di dalam tubuh, virus itu akan berkembang biak dan menimbulkan penyakit DHF."
"Nyamuk aedes aegypti apakah berbeda dengan nyamuk-nyamuk yang lain, Bu?" tanya Desta lagi.
"Ya, tentu saja berbeda, Desta. Nyamuk aedes aegypti ini agak unik. Bentuk tubuhnya cantik, kakinya langsing belang-belang hitam putih. Aedes aegypti tidak seperti nyamuk-nyamuk biasa. Nyamuk ini tidak beroperasi pada malam hari, tetapi pada siang antara pukul sembilan sampai dengan sebelas. Hidupnya pun senang di lingkungan bersih. Telur dan jentiknya hidup di air bersih yang tenang, bukan di air kotor atau comberan. Untuk menopang hidupnya tidak memerlukan air banyak-banyak. Dengan air satu sendok pun telur dan jentik aedes aegypti dapat hidup dan menetas menjadi nyamuk dewasa. Baginya, air dalam ukuran sedikit pun tidak menjadi masalah, asal air itu bersih dan tidak bergerak seperti air di vas bunga di dalam rumah, tempat minum burung, kaleng bekas di ruang rumah cekungan ban yang di buang di kebun, ataupun air yang berada di sekitar rumah yang lepas dari perhatian."
Selesai Bu Triwik menjelaskan tentang nyamuk aedes aegypti, seketika itu pula Pusparini bertanya,"Bu Triwik, apakah ada tanda gejalanya seseorang yang terserang penyakit DHF itu?"
"Ada! Tanda-tanda atau gejala awal seeorang yang terserang penyakit demam berdarah adalah badan panas, kadang-kadang tinggi, sedang, dan ada pula yang hangat saja. Tanda khas seseorang yang terserang DHF adalah walaupun si penderita demamnya tidak terlalu tinggi, ia merasa lemas, lesu, letih, gelisah, keluar keringat, kadang-kadang menggigil kedinginan, dan ada kalanya penderita menggigil dan mengigau. Kemudian pada kulit si penderita biasanya muncul bintik-bintik merah."
"Kalau begitu, tanda-tanda awal DHF itu seperti gejala tipus ya, Bu?" tanya seorang murid lagi.
"Memang, gejala tipus juga diawali dengan demam atau panas tinggi. Begitu pula banyak penyakit yang gejala awalnya disertai badan panas. Gejala penyakit tipus, panas yang terjadi pada si penderita selalu antara sedang atau tinggi, tidak hanya hangat. Rasa nyeri terjadi pada usus besar, yaitu di bagian perut sebelah kiri bawah. Meskipun panas tinggi, penderita tipus tidak mengalami penurunan kesadaran, tidak gelisah, dan tetap aktif. Selain itu pada penderita tipus tidak muncul tanda kemerahan di ujung lidah dan bintik-bintik merah pada kulit.
Lebih jelasnya gejala DHF itu begini. Mula-mula penderita DHF panas mendadak selama dua hingga tujuh hari. Kemudian tampak bintik-bintik merah pada kulit. Kadang-kadang disertai pendarahan pada hidung atau mimisan dan sering pula muntah dan berak darah. Pada gejala ini timbul rasa nyeri di ulu hati, bila sudah parah penderita gelisah. Tangan dan kakinya dingin serta berkeringat."
"Bu Triwik! Tanya Bu," kata Santi dengan mengacungkan jarinya.
"Baik, silakan Santi!" Bu Triwik memberikan perhatian.
"Apa yang haru kami lakukan bilamana salah seorang anggota keluarga kita ada yang terserang penyakit DHF?"
"Apabila anggota keluarga kita ada yang menderita DHF, si penderita segera dibawa ke rumah sakit, puskesmas, atau dibawa ke dokter terdekat sebelum terlambat, tanpa harus menunggu timbulnya bercak-bercak merah di kulit. Untuk pertolongan pertama sebelum dibawa ke rumah sakit, si sakit diberi minum teh manis sebanyak-banyaknya; dikompas dengan alkohol, es atau air dingin; dan bisa pula diberi obat penurun panas. Perlu diketahui bahwa obat penurun panas itu bukan penyembuh penyakit. Bila si penderita diberi obat penurun panas dan kemudian panasnya berkurang bukan berarti ia sudah sembuh dari penyakitnya. Jadi masih perlu dibawa ke dokter."
"Untung sekali teman kalian Siwi cepat-cepat dibawa ke rumah sakit, sehingga penyakitnya cepat sembuh. Meskipun demikian, Siwi masih perlu istirahat agar kondisi badannya cepat pulih."
Bu Triwik diam sebentar, perhatiannya tertuju kepada murid-muridnya. "Kalau cara pencegahannya bagimana, Bu?" tanya Budi kemudian.
"Baik! Sudah Ibu katakan tadi, bahwa penyakit DHF yang banyak menyerang anak-anak ini hanya ditularkan oleh nyamuk aedes aegypti. Cara pencegahannya dapat dilakukan dengan membasmi sarang atau nyamuk penularnya tersebut. Tetapi, kalau hanya membasmi nyamuk itu belum cukup, selama jentik-jentiknya dibiarkan hidup. Karena jentik-jentik nyamuk itu nanti dapat menetas menjadi nyamuk dewasa dan berkembang biak lagi. Oleh karena itu upaya yang paling tepat mencegah penyakit DHF di samping membasmi nyamuk disertai pula membasmi jentik-jentiknya."
"Terus, bagaimana cara membasmi nyamuk aedes aegypti dan jentik-jentik itu, Bu?" tanya Etik.
"Cara membasmi nyamuk aedes aegypti sebenarnya tidak terlalu sulit. Yaitu dengan tidak memberi kesempatan nyamuk itu untuk berkembang biak. Caranya, tempat penyimpanan air seperti bak mandi, bak WC, drum, dan tempat-tempat air lainnya dibersihkan atau dikuras paling tidak seminggu sekali. Tempayan tandon air ditutup rapat-rapat agar nyamuk aedes aegypti tidak masuk dan bertelur di situ. Vas bunga dan pot tanaman diganti airnya setiap hari. Kaleng bekas, plastik dan apa saja yang biasa digenangi air dikubur atau dibuang pada tempatnya. Tandon-tandon air yang sulit dikuras ditaburi bubuk abate agar jentik-jentik nyamuk mati, tidak sempat menetas menjadi nyamuk dewasa. Pemberian abate pada tandon-tandon air sebaiknya dilakukan dua atau tiga bulan sekali. Selain dengan abate, dapat pula dilakukan dengan dipeliharakan ikan agar jentik-jentik nyamuk yang ada di tandon dimangsa ikan peliharaan itu."
Sementara Bu Triwik diam memperhatikan murid-muridnya, seorang anak bertanya," Abate itu apa, Bu?"
"Kalian ada yang tahu abate?" Bu Triwik kembali bertanya kepada murid-muridnya. Mereka tidak ada yang menjawab. Kemudian kata Bu Triwik lagi, "Abate adalah serbuk pembasmi jentik-jentik nyamuk!"
"Abate yang ditaburkan di tandon itu seberapa banyak, Bu?" tanya seorang anak ingin tahu.
"O, ya! Ibu tadi belum menjelaskan, ya?"
"Belum!" jawab mereka bersama-sama.
"Terima kasih, Ibu diingatkan. Jadi, ukuran penggunaan bubuk abate untuk jentik-jentik nyamuk di tandon air, untuk setiap 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk abate. Sama saja dengan 10 gram bubuk abate digunakan untuk 100 liter air."
"Waduh........, sudah menimbangnya Bu, kalau ukurannya dengan gram. Lagi pula tidak setiap orang mempunyai timbangan," kata Arif beralasan.
"tidak usah bingung-bingung, Arif! Itu masalah kecil, mudah diatasi. Kalau kalian tidak mempunyai timbangan atau susah menimbangnya, bisa menggunakan takaran sendok makan. Setiap satu sendok makan peres atau rata-rata abate, beratnya sama saja dengan 10 gram. Berarti, satu sendok makan abate peres dapat digunakan untuk 100 liter air.
Pencegahan penyakit DHF yang paling efektif tidak lain kecuali dengan keberhasilan. Bahkan semua penyakit dapat dicegah dengan kebersihan. Upaya pembersihan untuk menghilangkan sarang nyamuk dan tempat berkembang biak nyamuk yang paling baik dilakukan secara bersamaan dan massal. Pembersihan yang dilakukan secara terpisah-pisah atau bergilir dalam suatu tempat dan wilayah akan memberi peluang nyamuk untuk berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat lain, atau dari suatu wilayah ke wilayah lain. Oleh karena itu gerakan kebersihan untuk mencegah penyakit demam berdarah akan lebih efektif bila dilakukan di wilayah yang luas, bersamaan, dan berulang kali dalam beberapa minggu."
"Kalau begitu, rumah Siwi dan wilayah di sana tidak bersih, Bu?! tanya Rita Rina bernada sinis.
"Mengapa demikian?" tukas Bu Triwik.
"Kalau rumah dan wilayah tempat tinggalnya bersih, dia tentu tidak diserang penyakit DHF kan, Bu?"
"Ya, tetapi Ibu tidak mengatakan begitu, Rita Rina!" jawab Bu Triwik. teman-teman yang lain kesal, sebagian lagi menyorakinya.
"Bu Guru, sejak kapan penyakit DNF itu menyerang kita?" tanya Etik kemudian.
"Tepatnya Ibu belum menemukan referensi yang menyebutkan kapan penyakit DHF atau demam berdarah menyerang kita. Begitu pula kapan DHF muncul di tengah-tengah masyarakat kita, Ibu belum tahu pasti. Akan tetapi, dari membaca Ibu dapat menceritakan begini. Untuk pertama kali virus Dengue ditemukan di Indonesia pada tahun 1960. Yang berhasil mengidentifikasikan virus tersebut Dr. Suprapti Thaeb, ahli virologi yang bekerja di laboratorium Bio Farma Bandung. Ketika doktor itu mengumumkan hasil temuannya, tidak ada yang percaya bahwa virus itu bisa mengakibatkan demam berdarah. Baru pada tahun 1968 para ahli medis mempercayai ketika demam berdarah berjangkit di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.
Kemudian pada tahun 1969 dokter Linda Pranata dari RSUP Dr. Sutomo Surabaya mengidentifikasi bahwa demam berdarah telah berjangkit di Indonesia. Pada saat itu dokter ahli anak Linda Pranata menemukan sejumlah anak menderita demam disertai perdarahan. Mengetahui keadaan pasiennya yang demikian itu ia kemudian membuka-buka literatur. Akhirnya dokter Lnda Pranata memastikan bahwa anak-anak, pasiennya itu telah terjangkit demam berdarah. Ia mempunyai dugaan penyakit tersebut tersebut berjangkit dari Filipina sebagai negara lokasi terdekat yang pernah terjangkit wabah demam berdarah. Tahun 1968 itulah yang kemudian oleh para ahli medis dijadikan pijakan awal siklus lima tahunan ledakan penderita dan angka kematian demam berdarah di Indonesia.
Penemuan virus Dengue pertama kali di Indonesia pada tahun 1960 itu tidak sepenuhnya dipercaya oleh beberapa ahli medis. Ada yang berpendapat bahwa virus Dengue sebetulnya ditemukan pertama kali di Batavia yang sekarang Jakarta lebih tua abad yang lalu, sekitar tahun 1779. Gejala demam berdarah pada waktu itu tidak seberat yang terjadi pada tahun 1960-an, saat penyakit itu muncul di Manila dan Bangkok."
"Bu Triwik mengamati arloji di tangan sebentar, "Waktu kita sudah habis!" katanya kemudian.
"Tetapi belum bel Bu!" Pusparini memberi tahu.
"Ya, barangkali Pak Saman lupa mengebelnya."
"Teruskan saja, Bu!" seorang anak mengusulkan.
Sementara itu, "Theng, theng, theng........" Anak-anak bersorak. "Uuu....."
"Nah, betul kan?" kata Bu Triwik," Anak-anak, pelajaran kita lanjutkan pada pertemuan yang akan datang. Selamat siang!" Bu Triwik mengakhiri pelajaran.
Bu Triwik meninggalkan kelas setelah mengisi buku kemajuan kelas. Tidak seperti biasanya, setiap Bu Triwik selesai mengajar langsung masuk ruang guru. Kali itu ia menuju ruang UKS menemui Siwi.
"Selamat siang Bu rokim! kata Bu Triwik dengan ramah ketika melangkah kakinya di pintu.
"Selamat siang, Bu! Eee....., Bu Triwik mari!" sambut Bu Rokim dengan ramah pula. Bu Rokim di mata anak-anak dikenal sangat sabar dalam membantu memberikan pelayanan kepada mereka. Meskipun Bu Rokim seorang pengawal tata usaha di sekolah itu, ia sanat dekat dengan anak-anak. Bu Rokim diperbantukan untuk melayani mereka yang memerlukan pelayanan kesehatan.
"Mari, mari Bu! Ibu memerlukan obat?"
"Terima kasih Bu Rokim. Siwi tadi istirahat di sini ya, Bu?"
"Ya, Bu! Siwi di dalam!"
"Mau bertemu sebentar," kata Bu Triwik sambil meletakkan bukunya di meja. "Titip dulu Bu Rokim!'
"O, ya Bu!" kata Bu Rokim, kemudian ia mengikuti Bu Triwik menemui Siwi di tempat tidur.
"Bisa tidur, Siwi?" tanya Bu Triwik kemudian memegang kening Siwi dan duduk di dekatnya.
"Tidak Bu! Saya hanya tiduran saja."
"Masih panas ya, Bu?" tanya Bu Rokim pula.
"Ya, Bu!"
"Perlu kompres?" tanya Bu Rokim Lagi.
"Tidak usah, Bu! Saya tidak apa-apa, hanya badan terasa agak dingin," kata Siwi.
"Ya, Siwi perlu istirahat saat ini!" kata Bu Triwik pula.
"Sebentar Bu Triwik, ada anak yang mencari," kata Bu Rokim seraya menemui anak yang baru mencarinya itu.
"Ya Bu!" jawab Bu Triwik maklum.
"Maaf Bu, saya tidak bisa mengikuti pelajaran Ibu sampai selesai." kata Siwi pada Bu Triwik yang ada di dekatnya. Keduanya tampak terlibat dalam pembicaraan.
"Tidak apa-apa, Ibu memang menyarankan Siwi istirahat di sini. Ibu belum menambah materi baru!"
"Benar, Bu! kadang saya juga kasihan, dia seperti dikucilkan oleh teman-temannya."
"Kalau begitu lain kali Ibu akan menasihatinya. Siwi tidak benci dengan Rita Rina, kan?"
"Baik! Siwi meneruskan istirahat di sini saja. saat ini Ibu mau mengisi," kata Bu Triwik sebelum meninggalkan Siwi.
"Terima kasih, Bu!"
Bu Triwik mengambil bukunya yang diletakkan di meja Bu Rokim. "Saya mengisi kelas dulu, Bu," kata Bu Triwik lalu keluar menuju kelas.
"Mari bu, mari......," kata Bu Rokim pula.
Pada sore harinya Siwi kembali periksa ke dokter dengan diantar oleh ibunya. Kata dokter penyakit Siwi tidak berbahaya lagi. Siwi perlu istirahat dan banyak makan, agar kesehatannya cepat pulih. Dokter memberi Siwi surat istirahat untuk tidak masuk sekolah hingga beberapa hari.
Selama Siwi sakit, teman-teman Siwi bermain tanpa dirinya. Para hari itu teman-teman sekelas pun berbincang-bincang membicarakannya.
"Ngomong-omong, kasihan ya teman kita sudah dua hari ini tidak masuk lagi?" kata Pusparini ketika duduk-duduk santai di bawah pohon perindang depan kelas menikmati waktu istirahatnya.
"Siapa?" tanya seorang teman.
"Siwi!"
"Tik......, Etik, Rita Rina kemarin itu keterlaluan, ya?"
"Kenapa keterlaluan?"
"Bicaranya kemarin sadis! Hampir saja Siwi menangis,"
"Tidak hampir lagi, memang sudah menangis!"
"Betul! Sebenarnya kasihan Siwi, sudah sakit dikata-katai lagi," Arif ikut emosi, "Coba kalau yang dikerjai saya, tentu saya tempeleng dia. Saya tidak peduli, siapa orangnya!"
"He....., mau tempeleng segala. Ingin tambah perkara?" Pusparini mengingatkannya.
"Ah, biarkan saja, Pusparini! Biasa, Arif senang begitu. Benar mulut, kan?" kata Etik bernada mengejek.
"He,.he, he, siang-siang begini mengatakan besar mulut segala! Atau kamu yang saya tempeleng sekalian?"
"Boleh, kalau berani silakan! Etik berdiri, "Nggak lucu cowok beraninya dengan cewek!"
"Siapa bilang?"
"Saya, buktinya? Sekarang ini!"
"Sudah, sudah, malah bertengkar sendiri!" Pusparini ikut berdiri memegangi lengan Etik untuk diajak duduk. Anang dan Pamulatsih diam saja memandangi kedua temannya yang ribut-ribut.
"Sekarang begini saja!" kata Pusparini lagi, "Perdebatan antara kedua kubu, kubu cowok dengan kubu cewek selesai. Bagaimana kalau besok kita punya acara?"
"Besok hari Minggu kan? Saya cocok, acara apa?" tanya Anang segera ingin tahu.
"Menengok teman!"
"Menengok Siwi maksudmu?"
"Ya, siapa lagi?"
"Setuju!" kata Anang lagi dengan mantap.
"Saya ikut!" kata Etik pula.
"Saya juga ikut!" Arif tidak mau kalah.
"ah, lagi-lagi cowok hanya ikut-ikutan!" Etik mulai memanas-manasi Arif lagi.
"Stop, stop..., tidak perlu ada tanggapan!" Pusparini mencegah, "tunggu sebentar, ya?!"
"Mau ke mana, malah kabur?"
"Tidak! Kamu tunggu sebentar di sini. Mari Pamulatsih, ikut saya!" ajak Pusparini. Pamulatsih pun mengikutinya. Lalu, mereka berjalan menuju kantin dengan tergesa-gesa.
Sebentar saja Pusparini dan Pamulatsih sudah sampai di kantin. "Es dawet masih, Mbak?" tanya Pamulatsih kemudian.
"Masih!"
"Minta dua!"
"Minta dulu Sih! kata Pusparini setelah dua gelas es dawet siap di meja, "Mari, kita cepat-cepat saja!"
Tidak lama kedua gelas itu sudah kosong. Sesaat kemudian Pusparini mengambil beberapa bungkus makanan kecil dan membayarnya dengan uang kertas.
"Sudah Mbak,tambah ini lima!" kata Pusparini sambil menunjukkan makanan yang diambilnya.
"Ini kembalinya!" kata penjaga kantin itu pula.
Pusparini dan Pamulatsih segera kembali ke tempat duduk berkumpul dengan teman-temannya. Etik, Anang, dan Arif masih lengkap berada di tempat itu. Mereka membicarakan rencana kenjungan ke rumah Siwi besok.
"Ini bagi-bagi daripada ribut-ribut melulu!" kata Pusparini dengan memberikan makanan kecil yang dibawanya, "Bagaimana acara kita besok, jadi tidak?"
"Jelas jadi, kamu ini bagaimana sih, Rih?"
"Siapa saja yang ikut?"
"Saya, Pusparini, Anang, Arif....,"
"Saya tidak, Tik! Rumah saja jauh, maaf ya," kata Pamulatsih memberi tahu.
"Tidak apa-apa Pamulatsih tidak ikut," kata Pusparini.
"Dita juga ingin tahu rumah Siwi dan Rita Rina saya ajak sekalian," kata Etik lagi.
"Rita Rina? Rita Rina teman kita yang judes itu?" tanya Arif tidak percaya.
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia?"
"Maukah Rina ke rumah Siwi?"
"Mau, dia sudah aku hubungi!"
"Besok kita berangkatnya bagaimana?" tanya Anang.
"Begini, sebaiknya berangkat bersama-sama berkumpul di rumah Pusparini," Etik mengusulkan, "Bagaimana?"
"Setuju.....!" kata anak-anak itu bersama.
"Boleh, mau berangkat pukul berapa?" Pusparini menanggapi.
"O, ya! Pukul sepuluh?"
"Pukul sepuluh tepat lho, jangan siang-siang!" kata Arif. Teman-temannya pun menyetujui.
Esok harinya, hari yang mereka janjikan telah tiba. Rita Rina datang di rumah Pusparini lebih awal. Pusparini menyambutnya dengan amat senang. Ia siapkan makanan dan minuman, kemudian menemaninya dengan bercerita dan membaca-baca majalah. Mereka membicarakan nilai ulangan Biologi terakhir yang belum lama dibagikan Bu Triwik, guru yang mereka segani. Tidak luput pula guru yang mereka segani. Tidak luput pula guru yang mereka takuti menjadi bahan pembicaraannya yaitu Bu Ruki dan Pak Tirto. Guru-guru mereka ada yang dipuji, ada pula yang diolok-olok.
Hari itu hari minggu. Untuk mengusir rasa jemunya Siwi duduk-duduk kembali di teras. Ia tidak memperhatikan orang-orang lewat di jalan depan rumahnya. Tiba-tiba Siwi dikejutkan oleh suara deru mobil yang berhenti di depan pintu gerbang. Kali itu ia memperhatikannya, ingin tahu siapa mereka. Setelah pintu mobil dibuka Pusparini dan teman-temannya berhamburan keluar.
Siwi pun kemudian melonjak-lonjak kegirangan setelah mengetahui kedatangan Pusparini dan teman-temannya. Tenaganya seketika itu seperti pulih kembali. Ia bersuka ria, lari menyalami. Siwi dan teman-temannya masuk halaman dan mobil pun pergi melaju setelah ayah Pusparini berjanji akan menjemput. Mereka larut dalam perbincangan dan kegembiraan.
"Bagaimana Wiek, kesehatanmu sudah baik?" tanya Pusparini mengawali perbincangannya.
"Sudah! Mulai kemarin saya sudah berselera makan dan badan saya tidak lagi gemetar. Tetapi, dokter menyarankan agar saya istirahat tidak masuk sekolah hingga tiga hari lagi."
"Ya, teman-teman ikut senang kalau Siwi sudah sembuh."
"Terima kasih! Terima kasih Rin, terima kasih teman-teman semua kalian mau datang," sambut Siwi dengan gembira.
"Sama-sama, Wiek! Acara teman-teman ini kemarin sangat mendadak, hanya sebagian saja yang ikut," kata Pusparini.
Sesaat kemudian, ibu Siwi muncul di ruang tamu dengan membawa makanan dan minuman, menyediakan untuk mereka.
"tidak usah repot-repot, Bu!" kata Etik setelah mereka dipersilakan untuk menikmati makanan dan minuman yang disediakan itu.
"Ibu tidak repot, Nak! Silakan seadanya," kata ibu Siwi lagi.
"Terima kasih, Bu!"
"Ibu senang sekali adik-adik mau datang. Kalau tidak begini, kapan kalian sampai di sini?"
Setelah ibu Siwi masuk ke dalam meninggalkan anak-anak itu, mereka tidak malu-malu menikmati makanan dan minuman yang telah tersedia.
Rita Rina tidak seperti biasanya. Ia agak canggung. Sejak memasuki halaman rumah Siwi, ia banyak diam. Rita Rina terperanjat melihat rumah Siwi yang besar dan bagus melebihi rumahnya. Ia melihat sendiri ketika ikut menumpang ke belakang waktu baru datang. Lantai, kamar mandi, dan dapur Siwi sangat bersih, lebih bersih daripada di rumahnya. Halaman, pekarangan, dan ruangan rumah Siwi cukup luas melebihi yang diperkirakan Rita Rina. Taman dan bunga-bunga yang ditanam sangat indah bila dibandingkan dengan taman dan tanaman bunga yang ada di rumah Rita Rina. Dalam hati Rita Rina malu sendiri terlanjur buruk sangka kepada Siwi. Ia menyesali sikapnya yang telah diperbuat kepada temannya itu. Rita Rina banyak termenung dan salah tingkah.
"Siang-siang begini enaknya apa ya?" kata Arif selesai bersendau gurau di teras depan. Anak-anak itu sudah cukup lama berbincang-bincang kesana, kemari di rumah Siwi.
"Main catur, ayo!" ajak Anang.
"Uuu, malas ah, panas-panas hanya memikirkan pion!"
"Malas mikir, ya tidur!" kata Anang.
Anang berdiri, mengambil majalah yang tertumpuk di ruang tamu. Sebuah majalah bergambar gadis remaja pada sampulnya, ia ambil dan dibawanya kembali ke teras. Dengan membawa majalah Anang kini memilih duduk dekat Etik. Anang membolak balikkan halaman, tidak membaca hanya melihat-lihat gambarnya. Etik sepintas ikut melihat lalu menyambarnya dengan cepat dari tangan Anang.
"Sialan!" kata Anang.
Dita memandangi halaman rumah sebelah. Tampak olehnya pohon mangga berbuah lebat. Buahnya kekuning-kuningan bergelantungan di ranting-ranting, bergerak-gerak ditiup angin menggoda Dita. Memang baru musim mangga. Dita menahan liur, kemudian memanggil-manggil Etik.
"Tik, Etik....., lihat mangga di sebelah itu!"
Etik beranjak dari tempat duduknya, lalu melemparkan majalahnya kembali ke tangan Anang dan katanya, "Wah, banyak sekali. Tua-tua lagi!"
"Ya, mangga tua-tua belum masak pasti enak, segar masam-masam manis," kata Dita membayangkan menikmati buah mangga yang bergelantungan di kebun tetangga sebelah.
"Memang, siang-siang begini enaknya makan buah. Lotisan, apalagi!" kata Pusparini pula.
"Betul, cocok itu!" Arif menyetujui.
"Mau lotisan?" tanya Siwi setelah mendengar pembicaraan teman-temannya itu.
"Tidak Wiek! Saya hanya bercanda," jawab Pusparini dengan agak malu.
"Silakan Rin kalau mau lotisan, mangga atau pepaya tinggal petik!"
"Tinggal petik? Di mana?"
"Mari kita lihat di kebun belakang, kalau tidak percaya!" ajak Siwi.
"Bagaimana kawan-kawan, sungguhan kita lotisan?"
"Boleh juga Rin, asal tidak pedas-pedas!" Etik menyetujui.
"Ah, rupa-rupanya cewek takut pedas ini!" kata Arif mengejek.
"Sudah, sudah, tak usah banyak omong!"
"Mari kita ke kebun belakang! Nanti Arif dan Anang yang memanjat," ajak Siwi.
"Aku tidak berani memanjat, Wiek!" Arif ketakutan.
"Kacau Arif tidak berani, ya Anang saja!"
"Beres!" jawab Anang.
Etik mendengar Arif tidak berani memanjat, cepat-cepat ia memalingkan wajahnya di depan Arif, lalu berkata, "Percuma jadi laki-laki, memanjat saja takut!"
Di kebun belakang rumah Siwi, Pusparini dan teman-temannya senang sekali memetik buah mangga dan pepaya. Anang yang memanjat memilih mangga tua-tua. Arif ingin sekali ikut memetik tetapi tidak berani, ia menggunakan peralatan batang bambu.
Sebentar saja mereka sudah kembali dengan membawa beberapa butir mangga dan buah pepaya setengah matang yang baru dipetik dari pohonnya. Pusparini kemudian membagi tugas. Siwi dan Pusparini sendiri menyiapkan bumbu sambal, teman-teman lainnya mengupas dan mencuci buah yang baru dipetiknya dari kebun. Lombok, garam, gula jawa, dan kelengkapan lainnya sudah siap pula diambil dari dapur.
"Pusparini, gulanya sangat keras aku tidak kuat menggilasnya! Coba gantian kamu!" kata Siwi memanggil-manggil Pusparini.
"Aduh, benar-benar keras gula ini. Aku juga tidak bisa melumatkan, Siwi! Gantian cowok-cowok itu sajalah. Ayo, siapa yang sering main-main dengan muntu dan cobek? Arif?" tanya Pusparini bernada perintah.
"Sekalipun tidak pernah tahu muntu ataupun cobek, malu ah, kalau kalah dengan gula jawa sekeras apa saja. Mana, bawa sini!"
Sementara itu Arif sudah memegang muntu dan cobek sudah di depannya pula. Sekali tekan dan digilas dengan tenaga Arif sekuat-kuatnya, gula jawa sekeras itu hancur seketika.
"Lomboknya sekalian, tidak?"
"Ya, Rif! Kok pintar, kamu?"
Kali itu Arif bangga, dipuji Pusparini seperti pahlawan.
"Hati-hati Rif, kalau memerciki mata, lho!" kata Pusparini lagi.
"Ya, Rif nanti kasihan lomboknya!" Etik mengomentari. Arif pura-pura tidak mendengar.
"Semuanya dilumatkan?" tanya Arif lagi.
"Ya!"
Diam-diam Arif ingin membalas Etik, teman berguraunya setiap hari. Arif sengaja mengambil lombok yang disisakan di piring kecil. Kemudian lombok itu ditambahkan ke dalam cobek dan dilumatkan sekalian. Jika dilihat gerakan tangan Arif memegang muntu agak lucu, tetapi sambal lotis itu pun cepat lumat juga.
"Lebih sedap begini," kata Arif, "Ini sudah jadi!"
Sepintas Pusparini melihat sambal di cobek batu di depan Arif, warnanya merah membangkitkan selera. "Benar-benar pintar kamu, Rif!" Pusparini memberi pujian lagi.
Mangga dan pepaya sudah dikupas, dicuci, dan dipotong- potong pula. Pusparini dan teman-temannya mencuci tangan siap menikmati. Sebentar-sebentar Etik menahan ludahnya yang ingin segera merasakan lotis pepaya setengah matang itu. Siwi lari ke dapur mengambil garpu, Arif mengambil sepotong mangga, mengoleskannya sedikit sambal ke dalam cobek, lalu mencicipinya. Dengan mantap ia berkata, "Sedap.....!"
Anang ikut-ikutan ingin mencicipi. Ia memilih pepaya. Sekali dioleskan sepotong pepaya yang dipegang Anang ke dalam cobek, cukup banyak sambal yang melekatnya. Kemudian dimasukkannya pepaya yang beroleskan sambal itu ke dalam mulut dan langsung dikunyah-kunyahnya. Anang terpejam-pejam, suaranya mendesis-desis. Ia menahan pedas.
Bersamaan dengan Anang, Etik pun tidak sabar. Ia sudah memegang garpu. Tidak menunggu waktu, ia tusuk sepotong mangga dengan garpu dan mengoleskan sambal ke dalam cobek seperti Anang. Sepotong mangga belum habis di makan, wajah Etik sudah memerah dan matanya berkaca-kaca. Ia berlari ke kamar mandi mencari air untuk berkumur. Etik tidak kuat menahan pedas. "Keterlaluan Arif!" Etik mengumat-umpat.
Dita dan Pusparini menyusul, mereka mengambil mangga sepotong-sepotong dan mengoleskannya pada sambal seperti teman-temannya. Dita biasa-biasa saja, tidak bereaksi apa-apa. Ia tahan pedas, lagi pula olesan sambalnya hanya sedikit. Pusparini menetak-netakkan giginya menahan pedas, mengeluarkannya kembali sepotong mangga itu dari dalam mulutnya dan membuangnya ke tempat sampah.
"Ya, ampun! Lombok di piring ini tadi kamu habiskan semua, Rif?" kata Siwi keheranan, "Makanya.....!"
"Katanya tadi semua?"
"Semua sih, semua! Tetapi lombok yang ada di cobek. Bukan yang ada di piring segala diikutkan," Pusparini agak jengkel.
"Biarkan Rin! Biar Arif sendiri yang menghabiskan," kata Etik bernada marah.
Rasa jengkel dan kecewa anak-anak itu semuannya ditumpahkan kepada Arif. Untuk menghilangkan kekecewaan dan kejengkelannya, mangga dan pepaya yang sudah terpotong-potong kecil mereka makan pelan-pelan. Dita masih mengoleskannya pada sambal, tetapi hanya sedikit-sedikit. Etik tidak berani makan buah yang disiapkan untuk lotis itu dengan sambal sedikit pun. Ia memilih dengan garam sisa untuk membuat sambal yang berada di piring kecil. Lama-lama buah mangga dan pepaya yang tersedia cukup banyak itu pun habis juga. Hanya sambal berwarna merah yang masih tersedia memenuhi cobek.
Sudah hampir satu hari Pusparini dan teman-temannya berada di rumah Siwi. Hari Minggu itu bagi mereka tidak terasa lama. Anak-anak itu baru sadar hari telah sore setelah ayah Pusparini menjemput. Mereka kemudian berpamitan, datang saling bersalaman. Rita Rina yang terakhir kalinya. Ia memegang tangan Siwi erat-erat, kemudian minta maaf atas kata-katanya yang telah menusuk hati.
3. Bunga Tak Berlahan
Hari ulang tahun Pusparini tinggal tiga hari lagi. Ayahnya mempunyai rencana untuk merayakannya. Ibu Pusparini pun sudah menyiapkan acaranya pula. Orang tua Pusparini setiap kali merayakan ulang tahun anaknya dengan makan-makan mengundang teman-temannya di rumah makan besar seperti yang dilakukan oleh para tetangganya.
"Rin, lusa tangga berapa, ingat tidak?" tanya ayah Pusparini selesai makan malam bersama sekeluarga.
Pusparini belum sempat menjawab, ibunya memberikan pertanyaan lagi. "Ayo tanggal berapa Rin, Ibu ingat itu!"
Pusparini agak terbengong-bengong mendengar pertanyaan ayah dan ibunya yang tidak seperti biasanya.
"Ada apa sih, Ayah Ibu tanya begitu?" Pusparini ganti bertanya.
"Ah, Pusparini lupa? Coba dihitung!" perintah ibu Pusparini.
"Hari ini tanggal sepuluh......, tanggal tiga belas, Bu!"
"Betul, lusa tanggal tiga belas! Tanggal tiga belas milik siapa, ayo?"
"Oooo, itu! Ulang tahun Rini kan, Bu?"
"Benar! Ayah Ibu hanya bermaksud mengingatkan Rini, jangan-jangan Rini lupa. Rini kok diam-diam saja."
"Waktu ulang tahun Lita putri Pak Broto dan juga Wiwin putri Pak Hamid, Rini dengan teman-teman diajak pesta di rumah makan, bukan?" tanya ayah Rini lagi.
"Benar, Ayah! Malahan di restoran mewah, makanannya bermcam-macam dan mewah-mewah pula, Yah!"
"Nah, Ayah juga punya rencana seperti Pak Broto dan Pak Hamid begitu, Rin!"
"Betul, Rin! Ibu juga sudah tanya ke beberapa rumah makan. Rini tinggal pilih mana yang disenangi."
"O, ya! Rini yang mengundang teman-teman. Akan lebih baik bila Rini membuat undangan saja," kata ayahnya mengingatkan.
"Terima kasih, Yah! Sebelumnya kalau Rini punya usul boleh tidak, Yah?"
"Tentu saja boleh, mengapa tidak?"
"Apa yang Rini kehendaki?" Ibu Pusparini menambahkan dengan penuh pengertian.
"Tetapi, Ayah tidak marah, kan?"
"Mengapa harus marah?"
"Ibu juga tidak marah?"
"Rini, Rini......., kapan Ibu dan Ayah marah dengan Rini?"
"Terima kasih! Ayah Ibu sungguh baik, memang! Maaf Ayah, Rini tidak usah dipestakan di restoran!"
"Maksud Rini?" tanya ayahnya.
"Lho...., Rini ini bagaimana? Ayah dan Ibu sudah susah-susah memikirkan, malah.....!" ibunya menyambung.
"Begini, Bu! Biaya yang akan Ibu gunakan untuk pesta di restoran itu, kalau Ayah dan Ibu menyetujui akan Rini minta. Tentu saja tidak menyetujui akan Rina minta. Tentu saja tidak semua, Bu! Ya, terserah Ibu dan Ayah, beberapa?"
"Tidak jadi pesta?" tanya ibu Pusparini agak kecewa.
"Sebentar, Ayah ingin tahu Rini mempunyai rencana seperti itu untuk apa?" tanya ayahnya kemudian.
"Begini, Yah! Kalau soal makan di restoran, Lita, Wiwin, juga teman-teman lain yang sering mengajak Rini ke pesta ulang tahun mereka kan sudah hal biasa. Berbeda dengan teman sekolah Rini? Jangankan makan di restoran, membeli buku saja masih ada yang keberatan."
Sementara itu ayah dan ibu Pusparini sudah tahu arah pembicaraan yang disampaikan anaknya. Dengan sedikit bimbang ibu Pusparini bertanya lagi, "Terus hubungan ulang tahun Rini dengan teman-teman sekolah itu apa?"
"Begini, Bu! Tanggal tiga belas itu nanti kan hari Kamis. Kebetulan hari itu ada pelajaran ekstrakurikuler Ketrampilan Pertanian. Biasanya teman-teman setiap mengikuti pelajaran ekstrakulikuler banyak yang tidak pulang. Sebagai gantinya makan-makan di restoran, Rini akan mengajak teman-teman di sekolah yang tidak pulang untuk makan siang bersama."
"Makan siang di mana, di restoran juga?"
"Tentu saja tidak, Bu! Daripada untuk makan-makan di restoran, lebih baik uangnya Rini belikan buku, disumbangkan kepada mereka. Rencana Rini, teman-teman akan Rini ajak makan di warung yang murah-murah saja. Di kantin sekolah atau warung makan di sekitarnya sana, Bu!"
"Ya, rencana Rini cukup baik juga. Apalagi Rini punya rencana akan menyumbang buku kepada temannya segala. Tidak kukira Rini punya pikiran sejauh itu. Selayaknya maksud Rini kita dukung, Bu! Ibu bagaimana?"
"Terserah Bapak saja!"
"Ibu sebaiknya jangan terserah bapak. Kalau Ibu setuju katakan setuju, kalau Ibu tidak setuju katakan tidak setuju. Seharusnya begitu kan, Bu?"
"Bapak benar! Ibu katakan terserah Bapak itu berarti Ibu sependapat dengan Bapak. Begitu lho, Pak!"
"Ooo, jadi begini Rin! Rini sudah mendengar sendiri, Ibu dan Ayah menyetujui apa yang sudah Rini rencanakan."
Rini tersenyum, kemudian ibunya berkata lagi, "Tetangga-tetangga nanti berkata apa ya, Pak? Kita tidak membalas mereka!"
"Membalas? Maksud Ibu?"
"Membalas mengajak pesta mereka!"
"Mengajak pesta tidak harus dibahas dengan pesta pula kan, Bu? Bisa diganti dengan bentuk lain! Kalau mereka masih membicarakannya, ya itulah sebagai konsekuensi yang harus kita hadapi, kita harus siap. Tetapi, Bapak yakin itu tidak akan terjadi. Tetangga kita baik-baik!"
"Ya, Pak! Dengan rencana Rini yang seperti itu mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa!"
"Tiga hari berlalu. Waktu yang direncanakan Pusparini pun tibalah. Jam pelajaran terakhir sudah selesai beberapa saat. Seluruh ruang kelas kosong, anak-anak berlarian, bertebaran di sepanjang jalan depan sekolah hendak pulang. Pusparini, Dona, Pamulatsih, Arif, Dita, dan beberapa teman masih duduk-duduk di bawah pohon, di halaman sekolah. Mereka sengaja tidak pulang karena akan mengikuti pelajaran ekstrakurikuler.
"Rin, jadi tidak?" tanya Etik dengan nafas tersengal-sengal.
"Apanya?"
"Acaramu, katanya....?"
"O, itu? Harus jadi! Duduk dulu, menunggu teman-teman lain. Dari mana saja kamu tadi?"
"Ngejar Titin, titip pesan untuk di sampaikan ibu di rumah. Aku tadi belum pamit!"
"Mana teman-teman, Dita?"
"Ini!"
"Beberapa orang?"
"Satu, dua, tiga,......Dengan orang, terlalu banyak?"
"O, kurang itu!"
"Arif tidak ikut?" tanya Etik lagi.
"Ikut! Dia baru saja ke parkiran bersama dua orang temannya."
Sementara anak-anak itu menunggu temannya, mereka duduk-duduk dengan santai di bawah pohon.
"Sekarang, kiranya sudah tidak ada yang ditunggu lagi. Kita makan di warung mana, atau di ayam goreng dekat perempatan jalan itu sekalian?" tanya Pusparini kepada teman-temannya. Tetapi, mereka tidak menjawab.
"Di mana? Ini sudah siang, sudah waktunya untuk makan!" kata Pusparini lagi.
"Terserah Rini saja!" kata seorang tempatnya.
"Ah, tidak usah mewah-mewah untuk kita. Ayam goreng segala! Di seberang jalan itu saja!" Etik mengusulkan.
"Di warung lotek?"
"Ya! Kalau tidak senang lotek, di sana tersedia pula soto, mie ayam, bakso, nasi goreng, dan bermacam-macam minuman. Tinggal pilih!"
"Ramai tidak? Biasanya selalu penuh!"
"Kalau siang-siang begini, tidak. Kita lihat saja!"
Anak-anak itu kemudian berangkat beramai-ramai, menuju warung lotek di seberang jalan dekat sekolah.
Tak lama kemudian, Pusparini dan teman-temannya sudah sampai di warung lotek. Pada hari-hari biasa banyak pemuda dan remaja memenuhi warung itu. Hanya kebetulan siang itu agak sepi. Pusparini dan teman-temannya biasa leluasa dan duduk santai makan siang di sana.
Sementara itu sambil menunggu makanan dan minuman yang dipesan, Arif duduk santai. Ia asyik bersendau gurau dengan Anang. Etik segera kembali ke tempat duduk tetapi tidak di tempat semula. Ia pindah tempat, memilih kursi kosong dekat Dita. Ia menjauhi Arif, Arif pun tidak memperhatikan Etik.
Mereka masih larut dalam keasyikan, bercerita dan bersendau gurau sendiri-sendiri. Pelayan datang membawa minuman dan makanan mereka.
"Mari minum, Sih!" ajak Pusparini kepada temannya yang paling pendiam. Tanpa menjawab Pamulatsih memenuhi ajakan itu. Kemudian ia mengangkat gelas minuman yang sudah tersedia.
"Wah, Anang! Gelasmu bocor, ya?" tanya Etik melihat gelas Anang sudah kosong.
"Enggak tuh!" jawab Anang singkat. Dita tertawa, teman-teman yang lain tidak memperhatikan.
"Pesan minum lagi, Nang!" suruh Pusparini kemudian.
"Ya, sebentar!" jawab Anang. Ia baru sadar bahwa dirinya diejek Etik.
"Ayo, Rif! Minumnya kok masih penuh?" kata Pusparini pula. Arif diam saja. Ia tidak berani meneguk, air jeruknya masih terlalu panas.
"Pesanan makanan mereka sudah tersedia pula. Anak-anak itu menikmatinya dengan lahap, kecuali Arif. Ia makan dengan sedikit-sedikit dan sebentar-sebentar berhenti. Etik yang memesankan lotek yang dinikmati Arif itu selalu memperhatikannya. Ia berbisik-bisik kepada Dita.
"Lihat itu, Arif mulai kepedasaan!" Dita sedikit tertawa, "Ya, kasihan dia!"
"Biar! Arif sombong sekali dan sering mengerjai saya."
Etik mulai memperolok-olok Arif, "Lotek pedas, dengan lombok tiga enak sekali ya, Rif? Tambah Rif!"
Arif tidak menjawab. Ia menahan pedas. Diangkatnya minuman air jeruk panas di gelas. Ia meneguk sedikit. Seketika keringat Arif mulai mengucur melalui seluruh pori-pori kulitnya. Bajunya sudah basah, ia menutup-nutupi dirinya agar tidak ketahuan temannya. Arif tetap melanjutkan makannya walaupun hanya dengan sepucuk-sepucuk sendok.
"Tambah lotek lebih pedas lagi, Rif?" tanya Etik tidak terlihat mengejek.
Sekali itu Arif menolak dengan menggelengkan kepala.
"Minum?" Etik menawarkan dengan gaya ejekannya lagi.
Untuk kedua kalinya, Arif menggeleng sambil menyendok lotek sedikit. Kemudian ia minum setiap menghabiskan lotek sepucuk sendok. Sedikit demi sedikit lotek super pedas akhirnya dihabiskan pula oleh Arif.
Makan siang Pusparini bersama teman-temannya pada hari ulang tahunnya berlangsung dengan sangat menyenangkan. Hanya Arif yang kurang menikmati loteknya, karena terlalu pedas dan terganggu perasaan malu bila tidak bisa menghabiskan. Selesai makan-makan mereka kembali ke sekolah untuk mengikuti pelajaran ekstrakurikuler.
Sesampainya di sekolah, Pusparini, Pamulatsih, dan Etik membaca pengumuman di papan informasi dekat ruang guru. Dalam waktu yang tidak cukup lama, Bu Triwik yang memberikan pelajaran ekstrakurikuler Keterampilan Pertanian sudah datang pula.
"Selamat siang, Bu!" sapa Pusparini dan teman-temannya bersama-sama.
"Selamat siang!" Bu Triwik menyambutnya, "Wah, sudah datang. rajin benar kalian?"
"Kami tadi tidak pulang, Bu!"
"Tidak pulang? Makanya....., sudah makan belum?"
"Sudah, baru saja Bu!" jawab Etik.
"O, ya! Pamulatsih, Ibu mau bicara sebentar. Mari ikut Ibu!"
"Ya, Bu!"
Pamulatsih pun kemudian mengikuti Bu Triwik masuk kantor guru. Pusparini dan Etik masuk ruang keterampilan, menyusul teman-temannya yang sudah banyak duduk di sana. Di ruang guru Pamulatsih duduk berhadapan dengan Ibu Triwik.
"Bagaimana pelajaranmu lancar-lancar saja, kan?" Bu Triwik mengawali pertanyaan.
"Ya, Bu!"
"Tidak ada kesulitan?"
"Kalau hanya pelajaran saja tidak, Bu! Tetapi.....," kata Pamulatsih dengan malu-malu.
"Ada masalah?"
"Bagaimana ya, Bu? Mungkin saya hanya bisa sekolah sampai di SLTP."
"Mengapa? Ayahmu belum dapat pekerjaan?"
"Belum!"
"Jadi ayahmu tidak bekerja?"
"Ya, bekerja tetapi hanya pekerjaan kasar, Bu!"
"Bekerja di mana?"
"Mencari pasir di sungai!"
"Bagus itu! Berarti ayahmu masih mempunyai semangat, hanya kesempatannya saja yang belum ada. Ibu percaya, pada suatu saat ayahmu akan mendapatkan kesempatan itu. Mengapa Ibu mengatakan demikian? Karena, ayahmu mau berusaha dan bekerja keras. Suatu keberhasilan dapat diupayakan dengan kerja keras. Contohnya, sudah Ibu katakan berkali-kali keluarga Ibu sendiri.
Pamulatsih mendengarkan nasihat ibu gurunya dengan penuh perhatian, lalu ia berkata, "Begitu ya, Bu!"
"Masalahnya begini, Sih! Berhari-hari Ibu memperhatikanmu. Sepertinya Pamulatsih selalu tidak ceria. Apakah memikirkan keadaan ayah?"
"Ya, Bu! Bagimana mungkin untuk tidak ikut memikirkan?"
"Pamulatsih, memang baik seorang anak ikut memikirkan kesulitan orangtua. Tetapi, sebaiknya jangan sampai berlebihan hingga hanyut dalam keputusasaan. Bilamana sampai terjadi putus asa, justru akan menambah parah."
"Ya, Bu!"
"Sebetulnya sejak kemarin Ibu ingin bicara dengan kamu Sih, tetapi belum ada waktu. Baru sekarang ini ada kesempatan.
"Mungkin saya punya salah, Bu?"
"Ah, tidak! Ibu tidak mencari kesalahan. Begini, jauh-jauh sebelumnya sudah Ibu bicarakan dengan Bu Asih, ibu guru Bp. Ibu Asih ternyata juga ikut memikirkan Pamulatsih. Bu Asih memberi saran kepada Ibu, kalau bisa agar Ibu membantu Pamulatsih. Sebagaimana yang biasa Ibu lakukan, Ibu sangat senang jika dapat menolong orang lain yang membutuhkan; lagipula terdorong oleh saran Bu Asih.Barangkali ayah dan ibu Pamulatsih memperbolehkan dan juga kamu sendiri tidak keberatan, bagaimana kalau kamu ikut Ibu saja?"
Mendengar pertanyaan ibu gurunya itu Pamulatsih diam sebentar. Ia berpikir bagaimana harus menanggapi dan menjawab pertanyaan Bu Triwik. "Saya selalu membuat repot Ibu!" katanya kemudian.
"Ibu tidak repot! Maksud Ibu begini! Ibu kan punya toko bunga. Ya, lumayanlah bisa untuk biaya kuliah anak-anak dan mencukupi kebutuhan Ibu. Toko Ibu menyediakan bunga segar, bibit bunga dan bauh-buahan, bunga dalam pot, buah-buahan dalam pot, tanaman bunga dan buah hidroponik, bermacam-macam pupuk. Bibit tanaman dan pupuk yang Ibu sediakan itu Ibu olah dari limbah sampah. Anak-anak, Mbak Ita dan Mbak Ria dengan dibantu oleh beberapa karyawan yang mengurusi. kesemuanya."
"Pamulatsih kalau mau, nanti bersama-sama Mbak Ita dan Mbak Ria bisa mengerjakan apa sajalah yang dapat dikerjakan. Ibu tidak menganggap kamu sebagai karyawan atau pembantu Ibu. Yang penting Pamulatsih nanti di sana bisa mendapatkan pengalaman bagaimana berkebun bunga, membuat bibit tanaman, membuat pupuk, menanam bunga atau buah-buahan dalam pot dan dengan hidroponik, hingga memasarkan dan mengelolanya. Pekerjaan-pekerjaan yang pokok dan berat-berat sudah dibereskan oleh karyawan-karyawan Ibu di sana."
"Jadi saya harus tinggal di rumah Ibu?"
"Ya, bagaimana pendapatmu?"
Pamulatsih diam. Ia tidak menolak, tetapi juga belum menyanggupi. Dari roman mukanya tampak seperti masih ada yang dipikirkan. Kemudian kata Bu Triwik lagi, "Ibu bermaksud memberi kesempatan Pamulatsih untuk berlatih mandiri."
"Terima kasih, Bu!"
"Soal biaya sekolah, beli buku, uang jajan, nanti tidak usah minta orangtua. Ibu yang memikirkan. Selain sedikit meringankan beban orangtua, sekolah Pamulatsih lebih dekat, kan? Siapa tahu dengan kemandirian Pamulatsih kelak menjadi pengusaha bunga yang berhasil."
Dengan sedikit tersenyum Pamulatsih berkata, "Ya, Bu!"
"Bagaimana Sih, bersedia?"
"Saya senang sekali Ibu memberikan kesempatan dan perhatian hingga seperti itu. Tetapi, ayah dan ibu bagaimana nanti! Ya, mudah-mudahan ayah dan ibu memperbolehkan."
"Baik! Pamulatsih memberitahu ayah dan ibu dahulu. Kapan-kapan kalau sudah ada waktu Ibu juga akan datang ke rumahmu, tentu saja harus minta izin ayah ibumu."
"Terima kasih, Ibu bersedia datang! Tetapi rumahnya jelek lho, Bu!"
"Ibu datang tidak memasalahkan rumah. Ayah dan ibumu mau menerima saja, Ibu berterimakasih. Rumah Ibu dahulu juga sangat jelek, Sih!"
Bu Triwik melihat arlojinya lalu berkata, "Sudah waktunya kita masuk! Untuk sementara itu saja. Kalau sudah ada waktu kapan Ibu bisa datang, Ibu akan memberi tahu Pamulatsih."
"Ya, Bu!"
"Tolong, sekalian teman-teman diajak masuk!"
"Baik, Bu!"
Pamulatsih segera meninggalkan tempat duduk dan keluar dari ruang guru. Ia memberi tahu teman-temannya agar segera masuk, pelajaran akan segera dimulai. Bu Triwik mengikuti dari belakang, masuk ruang keterampilan, kemudian mulai memberi pelajaran.
"Anak-anak, andai kata bumi ini terlanjur padat untuk pemukiman dan sejengkal lahan pun tidak tersisa lagi, apakah kita bisa bercocok tanam?" kata Bu Triwik mengawali pelajarannya.
"Tidak bisa, Bu!" jawab anak-anak itu bersama-sama.
"Tetapi, dengan menekuni pelajaran kita ini, Ibu katakan bisa!"
"Bagaimana mungkin itu dapat dilaksanakan, Bu?" tanya Pusparini.
"Mengapa tidak Rin?" kata Bu Triwik memberi pertanyaan lagi. "Pada zaman dahulu saja nenek moyang kita pun dapat mengatasi permasalahan yang hampir sama dengan permasalahan ini. Bahkan mereka bisa bercocok tanam tanpa lahan di segala musim."
"Bagaimana nenek moyang kita melakukannya, Bu?" tanya seorang anak terburu ingin tahu.
"Untuk mengatasi ketergantungan pada lahan dan musim, nenek moyang kita dalam bercocok tanam menempatkan tanamannya pada tempayan-tempayan atau sejenisnya. Teknologi nenek moyang kita itu kini dikembangkan dalam bentuk tanaman dalam pot.
Seiring dengan pesatnya kemajuan perkembangan teknologi, teknologi pertanian pun mengalami perkembangan pesat pula. Dapat Ibu contohkan, di negara-negara yang mempunyai empat iklim, dengan teknologi rumah kaca sekalipun pada musim dingin mereka tetap bisa melakukan aktivitas pertaniannya. Juga Jepang dan Thailand pada dasawarsa terakhir ini telah mengembangkan bercocok tanam sistem hidroponik."
"Kita nanti juga akan bercocok tanam dalam pot dengan hidroponik itu?" tanya seorang murid lagi.
"Berbeda, tetapi ada kesamaannya. Nanti akan Ibu jelaskan! Baik bercocok tanam dalam pot maupun dengan sistem hidroponik merupakan alternatif dalam budidaya tanaman untuk mengatasi semakin sempitnya lahan pertanian dewasa ini. Dengan hidroponik budidaya tanaman di tempat-tempat pemukiman yang padat penduduknya atau bagi mereka yang tidak berlahan sekalipun dapat dilaksanakan."
"Bercocok tanam dengan sistem hidroponik merupakan salah satu hasil kemajuan teknologi di bidang pertanian yang akhir-akhir ini mulai banyak digemari orang. Bercocok tanam hidroponik yang semula dilakukan hanya sekadar hobi, sekarang sudah mengarah ke tujuan komersial. Negara yang sudah menerapkan sistem hidroponik untuk pertaniannya antara lain Jepang dan Thaniland."
Etik kali itu banyak mendengarkan, tidak mengajukan pertanyaan. Tetapi, ia memang sulit untuk diam lalu ia berkata, "Bu Triwik, tanaman apa saja yang bisa dibudidayakan dengan hidroponik?"
"Baik! Pada dasarnya hampir semua jenis tanaman dapat dihidroponikkan. Jadi yang dapat dihidroponikkan itu tidak hanya tanaman hias, tetapi juga tanaman sayuran, obat-obatan, dan buah-buahan."
"Bu Triwik!" kata Anang kemudian,"Bercocok tanam hidroponik itu sulit tidak?"
"Begini Anang! Sulit tidaknya pembudidayaan tanaman hidroponik tergantung dari kemampuan dan keterampilan masing-masing. Budidaya tanaman hidroponik ini dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi masyarakat umum belum banyak yang mengenal. Meskipun budidaya tanaman hidroponik memerlukan penanganan khusus, namun sistem bercocok tanam ini memiliki beberapa kelebihan."
"Kelebihan apa, Bu?" tanya seorang murid lagi.
"Kelebihan tanaman hidroponik antara lain, dapat mengembangkan atau membudidayakan tanaman pada lahan yang terbatas, bahkan tanpa lahan sekalipun. Dengan hidroponik, produksi tanaman akan lebih bersih dan bebas dari residu pestisida. Ini berarti sistem hidroponik sangat cocok untuk tanaman yang hidroponik sangat cocok untuk tanaman yang dikonsumsi seperti sayuran dan buah-buahan. Kelebihan hidroponik lainnya adalah memberikan hiburan, kepuasan, kebanggaan, dan menambah keindahan."
"Dari segi pemeliharaan, budidaya tanaman hidroponik lebih bebas dan terjamin dari hama penyakit yang berada di dalam tanah. Pertumbuhan tanaman lebih cepat; penggunaan pupuk serta pestisida lebih efisien, selektif, serta terkendali."
Bu Triwik diam sebentar. Ia memperhatikan Arif. Arif tidak seperti biasanya. Sekalipun belum bersuara. Ia selalu memegangi perutnya. Kemudian Bu Triwik bertanya, "Arif sakit, ya?"
Arif tidak menjawab. Mendengar pertanyaan ibu gurunya itu Etik menoleh ke belakang. Ia memandangi Arif dan katanya, "Tidak, Bu! Tadi Arif masih banyak makan, lotek pedas lagi."
"Jangan-jangan perut Arif mulas?" tanya Bu Triwik lagi.
Arif mengangguk. Ia berdiri meninggalkan tempat duduk, minta izin Bu Triwik untuk ke belakang. Dita merasa kasihan, tetapi Etik tenang-tenang. Sementara itu teman-temannya sibuk mencatat penjelasan Bu Triwik.
"Mari kita lanjutkan!" ajak Bu Triwik kepada murid-muridnya. "Sudah Ibu katakan tadi bahwa membudidayakan tanaman hidroponik itu dapat dilakukan oleh siapa saja. Ibu percaya kalian pun dapat melakukannya. Secara garis besar membudidayakan tanaman hidroponik dapat kita lakukan dengan penyiapan media tanam, pembibitan, penanaman, dan perawatan."
"Sebentar, Bu! Apa yang dimaksudnya hidroponik itu? Tadi Ibu belum menjelaskan," tanya Pusparini dengan mengacungkan telunjuknya.
"O, ya! Ibu lupa belum menjelaskan. Kata hidroponik berasal dari Yunani, dari kata 'hydro' dan 'ponos'. 'Hydro' artinya air, 'ponos' berarti kerja. Menurut pengertian umum hidroponik berarti cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah. Adapun langkah awal membudidayakan tanaman hidroponik seperti yang Ibu katakan tadi adalah penyiapan media tanam. Media tanam hidroponik ini termasuk pot.
Pot untuk tanaman hidroponik tidak harus yang mahal-mahal. Jika tidak ada pot, drum dan ember plastik pun dapat digunakan. Yang perlu diperhatikan pot atau tempat untuk tanaman sistem hidroponik adalah yang berasal dari bahan yang tidak mudah lapuk oleh air. Bagian sisinya diberi lubang dan untuk pot yang berasal dari bahan yang mudah berkarat perlu dilapisi bahan anti karat."
"Tanya, Bu!"
"Silakan, Anto!"
"Pot yang biasa untuk menanam bunga, apakah juga bisa digunakan untuk hidroponik?"
"Bisa, tetapi masih harus sedikit mengubah. Yaitu kita harus menutup lebih dahulu lubang pada dasar pot dan membuatkan lubang lagi pada bagian sisinya. Jadi begini, pada dasarnya pot hidroponik dan pot biasa itu sama. Perbedaannya hanya terletak pada lubangnya. Lubang pot hidroponik terletak di sisi atau dinding pot, kurang lebih sepertiga tinggi pot dari bagian dasar. Adapun pot biasa yang sering digunakan untuk menanam bunga lubangnya terletak di bagian dasar.
Begitu pula bentuk dan ukuran pot biasanya disesuaikan dengan selera. Meskipun begitu pemilihan pot sebaiknya tidak meninggalkan kesesuaian jenis dan besar kecilnya tanaman. Dengan demikian pot tetap memberikan fungsinya sebagai tempat media tumbuh tanaman.
Setelah pot disiapkan, kita siapkan pula media tanam. Media tanam yang biasa digunakan untuk membudidayakan tanaman hidroponik antara lain batu apung, zeolit, batu, pasir, batu bata, dan perlir. Bilamana kita sulit mendapatkan bahan-bahan tersebut, kita bisa menggunakan bahan-bahan lain asal memenuhi persyaratan."
"Persyaratannya apa saja, Bu?" tanya seorang anak dengan suara mantap.
"Baik, akan segera Ibu jelaskan. Bahan-bahan yang memenuhi syarat untuk media tanam hidroponik antara lain, bahan tersebut dapat menyerap dan mengantarkan air, tidak mudah lapuk atau busuk, tidak berubah warna, dan tidak berpengaruh pada pH air."
Etik membaca kembali catatan bahan-bahan media tanam hidroponik yang baru ditulisnya, kemudian ia bertanya dengan mengacungkan jari, "Tanya, Bu!"
"Ya!"
"Bahan-bahan media tanam hidroponik tadi, yang mana bahan paling baik, Bu?"
"Semua bahan yang Ibu sebutkan tadi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sebagai contoh, misalnya batu bata. Batu bata mudah didapatkan, tetapi kelemahannya bila terendam air terus-menerus mudah terurai dan mempunyai pengaruh terhadap komposisi hara yang diberikan. Begitu pula kerikil dan pasir yang mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan batu bata, tetapi kelemahannya tidak dapat menyimpan air. Sehingga, frekuensi penyiramannya akan lebih besar.
Bahan yang lebih baik untuk media tanam hidroponik adalah batu apung dan zeolit. Kedua bahan ini mampu menyerap dan menyimpan air, tidak mengurangi pH, dan sukar lapuk biarpun terendam air terus menerus."
Anang tampak kebingungan, ia tidak mengetahui tempat mencari bahan-bahan media tanam hidroponik itu. Kemudian bertanya kepada Bu Triwik. "Bu Guru, apakan ada bahan lain yang bisa digunakan untuk media tanam hidroponik?"
"Ya, antara lain: batu cadas, batako, sekam, ijuk, sabut kelapa, dan batang pakis," jawab Bu Triwik.
"Bagaimana cara menggunakannya, Bu?" Tatang menambahkan pertanyaan.
"Apabila kita mau menggunakan bahan-bahan yang baru saja Ibu sebutkan tadi untuk media tanam hidroponik, ada bahan yang bisa dikombinasikan. Misalnya batu cadas dan batako. Kedua bahan tersebut bisa dicampur dengan sekam. Campuran bahan-bahan ini merupakan kombinasi yang baik. Batu cadas banyak mengandung zat kapur yang dibutuhkan tanaman, sedangkan sekam banyak mengandung rongga udara yang dapat menahan air lebih lama.
"Kalau sabut kelapa dan ijuk bagaimana menggunakannya, Bu Guru?" tanya seorang murid lagi.
"Penggunaan sabut kelapa untuk media tanam hidroponik sama dengan bahan-bahan lain!" jawab Bu Triwik, "Tetapi kelemahan media tanam hidroponik dari sabut kepala, ijuk, dan batang parkis tidak kokoh."
"Bila media tanam hidroponik tidak kokoh bagaimana, Bu?"
"Kalau media tanamnya tidak kokoh, tanaman hidroponik itu mudah tumbang, karena tidak kuat menahan tanaman yang besar. Apalagi jika tertiup angin."
Bu Triwik mengamati murid-muridnya sepintas. Mereka mendengarkan penjelasannya dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian Bu Triwik bertanya, "Sudah jelas semua anak-anak?"
"Sudah, Bu!" jawab anak-anak itu bersama-sama.
"Baik! Jika kalian sudah jelas, kita lanjutkan cara pembibitannya. Pada dasarnya menyiapkan bibit tanaman hidroponik sama seperti menyiapkan bibit tanaman yang akan ditanam di lahan biasa. Budidaya tanaman hidroponik dapat menggunakan berbagai jenis bibit, misalnya dari biji, cangkok, okulasi, pindahan dari lahan biasa.
Bibit cangkok yang baik untuk hidroponik adalah yang sudah banyak akarnya dan akar itu sudah berwarna kecoklat-coklatan. Untuk bibit okulasi dan pula dibuat di media hidroponik."
"Caranya bagaimana, Bu?"
"Cara membuat bibit tanaman okulasi di media tanam hidroponik, masuk Tatang?"
"Ya, Bu!"
"Begini! Caranya dengan mengecambahkan langsung tanaman yang hendak dihidroponikkan. Setelah batangnya cukup besar untuk ukuran pembibitan, barulah disambung dengan batang induk yang dikehendaki."
"Bagaimana kalau bibit yang kita pilih itu berasal dari lahan biasa?" Dita bertanya pula.
"Anak-anak! Kalau tanaman hidropponik itu kalian pilih bibit dari lahan biasa, yang umumnya berasal dari pembibitan biji, sebaiknya kalian pilih bibit yang berumur di bawah dua tahun tahun dengan ketinggian sekitar satu meter. Ini dimaksudkan agar bibit tanaman itu tidak berpengaruh pada kelanjutan pertumbuhannya. Pengangkatan bibit tanaman yang hendak dihidroponikkan dari lahan dilakukan dengan hati-hati. Setelah pengangkatan dilakukan, agar tanaman dicuci hingga bersih benar. Waktu pengangkatan bibit tanaman hindari jangan menimbulkan kerusakan pada bagian tanaman."
Bu Triwik diam sebentar. Sementara itu, murid-muridnya tidak ada yang mengajukan pertanyaan. "Sudah jelas, anak-anak?" tanya Bu Triwik kemudian.
"Sudah, Bu!" jawab mereka bersama-sama.
"Kita lanjutkan, bagaimana?"
"Ya, Bu!" sambut mereka serentak pula.
"Setelah pot atau tempat penanaman, media tanam, dan bibit tanaman tersedia, penanaman dapat segera dilakukan. Pertama-tama, pot atau tempat penanaman harus dibersihkan dan disterilkan lebih dahulu. Pekerjaan ini diperlukan agar tanaman dalam pertumbuhannya nanti tidak terkontaminasi oleh hama maupun penyakit."
Tiba-tiba Anang mengacungkan jarinya. Bu Triwik pun memberikan kesempatan. Kemudian Anang cepat-cepat bertanya,"Bu Guru, bagaimana cara mensterilkan tempat dan media tanam hidroponik itu?"
"Baik, ini pertanyaan bagus! Memang, mensterilkan tempat dan media tanam ini perlu kita lakukan dalam membudidayakan tanaman hidroponik. Pensterilan tempat dan media tanam hidroponik tersebut dapat dilakukan dengan mencuci tempat dan media tanam itu menggunakan air mendidih. Di samping itu dapat pula dilakukan dengan menyikat seluruh kotorannya hingga bersih benar dan mencucinya dengan air sabun hangat."
"Apabila tempat dan media tanam sudah bersih dan steril, media tanam dimasukkan ke dalam tempat penanaman yang sudah disiapkan kurang lebih sepertiga bagian pot atau tempat penanaman. Selanjutnya bibit tanaman yang akarnya sudah dibersihkan dari kotoran diletakkan di bagian tengah tempat tanam. Setelah itu pot atau tempat tanam diisi kembali dengan media tanam itu menggunakan pot, perlu disisakan sekitar tiga atau lima sentimeter dari bibir pot bagian atas untuk tidak diisi media tanam. Kemudian diberi air dengan larutan pupuk secukupnya. Anak-anak, perlu kalian ketahui bahwa perubahan yang tampak pada bibit tanaman hidroponik yang baru saja ditanam mengalami layu selama sekitar satu minggu."
"Mengapa bibit tanaman itu bisa layu, Bu Guru?" tanya seorang murid.
"Ya! Meskipun layu tanaman itu tidak mati. Layunya tanaman itu disebabkan karena belum beradaptasi dengan lingkungannya. Kedalaman air yang belum sesuai, terlalu rendah atau terlalu tinggi, sehingga akar tanaman kekeringan atau bahkan terendam dalam air. Bilamana bibit tanaman tidak terlalu besar perubahan tersebut tidak terlalu tampak.
"Bu Triwik, tanya Bu!"
"Silakan, Etik!"
"Tanaman hidroponik itu apakah juga perlu pupuk?"
"Ya! Semua tanaman perlu pemupukan, demikian pula tanaman hidroponik. Pemupukan tanaman hidroponik dapat dilakukan dengan memberikan pupuk daun setelah tanaman berumur sepuluh hari sejak penanaman. Pupuk daun yang bisa diberikan, yang kandungan unsur N-nya tinggi, dengan komposisi 2,5 cc setiap 1 liter air.
Untuk menghindari kelayuan tanaman hidroponik yang baru ditanam perlu mendapat naungan agar terlindung dari sinar matahari secara langsung. Oleh karena itu tanaman hidroponik yang baru saja ditanam sebaiknya diletakkan di tempat yang teduh dalam jangka waktu minimal satu minggu."
Sementara itu Bu Triwik memperhatikan murid-muridnya. Mereka masih tampak bersemangat menerima penjelasan yang diberikan kepadanya. "Sudah capek, anak-anak?" tanya Bu Triwik kemudian.
"Belum, Bu!" jawab anak-anak itu serentak.
"Baik, Ibu juga belum capek. Sekarang kita lanjutkan pemeliharaan atau perawatan. Setiap kali kita melakukan kegiatan bercocok tanam, pemeliharaan atau perawatan tanaman tidak dapat ditinggalkan. Begitu pula bila kita membudidayakan tanaman dengan hidroponik. Pemeliharaan atau perawatan tanaman hidroponik meliputi pemupukan, pengairan, pemangkasan, dan pengendalian hama penyakit.
Secara garis besar akan Ibu jelaskan satu-satu. Ibu mulai dari pemupukan. Pemupukan tanaman hidroponik dapat dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada masa pertumbuhan atau tahap vegetatif. Adapun tahap kedua pada tahap generatif atau tahap pembuahan."
"Bu Guru, mengapa pemupukan dilakukan bertahap?" tanya Pusparini.
Dengan sabar Bu Triwik menjawab, "Pemupukan tanaman dilakukan bertahap ini tentu ada tujuannya, Rin. Pemberian pupuk pada tahap vegetatif dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan zat hara pada tanaman dalam mengembangkan pertumbuhannya. Adapun pemupukan pada tahap kedua untuk pemberian zat hara sesuai dengan kebutuhan tanaman pada saat menjelang berbunga ataupun menjelang pembentukan buah."
"Tanya lagi, Bu!" kata Dita dengan mengacungkan jarinya.
"Ya!"
"Pemupukan tanaman hidroponik itu apakah juga ada aturannya, Bu?"
"Baik, istilah aturan dalam hal ini Ibu ganti ukuran atau dosis saja. Ukuran atau dosis pemupukan untuk semua tanaman tidak baik bilamana terlalu sedikit ataupun terlalu banyak.Untuk tanaman hidroponik secara umum dosis pemupukan yang dianjurkan adalah konsentrasi 6 gram urea 6 gram TSP, dan 9 gram ZK dicampur dengan 5 gram garam Inggris untuk setiap 20 liter air."
"Cara pemupukannya bagaimana, Bu?"
"Begini Dita, Pemupukan tanaman hidroponik dapat dilakukan pada saat penyiraman. Sekalipun demikian ada cara lain yang lebih efisien. Yaitu dengan pemberian larutan pupuk pada bak penampungan yang bervolume minimal 20 liter. Penempatan bak penampungan diletakkan di tempat yang lebih tinggi dari penempatan tanaman. Dari bak penampungan tersebut dipasang pipa untuk menyalurkannya ke dalam tempat penanaman atau pot-pot hidroponik dapat disambung dengan pipa plastik yang lebih kecil dengan sistem buka tutup atau kran. Peletakan pot hendaknya berderet dan alasnya di buat sedemikian rupa, semacam bentuk talang. Dengan dibuat demikian kelebihan cairan pupuk yang melimpah melalui lubang tempat tanam atau pot dapat dialirkan kembali ke dalam ember. Untuk selanjutnya cairan pupuk tersebut dapat dituangkan kembali ke dalam bak penampungan. Pembudidayaan tanaman hidroponik dengan cara ini dapat lebih menghemat tenaga dan pupuk."
"Kebutuhan pupuk untuk tanaman hidroponik itu berapa banyak, Bu Guru?"
"Kebutuhan pupuk untuk satu pohon tanaman yang sudah besar setiap hari membutuhkan dua liter larutan pupuk. Namun demikian limpahannya dapat dimanfaatkan kembali. Oleh karena itu pemupukan dengan bak penampung seperti yang Ibu jelaskan tadi penyediaan cairan pupuk tidak harus dua liter untuk satu pohon setiap hari, itulah sebabnya kenapa pemupukan tanaman hidroponik dengan sistem bak penampungan biasa lebih hemat."
"Bu Triwik, samakah penyiraman tanaman hidroponik dengan tanaman di lahan biasa?" tanya Tatang yang mengikuti penjelasan dengan penuh perhatian. Bu Triwik diam sebentar lalu berkata, "Ya! Pada dasarnya sama. Penyiraman tanaman hidroponik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penyiraman yang dilakukan bersamaan dengan pemberian larutan pupuk dan penyiraman yang dilakukan secara terpisah."
"Penyiraman terpisah itu maksudnya apa, Bu?" tanya seorang anak lagi.
"Yang dimaksud penyiraman terpisah itu penyiraman yang tidak mencampurkan pupuk. Penyiraman dan pemupukan dilakukan sendiri-sendiri, tidak bersamaan. Penyiraman tanaman hidroponik ini dapat dilakukan dua hari sekali."
"Airnya, Bu?"
"Air untuk menyiram tanaman hidroponik maksud, Andi?"
"Ya, Bu!"
"Penyiraman tanaman hidroponik sebaiknya menggunakan air sumur yang sehat. Apabila terpaksa harus menggunakan air ledeng atau air dari PAM, sebaiknya air tersebut diendapkan dahulu di bak atau ember selama satu malam."
"Mengapa harus diendapkan, Bu?"
"Ya, mengapa harus diendapkan? Ini pertanyaan temanmu, kalian ada yang tahu? Silakan kalian jawab!"
Mereka diam, anak-anak itu tidak menjawab. Sesaat kemudian Bu Triwik berkata lagi, "Air ledeng bila digunakan untukmenyiram tanaman hidroponik perlu diendapkan dahulu karena dikhawatirkan kandungan khlor pada air itu tinggi.Tanaman hidroponik bila disiram dengan air yang kandungan khlornya tinggi dapat menyebabkan kematian, karena akar tanaman tersebut tidak kuat."
Bu Triwik diam sebentar, mengamati murid-muridnya, mengalihkan perhatian dengan bertanya, "Masih ada pertanyaan lagi?"
Anak-anak itu tidak menjawab.
"Baiklah, kita lanjutkan. Masih tentang pemeliharaan tanaman. Disamping pemupukan dan penyiraman, pemangkasan juga perlu dilakukan dalam pekerjaan pemeliharaan tanaman."
"Apakah tanaman hidroponik juga perlu dipangkas, Bu?"
"Perlu! Pemangkasan tanaman hidroponik dapat dibedakan menjadi tiga macam. Yaitu pemangkasan ringan, pemangkasan sedang, dan pemangkasan berat. Pemangkasan ringan, pemangkasan pada ranting-ranting atau cabang-cabang yang tidak produktif. Pemangkasan sedang, pemangkasan pada ujung-ujung cabang atau pada cabang-cabang yang rusak. Adapun yang dimaksud pemangkasan berat adalah pemangkasan yang dilakukan untuk meremajakan tanaman yang sudah tua. Pemangkasan berat ini juga dilakukan untuk memperpendek pohon."
"Mengapa pemeliharan tanaman perlu dengan pemangkasan segala dan apa kegunaannya?"
"Langsung Ibu jawab saja, pemeliharaan tanaman dengan pemangkasan agar tanaman cepat berproduksi. Bilamana tanaman yang dipangkas itu tanaman bunga agar cepat berbunga dan apabila tanaman buah supaya cepat berbuah. Dengan pemangkasan bisa membentuk pertumbuhan tanaman menjadi kompak dan serasi. Pemangkasan yang baik dilakukan secara teratur."
Sementara itu Bu Triwik masih memberikan penjelasan, tiba-tiba Totok memotong pembicaraan dengan pertanyaan, "Pemangkasan tanaman hidroponik, sebaiknya yang dipangkas bagian mana saja ya, Bu?"
"O, ya! Bagian-bagian tanaman yang perlu dipangkas, antara lain cabang yang lurus ke atas, cabang yang tidak beraturan, dahan atau cabang yang tidak sehat, dahan atau cabang yang mati, dahan yang terbelah atau patah, dan dahan yang bersentuhan dengan dahan lain yang menimbulkan luka. Dalam yang mati itu pun juga perlu dipangkas."
"Pemangkasan disamping untuk keindahan juga untuk pencegahan masuknya bibit penyakit. Pemangkasan yang dilakukan pada tunas yang tumbuh ke atas atau tunas air dan cabang-cabang yang tumbuh tidak beraturan untuk mengurangi pemborosan zat-zat makanan. Oleh karena tuntas dan dahan seperti itu tidak produktif dan akan mengurangi suplai zat-zat makanan ke bagian tanaman. Dengan pemangkasan dapat untuk mempertahankan bentuk, keindahan dan ketinggian tanaman.
"Berikutnya kita lanjutkan pengendalian atau penanggulangan hama penyakit," kata Bu Triwik meneruskan penjelasannya.
"Bu Guru, kata Ibu tanaman hidroponik itu lebih bebas dari serangan hama penyakit?"
"Betul, Etik...! Sekalipun tanaman hidroponik lebih terjamin bebas dari serangan hama penyakit, bukan berarti kebal sama sekali. Kemungkina timbulnya serangan hama penyakit sewaktu-waktu perlu juga diwaspadai. Hama yang sering menyerang tanaman hidroponik antara lain ulat, kutu, dan belalang. Kalau yang dihidroponikkan itu tanaman buah, hama lalat buah pun seringkali menyerangnya. Penanggulangan yang paling mudah yaitu dengan pengamatan secara dini dan menjaga kebersihan di sekitar tanaman."
"Tanaman yang terserang hama dalam stadium dini dapat diatasi dengan mematikan langsung hama yang menyerangnya. Kecuali, kalau serangan hama tersebut sudah parah. Tanaman yang sudah terlanjur parah terserang oleh hama penyakit sebaiknya bagian yang terserang dipotong dan dimusnahkan. Apabila terpaksa tidak bisa diatasi, jalan terakhir dengan menggunakan pestisida. Penggunaaan pestisida ini harus sesuai dengan dosis yang dianjurkan."
"Bu Triwik, tanaman juga mempunyai penyakit seperti manusia. Penyakit yang sering menyerang tanaman itu disebabkan oleh apa, Bu?"
"Itulah sebabnya, Tantangan! Dalam kegiatan bercocoktanam memerlukan pemeliharaan atau perawatan. Pada umumnya penyakit yang sering menyerang tanaman itu cendawan. Cendawan kerap kali menyerang di seluruh bagian tanaman, cabang, pucuk, maupun daun. Bilamana tanaman terserang oleh penyakit ini, lebih baik bagian tersebut dipangkas kemudian dibakar."
"Apakah cendawan yang menyerang tanaman itu tidak bisa diberantas dengan obat, Bu?" tanya seorang murid lagi.
"O......, bisa! Penanggulangan serangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan dapat pula diatasi dengan penyemprotan obat atau pemberantasan penyakit secara kimiawi. Obat yang biasa untuk memberantas cendawan disebut fungisida. Seperti halnya pestisida, penggunaan fungisida ini pun hendaknya sesuai dosis."
Setelah selesai memberikan pelajaran, Bu Triwik menatap wajah murid-muridnya. Wajah-wajah mereka tampak berseri-seri menyiratkan kegembiraan dan semangat belajar tinggi. Bu Triwik lega seketika dalam hati.
Sesaat kemudian Bu Triwik berkata lagi kepada mereka, "Anak-anak, penjelasan pembudiyaan tanaman hidroponik Ibu cukupkan sekian, ya? Kalian minggu depan tinggal praktek. Bilamana kalian dalam praktek nanti ada kesulitan, Ibu siap membantu. Sudah tidak ada pernyataan lagi, bukan?"
"Ada, Bu!" kata Pusparini, "Prakteknya nanti secara kelompok atau sendiri-sendiri, Bu?"
"Baik! Begini Pusparini dan juga kalian semua. Ibu punya rencana ekstrakurikuler kita ini tidak hanya sekadar praktek." Tetapi sungguhan! Maksud Ibu, budidaya tanaman hidroponik yang akan anak-anak praktekkan nanti diharapkan sungguh-sungguh tampak hasilnya. Untuk itu tanaman hidroponik kalian nanti dititipkan saja di kebun bunga atau di toko bunga Ibu. Di sana banyak pembeli yang mencari berbagai jenis tanaman. Ibu akan menyediakan tempat khusus untuk hasil karya kalian."
"Jadi, hasil praktek tanaman hidroponik kami nanti akan dijual ya, Bu?"
"Asik......!" sambut anak-anak itu.
"Jika tanaman hidroponik kalian laku terjual, kalian kelola untuk keperluan kalian sendiri. Siapa tahu pada akhir tahun pelajaran anak-anak berkeinginan piknik, mengadakan perpisahan, atau ingin mengadakan acara apa sajalah yang memerlukan biaya. Kalian tidak perlu merepotkan orangtua. Lebih puas rasanya bila segala sesuatu itu kita dapat mencukupinya sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Senang tidak bila anak-anak sungguh bisa begitu?"
"Senang, Bu!" jawab mereka bersama-sama.
"Nah, untuk melatih mandiri seperti itu, salah satu cara yang akan kita coba budidaya tanaman hidroponik seperti yang kita lakukan sekarang ini. Berkaitan dengan praktik kalian nanti dan sekaligus menjawab pertanyaan Pusparini tadi, untuk pertama kali ini anak-anak mengerjakannya secara berkelompok."
"Setiap kelompok berapa anak, Bu?"
"Maksimal dua anak! Bilamana tanaman hidroponik kalian sudah jadi, pengangkutan dan pengaturannya di sana dapat dipikirkan nanti."
"Kalau tanaman hidroponik kami tidak laku terjual terus bagaimana, Bu?"
"Anak-anak tidak usah memikirkan masalah laku tidaknya.Ibu akan membantu. Jika terpaksa tanaman hidroponik kalian tidak laku, Ibu yang akan membelinya sendiri dengan harga wajar, seperti harga pasar."
"Terima kasih!" sambut anak-anak itu serentak penuh harapan.
Cukup lama anak-anak yang mengikuti pelajaran ekstrakurikuler Keterampilan Pertanian itu bertanya jawab dengan ibu gurunya, Bu Triwik.
Hari sudah sore, pelajaran yang diberikan Bu Triwik pun sudah selesai. Anak-anak berhamburan dari ruang keterampilan, kembali pulang. Di tengah perjalanan Pamulatsih tidak melewatkan bunga-bunga itu dipandangi sepuas-puasnya, mengingatkan Pamulatsih akan makna puasnya, mengingatkan Pamulatsih akan makna suatu kehidupan. Memberikan harapan seperti yang diberikan Bu Triwik kepada dirinya.
4. Bertamu
Sudah menjadi kebiasaan, selepas senja ibu Pamulatsih tidak berada di rumah, Ia berjualan makanan kecil gorengan di perempatan jalan tengah desa. Sepulang mengikuti pelajaran ekstrakulikuler, Pamulatsih memberitahukan maksud baik Bu Triwik pertama kali kepada ayahnya. Hari itu kebetulan ayah Pamulatsih tidak ikut berjualan membantu ibunya.
"Yah, Bu Triwik tadi memanggil aku."
"Kamu berbuat salah, ya?"
"Sebentar, Yah! Menolong itu kan tidak hanya untuk yang sakit. Bu Triwik menawari aku untuk berlatih mandiri."
"Berlatih mandiri apa, Sih? ayah semakin tidak tahu!"
"Itu lho, Yah! Bu Triwik selain guru yang disegani dan disenangi murid-muridnya, beliau juga seorang ibu pengusaha yang berhasil."
"Pengusaha?"
"Ya, Ayah! Bu Triwik pengusaha bunga. Beliau mempunyai toko bunga dan kebun bunga luas. Karyawannya juga banyak."
"Pamulatsih diterima kerja di toko bunga Bu Triwik begitu?"
"Bukan kerja, Yah! Bu Triwik kalau hanya mau mencari karyawan, pelamarnya sudah banyak. Sungguh, beliau mau menolong kita. Kata Bu Triwik, di sana aku bisa berlatih membuat bibit tanaman, berkebun bunga, menanam bunga dalam pot, membudidayakan tanaman hidroponik, membuat pupuk, memasarkan, dan mengelolanya."
"Tetapi, Pamulatsih harus ikut Bu Triwik?"
"Ya, Yah!"
"Sampai berapa lama?"
"Berapa lama, ya! Bu Triwik bilang, sampai aku kuliah pun boleh jadi ayah tidak usah ikut memikirkan biayanya."
"Bu Triwik yang mau membiayai?"
"Ya! Untuk itulah aku bilang Ayah."
"Jadi....., Pamulatsih mau?"
"Ya, tergantung Ayah, mengizinkan apa tidak!"
"Ayah tidak melarang kalau kamu sudah memikirkan masak-masak."
"Boleh ya, Yah?"
"Ayah tidak melarang, asal kamu sungguh-sungguh sudah mantap."
"Asyik.....! O, ya! Bu Triwik mau datang ke sini lho, Yah!'
"Kapan?"
"Sewaktu-waktu, Bu Triwik mau datang ke sini lho, Yah!"
"Kapan?"
"Sewaktu-waktu, Bu Triwik akan memberi tahu."
"Ada perlu?"
"Ada! Katanya, Bu Triwik ingin bertemu Ayah."
"Kebetulan kalau Bu Triwik mau datang ke sini. Ayah nanti bisa bicara banyak menanyakan masalahmu itu, Sih."
Dua minggu kemudian, Bu Triwik memastikan waktu rencana kedatangannya ke rumah Pamulatsih. Seperti yang telah dijanjikan, Bu Triwik memberi tahu dahulu kepada Pamulatsih. Keberangkatan Bu Triwik dari rumah menjelang tengah hari bersama putrinya, Ita dengan mengendarai mobil. Stir dipercayakan kepada Ita. Bu Triwik lebih leluasa menikmati keindahan pemandangan.
Dari bawah pohon tampak beberapa anak mandi di sungai berair jernih, berenang-berenang dengan bermain air. Tidak jauh dari tempat anak-anak mandi ada tiga orang lelaki berkulit hitam legam sibuk mengeruk-ngeruk pasir dari dasar sungai. Dengan tenaga-tenaga perkasa lelaki kekar itu mengusung pasir yang baru dikeruknya ke bantaran, Bilamana pasir sudah menumpuk, mereka mengusungnya lagi untuk ditimbun di tepi jalan. Bu Triwik kagum menyaksikan kegigihan dan keuletan tiga lekaki yang bermatapencarian sebagai penambang pasir di sungai itu. Demikian pula Ita, putri Bu Triwik tertegun mengamati ibu-ibu setengah baya yang dengan tangan-tangan perkasa pula tidak kenal waktu bergulat dengan lumpur. Mereka tampak tahan lelah sehari penuh menancapkan bibit-bibit padi di hamparan sawah. Sekalipun tidak berlindung dari bakaran terik sinar matahari, mereka tegar benar, tidak pernah berkeluh kesah.
Setelah hamparan sawah, tatapan mata Bu Triwik pindah ke tempat lain, sebuah aliran air anak sungai yang jatuh dari ketinggian tebing yang terjal. Buih-buih putih yang berpercikan dari air terjun tersebut merupakan pemandangan yang indah. Bunyi air terjun jatuhan dari anak sungai itu menggema terdengar dari jauh. Sesaat kemudian ia dibuat cemas oleh jeritan anak-anak yang mandi di sungai tidak jauh dari tempat duduknya. Kecemasannya semakin menjadi-jadi, banyak orang berlarian, berdatangan, berkerumunan di seberang tepi sungai. Orang-orang yang berdatangan, mereka yang sedang bekerja di sawah. Mereka berteriak-teriak dengan tangan menunjuk-nunjuk sungai, "Tolong, tolong, tolong! Anak anak tenggelam, ada anak tenggelam, anak tenggelam! Tolong...!
Bu Triwik secepat kilat menatap sungai tempat berkerumunan orang-orang itu. Di tengah sungai terlihat seorang anak dipermainkan arus, bergulat melawan maut. Sebentar-sebentar ia timbul tenggelam menggapaikan tangannya, tetapi tidak seorang pun yang berani menolongnya. Kadang-kadang anak itu tenggelam tidak tampak di permukaan sungai. Mereka yang berkerumun di tepi sungai mengira ia sudah binasa ditelan arus, tidak bisa diselamatkan. Kemudian anak itu menggapai-nggapaikan tangannya kembali, hilang tidak terlihat, timbul, bergerak, dan diam tampak kehabisan tenaga. Kedua matanya agak membelalak putih. Kulitnya berubah pucat, kadang-kadang kepalanya terlihat tersembul-sembul.
Orang-orang yang berkerumunan mulai meratap dan menangis. Mereka hanya saling melihat, kalau-kalau ada yang berani terjun ke sungai menolong menyelamatkannya dari pergulatan maut. Ketika mereka tercekam kecemasan yang demikian, ada seorang laki-laki berlari kencang. Ia mendorong beberapa orang dan dengan lengannya yang kuat ia menyibak kerumunan orang-orang yang meratap itu. Tanpa berkata-kata dengan tenaganya yang kuat ia meluncur melalui tengah-tengah mereka. Ia terjun ke sungai, menyelam di tempat anak itu tenggelam. Untuk beberapa saat ia tidak tampak. Orang-orang yang berkerumun semakin cemas. Mereka khawatir lelaki itu ikut menjadi korban.
Sementara mereka dalam ketegangan, air tengah sungai mulai tersibak. Lelaki tadi menyembul dengan memegangi seorang anak yang sudah terkulai lemas. Semua pandangan tertuju kepada lelaki yang sedang berenang menuju ke tepi sungai sambil memegangi korban. Orang-orang yang berada di tempat itu lega dan bergirangan karena korban telah berhasil ditolong. Mereka mengagumi keberanian lelaki itu. Bu Triwik yang ikut menyaksikan, mengenalnya lelaki itu seorang penambang pasir yang dilihatnya tadi.
Tubuh anak yang terkulai tidak berdaya itu diangkat sendiri oleh penolongnya dibawa ke tempat aman. Kemudian posisi kepala diletakkan agak ke bawah dan pada bagian perut anak itu sedikit ditekan-tekan. Orang-orang yang mengerumuni mundur beberapa langkah, memberi tempat agar lelaki penolong itu lebih leluasa geraknya. Mereka pun tahu maksud tindakan yang lelaki yang dikaguminya itu, agar air dalam perut korban dapat keluar. Tidak berapa lama air menyembur dari mulut, dan perut anak itu tampak longgar tidak menggembung.
Orang-orang yang berkerumun melihat dengan terbengong-bengong. Satu pun tak ada sendiri. Dengan terampil dan cekatan ia membuat pernapasan pada diri korban.
Mula-mula lelaki itu menempatkan korban dalam posisi terbaring. Kemudian diamatinya benda asing. Lelaki itu tampak yakin di dalam mulut korban bersih tidak ada sesuatu. Ia angkat pundaknya dengan sebelah tangan, sementara tangan satunya menaikturunkan kepala korban. Dalam memberikan pernapasan buatan, lelaki itu selalu membuka mulut korban agar memudahkan terjadinya pernapasan. Ditariknya pula dagu korban ke atas dengan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kepala bagian belakang supaya napas korban bisa lebih lancar.
Sekalipun lelaki penolong telah bersusah payah memberikan pernapasan, kondisi korban masih mengkhawatirkan. Anak yang tergeletak tidak berdaya itu napasnya sangat lemah. Dengan tidak canggung-canggung mulut korban diisapnya. Bersamaan itu pula hidung korban ditutup dengan kedua jarinya. Begitulah, kadang-kadang ia lakukan kebalikannya, mengisap hidung korban dan menutup mulutnya. Sebentar-sebentar dilepaskan isapannya agar terjadi pernapasan. Dari gerakan yang dilakukan oleh lelaki itu, tampak bahwa ia seorang yang berpengalaman dalam memberikan pertolong korban tenggelam.
Setelah lelaki penolong memberikan pernapasan buatan berkali-kali tampak pula hasilnya. Anak korban tenggelam di sungai itu mulai ada tanda-tanda akan siuman. Napasnya berangsur-angsur lancar dan normal kembali. Matanya sedikit terpejam meskipun badannya belum mampu bergerak. Seketika itu orang-orang yang berkerumun merasa lega dan girang menyaksikannya.
Sekalipun Bu Triwik menyaksikan peristiwa itu sejak awal, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia tertegun. Badannya gemetar, dan tidak bisa berpikir apa yang harus dilakukannya. Dalam kekalutan pikiran yang demikian Bu Triwik masih sempat menyiapkan mobilnya bilamana diperlukan untuk membawa korban ke rumah sakit.
Belum hilang rasa gemetarnya, tiba-tiba Bu Triwik dikagetkan lagi oleh peristiwa lain yang membuat seperti jantungnya lepas. Seorang bapak-bapak dengan sikap tidak bersahabat datang marah-marah tanpa menanyakan sebab musababnya. Ia mengancam lelaki penolong yang masih sibuk mengupayakan keselamatan anak yang tenggelam di sungai itu. Ia mengira pertolongan yang diberikan akan mencelakakan anaknya. Ia memegangi tangan lelaki itu dengan maksud akan menyeretnya ke dalam sungai. Akan tetapi, tenaga lelaki itu lebih kuat dan dapat lepas. Lelaki itu diumpat-umpat dan dipukul, untung dapat dihindari. Meskipun tenaga lelaki itu lebih kuat dan badannya lebih tegap, ia tidak membalas. Setiap kali mendapat serangan ia mengamankan dirinya dengan menghindar.
Belum puas dengan mengumpat dan memukul, bapak yang seperti kesetanan itu kemudian mengambil batu sebesar kepalan akan digunakan untuk melempar. Orang-orang yang melihat menjerit-jerit. Dengan cepat lelaki itu berhasil menghindar. Batu yang dilemparkan tidak mengenai sasaran. Kemudian lelaki itu berkata, "Tolonglah anakmu itu dulu. Setelah itu lemparlah aku sepuasmu!" Dari perkataan dan perbuatannya tampak kebaikan lelaki itu.
Bapak yang meluapkan amarahnya itupun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia menggendong anaknya yang masih lemas, lalu ia pergi. Bersamaan dengan kepergiannya, menghilang pula lelaki yang diancam dan diumpat-umpat itu dari kerumunan orang banyak. Begitu pula mereka yang berkerumun di tepi sungai pergi sendiri-sendiri. Di sekitar sungai yang hampir menelan korban sepi kembali.
Peristiwa itu berlalu begitu cepat. Bu Triwik tetap duduk di bawah pohon, serasa tidak dapat beranjak. Dadanya berdebar-debar. Badannya terasa gemetar, dan kakinya terasa tidak kuat menahan tubuhnya untuk berdiri. Ita mengkhawatirkan keadaan ibunya.
Di rumah Pamulatsih menunggu-nunggu kedatangan Bu Triwik yang telah berjanji akan datang. Ayahnya pun pulang kerja dengan tergesa-gesa, khawatir jangan-jangan kedahuluan tamunya. Seperti biasanya sesampainya di rumah ayah Pamulatsih duduk berbincang-bincang di belakang. Hingga cukup lama Bu Triwik pun belum datang. Mereka agak gelisah menunggu-nunggu.
"Bu Triwik mungkin tidak jadi datang, Sih!"
"Bu Triwik itu orang disiplin, Yah! Biasanya kalau ada apa-apa di sekolah Bu Triwik memberi tahu. Entah kalau ada acara mendadak!"
"Ah, barangkali belum waktunya saja! Bu Triwik masih di perjalanan, siapa tahu malah nanti sore!" kata ibu Pamulatsih pula.
Pada waktu ayah ibu Pamulatsih gelisah menunggu-nunggu kedatangan Bu Triwik, tiba-tiba terdengar ketukan pintu bersuara lemah. Percakapan mereka terhenti. Ayah Pamulatsih beranjak dari tempat duduknya, cepat-cepat lari menuju pintu. Pintu segera dibuka, Bu Triwik dan putrinya sudah berdiri di depannya. Setelah menyampaikan salam Bu Triwik berkata, "Maaf Pak, apakan betul di sini rumah Pamulatsih?"
"Betul, Bu! Ibu, Bu Triwik?"
"Ya, Pak! Saya gurunya Pamulatsih!"
"Mari, Bu! Mari, Bu....., silakan duduk! Ibu kami tunggu-tunggu!"
"Maaf, Pak. Saya agak lama!"
Ibu Pamulatsih lekas-lekas menyambut dan mengenalkan diri pada tamunya. Pamulatsih yang berada di belakang lari-lari menemui Bu Triwik. Ia berkenalan pula dengan putri Bu Triwik. Mulai perkenalan itu pergaulan mereka menjadi akrab. Ayah ibu Pamulatsih dengan tamunya, Bu Triwik pun kemudian larut dalam perbincangan ramah.
Bu Triwik sejak bertemu ayah Pamulatsih di depan pintu selalu bertanya-tanya dalam hatinya, "Tidakkah orang ini yang menolong anak tenggelam di sungai tadi?" Bu Triwik berpikir sebentar, "Ah, barangkali dia hanya mirip wajah saja!" Pertanyaannya disanggah sendiri. Daripada dalam hati selalu timbul tanda tanya terus, Bu Triwik memberanikan diri untuk menanyakan langsung kepada ayah Pamulatsih.
"Maaf Pak, bila tidak salah lihat! Waktu saya di perjalanan tadi, ada orang ribut-ribut di tepi sungai. Salah seorang dari mereka mirip benar dengan Bapak!"
"Ibu tahu?"
"Ya, Pak! Saya melihat sendiri dari bawah pohon."
"Sudah........., tidak perlu saya katakan lagi, Bu! Begitulah ceritanya. Ibu benar, tadi saya!"
"Wah, mengerikan! Kok bisa begitu, ya! Saya kagum dengan kebaikan hati dan kesabaran Bapak."
"Ya, begitulah kalau nasib baru sial. Maksud saya mau menolong, tetapi dikira..... Sebenarnya saya malu lho, Bu! Ribut-ribut dilihat orang seperti itu."
"Untung sekali ada Bapak. Kalau tidak, bisa-bisa anak itu tidak tertolong!"
"Hampir saja, saya terlambat Bu!"
"Bersyukurlah Pak, Tuhan masih melindungi!"
"Ya, Bu! Semoga anak tadi tidak terjadi apa-apa. Dia belum baik benar kondisi badannya."
"Begini, Pak! Kedatangan saya ini barangkali Pamulatsih sudah memberi tahu Bapak sebelumnya."
"Sudah, Bu! Pamualatsih sering kali menceritakan Ibu. Ya, begitulah kalau dia sudah membicarakan Bu Triwik, apalagi bila dengan teman-temannya. Katanya, Bu Triwik disiplin, baik hati, penuh pengertian, suka membantu murid-muridnya yang sedang mengalami kesulitan. Sudah...., pokoknya Bu Triwik menjadi idola dan disenangi mereka!"
"Ah, Bapak ini! Saya hanya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa kok, Pak!"
"Ibu merendah, murid- murid Ibu nyatanya mengatakan begitu. O, ya! Pamulatsih pernah bilang, Bu Triwik memberikan perhatian khusus buatnya begitu, bu!"
"Ya, karena itulah, Pak! saya diantar anak saya ini, menyempatkan datang ke rumah Bapak. Sekalian berhari Minggu, sambil rekreasi bisa bertemu Bapak Ibu di sini. Sedikit ada yang perlu kita bicarakan, Pak!"
Terima kasih, Bu! Kami memang menunggu kedatangan Ibu."
"Ya, apa yang diceritakan Pamulatsih kepada bapak itu memang benar! Saya dekati dia karena akhir-akhir ini seperti patah semangat, Pak! Pernah suatu kali saya nasihati untuk membesarkan hatinya. Pamulatsih ternyata pesimis dengan dirinya sendiri. Pamulatsih itu anak baik, Pak! Dia rajin, pandai, berperasaan, dan dia juga anak yang tahu keadaan orang tua."
"Memang betul, Bu! Sejak saya diberhentikan dari kerja sekitar setahun yang lalu, Pamulatsih banyak diam. Dia sekarang menjadi pesimis, mungkin karena tahu kini pekerjaan ayahnya sudah tidak bisa diandalkan lagi."
"Makanya, Pak! Pamulatsih pernah mengatakan, bahwa cita-citanya telas kandas. Padahal, walau dalam keadaan bagaimanapun kita kan harus berusaha. Ya, mungkin karena rasa kecewanya saja, Pak!" kata Bu Triwik.
"Saya juga selalu menasihati, Bu! Tugas Pamulatsih yang pokok adalah belajar."
"Baik! Bapak sudah bijaksana. Saya sebagai wali kesal Pamulatsih juga berupaya membangkitkan semangat Pamulatsih kembali dengan mendekati dan memperhatikannya, Pak."
"Terima kasih sekali, Bu!"
"Sama-sama, Pak! Kita upayakan bernama. Untuk menguatkan hati Pamulatsih, sampai pula saya saya ceritakan pengalaman saya waktu mengatasi kesulitan hidup dahulu. Saya juga mempunyai pengalaman hidup yang amat susah lho, Pak!"
"Ah, Ibu itu!"
"Benar, Pak! Pengalaman hidup saya itu, saya ceritakan apa adanya kepada Pamulatsih. Waktu di SMP dahulu saya pernah mencari biaya sekolah sendiri dengan menanam bunga di pot. Mula-mula yang membeli hanya tetangga. E..., tidak tahunya lama-lama bertambah banyak juga. Dengan menanam bunga, saya bisa menamatkan sekolah sampai perguruan tinggi. Begitu pula setelah dikembangkan terus, meskipun hanya bunga namun dapat menopang kehidupan ekonomi keluarga. Berkebun bunga ini hingga sekarang tidak saya tinggalkan, Pak!"
"Ibu masih mengajar?"
"Masih, Pak! Orang tua saya dahulu juga guru. Mengajar sudah menjadi bagian dari hidup saya. Saya sangat senang bergaul dengan anak-anak. Dari mereka murid-murid itulah saya mendapatkan hiburan, Pak."
Perkataan Bu Triwik agak tersendat. Ada sesuatu yang akan di sampaikan tetapi agak ragu. Bu Triwik diam sebentar kemudian berkata lagi, "Sebenarnya ada sesuatu yang akan saya sampaikan kepada Bapak dan Ibu."
"Silakan, Bu!"
"Kalau Bapak Ibu mengizinkan, Pamulatsih akan saya ajak untuk berlatih mandiri berkebun bunga dan mengelola pemasaran saya, Pak!"
"Di mana, Bu?" tanya ibu Pamulatsih ingin tahu.
"Ikut saya, Bu! Untuk sementara Pamulatsih berpisah dengan ayah ibu."
"Tetapi, anak itu belum bisa bekerja!"
"Maaf, Bu! Pamulatsih nanti tidak semata-mata hanya bekerja. Masalah pekerjaan sudah ada yang menangani. Yang penting Pamulatsih bis mencari pengalaman cara-cara membuat bibit tanaman, membudidayakan tanaman di pot, membuat tanaman hidroponik, membuat pupuk organik, dan apa sajalah nanti yang bisa dilakukan."
Mendengar keterangan Bu Triwik, ibu Pamulatsih diam, sedangkan ayahnya hanya memandanginya. Kedua orang tua Pamulatsih itu tampak ada selisih pendapat. Bu Triwik menduga-duga perasaan mereka lalu berkata, "Maaf, maksud saya ingin mengajak Pamulatsih kalau Bapak Ibu mengizinkan."
"Saya sebagai ayahnya Bu, asal Pamulatsih mau saja saya tidak keberatan. Rencana Bu Triwik ini bagus sekali. Jarang ada seorang guru yang memperhatikan muridnya seperti itu." kata ayah Pamulatsih, "Bagaimana Bu?" tanyanya kemudian.
Ibu Pamulatsih meskipun mendengar pertanyaan itu tidak menjawab. Ia diam merenung. "Kasihan Pamulatsih, Bu! Beberapa hari ini ia selalu bercerita tentang maksud baik Bu Triwik. Dia sudah bangkit lagi semangatnya dengan rencana Bu Triwik ini. Dia selalu menunggu kedatangan Bu Triwik. Bagaimana perasaan Pamulatsih nanti, Dia sudah mengharapkan seperti itu tiba-tiba tidak jadi!" ayah Pamulatsih memberikan pandangan kepada istrinya.
Dengan suara berat dan terpatah-patah ibu Pamulatsih mengungkapkan perasaannya, "Sebenarnya, aku belum siap ditinggal Pamulatsih, Pak! Anak dua saja, yang satu dititipkan."
"Masalahnya kita tidak hanya menuruti perasaan seperti Ibu. Tidak ada satu pun orang tua yang senang ditinggal anaknya. Tetapi, bila seorang anak sudah dewasa walau bagaimanapun akan berpisah dengan orang tuanya. Yang Ibu pikirkan sekarang sebaiknya pendidikan dan masa depannya. Bukan malah menuruti perasaan Ibu. Kasihan Bu Triwik, hargailah! Jauh-jauh bersedia datang ke sini ikut memikirkannya, justru ibunya sendiri......"
Sudah Pak, sudah....., saya memahami hati seorang ibu yang berpisah dengan anak. Betapa berat ketika dipisahkan dengan buah hati. Sekali lagi saya minta maaf atas rencana ini, yang telah membuat susah Ibu. Ibu masih memerlukan waktu untuk memberikan keputusan ini. Ibu belum bisa dimintai keputusannya sekarang, Pak!" kata Bu Triwik setengah menasihati ayah ibu Pamulatsih.
"Maaf, Bu! Lain kali mungkin saya baru bisa memberi keputusan rencana Ibu ini. Bisa kan Bu?!"
"Mengapa tidak bisa? Sudah saya katakan tadi, dalam suasana hati seorang ibu yang seperti itu sulit rasanya memberikan suatu keputusan dengan hati jernih. Rencana ini tidak harus dilaksanakan sekarang, sewaktu-waktu pun tidak menjadi masalah. Selain rencana ini, bila bapak bersedia bisa mengirimkan bibit bunga dan pupuk organik ke toko. Saya butuh tenaga, Pak!"
Ayah Pamulatsih menyambut gembira tawaran Bu Triwik yang memberikan harapan itu. Sepulang Bu Triwik, ayah Pamulatsih khawatir kalau-kalau istrinya mengecewakan tamunya. Tetapi, hati kecilnya berbicara, orang sebaik Bu Triwik saya kira tidak mudah sakit hati.
Kamus Kecil
Abate : serbuk pembasmi jentik-jentik nyamuk.
Bantaran : jalur tanah pada kanan dan kiri sungai (antara sungai dan tanggul).
Dengue : penyakit yang datangnya mendadak dan cepat menular, disebabkan oleh virus cepat menular, disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti.
Efisien : berdaya guna; tepat guna.
Ekstrakurikuler : berada di luar program yang tertulis di dalam kurikulum.
Epidermis : jaringan terluar dari tubuh makhluk.
Floem : jaringan pembuluh tapis yang berfungsi mengangkat zat makanan dari daun ke bagian tumbuhan lainnya.
Fotosintesis : pemanfaatan energi cahaya matahari oleh tumbuhan berhijau daun atau bakteri untuk mengubah karbondioksida dan air menjadi karbohidrat.
Fungisida : zat kimia yang dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan cendawan.
Hara : zat yang diperlukan tumbuh-tumbuhan untuk pertumbuhan.
Hidroponik: cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah.
Invertebrata : binatang yang tidak bertulang belakang; bukan vertebrata.
Kelalap : tenggelam; tergenang air.
Komposisi : susunan; tata susunan.
Kontaminasi : pengotoran; pencemaran.
Mensterilkan : membersihkan dari kuman atau mikroorganisme.
Okulasi : cara meningkatkan mutu tumbuhan, dengan jalan menempelkan sepotong kulit yang bermata dari batang atas pada suatu irisan pada kulit pohon lain dari batang bawah sehingga tumbuh bersatu menjadi tanaman baru.
Pasien : orang sakit; penderita sakit.
Perlit : gelas vulkanis.
Pesimis : orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik.
Pestisida : obat pembasmi hama.
pH : kadar keasaman.
PHK : (akronim) pumutusan hubungan kerja.
Referensi : sumber acuan (rujuan, petunjuk)
Sekam : kulit padi.
Siklus : putaran waktu yang di dalamnya terdapat rangkaian kejadian yang berulang-ulang secara tetap dan teratur.
Tapis : penyaring.
Tersumbul : menyumbul; keluar dari permukaan air.
Virologi : ilmu tentang seluk beluk kehidupan virus.
Zilem : jaringan pembuluh pada tumbuhan tinggi yang mengantarkan air dan garam-garam mineral yang diserap akar ke seluruh bagian tanaman.
Zeolit : salah satu dari kelas silikat-silikat natural atau sintesis.
Daftar Pustaka
Ichsan, MPH, Drs., Muchsin, MPH. Drs. 1979. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ijod Sirodjudin, Drs., Arsyad Siddik, Drs. 1987. Keterampilan Sub Bidang Studi Pertanian. Bandung: CV. Rosda.
Nur Tjahjadi, Ir. 1996. Hama dan Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Kanisius.
Nuryani Rustaman., Sri Redjeki. 1995. Biologi 1, 2, 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedijanto, Ir., Hadmadi, Ir. 1982. Pupuk Kandang Hijau Kompos. Jakarta: PT Bumi Restu.
Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Yamdianto, Drs. 1991. Bercocok Tanam Dalam Pot. Bandung: M2S.
Daftar Bacaan:
"Demam Berdarah Dapat Dicegah Dengan Memberantas Jentik-Jentik Nyamuknya." Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Majalah Trubus: Jakarta.
Surat Kabar Harian, Kedaulatan Rakyat: Yogyakarta.
Surat Kabar Mingguan, Minggu Pagi: Yogyakarta.
Karya: Trijoto