Budi duduk di depan rumahnya, ya sedang baca buku Bahasa Indonesia yang ada cerita cerpen dengan judul 'Si Kabayan', ya sambil menikmati makan gorengan dan juga minum teh gelas lah.
Isi cerita cerpen yang di baca Budi :
Alkisah, zaman dahulu hidup seorang lelaki di tanah Pasundan atau sekarang Jawa Barat, bernama Kabayan. Si Kabayan terkenal sangat pemalas, bodoh, tapi anehnya banyak akal. Akal bulusnya sering ia gunakan untuk mendukung sifat malasnya. Si Kabayan telah memiliki istri bernama Nyi Iteung. Mertua Kabayan sudah sangat kesal dengan sifat menantunya. Ia sering memarahi menantunya tapi Si Kabayan selalu saja punya akal bulus dalam menghadapi mertuanya.
Pada suatu hari Si Kabayan di suruh oleh mertuanya untuk mengambil tutut di sawah. Tutut adalah sejenis siput-siput kecil di sawah. Biasa tutut-tutut sawah di masak menggunakan bumbu-bumbu dengan cara di rebus. Si Kabayan menuruti perintah mertuanya untuk mencari tutut di sawah. Ia pergi ke sawah tapi malas-malasan.
Setibanya di sawah, Si Kabayan bukannya mencari tutut tapi malah duduk-duduk santai di pematang sawah. Mertua Kabayan lama menunggu di rumah tapi Si Kabayan tak juga kunjung datang. Akhirnya mertua Kabayan menyusul ke sawah. Sesampainya di sawah, mertua Kabayan marah bukan main. Ia mendapati menantunya tengah duduk-duduk santai di pematang sawah.
“Hai Kabayan! Aku suruh mencari tutut tapi engkau malah enak duduk-duduk. Dasar pemalas!” teriak mertuanya.
“Aduh Abah, aku takut mau turun ke sawah, soalnya sangat dalam. Coba lihat Abah! Saking dalamnya, langit sampai terlihat di air sawah.” kata Kabayan beralasan.
Karena kesal melihat kemalasan menantunya, Mertua Si Kabayan kemudian mendorong tubuh menantunya hingga terjatuh ke sawah. Si Kabayan terjatuh ke sawah sambil tersenyum-senyum.
“Aduh Abah, tenyata sawahnya dangkal ya.”
Ia kemudian mengambil siput-siput kecil di sawah. Suatu ketika Si Kabayan sakit. Ia menderita sakit pilek dan batuk. Selama seharian Si Kabayan hanya meringkuk di dalam kamarnya. Pada malam sebelumnya Si Kabayan memang kehujanan sepulang dari rumah Pak RT. Nyi Iteung merasa kuatir melihat kondisi Kabayan. Nyi Iteung lalu mengajak Kabayan pergi ke Puskesmas. Singkat cerita, Kabayan diantar Nyi Iteung pergi ke Puskesmas dekat rumahnya.
Pak Mantri dengan ramah kemudian memeriksa Kabayan. Ia mengatakan bahwa Kabayan hanya sakit pilek dan batuk biasa.
“Kang Kabayan hanya sakit pilek biasa. Ini saya beri 2 macam obat. Asalkan makan cukup, minum obat sesuai resep dan beristirahat, Kang Kabayan akan segera sembuh.” kata Pak Mantri.
Pulang dari Puskesmas, Kabayan merasa yakin bahwa sakitnya akan segera sembuh. Pak Mantri, memberinya 2 macam obat yang harus di minum, yaitu obat pilek dan obat batuk. Sesampainya di rumah, Nyi Iteung menyiapkan makanan dan obat untuk di minum Kabayan. Kabayan pun segera makan dan meminum obatnya kemudian tidur istirahat. Sore harinya ketika Kabayan bangun tidur. Ia sadar sudah waktunya harus minum obat. Tapi Nyi Iteung tidak nampak.
“Nyi Iteung kemana nih? Sudah waktunya minum obat. Mungkin Nyi Iteung lagi ke rumah Abah.” pikir Kabayan.
Setelah makan makanan di meja makan, Kabayan meminum obat yang didapatnya dari Puskesmas. Tidak lama kemudian Nyi Iteung datang. Ia merasa heran melihat Kabayan tengah meloncat-loncat di dalam rumah.
“Akang Kabayan kan masih sakit, kenapa meloncat-loncat? Kang Kabayan, udah sembuh? Lagi olah raga ya?” tanya Nyi Iteung.
“Bukan olah raga Nyi.” kata Kabayan sambil terengah-engah. “Tadi Akang habis minum obat tapi lupa baca tulisan di botol obat batuk. Disitu ditulis, kocok dahulu sebelum diminum. Makanya Akang sekarang loncat-loncat biar obatnya di kocok.” kata Kabayan lagi.
Rupanya Kabayan meloncat-loncat supaya obatnya bisa di kocok di dalam perut.
“Aduh Kang Kabayan...Ga usah loncat-loncat gitu...” Nyi Iteung berteriak.
Suatu hari Nyi Iteung lagi datang manjanya. Entah kenapa Ia sangat ingin makan buah Nangka. Nyi Iteung lalu mendatangi sang suami tercinta, Si Kabayan.
“Kang Kabayan, Iteung teh lagi ingin makan buah Nangka, tolong atuh Kang di ambilin Iteung buah Nangka di pohon. Kan udah ada yang mateng tuh.” kata Nyi Iteung sambil menunjuk pohon nangka.
”Iya Nyi, Akang ambilin nangka. Jangankan cuman naik pohon nangka, naik kapal aja akang mau demi Nyai mah.” kata Kabayan.
Ia kemudian pergi ke dapur mengambil golok. Dengan golok dipinggang, Si Kabayan dengan sigap naik pohon nangka yang lumayan tinggi dan banyak cabangnya. Begitu sampai di atas pohon nangka, Kabayan segera menebas sebutir buah Nangka masak menggunakan goloknya. Bag...big...bug... begitu suara buah Nangka jatuh terkena dahan-dahan pohon sebelum sampai di tanah. Si Kabayan menyukai suara nangka jatuh. Ia menganggapnya seperti suara musik merdu.
“Wah enak euy suara nangka jatuh, merdu sekali seperti musik. Bagaimana kalo golok saya lempar ke bawah? Suaranya pasti lebih merdu.” gumam Si Kabayan.
Kemudian Kabayan menjatuhkan goloknya. Tang..ting..tung..tang..ting..tung..teng.. begitu suara golok menimpa dahan dan akhirnya jatuh di tanah.
“Waduh bagus suaranya ya.” kata Si Kabayan.
“Coba saya jatuhkan yang ini pasti suaranya lebih merdu lagi.” kata Si Kabayan.
Tiba-tiba terdengar suara berisik “Gubrak! waduh! brug! aawww! hek! aduh! buk! Iteeeeeung!!! Tolongin akang Iteung.” teriak Kabayan kesakitan. Ternyata Si Kabayan menjatuhkan tubuhnya sendiri. Hari lainnya, Si Kabayan disuruh mertuanya memetik buah nangka matang. Pohon nangka tersebut terletak di pinggir sungai, dimana tangkainya menjorok di atas sungai. Si Kabayan memanjat pohon nangka dengan malasnya. Ia takut mertuanya marah besar jika ia tak menuruti perintahnya.
Diatas pohon ia melihat ada buah nangka telah matang. Dipetiknya buah nangka matang tersebut. Tapi sayang, karena cukup sulit, buah nangka tersebut jatuh ke dalam sungai. Si Kabayan membiarkan buah nangka matang hanyut di sungai. Ia kemudian pulang ke rumah mertuanya. Di rumah, mertuanya nampak kesal ketika melihat menantunya pulang tanpa membawa buah nangka matang yang ia minta.
“Mana buah nangka matang yang aku minta petik?” Tanya mertuanya.
“Loh, bukannya buah nangka yang aku petik tadi sudah sampai duluan? Waktu kupetik, buah nangka itu jatuh ke sungai. Nampaknya ia ingin berjalan sendirian. Makanya aku biarkan ia berjalan sendirian. Sudah aku perintahkan agar ia cepat pulang ke rumah, tapi ternyata belum sampai juga nangka itu ya? Dasar nangka tak tahu diri, dia tidak mau menuruti perintahku.” Dengan santainya Si Kabayan menjawab.
“Apa-apaan kamu Kabayan? Mana bisa buah nangka berjalan sendirian ke rumah. Dasar pemalas banyak alasan.” mertuanya berteriak kesal.
Si Kabayan hanya hanya tertawa-tawa dimarahi oleh mertuanya. Pada hari lain, mertuanya mengajak Si Kabayan memetik kacang koro di kebun. Untuk keperluan tersebut, mereka membawa sebuah karung untuk mengangkut kacang koro. Baru saja memetik beberapa kacang koro, Si Kabayan mulai kambuh penyakit malasnya.
Ia terlihat mengantuk, kemudian masuk ke dalam karung untuk tidur di dalamnya. Menjelang siang, mertua Kabayan telah selesai memetik kacang koro. Ia keheranan karena tidak mendapati Kabayan.
“Si Pemalas itu pasti sudah pulang duluan karena malas mengangkat karung berisi kacang koro. Dasar menantu pemalas!” Mertua Si Kabayan kemudian memanggul karung yang ia kira berisi kacang koro sampai ke rumah.
Ia merasa heran kenapa karung kacang koro terasa berat sekali. Sesampainya di rumah, mertua Kabayan kemudian membuka karung kacang koro. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati di dalam karung ternyata berisi Si Kabayan tengah tidur lelap.
“Saya bawa karung untuk kacang koro! Bukan untuk manusia, Kabayan!” Mertua Kabayan marah bukan main.
Si Kabayan terbangun dari tidurnya sambil tersenyum-senyum. Keesokan harinya mertua Kabayan kembali mengajaknya memetik kacang-kacang koro di kebun. Ia masih sangat kesal dengan kejadian hari sebelumnya. Abah berniat membalas dendam. Saat Kabayan tengah memetik kacang-kacang koro, diam-diam mertuanya masuk ke dalam karung untuk tidur.
Ia berharap Kabayan akan memanggul karung tersebut ke rumah seperti yang ia lakukan hari kemarin. Pada adzan Dhuhur, Si Kabayan menghentikan pekerjaannya. Ia kemudian melihat ke dalam karung dan terkejut melihat mertuanya tengah tidur di dalam karung. Kabayan kemudian mengikat karung kacang koro lalu menyeretnya. Karena diseret-seret, mertuanya terbangun dari tidurnya kemudian berteriak-teriak.
“Kabayan ini Abah! Jangan engkau seret-seret Abah!” Namun Si Kabayan tak memperdulikannya.
Ia tetap menyeret karung tersebut sampai di rumah.
“Saya bawa karung untuk kacang koro! Bukan untuk manusia Abah!” kata Kabayan.
Sejak kejadian tersebut mertuanya merasa sangat marah. Ia sangat membenci Kabayan. Ia tidak mau berbicara dengannya. Setiap ia berpapasan dengan menantunya, ia akan menunjukkan kebenciannya dengan memalingkan mukanya. Lama-kelamaan Kabayan merasa tidak enak dengan sikap mertuanya. Ia mencari cara untuk mengambil hati mertuanya.
Kabayan kemudian menanyakan nama asli mertuanya kepada Nyi Iteung, istrinya. Nyi Iteung mengingatkan suaminya bahwa berdasar adat saat itu, mengetahui nama asli mertua adalah sebuah pantangan. Namun Kabayan berusaha meyakinkan Nyi Iteung bahwa ia ingin mendoakan mertuanya agar panjang umur, murah rezeki, dan jauh dari marabahaya. Nyi Iteung akhirnya memberi tahu nama asli mertuanya yaitu, Ki Nolednad.
Nyi Iteung meminta suaminya untuk tidak menyebutkan nama mertuanya kepada siapapun. Kabayan menyanggupinya. Setelah mengetahui nama mertuanya, Si Kabayan kemudian mencari air enau yang masih kental. Ia kemudian melumuri seluruh tubuhnya dengan air enau. Selanjutnya Kabayan menempelkan kapuk ke seluruh tubuhnya. Hingga tubuhnya terlihat berwarna putih karena dipenuhi oleh kapuk.
Ia kemudian menuju lubuk tempat mertuanya biasa mandi. Ia memanjat pohon dan menunggu mertuanya yang akan mandi. Saat mertua Kabayan hendak mandi, Si Kabayan kemudian memanggil nama mertuanya.
“Nolednad! Nolednad!” teriak Kabayan.
Suaranya dibuat agak berat.
“Siapa yang memanggil namaku?” Mertuanya sedikit ketakutan ketika melihat ke atas pohon ada sesosok mahluk bertubuh putih menyeramkan.
“Nolednad, aku Kakek penunggu lubuk. Dengar Nolednad, engkau harus menyayangi menantumu Si Kabayan . Karena ia adalah cucu kesayanganku. Jangan menyia-nyiakannya. Urus dia baik-baik. Jika engkau tidak mengurusnya baik-baik, percayalah, hidupmu akan penuh marabahaya.” kata Kabayan.
“Baik baik Kakek penunggu lubuk. Mulai sekarang Aku akan mengurus dan menyayangi Kabayan sepenuh hati. Aku janji Kakek.” kata mertua Kabayan ketakutan.
Sejak saat itu, Si Kabayan sangat disayangi oleh mertuanya. Ia dibuatkan sebuah rumah kecil untuk ditinggali bersama istrinya. Begitu juga sandang pangan pun dicukupi. Mertuanya juga sudah tidak pernah lagi memarahinya karena takut dengan pesan Kakek penunggu lubuk. Akhir cerita, setelah disayangi sepenuh hati oleh mertuanya, Si Kabayan akhirnya sadar dengan sikap malas dan tipu dayanya. Ia kini tidak lagi malas-malasan. Ia sekarang mulai rajin bekerja sebagai buruh di ladang. Ia menyayangi Nyi Iteung juga menyayangi mertuanya.
***
Eko sampai di rumah Budi, ya memarkirkan motornya dengan baik di depan rumah Budi. Eko pun duduk dengan baik di sebelah Budi. Ya Budi telah selesai membaca cerpen di buku Bahasa Indonesia, ya buku di taruh di meja.
"Buku Bahasa Indonesia di baca Budi. Kan Budi telah lulus sekolah SMA?!" kata Eko.
"Ada cerita yang menarik, ya cerpen di buku Bahasa Indonesia. Cerpen itu dengan judul 'Si Kabayan'," kata Budi.
"Ooooo karena ada cerita cerpen yang berjudul 'Si Kabayan', ya jadinya Budi baca buku Bahasa Indonesia," kata Eko.
"Eko main catur saja!" kata Budi.
"Main catur. Main lain gitu!" kata Eko.
"Main lain. Berarti main ini saja!" kata Budi.
Budi mengambil sebuah barang di bawah meja dan di taruh di atas meja.
"Permainan ular tangga," kata Eko.
"Iya," kata Budi.
"Ya kalau begitu main," kata Eko.
"Ok!!!!," kata Budi.
Budi dan Eko main ular tangga, ya dengan baik, ya sambil menikmati makan gorengan dan juga minum teh gelas.