CAMPUR ADUK
Monday, August 2, 2021
MUNGKIN KE LAIN HATI
HARPA DAGDA
Berita tentang keindahan alunan harpa Dagda telah terdengar luas. Bahkan sudah sampai ke kerajaan Maumera. Orang-orang kerajaan pun penasaran. Mereka ingin mengundang Dagda untuk memainkan harpanya. Suatu hari, seorang utusan kerajaan datang ke rumah Dagda untuk menyampaikan surat yang ditulis sang Raja. Dagda membuka perlahan gulungan kertas berwarna coklat. Dia melihat stempel kerajaan berwarna merah darah di bagian bawah surat itu. Dagda tertegun. Ini adalah surat resmi kerajaan, pikirnya. Dagda membaca tulisan tangan sang Raja Maumera.
Untuk Tuan Dagda, Pemain Harpa
Kami mendengar bahwa Anda adalah seorang pemain harpa yang andal. Alunan yang tercipta dari harpa Anda mampu membius siapapun yang mendengarkannya. Untuk itu, saya, Raja Maumera mengundang Anda untuk datang ke kerajaaan Maumera. Kami akan mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan putri kami satu pekan lagi. Sekiranya Anda berkenan untuk memenuhi undangan kami.
Hati Dagda berbunga-bunga. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah mendapat kehormatan untuk memainkan harpanya di kerajaan. Apalagi, sang Raja sendiri yang memintanya datang. Dagda merasa mendapat kehormatan yang luar biasa. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil selembar kertas terbaiknya dan mulai menulis jawaban untuk sang Raja. Tanpa ragu, dia juga menggunakan tinta terbaik yang dia miliki. Sebuah tinta hitam yang selama ini dia pergunakan untuk menulis cord-cord musiknya, yang mampu membuat orang terpesona.
Setelah kepergian prajurit utusan kerajaan, Dagda segera mempersiapkan diri. Pesta itu akan diadakan satu minggu lagi. Semua harus terlihat sempurna, batinnya. Banyak hal yang menyita perhatiannya, namun harpa kesayangannya tetap mendapat perhatian utama. Harpa itu dia bersihkan, sehingga suara yang dihasilkan terdengar jernih. Dagda juga menyiapkan lagu-lagu yang akan dia nyanyikan. Sudah lama Dagda membayangkan hal ini. Dia sudah menciptakan lagu-lagu khusus dari jauh-jauh hari, seandainya dia diundang oleh sang Raja. Ketika hari yang ia tunggu tiba, maka lagu-lagu indah ciptaannya itu yang akan dia persembahkan kepada keluarga kerajaan. Kali ini sang Raja benar-benar memanggilnya untuk bermain harpa di depan seluruh rakyat kerajaan Maumera. Hal itu merupakan suatu kehormatan yang luar biasa bagi Dagda, sehingga dia tidak ingin mengecewakan semua orang, apalagi sang Raja Maumera.
Keesokan harinya, Dagda sudah bersiap pergi ke kerajaan Maumera. Selain karena perjalanan ke sana cukup jauh, Dagda juga memerlukan waktu untuk beristirahat, sebelum mulai bermain harpa. Semua peralatan dan perlengkapan untuk bermain harpa sudah dia siapkan, lagu-lagu baru untuk sang Raja sudah dia hafal dengan baik, dan latihan untuk menyempurnakan penampilannya pun sudah dia lakukan. Dagda ingin semuanya berjalan dengan lancar. Maka, dia siap melakukan perjalanan, menembus hutan dengan kereta kuda yang dia kendarai sendiri, menuju kerajaan Maumera.
Dagda sangat menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Pohon-pohon yang hijau, bunga-bunga hutan yang tumbuh indah, menyegarkan hati dan pikirannya. Kicauan burung dan bias cahaya matahari yang menembus dedaunan, memberikan inspirasi bagi Dagda untuk membuat lagu-lagu baru. Dagda tersenyum lalu bersenandung kecil. Dagda berharap bisa menciptakan sebuah lagu yang indah tentang alam, ketika dia sampai di kerajaan. Dia juga berharap orang-orang yang mendengarkan lagunya nanti akan merasakan ketenangan seperti yang dia rasakan.
Tiba-tiba kereta kudanya terguncang. Dagda berpikir kereta kudanya terantuk batuan. Namun, sesaat kemudian kuda yang dikendalikannya meringkik keras. Kedua kakinya diangkat ke udara, mencakar-cakar angin. Dagda berusaha menenangkan kudanya.
“Ada apa, Dante?” Dagda menepuk-nepuk kuda putih berbulu tebal itu, pelan. Kuda putih bernama Dante itu meringkik lagi. Rasa penasaran Dagda belum terjawab ketika di hadapan mereka muncul orang-orang berpakaian aneh, mengadang perjalanan. Dagda terkejut, namun dia berusaha tetap tenang.
“Benarkah kau Dagda, si Pemain Harpa?” tanya seorang yang berpakaian serat pohon yang dikeringkan.
“Ya, aku Dagda, pemain harpa,” kata Dagda penuh percaya diri, “mengapa kalian menghalagi perjalananku?”
“Kami ingin kau ikut bersama kami,” jawab orang tersebut.
Dagda memandang mereka, jumlah mereka sekitar dua belas. “Untuk apa aku ikut dengan kalian?”
“Ajari kami bermain harpa. Setelah itu kau boleh pergi ke mana kau suka.”
Dagda terdiam sesaat. Dia tidak mungkin ikut dengan orang-orang ini. Waktu yang dia miliki terbatas. Dia harus mempersiapkan semuanya agar pertunjukan itu berjalan sempurna. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Dagda berkata, “Baiklah, aku akan mengajari kalian bermain harpa, tapi setelah aku pulang dari kerjaan Maumera.”
“Apa? Kerajaan Maumera? Untuk apa kau ke sana?” Lelaki bermata bulat itu terlihat berang. Dia langsung memukulkan tongkat panjang seperti tombak ke tanah.
“Sang Raja memintaku bermain harpa pada pesta pernikahan putrinya,” jawab Dagda, menjelaskan.
Lelaki bermata bulat itu memanggil temannya untuk mendekat. Mereka membentuk lingkaran kecil dan berbicara dengan bahasa yang Dagda tidak mengerti. Lalu, dia mendekati Dagda dengan dada terbusung.
“Tidak bisa, kau tidak bisa ke sana. Kau harus menghadap kepala suku kami, sekarang,” perintah orang itu, tegas.
Hah... Kepala suku. Dagda sontak terkejut. Tapi, dari pakaian mereka, Dagda tahu jika orang-orang yang mengadangnya adalah orang pedalaman. Sepertinya, mereka tinggal jauh di dalam hutan. Tapi, mengapa mereka tertarik bermain harpa? Banyak pertanyaan yang ada di kepalanya, namun Dagda teringat akan tugasnya yang harus diselesaikan, serta janjinya pada sang Raja untuk bermain harpa di pesta pernikahan sang Putri. Dagda harus menepati janjinya, tapi orang-orang yang mengadangnya sulit berkompromi.
“Bagaimana jika kau dengarkan dulu alunan harpaku. Apabila itu indah menurutmu, kau boleh membawaku mengadap kepala sukumu.” Dagda tetap mencari cara agar bisa lepas dari sekelompok orang pedalaman ini.
“Tidak! Kami harus membawamu sekarang.”
Tanpa bisa diprotes, gerombolan orang berpakaian aneh itu membawa Dagda beserta kereta kuda dan Dante masuk ke dalam hutan. Dagda berusaha memberontak. Namun, apalah arti tenaga Dagda, yang tak pandai bela diri. Lagi pula dia hanya seorang diri. Dagda mencoba memikirkan cara, selain kekerasan, agar bisa lepas dari orang-orang ini.
Mereka terus berjalan, menembus hutan, melewati semak belukar. Pohon-pohon besar semakin banyak. Dagda memerhatikan setiap tempat dengan saksama. Apabila dia berhasil meloloskan diri, jalanan ini yang akan mengantarnya kembali ke tempat tadi. Dia harus mengingat semuanya dengan baik. Tanaman sulur yang merambat hingga menutupi pohon, tempatnya tinggal. Pohon kecil berbatang lurus, yang mempunyai daun seperti tangan mengelilingi batangnya. Tanaman berdaun merah. Suatu pemandangan yang belum pernah Dagda temui sebelumnya. Dia akan sangat menikmati semua ini jika keadaannya tidak seperti sekarang. Kini, dia adalah tawanan.
Dagda duduk terguncang-guncang di atas kereta kudanya. Kendali Dante sudah diambil alih oleh laki-laki bermata lebar itu. Dagda memeluk harpanya. Perlahan, dia memetik salah satu senar harpanya. Dia tersenyum pada salah seorang yang duduk di hadapannya, yang bertugas untuk menjaga dirinya. Laki-laki berwajah tirus itu menatap Dagda dengan pandangan hampa. Wajahnya datar. Senyum Dagda sama sekali tidak merubah mimik wajahnya. Dagda kembali memetik senar harpanya, berharap orang di hadapannya itu dapat memperlihatkan apa yang sedang ada dalam hatinya. Namun, Dagda tetap tidak melihat perubahan apa-apa.
Dagda memainkan harpanya perlahan. Namun, pengendali kuda itu tiba-tiba bersuara, “ Diam, suara benda itu hanya membuat kupingku panas!” bentaknya pada Dagda. Dagda tersentak kaget. Dia tidak menyangka akan mendapat bentakan seperti itu.
Dagda menghentikan permainannya. Dia menarik napas pelan. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin irama yang dimainkannya membuat telinga orang itu panas? Lalu mengapa mereka mau belajar bermain harpa, jika mendengarkan suaranya saja sudah membuat telinganya panas? Pertanyaan itu mengusik Dagda, tapi dia pun tak memiliki jawaban apa-apa. Mungkin jawaban itu bisa kutemukan di tempat tujuan, pikir Dagda. Meski dia pun tak tahu, tempat seperti apa yang akan dia tuju.
Perjalanan cukup panjang itu berakhir di sebuah perkampungan. Mereka sudah tiba di perkampungan orang pedalaman itu. Rumah-rumah mereka berbentuk setengah lingkaran. Hampir seluruhnya tertutup daun rumbia berwarna coklat. Sebuah rumah besar berdiri di tengah-tengahnya. Bentuknya tidak jauh berbeda dari rumah-rumah di sebelahnya, tapi rumah itu memiliki banyak tulang belulang yang dipasang sebagai pagar.
Nyali Dagda mulai menciut. Tulang apakah yang di pajang di sana? Jika mereka adalah bangsa kanibal atau bangsa yang memakan sesama manusia, maka habislah riwayatnya. Tanpa sadar, Dagda memeluk harpanya erat-erat. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi dan besar dari rumah berpagar tulang. Lelaki itu memakai hiasan kalung dan gelang yang terbuat dari tulang. Ketakutan Dagda semakin menjadi. Lelaki bertubuh besar itu berjalan ke arahnya dengan langkah pasti. Dia menjabat tangan Dagda dengan kuat. Dagda meringis, merasakan tangannya yang nyaris remuk.
“Dagda, pemain harpa. Musik Anda sungguh mengguncang dunia.” Teriak lelaki besar itu. “Aku adalah kepala suku Cnamh, panggil aku Hieftain.” Suaranya yang keras membahana, membuat telinga Dagda sakit.
“Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Hieftain,” balas Dagda, sopan. Hieftain tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning. Orang ini pasti tidak pernah menggosok giginya, pikir Dagda, sambil bergidik.
“Sebenarnya, saya sedang mempunyai sebuah urusan yang tidak dapat ditunda-tunda, Tuan. Kiranya Tuan sudi memberikan waktu pada saya untuk menyelesaikan urusan saya terlebih dahulu.” Dagda menyampaikan keinginannya. Namun, tiba-tiba wajah Hieftain memerah, matanya melotot seperti mau keluar, dan suaranya terdengar menggelegar.
“Aku yang berkuasa di sini. Aku yang memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dan kamu, aku undang datang kemari untuk menyerahkan harpamu kepadaku, Hieftain, sang Kepala Suku.”
“Menyerahkan harpa saya, Tuan? Tapi, prajurit Tuan berkata bahwa Tuan mengundang saya untuk mengajari bermain harpa, dan setelah itu saya boleh pergi,” Dagda berkata tak mengerti.
“Ya, tentu saja. Kau harus mengajari kami terlebih dahulu. Meski sebenarnya itu tidak penting. Kami sebenarnya mempunyai alat musik yang lebih bagus dari harpamu itu. Tapi, karena ada yang mau membeli harpamu dengan harga yang mahal, maka aku menginginkan alat musik kesayanganmu itu, Dagda.”
Oh, ternyata ini hanya akal-akalan mereka saja, untuk membawaku ke tempat ini. Mereka sama sekali tidak ingin mendengarkan suara harpaku, Dagda membatin. Baiklah, lakukanlah apa yang kalian suka dan aku juga akan melakukan yang aku suka, pikir Dagda. Dagda tersenyum, kemudian berkata, “Baiklah, Tuan Hieftain. Saya akan menyerahkan harpa kesayangan saya ini kepada Anda. Tapi saya mohon, izinkanlah saya memainkannya sebentar saja, sebagai tanda perpisahan saya pada harpa ini, Tuan.”
Kepala suku Hieftain tidak keberatan. Dia mundur beberapa langkah, memberikan ruang pada Dagda untuk memainkan alat musiknya. Dia juga memanggil semua warganya untuk duduk menyaksikan pertunjukan Dagda. Dagda mulai berkonsentrasi, dia harus bisa memengaruhi orang-orang ini dengan suara alat musiknya. Setelah diam sejenak, dia mulai memetik senar harpanya. Nada-nada riang mengalun. Orang-orang yang mengelilingi Dagda tersenyum, sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Dagda terus berkonsentrasi. Apabila dia sudah bisa membuat mereka gembira, akan lebih mudah baginya menguasai mereka. Itulah rencananya. Dia terus bermain. Kali ini dengan irama sedih. Wajah orang-orang yang mendengarkan petikan harpa itu menjadi memelas. Seolah mereka ikut merasakan kesedihan, melalui musik yang dihasilkan harpa Dagda. Setelah selesai memainkan irama sedih, Dagda merubahnya lagi menjadi mendayu-dayu. Orang-orang itu hanyut dalam alunan lembutnya. Satu per satu dari mereka mulai menguap. Dagda terus memainkan harpanya dengan penuh penghayatan. Dia ingin menyihir orang-orang itu dengan musiknya. Apabila dia berhasil membuat seluruh penghuni desa tertidur pulas, dia bisa melarikan diri dengan Dante, kuda putihnya, dan harpanya akan selamat dari tangan orang-orang itu.
Dagda belum berhenti memetik harpanya sampai semua orang tertidur lelap, termasuk Hieftain. Beberapa saat berlalu, Dagda melihat orang-orang sudah tertidur pulas. Hieftain juga tampak lelap, meski suara yang keluar dari mulutnya terdengar seperti kereta api yang meraung-raung. Dagda mulai bertindak. Dia berjalan mengendap-endap, mendatangi kereta kudanya. Dia menepuk Dante perlahan, berharap Dante tidak membuat suara, yang bisa membuat mereka terbangun. Seakan mengerti situasi yang terjadi, Dante berjalan pelan, meninggalkan suku Cnamh.
Dagda masih mengingat dengan baik jalan yang tadi dia lalui. Namun, karena hari sudah gelap, dia harus berusaha keras kembali ke tempat semula dengan penerangan seadanya. Tidak seperti Dagda yang sedikit kesulitan mengenali jalan yang dia lalui dalam kegelapan, Dante masih mengenali jalan yang tadi dilaluinya. Akhirnya, mereka dapat melalui sebuah pohon yang berdaun merah, sebuah pohon kecil berbatang lurus dengan daun seperti tangan yang ada di sekeliling batangnya, dan pohon sulur yang merambat hingga menutupi pohon inangnya. Setelah berjuang keras, mereka sampai di tempat semula dengan selamat.
Dagda dan Dante melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati. Akan tetapi, mereka belum berjalan terlalu jauh ketika serombongan orang mengadang jalan, di depan mereka. Jantung Dagda berdetak lebih cepat. Dia takut apabila orang-orang suku Cnamh tahu kalau dia telah melarikan diri dan mereka telah diperdaya olehnya. Mereka pasti tidak akan memaafkanku kali ini, batin Dagda. Tangan Dagda yang memegang kendali kuda gemetar. Tubuhnya bergetar hebat ketika rombongan itu semakin mendekatinya.
“Apakah Anda, Tuan Dagda?” Sebuah suara terdengar dari arah rombongan itu. Suara itu tidak sama dengan suara yang tadi didengarnya. Dagda masih terus berdoa, agar mereka bukanlah orang dari suku Cnamh yang akan membawanya kembali ke desa mereka. Rombongan itu semakin mendekat ke arah Dagda. Lampu-lampu yang mereka bawa cukup memberikan penerangan di jalan yang mulai gelap. Dagda menarik napas lega ketika melihat pakaian yang dikenakan orang-orang di hadapannya berwarna merah menyala. Pakaian itu adalah pakaian prajurit kerajaan Maumera, bukan pakaian orang suku Cnamh.
“Benar, Tuan. Saya Dagda, pemain harpa,” Dagda berseru, lantang. Dia sangat senang bertemu dengan orang-orang ini. Dia tidak perlu merasa khawatir lagi, karena prajurit itu pasti mengawalnya sampai ke kerajaan.
“Kami diutus untuk menjemput Anda, Tuan Dagda. Ternyata kita bertemu di sini,” kata salah seorang prajurit yang membawa bendera kerajaan.
“Ya, saya senang bertemu dengan Anda di sini, karena saya juga baru saja mengalami kejadian yang tidak mengenakkan.” Dagda tersenyum senang. Sepanjang jalan, dia menceritakan pengalamannya bertemu orang Cnamh dan mereka membahas kejadian itu dengan seru. Matahari naik sepenggalah ketika mereka mulai melihat kubah kerajaan Maumera. Dagda semakin bersemangat karena perjalanan ke istana tinggal beberapa saat lagi.
Sesampai di istana, Dagda langsung beristirahat. Perjalanan panjang yang tidak mengenakkan itu membuat tubuh Dagda penat. Abdi istana telah menyiapkan tempat yang nyaman untuknya. Dante juga mendapat tempat yang layak bersama kuda-kuda istana lainnya. Dagda memandang ruangan yang disediakan untuknya dengan puas. Dia lalu meletakkan harpa kesayangannya di sudut ruangan. Dia ingin beristirahat sejenak, sebelum berlatih sesaat. Dia ingin menghibur semua orang dengan pertunjukannya malam ini.
Setelah cukup beristirahat dan merasa lebih segar, Dagda merasa siap menghibur rakyat Maumera. Malam itu, pesta pernikahan Putri Raja Maumera akan diselenggarakan. Dagda sudah mengenakan pakaian terbaiknya. Harpanya sudah terlihat mengkilat dengan warnanya yang keemasan dan bau wanginya yang semerbak. Dagda merasa sangat siap untuk memulai pertunjukannya.
Selain Dagda yang sangat antusias dengan pesta itu, hampir semua orang di istana Maumera juga tampak sibuk dan bersemangat melakukan kegiatannya masing-masing. Para pelayan tampak menyiapkan makanan, minuman, dan perlengkapan untuk pesta. Petugas keamanan sudah bersiaga, menjaga agar pesta berjalan lancar.
Sang Putri sudah terlihat cantik dengan gaun putihnya yang indah ketika Raja Maumera berdiri gagah, memberikan pidato singkat. Gemuruh tepuk tangan pertanda dimulainya acara ramah tamah terdengar membahana. Seluruh rakyat Maumera menyambut dengan suka cita. Mereka bebas menikmati hidangan yang disediakan koki istana. Acara semakin meriah dengan pesta dansa yang diiringi alunan musik dari harpa milik Dagda. Simfoni-simfoni indah mengalun, memeriahkan malam yang terang benderang oleh cahaya bulan purnama. Malam itu adalah malam sukacita bagi seluruh rakyat Maumera, dan untuk Dagda, yang telah berusaha memberikan yang terbaik. Malam itu, sukacita dan kebahagiaan membuat Dagda lupa dengan Hieftain dan orang-orang suku Cnamh.
***
Astuti selesai baca bukunya.
"Bagus cerita yang asalnya dari Irlandia," kata Astuti/
Astuti menutup bukunya dan menaruh di meja. Ibu memanggil Astuti. Ya Astuti segera menjawab panggilan ibunya dan segera menghampiri ibunya yang sedang memasak di dapur. Astuti segera membantu ibunya memasak di dapur.
PUTRI ALANA, SI ANGSA PUTIH
Ketiga saudaranya hilang tak diketahui rimbanya. Badai dan arus deras telah memisahkan mereka. Sedangkan dia terus mengapung, menanti keajaiban datang. Dia termenung mengingat kejadian yang mereka alami, hingga wujudnya berubah menjadi seperti sekarang ini.
Umbul-umbul di istana dipasang setengah tiang. Hal ini adalah pertanda bahwa kerajaan sedang berkabung. Permaisuri Raja Lir meninggal dunia karena sakit. Kini, jenazah Permaisuri berbaring di dalam peti kayu berukir. Upacara penghormatan untuk jenazah Permaisuri akan segera dimulai. Peti mati itu dibawa ke bibir pantai dengan menggunakan kereta khusus. Prajurit kerajaan yang bertugas membawa peti dengan sigap memasukkan peti itu ke dalam perahu layar, yang telah dipenuhi hiasan-hiasan indah. Kapal itu lalu dihanyutkan ke lautan. Perlahan, tapi pasti, kapal itu menjauh dari tanah kerajaan Aigea.
Sekelompok pemanah telah bersiap dengan anak panah mereka. Ketika terompet panjang berbunyi, puluhan anak panah yang ujungnya susah diberi nyala api, melesat menuju kapal. Wuush! Segera api berkobar, kapal berisi jasad Permaisuri pun terbakar. Semakin lama, kobaran api semakin besar, menghanguskan kapal beserta isinya.
Keempat putri Raja Lir memerhatikan semua kejadian itu tanpa berkedip. Genangan air mata tampak berkilat di mata Evota, putri bungsu Raja Lir. Usia Evota baru enam tahun, dia tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Namun, ia merasa ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari dalam hatinya.
Di samping putri Evota, Putri Caley berdiri, diam tanpa ekspresi. Dia juga merasa sangat kehilangan. Namun, sebagai putri kerajaan, ia tidak pantas menangis di depan khalayak ramai. Putri ketiga yang pesolek ini, adalah putri kesayangan permaisuri. Di samping Putri Caley, ada putri kedua Raja Lir, yaitu Putri Darcey yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Usianya yang beranjak remaja membuatnya bisa memahami apa yang sedang terjadi di hadapannya. Ia tahu, kini tidak akan ada lagi Ibunda Permaisuri bersama mereka. Walaupun dia tidak disayang oleh Ibunda Permaisuri seperti Putri Caley, Putri Darcey tak pernah cemburu. Keahliannya dalam berenang dan menyelam, membuat Raja Lir menempatkan seluruh hatinya pada Putri Darcey. Putri Darcey adalah putri kesayangan Raja Lir.
Ada seorang putri lagi yang berdiri di samping Putri Darcey. Putri cantik berambut kuning keemasan itu berdiri mematung. Air mata menetes di pipinya. Putri Alana namanya. Dia sama sekali tidak menyangka, Ibunda Permaisuri begitu cepat meninggalkan dirinya dan adik-adiknya. Sebagai putri tertua, dia merasa bertanggung jawab menjaga ketiga adiknya.
“Upacara pemakaman telah selesai. Mari, kita kembali ke istana, keponakanku,” kata seorang wanita cantik bermata tajam, Bibi Aoife, adik dari Permaisuri. Keempat orang putri berjalan menuju kereta kerajaan dengan patuh. Empat ekor kuda putih yang gagah, siap menarik kereta kerajaan yang mereka tumpangi. Perjalanan kembali ke istana terasa begitu hampa bagi mereka.
Hari-hari telah berlalu, istana terasa sepi tanpa ibunda permaisuri bagi keempat putri Raja Lir. Pada suatu sore, ayahanda mereka, Raja Lir mengumpulkan keempat putri di ruang pribadinya. Putri Evota, Putri Darcey, Putri Caley, dan Putri Alana sudah hadir di ruangan itu. Mereka berdiri di hadapan Raja Lir. Di samping sang Raja, bibi mereka, Aoife tersenyum penuh makna. Setelah terdiam beberapa saat, Raja Lir mulai berkata.
“Wahai, putri-putriku yang cantik jelita. Ibunda kalian telah tiada, ayah membutuhkan permaisuri baru untuk mendampingi ayah di kerajaan ini. Ayah juga berharap, ia akan membantu ayah mengurus kalian nantinya,” Raja Lir menjelaskan, perlahan.
Putri Alana tercenung. Ayahnya akan menikah lagi, itu berarti ia dan adik-adiknya akan mempunyai ibu tiri. Dia belum sempat bertanya ketika ayahnya menambahkan, “Calon ibunda kalian adalah Bibi kalian sendiri, Aoife.”
Keempat putri Raja Lir tersentak. Bibi Aoife bukanlah orang yang asing bagi mereka. Tapi, tidak ada seorang pun dari mereka berempat yang menyukai Bibi Aoife, begitupun sebaliknya. Namun, mereka hanya bisa berdiam diri karena keputusan Raja Lir tidak mungkin bisa ditawar lagi.
“Pesta pernikahan kami akan dilaksanakan esok hari, jadi kalian bersiap-siaplah,” kata Bibi Aoife, sambil menatap tajam keempat putri itu. Lalu, dia menjentikkan jarinya ke udara, pertanda bahwa pertemuan telah usai dan keempat putri harus meninggalkan ruangan.
“Ayahanda, bolehkan ananda berbicara berdua saja?” tanya Putri Alana dengan suaranya yang manis.
Bibi Aoife menatap Putri Alana lebih tajam, pancaran matanya membuat Putri Alana jengah. Namun, Putri Alana tidak mau memedulikannya. Dia mengalihkan tatapannya, menatap penuh hormat kepada Ayahandanya.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Silakan kalian berempat tinggalkan ruangan ini. Banyak hal yang akan kami berdua bicarakan, keponakanku yang cantik,” ujar Bibi Aoife, pelan dan lembut. Akan tetapi, Putri Alana menangkap sesuatu yang aneh di sana. Raja Lir pun mengangguk. Keempat putri meninggalkan ruangan dengan pikiran masing-masing.
“Kita berkumpul di kamarku,” kata Putri Alana pelan. Tangannya memberi aba-aba agar ketiga saudaranya tidak kembali ke kamar masing-masing. Mereka pun bergerak ke arah kamar Putri Alana.
“Kunci pintunya, wahai adikku Caley,” pinta Putri Alana. Dia tidak ingin percakapan mereka didengar oleh orang lain. Putri Caley segera mengunci pintu rapat-rapat.
“Saya tidak setuju jika Ayahanda menikah dengan Bibi Aoife,” Putri Alana membuka suara.
“Saya juga tidak setuju,” Putri Caley ikut berkata. Ia merasa kecewa dengan sikap ayahandanya. Apalagi ayahandanya sama sekali tidak meminta persetujuan dari mereka.
“Apakah Bibi Aoife benar-benar akan menjadi ibu tiri kita?” tanya Putri Evota polos.
“Benar, Adikku. Bibi Aoife akan menikah dengan Ayah. Itu artinya dia akan menjadi ibu tiri kita,” dengan lembut Putri Alana menjelaskan kepada adik bungsunya.
“Hah … Bagaimana mungkin? Bibi Aoife adalah seorang penyihir yang jahat,” Putri Evota terbelalak, sambil menutup mulutnya yang menganga dengan spontan. Dia benar-benar tidak menduganya.
“Hush … Jangan keras-keras, Evota. Kalau sampai Bibi Aoife mendengarnya, kita bisa lebih celaka,” Putri Darcey mengingatkan Putri Evota.
“Sebaiknya kita segera kembali ke kamar masing-masing, sebelum ada yang curiga. Kakak akan memikirkan cara agar pernikahan ini tidak terjadi,” Putri Alana akhirnya berkata, berusaha meredam kegelisahan adik-adiknya.
Putri Caley dan Putri Darsey mengangguk, dan segera beranjak ke kamar masing-masing. Mereka keluar kamar satu per satu untuk menghindari kecurigaan. Putri Alana memutuskan untuk mengantar Putri Evota ke kamarnya.
“Evota, kau tidak perlu khawatir, Sayang. Kakak akan menjagamu,” bisik Alana, sambil mencium pipi Evota yang penuh, dan mengusap rambutnya lembut. Dia lalu berbalik meninggalkan kamar Evota. Di pojok ruangan, dayang pengasuh Evota yang baru, menundukkan kepalanya ketika Alana mendapatinya tengah mengawasi mereka berdua.
Setiba di dalam kamarnya yang luas, Putri Alana mulai berpikir keras. Dia berusaha mencari cara agar Bibi Aoife tidak menjadi ibu tiri mereka. Dia sudah tahu jika seluruh gerak-geriknya dan saudara-saudaranya diawasi dengan ketat oleh Bibi Aoife sejak ibunda permaisuri meninggal.
Hingga pagi menjelang, Putri Alana belum juga mendapatkan cara agar pernikahan itu tidak terjadi. Kerajaan sudah hingar bingar oleh suasana pesta. Rakyat berpesta menyambut permaisuri baru mereka. Keempat putri Raja Lir ikut terjebak di dalamnya. Peraturan kerajaan yang semakin ketat, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Rencana mereka untuk membatalkan pernikahan itu pun gagal sudah.
Putri Alana sedih karena tidak bisa menepati janji untuk melindungi adik-adiknya. Namun, dia merasa sedikit lega. Setelah pernikahan itu, perlakuan Bibi Aoife tidak seperti dugaan mereka sebelumnya. Bibi Aoife bersikap manis dan mulai menyayangi mereka. Mereka mulai berpikir jika pilihan ayahandanya, untuk menjadikan Bibi Aoife permaisuri dan ibu tiri mereka, merupakan pilihan yang tepat.
Suatu hari Permaisuri Aoife mengajak keempat putri Raja Lir pergi bersenang-senang. Sekian lama tidak keluar dari istana, membuat keempat putri itu senang bukan kepalang. Mereka memutuskan untuk pergi berenang di sebuah danau yang terletak jauh dari istana Aigea. Raja Lir tidak keberatan dengan rencana para putri, tapi sang Raja tidak dapat ikut serta karena ada tugas kerajaan yang tidak bisa ia tinggalkan.
Akhirnya, mereka berlima sampai di sebuah danau yang sangat luas. Airnya bening, berkilau terkena pantulan cahaya matahari yang bersinar cerah. Sekawanan burung enggang meliuk di angkasa. Putri Darcey terlihat paling gembira. Dia sudah lama meninggalkan kegemarannya berenang dan menyelam. Sekarang, dia mendapat kesempatan untuk melatihnya kembali. Putri Alana dan kedua adiknya mulai asyik bermain air. Sesekali mereka berenang dan bersembunyi dari saudaranya yang lain dengan cara menyelam.
Tiba-tiba, langit berubah gelap. Mentari menghilang. Awan putih berganti menjadi hitam. Sepertinya, hujan lebat akan segera turun. Putri Alana melihat sekeliling, mencari Permaisuri Aoife. Dia tidak melihatnya sedari tadi. Pandangannya mulai menyisir tepian danau. Alana melihat Permaisuri Aoife berdiri di tepi danau, sedang menggerak-gerakkan tangannya. Tiba-tiba, angin berembus kencang. Air danau yang semula tenang menjadi beriak. Putri Alana panik, spontan dia berteriak, “Adik-adikku, ayo, kita segera naik ke darat. Sepertinya akan ada badai, sebentar lagi!”
Permaisuri Aoife berdiri mematung di sisi lain danau. Mulutnya tampak komat-kamit membaca sesuatu. Tangannya bergerak-gerak ke arah danau. Air danau bergolak semakin kuat. Bibirnya terus merapalkan mantra.
“Mé curse tú ceithre eala bán.
Beidh tú ealaà ar feadh naoi gcéad bliain
Is féidir leat a bheith ach duine
Má chloiseann tú bells i an fáinne.”
“Aku kutuk kalian berempat menjadi angsa putih.
Kalian akan menjadi angsa selama sembilan ratus tahun
Kalian hanya bisa menjadi manusia
Jika mendengar lonceng dibunyikan.”
Keempat putri Raja Lir yang tidak sempat menyelamatkan diri, terseret arus air danau, dan hilang … suasana menjadi hening. Air danau yang semula bergejolak, kembali tenang. Awan hitam perlahan menyingkir. Matahari kembali menampakkan sinarnya. Suasana menjadi cerah seperti semula. Di tengah danau, terlihat empat ekor angsa putih berenang, berputar-putar. Mereka seperti kebingungan. Suaranya riuh terdengar.
Sementara di pinggir danau, Permaisuri Aoife tertawa girang. Wajahnya bersinar sumringah. Keinginannya untuk menyingkirkan anak-anak Raja Lir tercapai sudah.
“Ha … ha … ha …, kalian rasakan sekarang. Kalian tidak akan bisa menggangguku lagi. Perhatian Raja Lir tidak akan terbagi lagi untuk kalian, dan kerajaan bisa dengan mudah aku kuasai,” Permaisuri Aiofe berkata puas.
Permaisuri Aoife ternyata memang mempunyai niat yang jahat terhadap putri-putri Raja Lir. Rasa kecewa yang dulu tersimpan rapi, kini terbuka sudah. Ketika Raja Lir menikah, dia berharap bisa terpilih sebagai permaisuri raja. Namun, Raja Lir justru memilih kakaknya sebagai permaisuri. Melihat kehidupan kakaknya yang bahagia dengan Raja Lir dan anak-anaknya, hatinya semakin dipenuhi rasa iri. Ia pun mencari cara untuk dapat menyingkirkan kakak dan anak-anaknya. Ia ingin menguasai kerajaan Aigea. Permaisuri Aoife merasa sudah cukup bersabar selama dua belas tahun, menunggu saat-saat seperti ini. Kini, ketika waktu itu akhirnya tiba, hatinya riang tak terkira.
***
Di tepi sebuah sungai, seorang pemuda gagah sedang duduk beristirahat. Tenaganya begitu terkuras, demi sebuah perjalanan menuju istana Raja Lir. Rasa haus dan lelah mengantarkan pemuda itu ke tepi sungai. Setelah puas minum, dia pun duduk di sebuah akar pohon yang besar. Baru beberapa saat beristirahat, dia mendengar suara kecipak air dan suara seekor angsa. Dia bangkit dan mulai mencarinya. Rasa lapar membuatnya semakin bersemangat. Apabila dia bisa menemukan seekor angsa, maka dia akan memiliki bekal selama di perjalanan, terlebih perutnya juga tidak akan kelaparan.
“Kaaook….” Suara itu semakin jelas terdengar. Pandangan pemuda itu segera tertuju pada seekor angsa putih yang berenang di tepian sungai. Tanpa berpikir panjang, pemuda itu berenang mendekati angsa putih dan menangkapnya. Pemuda itu berenang kembali ke tepian dengan sigap. Dia sudah tidak sabar untuk segera mengolah angsa itu menjadi makanan lezat. Namun, ketika hendak menyembelih angsa tersebut, dia terkejut mendapati sebuah mahkota di atas kepala si angsa putih. Hatinya menjadi bimbang. Benarkah ini angsa sungguhan atau angsa jadi-jadian?
“Bán eala, siapa kau sebenarnya?” Pemuda itu bersimpuh sambil memandangi mata si Angsa Putih. “Apakah kau seorang putri raja yang dikutuk menjadi seekor angsa?” tanyanya lagi.
“Kwaaaokk…” angsa putih berusaha menjawab pertanyaan sang Pemuda. Mendengar suara angsa yang terdengar pilu, pemuda itu tidak jadi memotong si Angsa.
“Baiklah, aku tidak akan menjadikanmu sebagai santapanku,” kata pemuda tersebut, sembari tersenyum dan mulai berkemas-kemas. Dia harus melanjutkan perjalanan.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kau bisa menjadi teman perjalananku,” ajak sang Pemuda. Selang beberapa lama, sampailah mereka di sebuah desa. Pemuda itu segera mencari tempat untuk mengisi perutnya. Angsa putih itu ditinggalkannya di bawah sebuah pohon. Kaki si Angsa Putih itu dia ikat kuat-kuat agar tidak lari. Pemuda itu lalu masuk ke desa. Tak lama kemudian, lonceng gereja berdentang samar di kejauhan. Si Angsa menggeliat, dan sesuatu terjadi pada tubuhnya.
Beberapa saat berlalu, sang Pemuda kembali ke bawah pohon, tempat si Angsa ditinggal pergi. Tapi, dia tidak mendapati angsa putihnya di sana. Ia justru menemukan seorang gadis cantik berambut keemasan.
“Heh … Siapa kamu? Kemana angsa yang tadi kuikat di sini?” tanya Pemuda itu.
“Aku adalah angsa yang kau cari,” jawab Gadis itu.
Pemuda itu memicingkan matanya, tidak percaya, “Tidak mungkin. Di mana kau sembunyikan angsaku?” tanya Pemuda itu lagi.
Tanpa menjawab pertanyaan sang Pemuda, si Gadis justru balik bertanya, “Ingatkah kau, kalau kau pernah bertanya apakah aku seorang putri yang disihir manjadi angsa?”
Pemuda itu tercenung, lama. Tidak mungkin dugaanya itu benar, pikirnya.
Sebelum pemuda itu sempat menjawab, gadis itu berkata lagi, “Ya, kamu benar. Aku adalah seorang putri yang disihir menjadi seekor angsa. Namaku Putri Alana, aku adalah putri sulung Raja Lir. Itulah mengapa ada mahkota di kepalaku.”
Sang Pemuda segera berlutut. Dia tidak berani memandang sang Putri.
“Ampunkan kelancangan hamba, Tuan Putri.”
Sang Putri segera menyuruh sang Pemuda berdiri. “Justru aku yang berterima kasih padamu, karena telah membawaku ke tempat ini. Di tempat ini aku mendengar bunyi lonceng gereja yang membebaskanku dari kutukan Permaisuri Aoife.” Purti Alana kemudian menceritakan peristiwa di danau kepada pemuda itu. Suara Putri Alana mulai bergetar, dia teringat ketiga adiknya.
“Aku tidak tahu bagaimana nasib ketiga saudaraku yang lain. Aku harus bisa menemukan mereka. Maukah kau menolongku, wahai Pemuda?” pintanya.
“Hamba siap membantu, Tuan Putri.” Sang Pemuda masih saja tertunduk.
“Kau tidak perlu bersikap seperti itu kepadaku. Sekarang, aku adalah rakyat biasa sepertimu. Siapa namamu?”
“Saya Neal, Tuan Putri.”
“Neal, kau bisa memanggilku Alana. Aku tidak ingin orang lain tahu kalau aku, Putri Alana. Itu akan membahayakan kita berdua. Bersikaplah seperti biasa!”
Neal menyetujui usulan Putri Alana. Dia juga menceritakan maksud perjalanannya menuju kerajaan Aigea. Ia ingin melamar menjadi prajurit kerajaan. Dari cerita Neal, Putri Alana mengetahui bahwa kerajaan Aigea dikuasai oleh Permaisuri Aoife, sedangkan Raja Lir diasingkan ke penjara bawah laut. Diam-diam, Putri Alana dan Neal merencanakan sesuatu. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kerajaan Aigea untuk menjalankan rencana tersebut.
Malam telah tiba ketika mereka sampai di kerajaan Aigea. Putri Alana dan Neal mengendap-endap untuk dapat masuk ke istana. Neal yang bertubuh besar berhasil melumpuhkan dua orang prajurit yang berjaga di pintu gerbang. Mereka segera berganti pakaian dengan seragam prajurit tadi. Sehingga mereka dapat masuk ke penjara bawah laut dengan leluasa. Penjara itu terletak di bawah tanah, lembab, dan berair. Neal kembali melumpuhkan prajurit yang berjaga di sana. Putri Alana segera mencari ayahandanya. Di sudut ruangan yang gelap, pengap, dan berair Raja Lir terduduk lemas. Kedua tangannya di ikat dengan rantai besar yang kuat.
“Ayahanda…” pekik Putri Alana. Dia merasa sedih melihat kondisi ayahnya yang sangat memprihatinkan. Ia memeluk ayahandanya dengan penuh rindu. Perlahan, air matanya mengalir di pipi. Beragam perasaan bercampur di hati Alana saat mendapati Raja Lir sudah tak sadarkan diri.
“Alana, cepat kita bebaskan Baginda Raja. Waktu kita tidak banyak,” Neal berkata, mengingatkan. Neal melepaskan ikatan Raja dengan susah payah. Setelah ikatan itu lepas, Neal menggotong tubuh Raja Lir yang lemah. Putri Alana menuntunnya, menunjukkan jalan ke ruang rahasia. Dulu, ayahandanya yang memberitahu tempat itu, dan dia masih mengingatnya dengan baik. Di tempat itu mereka bersembunyi sampai kondisi raja membaik. Sesekali Neal keluar dari tempat rahasia dengan menyamar menjadi prajurit untuk mendapatkan makanan.
Setelah keadaan Raja sehat kembali, mereka bertiga menyusun strategi untuk merebut kerajaan Aigea kembali. Mereka juga mengumpulkan pengawal kerajaan yang masih setia kepada Raja Lir. Malam itu suasana senyap. Sang Raja berjalan mantap ke kamar Permaisuri Aoife. Permaisuri Aoife tampak sedang asyik menyisir rambutnya. Selama beberapa saat Permaisuri Aoife tidak menyadari jika ada orang di dalam kamarnya, hingga Raja Lir menyapa, “Apa kabar, Aoife?” Suara Raja Lir yang berwibawa membuat Aoife terkejut. Dia menoleh dan sama sekali tidak menyangka jika Raja Lir berdiri di dalam kamarnya.
Dengan sigap Raja Lir langsung memegang rambut Aoife dan memotongnya. Raja Lir tahu, kekuatan sihir Aoife ada pada rambutnya yang panjang. “Srek!” rambut itu terpotong hingga di atas bahu. Aoife meradang. Dia tak punya kekuatan sihir lagi. Dia menyerang Raja Lir dengan membabi buta. Tapi, Raja Lir telah bersiap melumpuhkannya. Dengan sekali pukulan, Permaisuri Aoife terkapar tak berdaya.
Sementara di luar kamar, pasukan yang dipimpin oleh Neal dan Putri Alana berhasil menaklukan prajurit setia Permaisuri Aoife. Malam itu kerajaan Aigea kembali ke tangan Raja Lir. Keesokan harinya, Raja Lir mengumumkan bahwa kerajaan Aigea kembali dipimpin olehnya. Ia juga membuat sayembara, barang siapa menemukan 3 ekor angsa putih bermahkota akan diberi hadiah oleh kerajaan.
Hari berlalu, bulan berganti. Banyak yang membawa angsa putih, tapi bukan angsa yang bermahkota. Hingga, Putri Alana teringat kejadian di bawah pohon di pinggir desa.
“Ayahanda, kita harus membunyikan lonceng agar Caley, Darcey, dan Evota terbebas dari kutukan, karena itulah yang terjadi padaku, Ayahanda,” Putri Alana berkata, penuh semangat.
Raja Lir kemudian memerintahkan prajurit untuk membunyikan lonceng kerajaan. Suaranya membahana hingga sampai ke telinga ketiga angsa putih bermahkota di tempat yang berbeda. Dalam sekejap, tubuh mereka berubah menjadi manusia kembali. Mereka pun meminta tolong kepada orang-orang yang mereka jumpai untuk mengantarkan mereka ke kerajaan Aigea, dengan imbalan yang telah disiapkan oleh Raja Lir. Akhirnya, keluarga Raja Lir dapat berkumpul kembali dan hidup bahagia. Neal yang telah berjasa terhadap kerajaan diangkat menjadi panglima kerajaan Aigea.
***
Yesi selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asal cerita Irlandia," kata Yesi.
Yesi menutup bukunya dengan baik dan buku di taruh di meja. Yesi mengambil buku gambarnya dan segera menggambar apa yang ia suka.
FINN KESATRIA CUMHALL
“Jangan lupa tombak di dinding itu, Finn.” Bodhmall mengingatkan Finn untuk membawa senjata mereka. Sebuah tombak besar dan mengkilap karena sering diasah.
“Jangan sampai tombak ini mengenai teman-temanku, Ayah.”
“Kau yang akan memakai tombak itu kali ini. Jadi, kau bisa memilih mana yang yang akan kita jadikan sebagai santapan makan malam,” perintah Bodhmall.
Finn membawa tombak itu dengan hati-hati. Dia tidak ingin senjata itu justru melukai dirinya. Setelah semua perlengkapan siap, mereka berdua masuk ke dalam hutan yang lebih lebat. Pepohonan semakin rapat. Cahaya matahari yang terhalang dedauan membuat hutan menjadi remang-remang.
Setelah berjalan cukup lama, tiba-tiba ada seekor harimau mengadang mereka. Dengan sigap Bodhmall membuat kuda-kuda. Finn terkejut dan panik. Hal ini memang bukan yang pertama kali, namun harimau ini cukup besar baginya. Ukuran harimau itu sekitar dua atau tiga kali ukuran tubuhnya. Harimau itu bahkan bisa tumbuh lebih besar jika dibiarkan hidup. Dalam hati, Finn merasa sedikit gentar, tapi teriakan Ayahnya membuat semangatnya tergugah. Sekarang saatnya memperlihatkan semua kemampuannya. Finn melompat dengan tangkas. Harimau itu mengaum keras. Giginya yang runcing dan tajam menciutkan nyali Finn seketika.
“Jangan panik, Finn. Ikuti gerak harimau itu dengan tenang. Lompat dan pukul dia dengan tombakmu.” Bodhmall memberi aba-aba. “Ayo, kau adalah ksatria Cumhall yang tak terkalahkan.” Bodhmall memompakan semangat pada Finn.
Keberanian Finn langsung melambung mendengar kata ksatria Cumhall. Dia segera melupakan taring dan gigi harimau yang tajam. Dia mulai berkonsentrasi untuk bisa melumpuhkan harimau ini. Finn melompat dengan ringan.
“Wusss” Sabetan tombak ke arah harimau itu meleset. Harimau itu semakin marah. Matanya menyala liar. Harimau itu melompat, berusaha menerjang Finn dengan kuku-kukunya yang panjang. Finn segera menghindar dengan sigap. Harimau itu mengaum semakin garang. Kali ini Finn mengumpulkan seluruh tenaganya. Finn salto di udara dengan indah, dan ... wuuusss. Jleb. Tombak di tangan Finn menancap di tubuh harimau itu. Ia mengaum keras, namun sesaat kemudian diam. Finn tampak terengah-engah. Napasnya nyaris habis. Tiba-tiba Ayahnya bertepuk tangan dan tertawa lantang. Suaranya membahana ke seluruh penjuru hutan.
“Hebat, Anakku. Kau memang benar-benar ksatria Cumhall,” kata Ayah Finn. Dia mendekat ke arah Finn dan menepuk-nepuk bahunya, bangga.
“Apakah harimau itu sudah mati, Ayah?” tanya Finn, sambil mengatur napasnya. “Sebenarnya, aku lebih senang jika harimau itu bisa tetap hidup. Aku akan memeliharanya dan menjadikannya tungganganku. Bukankah dia cukup besar?”
“Dia bisa jadi harimau terbesar di hutan ini, Nak. Coba kau perhatikan baik-baik. Harimau ini masih sangat muda. Eemm … dia hanya pingsan. Obat bius yang ayah buat dan ada di ujung tombak itu hanya mampu bertahan beberapa jam saja. Setelah itu, dia akan bangun lagi. Jika kau menginginkannya, kita harus segera membawanya pulang.”
“Kalau begitu, ayo kita bawa dia, Ayah,” kata Finn bersemangat.
Mereka berdua membawa harimau itu dengan susah payah. Sesampai di rumah, mereka memasukkan harimau itu ke dalam kandang yang terbuat dari kayu-kayu pohon yang besar dan kuat. Kandang itu biasanya berisi binatang yang mereka simpan sebagai persediaan makanan selama beberapa hari ke depan.
“Aku akan menamai harimau itu Mumba. Nama yang bagus kan, Ayah.”
“Tentu saja.” Bodhmall mengangguk setuju.
Harimau itu tumbuh semakin besar. Badannya liat, bulunya kuning keemasan. Finn juga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Berbagai latihan bela diri dan berburu yang diajarkan ayahnya, menjadikannya gagah dan pemberani. Liath Luachra, ibunya, mengajarinya untuk selalu berbuat baik kepada siapapun, dan membantu orang yang sedang kesusahan, tanpa mengenal pamrih.
Finn menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Mumba. Dia berlatih bela diri dengan giat, dan sesekali mengisi lumbung makanan mereka dengan hasil berburu di hutan bersama Mumba. Kebersamaannya dengan Mumba menjadikan mereka dua sahabat yang tak terpisahkan. Suatu hari, Finn meminta izin kepada Ayahnya untuk pergi ke istana Kildare. Dia ingin menjadi prajurit kerajaan. Bodhmall pun mengizinkan Finn pergi.
“Sebelum kau mendaftar menjadi prajurit kerajaan. Carilah dulu ikan salmon pengetahuan. Makanlah ikan itu. Kamu akan dengan mudah mendapatkan pengetahuan tentang seluruh dunia, jika dapat memakannya.”
“Di manakah aku dapat menemukannya, Ayah?”
“Dia hanya hidup di kolam Boyne.”
Finn pun menuruti perkataan Ayahnya. Dia mencari kolam Boyne. Dia bertanya pada setiap orang yang ditemuinya. Namun, tak satu pun dari mereka yang mengetahui di mana kolam Boyne berada. Akhirnya, Finn sampai di sebuah desa dengan mengendarai Mumba. Matanya silau karena nyala api yang membubung tinggi ke angkasa. Rupanya, kebakaran sedang melanda desa itu. Penduduk terlihat bahu-membahu mencari air untuk memadamkan api. Finn tidak mau tinggal diam melihat kejadian itu. Dia segera mencari sumber air untuk membantu penduduk memadamkan api. Letak sungai yang cukup jauh dari desa membuat kolam-kolam air di kampung itu dikuras satu per satu. Perjuangan penduduk membuahkan hasil. Kebakaran itu berangsur-angsur mereda. Penduduk bersorak. Api telah berhasil dipadamkan.
“Terima kasih sudah ikut membantu memadamkan api di desa kami, Anak Muda,” kata seorang lelaki berbadan gemuk, yang berlari-lari mendekatinya.
“Sama-sama. Saya senang bisa membantu Anda dan orang-orang di kampung ini,” kata Finn, sambil tersenyum.
“Oh … ada harimau … ada harimau…” tiba-tiba, lelaki gendut itu berteriak histeris dan berlari menjauh, melihat Mumba yang mendekati Finn.
“Mumba bukan harimau ganas, Tuan. Anda tidak perlu takut,” teriak Finn pada lelaki itu. Dia khawatir jika penduduk desa justru menyerang Mumba. Dugaannya benar. Teriakan lelaki gendut tadi membuat beberapa orang berdatangan membawa senjata yang mereka miliki.
Finn tampak terkejut. Dia berusaha menjelaskan kepada penduduk desa. “Tuan-tuan, kalian tidak perlu takut. Ini harimau saya. Dia bukan harimau yang buas,” kata Finn, sambil melindungi Mumba dengan tubuhnya.
“Pergi kalian dari kampung ini. Nanti binatang ternak atau anak-anak kami jadi mangsa hariamaumu itu,” teriak salah seorang penduduk.
“Baiklah, aku akan pergi dari desa kalian. Tapi, aku ingin beristirahat di sini sebentar. Aku berharap kalian tidak keberatan,” Finn memohon. Penduduk desa sepakat untuk mengizinkan Finn beristirahat karena dia telah membantu mereka memadamkan api. Namun, mereka masih mengawasi Mumba dari kejauhan.
Perjalanan yang melelahkan membuat tubuh Finn terasa penat. Perutnya merasa lapar. Finn dan Mumba memilih beristirahat di bawah pohon. Mereka duduk santai sambil memandangi kolam yang telah kering di sebelah pohon. Tiba-tiba, ada seekor ikan yang menggelepar. Ia kekurangan air. Finn memerhatikan ikan itu dengan seksama.
“Mumba, itu ikan salmon,” teriak Finn pada Mumba. Finn segera turun ke dalam kolam dan menangkap ikan salmon itu.
Finn tersenyum bahagia, “Akhirnya, aku mendapatkanmu,” kata Finn, sambil mengangkat salmon itu tinggi-tinggi.
“Mumba, ayo kita masak ikan ini. Perutku sudah lapar sekali.”
Finn segera mencari ranting kayu yang kering untuk dijadikan perapian. Dia memasak ikan itu ala kadarnya. Tiba-tiba, ada letikan kulit salmon yang mengenai jarinya. Finn spontan memasukkan jari itu ke dalam mulutnya. Dan, srrreeet! Finn merasa menjadi manusia baru. Secara tiba-tiba, seluruh pengetahuan di dunia telah dikuasainya. Finn tertawa senang. Dia sontak memeluk Mumba yang berdiri tegak di sampingnya. Mumba tampak menginginkan daging Salmon itu. Namun, ikan itu sangat kecil, sehingga hanya cukup dimakan Finn dalam sekali telan.
“Sekarang kita bisa melanjutkan perjalanan ke istana Kildare. Ayo, Mumba,” Finn berkata sembari meloncat ke punggung Mumba. Mumba segera berlari dengan kecepatan tinggi. Mereka memilih untuk berbelok arah, tidak melewati desa tadi. Finn tidak ingin mengganggu ketentraman mereka.
Sesampai di istana Kildare, Finn langsung menghadap Raja Cumhall. Dia mengungkapkan keinginannya untuk menjadi prajurit Kildare. Kesempatan pemuda-pemuda desa untuk menjadi prajurit Kildare sangat sulit. Kerajaan hanya mau memilih pemuda-pemuda tangguh. Raja Cumhall turut mengajukan persyaratan atau melakukan tes yang ketat untuk memilih prajuritnya. Finn juga harus melalui semua itu. Dia harus mengikuti serangkaian tes dari sang Raja.
“Jika kau bisa membuat jalan di atas lautan yang menghubungkan kerajaan ini dengan Scotlandia. Maka, aku akan menerimamu menjadi prajuritku,” perintah Raja Cumhall.
Finn mengangguk mantap, meski dia belum tahu bagaimana caranya. “ Saya akan membuat jalan itu untuk Anda, Tuanku,” Finn berkata mantap, penuh hormat.
Finn meninggalkan ruangan itu sambil berpikir. Bagaimana dia bisa membangun jalan di atas lautan. Dia lalu memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut. Tiba-tiba, dia mempunyai jawaban untuk pertanyaannya tadi. Finn bersorak gembira. Dia segera berlari menemui sahabatnya, Mumba.
“Hari ini aku akan mulai membangun jalan itu, Mumba. Kau harus membantuku,” seru Finn bersemangat.
“Haauumm,” jawab Mumba, sambil menggerakkan kepalanya ke bawah.
“Bagus, Mumba. Ayo, kita berangkat.”
Mereka menuju tepian laut dan mulai membangun jalan itu dengan batu-batu alam yang telah diberi mantra, agar dapat mengapung dan tidak hanyut oleh air laut. Mereka menempelkan batu itu satu demi satu selama berhari-hari.
Suatu hari, ada musuh kerajaan Kildare yang tidak menyukai pembangunan jalan di atas laut itu. Mereka merasa terancam jika jalan itu berhasil dibuat. Mereka berusaha menggagalkan usaha Finn. Mereka menyerang Finn di malam hari, menghancurkan satu per satu, batu-batu yang sudah dipasang Finn.
“Heh, Anak Muda. Kamu tidak akan sanggup membangun jalan itu.” Sebuah suara mengagetkan Finn. Seorang kakek berpakaian hitam-hitam, berdiri di hadapannya.
“Siapa Anda?” tanya Finn kepada sang Kakek.
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Sekarang, tinggalkan saja pekerjaan bodohmu itu!”
“Saya tidak pernah mengganggu urusan Anda, Kek. Saya harap, Anda pun tidak mengganggu urusan saya,” Finn berkata dengan tenang.
“Ini akan menjadi urusan saya, karena yang menyuruhmu membangun jalan ini adalah Cumhall. Dia adalah musuh besar saya. Saya akan selalu menggagalkan apapun yang dia lakukan, ha .. ha .. ha..” Lelaki tua itu tertawa lebar.
Lelaki tua itu menyerang Finn dengan gerakan secepat kilat. Finn yang sudah terlatih, dapat mengelak dengan refleks. Mereka pun bertarung dengan sengit. Berkali-kali lelaki tua itu menyarangkan pukulannya di tubuh Finn, namun dengan gesit Finn mengelak dan langsung menyerang balik. Lelaki tua itu adalah petarung yang tangguh. Walaupun badannya sudah tua, tenaga yang dia miliki masih sanggup mengadang pukulan-pukulan yang dilontarkan Finn kepadanya.
Sementara mereka bertarung, bebatuan tempat mereka berpijak mulai bergeser. Finn tetap siaga. Dia harus dapat mengalahkan lelaki tua berjubah hitam ini dengan segera, sebelum bebatuan yang dipijaknya runtuh terkena pukulan dahsyat lelaki tua itu. Finn mulai terdesak. Napasnya terengah-engah. Dia teringat segenggam tanah yang tadi dibawanya. Tanah itu adalah tanah pemberian Ayahnya. Ayahnya berpesan kalau tanah itu bisa dia gunakan dalam keadaan mendesak. Inilah saatnya, batin Finn. Finn melemparkan segenggam tanah ke arah lelaki tua itu. Seketika itu juga, seperti ada kekuatan dahsyat yang menabrak tubuh Finn dan serta merta melemparkannya ke belakang. Lelaki tua itu sudah menghilang. Sementara gumpalan tanah yang tadi dia lemparkan, tampak mengambang di lautan. Finn mencoba berdiri. Dia kembali teringat akan pekerjaannya yang belum selesai. Dia mulai membenahi pekerjaannya yang berantakan, karena ulah lelaki yang tidak dikenalnya.
Usaha keras Finn selama berhari-hari membuahkan hasil. Kini, jembatan panjang yang menghubungkan kerajaan Kildare dengan Scotlandia sudah berdiri tegak. Finn segera menghadap sang Raja untuk menagih janjinya.
“Tuanku, kini Tuanku bisa menyeberang ke Scotlandia tanpa menjadi basah. Jembatan itu sudah selesai saya bangun, sesuai permintaan Tuanku,” kata Finn, penuh percaya diri. Sang Raja merasa senang. Selama ini sang Raja melihat apa yang dilakukan Finn dari kejauhan.
“Baiklah. Sesuai janjiku kepadamu, aku menerimamu menjadi prajurit di kerajaan Kildare.”
Finn bersuka cita. Cita-citanya untuk menjadi prajurit di kerajaan Kildare menjadi kenyataan. Ayah dan ibunya pasti sangat senang jika tahu dirinya sudah diangkat menjadi prajurit kerajaan. Di suatu malam yang gelap gulita, sesosok bayangan hitam menyusup ke dalam istana. Sementara di balik rerimbunan semak, orang-orang bertopeng berjejer, siap dengan senjata mereka masing-masing. Rupanya, malam itu ada sebuah penyerangan ke istana Kildare. Mata-mata kerajaan telah mendapatkan berita itu dari sumber yang dapat dipercaya. Di dalam istana, persiapan untuk melawan pemberontak telah selesai dilakukan. Mereka telah bersiaga dengan senjata lengkap.
Sebuah panah api melesat di angkasa, pertanda penyerangan segera dilakukan. Bayangan-bayangan hitam berkelebat cepat menembus dinding istana. Denting senjata terdengar riuh di tengah gulita malam. Finn telah bersiaga dengan senjata di tangannya. Kibasan tombaknya lincah mencari sasaran. Satu per satu bayangan hitam itu tergeletak terkena sabetan senjata tajam. Pertempuran kian sengit ketika aba-aba kedua dibunyikan. Kali ini, pasukan kerajaan Kildare memuntahkan anak panah berujung api, yang menyala besar ketika mengenai sasaran. Korban-korban semakin banyak berguguran.
Finn bertempur seperti banteng terluka. Dia menggerakkan seluruh kemampuannya untuk mempertahankan kerajaan. Tiba-tiba, sesosok bayangan hitam muncul di hadapannya. Finn terperanjat. Dia mengenali orang berjubah hitam itu.
“Ha .. ha .. ha.. Kita bertemu lagi, Anak Muda,” sapa lelaki itu, sembari tertawa. Finn semakin yakin, kalau lelaki itu adalah lelaki yang menjegal usahanya, untuk membuat jalan di atas laut tempo hari.
“Oh.. ternyata kamu lagi, Pak Tua. Sebenarnya, apa maumu?” Finn bertanya, sedikit kesal.
“Huh! Sebenarnya, aku tidak punya urusan apa-apa denganmu. Tapi, karena kau adalah bagian dari Cumhall, maka aku jadi punya urusan denganmu.” Lelaki itu bicara panjang lebar. Tapi, Finn sama sekali tidak tahu apa yang dia bicarakan.
“Oleh karena kau adalah keturunan Cumhall dan pewaris tunggal kerajaan Kildare, maka aku tidak sudi membiarkanmu tetap hidup. Aku mengakui jika kau memang hebat, Finn Mc Cumhall. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu terus menjadi orang hebat!”
Tanpa memberikan waktu kepada Finn untuk berpikir, lelaki tua itu menyerang Finn dengan membabi buta. Finn mulai kerepotan. Dia terus menghindari pukulan demi pukulan yang dilontarkan kepadanya. Selama pertempuran, otak Finn terus berpikir keras, mencoba memahami perkataan lelaki tua itu. Keturunan Cumhall, pewaris tunggal Kildare.
“Tuan, sebenarnya apa maksud perkataanmu?” Finn bertanya, berusaha mendesak lelaki tua itu.
“Apakah kau seorang yang bodoh atau benar-benar tidak tahu, Anak Muda. Kau adalah anak Raja Cumhall.”
Sreet! Sebuah luka menganga di lengan Finn. Perkataan lelaki tua itu membuatnya lengah. Anak raja Cumhall? Finn tidak memercayai perkataan lelaki tua itu begitu saja. Dia langsung bergerak secepat kilat, dan melumpuhkan lelaki tua itu. Namun, pertempuran itu berhenti tiba-tiba ketika seseorang berteriak lantang.
“Letakkan senjata kalian semua, atau pimpinan kalian ini akan mati!” Finn berteriak, lantang. Suaranya menggelegar. Semua mata tertuju ke arah Finn, sementara lelaki tua itu tak bergerak di bawah ketiak Finn. Gemerincing suara senjata dijatuhkan terdengar. Finn mengedarkan pandangannya. Memastikan kalau semua musuhnya tidak lagi bersenjata. Lalu, mereka digiring ke lapangan di depan istana. Raja Cunhall datang dikawal beberapa prajuritnya. Melihat laki-laki yang dibawa Finn, Raja Cumhall tersenyum sinis.
“Aku sudah menduga, kalau kau yang melakukan semua ini, Grineuis. Kau adalah orang yang sangat kupercaya, tapi justru kau mau menghancurkan aku.”
“Seharusnya kau lebih waspada, Cumhall.” Lelaki itu justru tersenyum lebar. Dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut.
“Bawa mereka semua ke penjara bawah tanah,” kata Raja Cumhall lantang. Orang-orang berpakaian hitam-hitam itu dibawa ke penjara bawah tanah dengan tangan terikat. Finn menyerahkan tawanannya kepada prajurit lain. Dia berlari ke arah Raja Cumhall yang telah bersiap masuk kembali ke istana.
“Tuanku Raja, bolehkan hamba bertanya sesuatu kepada Paduka.” Finn membungkukkan badannya penuh rasa hormat. Raja Cumhall mengangkat tangannya, kemudian dia berkata dengan penuh wibawa.
“Tunggulah sampai besok pagi. Malam ini kita semua terlalu lelah dengan pertempuran ini.” Perkataan Raja Cumhall membuat Finn tidak bisa menawar lagi.
Keesokan harinya, sang Raja mengumpulkan rakyat Kildare di alun-alun istana. Dia akan memberikan pengumuman penting. Raja Cumhall berdiri dengan gagah di atas podium, dengan lantang dia mulai berbicara, “Tadi malam telah terjadi pemberontakan di istana yang dilakukan oleh Grineuis, orang kepercayaanku sendiri. Aku sangat berterima kasih kepada seluruh prajuritku yang telah bertempur dengan gagah berani, menjaga kehormatan istana. Sebagai penghargaan atas jasa seorang prajurit yang telah berhasil melumpuhkan Grineuis, maka aku akan mengangkat dia menjadi panglima kerajaan Kildare. Sebenarnya, dia juga putra mahkota kerajaan Kildare. Aku sengaja mengasingkannya untuk menghindarkan dia dari musuh-musuh dalam selimut, yang ada di sekitarku. Selain itu, dia juga bisa belajar ilmu-ilmu pengetahuan dan bela diri yang tidak bisa didapatkan di istana. Dia adalah Finn Mc Cumhall.”
Perkataan sang Raja seolah menyedot seluruh tenaga Finn. Apalagi gemuruh tepuk tangan yang membuat tubuh Finn semakin lemas. Dia sama sekali tidak menyangka kejadian ini akan terjadi dalan kehidupannya. Dia menyayangi Bodhmall dan Liath Luachra sebagai orang tuanya. Finn sama sekali tidak menyangka kalau dia adalah anak Raja Cumhall. Finn semakin terkejut ketika melihat Bodhmall dan Liath Luachra berdiri di belakang sang Raja, tersenyum, sambil melambaikan tangan ke arahnya. Finn pun diagung-agungkan sebagai pahlawan oleh rakyat Kildare.
***
Ariana selesai membaca bukunya.
"Bagus cerita asal dari...Irlandia," kata Ariana.
Ariana menutup bukunya dan menaruh buku di meja.
"Nonton vidio yang menarik di Youtobe," kata Ariana.
Ariana segera menonton vidio yang menarik di Youtobe di Hp-nya.
ASAL NAMA SINGAPURA
Beratus-ratus tahun silam hiduplah Sang Nila Utama, Raja Sriwijaya. Pada suatu hari, ditemani beberapa pengawal setianya, Raja pergi berlayar. Di perjalanan angin topan datang. Para pengawal mengusulkan agar Raja membatalkan niatnya.
“Paduka, sungguh berbahaya meneruskan perjalanan pada saat seperti ini. Lebih baik kita singgah dulu ke tempat yang aman. Kalau hamba tak keliru, tempat terdekat dari sini adalah Pulau Tumasik. Bagaimana kalau kita ke sana sambil menunggu keadaan tenang,” kata kapten kapal.
Raja setuju. Perahu mereka pun merapat ke Pulau Tumasik. Setelah mendarat, Raja meninggalkan kapal dan berkeliling melihat-lihat pulau itu. Ketika berkeliling itulah tiba-tiba seekor binatang berkelebat tak jauh darinya. Raja terkejut dan terpukau. Binatang itu begitu besar, berwarna keemasan, dan tampak gagah.
“Mahluk apakah itu?” tanya sang Raja.
“Kalau hamba tak salah, orang-orang menyebutnya singa, Yang Mulia,” jawab salah seorang pengawal.
“Apa?” tanya sang Raja.
“Singa” jawab pengawal tadi.
Raja lalu minta keterangan lebih banyak tentang biantang yang baru pertama kali dilihatnya itu. Dengan penuh perhatian Raja mendengarkana penjelasan pengawalnya.
“Kalau begitu, kita beri nama tempat ini Singapura. Artinya: Kota Singa”. Sejak itulah kota itu bernama Singapura.
***
Sisilia selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus asalnya dari Singapura," kata Sisilia.
Sisilia menutup bukunya dengan baik, ya di taruh di meja bersama dengan buku yang lainnya.
"Nonton Tv ah!" kata Sisilia.
Sisilia keluar dari kamarnya, ya ke ruang tengah. Duduk dengan baik Sisilia di sofa dan mengambil remot di meja dan, ya menghidupkan Tv dengan baik. Acara yang di tonton Sisilia film ayat ayat cinta. Sisilia menaruh remot di meja.
"Film yang aku tonton ini bagus!" kata Sisilia.
Sisilia terus asik nonton film di Tv dengan penuh kesantaianlah.
BUKIT MERAH
Isi buku yang di baca Marion :
Dulu, Singapura pernah direpotkan oleh ikan todak. Ikan bermoncong panjang dan tajam itu suka menyerang penduduk. Tak terhitung berapa banyak penduduk yang luka-luka dan mati akibat serangan ikan ganas itu. Raja kemudian memerintahkan penglima perangnya untuk menaklukkan ikan-ikan jahat itu. Maka, dipersiapkanlah sepasukan prajurit untuk membunuh ikan itu. Akan tetapi, hampir semua prajurit itu mati di moncong Todak. Raja bingung bagaimana menundukkan ikan itu. Di tengah kebingungannya, Raja didatangi seorang anak kecil.
“Mohon ampun, Paduka yang Mulia, bolehkah hamba mengatakan sesuatu tentang ikan-ikan itu?” tanya anak kecil itu.
“Katakanlah!” jawab sang Raja.
“Ikan-ikan itu hanya bisa ditaklukkan dengan pagar pohon pisang.”
“Apa maksudmu?” tanya sang Raja. Yang dimaksud anak kecil itu adalah pagar yang terbuat dari batang pohon pisang. Pohon-pohon itu ditebang, dijajarkan, kemudian direkatkan dengan cara ditusuk dengan bambo antara yang satu dan lainnya hingga menyerupai pagar.
Pagar itu kemudian ditaruh di pinggir pantai, tempat ikan-ikan itu biasa menyerang penduduk. Raja kemudian memerintahkan Panglima untuk membuat apa yang dilkatakan anak kecil itu. Diam-diam Panglima mengakui kepintaran si anak. Diam-diam pula dia membenci anak kecil itu. Gagasan si anak membuat Panglima merasa bodoh di hadapan Raja.
“Seharusnya akulah yang mempunyai gagasan itu. Bukankah aku panglima perang tertinggi? Masak aku kalah oleh anaka kecil,” katanya dalam hati.
Keesokan harinya, selesailah pagar pohon pisang itu. Pagar itu lalu ditaruh di tepi pantai sebagaimana yang dikatakana si anak kecil.
Ternyata benar. Ikan-ikan yang menyerang pagar pohon pisang itu tak bisa menarik kembali moncongnya. Mereka mengelepar-gelepar sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Moncong mereka yang panjang dan tajam itu menancap kuat dan dalam pada batang pohon pisang yang lunak itu. Akhirnya, dengan mudah penduduk dapat membunuh ikan-ikan jahat itu. Si anak pun diberi hadiah oleh Raja.
“Terima kasih. Kau sungguh-sungguh anak yang pintar,” puji Raja.
Orang-orang bersuka cita. Akan tetapi, panglima perang yang iri dan kesal karena merasa tampak bodoh di hadapan Raja itu menghasut Raja.
“Baginda, anak kecil yang cerdas itu tampaknya bisa menjadi ancaman jika dia besar nanti” kata Panglima.
“Maksudmu?” tanya sang Raja.
“Siapa tahu, setelah besar nanti, dengan kepintarannya dia berhasrat merebut tahta Paduka” kata Panglima.
Raja terhasut. Ia lalu memerintahkan Sang Panglima untuk menyingkirkan anak itu. Sang Panglima mendatangi rumah anak kecil itu dan dengan licik membunuh anak tak berdosa itu. Anehnya, darah si anak mengalir deras dan membasahi seluruh tanah bukit tempat anak itu tinggal. Seluruh bukit menjadi merah. Orang-orang lalu menyebut tempat itu Bukit Merah.
***
Marion selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus asalnya dari Singapura," kata Marion.
Marion menutup buku dan buku di taruh di meja.
"Nonton Tv aja!" kata Marion.
Marion mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara yang di tonton Marion, ya musik sih. Acara musik yang mengisi ternyata penyanyi yang cantik dengan penampilannya, ya Marion Jola. Marion menaruh remot di meja dan asik menonton acara Tv yang bagus itu karena banyak artis Indonesia yang populer memeriahkan acara musik dengan baik.
CEWEK LOKAL ATAU BULE
CAMPUR ADUK
MUMBAI XPRESS
Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...
CAMPUR ADUK
-
1. Asal Usul Pangeran Jayakusuma Alkisah cerita, ada sebuah kerajaan yang besar di daerah Timur dengan rajanya yang bernama Prabu Braw...
-
Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan...
-
Pagi indah sekali di Baturaden. Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon ceramah yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Slamet m...