Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan berhenti ujungnya di depan sebuah loket. Di atas loket itu tergantung sebilah papan bertulis dengan huruf-huruf putih mungli: Mengambil uang pos wesel bertanda C. Biasanya pos wesel yang bertanda C berjumlah di bawah seribu rupiah.
Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat ranjang loket adalah seorang laki-laki berperawakan kurus kecil yang sekilas tampak sebagai karung goni kosong yang disampirkan ke kawat penjemuran. Kepala yang ditumbuhi rambut kelabu dengan sewenang-wenang dan tak terurus itu seperti dipertautkan begitu saja di atas tubuh kurus kecil itu. Dan yang lebih mengganggu ialah pakaian yang menempeli badannya, selain kelonggaran, pun tampaknya sudah berminggu-minggu belum pernah berganti.
Patutlah jika wanita di belakangnya selalu menekan sapu tangannya ke bawah hidupnya dan tetap menjaga jarak tertentu dari laki-laki itu. Mungkin untuk mengindari hal-hal yang kurang menyedapkan.
Tapi, laki-laki itu rupannya tidak memusingkan benar sama sekali perilaku perempuan di belakangannya itu. Perhatiannya selalu tercurah kepada kepada jendela loket di hadapannya yang belum terbuka.
Tambahan lama tambah panjang juga jadinya antrean itu, karena orang-orang yang baru datang terus saja tegak menyambung. Tapi, jendela loket itu belum juga terbuka. Beberapa orang mulai bersungut-sungut dan malahan sudah ada yang mengomel keras-keras, karena sang pegawai belum tampak juga batang hidupnya. Dan deretan terus memanjang hingga mengganggu lalu-lalang ke loket lain.
Akhirnya, muncul juga pegawai yang ditunggu-tunggu. Seorang wanita separo baya, berkacamata, dalam gaun seragam lengkap dengan tanda-tanda kepegawaian yang terpancang di bahunya. Beberapa helai uban tampak di antara rambutnya yang tersusun rapi.
Setelah duduk di mejanya, sekejap ditatapnya deretan panjang di muka loket itu, seakan-akan hendak dihitungnya jumlah mereka. Dan sesaat wajahnya berubah mengerut. Dan semua mata dari deretan itu membalasnya dengan lontaran rasa jengkel yang tersekat.
"Ayo lekas, Bung!" kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket dibuka.
Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan buru-buru disodorkannya pos weselnya ke dalam loket.
"Punya kartu pengenal?' tanya si pegawai.
Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud dan sekali lagi menyodorkannya ke dalam loket. Si pegawai kini mencocokkan tanda tangan dalam pos wesel itu dengan tanda-tangan yang tertera dalam kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingkan-bandingkan potret dalam kartu itu dengan muka laki-laki di hadapannya. Lakunya terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tapi dia tentu mengerti dalam hal ini ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini, benarkah ini potret saudara sendiri?" tanya si pegawai akhirnya.
"Mengapa? Itu potret saya dua tahun yang lalu..." "Dua tahun? Mengapa begini jauh berbeda?"
Laki-laki itu kini memandang tajam kepada si pegawai dan urat-urat di wajahnya meregang serempak. Tapi, ia tetap membisu. Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah, tapi si pegawai kemudian berkata.
"Ya, kali ini biarlah tak mengapa. Sebaiknya saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang terbaru. Sebab, maklumlah orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang hari-hari masa kini lebih serakah menghisap usia kita. Nah, berapa jumlah yang harus saudara terima?"
"Tiga ratus."
Sambil menyerahkan uang dan kartu pengenal kepada laki-laki itu, si pegawai melanjutkan pula, "Coba lihat, dua tahun yang lalu saudara buat potret ini, dan sekarang hampir-hampir tak bisa dikenali lagi."
Laki-laki itu menerima uang dan kartu pengenalnya kembali dan dengan diam-diam pergi dari situ.
Menyusullah kemudian orang kedua dalam deretan itu mendapat giliran dan begitu seterusnya setiap orang bergerak maju satu demi satu ke depan loket menyodorkan pos weselnya masing-masing dan setelah mendapat pelayanan mereka pun pergi berlalu.
Banyak sudah yang telah mendapat giliran, tapi deretan itu seperti tak kunjung berkurang, karena yang baru datang pun mengalir terus tiada putus-putusnya. Detik-dekit menggelinding bagai butiran-butiran kalung bergerak bersama deretan panjang di muka loket itu.
Satu jam berlalu dan si pegawai masih terus sibuk di mejanya ketika tiba-tiba muncul kembali wajah laki-laki kurus kecil, orang yang pertama dilayaninya tadi, di muka loket seraya berkata, "Maaf Nyonya saya mengganggu lagi. Tidakkan tadi..."
"Nona!" sela si pegawai ketus. Seketika laki-laki itu diam termangu memandangi roman muka si pegawai wanita. Ada sedikit rasa mual naik membayang di wajahnya.
"Maaf Nona, saya tidak tahu," katanya kemudian. "Ya, ya. Ada apa lagi?" desak si pegawai.
"Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika Nona membayarkan uang pos wesel kepada saya, sebab..."
"Mana bisa keliru?" si pegawai menyela cepat."Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tidak salah sekianlah angka yang tertulis dalam pos wesel saya."
"Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor pos wesel saudara."
Lalu si pegawai memeriksa satu lajur dalam daftar yang terkembang di hadapannya, kemudian katanya, "Nah, ini wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang: tiga ratus rupiah. Apa yang keliru? Bukankah saudara tadi terima dari saya tiga ratus rupiah?"
"Tidak," jawab laki-laki itu. "Nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar uang kertas ratusan, tapi empat lembar. Jadi, empat ratus rupiah yang saya terima tadi."
Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hati "nona" itu hingga hampir-hampir ia menjerit karenanya dan itulah pula sebabnya ia tak membuka mulut sesaat lamanya. Kemudian ujarnya, "Oh, kalau begitu saya keliru. Benar-benar keliru," katanya dengan kemalu-maluan. "Maklum banyak kerja. Lagipula lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja terlengket. Jadi, saudara mau kembalikan uang seratus rupiah itu kepada saya sekarang?"
"Betul, saya akan mengembalikannya kepada Nyonya..." "Nona!" sela si pegawai cepat.
"Oh, maaf. Mulanya saya akan kembalikan kepada Nona seratus rupiah. Tapi, ketika dari rumah saya bersepeda kemari, dengan tak terduga-duga ban sepeda saya meletus di tengah jalan. Terpaksa saya suruh orang menambalkan dan ongkosnya lima belas rupiah. Selain itu saya mesti menitipkan sepeda saya dekat kantor ini dan orangnya minta dibayar lima rupiah. Jadi,seratus rupiah diambil dua puluh rupiah sisanya adalah delapan puluh rupiah. Itulah yang akan saya kembalikan kepada Nona. Delapan puluh rupiah." Lalu disodorkannya sejumlah uang yang telah disebutkannya itu ke dalam loket.
Pegawai wanita itu menggeser kursinya ke belakang seolah-olah ia tiba-tiba merasa cemas melihat hidung laki-laki kurus di hadapannya itu. Kacamatanya bergerak-gerak resah.
"Delapan puluh rupiah?" pekiknya. "Mengapa delapan puluh? Sungguh saya tidak mengerti mengapa pula ban-ban sepeda yang meletus dihubung-hubungkan dengan soal ini? Oh, jangan berolok-olok... Saya tidak tahu apakah ban sepeda saudara meletus dengan tiba-tiba atau meledak seperti bom hidrogen. Saya tidak peduli apakah saudara menitipkan sepeda itu atau melemparkannya di jalan. Bahkan saya tidak tahu apakah benar-benar anda memiliki sebuah sepeda. Dan saya memang tidak peduli pada semua itu. Yang saya tahu pasti ialah saudara telah mengakui di hadapan saya dan semua khalayak di muka loket ini bahwa saudara telah menerima kelebihan selembar uang kertas ratusan dari saya. Dan jumlah itulah yang harus saya terima kembali. Sesen pun tidak boleh dikurangi. Ketahuilah bahwa uang itu bukan milik saya, tapi milik negara!"
Kata-kata si pegawai memberondong demikian cepat bagaikan peluru-peluru yang mendesing memerahkan daun telinga laki-laki kurus kecil itu. Biji matanya melotot berputar-putar cepat seolah-olah hendak melompat keluar dari kedua bela matanya.
"Tapi, Nona harus mengerti pula," ujarnya kemudian dengan suara menggelegar.
"Kedatangan saya kembali bukanlah menjadi urusan saya, tapi semata-mata adalah demi kepentingan Nona..."
"Sudah saya bilang tadi, itu saya tidak peduli! Jangan buang-buang waktu. Yoh cepat! Kembalikan uang itu! Huru-hara itu telah menyebabkan deretan panjang yang teratur itu jadi bubar berantakan. Semua orang sekarang sama menggerundel dekat loket. Dan sudah barang tentu mereka telah mengikuti dengan seksama pertengkaran antara laki-laki kurus dengan si pegawai wanita di belakang loket itu. Umumnya mereka sependapat, peristiwa ini adalah sesuatu yang menarik juga, meskipun karenanya waktu mereka jadi tersia-sia.
Sebagian bersikap acuh tak acuh dan sebagian lagi telah menyimpulkan penilaian masing-masing.
"Si pegawai wanita itu memang cerewet." Inilah pendapat sebagian dari mereka. "Si tua itu kepingin benar dipanggil nona. Benarkah ia masih nona? Itu bukan soal utama. Yang jelas ialah bahwa ia, si tua itu, tak dapat menghargai kejujuran yang begitu bersih. Si tua itu seharusnya sudah puas menerima, misalnya separo dari jumlah uang yang telah dikelirukannya. Siapakan orangnya sekarang yang sudi tersuruk-suruk datang kembali ke loket itu untuk menyerahkan kembali uang yang telah berada di tangan?"
"Laki-laki kurus itulah yang sebenarnya tolol, kalau tidak mau disebut gila!" Ini adalah pendapat setengah yang lain. "Apa guna ia datang terengah-engah untuk menyerahkan kembali rezeki mujur yang telah diperolehnya dari si tua itu? Tidakkah lebih baik jika ia membelanjakan saja untuk dirinya? Bukankah seratus rupiah banyak pula gunanya? Lebih-lebih di zaman uang seret seperti sekarang ini? Oh, si goblok yang tak tahu diri, biarlah dirasainnya sendiri akibat ketololannya."
Seorang laki-laki berbadan tegap laksana reruntuhan sebuah candi yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi, ia berkata kepada laki-laki kurus itu.
"Apakah yang mendorong saudara dari jauh datang kembali untuk mengembalikan uang itu?"
Laki-laki kurus itu berpikir sejenak dan berkata-kata yang patut untuk dijadikan jawaban bagi pertanyaan yang datang tiada tersangka-sangka itu.
"Saya merasa," katanya. "uang itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak atas uang itu makan harus saya kembalikan pada yang berhak."
Barangkali disebabkan oleh susunan kalimat yang baru didengarnya itu, tapi laki-laki tegap itu memang termangu sejenak, ia merasa dirinya berada dalam sebuah masjid mendengar fatwa yang bernada agung dan bergaung kudus, atau serupa ia menemukan satu kalimat yang bagus dan mengesankan dari buku yang sedang dibacanya.
"Saya sungguh-sungguh terharu menyaksikan kejujuran saudara, " katanya kemudian."Jarang saya jumpai orang sejujur saudara. Kejujuran seperti ini patut kita hargai."
Tiba-tiba saudaranya jadi sangat gembira, "Wajiblah kita menghormati saudara. Bahkan layak bila saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu rame-rame kita arak saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu rame-rame kita arak saudara menuju ke rumah Bapak Wali kota. Tidaklah berlebihan kalau saya katakan, kesempatan seperti ini harus kita rayakan secara besar-besaran!"
Laki-laki kurus itu ternanar. "Mudah-mudahan itu hanya olok-olok saja," pikirnya, karena tidaklah dapat dibayangkan bagaimana ia dalam pakaian kebesaran itu diarak beramai-ramai ke rumah Bapak Wali Kota.
"Nah, sekarang masukkan kembali kembali ke kantong saudara delapan puluh rupiah itu," ujar laki-laki berbadan tegap itu pula. "Seratus rupaih akan saya keluarkan dari kantong sendiri untuk menggantikannya," seraya berpaling kepada si pegawai dalam loket dan menyodorkan satu lembar kertas ratusan seraya berkata, "Terimalah kembali uang ini, Nyonya..."
"Nona!" cetus si pegawai wanita.
"Maaf Nona manis," lalu kepada laki-laki kurus katanya, "Sekarang soalnya sudah beres. Mari kita sama-sama pergi dari tempat ini."
Mereka menguak kerumunan orang banyak yang mengelilinginya dan berdua melangkah meninggalkan tempat itu. Semua mata serupa terpesona mengikuti mereka sampai hilang ke balik pintu besar ruangan itu. Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus pun berkata dengan suara penuh hormat kepada kawan barunya itu, "Saya mengucapkan terima kasih atas kemurahan saudara..."
Tiba-tiba kawannya itu pecah dalam gelak terbahak-bahak yang tentunya membuat si kurus jadi heran terlongo-longo. "Saudara sama sekali tidak usah berterima kasih kepada saya," ujar si tegap. "Sebenarnya uang yang saya kembalikan tadi itu bukanlah uang saya.."
Si kurus belum mengerti.
"Seperti yang saudara alami sebelumnya, begitulah si Nona manis itu telah berkenan memberi ekstra pula kepada saya sejumlah seratus rupiah."
Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya menggigil menahan amarahnya.
"Saya orang melarat," katanya serak, Tidak tahulah saya adakah besok mampu membeli beras untuk mereka. Tapi, olok-olok saudara itu tidak dapat saya terima. Harus saya kembalikan uang ini kepadanya."
Cepat si kurus membalik. Terhuyung-huyung ia lari menuju pintu kantor pos dan menghilang di sana.
Si tegap berdiri takjub. Tanya di dalam hatinya tak junjung terjawab, "Benarkah ada orang seaneh itu?
Karya: Muhammad Ali
Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat ranjang loket adalah seorang laki-laki berperawakan kurus kecil yang sekilas tampak sebagai karung goni kosong yang disampirkan ke kawat penjemuran. Kepala yang ditumbuhi rambut kelabu dengan sewenang-wenang dan tak terurus itu seperti dipertautkan begitu saja di atas tubuh kurus kecil itu. Dan yang lebih mengganggu ialah pakaian yang menempeli badannya, selain kelonggaran, pun tampaknya sudah berminggu-minggu belum pernah berganti.
Patutlah jika wanita di belakangnya selalu menekan sapu tangannya ke bawah hidupnya dan tetap menjaga jarak tertentu dari laki-laki itu. Mungkin untuk mengindari hal-hal yang kurang menyedapkan.
Tapi, laki-laki itu rupannya tidak memusingkan benar sama sekali perilaku perempuan di belakangannya itu. Perhatiannya selalu tercurah kepada kepada jendela loket di hadapannya yang belum terbuka.
Tambahan lama tambah panjang juga jadinya antrean itu, karena orang-orang yang baru datang terus saja tegak menyambung. Tapi, jendela loket itu belum juga terbuka. Beberapa orang mulai bersungut-sungut dan malahan sudah ada yang mengomel keras-keras, karena sang pegawai belum tampak juga batang hidupnya. Dan deretan terus memanjang hingga mengganggu lalu-lalang ke loket lain.
Akhirnya, muncul juga pegawai yang ditunggu-tunggu. Seorang wanita separo baya, berkacamata, dalam gaun seragam lengkap dengan tanda-tanda kepegawaian yang terpancang di bahunya. Beberapa helai uban tampak di antara rambutnya yang tersusun rapi.
Setelah duduk di mejanya, sekejap ditatapnya deretan panjang di muka loket itu, seakan-akan hendak dihitungnya jumlah mereka. Dan sesaat wajahnya berubah mengerut. Dan semua mata dari deretan itu membalasnya dengan lontaran rasa jengkel yang tersekat.
"Ayo lekas, Bung!" kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket dibuka.
Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan buru-buru disodorkannya pos weselnya ke dalam loket.
"Punya kartu pengenal?' tanya si pegawai.
Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud dan sekali lagi menyodorkannya ke dalam loket. Si pegawai kini mencocokkan tanda tangan dalam pos wesel itu dengan tanda-tangan yang tertera dalam kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingkan-bandingkan potret dalam kartu itu dengan muka laki-laki di hadapannya. Lakunya terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tapi dia tentu mengerti dalam hal ini ia tak bisa berbuat apa-apa.
"Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini, benarkah ini potret saudara sendiri?" tanya si pegawai akhirnya.
"Mengapa? Itu potret saya dua tahun yang lalu..." "Dua tahun? Mengapa begini jauh berbeda?"
Laki-laki itu kini memandang tajam kepada si pegawai dan urat-urat di wajahnya meregang serempak. Tapi, ia tetap membisu. Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah, tapi si pegawai kemudian berkata.
"Ya, kali ini biarlah tak mengapa. Sebaiknya saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang terbaru. Sebab, maklumlah orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang hari-hari masa kini lebih serakah menghisap usia kita. Nah, berapa jumlah yang harus saudara terima?"
"Tiga ratus."
Sambil menyerahkan uang dan kartu pengenal kepada laki-laki itu, si pegawai melanjutkan pula, "Coba lihat, dua tahun yang lalu saudara buat potret ini, dan sekarang hampir-hampir tak bisa dikenali lagi."
Laki-laki itu menerima uang dan kartu pengenalnya kembali dan dengan diam-diam pergi dari situ.
Menyusullah kemudian orang kedua dalam deretan itu mendapat giliran dan begitu seterusnya setiap orang bergerak maju satu demi satu ke depan loket menyodorkan pos weselnya masing-masing dan setelah mendapat pelayanan mereka pun pergi berlalu.
Banyak sudah yang telah mendapat giliran, tapi deretan itu seperti tak kunjung berkurang, karena yang baru datang pun mengalir terus tiada putus-putusnya. Detik-dekit menggelinding bagai butiran-butiran kalung bergerak bersama deretan panjang di muka loket itu.
Satu jam berlalu dan si pegawai masih terus sibuk di mejanya ketika tiba-tiba muncul kembali wajah laki-laki kurus kecil, orang yang pertama dilayaninya tadi, di muka loket seraya berkata, "Maaf Nyonya saya mengganggu lagi. Tidakkan tadi..."
"Nona!" sela si pegawai ketus. Seketika laki-laki itu diam termangu memandangi roman muka si pegawai wanita. Ada sedikit rasa mual naik membayang di wajahnya.
"Maaf Nona, saya tidak tahu," katanya kemudian. "Ya, ya. Ada apa lagi?" desak si pegawai.
"Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika Nona membayarkan uang pos wesel kepada saya, sebab..."
"Mana bisa keliru?" si pegawai menyela cepat."Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tidak salah sekianlah angka yang tertulis dalam pos wesel saya."
"Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor pos wesel saudara."
Lalu si pegawai memeriksa satu lajur dalam daftar yang terkembang di hadapannya, kemudian katanya, "Nah, ini wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang: tiga ratus rupiah. Apa yang keliru? Bukankah saudara tadi terima dari saya tiga ratus rupiah?"
"Tidak," jawab laki-laki itu. "Nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar uang kertas ratusan, tapi empat lembar. Jadi, empat ratus rupiah yang saya terima tadi."
Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hati "nona" itu hingga hampir-hampir ia menjerit karenanya dan itulah pula sebabnya ia tak membuka mulut sesaat lamanya. Kemudian ujarnya, "Oh, kalau begitu saya keliru. Benar-benar keliru," katanya dengan kemalu-maluan. "Maklum banyak kerja. Lagipula lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja terlengket. Jadi, saudara mau kembalikan uang seratus rupiah itu kepada saya sekarang?"
"Betul, saya akan mengembalikannya kepada Nyonya..." "Nona!" sela si pegawai cepat.
"Oh, maaf. Mulanya saya akan kembalikan kepada Nona seratus rupiah. Tapi, ketika dari rumah saya bersepeda kemari, dengan tak terduga-duga ban sepeda saya meletus di tengah jalan. Terpaksa saya suruh orang menambalkan dan ongkosnya lima belas rupiah. Selain itu saya mesti menitipkan sepeda saya dekat kantor ini dan orangnya minta dibayar lima rupiah. Jadi,seratus rupiah diambil dua puluh rupiah sisanya adalah delapan puluh rupiah. Itulah yang akan saya kembalikan kepada Nona. Delapan puluh rupiah." Lalu disodorkannya sejumlah uang yang telah disebutkannya itu ke dalam loket.
Pegawai wanita itu menggeser kursinya ke belakang seolah-olah ia tiba-tiba merasa cemas melihat hidung laki-laki kurus di hadapannya itu. Kacamatanya bergerak-gerak resah.
"Delapan puluh rupiah?" pekiknya. "Mengapa delapan puluh? Sungguh saya tidak mengerti mengapa pula ban-ban sepeda yang meletus dihubung-hubungkan dengan soal ini? Oh, jangan berolok-olok... Saya tidak tahu apakah ban sepeda saudara meletus dengan tiba-tiba atau meledak seperti bom hidrogen. Saya tidak peduli apakah saudara menitipkan sepeda itu atau melemparkannya di jalan. Bahkan saya tidak tahu apakah benar-benar anda memiliki sebuah sepeda. Dan saya memang tidak peduli pada semua itu. Yang saya tahu pasti ialah saudara telah mengakui di hadapan saya dan semua khalayak di muka loket ini bahwa saudara telah menerima kelebihan selembar uang kertas ratusan dari saya. Dan jumlah itulah yang harus saya terima kembali. Sesen pun tidak boleh dikurangi. Ketahuilah bahwa uang itu bukan milik saya, tapi milik negara!"
Kata-kata si pegawai memberondong demikian cepat bagaikan peluru-peluru yang mendesing memerahkan daun telinga laki-laki kurus kecil itu. Biji matanya melotot berputar-putar cepat seolah-olah hendak melompat keluar dari kedua bela matanya.
"Tapi, Nona harus mengerti pula," ujarnya kemudian dengan suara menggelegar.
"Kedatangan saya kembali bukanlah menjadi urusan saya, tapi semata-mata adalah demi kepentingan Nona..."
"Sudah saya bilang tadi, itu saya tidak peduli! Jangan buang-buang waktu. Yoh cepat! Kembalikan uang itu! Huru-hara itu telah menyebabkan deretan panjang yang teratur itu jadi bubar berantakan. Semua orang sekarang sama menggerundel dekat loket. Dan sudah barang tentu mereka telah mengikuti dengan seksama pertengkaran antara laki-laki kurus dengan si pegawai wanita di belakang loket itu. Umumnya mereka sependapat, peristiwa ini adalah sesuatu yang menarik juga, meskipun karenanya waktu mereka jadi tersia-sia.
Sebagian bersikap acuh tak acuh dan sebagian lagi telah menyimpulkan penilaian masing-masing.
"Si pegawai wanita itu memang cerewet." Inilah pendapat sebagian dari mereka. "Si tua itu kepingin benar dipanggil nona. Benarkah ia masih nona? Itu bukan soal utama. Yang jelas ialah bahwa ia, si tua itu, tak dapat menghargai kejujuran yang begitu bersih. Si tua itu seharusnya sudah puas menerima, misalnya separo dari jumlah uang yang telah dikelirukannya. Siapakan orangnya sekarang yang sudi tersuruk-suruk datang kembali ke loket itu untuk menyerahkan kembali uang yang telah berada di tangan?"
"Laki-laki kurus itulah yang sebenarnya tolol, kalau tidak mau disebut gila!" Ini adalah pendapat setengah yang lain. "Apa guna ia datang terengah-engah untuk menyerahkan kembali rezeki mujur yang telah diperolehnya dari si tua itu? Tidakkah lebih baik jika ia membelanjakan saja untuk dirinya? Bukankah seratus rupiah banyak pula gunanya? Lebih-lebih di zaman uang seret seperti sekarang ini? Oh, si goblok yang tak tahu diri, biarlah dirasainnya sendiri akibat ketololannya."
Seorang laki-laki berbadan tegap laksana reruntuhan sebuah candi yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi, ia berkata kepada laki-laki kurus itu.
"Apakah yang mendorong saudara dari jauh datang kembali untuk mengembalikan uang itu?"
Laki-laki kurus itu berpikir sejenak dan berkata-kata yang patut untuk dijadikan jawaban bagi pertanyaan yang datang tiada tersangka-sangka itu.
"Saya merasa," katanya. "uang itu bukan milik saya, jadi saya tidak berhak atas uang itu makan harus saya kembalikan pada yang berhak."
Barangkali disebabkan oleh susunan kalimat yang baru didengarnya itu, tapi laki-laki tegap itu memang termangu sejenak, ia merasa dirinya berada dalam sebuah masjid mendengar fatwa yang bernada agung dan bergaung kudus, atau serupa ia menemukan satu kalimat yang bagus dan mengesankan dari buku yang sedang dibacanya.
"Saya sungguh-sungguh terharu menyaksikan kejujuran saudara, " katanya kemudian."Jarang saya jumpai orang sejujur saudara. Kejujuran seperti ini patut kita hargai."
Tiba-tiba saudaranya jadi sangat gembira, "Wajiblah kita menghormati saudara. Bahkan layak bila saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu rame-rame kita arak saudara kami dandani dengan pakaian kebesaran, lalu rame-rame kita arak saudara menuju ke rumah Bapak Wali kota. Tidaklah berlebihan kalau saya katakan, kesempatan seperti ini harus kita rayakan secara besar-besaran!"
Laki-laki kurus itu ternanar. "Mudah-mudahan itu hanya olok-olok saja," pikirnya, karena tidaklah dapat dibayangkan bagaimana ia dalam pakaian kebesaran itu diarak beramai-ramai ke rumah Bapak Wali Kota.
"Nah, sekarang masukkan kembali kembali ke kantong saudara delapan puluh rupiah itu," ujar laki-laki berbadan tegap itu pula. "Seratus rupaih akan saya keluarkan dari kantong sendiri untuk menggantikannya," seraya berpaling kepada si pegawai dalam loket dan menyodorkan satu lembar kertas ratusan seraya berkata, "Terimalah kembali uang ini, Nyonya..."
"Nona!" cetus si pegawai wanita.
"Maaf Nona manis," lalu kepada laki-laki kurus katanya, "Sekarang soalnya sudah beres. Mari kita sama-sama pergi dari tempat ini."
Mereka menguak kerumunan orang banyak yang mengelilinginya dan berdua melangkah meninggalkan tempat itu. Semua mata serupa terpesona mengikuti mereka sampai hilang ke balik pintu besar ruangan itu. Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus pun berkata dengan suara penuh hormat kepada kawan barunya itu, "Saya mengucapkan terima kasih atas kemurahan saudara..."
Tiba-tiba kawannya itu pecah dalam gelak terbahak-bahak yang tentunya membuat si kurus jadi heran terlongo-longo. "Saudara sama sekali tidak usah berterima kasih kepada saya," ujar si tegap. "Sebenarnya uang yang saya kembalikan tadi itu bukanlah uang saya.."
Si kurus belum mengerti.
"Seperti yang saudara alami sebelumnya, begitulah si Nona manis itu telah berkenan memberi ekstra pula kepada saya sejumlah seratus rupiah."
Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya menggigil menahan amarahnya.
"Saya orang melarat," katanya serak, Tidak tahulah saya adakah besok mampu membeli beras untuk mereka. Tapi, olok-olok saudara itu tidak dapat saya terima. Harus saya kembalikan uang ini kepadanya."
Cepat si kurus membalik. Terhuyung-huyung ia lari menuju pintu kantor pos dan menghilang di sana.
Si tegap berdiri takjub. Tanya di dalam hatinya tak junjung terjawab, "Benarkah ada orang seaneh itu?
Karya: Muhammad Ali
No comments:
Post a Comment