Supir taksi menghentikan mobilnya di samping sebuah taman. Tangannya menunjuk gedung bertingkat di seberang taman itu.
"Itu di hotel yang Anda cari. Jalan di depannya satu arah. Kalau Anda ingin turun di depannya, kita harus memutar agak jauh."
"Saya turun di sini saja," sahutku sambil membayar ongkos taksi. Begitu taksi melaju aku melangkahkan kaki menuju hotel itu melalui taman di depanku. Udara panas menyergap dengan garang. Musim panas di negeri ini kabarnya selalu menebar udara dengan suhu tinggi seperti itu. Langkahku kupercepat agar segera sampai di hotel itu.
Langkahku kuperlambat ketika kusadari taman itu menyodorkan tontonan menarik kepadaku. Beberapa pemuda berbaring telentang dengan mata tertutup di bulatan air mancur di pusat taman. Semua mereka memamerkan dada mereka yang telanjang. Beberapa meter dari sana dua kelompok sedang mengadu kekuatan dalam pertandingan volley. Teriakan silih berganti di lontarkan kedua pihak.
Lalu di sana di bangku-bangku taman yang terbuat dari kayu, Pasangan-pasangan muda bermesraan tanpa malu-malu. Sesekali beberapa gadis yang berbaring di atas lembaran-lembaran kertas koran yang dibentang begitu saja di atas rumput meneriaki mereka yang bermesraan di salah satu bangku taman itu. Ketika pasangan yang diganggu membalas dengan kata-kata yang tidak jelas kudengar, gadis-gadis yang telentang dan telungkup dengan hanya mengenakan swimsuit di atas lembaran-lembaran koran itu tertawa berderai.
Aku ingin memotret mereka tetapi keberanianku terlalu kecil untuk itu. Sinar matahari yang bagaikan tercurah dari langit itu terasa menjadi sesuatu yang sangat istimewa di taman ini. Aku yang baru dua hari datang dari Jakarta yang panas tentu tidak merasakan keistimewaan itu.
"Looking for someone?" kata suara halus di sampingku.
Aku berpaling. Seorang gadis belasan tahun menyapaku serius. Rasa malu tiba-tiba menikamku.
"Oh, tidak. Saya hanya bingung karena tidak melihat jalan keluar menuju hotel itu," jawabku sambil menunjuk ke arah hotel.
"Wow, mestinya Anda mengambil jalan yang itu," katanya seraya menunjuk arah jalan yang dimaksudkan dengan ibu jarinya.
"Terima kasih."
Langkahku kembali kupercepat. Wajah Feri tampil mengiringi lengkahku. Lalu kata-kata itu seakan mengejekku. "Di sini lain, di sana lain. Dunia ini bukan Cuman Jakarta, Bung. Karena itu di sana nanti jangan sering melongo. Anggap saja yang kau lihat itu hal biasa yang kau temui sehari-hari. Jangan tunjukkan dirimu berasal dari lorong belakang yang becek."
Kalau ngomong Feri memang sering ketus dengan nada menghina. Sombong dia karena terlalu sering ke mancanegara. Tetapi kesombongannya itu kurasa sirna ketika kutemui beberapa pemandangan aneh walaupun baru dua hari di negeri ini.
***
Nama hotel Tuscany terbaca dari jarak seratus meter. Langkahku kupercepat agar segera sampai di sana. Jawaban resepsionis membuatku lemas. Harun belum kembali dari Philadelphia. Kalau tidak ada halangan ia akan masuk bertugas malam harinya.
"Pukul berapa?"
"Delapan,"
Sempurnalah sudah kekecewaanku. Berarti aku harus menunggu enam jam lagi. Bukan cuma itu. Malam ini rombongan pejabat yang kuikuti akan mengadakan pertemuan dengan para wartawan. Banyak penjelasan yang akan diberikan sebelum besok pagi rombongan meninggalkan kota ini.
"Penting sekali?" tanya resepsionis itu.
"Tidak, oh, ya, ya."
"I can't do nothing about it. Datang saja pukul delapan nanti malam."
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih dan meninggalkannya. Lalu ke mana kaki ini kulangkahkan? Pertemuan siang itu di Time Life Building tidak kuhadiri hanya karena aku ingin sekali bertemu dengan Harun.
Kerinduanku kepadanya seakan meledak. Dua puluh tahun kami hanya bertemu dalam surat. Itu pun hanya setahun sekali. Kini, ketika aku menemuinya setelah menempuh jarak terbang ribuan kilometer ia tidak berada di tempat. Ya, Allah, keluhku. Kalau saja ia tidak kembali malam ini dan besok aku harus meninggalkan kota ini, pertemuan yang sangat kuimpikan ini tidak akan pernah terwujud. Aku tiba-tiba merasa terlantar, sendiri dan dipojokkan oleh New York yang angkuh, keras dan tidak bersahabat. Dengan langkah gontai kutinggalkan hotel Tuscany dan kususuri jalan yang sama sekali asing bagiku itu.
***
Pukul 7.30 malam aku telah menunggu di lobby Tuscany berkali-kali pandanganku kulempar ke sekeliling kalau-kalau Harun ada di sana. Pukul delapan malam masih belum ada tanda-tanda Harun bertugas. Perasaan khawatir mulai merayap. Pukul delapan lewat lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, dan tiga puluh. Aku menarik nafas. Perasaan kecewa yang membebaniku terlalu berat untuk kusandang.
Ketika itulah kudengar seseorang mendehem.
"Anda mencari saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris sempurna dengan aksen Amerika. Aku berpaling. Suara itu masih tetap seperti dulu. Wajah itu masih tetap bersih, jernih dan penuh optimisme. Ah. Kami saling mendekap. Lama sekali.
"Mengapa tidak memberi kabar?"
"Keberangkatanku tiba-tiba, menggantikan teman yang berhalangan."
Ia menepuk-nepuk pundakku memegang bahuku dan mengajakku ke kamar kerjanya.
"Danus, rasanya seperti mimpi," ujarnya begitu kami duduk di kamarnya berhadapan.
"Alhamdulillah, doaku terkabul," sahutku. "Kau tidak bermimpi David, eh, Harun."
Ia tersenyum.
"Adikku yang dulu sering kukibuli, kini datang sebagai wartawan, lalu memanggilku David," katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.
Keakraban yang dulu kembali kami rasakan di ruangan itu. Pembicaraan pun meluncur deras. Ia banyak sekali bertanya tentang ibu dan tentang semua teman-teman lamanya. Aku menjawab sedapatku. Tetapi wajah cerah yang jernih itu tiba-tiba disergap kabut begitu aku mengajukan pertanyaanku.
"Begitu kudengar paman meninggal sebenarnya aku ingin pulang.Aku tahu tidak ada lagi orang yang akan membiayai kuliahku. Tekadku untuk pulang besar sekali. Tapi begitu aku teringat.padamu dan pada ibu, tekad itu meleleh begitu saja. Ayah menginginkan salah seorang dari anaknya yang Cuma dua orang itu sukses dalam hidup. Kalau aku pulang berarti aku kembali sebagai orang yang gagal. Setelah ayah meninggal, paman mencoba mewujudkan keinginan ayah itu. Tapi setelah itu paman pula yang menyusulnya sebelum kuliahku selesai."
Tatapannya yang tajam menikam itu mencoba memberikan pengertian. Aku menunduk. Mencoba mengerti dan mencoba untuk tidak menuduh.
"Aku memang berhenti kuliah, tetapi tidak pulang. Aku bekerja di restoran, menjadi supir taksi dan kuli bangunan. Malam hari kulanjutkan kuliahku hingga selesai."
Suaranya lirih dan menusuk pedih. Ah, Harun saudaraku yang kusayangi.
"Setelah itu barulah aku mendapat kerja yang layak di sebuah toko serba ada. Bertahun-tahun aku di sana. Aku menikah dengan salah seorang gadis yang bekerja di sana. Ah, kurasa semua yang kualami di sini telah kuceritakan dalam surat-suratku kepadamu. Barangkali tidak ada lagi yang perlu kau ketahui. Semuanya telah terungkap dalam surat-surat yang kukirimkan kepadamu."
"Tapi tidak semua jelas untuk Ibu. Aku tidak menceritakan betapa kau kerja keras sebagai kuli bangunan dan supir taksi di bawah kangkangan kota yang buas ini. Aku hanya mengatakan ada seseorang yang berbaik hati dan ada yayasan yang membantu kulihmy hingga selesai. Lalu ketika kau tidak juga pulang, aku mengatakan kepada ibu kau harus menyelesaikan dulu kontrak kerjamu baru dapat pulang. Mulanya Ibu percaya, karena ia memang tidak dapat membaca surat-suratmu yang selalu kau tulis dalam bahasa Inggris itu."
Wajah di depanku itu seakan dihantam dosa yang tidak kenal ampun. Mengkinkah ia menyesal? Mungkinkah ia merasa bersalah?
"Belakangan Ibu sering bertanya mengapa kau tidak juga pulang. Aku terpaksa mencari-cari jawaban yang masuk akal. Berkali-kali Harum. Ibu akhirnya tidak bertanya lagi. Mungkin ia telah maklum. Betapa pun rendah pendidikannya, betapa pun sederhana cara berpikirnya kurasa ia telah memahami skenario yang kita susun bernama. Ketika Ibu tidak bertanya lagi tentang kau, justru aku yang bertanya mengapa ia tidak pernah bertanya lagi tentang anaknya yang jauh di seberang."
"Lalu apa jawab Ibu?" Harun mendesak.
"Ah, Ibu kita yang bijaksana, Ibu yang mulia itu Cuma berkata, 'kan setiap kali suratnya datang ia tetap menyampaikan sembah sujudnya. Apa lagi yang kuharapkan dari seorang anak kalau bukan cintanya yang tidak pernah luntur itu. Aku merasa berdosa, Harun. Kita telah mempermainkan Ibu."
Harun menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isakannya terdengar di ruang yang sepi itu.
"Mungkin Ibu merasa kau adalah anak yang hilang. Tapi mungkin pula Ibu yakin suatu nanti kau akan kembali. Aku benar-benar tidak tahu perasaan apa yang kau kini disimpannya. Sungguh, Harun. Lalu ketika bulan lalu suratmu datang dan kau akan menukar kewarganegaraanmu, aku merasa jantungku tersayat. Tidak ada lagi rupanya rongga di hatimu yang kau kosongkan untuk Ibu."
"Danus," Harun mencegahku berbicara lebih lanjut. Ia tampak mengumpulkan segala kekuatannya untuk berbicara. Lama kami saling memandang.
"Mulanya memang begitu, Danus. Dan satu langkah telah kulaui dengan menukar namaku. Tapi begitu aku akan melangkah lagi, aku seakan mendengar suara. Tdak jelas suara siapa. Mungkin suara hatiku sendiri. Suara itu menegurku dengan keras. Tanah air ternyata bukan semata-mata wilayah dan hasil kesepakatan. Tanah air kiranya lebih dari itu. Dulu ketika visa mahasiswaku habis aku terpaksa menjadi penduduk gelap di antara jutaan penduduk gelap negeri ini. Lalu bekas teman kuliahku menolongku dengan mengajakku kawin agar aku bisa mendapat status penduduk tetap. Ya, akhirnya kami kawin surat dan setelah itu cerai.
Harun menarik nafas panjang dan melempar pandang ke luar jendela.
"Dengan status itu aku tidak berbeda banyak dengan warga negara ini. Nasib lalu mengantarkanku ke tingkat yang lebih baik. Di luar sadarku ada lapisan-lapisan yang hilang dalam diriku. Aku jadi semakin jauh dari kau dan Ibu. Aku merasa telah menjadi orang sini dan tanpa merasa apa pun aku dengan seenaknya menukar namaku menjadi David Carlton. Lalu aku ingin menjadi orang-orang yang lain itu yang mempunyai hak suara. Karena itu aku siap menukar kewarganegaraan."
Harun kembali menatapku. Kali ini wajahnya tampak lebih cerah.
"Tapi tidak, Danus. Suara itu melarangku. Yang satu ini tidak akan pernah aku pertukarkan. Bebanku terlalu berat untuk menolak larangan itu.
"Aku tersenyum tapi mataku berkaca-kaca. Sesuatu yang sejuk dan segar menyelinap ke dalam diriku.
"Aneh, Danus. Justru setelah aku mengambil keputusan itu aku berani mengungkapkan keinginanku kepada Hilda dan kedua anakku. Hari tuaku akan kujalani di kampung bersama mereka."
Aku tidak tahu bagaimana reaksi wajahku ketika itu. Barangkali karena merasa tidak percaya. Harun berusaha meyakinkanku.
"Sungguh, Danus. Hanya beberapa tahun lagi aku akan kembali bersama kau dan Ibu. Tidak lama lagi. Setelah anak-anak selesai kuliah.
Menyadari malam semakin larut, Harun mengajakku ke rumahnya untuk bertemu dengan isteri dan kedua anaknya. Dengan berat hati ajakannya kutolak karena aku ingin segera kembali ke hotel. Aku ingin tahu informasi apa yang diberikan kepada para wartawan oleh pejabat yang kami ikuti.
Aku ingin segera membaringkan tubuhku karena besoknya pagi-pagi sekali kami akan meninggalkan kota ini.
Harun, yang kini bernama David Carlton dan bertugas sebagai property meneger hotel Tuscany mengantarkanku ke hotel. Kami kembali berpelukan dan saling menepuk ketika akan berpisah.
Ketika aku menyadarkan diriku di kursi kamar hotel, aku merasa rongga dadaku lebih besar daripada kamar hotel yang kuhuni. Sebuah niat yang tidak pernah tertuang dalam surat-suratnya malam itu telah diungkapkannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Wajah ibu yang renta tiba-tiba hadir di depanku. Betapa gembiranya ia kalau kabar ini kusampaikan malam ini juga.
Karya: Sori Siregar
"Itu di hotel yang Anda cari. Jalan di depannya satu arah. Kalau Anda ingin turun di depannya, kita harus memutar agak jauh."
"Saya turun di sini saja," sahutku sambil membayar ongkos taksi. Begitu taksi melaju aku melangkahkan kaki menuju hotel itu melalui taman di depanku. Udara panas menyergap dengan garang. Musim panas di negeri ini kabarnya selalu menebar udara dengan suhu tinggi seperti itu. Langkahku kupercepat agar segera sampai di hotel itu.
Langkahku kuperlambat ketika kusadari taman itu menyodorkan tontonan menarik kepadaku. Beberapa pemuda berbaring telentang dengan mata tertutup di bulatan air mancur di pusat taman. Semua mereka memamerkan dada mereka yang telanjang. Beberapa meter dari sana dua kelompok sedang mengadu kekuatan dalam pertandingan volley. Teriakan silih berganti di lontarkan kedua pihak.
Lalu di sana di bangku-bangku taman yang terbuat dari kayu, Pasangan-pasangan muda bermesraan tanpa malu-malu. Sesekali beberapa gadis yang berbaring di atas lembaran-lembaran kertas koran yang dibentang begitu saja di atas rumput meneriaki mereka yang bermesraan di salah satu bangku taman itu. Ketika pasangan yang diganggu membalas dengan kata-kata yang tidak jelas kudengar, gadis-gadis yang telentang dan telungkup dengan hanya mengenakan swimsuit di atas lembaran-lembaran koran itu tertawa berderai.
Aku ingin memotret mereka tetapi keberanianku terlalu kecil untuk itu. Sinar matahari yang bagaikan tercurah dari langit itu terasa menjadi sesuatu yang sangat istimewa di taman ini. Aku yang baru dua hari datang dari Jakarta yang panas tentu tidak merasakan keistimewaan itu.
"Looking for someone?" kata suara halus di sampingku.
Aku berpaling. Seorang gadis belasan tahun menyapaku serius. Rasa malu tiba-tiba menikamku.
"Oh, tidak. Saya hanya bingung karena tidak melihat jalan keluar menuju hotel itu," jawabku sambil menunjuk ke arah hotel.
"Wow, mestinya Anda mengambil jalan yang itu," katanya seraya menunjuk arah jalan yang dimaksudkan dengan ibu jarinya.
"Terima kasih."
Langkahku kembali kupercepat. Wajah Feri tampil mengiringi lengkahku. Lalu kata-kata itu seakan mengejekku. "Di sini lain, di sana lain. Dunia ini bukan Cuman Jakarta, Bung. Karena itu di sana nanti jangan sering melongo. Anggap saja yang kau lihat itu hal biasa yang kau temui sehari-hari. Jangan tunjukkan dirimu berasal dari lorong belakang yang becek."
Kalau ngomong Feri memang sering ketus dengan nada menghina. Sombong dia karena terlalu sering ke mancanegara. Tetapi kesombongannya itu kurasa sirna ketika kutemui beberapa pemandangan aneh walaupun baru dua hari di negeri ini.
***
Nama hotel Tuscany terbaca dari jarak seratus meter. Langkahku kupercepat agar segera sampai di sana. Jawaban resepsionis membuatku lemas. Harun belum kembali dari Philadelphia. Kalau tidak ada halangan ia akan masuk bertugas malam harinya.
"Pukul berapa?"
"Delapan,"
Sempurnalah sudah kekecewaanku. Berarti aku harus menunggu enam jam lagi. Bukan cuma itu. Malam ini rombongan pejabat yang kuikuti akan mengadakan pertemuan dengan para wartawan. Banyak penjelasan yang akan diberikan sebelum besok pagi rombongan meninggalkan kota ini.
"Penting sekali?" tanya resepsionis itu.
"Tidak, oh, ya, ya."
"I can't do nothing about it. Datang saja pukul delapan nanti malam."
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih dan meninggalkannya. Lalu ke mana kaki ini kulangkahkan? Pertemuan siang itu di Time Life Building tidak kuhadiri hanya karena aku ingin sekali bertemu dengan Harun.
Kerinduanku kepadanya seakan meledak. Dua puluh tahun kami hanya bertemu dalam surat. Itu pun hanya setahun sekali. Kini, ketika aku menemuinya setelah menempuh jarak terbang ribuan kilometer ia tidak berada di tempat. Ya, Allah, keluhku. Kalau saja ia tidak kembali malam ini dan besok aku harus meninggalkan kota ini, pertemuan yang sangat kuimpikan ini tidak akan pernah terwujud. Aku tiba-tiba merasa terlantar, sendiri dan dipojokkan oleh New York yang angkuh, keras dan tidak bersahabat. Dengan langkah gontai kutinggalkan hotel Tuscany dan kususuri jalan yang sama sekali asing bagiku itu.
***
Pukul 7.30 malam aku telah menunggu di lobby Tuscany berkali-kali pandanganku kulempar ke sekeliling kalau-kalau Harun ada di sana. Pukul delapan malam masih belum ada tanda-tanda Harun bertugas. Perasaan khawatir mulai merayap. Pukul delapan lewat lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, dan tiga puluh. Aku menarik nafas. Perasaan kecewa yang membebaniku terlalu berat untuk kusandang.
Ketika itulah kudengar seseorang mendehem.
"Anda mencari saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris sempurna dengan aksen Amerika. Aku berpaling. Suara itu masih tetap seperti dulu. Wajah itu masih tetap bersih, jernih dan penuh optimisme. Ah. Kami saling mendekap. Lama sekali.
"Mengapa tidak memberi kabar?"
"Keberangkatanku tiba-tiba, menggantikan teman yang berhalangan."
Ia menepuk-nepuk pundakku memegang bahuku dan mengajakku ke kamar kerjanya.
"Danus, rasanya seperti mimpi," ujarnya begitu kami duduk di kamarnya berhadapan.
"Alhamdulillah, doaku terkabul," sahutku. "Kau tidak bermimpi David, eh, Harun."
Ia tersenyum.
"Adikku yang dulu sering kukibuli, kini datang sebagai wartawan, lalu memanggilku David," katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.
Keakraban yang dulu kembali kami rasakan di ruangan itu. Pembicaraan pun meluncur deras. Ia banyak sekali bertanya tentang ibu dan tentang semua teman-teman lamanya. Aku menjawab sedapatku. Tetapi wajah cerah yang jernih itu tiba-tiba disergap kabut begitu aku mengajukan pertanyaanku.
"Begitu kudengar paman meninggal sebenarnya aku ingin pulang.Aku tahu tidak ada lagi orang yang akan membiayai kuliahku. Tekadku untuk pulang besar sekali. Tapi begitu aku teringat.padamu dan pada ibu, tekad itu meleleh begitu saja. Ayah menginginkan salah seorang dari anaknya yang Cuma dua orang itu sukses dalam hidup. Kalau aku pulang berarti aku kembali sebagai orang yang gagal. Setelah ayah meninggal, paman mencoba mewujudkan keinginan ayah itu. Tapi setelah itu paman pula yang menyusulnya sebelum kuliahku selesai."
Tatapannya yang tajam menikam itu mencoba memberikan pengertian. Aku menunduk. Mencoba mengerti dan mencoba untuk tidak menuduh.
"Aku memang berhenti kuliah, tetapi tidak pulang. Aku bekerja di restoran, menjadi supir taksi dan kuli bangunan. Malam hari kulanjutkan kuliahku hingga selesai."
Suaranya lirih dan menusuk pedih. Ah, Harun saudaraku yang kusayangi.
"Setelah itu barulah aku mendapat kerja yang layak di sebuah toko serba ada. Bertahun-tahun aku di sana. Aku menikah dengan salah seorang gadis yang bekerja di sana. Ah, kurasa semua yang kualami di sini telah kuceritakan dalam surat-suratku kepadamu. Barangkali tidak ada lagi yang perlu kau ketahui. Semuanya telah terungkap dalam surat-surat yang kukirimkan kepadamu."
"Tapi tidak semua jelas untuk Ibu. Aku tidak menceritakan betapa kau kerja keras sebagai kuli bangunan dan supir taksi di bawah kangkangan kota yang buas ini. Aku hanya mengatakan ada seseorang yang berbaik hati dan ada yayasan yang membantu kulihmy hingga selesai. Lalu ketika kau tidak juga pulang, aku mengatakan kepada ibu kau harus menyelesaikan dulu kontrak kerjamu baru dapat pulang. Mulanya Ibu percaya, karena ia memang tidak dapat membaca surat-suratmu yang selalu kau tulis dalam bahasa Inggris itu."
Wajah di depanku itu seakan dihantam dosa yang tidak kenal ampun. Mengkinkah ia menyesal? Mungkinkah ia merasa bersalah?
"Belakangan Ibu sering bertanya mengapa kau tidak juga pulang. Aku terpaksa mencari-cari jawaban yang masuk akal. Berkali-kali Harum. Ibu akhirnya tidak bertanya lagi. Mungkin ia telah maklum. Betapa pun rendah pendidikannya, betapa pun sederhana cara berpikirnya kurasa ia telah memahami skenario yang kita susun bernama. Ketika Ibu tidak bertanya lagi tentang kau, justru aku yang bertanya mengapa ia tidak pernah bertanya lagi tentang anaknya yang jauh di seberang."
"Lalu apa jawab Ibu?" Harun mendesak.
"Ah, Ibu kita yang bijaksana, Ibu yang mulia itu Cuma berkata, 'kan setiap kali suratnya datang ia tetap menyampaikan sembah sujudnya. Apa lagi yang kuharapkan dari seorang anak kalau bukan cintanya yang tidak pernah luntur itu. Aku merasa berdosa, Harun. Kita telah mempermainkan Ibu."
Harun menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Isakannya terdengar di ruang yang sepi itu.
"Mungkin Ibu merasa kau adalah anak yang hilang. Tapi mungkin pula Ibu yakin suatu nanti kau akan kembali. Aku benar-benar tidak tahu perasaan apa yang kau kini disimpannya. Sungguh, Harun. Lalu ketika bulan lalu suratmu datang dan kau akan menukar kewarganegaraanmu, aku merasa jantungku tersayat. Tidak ada lagi rupanya rongga di hatimu yang kau kosongkan untuk Ibu."
"Danus," Harun mencegahku berbicara lebih lanjut. Ia tampak mengumpulkan segala kekuatannya untuk berbicara. Lama kami saling memandang.
"Mulanya memang begitu, Danus. Dan satu langkah telah kulaui dengan menukar namaku. Tapi begitu aku akan melangkah lagi, aku seakan mendengar suara. Tdak jelas suara siapa. Mungkin suara hatiku sendiri. Suara itu menegurku dengan keras. Tanah air ternyata bukan semata-mata wilayah dan hasil kesepakatan. Tanah air kiranya lebih dari itu. Dulu ketika visa mahasiswaku habis aku terpaksa menjadi penduduk gelap di antara jutaan penduduk gelap negeri ini. Lalu bekas teman kuliahku menolongku dengan mengajakku kawin agar aku bisa mendapat status penduduk tetap. Ya, akhirnya kami kawin surat dan setelah itu cerai.
Harun menarik nafas panjang dan melempar pandang ke luar jendela.
"Dengan status itu aku tidak berbeda banyak dengan warga negara ini. Nasib lalu mengantarkanku ke tingkat yang lebih baik. Di luar sadarku ada lapisan-lapisan yang hilang dalam diriku. Aku jadi semakin jauh dari kau dan Ibu. Aku merasa telah menjadi orang sini dan tanpa merasa apa pun aku dengan seenaknya menukar namaku menjadi David Carlton. Lalu aku ingin menjadi orang-orang yang lain itu yang mempunyai hak suara. Karena itu aku siap menukar kewarganegaraan."
Harun kembali menatapku. Kali ini wajahnya tampak lebih cerah.
"Tapi tidak, Danus. Suara itu melarangku. Yang satu ini tidak akan pernah aku pertukarkan. Bebanku terlalu berat untuk menolak larangan itu.
"Aku tersenyum tapi mataku berkaca-kaca. Sesuatu yang sejuk dan segar menyelinap ke dalam diriku.
"Aneh, Danus. Justru setelah aku mengambil keputusan itu aku berani mengungkapkan keinginanku kepada Hilda dan kedua anakku. Hari tuaku akan kujalani di kampung bersama mereka."
Aku tidak tahu bagaimana reaksi wajahku ketika itu. Barangkali karena merasa tidak percaya. Harun berusaha meyakinkanku.
"Sungguh, Danus. Hanya beberapa tahun lagi aku akan kembali bersama kau dan Ibu. Tidak lama lagi. Setelah anak-anak selesai kuliah.
Menyadari malam semakin larut, Harun mengajakku ke rumahnya untuk bertemu dengan isteri dan kedua anaknya. Dengan berat hati ajakannya kutolak karena aku ingin segera kembali ke hotel. Aku ingin tahu informasi apa yang diberikan kepada para wartawan oleh pejabat yang kami ikuti.
Aku ingin segera membaringkan tubuhku karena besoknya pagi-pagi sekali kami akan meninggalkan kota ini.
Harun, yang kini bernama David Carlton dan bertugas sebagai property meneger hotel Tuscany mengantarkanku ke hotel. Kami kembali berpelukan dan saling menepuk ketika akan berpisah.
Ketika aku menyadarkan diriku di kursi kamar hotel, aku merasa rongga dadaku lebih besar daripada kamar hotel yang kuhuni. Sebuah niat yang tidak pernah tertuang dalam surat-suratnya malam itu telah diungkapkannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Wajah ibu yang renta tiba-tiba hadir di depanku. Betapa gembiranya ia kalau kabar ini kusampaikan malam ini juga.
Karya: Sori Siregar
No comments:
Post a Comment