CAMPUR ADUK

Thursday, January 3, 2019

LUMRAH SAJA

Seusai sholat jum'at Dono langsung pulang di rumahnya. Dengan santai Dono duduk di ruang tamu, lalu memainkan gitarnya yang awalnya di geletakan di meja.

"Na....na....na......na," kata yang di senandungkan dan di imbangin petikan gitar.

Kasino pun baru pulang dari sholat jum'at dan langsung masuk ke rumah Dono karena pintu terbuka lebar dan duduk.

"Don......ada suasana apa bersenandung?" tanya Kasino.

"Cuma menghilangkan rasa keresahan. Ada yang salah saja dalam perjalan hidup saya saja. Mungkin salah ngomong atau tindak tanduk saya," kata Dono.

"Itu biasa Dono. Semua orang ingin berinteraksi dengan baik dengan semua orang. Tapi kenyataannya Dono bisa kita salahlah atau orang lain. Masalahnya gejala pisikologi mempengaruhi dari pola bicara dan bertindak. Ya....tanggapannya bisa apa pun? Tapi yang berpikir normal sih dianggap lumrah. Kalau pake tindakan sih baru deh di hadapi. Kalau cuma omongan sih. Biasanya cuma omong kosong. Kaya Hoaks.....dianggap gak penting aja......bisa bubar. Kalau urusan yang penting banget adalah proses pembangunan dari awal sampai akhir berhasil sih.....luar biasa. Tetap setiap proses pembangunan ada masalah atau di sebut kendala. Ya....harus di perbaiki atau di proses kembali agar berhasil. Bukannya di biarkan saja. Kaya gak punya tanggungjawab saja," kata Kasino memberikan masukan.

"Kalau itu sih saya tahu. Sebagai mantan mahasiswa bidang ilmu pemerintahan. Semua pekerjaan pasti ada kendala atau masalah. Baik kecil maupun besar. Makanya cepat di tangani supaya berhasil dan sukses," kata Dono.

"Itu tahu. Sama aja kamu mengambil ide pokok yang saya omongkan. Dasar mantan mahasiswa bisa mengambil omongan orang untuk meninjau dari sebuah topik yang di bicarakan," kata Kasino.

"Ya...kalau tidak pandai-pandai di muka bumi ini. Kita bisa di jatuhkan orang-orang dari sengaja atau tidak sengaja. Maka Badan Hukum pun bertindak," kata Dono.

"Iya....maka hati-hati dalam bicara dan bertindak. Dan jangan di sebarkan di media apapun?! Bisa jadi bukti untuk menangkap tersangka yang melakukan tindakan yang tidak dipikirkan dua kali," kata Kasino.

"Iya lah saya tahu. Makanya setiap saya menulis di Blog saya memberikan pola nasehat dalam tulisan. Supaya dapat meralat dari kata-kata yang kurang baik di bimbing dan di arahkan menjadi baik," kata Dono.

"Tapi Dono...tulisan kamu itu terlalu aman. Jauh dari konflik. Alasannya kamu sengaja menulisnya berdasarkan kehidupan sehari-hari dan sekenariokan dengan baik. Tujuan naik.... kin reting..... iya juga. Kadang lebih cenderung curhat," kata Kasino.

"Ah...namanya juga cerita. Bisa bagus .....bisa juga jelek. Kalau bagus saya sih sudah terkenal. Tapi.............ini lah yang jelek saja..bisa terkenal," kata Dono.

"Maksudnya tampang dari wajah tokoh yang berperan?" tanya Kasino.

"Itulah. Wajahnya ancur. Eh...terkenal juga. Yang Ganteng dan Cantik kalah. Dunia sudah terbalikkan," kata Dono.

"Ya....gak juga dunia terbalikkan. Tapi Rezeki masing-masing setiap anak manusia terlahir di muka bumi ini di jamin rezekinya sama Alloh SWT. Berarti ya ....usahakan dengan kesungguhan sampai berhasil menjadi orang yang SUKSES DAN TERKENAL," kata Kasino.

"Ralat.......SUKSES TAPI TIDAK TERKENAL," saut Dono sambil mengenjreng gitarnya.

"Iya....deh. SUKSES TAPI TIDAK TERKENAL. Dasar....prinsip yang sederhana tapi maknanya dalam untuk kamu. Kalau orang lain SUKSES DAN TERKENAL," kata Kasino.

"Iya...lah...maknanya dalam. Orang apa yang kita kejar semua ini kan awalnya mimpi?! Kita saja usahakan demi menjalankan hidup. Tahu-tahu Doa dan Usaha berhasil. Alloh SWT telah menetapkan dalam SURATAN TAKDIRNYA," kata Dono.

"Amin. Ya.....sudalah Dono saya ada urusan penting sama Lesti," kata Kasino.

"Kok ...Lesti?" tanya Dono.

"Iya...emang Lesti. Cuma ada urusan kerjaan. Lesti ada kontrak kerja sama saya untuk mengisi acara di kafe saya," penjelasan Kasino.

"Saya..kirain...ada hubungan yang lain," kata Dono yang sedikit curiga.

"Ngurusin orang yang sudah ada pacarnya bernama Riski. Gak penting. Cowoknya cemburu dunia bisa terbalik tahu. Urusan kerjaan bisa hancur," kata Kasino.

"Bener juga. Kalau begitu saya ikut ke kafe kamulah Kasino. Untuk menghilangkan kejenuhan saya dengan aktifitas yang positif. Kerja lagi...kerja lagi...kerja lagi..... Dari pada ngangur..terkukur...gak ada kerjaan," kata Dono.

"Yok," ajak Kasino.

Kasino dan Dono pun pergi ke kafe dengan menggunakan mobil, tapi sebelumnya tidak lupa Dono menutup pintu rumah.


Karya: No

SENANDUNG

"Apakah kau kejar adalah sebuah mimpi

Harapan dan keinginan jadi satu

Aku hanya bisa menunggu disini

Berharap engkau berhasil

Doaku kupanjatkan untuk mu yang berjuang

Aku terus berharap semuanya jadi kenyataan

Bukannya sebuah mimpi ini tapi akhirnya nyata."


"Dono lagi senandung lirik lagu baru," tanya Indro sambil duduk di sebelah Dono.

Dono pun berhenti bersenandung dan menghentikan main gitarnya. 

"Ah...Indro bikin kaget aja. Cuma iseng aja....mencoba senandungkan lagu buatan saya," kata Dono yang rendah diri.

"Tapi lumayan Dono. Dari pada gak ada usaha. Mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali. Banyak orang bisa membuat syair lagu yang bagus dan bisa jadi terkenal. Tapi kenyataannya susah. Ya....banyak orang yang lebih baik.....Dono," kata Indro.

"Saya tahulah Indro.....hidup di dunia ini kompetisi. Untuk menjadi berhasilkan harus berlatih terus pantang menyerah. Pada akhirnya berbuah manis yaitu keberhasilan," kata Dono.

"Itulah hidup. Tapi saya saran kan teruslah menulis dan bersenandung karya mu sendiri. Siapa tahu jadi terkenal?" kata Indro.

"Amin. Tapi saya punya janji pada diri saya sendiri. Saya hanya ingin SUKSES TAPI TIDAK TERKENAL," kata Dono.

"Kok...aneh...Dono. Semua orang ingin sukses dan terkenal dari setiap usahanya. Tujuannya adalah kejayaan yaitu terkenal alias kaya raya?" tanya Indro.

"Saya ini gaya hidupnya sederhana. Lebih nyaman tidak di tuntut dengan keadaan. Itu saja," kata Dono.

"Prinsip yang baik susah untuk di ubah. Tapi benar juga. SUKSES TAPI TIDAK TERKENAL," pujian Indro.

Dono pun beranjak dari duduknya dan membawa gitarnya.

"Mau kemana Dono....saya lagi ajak bicara?" kata Indro.

"Saya ada urusan dengan Lesti......," kata Dono.

"Lesti lagi...Lesti lagi...Lesti lagi.... kaya gak ada orang yang kamu pikirkan dan omongkan Sedangkan Lestikan sudah punya pacarnya namanya Riski," kata Indro.

"Saya kerumahnya Lesti bukan untuk mengambil hatinya. Tapi di undang untuk acara ulang tahun adiknya," kata Dono.

"Makan-makan toh. Ikutan....ya," kata Indro.

"Ayo...," ajak Dono.

Dono  setelah menaruh gitarnya di kamar dan langsung berganti pakaian yang rapih baru pergi ke rumah Lesti bersama Indro menggunakan motor antik.


Karya: No

SEEKOR KUDA TUA

Di kampung kami tinggal seorang Kakek. Namanya Pimen Timofeich. Umurnya sudah 90 tahun. Ia tinggal bersama cucunya dan tidak ada kerja. Punggungnya sudah bungkuk sekali. Kalau berjalan ia selalu memakai tongkat dan langkahnya pun selalu perlahan-lahan. Giginya sudah habis semua, Mukanya sangat keriput dan bibir bawahnya gemetar. Kalau ia sedang berjalan atau berbicara, bibirnya selalu berkeciplak sehingga kata-katanya sukar dimengerti.

Kami emapat orang bersaudara, semuanya senang sekali menunggang kuda. Akan tetapi, kuda-kuda kami tidak ada yang jinak untuk dapat kami naiki. Kami hanya diizinkan menaiki seekor kuda yang sudah tua. Kuda itu Voronok namanya.

Pada suatu ketika kami mendapat izin dari ibu untuk menaiki kuda. Kami pun pergi ke kandang bersama Mang Kusir. Mang Kusir memasangkan kami pelana pada si Voronok. Kakakku yang paling besar mendapat giliran naik yang pertama. Ia naik lama sekali, pergi keladang mengelilingi kebun. Ketika ia sedang bergerak ke arah kami, berserulah kami kepadanya, "Ayo cepat!"

Ia pun mulai memukuli si Voronok dengan kaki dan cambuk, dan si Voronok pun melesat dari depan kami.

Sesudah dia, kakakku yang berikutnya. Ia pun naik lama sekali. Juga dihantamnya si Voronok dan dilarikannya dari bawah bukit. Ia masih ingin naik, tetapi kakakku yang terdekat meminta agar kuda itu diberikan kepadanya. Kakak itu pun membawanya keladang, mengelilingi kebun, bahkan juga menjelajahi kampung. Dengan kencangnya ia melarikan kuda itu dari arah bukit ke arah kandang. Waktu ia sampai kepada kami, si Voronok jelas sudah mandi keringat.

Ketika giliranku tiba, aku ingin hendak mempersona kakak-kakakku dan menunjukkan kepada mereka betap pandai aku menunjukan kepada mereka betapa pandai aku menunggang kuda. Mulailah aku menghajar si Voronok dengan sekuat-kuatnya. Akan tetapi, si Voronok tidak mau berjalan. Bagaimanapun aku memukulinya, ia tetap mogok. Ia hanya melonjak-lonjak dan berputar-putar lalu mundur. Aku jadi jengkel sekali kepadanya.  Maka aku pun memukulinya sekuat tenaga dengan cambuk dan kaki. Maka Aku pun memukuli pada bagian-bagian yang paling sakit baginya. Cambuk pun patah. Dengan pangkal cambuk itu kupukuli kepalanya. Tapi, si Voronok tetap tidak mau maju. Oleh karena itu, aku pun kembali ke Mang Kusir, minta agar aku diberi cambuk yang lebih kuat lagi. Akan tetapi waktu itu Mang Kusir berkata kepadaku:

"Lain kali saja, Raden. Sekarang turun saja dulu. Buat apa menyiksa kuda?"

Aku tersinggung. Lalu kataku:

"Mana bisa! aku kan belum sama sekali! Lihat, sekarang juga kularikan dia, Berilah aku cambuk yang lebih kuat. Akan kuhajar dia!"

Mang kusir mengeleng-gelengkan kepala dan berkata:

"Ah, Raden. Raden memang tidak punya rasa belas kasihan. Buat apa menyiksa kuda. Dia kan sudah 20 tahun umurnya. Dia lelah sekali. Nafasnya pun tersengal-sengal, apa lagi dia sudah tua. Dia kan sudah tua bangka. Sama saja seperti Kakek Pimen Timofeich. Bagaimana seadainya Raden menunggangi kakek itu dan memukulinya sekuat tenaga dengan cambuk, apakah Raden tidak merasa kasihan?"

Aku jadi teringat pada Kakek Pimen. Karenanya, kata-kata Mang Kusir itu pun kuturut. Aku segera turun dari kuda itu basah kuyup oleh keringat, hidungnya kembang kempis menarik nafas tersenggal-sengal, dan ekornya dengan rambutnya yang sudah rontok itu menghibas-hibas, aku pun sadar bahwa kuda itu memang sudah kepayahan sekali. Padahal, tadinya aku mengira bahwa dia juga gembira seperti aku. Aku jadi kasihan sekali pada si Voronok. Lalu kuciumi lehernya dan aku pun minta maaf karena aku telah memukulinya.

Sampai sekarang, sesudah aku dewasa, aku selalu ingat pada si Voronok dan Kakek Pimen kalau aku melihat kuda yang dipukuli.

Tamat


Karya: L.N. Tolstory.

PULANG

Rasanya tidaklah seperti menginjakkan kaki atas tanah sendiri yang telah bertahun-tahun ditinggalkan. Bau tanah yang naik oleh turunnya air hujan sepanjang hari, seperti terasa menjalari seluruh rongga dada, seperti kuasa menggerakkan pembuluh darah sekujur tubuh. Ia pernah merasai hujan di mana-mana, sebagai serdadu pernah bergelut dengan lumpurnya jauh di seberang laut, tetapi ini, di mana dia berdiri di pinggir desanya untuk pertama kali, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang tersendiri, yang selama ini mampu menghidupkan mimpi dan kenangan begitu indah.

Bekas roda cikar yang digenangi air hujan, yang tampak berliku-liku oleh kepenatan sapi penariknya dan yang melenyap di seberang jembatan beberapa puluh hasta di hadapannya, seperti itu pula lukisan yang ia kenal setiap hari pada masa kanak-kanaknya. Ia ingat betapa ia berlari-lari di tanah becek di belakang cikarnya, sedangkan di atas ayahnya yang telah tua itu melambai-lambaikan cambuknya di atas kepala sapi penariknya sambil berteriak-teriak untuk mengejar senja. Berapakah lamanya waktu itu telah berlalu? Ia masih kanak-kanak pada waktu itu, tetapi lukisan itu begitu jelas seperti baru kemarin ia tinggalkan.

Tidak! Telah tujuh tahun lamanya sejak ia meninggalkan desanya sampai kini, dengan malam-malamnya yang penuh mimpi dan kerinduan untuk dapat menginjaknya kembali. Bukankah pohon asam itu pula yang berdiri di samping jembatan, yang tetap rindang, tetap megah melawan datangnya angin? Ia melihat bayangan sendiri di masa kecilnya, berlari-lari di pinggir pematang itu menggembala kerbaunya. Alangkah jelasnya bayangan itu. Suara air bertambah keras memanggil-manggil Mersa benar hatinya dapat mendengarkan itu kembali. Ia tak pernah mendengar suara yang lebih indah daripada itu. Ia merasa dan yakin kini, dalam perjalanannya sejauh itu di negeri orang dalam waktu yang sepanjang  itu pula, ia tak pernah menemui sesuatu yang bisa begitu mengguncangkan hatinya. Ada sesuatu yang terasa memenuhi dada, ada sesuatu yang seperti kuasa hendak memecahkannya, tetapi itu tak hendak meledak dan jika itu mampu keluar, maka itu cuma berujud setetes air yang turun pelan dari matanya.

Ia hendak berteriak sekuat-kuatnya, tak tahu mengapa. Tetapi jika berbuat itu, maka suaranya dikembalikan panjang oleh semak-semak di dataran tinggi, di samping kampungnya. Seperti dulu juga ia menyangka ada orang jauh yang menjawab suaranya dengan gema yang panjang. Dijangkaunya segenggam tanah, dikepalnya sekeras batu, lalu dilemparkannya sekuat tenaga untuk mendengar suara jatuhnya  yang menimpa genangan air, dan alangkah indahnya melihat burung-burung bangau yang takut, terbang karenanya, tinggi melawan awan dan hilang jauh di barat dalam keemasan langit yang mengantar turunnya mentari.

Tidak lagi dirasanya berat ransel yang menekan punggung, sepatunya yang penuh lumpur dan pakaiannya yang setengah basah, Bertahun-tahun lamanya ia berdoa untuk kepulangan ini. Dan kini, bila doa itu terkabul datang saja rasa takut yang asing mulai merangsang hati, berebut dengan rasa gita yang memukul-mukul. Matanya jauh melampaui jembatan, melampaui semak-semak hijau sana dan di antara semak-semak itu sendiri sepetak rumah bambu tempat dia dibesarkan, tempat ia menghabiskan kanak-kanaknya.

Pulang. Apakah yang dapat lebih menggelorakan hati daripada mengalami pertemuan dengan keluarga kembali? Ibunya sayang, wajahnya yang bersih dan pandangannya yang menenteramkan, rambutnya yang telah separo putih, yang hitam sejuk itu, apa yang bisa terjadi selama tujuh tahun ini? Betapa pula wajah ayahnya yang telah itu, wajah yang berkerut-kerut dengan alis kelabu tebal, memayungi matanya yang kecil, dan telah bersembunyi ke dalam. Tujuh tahun. Apa gerangan yang bisa diberikan oleh waktu sepanjang itu kepada adiknya, Sumi, satu-satunya yang tercinta di bumi ini? Ia tak dapat membayangkan. Dan itulah yang mengisi setiap napasnya kini, dengan gita harap dan kecemasan.

Langkah demi langkah ia bergerak, dilampauinya jembatan dari kayu nangka, dipandanginya terjunan. Ia membayangkan dirinya duduk di batu besar itu, melemparkan pancingnya jauh ke tengah. Jalanan yang dilampauinya becek, lumpur bertambah banyak lekat ke sepatu dan kaki bertambah berat karenanya. Sekali lagi diusapnya maka dari bekas air hujan yang masih membasah.

Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya di balik Gunung Wilis, tinggal cahayanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir pada mendung  yang berarak-arak di atas kepala. Turunnya senja kala itu disambut oleh kesepian; burung-burung yang pulang sarang malas berkicau.

Sepanjang jalan, ia tidak bertemu dengan seorang pun dari desanya. Seperti juga dahulu, ia tahu sebabnya. Mereka malas turun pada  petang hari  yang basah seperti ini. Ia tahu, orang-orang  perempuan akan sibuk mengurusi makan untuk malam hari, yang tua duduk di balai-balai menikmati tembakau di samping api, yang muda mengumpulkan sisa rumput yang kering dicampur dengan sampah dari kandang sapi untuk dijadikan perapian yang akan mengeluarkan asap sepanjang malam sebagai pengusir nyamuk. Lalu sesudah itu, kartu dan buku-buku sejarah kuno yang bertuliskan  huruf Jawa dalam bentuk tembang akan jadi pengantar tidur. Itu adalah bagian dari kehidupan desanya yang terlupa dalam pengembaraannya dan yang mendadak saja mendesak ingatan ketika kembali. Ia dapat membayangkan seluruhnya kini, seperti waktu pengembaraannya tak pernah ada. Ia ingat seluruh bagian hidup dalam desanya kini dengan begitu jelas, serasa tujuh tahun adalah kemarin pagi. Kekuatan apa gerangan yang dapat meniadakan pengertian waktu untuk hidup manusia? Ia tidak mengerti, hatinya lebih banyak berkuasa daripada otaknya. Ia telah berdiri di samping pagar halaman rumahnya kini. Dan segala yang ada di hadapannya seperti memaksakan dia untuk yakin bahwa baru kemarin pagi ketika ia meninggalkan rumah dengan diantar oleh tangis dan air mata. Betapa tidak! Pintu depan rumahnya yang berdaun tunggal, masih saja pintu yang dahulu ia kenal dari kayu taun yang berwarna coklat tua. Dinding cetak dari kulit bambu seperti tak pernah dibongkar dan diganti. Pagar yang mengelilingi seluruh tanah adalah pagar bambu yang dahulu jua. Dan pohon-pohon pisang yang menyebar dalam pekarangan, siapa dapat menyatakan bahwa semuanya itu telah berganti? Tidak, tak ada yang berubah, kecuali satu yang mencolok. Pohon jambu yang dahulu setinggi tubuhnya, kini telah melampaui atap rumahnya.

Ia masih berdiri di samping pagar. Alangkah beratnya kaki untuk melangkah masuk, sekalipun ia yakin bahwa itu adalah rumahnya. Lalu tiba-tiba ada suara yang mengurangi kecemasannya, yang mampu mengubah warna mukanya dan bibirnya gemetar karenanya. Suara itu adalah suara batuk-batuk ayahnya. Tujuh tahun lamanya ia tak pernah mendengar suara batuk itu, tetapi telinganya mendengarkan begitu segar kini. Ia tahu benar, itu adalah suara ayahnya. Ayahnya masih hidup. Ia akan dapat menatap wajahnya dengan penuh rindu dan sayang kembali. Lalu dari pintu samping ia dapat melihat perempuan tua berjalan keluar, membongkok mengumpulkan kayu yang berserakan di samping rumah. Sekalipun ia telah membayangkan bahwa akan setua itu ibunya, tetapi peristiwa sekejab itu mengubah derasnya air mata. Ia ingin berteriak, ia ingin memanggil ibunya, namun segala suara terhenti di kerongkongan belaka. Ia tak lagi punya kekuatan untuk itu. Namun, kakinya melangkah jua memasuki halaman, tak ada lagi yang dicemaskan.

Perempuan tua itu terkejut mengangkat muka, melihat dengan mendadak hadirnya seorang anak muda tak jauh darinya dalam keremangan senja. Keningnya yang telah keriputan tertarik ke bawah, matanya yang kecil sejuk memandang penuh tanya. Seperti lama peristiwa itu berjalan, lalu keluarlah pengucapan yang pertama kali.

"Aku, Tamin, Mak!"

Lambat sekali pengertian suara itu sampai kepada hatinya, dan suara itu sendiri seperti berputar-putar di dalam telinga. Kemudian alisnya terangkat tinggi, mulutnya membuka, kedua tangannya yang gemetaran menjulur ke depan, bulat sekali matanya yang telah tua itu menatap orang di hadapannya dan barulah kemudian terlepas teriakan yang menyayat keheningan petang itu. Itu adalah pertama kali perempuan tua itu mampu mengucapkan nama anaknya dengan suara selantang itu, dengan hati yang berdebaran mendadak. Mata yang kering itu lalu basah dan tetesan airnya jatuh menuruni pipinya yang telah cekung. Ia menangis. Apa lagi yang dapat ia lakukan? Air mata itu tak dapat ditahan dan sumbernya bertambah lebar jua.

Lalu perempuan tua itu berteriak, memanggil suaminya yang menyambut dengan batuknya yang tak putus-putus, dan dengan suara panjang ia memanggil Sumi yang tengah sibuk di dapur belakang. Ayahnya keluar menyambut di ambang pintu tanpa kata, kecuali pengucapan nama anaknya berkali-kali dengan tak percaya benar akan peristiwa pertemuan yang begitu mendadak. Sumi datang setengah berlari dari dapur. Gadis itu terhenti dekat pintu, matanya memandangi orang asing yang seperti tak pernah dikenal sebelumnya. Adalah benar ia mengetahui, itulah kakaknya. Tamin, yang begitu banyak menjadi acara percakapan yang tak pernah menjemukan, Namun, tidaklah ia menyangka bahwa Tamin akan sebesar itu. Ia tak pernah membayangkan bahwa tubuh kakaknya akan begitu tegap dan tinggi, dan tangannya yang keluar dari lengan baju yang digulung itu,  begitu bulat dan hitam. Sepetri juga ayahnya, alias itu begitu subur dan hitam melindungi matanya yang hitam berkilau. Alangkah tampannya wajah yang hitam itu dan alangkah lebarnya pundak yang penuh itu. Dan betapa besarnya kekuatan yang tersimpan dalam tubuh yang begitu penuh! Ia percaya bahwa kekuatan itu akan cukup untuk menahan amuknya kerbau yang paling buas dari seluruh tempat di kampungnya. Ya, betapa akan bangganya nanti jika ia bisa berjalan di samping kakaknya memutari kampung. "Lihat, ini kakakku, Tamin, Ia datang jua akhirnya!"



Karya: Toha Mohtar

STELLA

"Nama gue Stellanovia. Gue lahir di Amrik. Karena ortu pindah kerja Indonesia. Jadinya gue ikut keluarga di sini. Kenidupan gue di Amrik benar-benar jadi pengalaman yang paling seru yang pernah gue rasa. I could not lie to myself that USA was a place for my free life."

Stella menutup perkenalan singkatnya dengan pernyataan yang mengundang bisik-bisik kecil dari anak sekelas. Ya, dialah Stellanovia, cewek blasteran yang lama tinggal di Amrik dan sekarang berada di komunitas yang mungkin sebelumnya tidak pernah dia bayangkan. Stella memilih untuk tidak banyak berinteraksi dengan banyak orang di sekelilingnya. Setiap hari di sini dihabiskan berkutit dalam kesendiriannya, ditemani oleh sebuah Ipod-nano pink berstiker kupu-kupu ungu.

"I love misic", katanya tatkala banyak mata memandangnya karena tidak sengaja bersenandung di kerumunan orang banyak. Senyuman yang manis menggoda membuat banyak hati yang luluh. Apalagi dengan paras cantik yang terawat, khas cewek metropolitan yang mengundang decak kagum cowok-cowok.

"Kata gue kalo nggak punya modal banyak gak usah berani deh ngedeketin tuh cewek."
.....

Seorang cowok berperawakan tinggi tegap dibalut baju sekolah, dengan lintingan rokok menggantung di bibirnya, sedang asyik berbicara dengan teman-teman se-genknya.

"Jangan narsis loe. Mentang-mentang banyak cewek yang kesengsem sama loe, loe jadi belagu gitu"

"Udah gue bilang kan, bro. Gue bukan narsis, tapi sadar diri."

"Gue yakin loe bakal sadar diri kalo loe bisa ngobrol sama cewek itu."

Seorang diantara mereka menunjuk ke pojok sekolah.

Mata cowok itu mendarat tepat pada satu pandangan menarik. Seorang cewek berambut panjang tergerai tampak sedang sendiri, tanpa ada seorang pun yang mendekatinya. Lintingan rokok yang tadi tergantung pada bibir mereka kini jatuh ke tanah.

"Berani gak? Katanya loe bernyali gede? Mana buktinya?."

"Loe nantang gue, men."
.....

"Tapi itu cewek siapa Sih?."

Karena di tantang, ia menggulung bajunya sambil melangkah ke depan. Belum berapa langkah eh dia mundur kembali.

"Loe tanya aja sendiri."

"Tapi tuh cewek siapa sih?."

"Loe tanya aja sendiri. Sejak dia datang ke sekolah ini, teman-teman sekelasnya bilang, dia cuma komunikasi dengan mereka sekali pas berkenalan make inggris-inggris yang sok-sok an itu. Katanya sih pindahan Amrik kek, wonosobo kek. Tuh anak keliatan songok banget, udah dua tahun di sini, belum ada yang mau nempel sama dia."

"Kenapa gak ada yang mau sama dia ya? Apa karena suka makan hot dog kali ya? Jadinya suka gukk...gukk..."

Tawa riuh sekelompok anak itu mengumbar, mengundang tatapan dari pojok sana. Stella tak menyadari kalau dialah yang menjadi bahan pembicaraan anak-anak lelaki itu Kini, tampak olehnya seorang dari mereka dengan gaya selangit menuju ke tempat duduknya. Dari jauh, sapuan angin sedikit agak kencang menjadi efek kedatangan anak lelaki yang tersenyum-senyum sok imut. Orangnya tinggi, tegap berbadan atletis dan memancarkan aura kharismatik dari wajahnya bersinar bersih. Senyum mengarah ke Stella.
.....

"Hi....."

Si cowok menyodorkan tangannya Stella memandang cuek, kemudian melepas dua earphone dari telinganya.

"Excuse me."

Disambut dengan bahasa planet, si cowok terdiam sesaat. Takut salah kalau refleks menjawab. Ntar malah ketahuan bahasa Inggrisnya yang cukup tidak karuan. Padahal itu hanya sebuah "Excuse me."

"I'm find, thanks."

Si cowok membalikkan badan wajahnya merah merona, berjalan ke depan meninggalkan Stella yang duduk kebingungan menatap kepergiannya. Tawa riuh sekelompok anak laki-laki di seberang Stella kembali menarik perhatian Stella. Mereka menyambut temannya yang "bernyali besar."

"Kenapa, men? Baru digonggongin, ya?", ucap salah seorang dari mereka sambil menahan tawa.

Si cowok itu menundukkan kepala, menggaruk-garuk, menarik sebatang rokok dan menyulutnya.

"Gila, gue baru aja kelu banget. Habis dianya langsung berbahasa planet ke gue."

"Emang dia bilang apa."

"Excuse me."

"Terus loe jawab,"

"I'm find."

Mendadak tawa kelompok anak lelaki itu kembali membahana, menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka. Tawa terpingkal-pingkal mengalir deras dari mulut mereka masing-masing, menarik minat Stella untuk melirik lagi.

"Dasar loe. Uda gue bilang kan, ngedeketin cewek kayak dia itu mesti modal, kalau gak modal duit, ya modal otaklah."

"Yeeeee, sembarangan loe. Gue juga ngerti dia ngomong apa. Tapi kalo lagi nervous setiap orang juga bisa melakukan kesalahan."
.....

"Sekali lagi, kalo dia ngomong kayak gitu jawab aja make I love you."

Kali ini si cowok menyambut ikut tertawa. Mereka tidak menyadari kalau Stella sudah ada beberapa langkah dari mereka.

"Excuse me, are you guys laughing at me?."

Mereka sontak terdiam. Sundutan rokok menjadi atraksi berikutnya, tatkala mereka kaget karena ada yang menghampiri mereka.

"Hallo, apa kalian ngetawain gue?."

Sekarang mereka saling bertatapan. Bertatapan karena ketakutan bercampur takjub melihat paras seorang gadis cantik yang berdiri tegak di depan mereka. Hembusan angin mengibaskan rambut halus Stella.

"Come on, take it easy. Santai aja lagi."

Ucapnya sambil menyodorkan tangannya.

"Aku Stella."

Dengan bingung bercampur senang, bercampur bingung lagi, dan senang lagi, masing-masing menatap Stella dan saling berpandangan. Akhirnya pada saat bersamaan mereka memutuskan menyambut tangan Stella Serentak. Mereka tertawa menyadari tingkah refleks masing-masing Stella ikut-ikutan tertawa. Satu persatu mereka memperkenalkan diri sampai giliran cowok "bernyali."

"Heru..."

Heru kembali menunduk merasa sedikit canggung setelah kesalahan bahasa yang diperbuat sebelumnya. Stella menyunggingnya senyum lucu.

"Gue pindah ke sini, baru sekitar dua bulanan. Jadi semuanya masih serba baru buat gue."

"Kita juga tahu kok."

"Oh, really.....Ngomong-ngomong what were you guys talking about?"

"Loe."

"Kenapa dengan gue?."

"Penasaran aja sama kata-kata orang. Soalnya loe itu termasuk manusia unik di sini."

Stella menempati kursi kosong di samping Heru. Heru sedikit salah tidak, bergeser dan membenarkan tempat duduknya.

"Enggak semua yang loe dengar itu dengar. Mungkin mereka merasa  gue adalah manusia aneh, karena, karena gue sulit berkomunikasi dengan mereka. Honestly, gue masih belajar dan beradaptasi en sekarang gue mencoba praktik dengan kalian.

Sekelompok anak laki-laki bengong mendengar penjelasan Stella. Kemudian tersenyum karena mengerti kalau Stella menjadikan mereka sebagai teman dekat pertamanya di sekolah ini. Ternyata dipikir-pikir, Stella bukanlah sejenis anak yang introvert seperti yang mereka kira. Stella juga bukan cewek yang kuno, enggak gaul, kolot, apa lagi sulit berkomunikasi. Buktinya tangannya menyambut rokok yang disodorkan oleh anak cowok itu, lambang pertemanan yang sejati.

"Wah, keren juga loe mau ngerokok Stel."

"It's quite common for me. Tapi gue heran kenapa loe semua berani ngerokok di sekolah?. Di Amrik sono pun gue cuma bisa merokok di luar sekolah."
.....

"Kalian kelas berapa? So pasti senior-senior di sekolah ini."

"Hmmm, kelihatannya gitu ya? Nggak kok, kita juga baru di sini, alias masih kelas satu. Pas kemarin waktu adu nyali sama senior-senior kita bisa nunjukin kalau mereka nggak ada apa-apanya. Alhasil tampuk kekuasaan beralih ke kita."

"Well, kalo gitu kalian mesti hormat dong sama gue. Gue kan udah kelas dua en senior dari kalian."

Mereka saling bertatapan kembali, lalu tertawa. Stella memandang bingung dan kembali mengepulkan asap rokok.

"Kita sih nggak ada hormat-hormatan,  biarpun di sini ada juga anak yang mestinya senioran tapi tinggal kelas. Yang penting sama-sama senang. Kalau loe mau jadi anggota gerik kita sih ok-ok aja. Yang penting bisa nambah hepi."

"Sound good"

Stella tersenyum melihat lima orang lelaki adik kelasnya yang kini menjadi sobat pertamanya. Ia merasa bahwa dengan orang-orang inilah dia menemukan suasana yang berbeda yang membuatnya ini akan menjadi bagian petualangan yang panjang di tempat barunya. Ya petualangan yang seru mungkin, yang mengantarkan mereka berenam pada suatu kejutan.

"Hey, kalian semua, kemari!"

Stella, Heru, dan teman-temannya memasukkan puntung rokok ke dalam saku. Stella berpura-pura berjabat tangan sambil tersenyum-senyum kepada kelimanya.

"Nggak usah pura-pura. Kalian berenam ikut saya ke kantor sekarang juga!."

Mereka seolah-olah tidak mendengar ucapan yang terlontar. Hanya beberapa kalimat canda keluar dari bibir mereka sebagai respon kepada guru berbadan gendut yang berada lima langkah di depan.

"Pura-pura nggak denger lagi. Kamu yang cewek, ke sini kamu!"

Stella seakan terperanjak mendengar panggilan dari guru itu. Ia melangkah menuju datangnya suara, setelah sebelumnya menunjuk diri memastikan apakah dia yang di panggil atau bukan.

"Kenapa, Bu? Ibu memanggil saya?"

"Iya, dari tadi saya memanggil kamu sama teman-temanmu."

"Emangnya ada perlu apa, Bu?"

"Nggak usah berkilah, barusan kamu merokok, kan?."

"Wah, enggak, coba aja tanya sama teman-teman saya yang di situ....?

Stella tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Kali ini dia benar-benar bengong. Tidak seorangpun ada di belakangnya. Heru dan teman-temannya sudah beranjak dari pojok tempat mereka berkumpul.

"Ta...ta...tadi mereka ada disitu kok, Bu."

"Mereka siapa? Saya tahu kamu bagian dari mereka, sekarang kamu ikut saya ke kantor dan jelasin semua ini di sana."

Stella berusaha mencari teman-teman barunya, sambil memohon orang-orang yang lewat di sana supaya mau bersaksi kalau dia tidak ikut-ikutan merokok. Akan tetapi, semua orang berlagak tak tahu apa-apa. Walaupun mereka berlagak tahu, pastilah Stella kena hukuman. Stella memutuskan untuk mengikuti ibu guru berbadan subur itu. Ia menghadap sebuah meja di kantor guru. Terlihat ekspresi cuek saat diintrograsi dengan banyak pertanyaan. Tentang semua hal, sampai- sampai pertanyaan personal yang menkaitkan Stella dengan kehidupannya di Amerika. Stella hanya ya dan tidak. Stella tidak pernah menanggapi semua pertanyaan yang diajukan dengan deplomatis. Dia merasa apa gunanya melawan, toh kalau ngaku dan ketahuan merokok pun dia pasti mendapat hukuman yang kecil, seperti diskors misalnya. Itu tentunya kecil bagi Stella yang pernah diskors beberapa kali di Amrik dulu. Sampai pertanyaan terakhir dari si penginterogasi.

"Besok kamu harus cek ke dokter dan buktikan kalau kamu bebas narkoda. Hasilnya serahkan ke saya lusa. Saya takut, jangan-jangan kamu memang sudah kegandrungan narkoda."

Stella hanya diam. Cek antinarkoba bukanlah hal yang ribet bagi dia. Toh selama ini dia hanya merokok dan tidak pernah menyentuh obat-obatan terlarang. Palling juga hanya kadar nekotin yang terdeteksi dari paru-parunya, dan tes urinya. Bukan hal yang sulit. Stella beranjak dari tempatnya.

"Eh iya, nama kamu siapa?."

"Saya Stella, Stellanovia."

Stella berada di ruang tunggu sebuah klinik di sebelah selatan Jakarta. Tangannya menggenggam sebuah tabung berisi air seni yang akan diberikan kepada dokter untuk diperiksa.
.....


Karya: Indra Refifal S.

JANGAN TANYA RUMPUT YANG BERGOYANG

FALA berbaring di atas tempat tidur besinya sambil menatap bekas bocoran pada eternit kamarnya yang sudah usah. Sepasang matanya yang sudah usang. Sepasang matanya tertuju pada bekas bocoran yang berbentuk seperti pulau berwarna kecoklatan dan dia makin menyadari betapa tidak terawatnya kamar dan rumahnya ini. sebelutnya bukannya Fala tidak ingin merawatnya, tapi tidak ada sisa dana yang bisa dipakai untuk merawatnya. Bisa makan dan membiayai rumah serta ibu dan saudaranya saja sudah bagus. Baginya yang penting masih bisa dijadikan tempat untuk berlindung saja sudah cukup tidak muluk-muluk, karena bisanya hidup ini harus napak bumi (realistis) apa yang dia dapat, itulah yang harus diterima dan disyukuri dan yang lebih penting dalam hidup ini adalah harus selalu berusaha.

Fala tidak pernah dan tidak mau mengeluh, sebab jika dia mengeluh maka seluruh hari-harinya akan dipenuhi dengan keluhan-keluhan karena terlalu banyak hal yang harus dikeluhkan dalam kehidupannya, dan jika dia mengeluh maka dia tidak bisa bekerja dan kuliah, hari-harinya akan habis dengan keluhan-keluhan yang dimilikinya. Oleh karenanya, dia menanamkan dalam dirinya: "STOP KELUHAN DAN JALAN KEHIDUPAN." Akhirnya Fala pun tertidur pulas hingga terbangun saat ibunya mengetuk pintu kamar membangunkan Fala untuk shalat subuh.

Sehabis shalat subuh Fana duduk di ruang tamu dengan segelas kopi susu dan menyantap pisang goreng kesukaannya. Ibu datang menghampirinya.

"La, hari ini apa rencana kamu?"

"Ya biasalah Bu. Kerja, terus kuliah. Karena sekarang Sabtu, kerjanya setengah hari, terus ke kampus, ada bimbingan skripsi jam duaan, terus pulang jam lima, terus nyame rumah jam enam. Emang kenapa Bu?"

"Enggak, ibu pengen jalan-jalan sama kamu Firman dan Fauziah. Kita makan di luar yuk." jawab ibu.

Fala berpaling menatap ibunya, lalu memberondongnya dengan pertanyaan. 

"Ooppss dalam rangka apa Bu? Uangnya dari mana? Terus mau makan di mana?"

"Iya, Ini, ibu mau cerita. Sudah sebulan abangmu Firman kerja."

Fala melonjak gembira dan berkata "Haaa, kerja di mana Bu?" Ibu meneruskan pembicaraannya" Ada yang modalin dia buka bengkel servis motor dengan sistem bagi hasil, 60:40 permodalnya 60 dan Firman 40. Ternyata lumayan, La, ditambah lagi dia dapet komisi dari penjualan oli. Tadinya Firman yang mau ngomong sendiri, tapi tadi malem dia pulang kamu sudah tidur. Jadi, khawatir saat ia bangun, kamu sudah berangkat kerja, dia suruh ibu yang bicara duluan."

Mata Fala, tanpa sadar, basah. Ada butiran air mata di sana. Keharuan campur bahagia menjalari batinnya. Ibu bengong, lalu menepuk pundak Fala.

"Apa ibu salah, La? Kenapa kamu menangis?"

Fala menyeka air matanya dengan punggung tangannya.

"Nggak Bu, nggak ada yang salah. Fala yang salah karena tidak ada perhatian terhadap perkembangan di rumah ini sampai-sampai Fala tidak tahu kalau Firman sudah bekerja. Fala terlalu sibuk mencari uang, Bu. Fala merasa berdosa sama Firman karena selama ini Fala menganggap pemalas, nggak mau susah dan kalau kerja selalu milih-milih. Fala sempat prihatin memikirkan Firman karena dia laki-laki yang nantinya kepala keluarga mau sampai kapan dia begitu, Fala takut Firman memiliki sifat seperti ayahnya yang pemalas pikiran Fala selama ini salah." Tangis Fala pecah. Ia mengguguk, tatkala sang ibu memeluk dan membelai rambutnya. Ia serasa kembali menjadi Fala kecil, menikmati pelukan sang ibu.

"Kamu nggak salah Nak. Kamu wajar berpikiraan seperti itu karena selama ini kehidupan kami, kamu yang menanggungnya. Tapi, karena kamu melakukannya dengan ikhlas, Allah membukakan jalan buat kita semua. Selama ini juga Firman selalu berusaha Kok, dia menjadi montir panggilan makanya bisa bertemu dengan si pemilik modal bengkelnya itu. Firman juga suka memberi ibu uang kalau dia mendapat kerjaan. Alhamdulillah bulan lalu dia banyak mendapat panggilan, dia titipkan uangnya pada ibu untuk digunakan membantu keperluan rumah. Kamu tahu La, uang bulanan yang dari kamu bulan lalu masih utuh tidak terpakai karena uang dari Firman cukup untuk kebutuhan kita, jadi uangnya ibu tabung." Fala jadi semakin kaget.

"Tapi..", lanjut ibu lagi, "Kalau kamu membutuhkan uang itu yang mau aku lakukan tapi dananya nggak kebagian terus," tambah Fala. Firman melanjutkan pembicaraan.
....

Aku pengen menggantikan peran Bapak yang seharusnya berbuat seperti itu, tapi mungkin pemikiranku terlalu dangkal hanya melihat luarnya saja. Kalau gitu sekarang kita konsentrasikan dana yang ada untuk perbaikan rumah ya. Biar aku yang usahakan dana itu ya La," Firman minta persetujuan Fala.

"Kita sama-sama lah Man" jawab Fala.

"Jangan," balas Firman.

"Kamu tetap seperti biasa aja kasih ibu uang bulanan, biar aku yang cari tambahan untuk rumah. Gimana?"

Ibu memandangi kedua anaknya dengan bangga, mereka berlomba-lomba untuk bertanggung jawab pada keluarga, tidak seperti bapaknya yang selalu menghindar dari tanggung jawab.

"Oke," jawab Fala, "Tapi pelan-pelan aja Man jangan langsung dibetulin semua. Bertahap aja karena kita harus punya tabungan juga kan."

"Iya, iya tenang aja deh," balas Firman. Fauziah yang dari tadi diam saja sekarang bersuara.

"Bang, Kak, aku  udah selesai ujian dan gak diterima di Perguruan Tinggi Negeri, aku mau kerja aja. Tahun depan coba lagi."

Fala seperti disambar petir mendengar omongan adiknya. Dia merasa selama ini hanya sibuk mencari uang tanpa memberi perhatian pada Fauziah, dan yang lebih kagetnya lagi sekarang adiknya itu sudah menyelesaikan SMU akan menjadi mahasiswa. Subhanallah... Fala merasa terharu dan karena kurang memberi perhatian pada si bungsu ini.

Terdengar Firman bertanya. "Kamu mau kerja apa, yah?"

"Apa aja Bang yang penting halal," balas Fauziah, dan melanjutkan kalimatnya, "Kalau kita mau, banyak kok kerjaan. Bisa jadi SPG (sales promotion girl, Red.), pelayanan Mc Donald, kasir, atau apa aja yang penting dapet duit halal. Sapa tahu nanti aku bisa kuliah pake uang sendiri jadi nggak ngerepotin Abang dan Kakak. Aku udah cukup hidup enak selama ini. Dulu Kak Fala udah kerja jauh di bawah umurku sekarang, dan ternyata orang-orang yang berhasil itu yang dari muda udah kerja. Mereka jadi makin kuat mental dan fisiknya, jadi menghadapi dunia dan kehidupan bisa lebih kuat. Itu yang aku amati selama ini.
....


Karya: Defiansyah

LAYAR TERKEMBANG

PINTU yang berat itu berderit terbuka dan dua orang gadis masuk ke dalam gedung akuarium. Keduanya berpakaian cara Barat; yang tua dahulu sekali masuk memakai jurk' tobralko putih bersehaja yang berbunga biru kecil-kecil. Rambutnya bersanggul model Sala, berat bergantung pada kuduknya. Yang muda, yang lena mengiring dari belakang, memakai rok pual sutra yang coklat warnanya serta belus pual sutra yang kekuning kuningan. Tangan belus itu yang panjang terbuat dari georgette yang halus' berkerut-kerut, mengembang di  pergelangan tangan, sangat manis rupanya. Rambutnya yang lebat dan amat terjaga, teranyam berbelit-belit bergulung merupakan dua sanggul yang permai.

Gadis berdua itu adik dan kakak, hal itu terang kelihatan pada air mukanya. Meskipun muka, yang tua, yang tegap perawakannya, agak butat sedikit dan muka yang muda agak kepanjang-panjangan oleh karena ramping dan kecil badannya, garis mulut, hidung dan teristimewa mata keduanya nyata membayangkan mata keduanya nyata membayangkan persamaan yang hanya terdapat pada orang berdua bersaudara.

Tuti yang tertua antara dua saudara itu, telah dua puluh lima tahun usianya, sedang adiknya Maria baru dua puluh tahun. Mereka ialah anak Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta bersama-sama kedua anaknya itu. Maria masih Murid H.B.S. Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan dan Tuti menjadi guru pada sekolah H.I.S. Arjuna di Petojo.

Sekarang pada hari Minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat aquarium di Pasar ikan. Pukul tujuh mereka telak bertolak dari rumah dan meskipun sepanjang jalan tadi mereka amat perlahan-lahan memutar sepedanya, merekalah tamu yang mula-mula sekali tiba di akuarium pagi-pagi itu.

"Lekas benar kita sampai ini," kata Maria agak kecewa, "lihatlah belum seorang juga lagi."

"Bukanlah lebih baik serupa itu ?" sahut kakaknya dengan suara yang tidak peduli, dan agak tetap dan tepat sedikit disambungnya, "Sekarang kita dapat melihat segalanya sekehendak hati kita, tak diusik-usik orang."

Maria tidak menyahut lagi, sebab matanya sudah tertarik oleh ikan kecil-kecil, berwarna-warna merah, kuning dan hitam, yang bermain-main di antara karang yang tersusun dalam kaca. Dan meskipun telah beberapa kali ia mengunjungi akuarium itu melihat ikan-ikan yang permain itu, sehingga keluarlah sekonyong-konyong dari mulutnya suara yang gembira, "Aduh, indah benar." Dan seraya melompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya,
....

Perbedaan suara kedua gadis itu ketika itu terang menunjukkan perbedaan pekerti antara keduanya. Tuti bukan seorang yang mudah kagum, yang mudah heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia tahu, bahwa ia pandai dan cakap dan banyak yang akan dapat dikerjakannya dan dicapainya.
....

Yusuf adalah putra Demang Munaf di Martapura di Sumantra Selatan. Telah hampir lima tahun ia belajar pada Sekolah Tabib Tinggi.
....

Sejak kembali dari mengantarkan Tuti dan Maria, pikirannya senantiasa berbalik-balik saja kepada mereka. ....

Sekejab terperanjat ia mendengar suara itu lalu berpalinglah ia ke belakang dan nampak kepadanya Maria. ....

Maria telah menceritakan kepada Tuti, bahwa ia telah berjanji kepada Yusuf akan menjadi istrinya di kemudian hari. Kepada Tuti dan Rukamah nyata benar kelihatan perubahan pekerti Maria dalam waktu yang akhir ini. Percakapannya tentang Yusuf saja. Ingatanya sering tiada tentu. Sebentar-sebentar ia sudah duduk melamun, tiada bergerak-gerak, sedang matanya memandang ke hadapannya. Dalam percakapan waktu berjalan-jalan atau di tengah makan sering tertangkap Maria tiada mendengar becara orang lain.

Rukamah suka benar mengganggu saudara sepupunya itu. Meskipun sering juga Tuti turut tertawa mempermain-mainkan adiknya itu, tetapi biasanya tiadalah banyak katanya. Baginya Maria dalam keadaan mabuk asmara itu menjadi suatu soal yang sangat menarik hatinya dan hendak dipelajarinya. Payah ia memikirkan, betapa mungkin seganjil itu pekerti adiknya itu sejak ia bercinta-cintaan dengan Yusuf. ....

Sejak dari sudah makan pukul delapan tadi Tuti mengetik dalam kamarnya. Sedikit lagi ia harus mengerjakan persiapan laporan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala yang terserah kepadanya. Di atas meja tulis yang penuh berserakah kertas terlah tinggi tertumpuk kertas bertik yang akan dicetak. ....

Sesungguhnya Tuti sudah sangat letih lahir dan batin. Dalam dua bulan ini, tak lain kerjanya daripada untuk perkumpulan. Mula-mula kongres Putri Sedar yang sangat banyak meminta tenaganya sebagai ketua cabang Jakarta yang harus mengatur kongres itu. Sudah itu kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan di Sala pula. Dalam seminggu di Bandung sejak ia pulang dari Sala, boleh dikatakan setiap hari sebagian yang terbesar daripada waktunya dipakianya untuk menyiapkan kongres. ....

Pada petang sabtu, Tuti duduk di sudut wagon kelas tiga kereta api pukul dua deari Bandung menuju ke Cianjur. Tidak banyak orang yang bersama-sama dengan dia ketika itu: 
....

Ketika kereta api berangkat, Tuti tiadalah beberapa mengacuhkan orang-orang yang sama-sama duduk dengan dia. Haitinya masih penuh oleh kongres Putri Sedar. ..Selalu, tiap-tiap tahun, kongres tahunan perkumpulannya itu ialah puncak kegirangan hidup Tuti.
.....

Tetapi sebagai orang yang gembira berjuang, perasaan kecewa itu di dalam kalbunya menjelma menjadi pendorong baginya untuk lebih kuat berusaha dan bekerja.

Baru benar ia tadi berpidato tentang pekerjaan perempuan baru dalam masyarakat. Diakuinya bahwa ada bedanya antara sifat-sifat rohani dan jasmani laki-laki dan perempuan, tetapi di sisi itu terutama sekali ditunjukkannya, bahwa lain daripada perbedaan itu amat banyak persamaan. Hingga sekarang orang terlampau banyak mengingat perbedaan sifat itu dan berdasarkan itu kepada perempuan diberikan orang pekerjaan yang sangat kecil lingkungannya, yaitu pekerjaan menyelenggarakan rumah dan mendidik anak. Dalam lingkungan pekerjaan yang demikian perempuan mesti, tiada boleh tidak menjadi bergantung kepada laki-laki. Kepada jiwanya tiada diberi kesempatan untuk tumbuh dengan sempurna, puncak kecerdasan dan kemajuan yang boleh dicapai oleh perempuan telah dibatasi. Oleh itulah maka berabad-abad perempuan takluk kepada laki-laki, dalam segala hal ia tergantung. Dan kecakapan perempuan yang tiada pernah diasah, tiada pernah diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya. Itulah sebabnya maka Putri Sedar berjuang merebut kesempatan yang sebesar-besarnya bagi perempuan untuk mengembangkan segala sifat dan segala kecakapan yang dikaruniakan oleh alam kepadanya, yang sebaik-baiknya untuk tumbuh itu, menjadi kerdil dan tiada berdaya, pekerjaan laki-laki, yang dapat dilakukan oleh perempuan. Dalam dunia pengetahuan, teknik, perdagangan, perempuan harus mengembangkan segala kecakapannya dan kesanggupannya. Kepada perempuan baru harus diberi gelanggang yang lebih lebar dari lingkungan rumah dan kerabatnya saja.

MENYONGSONG MENTARI PAGI

Lama ia tegak termangu dibawah sinar rembulan. Angin malam sangat dingin menembus tenda sederhana yang berdiri darurat. Sebentar-sebentar tangannya menggaruk-menggaruk kepala. Tatapan matanya mengelilingi keadaan sekitar. Langkah-langkahnya berat seakan memikul beban perasaannya ke dalam kenangan. Ya, kenangan tiga tahun lalu ketika ia duduk di SD. Kini gedung SD yang dulu sebagai tempat belajar dan bermain selama dan enam tahun, kini rata dengan tanah akibat gempa.

Ketika pagi tiga, semakin jelas reruntuhan gedung dan rumah-rumah penduduk. Saat duduk sendiri di tengah reruntuhan, datang suara menyapa.

"Hai Didi, kapan Kau ke sini? Bagaimana kabarmu di kota?"

"Oh, kamu Edo! Aku baru datang tadi sore. Dari Jakarta aku langsung menuju ke Sleman ke tempat aku kecil bermain dan belajar. Aku dengar kabar tiga hari yang lalu tentang terjadinya gempa di sini. Aku dengan keluarga langsung menuju ke sini ingin menjumpai saudara-saudaraku.

"Apa sudah ketemu saudara-saudaramu?"

"Sampai kini aku belum ketemu. Sudah aku cari ke beberapa pos, namun hingga kini aku belum menjumpainya."

"Aku doakan semoga saudara-saudaramu selamat, tak ada satupun yang meninggal."

"Aku harap juga begitu."

"Oh, ya Edo, bagaimana keluargamu, apakah mereka selamat?"

"Ya, aku bersyukur kedua orang tuaku, kakak, dan dua adikku selamat. Paman dan bibiku telah tiada. Pada saat kejadian, beliau masih di dalam rumah sehingga tidak bisa menyelamatkan diri."

Kini sahabat lama Didi dan Edo berjalan menyusuri desa-desa dengan mengendarai motor. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan sahabat lama Santi dan Rini.

"Halo Santi, bagaimana kabarmu?

"O, Didi ya, ini aku bersama Rini sedang mengumpulkan puing-puing bekas rumahku. Didi kapan kamu ke sini? Mampir ke tendaku ya. Maaf rumahku ikut roboh. Jadi aku kini tinggal di dalam tenda bersama kawan-kawan."

"Santi, aku turut prihatin atas musibah ini. Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Edo tadi bercerita tentang kamu. Bagaimana dengan keluargamu yang lain?"

"Aku bersyukur bahwa ayah, kakak, dan adik-adikku selamat. Mari mampir, nanti kuperkenalkan."

"Santi, semoga kamu tabah menghadapi cobaan ini. Aku datang dari Jakarta ingin membagi suka dan duka dengan orang-orang sekampungku dulu. Oh iya, kapan kita bisa bertemu dengan kawan-kawan lama?

"Besok pagi kita kasih tahu untuk berkumpul di penampungan."

"Ya, terima kasih San. Aku ingin mengajak kawan-kawan untuk melupakan semua ini. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Mari kita songsong hari esok yang lebih baik."

Mentari pagi mulai menampakkan wajah anggunnya. Burung-burung bersenandung di puncak pepohonan. Suasana itu seakan mengembalikan desa itu seperti sediakala sebelum terjadi gempa. Di sudut tenda, berkumpullah puluhan anak baru gede. Mereka tetap tabah ingin menatap masa depan yang lebih baik seperti mentari yang tak pernah redup.
....

KEKUATAN GAIB SEORANG ANAK

"Bunuh dia!...Tembak dia!...Tembak sekarang juga bedebah  itu!"

"Bunuh dia!...Pembunuh harus disembelih! Bunuh, bunuh saja!", teriak orang-orang, laki-laki dan perempuan yang berkerumun.

Segerombolan rakyat yang sedang menggiring seorang laki-laki yang diborgol sepanjang jalan. Orang itu tinggi, kurus, berjalan dengan tegap sambil mengakat kepalanya tinggi-tinggi. Pada mukanya yang tampan dan gagah itu terbayang kebencian dan kejengkelan kepala orang-orang yang mengerumuninya.

Ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang dalam peperangan melawan penguasa telah bertempur di pihak penguasa. Ia tertangkap, dan sekarang ia digiring untuk menjalani hukuman.

"Apa boleh buat! Kekuatan tidak selalu di pihak kita. Apa yang dapat kulakukan? Kekuasaan sekarang ada ditangan mereka. Mati, rupanya aku memang harus mati", pikir orang itu sambil mengankat bahu; teriakan orang-orang di sekelilingnya dibahasnya dengan senyum pahit.

"Itu agen polisi, tadi pagi ia masih menembaki kita", teriak orang-orang itu.

"Tapi mereka tidak berhenti, tawanan itu mereka bawa terus. Ketika rombongan tiba di sebuah jalan di mana di sepanjang pinggiran jembatan masih bergelimpangan mayat-mayat yang kemarin dibunuh oleh tentara, orang-orang itu menjadi makin gaduh. 

"Tidak ada gunanya dilambat-lambat! Tembak bededah itu sekarang juga, di sini juga, mau dibawa kemana lagi!..." teriak mereka.

Tawanan itu mengerutkan keningnya dan mengangkat kepalanya malah lebih tinggi lagi. Kebencianya kepada orang-orang itu rupanya jauh lebih besar dari pada kebencian mereka kepadanya.

"Bunuh semuanya! Mata-mata! Tsar! Dan anjing itu, bunuh dia, bunuh sekarang juga!" suara-suara perempuan terdengan gemuruh.

Akan tetapi, para pempinan rombongan itu memutuskan untuk membawa tawanan mereka ke alun-alun, baru di sanalah mereka berunding dengan orang-orang itu.

Rombongan sudah hampir sampai di alun-alun ketika pada saat yang hening sejenak di Rombongan sudah hampir sampai di alun-alun ketika pada saat yang hening sejenak di Rombongan sudah hampir sampai di alun-alun ketika pada saat yang hening sejenak di barisan belakang, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang anak:

"Ayah! Ayah! teriak seorang anak laki-laki berumur enam tahun sambil menangis tersedu-sedu dan berusaha menerobos gerombolan orang-orang untuk mendekati tawanan.

"Ayah! Apa yang mereka perbuat pada ayah? Tunggu dulu, tunggu dulu, aku ikut, ikut....!"

Teriakan-teriakan tidak terdengar lagi sekitar orang-orang dari mana anak itu datang dan, laksana berhadapan dengan kekuatan gaib, orang-orang itu sama mundur memberi jalan kepada si anak untuk berjalan makin dekat lagi kepada ayahnya.

"Alangkah manisnya!"  kata seorang perempuan lainnya sambil membungkuk pada anak itu.

"Berapa umurmu, Nak?"

"Apa yang akan Anda perbuat dengan ayah saya," jawab anak itu.

"Pulang saja, Nak, pergilah kepada ibumu," kata salah seorang laki-laki kepada anak itu.

Tawanan mendengar suara anaknya dan apa yang dikatakan orang-orang kepadanya. Mukanya menjadi lebih bengis lagi.

"Ia tidak punya ibu" teriaknya menjawab suara orang menyuruh anaknya pergi kepada ibunya.

Setelah anak tadi makin jauh menyelusup ke dalam gerombolan manusia itu, sampailah ia kepada ayahnya, dan dipeluknyalah ayahnya itu erat-erat.

"Kenapa kau pergi dari rumah?", kata si anak kepada ayahnya.

"Ayah mau diapakan oleh mereka?", kata anak itu.

"Nak, sekarang lakukanlah olehmu", kata ayahnya.

"Apa?"

"Kau tahu Kachusha?"

"Tentanga kita itu? Tentu saja,"

"Nah, kau pergilah kepadanya, dan tinggallah di sana sebentar.....dan ayah....., ayah nanti datang."

"Aku tidak mau pergi tanpa ayah", kata anak itu, dan ia pun menangis lagi.

"Kenapa tidak mau?"

"Mereka akan membunuh ayah."

"Tidak, mereka tidak apa-apa, mereka hanya main-main."

Tawanan itu melepaskan anaknya dari pangkuannya dan pergi mendekati pemimpin rombongan.

"Dengarlah, Bung",---- katanya, ---- "Bunuhlah aku semau kalian, tapi jalan di depan dia", ---- ia menunjuk anaknya.

"Lepaskan dulu aku sebentar, dan peganglah tanganku. Akan kukatakan pada anakku itu bahwa kita sedang berjalan-jalan dan bahwa kalian adalah temanku, ia nanti pergi. Kemudian.... kemudian bunuhlah aku sesukamu."

Pemimpin rombongan setuju. 

Si tawanan kemudian memeluk lagi anaknya dan berkata kepadanya:

"Jangan nakal, Nak, pergilah kepada Kachusha"

"Tapi, ayah bagaimana?"

"Kau kan melihat sendiri, ayah sedang jalan-jalan dengan teman ini, kami akan berjalan sedikit lagi ke sana, dan kau pergilah, ayah nanti pulang. Pergilah Nak, jangan nakal."

Anak itu memandang pada ayahnya dengan pandangan yang tajam sambil menggelengkan kepadanya ke kiri dan ke kanan dan berpikir.

"Pergilah sayang, Ayah nanti pulang."

"Betul?"

Anak itu menurut. Salah seorang perempuan membimbingnya keluar dari gerombolan manusia itu.

Ketika si anak sudah hilang dari pandangan, tawanan itu  berkata:

"Sekarang aku siap, bunuhlah aku."

Tapi, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat aneh, tak terduga-duga. Semangat yang sama dengan mendadak tubuh di dalam jiwa orang-orang itu, yang selama ini kejam, tak kenal ampun, dan penuh kebencian itu. Berkatalah seorang perempuan:

"Tapi, saya kira...lepaskan saja dia."

"Serahkan saja kepada Tuhan," kata seorang lainnya lagi.

"Lepaskan dia."

"Lepaskan dia, lepaskan!" terdengar suara gemuruh di antara gerombolan manusia itu. 

Tawanan yang gagah berani dan tak kenal belas kasihan itu, yang tadi membeci orang-orang sekelilingnya, kini tiba-tiba menangis meraung-raung sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya, dan kemudian, laksana orang yang benar-benar menyadari kesalahannya, ia melompat dari grombolan orang-orang itu, lari, dan tidak ada seorang pun yang menghalang-halanginya.

Tamat


Karya: L.N. Toistory

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK