CAMPUR ADUK

Saturday, July 31, 2021

MENGAPA ANJING MEMUSUHI KUCING?

Siti selesai senam di dalam rumahnya. Siti duduk santai di ruang tengah sambil minum es jeruk yang seger banget. Ada buku di meja, ya di ambil Siti dan buku tersebut di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Siti :

Anjing dan kucing adalah dua mahluk yang saling membenci. Anjing akan menggonggong dengan keras jika bertemu dengan kucing, bahkan tidak ragu-ragu berusaha mengejar dan menangkapnya. Kucing akan berusaha menghindari anjing. Jika terpaksa bertemu, mereka tidak sungkan-sungkan membalas gonggongan anjing dengan suara ngeong yang melengking, bahkan beradu fisik. Tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan mereka saling bermusuhan, tetapi cerita rakyat Argentina ini akan menjelaskan asal-usul permusuhan ini.

Dahulu kala, leluhur anjing dan kucing hidup di Argentina. Mereka tinggal berdekatan, hidup dengan damai dan tanpa permusuhan. anjing tidak pernah menyerang kucing dan kucing tidak pernah menggoda Anjing. Mereka bahkan sering terlihat bersama-sama. Anjing sering mengajak kucing pergi berburu bersama. Begitu juga sebaliknya, Kucing sering mengajak anjing untuk bermain bersama. Mereka bahkan tidak sungkan tidur bersama-sama untuk saling menghangatkan badan di tengah dinginnya malam.

Anjing dan kucing benar-benar bersahabat erat saat itu. Persahabatan ini bisa digambarkan dengan kalimat, “Di mana ada anjing, selalu ada kucing.”

Alam Argentina adalah tempat tinggal yang nyaman bagi bangsa kucing. Cuaca yang hangat sangat cocok bagi banga kucing yang memiliki bulu-bulu halus. Selain itu, ikan, makanan favorit Kucing, banyak ditemui di sungai-sungai dekat pampas atau tepi hutan. Hanya saja, untuk mendapatkan ikan-ikan tersebut, kucing harus berusaha dengan keras. Sungai-sungai di Argentina terkenal dengan arus airnya yang deras. Permukaannya memang tampak tenang tetapi arus bawahnya cukup deras. Selain itu, ikan-ikan yang hidup di dalam sungai itu bergerak cukup gesit.

Kesabaran, pengalaman, dan pengetahuan arus sungai adalah hal yang wajib dikuasai Kucing untuk dapat menangkap ikan-ikan tersebut, apalagi kucing termasuk bianatang yang takut dengan air. Jika tidak berhati-hati, Kucing bisa terjatuh ke sungai, hanyut terbawa arus, dan mati tenggelam atau tercabik-cabik batuan di dasar sungai.

Suatu hari, Juan, seekor kucing muda sedang berjalan-jalan di tepi hutan. Ia kemudian sampai di sebuah sungai. Hawa yang sejuk dan angin bertiup sepoi-sepoi membuat kucing muda itu memutuskan untuk beristirahat sejenak di tempat itu.

“Waktu dan tempat yang pas untuk beristirahat,” kata Juan dalam hati.

Tiba-tiba terdengar suara dari perut Juan, “Krucuk... krucuk... krucuk...”

“Perutku lapar! Ikan bakar akan mengenyangkan perutku,” kata Juan sambil mengelus-elus perutnya. Ia memandang ke arah sungai dan melihat ikan-ikan yang berenang di permukaan.

Juan berjalan ke tepi sungai dan mulai mencoba menangkap ikan dengan cakarnya. Usahanya tidak mendapatkan hasil. Ikan-ikan itu berenang menjauh dan kembali setelah cakar kucing itu di atas air. Mereka seakan-akan sedang mengejek kucing muda itu. Juan mulai jengkel. Ia kembali mengayun-ayunkan cakarnya lebih cepat untuk menangkap ikan-ikan itu. Hasilnya? Sama saja, tidak ada ikan yang tertangkap. Gerakan ikan-ikan itu terlihat semakin mengejek. Juan menggeser badannya agar lebih dekat dengan sungai supaya cakarnya mengayun lebih jauh dan lebih mudah menangkap ikan. Ia mengayunkan cakarnya dan, “Byuuur....”

Juan terpeleset dan jatuh ke dalam sungai. Tangan Juan menggapai-gapai berusaha meraih sesuatu sebagai pegangan tetapi arus sungai membawanya ke tengah sungai. Ia kemudian menggerakkan kaki dan tangannya, berusaha untuk berenang namun usahanya sia-sia. Tenaganya tidak cukup kuat melawan arus sugai. Tubuhnya muncul tenggelam terseret arus sungai. Juan kemudian mengeong, meminta tolong sekuat tenaga,

“Meeeooooong... meeeooooong... meeeooooong....”

Makin lama suara ngeong Juan semakin lirih seiring tubuhnya yang semakin lemah karena kelelahan. Juan merasa ajalnya sebentar lagi telah tiba. Ia memejamkan matanya bersiap untuk mati. Tiba-tiba terdengar suara gonggongan yang ramai dari tepi sungai. Juan membuka mata dan melihat segerombolan anjing. Salah satu dari mereka, Jose, menceburkan diri ke sungai dan berenang melawan arus, berusaha menolongnya. Singkat cerita, Juan berhasil diselamatkan oleh Jose.

“Te-terima kasih telah menyelamatkan nyawaku, Jose,” kata Juan sambil menggigil kedinginan.

“Sama-sama, Juan,” kata Jose sambil tersenyum.

“Jangan sungkan-sungkan jika ingin meminta bantuanku.”

“Terima kasih, Juan! Hanya saja...”

Jose tiba-tiba terdiam. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu.

“Ada apa, Jose? Kenapa kau terdiam? Apa kau sakit?” tanya Juan dengan nada khawatir.

“Tidak, Juan! Aku sedang memikirkan sesuatu dan kau mungkin bisa membantuku,” jawab Jose.

“Apa masalahmu? Aku mungkin bisa membantumu,” kata Juan bersemangat.

“Aku mendapat tugas menjaga gudang makanan bangsa Anjing di malam hari. Beberapa hari ini aku sering mendengar kegaduhan di dalam gudang, tetapi saat kuperiksa tidak kutemukan sesuatu. Hanya barang-barang yang jatuh dan berserakan.”

“Hmm... bagaimana suara bunyi suara gaduh itu?”

“Selain suara barang-barang yang jatuh, ada suara decitan dan langkah kaki kecil berlari cepat.”

“Gudang makananmu nampaknya dimasuki oleh tikus.”

“Hah... tikus? Mahluk kecil berbulu hitam dengan ekor panjang itu? Tapi aku tidak melihat seekor tikus pun di dalam.”

“Aku akan menemani berjaga nanti malam,” kata Juan. “Dan aku akan menangkap tikus itu untukmu, saudaraku,” tambahnya.

Malam harinya, Juan menemani Jose berjaga di gudang makanan bangsa anjing. Mereka membuat api unggun dan mengobrol di dekatnya.

“Langit malam ini cukup cerah. Kita bisa melihat bulan dan bintang bersinar cukup cerah,” kata Jose memulai pembicaraan.

“Iya, nampaknya sebentar lagi musim semi akan datang,” kata Juan.

“Musim semi, di mana malam akan lebih panjang dan terasa lebih hangat,” tambah Jose.

“Waktu yang tepat untuk berpesta, saudaraku,” balas Juan.

“Siapa yang akan mengadakannya? Kamu, Juan?” tanya Jose.

Mereka kemudian tertawa bersama-sama. Tiba-tiba terdengar kegaduhan di dalam gudang. Jose dan Juan terkesiap. Mereka memasang telinga baik-baik. Suara gaduh itu terdengar lagi.

“Apa kau dengar apa yang aku dengar, Juan?” tanya Jose.

“Iya, aku juga mendengarnya. Izinkan aku masuk ke dalam gudangmu dan aku tangkap perusuh kecil itu untukmu,” kata Juan dengan geram.

“Baiklah,” jawab Jose sambil membuka pintu gudang.

Juan langsung melompat ke dalam gudang untuk mencari penyebab kegaduhan. Ia memerhatikan keadaan di dalam gudang. Dugaannya ternyata tepat. Ia melihat seekor tikus sedang berlari dengan membawa sepotong daging.

“Meeoong, berhenti, tikus! Meeoong, berhenti kataku!” ancam Juan. Ia kemudian mengejar tikus itu.

Tikus itu berusaha bersembunyi di tempat yang gelap tetapi Juan berhasil menemukannya. Tikus itu tidak menyadari kalau mata kucing mampu melihat di tempat dengan pencahayaan yang kurang. Juan berlari mendekat dan mengayunkan cakarnya. Tikus itu berkelit tetapi punggungnya tetap terkena cakar Juan. Ia kemudian mendecit kesakitan. Decitan itu membuat Juan semakin bersemangat mengejar tikus itu. Ia mengejar ke manapun tikus itu lari, mulai dari depan ke belakang gudang, dari lantai gudang ke langit-langit. Tikus itu benar-benar tidak diberi kesempatan bernapas lega oleh Juan. Akhirnya Tikus itu kelelahan dan kurang awas. Juan melihat kesempatan ini. Ia menerkam Tikus itu, menggigit tengkuknya dan membawanya keluar dari gudang. Tikus itu meronta-ronta, berusaha membebaskan diri. Tetapi usahanya sia-sia, tenaganya kalah kuat dengan Juan.

“Ini tikus yang mengacau gudangmu,” kata Juan setelah melempar tikus itu ke hadapan Jose.

“Binatang kecil ini nyalinya besar juga! Berani-beraninya ia mencuri di gudang milik bangsa anjing,” kata Jose.

“Hukuman apa yang pantas untuk binatang hina ini?” tanyanya kepada Juan.

“Ampun, anjing! Ampun! Jangan menghukum saya! Saya tidak tahu kalau gudang ini milik bangsa anjing! Ampun, ampun...,” pinta tikus dengan suara memelas.

“Aku lapar. Bagaimana kalau tikus ini kita jadikan makan malam kita?” usul Juan.

“Ide bagus. Kau mau tikus ini dipanggang setengah matang, matang, atau sedikit gosong?” jawab Jose sambil tersenyum simpul.

“Ampun, ampun! Jangan memakan saya! Saya janji tidak akan mencuri di tempat ini lagi! Sumpah, saya janji tidak akan mencuri di gudang ini lagi,” kata tikus sambil menggigil ketakutan.

“Bagaimana Jose?” tanya Juan.

“Lepaskan saja dia! Aku baru ingat kalau malam ini waktunya aku makan sayur, bukan daging,” jawab Jose.

“Sejak kapan anjing makan sayur? Ada-ada saja Jose ini!” kata Juan dalam hati. 

“Tapi ingat, tikus! Jika sekali lagi aku melihatmu berada di sekitar tempat ini, maka aku akan menangkapmu dan menjadikanmu sebagai makan malamku,” lanjut Jose.

Tikus itu mengangguk dan dengan ketakutan berlari sambil terjatuh-jatuh. Juan dan Jose tertawa melihat kejadian itu. Beberapa minggu setelah kejadian itu, Jose kembali bertemu dengan Juan di tengah jalan.

“Hai, Juan! Bagaimana kabarmu?” tanya Jose sambil memeluk Juan.

“Aku baik-baik saja, Jose!” jawab Juan sambil balas memeluk.

“Apa tikus kecil itu masih sering mengganggumu?”

“Ha... ha... ha... aku tidak pernah melihatnya lagi sejak kau menghajarnya waktu itu,” jawab Jose.

“Kau hendak ke mana, Juan?”

“Aku hendak menyampaikan undangan Raja Kucing kepada Raja Anjing,” jawab Juan

“Undangan apa?” tanya Jose.

“Undangan pesta menyambut datangnya musim semi.”

“Rupanya kau bersungguh-sungguh saat membicarakan pesta itu,” komentar Jose.

Juan tersenyum mendengar perkataan Jose.

“Baiklah, aku akan menemanimu menemui Rajaku. Siapa saja yang rencananya kau undang dalam pesta itu?”

“Seluruh bangsa Anjing dan Kucing.”

“Pesta ini nampaknya akan sangat meriah dan tidak terlupakan,” kata Jose.

Memang, pesta itu bakal tidak akan dilupakan sepanjang masa oleh bangsa anjing dan kucing. Akhirnya tiba waktunya untuk berpesta. Ratusan Anjing dan Kucing memadati puncak bukit tempat pesta diadakan. Mereka makan, tertawa, bermain musik, dan menari di bawah sinar bulan purnama. Benar-benar pesta yang sangat meriah. Namun alam nampaknya tidak membiarkan pesta itu berjalan dengan lancar. Beberapa jam setelah pesta dimulai, awan gelap mulai berkumpul. Mereka menutupi bulan purnama, mengubah terang menjadi gelap. Hujan turun tidak lama setelah itu dan dengan cepat berubah menjadi badai. Bangsa anjing dan kucing kemudian mencari tempat berteduh di bawah pohon-pohon sekitar puncak bukit.

“Sayang sekali, pesta ini harus cepat berakhir,” kata seekor anjing.

“Iya, padahal aku baru menari satu putaran,” kata seekor kucing.

“Seandainya hujan tidak turun dengan cepat,” tambah kucing yang lain.

“Hei, bagaimana kalau kita melanjutkan pesta ini ke tempat lain? Ada sebuah lumbung di dekat sini. Kita bisa berpesta di sana,” kata seekor anjing berbulu putih.

“Ide bagus, saudaraku! Ayo, kita pergi ke sana!”

“Ayo, ayo, ayo! Kita pergi ke lumbung itu.”

Ratusan anjing dan kucing dengan badan basah kuyup dan penuh lumpur berjalan berbondong-bondong menuruni bukit. Tujuannya hanya satu, lumbung di dekat bukit, tempat di mana mereka bisa melanjutkan pesta. Lumbung itu ternyata benar-benar ada. Luasnya tidak besar tetapi mampu menampung semua anjing dan kucing. Bangsa kucing membersihkan badannya sebelum masuk ke dalam lumbung. Mereka mengibaskan bulu-bulunya dan air serta lumpur yang melekat berjatuhan ke tanah. Bangsa anjing juga melakukan hal yang sama. Mereka mengibaskan bulu-bulunya untuk menghilangkan air dan lumpur. Badan bangsa anjing menjadi bersih tetapi tidak ekornya.

“Bagaimana ini? Ekorku susah sekali dibersihkan,” kata seekor anjing besar.

“Iya, ekorku juga,” tambah seekor anjing kecil.

“Ekorku juga masih penuh lumpur,” imbuh seekor anjing bertubuh panjang.

“Bagaimana kalau kita tinggalkan ekor kita di luar?” usul seekor anjing kecil.

“Ide bagus! Kita tetap bersih dan dapat masuk untuk berpesta,” sahut anjing berkulit bintik-bintik hitam.

Bangsa anjing kemudian beramai-ramai melepas ekornya di depan pintu lumbung. Mereka juga mengaturnya sesuai ukuran, mulai dari ekor paling kecil hingga ekor paling besar. Hal itu akan memudahkan bangsa anjing menemukan ekornya ketika pesta telah usai. Ketika semua bangsa anjing telah masuk ke dalam lumbung, datanglah serombongan kucing muda. Mereka ini terkenal sebagai kucing-kucing yang suka usil.

“Hei, lihat apa yang ada di depan lumbung ini! Bukankah ini ekor-ekor bangsa anjing?” kata salah seorang kucing muda.

“Kenapa mereka meletakkannya di luar?” tanya kucing muda yang lain.

“Aku tidak tahu. Tapi bagaimana kalau kita acak-acak deretan ekor-ekor ini? Pasti banyak kejadian lucu saat bangsa anjing kebingungan saat mengambil ekornya,” usul seekor kucing muda yang berbulu kuning.

“Iya, apalagi jika mereka salah pasang ekor,” tambah seekor kucing muda berbulu hitam.

Kucing-kucing muda itu tertawa terbahak-bahak. Mereka membayangkan kelucuan-kelucuan yang akan terjadi. Mereka kemudian mengubah susunan ekor-ekor bangsa anjing. Ekor panjang mereka letakkan dengan ekor yang paling pendek, ekor berbulu banyak dengan ekor yang tidak berbulu, ekor yang berwarna gelap dengan ekor yang berwarna cerah. Susunan yang tertata rapi sekarang benar-benar menjadi kacau balau. Setelah puas mengacak-acak susunan ekor bangsa anjing, kucing-kucing muda itu membersihkan badannya dan masuk ke dalam lumbung. Mereka ikut berpesta dan mulai membuat kekacauan baru.

Lumbung yang sempit membuat bangsa anjing dan kucing hanya duduk-duduk atau berdiri sambil mengobrol dan menikmati minuman. Suasana berubah saat kucing-kucing muda itu masuk ke dalam lumbung. Mereka menari-nari tanpa melihat situasi, tabrak sana-tabrak sini. Kucing-kucing muda itu juga berteriak-teriak dan tertawa keras-keras. Beberapa anjing merasa tidak enak dengan tingkah laku kucing-kucing muda itu. Mereka mulai mengomel, menjaga jarak dengan bangsa kucing. Hal yang sama juga dilakukan dengan bangsa kucing.

Suasana menjadi semakin panas. Bangsa anjing dan kucing mulai berkumpul dengan sesamanya. Mereka saling menyindir kelakuan masing-masing dan berujung kepada saling mengejek. Tiba-tiba terdengar suara petir menggelegar. Bulu-bulu bangsa kucing berdiri tegak tanda siaga. Sikap bangsa kucing ini ditanggapi oleh bangsa anjing dengan seringai yang menunjukkan taring-taringnya. Geraman dan suaran ngeong saling bersahutan. Bangsa kucing mulai memunculkan cakarnya. Tetapi sebelum bangsa anjing membalasnya, terdengar lagi suara petir menggelegar. 

Kali ini terdengar lebih keras dan lebih dekat. Seekor anjing takut dengan suara petir itu berteriak, “Kita bisa mati di sini! Cepat tinggalkan tempat ini!”

Bangsa anjing mendadak terdiam dan saling berpandangan. Mereka nampaknya memikirkan ucapan anjing tadi. Tidak lama kemudian semua bangsa anjing bergegas keluar dari lumbung. Mereka buru-buru mengambil ekor-ekor mereka yang ada di depan lumbung tanpa memeriksanya. Bangsa kucing yang melihat kejadian itu terheran-heran.

“Ada apa dengan bangsa anjing? Kenapa mereka lari terbirit-birit saat kita mengeluarkan cakar? Apakah mereka takut dengan kita?” tanya seekor kucing belang.

“Iya, bangsa anjing memang penakut! Ayo kita kejar mereka!” ajak seekor kucing berbulu kuning.

Bangsa kucing pun beramai-ramai keluar dari lumbung mengejar bangsa anjing tepat saat sebuah petir menyambar sebuah pohon di dekat lumbung. Sementara itu, bangsa anjing yang melihat bangsa kucing berlarian keluar dari lumbung mengira bahwa petir sedang mengejar mereka semua. Bangsa anjing pun berlari lebih cepat, sangat cepat sampai bangsa kucing tidak terlihat lagi.

“Berhenti, berhenti, berhenti! Hujan sudah reda, petir tidak lagi bisa memburu kita!” teriak seekor anjing kecil.

“Iya, ayo berhenti! Berhenti berlari! Ambil napas dulu,” sahut anjing yang lain

Bangsa anjing pun berhenti berlari dan beristirahat. Beberapa ekor anjing mencoba untuk memasang kembali ekornya. Tetapi alangkah terkejutnya mereka saat mendapati ekor yang mereka bawa bukan ekor milik mereka. Anjing-anjing ini kemudian mencoba mencari ekor-ekor mereka di antara anjing-anjing yang lain. Usaha mereka ini menimbulkan kehebohan. Anjing-anjing yang lain baru menyadari kalau mereka membawa ekor yang bukan milik mereka. Anjing-anjing itu berusaha mencari ekor-ekor asli mereka, tetapi usaha ini sia-sia. Letak ekor yang berada di belakang membuat bangsa anjing tidak terlalu memerhatikan apalagi menghapalnya. Kondisi ini tidak berubah. Anjing besar mendapat ekor kecil. Anjing berbulu tipis mendapat ekor berbulu lebat. Anjing bertubuh panjang mendapat ekor pendek dan semacamnya.

“Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah kita dari awal sudah mengurutkan ekor-ekor kita agar tidak tertukar saat mengambilnya?” tanya seekor anjing bertubuh panjang.

“Benar, saudaraku! Kita sudah mengurutkannya, menatanya dengan rapi, tetapi ada yang mengacak-acaknya!” kata anjing berbulu hitam.

“Siapa? Tikus? Aku tidak melihat seekor pun di lumbung.”

“Bukan, tapi saudara kita, bangsa kucing!”

“Kucing?”

“Iya, benar! Kucing! Apakah kalian tidak ingat siapa yang masuk terakhir ke dalam lumbung? Kucing-kucing bengal itu!”

Beberapa ekor anjing mulai menggeram dan diikuti oleh anjing-anjing yang lain.

“Aaaaauuuuuu... aaaaauuuuuu... aaaaauuuuuu...”

Bangsa anjing melolong-lolong dengan penuh kemarahan. Sejak saat itulah permusuhan bangsa anjing dan bangsa kucing dimulai. 

***

Siti selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal cerita di tulis buku sih....Argentina," kata Siti.

Siti menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik. Siti mengambil remot di meja, ya untuk menghidupkan Tv. Di pilihlah chenel yang menayangkan acara musik Pop. Remot di taruh ke meja sama Siti. Ya menikmati keadaannya dengan penuh santai banget dan menonton acara musik Pop yang bagus di Tv.

TOPEC DAN POHON AJAIB

Risa ingin menjadi penyanyi dangdut yang terkenal, ya populer gitu....banyak penggemar menyukai Risa karena suaranya yang bagus dan paling penting keanggunan dari Risa. Beberapa jam kemudian Risa selesai dengan latihan menyanyi dengan teman-temannya. Risa duduk santai di ruang tamu di rumahnya, ya sambil baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Risa :

Ketika bumi pertama kali diciptakan, hanya ada satu pohon yang hidup di dalamnya. Pohon itu tumbuh sendiri di tengah-tengah pampas yang sangat luas. Diameter batang pohonnya sangat besar. Perlu berhari-hari untuk dapat mengelilinginya. Pohon itu tumbuh menjulang sangat tinggi. Ranting-rantingnya tumbuh melebar ke samping. Jika dilihat dari kejauhan, pohon itu nampak seperti payung hijau raksasa. Akar pohon itu cukup kuat. Ia besar, merambat ke berbagai arah, dan tumbuh menghunjam masuk ke dalam tanah sangat dalam sekali. Konon, akar pohon itu juga mampu menyimpan air hujan sejak pertama kali hujan turun ke bumi. Orang-orang kemudian menamakan pohon itu dengan nama Pohon Carob.     

Beberapa waktu kemudian, datanglah musim kemarau yang sangat buruk. Cuaca panas mengubah warna hijau rumput-rumput di daerah pampas menjadi cokelat. Batu-batu jalanan menjadi sangat panas. Banyak orang-orang yang mengeluh kakinya melepuh karena panas meskipun mereka berjalan dengan memakai alas kaki. Para penggembala llama di tepi pampas mulai cemas. Jika keadaan seperti ini terus berlangsung, akan terjadi bencana yang berkaitan. Air sungai dan danau yang mengering mengakibatkan rumput-rumput mati kekeringan. Llama lambat laun mati kelaparan serta kehausan. Hal yang sama juga dialami umat manusia. 

Tanpa air, semua akan mati! Manusia kemudian berdoa kepada para dewa. Mereka memohon agar Dewa Bumi (Pachamama) bersuara keras hingga bumi bergerak dan keluar mata air. Mereka juga memohon kepada Dewa Langit tidak mengembuskan napasnya terlalu keras sehingga awan bisa berkumpul, menutup matahari, dan menurunkan hujan. Doa-doa itu rupanya tidak mengubah keadaan. Kekeringan tetap saja berlangsung. Manusia menganggap para dewa telah mengacuhkan mahluk-mahluk bumi. Mereka berhenti berdoa kecuali Topec, seorang anak kecil. Topec berdoa kepada Dewa Langit, Pachamama, Dewa Angin (Pampero), dan Dewi Hujan agar hujan segera turun. Ia tetap percaya bahwa para dewa masih sayang dengan mahluk-mahluk bumi. Topec berdoa sepanjang waktu sampai kemudian sesuatu terlintas di pikirannya.     

“Para dewa pasti mendengar dan mengabulkan permohonan manusia. Mereka mungkin telah menyuruh hujan pergi ke bumi. Jika hujan belum juga turun, mungkin hujan lupa atau salah arah menuju ke bumi!” kata Topec dalam hati.

“Jika itu yang terjadi, aku harus mencari hujan dan membawanya kembali ke bumi,” lanjutnya.

Topec kemudian menceritakan rencananya kepada orang-orang di desanya. 

“Topec, kau urungkan saja niatmu! Panas ini bisa membunuhmu.”

“Topec, suhu di luar panas sekali! Kau bisa mati terpanggang di luar sana!”

“Topec, jangan menyiksa dirimu sendiri! Panasnya batu jalanan mampu membuat kakimu melepuh dan lumpuh.” 

Semua orang mengkhawatirkan keselamatan Topec jika ia tetap pada rencananya. Topec masih anak-anak. Fisiknya tidak akan kuat menahan suhu panas seperti itu. Namun Topec tetap berkeras hati. Ia akan pergi mencari hujan dan membawanya kembali ke bumi. Topec berjalan meninggalkan desa. Ia memilih menghindari jalan berbatu agar kakinya tidak melepuh. Topec membuat jalan baru melewati padang ilalang. Ia tidak kesulitan menerobos rumput-rumput yang tinggi. Rumput-rumput itu langsung menjadi debu saat tangan Topec menyibak mereka. Ketika matahari tepat di atas kepala, Topec sampai di sebuah sungai yang kering kerontang. Ia ingat bahwa dulu sungai itu sangat dalam dan airnya mengalir sangat deras.     

“Selamat siang, Sungai! Apakah engkau mempunyai air untuk kuminum?” tanya Topec.

“Maaf, Adik Kecil! Aku tidak lagi mempunyai air untuk kau minum,” jawab Sungai. 

“Tetapi jika kau mau berusaha, galilah batu-batuan di atasku ini, mungkin masih ada sedikit air di bawahnya,” lanjut Sungai.

Topec menggali batuan-batuan di sungai tersebut. Ia menemukan sedikit air setelah menggali agak dalam. Topec langsung meminum air itu, memuaskan dahaganya. 

“Terima kasih, Sungai! Terima kasih untuk airnya!” kata Topec.

Sungai itu terdiam.

“Apakah kau pernah melihat Hujan di sekitar sini?” tanya Topec lebih lanjut.

“Hujan sudah lama tidak datang kemari, Adik Kecil! Aku sudah tidak lagi memiliki air! Cepat atau lambat, aku akan mati,” jawab Sungai dengan nada sedih.

“Kau tidak perlu bersedih, Sungai! Aku akan mencari Hujan dan membawanya kemari,” kata Topec dengan tersenyum.

Sungai terkejut mendengar perkataan Topec.

“Adik Kecil, janganlah membahayakan dirimu sendiri! Saat ini suhu sangat panas. Jarang ada mahluk hidup yang dapat bertahan dalam suhu seperti ini,” kata Sungai dengan nada khawatir.

“Lihatlah Armadillo itu! Ia memiliki kulit paling keras di antara para binatang. Namun kulitnya tetap tidak mampu menahan panas seperti. Armadillo tetap harus meringkuk dan menggulung badannya untuk bertahan dari panas!” jelas Sungai.

“Terima kasih atas semua kebaikanmu, Sungai! Tetapi tekadku sudah bulat. Aku akan meneruskan perjalananku. Selamat tinggal, Sungai,” lanjut Topec berpamitan.

Belum Topec berjalan, tiba-tiba ia merasa panas yang menggigitnya. Topec tersadar bahwa ia sekarang berhadapan dengan Angin Utara yang panas.

“Angin Utara, apakah kau melihat Hujan?” teriak Topec.

Angin Utara tidak menjawab. Ia hanya mengembuskan napasnya bebeerapa kali dengan keras.

“Angin Utara, apakah kau melihat Hujan?” teriak Topec bertanya sekali lagi.

“Wuuuuus...,” suara embusan Angin Utara.

 Tiba-tiba Topec terpelanting ke udara. Embusan Angin Utara yang kencang membawanya ke angkasa dan masuk ke dalam awan debu yang berputar-putar. Topec terkejut! Ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya agar tidak terbang terlalu jauh, tetapi usahanya sia-sia. Awan debu membuat mata Topec sakit. Ia memejamkan mata dan tidak tahu ke mana Angin Utara membawanya terbang. Entah berapa lama Topec melayang di udara. Ia kemudian merasakan tubuhnya turun melewati lapisan yang dingin, lembut, dan membuatnya mengantuk. Topec tertidur pulas ketika tubuhnya sampai di atas tanah. Keesokan harinya Topec terbangun dengan badan pegal-pegal. Ia belum sepenuhnya sadar. Topec kemudian berusaha berdiri, berjalan tertatih-tatih ke arah Pohon Carob, dan menyandarkan dirinya di sana. 

“Pohon yang rindang, angin yang bertiup sepoi-sepoi, sungguh sangat menyenangkan berteduh di bawah pohon ini,” kata Topec dalam hati. 

“Tapi bukankah ini musim kemarau yang sangat panas. Tiada pohon yang bisa hidup sebesar ini! Jangan-jangan, ini Pohon Carob! Pohon besar yang sering diceritakan oleh para tetua!” lanjut Topec.

Ia kemudian berdiri, berbalik, dan berjalan mundur untuk melihat pohon itu lebih jelas! 

“Pohon Carob! Apakah ini benar kau, Pohon Carob?” tanya Topec dengan setengah berteriak. 

“Benar, Adik Kecil! Aku adalah Pohon Carob,” jawab Pohon Carob dengan lembut. “Para tetua sukuku sering menceritakan tentang dirimu. Aku kira kau hanyalah dongeng pengantar tidur,” kata Topec. 

Tiba-tiba terdengar suara tawa yang lembut. 

“Aku sangat nyata, Adik Kecil!” jawab Pohon Carob. 

Topec tersenyum malu mendengar jawaban Pohon Carob. 

“Adik Kecil, apa yang membuatmu pergi jauh dari desamu dan bersusah payah berjalan di bawah terik matahari?” tanya Pohon Carob. 

“Aku mencari Hujan. Ia sudah lama tidak turun ke bumi. Aku khawatir ia lupa arah ke bumi atau tersesat entah ke mana,” jawab Topec. 

“Topec, Hujan tidak salah arah atau lupa jalan menuju bumi,” jawab Pohon Carob.

“Ia bahkan juga bertanya-tanya kenapa tidak diperintahkan berkunjung ke bumi,” lanjutnya. 

“Kenapa para dewa tidak memerintahkan Hujan turun ke bumi? Bukankah kami telah memanjatkan doa? Apakah para dewa sudah tidak memedulikan manusia dan mahluk bumi lainnya?” tanya Topec dengan sengit. 

“Topec, janganlah berburuk sangka dengan para dewa,” kata Pohon Carob dengan lembut. 

“Beberapa bulan terakhir, ada seekor burung raksasa dari Dunia Kegelapan sedang hinggap di salah satu dahanku. Sayapnya besar dan lebar, membentang dari ujung langit hingga ujung langit satunya,” jelas Pohon Carob. 

“Hal itulah yang menyebabkan semua doa mahluk di bumi tidak dapat sampai ke langit. Begitu juga para dewa tidak dapat melihat secara jelas ke bumi,” lanjut Pohon Carob. 

“Para dewa tidak tahu bumi sedang kekeringan. Mereka hanya melihat warna hitam yang menyelimuti bumi dan menganggapnya sebagai awan hujan,” tambah Pohon Carob. 

“Jadi ini semua hanya karena burung raksasa dari Dunia Kegelapan! Sekarang tunjukkan di dahan mana ia bertengger, Pohon Carob! Aku akan membunuhnya!” teriak Topec dengan penuh amarah. 

“Tenanglah, Adik Kecil! Tenanglah!” kata Pohon Carob. 

“Kau tidak dapat membunuh burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu! Ia mempunyai derajat seperti dewa, jadi hanya dewa yang bisa membunuhnya, bukan manusia,” jelas Pohon Carob. 

Topec nampak kesal mendengar penjelasan Pohon Carob. Tangannya dikepal-kepalkan dan meninju-ninju udara. 

“Kalau burung raksasa itu tidak bisa mati maka mahluk bumi yang akan mati,” kata Topec dengan geram. 

“Adik Kecil, tenanglah! Kau nampak lelah. Beristirahatlah sejenak di bawah naunganku. Minumlah air yang mengalir dari akar-akarku,” kata Pohon Carob. 

“Bagaimana aku bisa berisitirahat jika manusia dan mahluk bumi lainnya di ambang kematian,” kata Topec. 

“Adik Kecil, aku akan berbagi suatu rahasia denganmu. Rahasia ini menyangkut burung raksasa itu. Hanya saja aku tidak dapat mengatakannya langsung kepadamu karena burung itu juga dapat mendengar pembicaraan kita,” kata Pohon Carob setengah berbisik. 

Topec mengangguk tanda mengerti. 

“Ketika malam datang, aku akan menyanyikan lagu pengantar tidur untukmu. Perhatikan baik-baik apa yang aku nyanyikan. Setelah itu kau sampaikan apa yang kau dengar kepada penduduk desamu,” tambah Pohon Carob. 

Malam datang dan Topec mendengarkan baik-baik apa yang dinyanyikan oleh Pohon Carob. 

"Saat cahaya bulan dibagi" 

"Burung besar akan tertidur lagi" 

"Di dahan yang paling tinggi"

"Datanglah sebelum pagi" 

"Untuk mengusirnya pergi" 

Topec bergegas pulang. 

“Aku harus menceritakan syair Pohon Carob ini kepada penduduk desa,” kata Topec dalam hati.

“Aku punya sebuah rencana tetapi tidak dapat kulakukan sendiri. Aku harus meminta bantuan penduduk desa,” lanjutnya.

Topec terus berlari hingga sampai di desanya. Keesokan malamnya, burung raksasa dari Dunia Kegelapan hinggap di salah satu dahan Pohon Carob. Ia meregangkan sayapnya ke atas sampai otot-ototnya terasa lemas. Burung raksasa itu kemudian melipat sayapnya dan tidur dengan nyenyak. Benar-benar sesuai dengan syair dari Pohon Carob. Tepat tengah malam, terlihat titik-titik cahaya yang bergerak teratur menuju pohon Carob. Rupanya itu adalah Topec dan penduduk desanya yang berjalan beriringan dengan membawa obor dan alat musik. Topec memimpin penduduk desanya menuju tempat Pohon Carob. 

Ketika hampir sampai, Topec berkata, “Sekarang waktunya! Pukullah drum kalian sekeras-kerasnya! Tiuplah terompet kalian sekuat-kuatnya! Berteriaklah sekeras-kerasnya! Buatlah kegaduhan hingga bumi ini berguncang.”

“Boom... boom... boom...”

 “Tet... tet… tet... tet ...”

“Auoooo... auooo... auooo...”

Para penggembala llamas memukul genderangnya sekuat tenaga sambil berteriak-teriak. Beberapa orang meniup terompet dengan penuh tenaga. Mereka memutari pohon Carob dengan penuh kegaduhan. Tiba-tiba batang pohon Pohon Carob bergetar hebat. Beberapa daunnya berjatuhan ke tanah. Pohon Carob seakan-akan diserang badai yang sangat hebat. Penduduk desa berhenti berjalan dan terdiam melihat kejadian itu. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan teriakan Topec. 

“Kenapa kalian berhenti? Ayo kembali berjalan! Ayo kembali buat keramaian yang lebih keras. Lebih keras dan lebih keras lagi!” teriak Topec sambil memukul drumnya keras-keras. 

“Apa pun yang terjadi, jangan pernah berhenti membuat kegaduhan sampai burung raksasa yang jahat itu pergi dari Pohon Carob,” lanjutnya. 

Penduduk desa kembali membuat kegaduhan. Kali ini mereka juga dibantu oleh hewan-hewan penghuni pampas. Binatang-binatang mengeluarkan jeritan melengking sambil berlompatan dan berlarian ke sana kemari. Benar-benar memekakan telinga! Terdengar suara desisan dengan napas yang berat dari atas Pohon Carob. 

“Yap...yap...yeow! Yap...yap...yeow!” 

Rupanya burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu ketakutan dengan suara-suara yang dibuat oleh penduduk desa Topec dan binatang-binatang lainnya. 

“Au-auk! Au-auk! Au-auk!” teriak burung raksasa dari Dunia Kegelapan ketakutan. Ia kemudian mulai mengepakkan sayapnya dan pergi ke bulan.

Topec, penduduk desa dan para binatang berteriak kegirangan melihat kepergian burung raksasa dari Dunia Kegelapan itu. Setelah keadaan mulai tenang, seorang tetua memimpin Topec dan penduduk lainya berdoa meminta turunnya hujan. 

"Dewa Langit, kasihanilah kami!” 

"Pachamama, kasihanilah kami!" 

"Pampero, dengarkan dan kabulkan doa kami!" 

"Dewi Hujan, dengarkan dan kabulkan doa kami!" 

Tiba-tiba terdengar gemuruh dari langit. Kilat saling sambar menyambar. Awan tebal datang bergulung-gulung, menjadi satu, dan akhirnya ... hujan! Hujan turun sepanjang malam di pampas. Ia mengisi sungai-sungai dan danau-danau yang telah lama kekeringan. Hujan juga mengubah rumput-rumput yang dahulu berwarna cokelat menjadi hijau. Suhu udara juga mulai sejuk dan nyaman. Keesokan paginya, saat matahari terbit dan sinarnya membersihkan awan-awan di langit, Pohon Carob bergetar hebat. Dahan-dahannya menjatuhkan biji-biji kacang yang berwarna merah keemasan. Topec dan para penduduk desa terkejut melihat hal tersebut. 

“Pohon Carob, apa yang terjadi denganmu? Apakah engkau sakit?” tanya Topec cemas. 

“Aku baik-baik saja, Adik Kecil!” jawab Pohon Carob. 

“Lalu mengapa kau jatuhkan biji-biji milikmu ini?” tanya Topec keheranan. 

“Adik Kecil, biji-biji kacang yang berwarna merah keemasan itu adalah hadiah dariku untuk keberanian dan kerja kerasmu,” jawab Pohon Carob. 

“Biji-bijian itu memiliki banyak sekali kegunaan. Kau bisa menggunakan biji-biji kacang itu sebagai pakan ternak llama,” jelas Pohon Carob. 

“Kau juga bisa menggiling biji-biji kacang menjadi tepung dan membuatnya menjadi bubur dan kue,” lanjut Pohon Carob. 

“Kau juga bisa menanamnya di semua tempat sehingga akan ada banyak Pohon Carob yang tumbuh,” tambah Pohon Carob. 

Topec tersenyum mendengar penjelasan Pohon Carob. 

“Terima kasih, Pohon Carob.” 

***
Risa selesai membaca bukunya.

"Cerita bagus asal dari Argentina," kata Risa.

Risa menutup buku dan menaruh buku di meja.

"Nonton Tv ah!" kata Risa.

Risa beranjak dari duduknya di ruang tamu ke ruang tengah. Duduklah dengan baik Risa di ruang tengah, ya mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Acara Tv yang di tonton acara musik dangdut. 

"Musik dangdut bagus," kata Risa.

Risa menaruh remot di meja. Acara Tv yang di tonton Risa berjalan dengan baik.

MAHAU SI KURA-KURA GURUN

Selesai mengerjakan tugas-tugas kuliah, ya Puspita duduk santai di ruang tengah. Puspita pun membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Puspita.

Mahau adalah seekor kura-kura gurun. Ia hidup di gurun tandus yang terletak di wilayah Sonora, Meksiko Utara. Suku Yaqui yang tinggal di daerah tersebut mengenalnya sebagai Gran Desierto de Altar. Gran Desierto adalah gurun yang luas dan sangat kering. Permukaannya tertutup pasir dan bebatuan. Hujan sangat jarang turun di gurun tersebut, sehingga tanaman yang bisa bertahan hanyalah tanaman jenis kaktus yang berduri tajam. Masyarakat Meksiko menamai buah kaktus dengan sebutan pitaya. Buah pitaya mempunyai kulit berwarna merah, daging buah berwarna putih atau merah, dan berasa manis atau asam. Di negara lain, buah pitaya juga dikenal dengan sebutan buah naga. Meski berduri tajam, tetapi kaktus-kaktus ini menjadi makanan andalan bagi hewan-hewan gurun, termasuk Mahau.

Pada suatu siang yang terik, Mahau berjalan-jalan sendirian untuk mencari makan. Ia menyusuri gurun dan sampai di antara kaktus-kaktus liar yang sedang berbuah. Mahau tersenyum, senang mendapati puluhan buah pitaya yang terjatuh di pasir. Mahau langsung mengambil buah pitaya merah segar yang paling dekat, memakan, dan menghabiskannya dengan lahap. Mahau kemudian berjalan dengan perlahan menghampiri pitaya berikutnya. Hari ini ia merasa sangat puas karena bisa mengenyangkan perutnya. Bulan Agustus memang menjadi bulan favorit Mahau. Meskipun panas bulan Agustus membuat kulitnya kering, tapi kaktus-kaktus berbaik hati mengeluarkan banyak pitaya dari batang-batangnya. 

***

Dahulu, Mahau hanya makan dedaunan perdu yang kadang tumbuh di sela bebatuan. Ia tidak tahu jika bulatan berwarna merah di batang kaktus bisa dimakan. Sampai suatu hari, saat Mahau sedang berjalan-jalan mencari dedaunan perdu, ia bertemu dengan Wiikit, si burung gurun. Wiikit tampak bertengger di atas sebatang kaktus yang besar, sambil bersiul-siul senang.

“Mahau, kau hendak ke mana?” sapa Wiikit, ramah. 

“Hai, Wiikit. Aku sedang mencari dedaunan segar untuk mengisi perutku yang keroncongan. Kau sendiri, apa yang sedang kau lakukan?”

“Aku sedang makan,” jawab Wiikit, dengan mulut belepotan. Ia terlihat mematuk-matuk batang kaktus yang berwarna merah.

“Apa yang kau makan? Apa paruhmu tidak sakit terkena duri batang kaktus?” tanya Mahau penasaran.

Wiikit terkikik. 

“Mahau, apa kau tidak tahu? Aku tidak sedang mematuk batang kaktus, tetapi buahnya. Buah pitaya ini sangat lezat. Manis dan segar.”

“Apakah buah itu tidak berduri? Bagaimana kalau tertelan?” tanya Mahau ragu.

“Tenang saja, buah pitaya tidak berduri, Mahau. Apa kau mau mencicipinya?”

“Hmm … tapi bagaimana cara memakannya? Aku tak bisa terbang sepertimu. Aku juga tak bisa memanjat batang kaktus.” 

“Tunggu sebentar, ya.”

 Wiikit terbang sebentar di antara sekumpulan kaktus. Ia mencari pitaya yang paling pendek agar bisa dijangkau Mahau, tapi tak menemukannya.

“Mahau, aku tak menemukan pitaya di batang yang pendek. Hanya ada sebuah pitaya yang jatuh tak jauh dari sini. Apa kau mau?”

Mahau lalu merangkak perlahan di bawah batang-batang kaktus berduri, menghampiri pitaya jatuh yang ditunjukkan Wiikit. Ia penasaran mencoba rasa buah pitaya. Setelah mendapatkannya, Mahau segera menggigit kulit pitaya dan menemukan daging buah berwarna merah segar di dalamnya. Biji buahnya kecil berwarna hitam, menyebar rata pada daging buah pitaya. Mahau menyukai rasanya yang manis asam. Daging pitaya juga banyak mengandung air, sehingga terasa segar bila dimakan saat udara panas terik. 

“Wiikit, rasa pitaya ini enak sekali.”

“Ya, ini buah kesukaanku, Mahau,” ucap Wiikit, mencicit senang.

Pitaya Mahau telah habis, namun dia tampak belum puas. Ia melongok-longok ke bawah batang kaktus lain, mencari pitaya yang terjatuh.

“Terima kasih ya, Wiikit. Kau sudah memberitahuku makanan enak ini,” ujar Mahau, sambil melahap pitaya berikutnya.

“Sama-sama, Mahau.”

Sejak hari itu, pitaya menjadi buah kesukaan Mahau. Ia selalu mencari pitaya terlebih dahulu sebelum mencari dedaunan perdu untuk dimakan. Apabila dia tak mendapatkan pitaya jatuh, ia akan mencari dedaunan perdu. Pada bulan-bulan tertentu, Mahau sering tidak kebagian pitaya karena kaktus tidak banyak mengeluarkan pitaya dan burung-burung segera melahapnya sampai tak bersisa. Akan tetapi, di bulan lain seperti bulan Agustus, kaktus mengeluarkan banyak sekali pitaya. Mahau pun bisa makan pitaya sebanyak-banyaknya.

***

Setelah merasa puas, Mahau melanjutkan perjalanannya. Ia berjalan melewati timbunan pasir gurun yang tebal. Ia akan pergi ke daerah yang berbatu-batu untuk berteduh dari sengatan matahari. Dalam perjalanannya, ada seekor serigala gurun yang sedang mengintai Mahau. Serigala itu bernama Wo’i. Wo’i berjalan mengendap-endap, mengincar di belakang Mahau. Perut Wo’i sedang kelaparan. Ia berharap Mahau bisa menjadi santapannya hari itu. Namun, Wo’i menjadi tak sabar karena Mahau berjalan sangat pelan. Dia pun segera menghadang Mahau. Wo’i tampak terkejut melihat mulut Mahau kemerahan seperti warna darah. Wo’i segera menyapa Mahau dengan sopan, tak ingin membuatnya curiga. 

“Wahai, Tuan Kura-Kura, kau hendak pergi ke mana?”

“Aku sedang mencari tempat berteduh, Tuan Serigala.”

“Aku Wo’i. Apakah aku boleh berjalan bersamamu? Aku sedang bosan tak ada teman bicara.”

“Ya, silakan saja.”

“Siapa namamu, Tuan Kura-Kura?”

“Namaku Mahau,” jawab Mahau pendek, sambil tetap berjalan.

“Mahau, kulihat mulutmu tampak berwarna merah berlumuran darah. Apa kiranya yang telah kau makan?” tanya Wo’i penasaran.

Firasat Mahau mengatakan ada ancaman datang. Ia merasa Wo’i mempunyai niat kurang baik kepadanya. Meski dia memiliki cangkang yang sangat keras, yang bisa melindunginya, Mahau tetap merasa gentar. Setelah berpikir sejenak, dia memilih untuk menghadapi Wo’i dengan tenang. 

“Oh, aku baru saja memakan manusia,” 

Mahau menoleh pada Wo’i, “kalau kamu ingin menggangguku, aku juga tak segan untuk memakanmu,” lanjut Mahau garang. 

Wo’i menyeringai ngeri, tak menyangka makhluk sekecil Mahau telah memangsa manusia. Dia memilih bersikap baik pada Mahau karena merasa takut akan ancamannya. Wo’i berniat untuk menunggu si kura-kura lengah, sehingga ia mengikuti ke mana Mahau pergi. Dia juga menawarkan diri untuk menjadi teman Mahau. Mahau mengangguk saja, tapi tetap waspada karena merasa ancaman masih mengintainya. 

“Sebenarnya aku sedang lapar, Mahau,” ujar Wo’i.

“Mengapa kau tak makan?”

“Aku belum mendapatkan makanan apapun sejak kemarin.” 

Wo’i mengelus perutnya yang kempis. 

“Apa kau tahu di mana aku bisa mendapatkan makanan?” lanjut Wo’i penuh harap.

Mahau tampak berpikir. Ia mencari siasat agar tak berakhir menjadi santapan sang serigala. Mahau tetap berjalan dengan tenang agar Wo’i tidak curiga.

“Hmm … kalau begitu, ikutlah denganku,” ajak Mahau.

“Ke mana?” sela Wo’i.

“Ke peternakan. Aku memiliki beberapa teman di sana. Mereka sering memberiku makanan. Aku akan membaginya denganmu.”

“Sungguh?” Wo’i bertanya antusias.

“Ya, tentu. Atau siapa tahu mereka mau memberi makanan khusus untukmu.”

Wo’i sangat gembira. Perutnya yang terus bernyanyi akan segera terisi. Ia mulai bersemangat lagi. Sebenarnya, Wo’i adalah serigala gurun yang gagah. Bulunya berwarna coklat abu-abu. Telinganya berbentuk lancip di bagian ujung. Matanya tajam membuat musuh tunggang langgang melihatnya. Ekor Wo’i diselimuti bulu yang panjang dan tebal. Barisan gigi-giginya yang runcing tampak menakutkan. Sayangnya, gerakannya sedikit lemah dan tidak tangkas saat kelaparan. Sedangkan Mahau, meski ia terlihat lemah dan lamban, ia adalah hewan yang istimewa. Kura-kura ini mampu bertahan hidup di gurun yang tandus. Ia kuat menghadapi suhu udara yang sangat panas di siang hari dan suhu udara yang dingin di malam hari. 

Mahau memiliki cangkang yang keras di punggung dan perutnya. Cangkang itu menjadi rumah yang paling aman. Saat pemangsa memburu, Mahau bisa bersembunyi dengan tenang di dalam cangkang. Cangkang Mahau berwarna hijau kecoklatan. Musuh sering terkecoh dan sulit menemukan Mahau karena cangkang itu terkadang tampak seperti bebatuan. Mahau dan Wo’i sudah berjalan cukup lama. Mereka melewati timbunan pasir-pasir gurun yang tebal. Sesekali Wo’i menoleh ke belakang dan menyadari jika mereka belum beranjak jauh dari tempat mereka bertemu pertama kali. 

“Mahau, apa kau hidup sendirian?” tanya Wo’i, berusaha mengisi kebosanan.

“Tidak. Aku punya banyak teman. Aku hanya ingin jalan-jalan sendiri hari ini.” Mahau berusaha tidak berbohong.

Dulu, dia memang punya banyak teman. Tapi, setelah ia memutuskan berkelana melintasi luasnya Gran Desierto, ia hidup sendiri sekarang.

“Selain makan manusia, apalagi yang kau makan, Mahau?”

“Aku bisa memakan apapun yang aku temui. Apa kau berminat menjadi menu santapanku berikutnya?” goda Mahau, dengan nada menggertak.

“Tidak … tidak!”

Wo’i menjawab, cepat. Mahau tersenyum. Ia kini tahu jika Wo’i punya sifat sedikit penakut. Ia bisa memanfaatkan kelemahan Wo’i untuk melepaskan diri dari serigala itu dengan selamat. Wo’i tampak semakin kesulitan mengimbangi langkah pelan Mahau. Terkadang tanpa sadar, ia sudah mendahului Mahau beberapa meter. Kini, langkahnya terasa makin berat. Perutnya kelaparan. Tenaganya mulai habis. Wo’i berjalan terseok-seok. 

“Kapan kita sampai ke peternakan yang kau katakan, Mahau?”

“Sebentar lagi,” jawab Mahau, pendek.

“Kita sudah berjalan lama sekali, tapi belum sampai juga.” 

“Sabarlah, sebentar lagi,” ujar Mahau, sambil melirik Wo’i.

“Seberapa jauh lagi kita harus berjalan, Mahau?”

“Tak jauh lagi, Wo’i.”

“Aku sudah sangat lapar dan lelah,” keluh Wo’i.

“Kalau kau terus mengeluh, kita tak akan sampai ke peternakan. Jadi, lebih baik diamlah dan terus berjalan. Atau …”

“Atau apa?” potong serigala itu.

“Atau kau jangan ikut denganku dan cari makananmu sendiri.” 

Wo’i yang semula menggerutu langsung terdiam. Dia merasa sisa tenaganya tak banyak lagi. Kalau harus meninggalkan Mahau dan berburu sendiri, Wo’i tak yakin bisa mendapatkan makanan. Dia pun memutuskan untuk terus mengikuti Mahau sampai ke peternakan. Mahau tersenyum penuh kemenangan. Dia sebenarnya kasihan melihat Wo’i yang tampak putus asa. Tetapi, dia tidak boleh lengah agar tidak menjadi santapan Wo’i. Mahau pun tetap menjalankan siasatnya meski dia tidak tahu apakah ada peternakan di daerah itu. Sebenarnya, Mahau juga tidak punya teman di peternakan karena semua perkataannya hanya siasat untuk menghindari Wo’i.

Mahau dan Wo’i meneruskan perjalanan mereka. Matahari sudah mulai condong ke barat, meski sinarnya masih terasa menyengat. Wo’i merasa semakin lapar dan lelah, sedangkan Mahau tetap berjalan pelan, sambil menyuruhnya untuk bersabar.

“Mahau, apakah masih lama?” tanya Wo’i cemas.

Ia sudah tak tahan lagi.

“Sebentar lagi, Wo’i,” jawab Mahau singkat.

“Semua ini salahmu, Mahau!” bentak Wo’i kesal.

“Kenapa aku yang salah? Aku tidak memaksamu ikut denganku,” Mahau menjawab sambil tetap berjalan.

“Kau berjalan terlalu lambat, Mahau! Kalau seperti ini terus, kita tak akan pernah sampai ke peternakan.”

“Tenang saja, kalau terus berjalan, kita pasti akan sampai,” bujuk Mahau.

“Ayolah lebih cepat sedikit! Aku hampir mati kelaparan,” seru Wo’i lagi.

“Dengar temanku, Wo’i. Tuhan menakdirkan aku untuk berjalan lambat. Bila aku berjalan terlalu cepat, kaki-kakiku akan menjadi panas, dan ujung-ujungnya akan mengepulkan asap. Kalau sudah begitu, aku tak bisa berjalan sampai kakiku dingin kembali.” Wo’i mendengus menjengar penjelasan Mahau. 

“Kau tak percaya? Apa perlu kita coba? Aku akan berjalan cepat lalu tengoklah ke bawah cangkangku,” tantang Mahau.

“Mengapa tidak?” Wo’i balas menantang.

Mahau terkejut mendengar tantangan Wo’i. Semula, ia mengira Wo’i akan menurut saja dan terus mengekor di belakangnya. Tapi, Mahau tak kehabisan akal. Ia mulai melangkah lebih cepat dari sebelumnya, dengan kaki menyaruk pasir gurun. Wo’i mengikutinya, senang. Tak berapa lama Wo’i memanggil-manggil Mahau. Pandangannya mulai kabur karena udara dipenuhi asap. Apalagi angin bertiup cukup kencang. Mata Wo’i terasa semakin perih. 

“Mahau, tunggu. Kau di mana?”

“Aku di sini Wo’i. Tak jauh dari kakimu,” teriak Mahau, “apa kau sudah melongok ke bawah cangkangku? Kau lihat asapnya?”

“Ya … ya ….” balas Wo’i, sambil terbatuk-batuk.

“Tak perlu kutengok lagi. Aku sudah melihatnya. Sekarang, berjalanlah lagi seperti sebelumnya. Asap ini sangat mengganggu dan menyakitkanku, Mahau,” lanjut Wo’i.

Mahau tersenyum, berhasil mengelabui Wo’i untuk ke sekian kalinya. Sesungguhnya, asap yang dilihat Wo’i bukanlah asap yang keluar dari kaki Mahau. Asap itu adalah debu pasir gurun yang beterbangan karena kaki Mahau yang berjalan sambil menyaruk. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan langkah seperti semula. Wo’i masih berjalan mengikuti Mahau. Ia sudah sangat lemas hingga berjalan terbungkuk-bungkuk. Kepalanya menunduk. Hidungnya sudah hampir menyentuh pasir. Ia tampak berusaha untuk tetap berjalan. Tapi, semakin lama Wo’i tak kuat lagi. Akhirnya ia terjerembab ke tanah. Mahau menoleh, lega melihat Wo’i telah jatuh tersungkur. Namun, rasa iba membuatnya melangkah mendekati Wo’i, yang sedang pingsan. Sesaat, Mahau melihat sekelilingnya. Tak jauh dari tempatnya, Mahau melihat kaktus pitaya yang sedang berbuah.

Dia menuju kaktus tersebut dan memungut sebuah pitaya yang jatuh. Mahau menggelindingkan pitaya itu dengan moncongnya, mendorong pitaya itu ke arah Wo’i dengan susah payah. Setelah berhasil, Mahau meninggalkan Wo’i dengan sebuah pitaya bersamanya. Ia kemudian melanjutkan perjalanan supaya jaraknya telah jauh dari Wo’i saat serigala itu siuman, nanti. Mahau berharap Wo’i mau memakan buah pitaya itu saat bangun dari pingsannya. Dengan demikian perut Wo’i akan terisi dan akan mempunyai tenaga untuk mencari makanan yang lain. Mahau terus berjalan, perlahan. Matahari makin condong ke barat. Mahau sedikit bergegas menuju daerah berbatu untuk mendapatkan tempat berlindung. Esok hari, dia akan berjalan-jalan lagi untuk menemukan pengalaman dan petualangan baru lagi. 

***
Puspita selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus banget asal dari Meksiko," kata Puspita.

Puspita menutup bukunya dan menaruh buku di meja.

"Nonton Tv saja!" kata Puspita.

Puspita mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Puspita, ya acara Talkshow......Saatnya Perempuan Bicara. Puspita menaruh remotnya di meja. Dengan santainya Puspita menonton acara Tv yang bagus itu.

LA CALLE DE LA QUEMADA

Yulia selesai mengerjakan PR-nya. Yulia keluar dari kamarnya sambil membaca buku cerita, ya menuju ruang tengah. Duduklah Yulia dengan santai di ruang tengah sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Yulia :

Tiga ratus tahun yang lalu, orang-orang Spanyol mulai berdatangan ke Meksiko. Seorang saudagar dari distrik La Villa de Illecas, Madrid, Spanyol, ikut hijrah ke Meksiko. Saudagar itu bernama Don Gonzalo Espinosa de Guevara. Ia mengajak serta anak perempuannya yang masih kecil, Dona Beatriz de Espinosa. Selama bertahun-tahun Don Gonzalo Espinosa de Guevara mengembangkan bisnis barunya di Meksiko, hingga akhirnya dia menjadi saudagar kaya raya. Ia pun membangun rumah megah di jantung kota Meksiko. Namun, meski kaya raya, Don Gonzalo dikenal di seantero Meksiko karena putrinya yang jelita. Dona Beatriz si gadis kecil sudah tumbuh menjadi gadis yang menawan. Kulitnya putih bersih bagaikan bunga lili, wajahnya cantik dengan mata bulat indah, dan rambut lembutnya berkilauan bagai sutra jatuh di bahu. Selain cantik, Dona Beatriz juga gadis yang baik hati. Ia tak segan membantu merawat orang sakit dan menyantuni fakir miskin. Oleh karena itu, banyak pria yang menaruh hati kepadanya. Ia pun sering menjadi buah bibir di kalangan pemuda-pemuda Meksiko.

“Dia memang gadis yang sangat cantik. Aku pernah bertemu dengannya di rumah sakit,” ujar seorang pemuda, membicarakan Dona Beatriz.

“Ya, kecantikannya bagai menyatukan keindahan bulan dan bintang,” tukas pemuda yang lain.

“Cantik, baik, berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Siapa yang tak jatuh hati padanya?” seru yang lain.

“Siapa kira-kira yang akan menjadi suaminya, ya?” tanya pemuda lain penuh rasa ingin tahu.

Sudah ada banyak pemuda, terutama dari kalangan bangsawan yang melamar Dona Beatriz, tetapi belum ada yang diterima gadis itu. Gadis itu memilih untuk menjalani aktivitas sosialnya dan terus tekun beribadah. Dona Beatriz berharap, suatu hari dia bisa mendapatkan suami yang benar-benar tulus mencintainya, bukan hanya karena kecantikan wajahnya.

Suatu hari, ada seorang pria Italia bernama Don Martin de Scopoli yang datang ke Meksiko. Ia bertemu dengan Dona Beatriz di jalan. Pria bangsawan itu langsung jatuh hati kepada Dona Beatriz. Ia pun memberanikan diri menemui ayah Beatriz di rumahnya.

“Saya Don Martin de Scopoli, Tuan. Saya datang ke Meksiko untuk urusan bisnis. Tetapi, hati saya tertambat di rumah, Anda.”

Don Gonzalo sudah bisa menebak maksud kedatangan pemuda itu. Dia sudah mendapatkan informasi tentang Don Martin dari orang-orang kepercayaannya. Don Martin adalah bangsawan dari Piamonte, Italia. Dia pemuda yang tampan dan baik.

“Ya ... ya ... saya tahu maksud Anda. Anda bukan orang pertama yang mengutarakan niat yang sama,” ujar Don Gonzalo.

“Sayangnya, putriku masih ingin sendiri. Ia masih ingin menyibukkan diri dengan aktivitasnya di rumah sakit dan panti sosial,” lanjut Don Gonzalo, menolak maksud Don Martin secara halus.

“Saya mengerti, Tuan. Tapi, saya bersungguh-sungguh ingin melamar putri Anda. Bila tidak sekarang, suatu hari nanti saya pasti akan datang lagi,” balas Don Martin.

Sejak hari itu, Don Martin memutuskan untuk tidak kembali ke Italia. Ia memilih tetap tinggal di Meksiko, menanti saat Dona Beatriz bersedia untuk menikah. Ia ingin menjadi orang pertama yang melamar gadis cantik itu.

Selama di Meksiko, Don Martin selalu mengikuti kegiatan Dona Beatriz secara diam-diam. Ia tidak ingin mengganggu gadis yang dicintainya itu. Dari pengamatnnya, ia kemudian tahu jika Dona Beatriz adalah gadis yang penuh kasih dan murah hati pada orang lain. Kekayaan dan kemuliaan tak menghalanginya untuk berbuat baik pada kaum papa. Kepribadian Dona Beatriz membuat Don Martin semakin menyukainya.

Dona Beatriz sebenarnya tidak menutup mata. Ia mengetahui perihal tentang Don Martin. Dalam hati, sebenarnya ia pun menyukai pemuda itu. Don Martin rajin mengirimkan surat untuk Dona Beatriz. Kata-katanya sungguh manis. Kadang ia pun menulis beberapa bait puisi yang indah. Dona Beatriz menyukai kemampuan Don Martin merangkai kata. Tetapi hatinya masih belum yakin, apakah Don Martin seperti pemuda lain, yang mencintainya karena kecantikan wajahnya saja.

Suatu hari ketika Beatriz berada di rumah sakit, seseorang mengantarkan pemuda yang terluka parah. Beatriz mendengar kabar bahwa pemuda itu terluka karena beradu pedang dengan pemuda Italia. Beatriz mengira pemuda Italia itu adalah Don Martin. Ia kemudian menyuruh Marcos menyelidikinya, untuk mengetahui persoalan yang sebenarnya.

“Benar, Nona. Pemuda itu berduel dengan Don Martin,” lapor Marcos.

“Apa masalah mereka?” tanya Dona Beatriz.

“Don Martin tidak terima saat mendengar bahwa pemuda itu akan melamar Anda. Ia pun menantang pemuda itu untuk berduel dengannya.” Dona Beatriz sedih mendengar laporan Marcos. Ia tak mengira jika pemuda yang diam-diam mencuri hatinya justru tega melukai orang lain.

Don Martin memang seorang yang pencemburu. Ia tak terima bila ada orang yang ingin melamar Dona Beatriz. Ia juga tak suka bila ada pemuda lain yang secara terang-terangan berkata menyukai gadis itu. Don Martin akan melakukan segala cara agar tak ada lagi yang mendekati Dona Beatriz selain dirinya. Cinta Don Martin kepada Dona Beatriz sudah membutakan mata hatinya.

Hari demi hari berlalu, berita tentang pemuda-pemuda yang terluka semakin sering terdengar oleh Dona Beatriz. Bahkan, telah ada seorang pemuda yang meninggal karena tak terselamatkan. Dona Beatriz sangat kecewa pada tindakan Don Martin. Ia sangat sedih dan merasa bersalah. Dia mulai beranggapan jika dia adalah penyebab kekacauan yang terjadi selama ini. Dona Beatriz berpikir keras, mencari cara untuk menghentikan kebrutalan Don Martin. Suatu malam ia berdoa meminta petunjuk pada Tuhan. Ia bermimpi bertemu dengan perempuan bernama Lucia. Ketika terbangun, Dona Beatriz teringat akan kisah pilu Lucia yang berakhir bahagia.

Dahulu kala, ada seorang gadis yang memiliki mata yang cantik. Gadis itu bernama Lucia. Lucia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengabdi pada Tuhan. Ia ingin terus beribadah tanpa ada yang mengganggu. Tetapi, ada seorang pemuda yang jatuh cinta padanya. Pemuda itu sangat menyukai mata Lucia yang indah. Ia mengatakan tak bisa hidup tanpa memandang mata Lucia. Lucia merasa terganggu. Ia lalu melepas salah satu matanya dan mengirimkannya pada pemuda itu.

“Karena Anda mencintai mata saya, saya mengirimkan mata ini untuk Anda. Anda tetap bisa hidup dengan memandangi mata saya,” kata Lucia pada pemuda itu.

Orang-orang menangisi keputusan Lucia. Pemuda itu juga sangat menyesal. Ia tak bermaksud melukai Lucia. Namun, Lucia tetap pada pendiriannya. Pemuda itu pun akhirnya mengalah. Ia tak pernah menemui Lucia lagi. Ia mengikhlaskan gadis yang dicintainya, memberikan hidupnya pada Tuhan. Tuhan pun memberikan keajaiban, dengan mengembalikan mata Lucia di tempatnya. Tuhan menyembuhkan luka Lucia, hingga Lucia kembali cantik seperti sedia kala. Ia pun tak pernah berhenti beribadah hingga akhir usianya. Dona Beatriz seakan mendapatkan ilham dari kisah Lucia. Ia telah merencanakan sesuatu yang bisa membuat Don Martin menyerah dan berhenti menyukainya.

Keesokan harinya, Dona Beatriz tetap pergi ke rumah sakit dan panti sosial seperti biasanya. Ketika pulang ke rumah, Dona Beatriz tahu jika ayahnya sedang keluar kota. Ia lalu menyuruh Marcos dan Gracia pergi membeli sesuatu. Dona Beatriz memanfaatkan kesempatan itu untuk melaksanakan rencananya. Ia mengambil tungku batu kecil dan mengisinya dengan arang. Dona Beatriz membuat perapian di tungku itu. Ia berusaha menguatkan hatinya. Dona Beatriz menutup matanya dengan sapu tangan yang basah. Ia lalu berlutut dan mendekatkan wajahnya ke tungku. Dona Beatriz melukai wajahnya sendiri dengan api. Dia berusaha menahan rasa sakitnya. Tapi, beberapa saat kemudian ia merasa tak kuat lagi. Ia lalu menjerit kesakitan.

Marcos yang baru saja tiba di rumah, terkejut mendengar jeritan Dona Beatriz. Ia segera berlari ke kamar Dona Beatriz dan mendapatinya tergeletak pingsan di dekat tungku api yang masih menyala. Marcos segera mengangkat Dona Beatriz dan membaringkannya di tempat tidur. Ia terkejut melihat wajah Dona Beatriz yang terluka parah. Marcos kebingungan. Ia berlari keluar mencari Gracia, istrinya. Gracia baru saja menutup pintu rumah saat Marcos terengah-engah, menjemputnya.

“Ada apa? Kenapa panik seperti itu?”

“Tak ada waktu untuk menjelaskannya kepadamu. Cepat ikut aku!” Marcos menarik tangan istrinya ke kamar Dona Beatriz.

Gracia sangat terkejut melihat wajah Dona Beatriz yang terbakar. “Oh gadisku, apa yang terjadi padamu?” Gracia mengelus lengan Dona Beatriz yang terkulai. Gracia menyayangi Dona Beatriz seperti menyayangi anaknya sendiri. Sejak Dona Beatriz kecil dibawa ayahnya ke Meksiko, Gracia yang merawatnya. Ibu Dona Beatriz berpisah dengan ayahnya karena tak mau pindah ke Meksiko dan memilih tinggal di Spanyol.

“Cepat ambilkan air hangat, Marcos!” seru Gracia ikut panik.

Marcos segera berlari ke dapur. Gracia menyusulnya lalu mengambil cuka apel dan beberapa rempah-rempah yang biasa dipakai untuk meringankan luka bakar. Gracia menyeka luka di wajah Dona Beatriz dengan hati-hati. Gracia lalu mengompres luka tersebut dengan ramuan rempah yang sudah ia siapkan dengan telaten.

“Nona, bangunlah,” Gracia mulai terisak melihat kondisi Dona Beatriz.

“Apa yang harus kita lakukan, Gracia? Tuan pasti sangat marah karena kita tidak menjaga putrinya dengan baik,” keluh Marcos.

“Kita memang tidak becus menjaganya, Marcos. Lihat Nona cantik kita, sekarang. Beruntung nyawanya masih tertolong,” sesal Gracia.

Dona Beatriz perlahan-lahan mulai sadar. Ia mulai merasakan sakit dan perih di seluruh wajahnya. “Gracia,” ucapnya terbata-bata.

“Ya, Nona. Bagaimana keadaan Anda? Pasti sakit sekali. Maafkan kami karena lalai menjaga Nona,” kata Gracia dengan mata berkaca-kaca.

Dona Beatriz berusaha duduk bersandar di tempat tidurnya. “Ini bukan salahmu, Gracia. Ini kemauanku sendiri.” Dona Beatriz meringis menahan perih.

“Apa maksud Nona?” tanya Marcos heran.

“Aku melakukan semua ini agar Don Martin berhenti menyukaiku. Dengan begitu tak ada lagi pemuda yang tersakiti karena rasa cemburunya padaku. Kalian sudah tahu kan apa yang terjadi pada pemuda-pemuda di kota ini?”

“Pemuda-pemuda yang menyukai Anda?” tanya Gracia. Dona Beatriz mengangguk.

“Kenapa Anda tidak melakukan cara lain saja, Nona?” tanya Gracia lagi.

“Cara apa, Gracia? Hanya cara ini yang terlintas di pikiranku,” jawab Dona Beatriz.

“Anda bisa menerima lamarannya. Bukankah Anda juga menyukainya?” Gracia tahu bagaimana perasaan nonanya itu.

“Tapi, aku tak yakin dengan alasannya menyukaiku, Gracia. Lihat saja tindakannya. Ia justru melukai begitu banyak orang. Padahal aku sangat tidak menyukai kekerasan.”

“Ya, Nona. Anda pasti punya alasan. Sekarang Anda beristirahat saja. Saya akan memasakkan sup hangat untuk Nona.” Gracia meninggalkan Dona, menuju dapur.

Marcos masih berdiri di sana. “Apakah Anda manyesal Nona? Anda mungkin kehilangan wajah cantik Anda,” tanya Marcos hati-hati.

Dona Beatriz tersenyum. “Tidak, Marcos. Bagiku yang terpenting adalah aku masih tetap bisa berbuat baik setiap hari.”

Selama beberapa hari Dona Beatriz tak muncul di rumah sakit dan panti sosial. Banyak orang yang menanyakan keadaannya kepada Marcos dan Gracia. Mereka pun hanya bisa mengatakan jika Dona Beatriz sedang sakit. Orang-orang di rumah sakit dan panti sosial pun berdoa untuk kesembuhannya. Don Martin yang setiap hari mengawasinya secara sembunyi-sembunyi, selalu menunggu dan berharap jika Dona Beatriz akan segera keluar dari kediamannya.

Ketika Don Gonzalo tiba di rumah dan menemui putri kesayangannya, ia sangat terkejut. Ia sudah hampir memanggil Marcos dan Gracia untuk memarahinya, tetapi Dona Beatriz segera mencegahnya. Don Gonzalo tak tega melihat putrinya. Luka bakar Dona Beatriz cukup parah, masih memerah dan terkadang mengeluarkan darah. Dona Beatriz pun menjelaskan kejadian sebenarnya pada ayahnya. Telinga Don Gonzalo memanas. Ia ingin memarahi putrinya yang bertindak ceroboh, namun rasa sayang mengalahkan amarahnya. Ia kemudian membelai rambut Dona Beatriz.

“Anakku, sebenarnya ayah kecewa sekali dengan tindakanmu. Kau membahayakan dirimu sendiri. Masalah Don Martin sebenarnya bisa diatasi dengan jalan lain. Sayangnya, semua sudah terlambat,” kata Don Gonzalo, penuh penyesalan.

“Maafkan aku, Ayah. Apa kau membenciku? Apa kau jijik melihatku?” tanya Dona Beatriz sambil terisak. Don Gonzalo hanya terdiam. Ia menarik Dona Beatriz dan memeluknya.

“Bagaimana pun keadaanmu, kau tetap putri kesayangan ayah,” ayahnya berbisik, membuat hati Dona Beatriz tenang.

Keadaan Dona Beatriz yang tak memungkinkan untuk mulai beraktivitas seperti biasa membuat orang-orang di luar mulai berkasak kusuk. Mereka mendengar kisah tentang Dona Beatriz yang membakar diri. Cerita dari mulut ke mulut itu semakin menyebar dan mulai dibesar-besarkan dari kenyataan yang sesungguhnya. Keadaan itu membuat Don Martin mulai tak sabar untuk mengetahui kondisi Dona Beatriz yang sebenarnya. Kini, dia tak hanya ringan tangan pada mereka yang menyukai Dona Beatriz, tetapi juga tak segan menghunuskan pedang pada mereka yang mengejek keadaan Dona Beatriz.

Dona Beatriz yang mengetahui hal itu menjadi semakin sedih. Upayanya ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Dia mulai berpikir untuk menemui Don Martin, agar dia melihat keadaannya dan langsung berubah pikiran. Marcos pun akhirnya menemui Don Martin. Ia menceritakan kejadian yang sesungguhnya dan menjelaskan alasan Dona Beatriz melukai wajahnya dengan api. Marcos pun menyampaikan kesedihan Dona Beatriz akan tindakan Don Martin yang sering menggunakan kekerasan.

“Sungguhkah itu, Marcos? Semua ini salahku. Aku harus bertemu dengannya, Marcos,” pinta Don Martin, yang disetujui oleh Marcos.

Marcos segera membawa Don Martin menemui nonanya. Ia berharap masalah yang ada bisa terselesaikan saat keduanya bertemu. Marcos merasa prihatin melihat kesedihan Dona Beatriz yang berkepanjangan karena pemuda Italia itu.

“Nona, ada yang ingin menemui Anda,” Gracia berkata, meminta izin.

Dona Beatriz sedang duduk di kursi malasnya sambil memandang keluar jendela. Kepalanya tertutup kerudung tipis. Ia menurunkan kerudung yang menutupi wajahnya yang masih terluka. “Siapa Gracia?”

“Saya, Senorita,” jawab Don Martin.

Ia berjalan perlahan mendekati Dona Beatriz. “Apa yang terjadi pada Anda, Senorita?” tanya Don Martin saat berhadapan dengan Dona Beatriz. Ia berlutut di hadapan Dona Beatriz. Ia membuka kerudung yang menutupi wajah Dona Beatriz perlahan-lahan. Tak tampak pandangan jijik sama sekali. Ia justru terlihat sedih melihat keadaan Dona Beatriz.

“Senorita, jika Anda melakukan semua ini untuk menghentikan cinta saya pada Anda, Anda salah. Saya sungguh mencintai Anda. Bukan hanya karena kecantikan wajah Anda, tapi juga karena kebaikan hati dan kedermawanan Anda. Anda gadis yang penuh kasih pada sesama. Kebaikan Anda memikat hati saya,” ungkap Don Martin.

“Karena itu, saya mohon berhentilah melukai para pemuda dan orang-orang di sini. Anda tahu kan saya tidak menyukai kekerasan,” ucap Dona Beatriz.

“Saya berjanji, Senorita. Maafkan segala kekeliruan saya. Saya begitu pencemburu dan tak terima saat mendengar orang membicarakan keburukan Anda. Saya akan belajar menahan diri,” sesal Don Martin, tak menyangka tindakannya justru menyakiti orang yang dicintainya.

“Senorita, saya ingin melamar Anda pada ayah Anda. Tapi, saya ingin tahu terlebih dulu, apakah Anda bersedia menerima saya?” tanya Don Martin.

Air mata Dona Beatriz jatuh mendengar penuturan Don Martin. Don Martin segera menghapus air mata itu dengan jemarinya. Ia sama sekali tak segan menyentuh wajah Dona Beatriz yang penuh luka. Dona Beatriz mengangguk. Ia telah menemukan pemuda yang dicarinya. Pemuda yang menyukainya bukan hanya karena kecantikan wajahnya saja. Don Martin tersenyum melihat anggukan Dona Beatriz.

Pernikahan Dona Beatriz dan Don Martin diadakan di kuil Profesa. Don Gonzalo mengadakan pesta yang meriah untuk merayakan pernikahan putrinya. Mereka membuat pesta terbuka, sehingga setiap orang di kota Meksiko bisa datang menghadirinya. Pada hari pernikahannya, Dona Beatriz mengenakan kerudung putih yang menutup kepala dan wajahnya. Luka Dona Beatriz memang sudah sembuh, tetapi wajahnya tidak bisa kembali seperti dulu. Sebagian orang yang penasaran ingin melihat wajah Dona Beatriz tampak kecewa melihatnya. Namun, mereka turut bahagia karena Dona Beatriz menemukan pemuda yang benar-benar mencintainya dengan tulus.

Kejadian yang dialami oleh Dona Beatriz memang sangat terkenal dan dikenang di Meksiko. Orang-orang kemudian memberi nama jalan di depan rumah Dona Beatriz dengan sebutan la calle de la quemada yang berarti jalan di mana seorang wanita pernah terbakar. 

***

Yulia selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Meksiko," kata Yulia.

Yulia menutup bukunya dan buku di taruh di meja. 

"Nonton Tv...aja!" kata Yulia.

Yulia mengambil remot di meja, ya menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Yulia adalah acara olahraga....Olimpiade Tokyo 2020. Remot di taruh di meja. Yulia menonton acara Tv dengan baik karena memang acara Tv bagus banget tentang bintang-bintang olah raga yang berjuang menjadi juara mendali emas, perak dan perunggu.

ASAL USUL BULU INDAH KOLIBRI

Natasya selesai bermain dengan teman-teman. Natasya duduk santai di ruang tengah, ya sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Natasya :

Di sebuah hutan di pedalaman Meksiko, hiduplah seekor burung kolibri mungil bernama Tzunuum. Konon ketika menciptakannya, Dewa memberi pilihan keistimewaan kepada Tzunuum. Pilihan keistimewaan itu adalah kemampuan terbang atau penampilan yang cantik. Tzunuum memilih yang pertama. Tzunuum memang burung terkecil di antara burung-burung di jagat raya. Namun, ia satu-satunya burung yang mampu terbang mundur. Tzunuum juga bisa melayang-layang di satu tempat di udara. Kepakan sayapnya begitu cepat, karena dalam satu detik, sayapnya bisa mengepak 12 sampai 80 kali. Tzunuum sangat bangga dengan kemampuannya itu. Akan tetapi, meski semua hewan tahu kehebatan Tzunuum, Tzunuum tak pernah menyombongkan diri. Ia sadar jika setiap makhluk mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Warna bulu Tzunuum yang coklat kusam memang tidak menarik. Bila dibandingkan dengan kawan-kawannya sesama burung, penampilan Tzunuum tampak paling buruk. Tetapi, dia tak berkecil hati dan tidak rendah diri. Dia tetap mau berteman dengan mereka semua. Tzunuum sudah merasa cukup dan bersyukur dengan apa yang dia miliki, sehingga dia merasa lebih bahagia. Sifat-sifat Tzunuum tersebut membuat teman-teman menyukainya. Ketika Tzunuum dewasa, seekor kolibri jantan menarik perhatiannya. Sudah beberapa hari ini kolibri jantan itu terbang mondar-mandir di depan sarangnya sambil berkicauan. Tzunuum tampak malu-malu ketika kolibri jantan itu mendekatinya.

“Apa yang harus kulakukan, Motmot?” tanya Tzunuum pada sahabatnya.

“Terima saja, Tzunuum. Aku rasa dia adalah kolibri yang pemberani. Suaranya juga merdu sekali,” jawab burung Motmot.

“Aku malu,” balas Tzunuum lagi.

“Hei, kau sudah dewasa dan cantik, Tzunuum. Biasanya apa yang kolibri betina lakukan saat mendapatkan pinangan dari kolibri jantan?”

“Mereka akan berakrobat di udara, menunjukkan kemampuan terbangnya. Akrobat itu berarti jawaban ‘ya’ untuk kolibri jantan yang meminangnya.” 

“Kalau tidak?” sela Motmot. 

“Kalau jawabannya ‘tidak,’ kolibri betina akan mengacuhkan si jantan sampai si jantan menyerah.”             
“Oo …. Lalu kau sendiri bagaimana, Tzunuum? Apa kau menyukai kolibri jantan itu?” 

Tzunuum tertunduk malu mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Motmot. Ia malah menjawab pertanyaan itu dengan bercanda. “Apa aku harus menjawab pertanyaanmu dengan akrobat juga, Motmot?”

“Jadi, itu artinya?” Motmot bertanya balik. 

Tzunuum berkedip-kedip.

“Lalu tunggu apa lagi? Cepatlah berdansa di angkasa!” seru Motmot, girang.

“Tidak sekarang, Motmot. Aku ingin melihat apa dia akan datang lagi besok.”

“Baiklah. Besok aku akan kemari lagi melihatmu berakrobat di angkasa. Pasti indah sekali.”

“Kita lihat saja besok,” jawab Tzunuum, sambil tersenyum.

Motmot terbang menjauh. Ia sudah tak sabar menanti esok hari. Motmot yakin kolibri jantan itu belum menyerah. Ia akan datang lagi mencari Tzunuum. Motmot punya rencana sendiri. Motmot lalu bersiul-siul di dahan Azar, si pohon hutan. Suaranya yang parau seperti suara katak sangat khas. Semua penghuni hutan tahu itu suara Motmot. Mendengar siulan Motmot, beberapa burung yang biasa bertengger di dahan Azar berdatangan.

“Ada apa, Motmot? Kau berisik sekali,” ujar Vermilion yang terbang mendekat.

“Aku punya berita baik. Sebaiknya, kita tunggu yang lain datang dulu, baru aku akan memberitahukannya kepada kalian.”

Tak berapa lama kemudian, dua ekor burung datang bergabung. Mereka adalah Uchilchil dan Kardinal. Keduanya langsung bertengger di dahan yang berdekatan dengan dahan yang dihinggapi Motmot.

“Aku senang semua sudah berkumpul,” ucap Motmot.

Mereka berempat memang sahabat setia Tzunuum. Di antara Motmot, Uchilchil, Kardinal, dan Vermilion, hanya Tzunuum yang tak mempunyai bulu indah. Keempat temannya mempunyai bulu yang cantik dan menawan. Bahkan, Kardinal dan Vermilion punya nyanyian yang sangat merdu. Motmot mempunyai bulu berwarna hijau zamrud di punggung dan bahunya.  Kepala, ujung sayap, dan ekornya berwarna pirus, perpaduan antara warna hijau dan biru. Bulu ekor Motmot panjang dengan ujung mirip pendulum jam. Semua mengagumi keelokan ekor Motmot yang unik itu. Uchilchil mempunyai bulu berwarna biru safir di tubuhnya. Hanya ada sedikit warna putih di bagian perut. Sayap Uchilchil berwarna biru yang sedikit lebih tua dari warna biru di tubuhnya. Sedangkan Vermilion mempunyai mahkota berwarna merah oranye di kepalanya. Perut dan dadanya juga berwarna merah oranye. Sedangkan di bagian sayap dan punggung berwarna coklat tua. Tubuh Vermilion sedikit gemuk dibandingkan dengan kawan-kawan lainnya.

Warna bulu Kardinal paling mencolok. Seluruh tubuhnya diselimuti bulu berwarna merah terang. Hanya ada sedikit bagian yang berwarna kehitaman di dekat paruhnya yang juga kemerahan. Bulu di kepala Kardinal berdiri menyerupai jambul. Paruhnya tidak runcing seperti teman-temannya, tetapi sedikit bulat dan tebal karena Kardinal memakan biji-bijian, sedangkan teman-temannya memakan serangga. Sementara itu, Tzunuum dan burung kolibri lainnya mempunyai bulu berwarna kecoklatan dan agak kusam. Paruhnya panjang karena digunakan untuk mengambil makanan yang berupa nektar bunga. Burung kolibri juga membantu penyerbukan pada tanaman-tanaman yang berbunga. Selain bisa terbang mundur dan melayang di udara, kolibri juga bisa terbang dengan kecepatan hingga 54 kilometer per jam.            

“Memangnya ada apa, Motmot?” tanya Kardinal penasaran karena Motmot tak kunjung melanjutkan pemberitahuannya.

Motmot kemudian menceritakan percakapannya dengan Tzunuum tentang si kolibri jantan. Motmot mengajak mereka semua menunggu di dekat pondok Tzunuum, esok hari. Mereka akan melihat Tzunuum berakrobat di angkasa, tanda ia menerima pinangan kolibri jantan.

“Oh, ya? Pasti akan menarik sekali. Tzunuum kan jago terbang,” ujar Vermilion.

“Ya, begitu Tzunuum selesai berakrobat, kita bisa langsung memberikan ucapan selamat padanya,” lanjut Motmot.

Mereka semua setuju. Mereka ikut senang karena sahabatnya akan menikah. Mereka tak ingin melewatkan peristiwa bahagia it. Mereka lalu kembali pulang, bersiap-siap untuk esok hari. Keesokan harinya, Vermilion, Kardinal, Uchilchil, dan Motmot berangkat dari pondoknya masing-masing. Mereka bertemu di ranting Pichi, si jambu hutan. Vermilion dan Kardinal menahan diri untuk tidak berkicau agar tak mengacaukan rencana mereka. Pichi ikut penasaran melihat keempat sahabat itu berkasak-kusuk. Mereka sudah menunggu cukup lama, namun belum melihat kolibri jantan yang diceritakan Motmot datang. Tzunuum juga tak tampak di depan pondoknya.

“Kau yakin kolibri jantan itu akan datang?” Uchilchil mulai ragu. 

“Pasti datang. Kita tunggu saja,” jawab Motmot, yakin.

Perkataan Motmot benar. Tak berapa lama, mereka mendengar kicauan merdu dari kejauhan. Motmot tahu itu suara si kolibri jantan.

“Dia datang! Dia datang!” pekiknya tertahan.

Keempat sahabat itu mengamati dengan saksama. Suara kolibri jantan makin dekat, tapi Tzunuum belum keluar. Kolibri jantan itu kini bertengger di ranting Pakal, si jeruk hutan. Kemudian terbang lagi melintasi pondokan Tzunuum dan hinggap di ranting Op, si apel hutan. Tiba-tiba dari dalam pondokan Tzunuum, sebuah benda meluncur keluar begitu cepat. Benda itu terbang di angkasa sambil berputar-putar membentuk tarian yang indah. Tak salah lagi, itu bukan benda melainkan Tzunuum. Ia memberi kolibri jantan itu jawaban ‘ya’. Keempat sahabatnya bertepuk tangan di dahan Pichi. Mereka tak tahan lagi untuk tidak bersuit-suit. Pichi ikut senang walau belum paham dengan apa yang sedang terjadi. Saat Tzunuum menyelesaikan tarian dansa di angkasa dan hinggap di ranting Op, kolibri jantan itu bersiul kian merdu. Ia terbang menghampiri Tzunuum yang bertengger tak jauh dari tempatnya. Lalu, keluarlah keempat kawan Tzunuum dari tempat persembunyian mereka. Tzunuum terkejut. Wajahnya tersipu karena malu.             

“Kalian di sini?” tanya Tzunuum.

“Ya. Aku mengajak mereka, Tzunuum. Kami tak ingin melewatkan hari bahagiamu,” ujar Motmot.

“Selamat ya, Tzunuum. Kami ikut berbahagia untukmu,” lanjut Uchilchil.

Vermilion dan Kardinal bersiul menyenandungkan lagu pernikahan. Pichi baru mengerti sekarang. Ia ikut tersenyum gembira.

“Kapan kalian menikah?” tanya Op ikut-ikutan. 

“Secepatnya,” jawab kolibri jantan singkat. Wajahnya berseri-seri.

“Jangan lupa undang kami ya,” goda Kardinal.

Kini Tzunuum sibuk mempersiapkan pernikahannya. Teman-teman setianya berjanji akan membantu Tzunuum membuat pesta pernikahan yang istimewa. Para penghuni hutan turut senang mendengar kabar pernikahan Tzunuum. Mereka semua mencintai Tzunuum yang baik hati. Begitu juga Canac, si lebah hutan. Saat ia tahu Tzunuum akan menikah, ia langsung berdenging riang. Canac adalah teman Tzunuum mencari makanan. Mereka sering mengembara mencari ladang bunga bersama.             

“Aku akan menyiapkan madu dan nektar terlezat untuk para tamu. Aku juga akan menghias tempat pernikahan Tzunuum dengan bunga indah yang berwarna warni. Pestanya pasti akan berlangsung meriah,” serunya, riang.

Azar berdehem pelan. Burung-burung yang bertengger di dahannya terkejut dan beterbangan.            

“Maaf … aku tak bermaksud mengagetkan kalian,” ucapnya pada para burung.

“Motmot, kau yang mengatur pernikahan Tzunuum?” tanya Azar.

“Ya, Azar. Tzunuum memintaku membantu mengatur semuanya.”

“Kalau begitu, katakan pada Tzunuum bahwa aku bersedia menyiapkan ruang untuk pernikahannya. Lihatlah kelopak-kelopak bungaku yang mekar. Begitu tiba waktunya, aku akan menjatuhkan kelopak-kelopak ini hingga menutupi tanah. Jadi, kalian bisa menjadikannya tempat perayaan pernikahan Tzunuum.”

“Baiklah, Azar. Terima kasih. Akan kusampaikan pada Tzunuum. Dia pasti senang mendengarnya. Kau adalah salah satu pohon favoritnya.” Azar tersenyum mendengar penuturan Motmot.

“Jika Tzunuum mau, ia juga boleh berbulan madu di dahan-dahanku. Kelopak bunga ini pasti masih indah menghias tangkai-tangkaiku.”

“Terima kasih, Azar. Kau baik sekali.”

Motmot mengingat semua pemberian kawan-kawan penghuni hutan untuk Tzunuum. Nicte, si anggur hutan juga tak mau ketinggalan. Dia berjanji akan mengeluarkan aroma anggur yang harum di pesta pernikahan Tzunuum nanti. Para tamu pasti merasa senang dan betah.

“Aku juga. Aku akan membantu Nicte mengharumkan tempat pesta. Kau tahu kan Motmot, aroma jeruk dan anggur benar-benar menyegarkan,” ucap Pakal.

“Tentu, Nicte dan Pakal. Aku mewakili Tzunuum mengucapkan terima kasih.”

Haaz si pisang hutan, Put si pepaya hutan, Op, dan Pichi telah membuat kesepakatan. Mereka akan memberikan buah-buah ranum mereka sebagai suguhan di pesta pernikahan Tzunuum. Mereka berpikir jika tamu-tamu pasti akan kenyang menikmati sajian buah yang melimpah dari mereka.             Tzunuum sungguh terharu dengan semua pemberian kawan-kawannya. Ia tak menyangka mereka semua begitu peduli padanya. Tapi entah mengapa, Tzunuum tampak sedikit muram. Vermilion pikir Tzunuum tegang menghadapi hari pernikahannya.            

“Ada apa denganmu, Tzunuum? Semua sudah disiapkan Motmot. Teman-teman yang lain juga memberikan apa yang mereka punya untuk meramaikan pestamu. Kenapa kau malah terlihat murung?” tanya Vermilion.

“Ya, Vermilion. Aku hanya sedang bingung.”

“Apa yang kau bingungkan?” tanya Kardinal.

“Aku tak tahu harus mengenakan apa di pesta nanti. Aku tak memiliki gaun ataupun perhiasan yang indah.” 

Kardinal, Uchilchil, Vermilion, dan Motmot menatap Tzunuum. Tzunuum benar. Dia harus tampak cantik di hari pernikahannya. Mereka sibuk menyiapkan pernak-pernik pesta, sampai lupa menyiapkan penampilan Tzunuum nanti.

“Begini saja Tzunuum, kau serahkan urusan ini kepada kami. Kau beristirahat saja dan jaga kesehatanmu,” kata Uchilchil bijak.

Padahal, dia sendiri belum tahu apa yang harus dilakukan.

“Sekarang kami pergi dulu, ya.”

Mereka berempat pamit, meninggalkan Tzunuum sendiri. Mereka lantas berkumpul di dahan Azar yang kokoh. Masing-masing memikirkan jalan keluar yang terbaik. Tapi, mereka tak tahu di mana bisa mendapatkan gaun yang indah untuk Tzunuum.

“Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?” tanya Uchilchil.

“Ya, pesta akan berlangsung tak lama lagi. Kita harus cepat,” balas Vermilion.

“Apa kalian sedang membicarakan pesta pernikahan Tzunuum?” sebuah suara tiba-tiba menyela pembicaraan keempat burung itu.

“Siapa itu?” tanya Kardinal.

“Ini aku, Ah Leum.”

Seekor laba-laba muncul dengan tiba-tiba di hadapan mereka. Ia bergelantungan di jaringnya.            

“Apa kalian membicarakan pernikahan Tzunuum?” ulang Ah Leum.

“Ya, Ah Leum. Kami punya sedikit masalah. Apa dari tadi kau mendengar percakapan kami?” tanya Motmot.

“Ya. Maafkan aku, sebenarnya aku tak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Aku tak sengaja. Aku baru saja tiba dan mendengar seantero penghuni hutan membicarakan pesta pernikahan Tzunuum. Dia sahabatku, aku juga ingin membantunya.”

“Apa yang ingin kau berikan padanya, Ah Leum?”

“Kalian bilang, Tzunuum belum punya gaun dan perhiasan. Aku akan membuatkan tudung untuknya. Aku sendiri yang akan menenunnya. Aku pastikan tudung itu sangat halus dan berkilauan bila diterpa sinar. Tzunuum tentu akan tampak semakin cantik bila mengenakan tudung itu di kepalanya,” Ah Leum menjelaskan panjang lebar.

“Baik, Ah Leum. Terima kasih. Kita hanya punya waktu beberapa hari lagi. Semoga kau bisa menyelesaikannya dengan cepat,” dukung Motmot.

“Akan kuusahakan.”

“Lalu bagaimana dengan gaun Tzunuum? Kita masih belum mendapatkannya,” ucap Vermilion mengingatkan.

“Hmm … cobalah temui Yuyum Oriole, si burung kepodang. Dia sangat pandai menjahit. Aku biasa membantunya menenun gaun-gaun yang akan ia jahit,” terang Ah Leum.

“Aku pernah mendengar tentang Yuyum. Oh, bagaimana bisa aku melupakannya,” Uchilchil menepuk kepalanya dengan sayap.

“Baiklah, kami akan menemuinya.”

Keempat sahabat itu terbang menemui Yuyum. Mereka beruntung karena bisa langsung menemukan Yuyum yang sedang menjahit di pondoknya. Kardinal segera menyampaikan maksud kedatangan mereka pada Yuyum. Yuyum berjanji membantu membuatkan gaun pernikahan untuk Tzunuum.

“Tapi masalahnya, aku butuh bahan-bahan untuk gaun Tzunuum. Aku tak mungkin pergi ke sana ke mari mencari bahan-bahan itu karena hari pernikahannya tak lama lagi,” Yuyum sedikit gelisah.

“Bahan apa yang kau perlukan, Yuyum?” tanya Vermilion.

“Aku membutuhkan bulu-bulu burung yang berwarna-warni, Vermilion,” jawab Yuyum.

Keempat sahabat itu berunding. Demi sahabat mereka Tzunuum, mereka sepakat menyumbangkan sedikit bulu mereka untuk dijahit menjadi gaun pernikahan Tzunuum. Yuyum tersenyum haru saat mengetahui hal itu.

“Kalian sungguh sahabat sejati,” ucap Yuyum kagum.

Uchilchil memberikan bulunya yang berwarna biru. Vermilion memberikan bulu merah oranye dilehernya untuk dibuat kalung. Kardinal menyerahkan helaian bulu berwarna merah terang miliknya. Sementara Motmot, menyumbangkan bulunya yang berwarna hijau zamrud dan pirus. Yuyum menerima bulu-bulu itu dan berjanji untuk segera menyelesaikan gaun dan perhiasan untuk Tzunuum. Yuyum memanggil Ah Leum untuk membantunya menyelesaikan gaun itu secepatnya. Ketika hari pernikahan tiba, Tzunuum begitu terkejut. Ia tak menyangka kawan-kawannya mempersiapkan pesta megah untuknya. 

Tzunuum mengenakan gaun yang dijahit Yuyum. Kepalanya dihiasi tudung indah buatan Ah Leum. Kalung dari bulu Vermilion menggantung di lehernya. Gaun itu tampak berkilauan, berwarna-warni memantulkan sinar. Tzunuum sangat cantik mengenakan gaun itu, hadiah istimewa dari sahabat-sahabatnya. Suasana pesta sungguh meriah. Penghuni hutan yang mengenal Tzunuum datang menjadi saksi pernikahan. Kolibri jantan sudah siap, menantinya di pelaminan yang dibuat di batang Azar. Kupu-kupu menghibur para tamu dengan tariannya yang gemulai. Ketika pesta sedang berlangsung, tiba-tiba ada seekor burung melesat cepat melewati kerumunan tamu. Semua tamu yang hadir terkejut. Ternyata burung itu adalah Cozumel. Cozumel adalah burung layang-layang pengirim pesan. Ia burung yang lincah, tangkas, dan mampu terbang cepat. Burung kecil berwarna coklat abu-abu itu memiliki ekor yang panjang. Sayapnya runcing dengan bentangan yang lebar. Kali ini Cozumel membawa pesan dari Dewa. 

“Aku ingin menyampaikan pesan dari Dewa untukmu, Tzunuum,” katanya di depan pelaminan.

“Kami akan mendengarkan baik-baik, Cozumel,” balas Tzunuum.

“Dewa telah melihat kebaikan hatimu, yang menumbuhkan rasa cinta teman-teman padamu. Oleh karena itu, Dewa ingin memberikan hadiah untukmu. Mulai hari ini, kamu bisa mengenakan gaun pernikahanmu itu selamanya. Gaun itu akan menjadi bagian dari bulu-bulumu sendiri. Selamat, Tzunuum,” ucap Cozumel, menyampaikan pesan dari Dewa. 

“Terima kasih, Dewa. Terima kasih, Cozumel,” balas Tzunuum.

Ia tak menyangka akan mendapatkan anugerah seperti ini. Kini ia memiliki dua keistimewaan yang pernah ditawarkan Dewa kepadanya, kemampuan terbang dan penampilan yang cantik. Semua tamu bertepuk tangan untuk Tzunuum. Keempat sahabat Tzunuum juga turut berbahagia karena apa yang mereka berikan, akan melekat selamanya di tubuh Tzunuum. Cozumel segera bergabung dengan para tamu menikmati hidangan pesta dan hiburan dari kupu-kupu. Sejak hari itu hingga kini, burung kolibri dan keturunannya memiliki bulu yang indah. Semua berkat kebaikan hati Tzunuum, si kolibri, sehingga Dewa memberinya hadiah istimewa. 

***
Natasya selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Meksiko," kata Natasya.

Natasya menutup bukunya dan menaruh bukunya di meja.

"Nonton Tv," kata Natasya.

Natasya mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Natasya, ya acara sinetron tema cinta......Badai Pasti berlalu. Remot di taruh di meja. Natasya asik nonton Tv yang acara yang bagus gitu.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK