Diana selesai merawat tanaman di halaman depan rumah. Diana duduk santai di ruang tamu, ya sambil baca bukunya dengan baik.
Isi buku yang di baca Diana :
Ada beberapa suku yang hidup di Argentina. Salah satunya adalah suku Mapuches. Mereka hidup di bagian selatan Argentina, dekat dengan wilayah Kutub Selatan. Kedekatan ini membuat suku Mapuches sering mengalami musim dingin yang buruk dalam waktu yang tidak menentu. Jika musim dingin datang, semua yang ada di permukaan tanah akan berwarna putih, tertutup dengan salju tebal. Musim dingin yang sangat dingin dan salju tebal tidak membuat suku Mapuches menyerah dengan keadaan. Mereka mencoba bertahan hidup dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan memakai poncho, semacam kain sarung tebal dan lebar yang terbuat dari bulu binatang alpaca dan llama. Kombinasi warna-warna naturalnya sangat indah sekali.
Kondisi alam tempat tinggal suku Mapuches berubah total ketika musim dingin telah lewat. Tanah yang berselimut salju akan berubah menjadi hijau, tempat yang ideal untuk bercocok tanam dan menggembalakan ternak. Suku Mapuches akan mendapatkan semua kebutuhan dari tanah tempat tinggal mereka kecuali garam. Suku Mapuches harus berjalan jauh ke tambang garam di sebelah utara untuk mendapatkan garam. Waktu perjalanan juga harus diperhitungkan dengan baik karena jika tidak hati-hati mereka akan terhalang oleh musim dingin. Hawa dingin dan salju tebal akan menghambat, menyesatkan, atau bahkan mematikan mereka yang pergi ke utara.
Perjalanan yang jauh, lama, dan penuh bahaya ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sehat dan kuat. Suku Mapuches biasanya memilih beberapa anggota sukunya sesuai dengan syarat-syarat tersebut. Mereka akan dipimpin oleh kepala suku untuk pergi ke wilayah Utara. Perjalanan kali ini akan dipimpin oleh kepala suku Mapuches yang bernama Chacayal. Kepala suku Chacayal telah berkali-kali meminpin rombongan pergi ke wilayah Utara. Ia dan rombongan selalu pulang tepat waktu dengan selamat. Tetapi kali ini berbeda. Rombongan Chacayal belum juga pulang meski hujan salju pertama telah turun. Awalnya keterlambatan Chacayal tidak menjadi meresahkan suku Mapuches. Mereka berpikir bahwa Chacayal hanya terlambat datang beberapa hari dari awal musim dingin. Suku Mapuches mulai resah ketika Chacayal dan rombongannya tidak datang juga meski satu bulan telah berlalu dari awal musim dingin.
“Tetua, Chacayal dan rombongannya belum juga pulang?” tanya seorang anggota suku.
“Iya, semestinya saat ini mereka sudah pulang,” jawab tetua suku Mapuches.
“Apakah mereka menemui kesulitan, Tetua? Apakah mereka diserang binatang buas?” lanjut anggota suku tersebut.
“Atau mereka diserang suku yang lain?”
“Chacayal adalah kepala suku yang kuat dan pandai. Ia pasti bisa mengatasi serangan binatang buas atau suku-suku yang lain,” jawab tetua suku Mapuches.
“Atau jangan-jangan Chacayal dan rombongannya tersesat?” tambah anggota yang lain.
“Sejak muda, Chacayal sering pergi ke wilayah Utara bersama ayah dan pamannya. Ia pasti punya cukup pengalaman untuk perjalanan ini. Aku yakin Chacayal bisa memimpin rombongannya pulang dengan selamat,” jawab tetua sambil menghela napas panjang.
“Tetua, kami tidak meragukan lagi pengalaman Ketua Chacayal. Tetapi saat ini sudah masuk musim dingin. Tanah kita yang hijau telah berubah menjadi putih, semua menjadi putih. Penglihatan akan terbatas dan sangat susah mencari jalan atau patok acuan dengan keadaan seperti ini,” sergah anggota suku lainnya.
Tetua suku Mapuches terdiam. Ia tidak dapat menyembunyikan kecemasan dan kesedihannya.
“Tetua, bagaimana kalau kita mengirimkan beberapa orang anggota suku yang lain untuk mencari tahu keadaan Chacayal dan rombongannya,” saran anggota suku lainnya.
“Benar, Tetua! Chacayal adalah kepala suku kami yang sangat baik. Ia telah banyak membantu kami. Sekarang izinkan kami mencarinya! Siapa tahu ia berada di dekat sini dan membutuhkan pertolongan,” kata seorang anggota suku menambahkan.
“Tidak! Aku tidak akan mengirimkan kalian keluar pada kondisi seperti ini. Suhu dingin dan salju yang tebal akan membuat kalian celaka! Aku tidak mau menambah kecemasanku dan suku ini lagi!” jawab tetua dengan tegas.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Tetua?”
“Besok, kita akan mengadakan upacara berdoa bersama demi keselamatan Chacayal dan rombongannya,” kata tetua suku Mapuches.
Calvuray, istri Chacayal tidak setuju dengan keputusan tetua suku Mapuches. Ia kemudian memanggil anaknya dan berkata, “Anakku, aku khawatir dengan keadaan ayahmu. Tidak biasanya selama ini ia pergi ke wilayah Utara.”
“Ayah adalah kepala suku Mapuches, Ibu. Ia kuat dan pandai. Selain itu, rombongan ayah adalah orang-orang terkuat di suku kita. Jangan khawatir, Ayah pasti pulang dengan selamat, Ibu!” jawab Antinanco.
“Ibu tahu apa yang kau bicarakan. Tetapi, jika ayahmu dan rombongannya menemui rintangan yang di luar kemampuannya?” lanjut Calvuray dengan wajah sedih.
“Maksud Ibu?”
“Siapa tahu ayahmu bertemu dengan pasukan suku Inca yang jumlahnya lebih banyak dari rombongan ayahmu? Atau serangan jaguar atau ular yang ukuran badannya lebih besar dari yang biasa dijumpai? Atau banjir...”
“Sudah Ibu, sudah Ibu, berhentilah membicarakan hal-hal itu! Aku mengerti kekhawatiranmu. Sekarang apa yang akan Ibu lakukan?”
“Jika suku ini memperbolehkan perempuan keluar dari kampung seorang diri maka Ibu sendiri yang akan pergi mencari ayahmu.”
“Baiklah, Ibu! Aku akan segera berangkat mencari Ayah,” jawab Antinanco.
Calvuray segera mempersiapkan semua perbekalan untuk perjalanan Antinanco. Ia membekali Antinanco dengan semua persediaan makanan yang ada. Calvuray juga membawakan Antinanco poncho terbaik dan paling tebal. Ia bahkan membuat sepatu khusus yang terbuat bulu serigala. Antinanco terpana melihat sepatu buatan ibunya. Sepatu itu sangat indah, kuat, dan tebal. Bagian dalamnya lembut dan hangat. Antinanco merasa sayang untuk membawanya tetapi karena ibunya memaksa, ia membawa sepatu itu dalam perjalanannya.
Ketika malam telah datang dan keadaan telah sepi, Antinanco berjalan mengendap-endap keluar dari kampungnya. Ia tidak sedikit pun menoleh ke belakang karena ia tahu ibunya pasti menangis melepas kepergiannya. Antinanco tidak ingin pencarian ayahnya ini tertunda karena belas kasihan kepada ibunya. Ia terus melangkah menembus tebalnya salju dan gelapnya malam. Banyak rintangan yang menghalangi Antinanco dalam pencariannya. Ia sering tersesat karena penunjuk arahnya tertutup salju tebal. Antinanco tertahan lama di suatu tempat untuk berteduh karena terjebak hujan salju yang turun berhari-hari. Ia mencoba terus berjalan meski tidak banyak kemajuan yang didapatnya. Beberapa hari melakukan pencarian, Antinanco akhirnya merasa putus asa. Ia merasa sangat lelah dan tidak sadar menjatuhkan dirinya ke tanah. Antinanco membiarkan tubuhnya terbaring di salju dan mulai menangi “Ayah, Ibu, maafkan aku! Pencarian ini sangat berat! Aku tidak sanggup lagi melakukannya! Aku...” jerit Antinanco sambil terisak.
Setelah berbaring beberapa saat, Antinanco duduk dan menenangkan dirinya. Ia berniat untuk pulang ke kampungnya sampai tiba-tiba matanya melihat sebuah pohon di kejauhan.
“Pohon apakah itu? Kenapa ia masih bisa tumbuh di antara salju tebal seperti ini? Aku akan melihatnya lebih dekat,” kata Antinanco dalam hati.
Ia kemudian berjalan menuju tempat pohon itu tumbuh. Meski pohon itu terlihat dekat, Antinanco harus berusaha keras untuk mencapainya. Ia harus berjalan melalui tebing dan mendaki di beberapa tempat. Antinanco membutuhkan waktu hampir seharian untuk mencapai tempat di mana pohon itu tumbuh. Bentuk pohon itu sangat aneh. Batangnya besar, akar-akarnya banyak dan kokoh, serta daun-daunnya berujung tajam. Antinanco kemudian teringat cerita dari ibu dan tetua sukunya, “Suku Mapuches memiliki banyak dewa. Mereka ada yang hidup di langit dan di bumi. Salah satu dewa yang hidup di bumi berwujud sebuah pohon yang bernama Pehuen. Ciri-ciri pohon itu adalah batangnya besar, akarnya banyak serta kokoh, dan ujung-ujung daunnya sangat tajam. Tidak ada orang yang tahu di mana ia tumbuh. Hanya orang-orang yang diberkati yang dapat menemukannya.”
Antinanco berjalan memutari pohon itu secara perlahan. Ia kemudian berlutut dan berdoa, “Jika memang pohon ini adalah pohon Pehuen, maka aku memohon kekuatan dan keselamatan untuk diriku, oh Dewa!”
Antinanco kemudian melepas sepatu buatan ibunya dan menggantungkannya di sebuah dahan pohon Pehuen. Ia kembali berlutut dan berdoa, “Maafkan aku, oh Dewa! Hamba tidak memiliki barang berharga yang layak untuk dipersembahkan. Hamba hanya memiliki sepatu bulu serigala ini, sepatu buatan ibu hamba, satu-satunya barang berharga yang hamba miliki saat ini. Semoga Engkau berkenan menerimanya.”
Tiba-tiba Antinanco merasakan perubahan dalam dirinya. Tubuhnya menjadi segar. Ia kembali memiliki tenaga untuk kembali melanjutkan pencarian.
“Terima kasih, oh Dewa!” kata Antinanco dalam hati.
Ia kembali melanjutkan pencarian ayahnya tanpa alas kaki. Tidak seberapa lama berjalan, Antinanco bertemu dengan kelompok suku Indian lain yang sedang berkemah.
“Selamat malam! Namaku Antinanco dari suku Mapuches. Bolehkah aku bergabung dengan kalian?” tanya Antinanco kepada kelompok itu.
“Silakan, silakan bergabung, Anak Muda. Jangan sungkan-sungkan!” kata salah seorang yang nampaknya ketua dari kelompok itu. Antinanco kemudian bergabung dengan kelompok itu dan duduk di dekat api unggun.
“Anak Muda, apa yang sedang kau lakukan di tengah musim dingin seperti ini?” tanya salah seorang dari kelompok itu.
“Aku sedang mencari ayahku,” jawab Antinanco.
“Ada apa dengan ayahmu, Anak Muda?” tanya orang itu lagi.
“Ia sedang dalam perjalanan pulang dari wilayah Utara untuk mengambil garam. Tetapi sampai hari ini ia dan rombongannya belum juga sampai ke kampungku,” jelas Antinanco.
Semua orang di kelompok itu menganggukkan kepalanya.
“Anak Muda, kami akan pergi ke wilayah Selatan. Tetapi jangan khawatir, kau bisa bergabung dengan kami malam ini. Makanlah yang banyak dan tidurlah dekat api unggun itu agar badanmu kembali kuat esok pagi,” kata ketua kelompok itu.
“Terima kasih, Pak!” jawab Antinanco.
Ia kemudian mengambil makanan di dekat api unggun lalu memakannya. Antinanco kemudian mencoba berbaring di dekat api unggun dan tidak seberapa lama ia terlelap tidur.
“Ketua, anak itu berasal dari suku Mapuches, musuh kita,” kata salah seorang di kelompok itu.
“Iya, aku tahu,” jawab ketua kelompok itu.
“Kita harus membunuhnya, Ketua, untuk menebus darah saudara-saudara kita yang dibunuh suku Mapuches.”
“Apa kau ingat aturan suku kita jika berperang? Salah satunya ialah tidak membunuh wanita dan anak-anak.”
“Tapi, Ketua, hati ini rasanya masih sangat sakit mengingat perang itu.”
“Baiklah, kalian lucuti baju dan perlengkapan anak itu. Biarlah alam yang menentukan hidup dan matinya.”
“Terima kasih, Ketua! Segera kita laksanakan.”
Antinanco masih tertidur ketika kelompok itu melucuti baju, poncho, dan perlengkapannya. Ia bahkan tidak merasa ketika tangan, tubuh, dan kakinya diikat dengan erat. Bahkan ketika kelompok itu meninggalkannya menjelang pagi, Antinanco masih terlelap. Cahaya matahari yang memantul di salju membangunkan Antinanco. Saat itulah ia menyadari bahwa tubuhnya telah terikat erat. Antinanco mencoba membebaskan dirinya dari ikatan tersebut namun hasilnya sia-sia belaka. Ikatan itu terlalu kuat untuk tubuhnya yang kecil. Seorang diri, jauh dari rumah, tidak berdaya, dan suhu dingin membuat Antinanco mulai berputus-asa.
“Ini mungkin akhir hidupku! Oh Dewa, sampaikan salamku kepada ibu dan ayahku. Mintakan maaf kepada mereka karena aku belum sempat membalas semua kasih sayang mereka,” kata Antinanco dalam hati.
“Ibu, aku rindu kepadamu,” lanjutnya. Antinanco kemudian mulai berteriak memanggil-manggil ibunya (Niuque-Mapuches).
“Niuque... Niuque... Niuque... Niuque...” Pada saat yang bersamaan, Calvuray, ibu Antinanco mendapatkan sebuah mimpi yang sangat jelas.
Dalam mimpi itu, ia melihat Chacayal, suaminya, beserta anggota rombongannya berbaring di tanah, tertutup salju tebal. Tidak nampak tanda-tanda kehidupan. Tiba-tiba saja gambar di mimpi Calvuray berubah dengan cepat. Kali ini ia melihat Antinanco, anaknya sedang terikat erat tanpa pakaian. Calvuray juga mendengar teriakan Antinanco yang memanggilnya. Calvuray menyadari bahwa Chacayal, suaminya telah meninggal dunia sementara anaknya masih hidup dengan kondisi memprihatinkan. Ia kemudian memotong rambutnya sesuai dengan adat di suku Mapuches bagi perempuan yang suaminya baru saja meninggal. Calvuray menyiapkan perbekalan dan berpamitan kepada tetua suku Mapuches untuk pergi menolong anaknya. Tetua berusaha mencegahnya tetapi tidak bisa menghentikan keinginan Calvuray. Teriakan Antinanco semakin lama semakin melemah seiring kondisi tubuhnya yang menurun. Ia kemudian melihat pohon Pehuen, tempat di mana ia meletakkan persembahan sepatu bulu serigala buatan ibunya.
“Oh, Dewa! Sepatu itu mengingatkan hamba kepada kasih ibu hamba. Seandainya ia berada di sini untuk menolong hamba...” Belum selesai Antinanco berkata, tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Akar-akar pohon Pehuen itu terangkat ke atas, merobek tanah dan salju yang menutupinya. Pohon itu terangkat ke atas dan berjalan mendekati Antinanco dengan akarnya. Ketika sampai di sebelah Antinanco, akar pohon itu memotong tali pengikat dan melingkari Antinanco untuk melawan hawa dingin. Daun-daun pohon Pehuen yang tajam juga membuat lingkaran di sekeliling Antinanco melindunginya dari serangan binatang buas. Pohon Pehuen itu juga memberikan tunas-tunas muda daunnya untuk dimakan oleh Antinanco. Antinanco merasa hangat dan nyaman dengan perlakuan pohon Pehuen itu. Ia kemudian tertidur, entah berapa lama, sampai ibunya datang dan membangunkannya. “Antinanco bangun, Antinanco bangun, Antinanco…,” kata Calvuray sambil mengguncang tubuh Antinanco. Antinanco mengedip-ngedipkan matanya.
Ia langung tersadar ketika melihat ibunya. “Ibu... Ibu... Ibu...,” teriak Antinanco seraya memeluk ibunya. Ia menangis tersedu-sedu.
Ia menangis bahagia. Setelah mereka berdua tenang, Antinanco bertanya kepada ibunya, “Bagaimana Ibu tahu keberadaanku? Bagaimanan Ibu tahu aku dalam masalah?”
“Ibu bermimpi, Anakku! Ibu bermimpi melihat ayahmu dan rombongannya telah meninggal! Ibu juga bermimpi melihatmu dalam bahaya! Ibu terbangun dan hanya bisa mengingat tempatmu berada, tempat penuh tebing dan batu. Itu pasti pegunungan Copahue.”
Mereka berdua terdiam. Antinanco kembali memeluk ibunya erat-erat, begitu juga ibunya. Seakan-akan pelukan itu tidak dapat dipisahkan oleh apa pun.
“Antinanco, bagaimana kau bisa bertahan hidup selama beberapa hari ini?” tanya Calvuray seteah mereka lelah dan mengendurkan pelukan.
Antinanco kemudian menceritakan semua yang dialaminya sejak berjumpa dengan pohon Pehuen, memberinya sepatu bulu serigala untuk persembahan, hingga perlindungan yang diberikan pohon Pehuen sampai ibunya tiba menolongnya. Calvuray terharu mendengar cerita Antinanco. Ia kemudian melepas sepatunya dan menggantungnya di salah satu dahan pohon Pehuen.
“Oh Dewa, terima kasih karena Engkau telah menjaga dan melindungi anakku selama ini. Hamba ingin memberikan persembahan yang sangat berharga tetapi saat ini hanya sepatu ini barang berharga milik hamba. Terimalah persembahan ini sebagai ucapan terima kasih hamba,” ucap Calvuray sambil berlutut diikuti oleh Antinanco.
“Oh Dewa, saya dan anak saya akan pulang ke desa kami. Saya mohon, jaga dan lindungilah kami dalam perjalanan pulang ini,” lanjut Calvuray.
Ia kemudian berdiri dan memegang pundak Antinanco, mengajaknya pulang. Mereka berjalan pulang dengan kaki telanjang. Dinginnya salju sudah tidak mereka rasakan lagi. Belum jauh mereka melangkah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh di belakang mereka. Calvuray dan Antinanco menoleh ke belakang dan mereka melihat suatu keajaiban. Akar-akar pohon Pehuen itu mendadak tercabut dari dalam tanah. Batangnya terangkat ke atas dan akar-akar itu kemudian berjalan seperti kaki mendekati mereka berdua. Salah satu dahan pohon Pehuen itu memegang pundak Calvuray dan menunjukkan arah Selatan. Calvuray mengangguk tanda mengerti. Ia memegang tangan Antinanco dan dengan setengah menyeret mengajaknya kembali meneruskan perjalanan pulang.
Pohon Pehuen itu berjalan di samping Calvuray dan Antinanco. Ia benar-benar melindungi mereka dari hawa dingin, salah arah, dan serangan binatang buas. Pohon pehuen itu juga memberikan tunas-tunas mudanya sebagai makanan bagi pasangan ibu-anak tersebut. Ketika Calvuray dan Antinanco berada di dekat kampung mereka, tiba-tiba saja pohon Pehuen itu berhenti berjalan. Akar-akarnya kembali menghujam ke tanah dan lama-kelamaan pohon Pehuen itu tenggelam ke dalam tanah beserta batang, dahan, dan daun-daunya. Permukaan tanah menutup dengan cepat dan nampak seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Calvuray dan Antinanco sampai ke kampungnya dengan selamat. Mereka menceritakan semua kisahnya kepada tetua dan anggota Suku Mapuches lainnya. Ucapan syukur berulang kali terdengar dari anggota suku Mapuches yang mendengarkan cerita Calvuray dan Antinanco. Suku Mapuches kemudian memutuskan memberi nama “Niuque” yang berarti ibu dalam bahasa Mapuches di tempat di mana Calvuray bertemu dan dilindungi oleh pohon Pehuen.
***
Diana selesai baca bukunya.
"Ceritanya bagus.....asal dari Argentina," kata Diana.
Diana menutup bukunya dan menaruh bukunya di meja dengan baik.
"Waktunya memasak," kata Diana.
Diana beranjak dari duduknya di ruang tamu ke dapur, ya memasak dengan baik.
No comments:
Post a Comment