CAMPUR ADUK

Thursday, July 29, 2021

POPOCATEPETL DAN IZTACCIHUATL

Zori setelah lari keliling kompleks dengan teman-teman, ya istirahat di rumah. Ada buku di meja, ya di baca Zori dengan baik.

Isi buku yang di baca Zori :

Ratusan tahun yang lalu sebelum kedatangan bangsa Spanyol, lembah Meksiko ditinggali oleh suku bangsa Aztec. Mereka hidup berkelompok, menguasai wilayah-wilayah tertentu. Salah satu wilayah yang mereka kuasai adalah wilayah Tlaxcaltecas. Tezcacoatl adalah kepala suku dari wilayah Tlaxcaltecas. Ia sudah lama berkeluarga, tapi belum diberi keturunan. Setiap hari, ia dan istrinya berdoa kepada dewa agar permohonan mereka dikabulkan. Mereka sungguh berharap memiliki anak, tak peduli satu atau banyak, tak peduli lelaki atau perempuan. Mereka berdua sangat merindukan kehadiran buah hati. Pada suatu hari Tezcacoatl bermimpi bertemu dengan Dewi Cihuacoalt, yang dipercaya sebagai dewi kesuburan oleh suku bangsa Aztec. 

“Dewi Cihuacoalt, kami mohon kabulkanlah doa kami,” pinta Tezcacoatl, mengiba. 

“Aku telah mendengar doa kalian. Aku akan melakukan sesuatu untuk memenuhi permintaan kalian.”

“Terima kasih, Dewi. Kami mohon segera kirimkanlah bayi mungil untuk melengkapi kehidupan kami,” pinta Tezcacoatl lagi. 

“Tezcacoatl, aku tidak bisa memberikan anak pada kalian. Itu adalah bagian dari takdir yang tidak bisa kuubah. Tetapi, aku bisa meminjamkannya kepada kalian.”

Dewi Cihuacoalt kemudian menghilang dari pandangan Tezcacoatl. Tezcacoatl memanggil-manggil sang dewi, meminta penjelasan. Tangannya menggapai kabut yang tertinggal, hingga ia meraih sesuatu. Tezcacoatl tiba-tiba terbelalak, terbangun dari tidurnya. Rupanya, ia meraih tangan istrinya. Keringat mengucur deras membasahi dahinya. 

“Ada apa, Suamiku? Kau mengigau,” istri Tezcacoatl berkata dan segera bangkit mengambil secawan air untuk suaminya. 

Tezcacoatl mencoba menenangkan hatinya. Ia kemudian bercerita tentang mimpi yang baru saja dialaminya. Mereka sangat berharap jika mimpi itu adalah pertanda baik untuk mereka. Namun, mereka masih bertanya-tanya, bagaimana Dewi Cihuacoalt akan meminjamkan anak pada mereka. Setahun berlalu setelah Tezcacoatl memimpikan Dewi Cihuacoalt, namun anak yang mereka nanti tak kunjung datang. Istri Tezcacoatl belum juga mengandung dan tanda-tanda kehamilan belum tampak terjadi. Tezcacoatl dan istrinya mulai cemas. Suatu hari, istri Tezcacoatl mengandung. Tezcacoatl sangat gembira mendengar kabar tersebut. Ia pun memerintahkan wanita-wanita di sukunya untuk menjaga istrinya siang dan malam. Mereka juga bertugas untuk menyediakan semua kebutuhan sang istri, agar anak yang dikandungnya kelak lahir dengan sehat dan selamat. Sebagai bentuk syukurnya, Tezcacoalt membangun kuil khusus untuk Dewi Cihuacoalt. Tezcacoatl mengirim persembahan ke kuil tersebut setiap hari. 

Akhirnya masa yang dinanti-nantikan pun tiba. Istri Tezcacoalt melahirkan seorang bayi perempuan, dengan kulit putih dan rambut lebat. Bayi cantik itu diberi nama Iztaccihuatl. Dalam bahasa Nahuatl, bahasa masyarakat Tlaxcaltecas, Iztaccihuatl terdiri dari kata iztac dan cihuatl. Iztac berarti putih dan cihualt berarti wanita. Sehingga arti nama Iztaccihuatl sungguh menggambarkan sang putri. Tahun demi tahun berganti, Iztaccihuatl tumbuh menjadi gadis yang menawan. Parasnya elok dengan rambut hitam tergerai panjang. Kulitnya bersih, lebih putih dari wanita-wanita Indian pada umumnya. Selain cantik rupanya, Iztaccihuatl juga cantik hatinya. Ia kerap membagikan makanan dan pakaian pada wanita-wanita Tlaxcaltecas yang baru saja melahirkan. Ia pun tak segan membantu mereka menghadapi persalinan. 

Ibu Iztaccihuatl mengajarkan semua itu sebagai wujud syukur kehadiran Iztaccihuatl dalam kehidupan mereka. Sejak kelahiran Iztaccihuatl, kepala suku Tezcacoalt dan istrinya mencoba merawat putri mereka dengan baik. Akan tetapi, dari semua kebaikan Iztaccihuatl, sifat manjanya menjadi satu sifat yang begitu dikhawatirkan oleh kedua orangtuanya. Sang putri selalu meminta setiap keinginannya dituruti. Apabila keinginannya tidak dituruti, Iztaccihuatl akan mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Hal itu disebabkan oleh sikap Tezcacoatl dan istrinya yang selalu memanjakan Iztaccihuatl sejak kecil. Saat Putri Iztaccihuatl tumbuh dewasa, banyak pria yang menaruh hati padanya. Ada banyak pria yang melamar Iztaccihuatl. Bahkan ada pula pria dari luar Tlaxcaltecas yang pernah datang melamarnya. 

Pria itu datang melamar setelah mendengar tentang kemolekan Iztaccihuatl dari cerita orang. Namun, Iztaccihuatl belum menerima satu pinangan pun karena ia telah memiliki pilihannya sendiri. Iztaccihuatl ternyata jatuh hati kepada seorang pemuda tampan bernama Popocatepetl. Kepala suku merasa senang ketika mengetahui perasaan putrinya. Kepala suku sudah mengetahui Popocatepetl dan sangat menyukainya. Kepala suku pun setuju jika Iztaccihuatl menikah dengan Popocatepelt. Popocatepetl adalah prajurit pemberani yang sering memimpin pasukan perang Tlaxcaltecas. Ayah Popocatepetl adalah panglima pasukan Tlaxcaltecas yang gugur dalam perang. Dahulu, Popocatepetl hampir menjadi anak angkat Tezcacoatl sebelum istrinya mengandung. Namun pada saat itu, ibu Popocatepetl ingin mengasuh Popocatepetl sendiri sebagai pengganti ayahnya. Kepala suku Tezcacoatl memaklumi keinginan ibu Popocatepelt dan mengurungkan niatnya. Popocatepetl ternyata juga menaruh perasaan yang sama pada Putri Iztaccihuatl. Maka, setelah ia tahu jika Putri Iztaccihuatl menaruh hati padanya, ia memberanikan diri untuk melamarnya. 

“Aku menerima lamaranmu, Popo. Namun, aku ingin mengajukan sebuah permintaan sebelum aku menikahkan kalian.” 

Popocatepetl tersenyum mendengar titah kepala suku. Ia merasa yakin akan sanggup memenuhi permintaan tersebut. 

“Aku ingin kau berangkat memimpin peperangan di Oaxaca. Pasukan kita kewalahan dan membutuhkan pasukan tambahan. Bawalah kemenangan saat kau kembali,” perintah kepala suku Tezcacoatl. 

Dia hendak menguji keteguhan hati Popocatepetl sebelum benar-benar menikah dengan putrinya.

“Baik, Yang Mulia. Hamba akan mempersembahkan kemenangan bagi suku kita,” kata Popocatepetl, tegas. 

Ia segera memanggil pasukan yang dipimpinnya dan bersiap menuju Oaxaca. Tlaxcaltecas memang sedang menghadapi tekanan berat dari Tenochtitlan. Kerajaan besar itu meminta upeti yang banyak kepada Tlaxcaltecas. Tentara Tenochtitlan akan menyerang untuk merebut wilayah Tlaxcaltecas apabila mereka tidak memenuhi permintaan itu. Pasukan Tlaxcaltecas pun dikerahkan untuk membendung serangan pasukan Tenochtitlan di Oaxaca. Sementara itu, Putri Iztaccihuatl sebenarnya tidak setuju dengan tugas yang diberikan ayahnya kepada Popocatepetl. Ia khawatir bila terjadi sesuatu pada pujaan hatinya.

“Tenang saja, Izta. Ayah yakin jika Popo dapat kembali dengan membawa kemenangan. Selama ini, pasukan yang dipimpinnya tak sekali pun kalah dalam peperangan,” ujar kepala suku, meyakinkan putrinya. 

Di Oaxaca, Popocatepetl bertemu dengan Xinantecatl, pemimpin pasukan yang telah berangkat sebelumnya. Popocatepetl menyampaikan perintah kepala suku Tezcacoatl yang memintanya untuk membantu Xinantecatl agar mereka memenangkan peperangan. 

“Tanpa bantuan pasukanmu pun, kami akan tetap memenangkan pertempuran ini, Popo,” ucap Xinantecatl, angkuh. Popocatepetl tak menanggapi kata-kata pedas Xinantecatl. 

Ia segera berlalu, tak ingin memicu perpecahan pasukan Tlaxcaltecas hanya karena pemimpin mereka tidak akur. Popocatepetl dengan Xinantecatl memang telah lama bersaing. Mereka sama-sama ingin menjadi panglima tertinggi pasukan Tlaxcaltecas. Selain itu, Xinantecatl juga termasuk salah satu pria yang telah lama menaruh hati pada Putri Iztaccihuatl. Suatu malam ketika pasukan sedang beristirahat, seorang prajurit bernama Yaotl datang menghampiri Xinantecatl. Ia bercerita pada Xinantecatl bahwa Popocatepetl telah melamar Putri Iztaccihuatl. Xinantecatl geram mendengarnya. 

“Pasti Putri menolaknya, kan?” tanya Xinantecatl, penasaran. 

“Putri justru telah menerimanya,” balas Yaotl. 

“Apa?” bentak Xinantecatl marah. 

Ia merasa iri dan tidak rela jika putri menikah dengan Popocatepetl. 

“Akan tetapi, kepala suku memberi syarat yang berat kepada Popo. Ia harus pulang dengan memenangkan pertempuran ini,” lanjut Yaotl. 

“Aku harus melakukan sesuatu untuk menggagalkannya,” bisik Xinantecatl. 

Tangannya terkepal menahan marah. 

“Kau tak akan mencelakai Popo, kan?” tanya Yaotl, khawatir. 

Ia merasa bersalah telah memberitahukan berita itu pada Xinantecatl. 

“Tidak. Tapi, aku akan tetap melakukan sesuatu. Dan kau,” Xinantecatl menunjuk wajah Yaotl, “tutup mulut atau pulang tinggal nama!” Xinantecatl mengancam Yaotl. 

Yaotl ketakutan. Ia segera mengangguk dan berlari menjauh dengan tergopoh-gopoh. Xinantecatl mulai berpikir, mencari cara untuk menggagalkan pernikahan Putri Iztaccihualt dan Popocatepetl. Ia tahu jika perang masih berlangsung. Namun, ia memiliki keyakinan bahwa pasukan Tlaxcaltecas akan memenangkan peperangan. Saat ini pasukan Tenochtitlan sudah banyak yang terbunuh dan terluka. Setelah berpikir lama, Xinantecatl mendapatkan ide brilian. Pada hari ke dua puluh tujuh, setelah Popocatepetl dan pasukannya berangkat ke medan peperangan, seorang prajurit datang ke Tlaxcaltecas. Ia ingin menemui kepala suku untuk menyampaikan kabar penting.

“Ada apa Yaotl? Kabar apa yang kau bawa?”

“Hamba diperintahkan untuk menyampaikan berita ini, Yang Mulia Tezcacoatl.” 

Yaotl menyerahkan sebuah gulungan perkamen dengan hati-hati. Kepala suku merasa senang sekaligus terkejut mengetahui kabar yang dibawa Yaotl. Dalam perkamen tersebut Xinantecatl menuliskan bahwa pasukan Tlaxcaltecas telah meraih kemenangan. Pasukan sedang mempersiapkan kepulangan ke Tlaxcaltecas. Sayangnya, berita kemenangan itu juga disertai dengan berita duka. Popocatepetl, pimpinan pasukan kebanggaan kepala suku, telah gugur dalam pertempuran. Kepala suku Tezcacoatl tak sampai hati untuk menyampaikan berita duka tersebut pada putrinya. Namun, ia tahu jika putrinya harus mengetahui berita tersebut, cepat atau lambat. 

“Sebaiknya kau saja yang memberi tahu Iztaccihuatl,” ujar kepala suku pada istrinya.

Wanita cantik itu mengangguk. Air matanya menetes. Ia merasa sedih dengan gugurnya Popocatepetl dan tak sanggup membayangkan kesedihan yang akan ditanggung putrinya. Ia tahu jika Iztaccihuatl sangat berharap dapat menikah dengan Popocatepetl. Putri sudah sering bercerita kepada sang ibu, tentang angan-angannya setelah menikah dengan Popocatepetl kelak.             

“Putriku Izta, ada yang ingin ibu sampaikan padamu. Kemarilah.” 

“Ada apa Ibunda?” 

Putri Iztaccihuatl mendekat dan duduk di sebelah ibunya. Namun, ibunya justru terdiam lama. Ia hanya membelai rambut putri, sambil menghela napas berkali-kali.

“Ibunda sedang bersedih? Apa yang terjadi?”

Putri Iztaccihuatl mengelus lembut jemari ibunya.

“Izta, Popo gugur dalam peperangan. Seorang prajurit baru saja membawa kabar dari Oaxaca,” ucap ibunya, lirih.

Putri Iztaccihuatl terdiam. Ia terus menggeleng dan mulai menangis. Jemari ibunya digenggam erat, seolah mencari kebenaran dalam berita yang diucapkan ibunya. Sang ibu kemudian merengkuhnya dalam pelukan, berusaha menenangkannya. Sejak hari itu, Putri Iztaccihuatl tak mau bicara dan tak mau makan. Ia pun mengurung diri di kamar. Semakin hari tubuhnya semakin lemah. Matanya bengkak karena terlalu sering menangis.             

“Izta, makanlah sedikit. Ibu tak sanggup melihatmu seperti ini.”

Iztaccihuatl hanya terdiam, tak menyahut. Hanya sesenggukan tangisnya yang terdengar, lirih. Bujukan ibundanya dan kepala suku Tezcacoalt sudah tak mempan. Mereka sudah melakukan segala cara untuk membantu Putri Iztaccihuatl. Bahkan semua pengobatan sudah dicoba, tetapi Putri Iztaccihuatl selalu menolak. Putri yang cantik itu kini tampak kurus dan pucat. Ia sangat sedih karena kematian Popocatepetl. Ia juga marah pada ayahnya karena mengutus Popocatepetl berangkat berperang sebelum menikah dengannya. Iztaccihuatl masih belum bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Akhirnya Putri Iztaccihuatl meninggal dalam kesakitan tubuh dan batinnya. Duka cita menyelimuti Tlaxcaltecas. Kepala suku memerintahkan orang-orang mempersiapkan pemakaman putrinya.

Tezcacoatl teringat akan mimpinya dahulu. Dewi Cihuacoalt berkata akan meminjaminya anak. Kini, Tezcacoatl sudah mengetahui artinya. Ia hanya akan memiliki anak untuk sementara. Ia pun tak dapat meneruskan keturunannya karena Iztaccihuatl adalah putri satu-satunya. Tezcacoatl dan istrinya merasa sedih. Namun, mereka tetap berterima kasih kepada Dewi Cihuacoalt karena sudah meminjamkan anak sebaik dan secantik Iztaccihuatl. Tezcacoatl dan istrinya berusaha merelakan kepergian Iztaccihuatl, kembali kepada Dewi Cihuacoalt. Tepat di hari pemakaman Iztaccihuatl, iring-iringan pasukan yang baru pulang berperang datang. Kepala suku sangat terkejut karena yang memimpin pasukan adalah Popocatepetl. Popcatepetl datang dengan raut bahagia membawa kemenangan, juga menantikan pertemuan dengan orang yang dicintainya. Pada saat menemui kepala suku untuk mempersembahkan kemenangan sebagai syarat pernikahannya dengan Putri Iztaccihuatl, Popocatepetl mendapat kabar kematiannya. Hatinya berkecamuk.             

“Siapa yang mengabarkan hamba telah gugur, Yang Mulia?” tanya Popocatepetl.

Suaranya bergetar karena amarah. Kepala suku menyerahkan perkamen yang mengabarkan gugurnya Popocatepetl. Xinantecatl adalah penyebab semua kekacauan ini. Popocatepetl segera bangkit dan mencari Xinantecatl. Selama berhari-hari ia mencari Xinantecatl, namun dia ternyata sudah meninggalkan Tlaxcaltecas, entah ke mana. Dengan kesedihan, Popocatepetl kembali ke Tlaxcaltecas. Ia ingin melakukan sesuatu untuk memberikan penghormatan pada sang putri. Popocatepetl ingin mengenang besarnya cinta Putri Iztaccihuatl kepadaya. Ia pun berharap Putri Iztaccihuatl dapat terus diingat oleh sukunya. 

“Yang Mulia, izinkan hamba membuat tempat peristirahatan yang indah untuk Putri Iztaccihuatl.”

“Ya, Popo. Aku serahkan semuanya kepadamu.” 

Kepala suku akhirnya memasrahkan urusan pemakaman Putri Iztaccihuatl kepada Popocatepetl. Popocatepetl bersama prajuritnya berusaha menyatukan bukit-bukit di sekitar Tlaxcaltecas menjadi sebuah gunung. Ia ingin menyemayamkan jasad putri di tempat yang tertinggi. Popocatepetl sendiri yang menggendong jasad Putri Iztaccihuatl ke puncak gunung. Ia membaringkan tubuh putri di altar. Popocatepetl lalu menyalakan obor dan berlutut di sisi kekasih hatinya. Ia terus berada di sana, menemani putri agar damai dalam tidur abadinya. Para dewa yang melihat pengorbanan Putri Iztaccihualt dan Popocatepetl merasa iba. Mereka menurunkan salju untuk menutupi keduanya. Tumpukan salju kian menebal hingga keduanya tak tampak lagi dari pandangan manusia. 

Dewa kemudian mengubah mereka menjadi gunung berapi besar yang terus bersama hingga akhir zaman, Gunung berapi Popocatepetl dan Iztaccihualt. Kepala suku Tezcacoatl dan istrinya kerap memandangi kedua gunung itu dari kejauhan kala merindukan Iztaccihuatl. Prajurit-prajurit Popocatepetl pun melakukan hal yang sama. Mereka begitu mencintai Popocatepetl yang gagah berani. Gunung Popocatepetl sesuai dengan namanya, sering mengeluarkan asap. Nama Popocatepetl berasal dari bahasa Nahuatl, terdiri dari kata popoa yang berarti asap dan tepetl yang berarti bukit. Maka, secara utuh namanya berarti bukit yang berasap. Legenda mengatakan, asap itu adalah obor yang dinyalakan Popo sebagai pertanda ia masih selalu mengingat putri tercintanya.

Gunung Popocatepetl adalah gunung berapi aktif berusia sekitar 730.000 tahun dengan ketinggian 5.450 meter di atas permukaan laut. Orang-orang Meksiko sering menyebutnya El Popo atau Don Goyo. El Popo merupakan gunung tertinggi kedua di Meksiko. Gunung Iztaccihuatl bila diamati, tampak seperti perempuan yang sedang berbaring dengan wajah menatap langit. Oleh karena itu, orang-orang menyebutnya La Mujer Dormida yang berarti perempuan tidur. Gunung berapi ini memiliki ketinggian 5.230 meter di atas permukaan laut dan menjadi gunung tertinggi ketiga di Meksiko.             

Konon kabarnya, Xinantecatl juga berubah menjadi gunung setelah mengasingkan diri dan melakukan pertobatan. Gunung berapi itu dinamakan Nevado de Toluca, gunung tertinggi keempat di Meksiko. Nevado de Toluca terletak di wilayah lain dengan posisi seolah-olah sedang menyaksikan sepasang kekasih abadi, Popocatepetl dan Iztaccihuatl. Saat ini, gunung-gunung tersebut masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin menikmati panoramanya. Asal usulnya juga terus diceritakan turun temurun, hingga melegenda di Meksiko.

***
Zori selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal di tulis buku Mesiko," kata Zori.

Zori menutup bukunya dan menaruh buku di meja.

"Mandi ah!" kata Zori.

Zori ke masuk rumah langsung ke belakang, ya mandi. Setelah itu. Zori santailah nonton Tv di ruang tengah.

LANGIT RUNTUH DAN KEJU BULAN

Tasya selesai latihan menyanyi dengan teman-teman, ya cita-cita Tasya ingin jadi penyanyi yang ngetop gitu. Tasya duduk dengan santai di ruang tengah, ya di rumahlah. Ada buku di meja dan di ambil sama Tasya, ya di baca dengan baik tuh buku.

Isi buku yang di baca Tasya :

T’u’ul sedang bermain riang di antara bukit bebatuan. Kelinci itu meloncat ke sana ke mari sambil berdendang. Sudah sejak lama T’u’ul selalu bermain di bukit bebatuan itu. Tetapi, kebiasaannya bermain di bukit itu tak pernah membuatnya bosan meski dia selalu mendatanginya setiap hari. Dulu, T’u’ul sering bermain di bukit bebatuan itu bersama adiknya. Setiap mereka bermain, ibu T’u’ul selalu mengingatkannya untuk berhati-hati dan menjaga adiknya baik-baik. Ibu berkata jika di daerah itu sering ada serigala berkeliaran. Sehingga, apabila mereka lengah, mereka berdua bisa dimangsa serigala.  
           
Sayangnya, T’u’ul keasyikan bermain. Ia kurang memerhatikan adiknya, sehingga seekor serigala dapat menyambar adiknya yang masih kecil. Serigala itu segera membawa adik T’u’ul menjauh. T’u’ul menangisi adiknya. Dalam isak tangisnya, T’u’ul mengingat serigala dengan buku ekor berwarna coklat gelap, yang membawa adiknya. Ia pun berniat untuk mencari adiknya sampai ketemu. T’u’ul yang pemberani segera pergi mencari adiknya sendirian. Ia bertanya pada beberapa burung, kadal, dan kura-kura yang ia temui di jalan.            

“Tuan Kadal, yang baik. Apakah kau melihat seekor serigala berekor coklat tua melintas di dekat sini?” tanya T’u’ul.

“Tidak. Aku tidak melihatnya. Untuk apa kau mencari serigala? Kau bisa dimangsa olehnya. Lebih baik kau pulang saja, kelinci kecil,” saran kadal.

“Aku tak bisa pulang tanpa adikku. Serigala itu telah membawanya kabur,” ucap T’u’ul hampir terisak.

“Oh … kasihan. Aku tak yakin adikmu masih hidup. Lebih baik kau pulang sekarang agar tak bernasib sama seperti adikmu,” nasihat kadal lagi.

“Terima kasih, Tuan Kadal. Tapi, aku harus mencari adikku. Dia adik kesayanganku,” pungkas T’u’ul.

Ia segera meninggalkan kadal, memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kadal itu menggelengkan kepala melihat T’u’ul yang keras kepala. Tetapi, ia juga kagum akan keberanian T’u’ul. Setelah berjalan cukup jauh, T’u’ul bertemu dengan kura-kura yang sedang menimbun diri di dalam pasir. Badan kura-kura itu tak terlihat dan hanya kepala dan moncongnya yang tampak. Keadaan itu membuat T’u’ul tak sengaja menginjaknya.

“Aw … hai, kelinci kecil, kau menginjak kepalaku!” seru kura-kura.

“Oh, maafkan aku, Tuan Kura-kura. Aku tak sengaja. Sungguh aku tak melihatmu tadi,” T’u’ul meminta maaf dengan sopan. 

“Apa yang kau lakukan di daerah ini? Bukankah para kelinci tinggal di bukit bebatuan di sana?” tunjuk kura-kura. T’u’ul menoleh.

Ternyata, ia sudah cukup jauh meninggalkan bukit bebatuan. Ia semakin sedih. Kura-kura melihat kesedihan di wajah T’u’ul, maka dia pun bertanya, “Kenapa kau tampak sedih? Kau tersesat?” tanya kura-kura.

“Tidak, Tuan. Aku memang sengaja pergi untuk mencari adikku. Dia dibawa oleh serigala. Aku melihat serigala itu lari ke arah sini. Apa kau melihat seekor serigala melintas?” 

“Ya, aku melihat beberapa ekor serigala melintas hari ini. Aku mengenal beberapa di antaranya. Serigala mana yang kau cari?”
             
“Aku tidak tahu asalnya. Aku juga tidak tahu namanya. Aku hanya ingat ekornya berbulu lebat berwarna coklat tua.” 

“Sepertinya aku tahu siapa yang kau cari. Namanya Ch’amak. Namun, aku tak melihatnya lewat di sekitar sini. Cobalah kau cari di bukit pasir sebelah barat sana. Semoga kau menemukan adikmu.”  

Wajah T’u’ul sedikit berbinar, semangatnya kembali meluap. Ia senang karena mendapatkan petunjuk untuk mencari adiknya. Dia pun sudah tahu nama serigala yang ia cari. Ia sungguh berharap jika informasi itu akan mempermudah pencariannya. 

“Baiklah, Tuan Kura-Kura. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku akan mencari adikku lagi,” pamit T’u’ul.

Kura-kura mengangguk. T’u’ul segera berlari ke arah yang ditunjuk oleh kura-kura. T’u’ul mulai kelelahan. Ia bersandar di sebuah batu besar di dekat batang-batang kaktus. Ia memetik sebutir buah kaktus matang dan memakannya.             

“Apa yang kau lakukan di sini kelinci kecil? Apa kau kabur dari rumah?” terdengar cericit burung dari balik batang kaktus. 

T’u’ul mendongak. Seekor burung berwarna kecoklatan bertengger di atas batang kaktus, sambil mematuki buah kaktus yang ranum.             

“Tidak, Nyonya Burung. Aku sedang mencari adikku. Tadi, kami bermain bersama di bukit bebatuan, tapi seekor serigala membawanya.”

“Oh … malang sekali nasib kalian. Aku rasa adikmu tidak selamat.”

“Bagaimana kau tahu?” tanya T’u’ul cemas. 

“Tadi, aku melihat serigala sedang menyantap seekor kelinci berbulu putih. Aku tak tahu kelinci itu adikmu atau bukan, tapi semoga saja bukan,” cerita Nyonya Burung.

“Sungguh?” T’u’ul benar-benar panik sekarang. 

Bagaimana bila yang dilihat Nyonya Burung benar-benar adiknya? Apa yang harus dia katakan pada ibunya nanti? Padahal ibu sudah berpesan untuk berhati-hati dan menjaga adiknya baik-baik. 

“Nyonya Burung, apa kau tahu nama serigala itu?” tanya T’u’ul hati-hati.

“Sayang sekali, aku tak tahu.  Aku hanya ingat jika serigala itu berbadan ramping, berbulu coklat abu-abu, dan berekor lebat berwarna coklat tua. Entah siapa namanya.” T’u’ul lunglai mendengar cerita Nyonya Burung.

“Nyonya, kau benar. Serigala itulah yang membawa adikku. Serigala berekor lebat berwarna coklat. Namanya Ch’amak. Apakah kau bisa menunjukkan padaku di mana kau melihatnya terakhir kali?” tanya T’u’ul dengan mata berkaca-kaca. 

Nyonya Burung ikut bersedih, hingga dia menitikkan air mata. Ia pun menunjukkan tempat terakhir kali ia melihat Ch’amak kepada T’u’ul. T’u’ul segera menuju tempat yang ditunjukkan oleh Nyonya Burung. T’u’ul berjalan mengendap-endap ketika mendekati tempat tersebut. Ia khawatir Ch’amak masih ada di sana dan memangsanya juga. Setelah memastikan keadaan aman, T’u’ul mulai menyusuri pasir mencari adiknya. Namun, T’u’ul tak menemukan apa-apa. Ia hanya menemukan sedikit bekas darah mengering yang menempel pada bulu-bulu putih. T’u’ul sangat terpukul. Nyonya Burung ternyata benar. Adiknya tak selamat. T’u’ul segera pulang dengan gontai ke bukit bebatuan. Ia harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk sampai di bukit bebatuan. Ia pun mempercepat langkahnya agar tak kemalaman di jalan. Sesampai di rumah, T’u’ul disambut ibu kelinci yang menunggunya dengan cemas. Ia langsung memeluk ibunya dan menangis.             

“Ada apa T’u’ul? Kenapa menangis? Mana adikmu? Kenapa pulang terlambat?” T’u’ul dicecar pertanyaan oleh ibunya, tapi ia hanya bisa menangis. 

Ibu T’u’ul membelai kepala anaknya penuh kasih. Firasatnya mengatakan jika sesuatu telah terjadi, tapi ia tak ingin memaksa T’u’ul. Ibu kelinci sabar menunggu T’u’ul berhenti menangis untuk menceritakan yang sebenarnya. Setelah tangisnya reda, T’u’ul menceritakan semuanya. Ibu kelinci sedih karena kehilangan anaknya. Tapi, ia juga bersyukur karena T’u’ul bisa kembali ke rumah dengan selamat. Ibu kelinci berpesan pada T’u’ul agar lebih berhati-hati dan selalu menjaga diri. T’u’ul berjanji akan selalu menuruti pesan ibunya.

T’u’ul masih asyik berdendang di dekat bebatuan ketika beberapa ekor burung datang mengerumuninya. Tanpa sengaja, T’u’ul melihat seekor serigala gurun mengendap-endap dari kejauhan. Burung-burung langsung terbang menjauh. T’u’ul segera turun dari bukit dan bersandar di sebuah batu besar. Ia memancing serigala untuk mendekat padanya. Kali ini T’u’ul memiliki sebuah rencana untuk mengecoh serigala yang memang terkenal dungu. Perkiraan T’u’ul benar. Serigala itu sedang berjalan ke arahnya. Gigi-giginya yang tajam tampak menyeringai. T’u’ul segera mengenali serigala itu. Dia adalah Ch’amak, serigala yang dulu memangsa adiknya.

“Apa yang sedang kau lakukan, T’u’ul?” tanya Ch’amak.

“Hai, Ch’amak. Cepatlah berlindung kemari!” ajak T’u’ul.

Ch’amak tampak kebingungan dengan ucapan T’u’ul.

“Apa maksudmu? Berlindung dari apa?” 

“Memangnya kau tak tahu? Langit sebentar lagi akan runtuh. Lihat itu, awan-awan tebal sudah menggantung dekat sekali dengan tanah.”

“Benarkah?” Ch’amak masih tak percaya. 

“Hei, apa aku kelihatan sedang berbohong?” ujar T’u’ul.

Dia sedang berusaha mengangkat batu besar untuk bersembunyi di bawahnya. Tapi, T’u’ul tampak kewalahan. Ch’amak berjalan mendekatinya dan memegangi batu yang diangkat T’u’ul.

“Ayo, cepat bantu aku mengangkatnya. Kita akan aman bersembunyi di bawah batu ini,” ucap T’u’ul dengan serius.

Ch’amak yang melihat keseriusan di wajah T’u’ul segera mengangguk, “Baiklah.” Ch’amak akhirnya memercayai T’u’ul. 

Mereka mengangkat batu itu bersama-sama. Kini, T’u’ul dan Ch’amak berdiri berdekatan di bawah batu besar yang mereka angkat. T’u’ul terengah-engah menyangga batu yang berat itu.

“Mengapa langit akan runtuh T’u’ul?” tanya Ch’amak, ingin tahu.

“Entahlah. Tadi aku mendengar suara gemuruh yang keras sekali. Suara itu datang dari langit. Lalu, aku melihat awan-awan semakin tebal dan menggantung dekat dengan tanah. Pasti sesuatu yang buruk telah terjadi di langit. Barangkali tali pengaitnya putus,” T’u’ul menjelaskan panjang lebar. 

Ch’amak mengangguk-angguk, semakin percaya pada perkataan T’u’ul.

“Ch’amak, batu ini berat sekali, sepertinya kita butuh kayu untuk membantu menyangga batu ini,” kata T’u’ul, mulai bersiasat.

“Ya, kau betul, T’u’ul. Batu ini berat sekali.”

“Kalau begitu, aku akan pergi sebentar mengambil kayu penopang. Kau di sini saja agar aman. Jika kau yang pergi dan langit runtuh, kau pasti tak akan selamat.” 

T’u’ul menakut-nakuti Ch’amak. Ch’amak tampak berpikir keras. Ia membenarkan ucapan T’u’ul. Apabila langit runtuh, kelinci akan celaka dan ia akan selamat karena berada di bawah batu. Ch’amak pun menyetujui usulan kelinci. 

“Ya, kalau begitu pergilah. Cepat, ya. Aku tak sanggup jika terlalu lama mengangkat batu ini sendirian.” 

T’u’ul tersenyum senang mendengar ucapan Ch’amak. 

“Tenang saja, Ch’amak. Aku akan segera kembali,” katanya menenangkan Ch’amak.

T’u’ul melepaskan pegangannya dan segera meloncat-loncat, pergi menjauh. Tentu saja ia bukan pergi mencari sebatang kayu penopang, tetapi menyelamatkan diri dari Ch’amak. Saat itu mendung memang sedang menyelimuti langit. Suara guntur terus bergemuruh dari tadi. Akan tetapi, gemuruh itu adalah pertanda hujan akan turun, bukan langit yang runtuh. Ch’amak seharusnya mengetahui hal itu, tapi ia malah memercayai ucapan T’u’ul. Alhasil, dia pun mulai pegal menunggu T’u’ul datang.

“T’u’ul!” panggil Ch’amak.

Tak ada sahutan. Tangan Ch’amak mulai pegal menopang batu besar sendirian. T’u’ul yang ia tunggu tak kunjung datang. 

“T’u’ul, cepat kembali! Batu ini berat sekali! Aku sudah lelah,” panggil Ch’amak lagi.

Belum ada sahutan. Ch’amak pun semakin kesal. Ia sudah lelah memanggil T’u’ul, yang sepertinya tak akan datang kembali. Maka, Ch’amak melemparkan batu itu ke tanah dengan marah, “Hhhahhh … aku tak peduli jika langit akan runtuh di atas kepalaku. Aku akan pergi.”

Titik-titik air mulai turun dan semakin besar. Hujan turun dengan sangat lebat dan angin bertiup kencang. Saat itu T’u’ul telah aman di tempat persembunyiannya, namun Ch’amak masih berlarian mencari tempat berteduh. Ch’amak kemudian melihat sebatang pohon besar. Ia segera berlari ke arah pohon itu untuk berteduh. Tapi naas, hujan yang lebat mengganggu pandangan Ch’amak. Ia tak tahu kalau pohon itu tumbuh di tepi jurang. Ch’amak tergelincir dan jatuh ke dalam jurang, tanpa ada yang tahu bagaimana nasibnya. Selama berbulan-bulan T’u’ul belum bertemu lagi dengan Ch’amak. T’u’ul mengira jika Ch’amak tidak selamat karena kelelahan mengangkat batu dan tertimpa batu besar itu sendiri. Hingga suatu malam, T’u’ul sedang berdiri di pinggir telaga. 

Ia baru saja melepaskan dahaganya. T’u’ul sedang menikmati keindahan bulan yang bersinar dengan indah, mengagumi cahaya tipis berwarna pelangi yang ada di sekelilingnya, dan memandangi bulan yang berbentuk bulat sempurna, sebuah bulan purnama. Saat tiba-tiba, ada yang datang menghampiri T’u’ul. T’u’ul menoleh dan terkejut. Ia melihat Ch’amak sedang berjalan ke arahnya. T’u’ul ketakutan. Ia mengira Ch’amak akan marah dan membalas tindakannya dulu. T’u’ul pun berpura-pura tidak mengetahui kedatangan Ch’amak dengan lanjut meminum air telaga. 

“Hai, T’u’ul,” sapa Ch’amak, sambil mencondongkan moncongnya ke telaga, hendak minum juga.

“Hai, Ch’amak. Bagaimana kabarmu?” tanya T’u’ul berbasa-basi.

“Aku baik. Apa yang sedang kau lakukan di sini? Kau sendirian?” 

“Ya, aku sendirian. Aku akan memberitahumu sebuah rahasia. Tapi ingat, jangan bocorkan pada siapa pun.”

“Rahasia apa? Ya, aku berjanji.”

“Aku sengaja meninggalkan kawan-kawanku. Aku sedang mengincar makanan lezat. Aku tak ingin membaginya dengan mereka, Ch’amak,” kata T’u’ul dengan meyakinkan.

“Memangnya makanan apa? Kau harus membaginya denganku!” gertak Ch’amak, tiba-tiba.

“Ya, baiklah. Aku bahkan akan memberikan seluruh bagianku untukmu,” kata T’u’ul yang membuat Ch’amak bersemangat, “ nah, apa kau lihat bulatan berwarna kuning di tengah telaga itu?” tanya T’u’ul.


“Hmmm … Aku melihatnya,” Ch’amak memerhatikan dengan serius.

“Itu adalah keju istimewa, Ch’amak. Dewa sangat jarang menurunkan keju itu ke bumi. Itu adalah keju bulan. Rasanya gurih dan sangat lezat. Ukurannya sangat besar, tak habis dimakan sekali. Keju bulan tahan disimpan bertahun-tahun. Jadi, tak perlu risau akan membusuk,” T’u’ul menjelaskan dengan bersemangat.

“Wow! Aku menginginkan keju bulan itu untuk jadi milikku,” Ch’amak berseru kegirangan.

“Tapi, ada masalah, Ch’amak.”

 “Apa masalahnya?” 

“Aku belum berhasil mengambil keju bulan. Aku tak bisa berenang. Satu-satunya cara adalah dengan meminum air telaga ini sampai habis, baru aku bisa mengambil keju bulan itu.” 

Ch’amak terdiam, berpikir. Ia sudah tergiur membayangkan betapa lezatnya keju bulan. Ch’amak benar-benar menginginkannya, maka ia segera mengsusulkan, “Kalau begitu, biar aku coba. Aku lebih besar daripada kau. Aku pasti bisa menghabiskan air telaga ini.”

“Baiklah, silakan Ch’amak,” dukung T’u’ul. 

Ia kemudian melangkah mundur. Ch’amak mulai meminum air telaga sedangkan T’u’ul tampak tersenyum di belakangnya. Dalam hati ia tertawa karena berhasil mengecoh Ch’amak. Sebenarnya, tak ada keju bulan di tengah telaga. Bulatan kuning yang mereka lihat, hanyalah pantulan cahaya bulan di atas air telaga. Pantulan cahaya itu tampak seperti bongkahan keju yang sedap karena bulan sedang bersinar terang dan bulat sempurna. Ch’amak masih bersemangat meminum air telaga. Perutnya mulai menggelembung karena terlalu banyak minum air. Ia bahkan tak memerhatikan kalau T’u’ul mulai menjauh darinya. 

“Ch’amak, aku pergi dulu, ya. Aku menyerah. Semua keju bulan itu untukmu saja!” teriak T’u’ul dari kejauhan.

Ch’amak hanya menoleh sekilas tak peduli. Ia terus meminum air telaga itu. Beberapa saat kemudian, perut Ch’amak mulai terasa melilit. Ia terduduk. Napasnya terengah-engah. Ia tak mengira jika meminum air bisa membuatnya kesakitan seperti ini. Ch’amak sudah hampir menyerah, tapi saat ia melihat keju bulan, ia merasa tak rela membiarkan keju itu tetap di sana. Setelah beristirahat sejenak, Ch’amak merasa putus asa. Ia sudah tak kuat lagi meminum air telaga. Akhirnya dengan pendek akal, Ch’amak meloncat terjun ke telaga. Ia berusaha meloncat sejauh-jauhnya agar bisa menggapai keju bulan, sehingga ia dapat mengapung dengan berpegangan pada keju bulan itu. Tetapi, tak ada sesuatu pun yang bisa digenggam Ch’amak. Keju bulan hanyalah sebuah bayangan. Ch’amak pun langsung terjebur ke dalam telaga. 

Naasnya, Ch’amak tak bisa berenang. Tangannya bergerak-gerak, berusaha menepi. Moncongnya diangkat agar bisa tetap bernapas. Tapi, Ch’amak sudah kehabisan tenaga. Tak ada binatang yang berada di dekat telaga malam itu. Lolongan Ch’amak yang memilukan pun sia-sia. Akhirnya, dia tenggelam tanpa diketahui siapa-siapa. 

***
Tasya selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asalnya cerita, ya di tulis buku sih....Mesiko," kata Tasya.

Tasya menutup bukunya di taruh di meja dengan baik.

"Nonton Tv aja ah!" kata Tasya.

Tasya mengambil remot di meja dan di hidupkan Tv, ya memilih chenel Tv yang acaranya menarik. Tasya memutuskan nonton acara Tv....musik Dangdut di JTV dan kebetulan ada artis yang di sukai Tasya, ya Tasya Rosmala penyanyi dangdut yang teman baiknya Putri Isnari.Tasya asik nonton Tv yang acaranya bagus gitu.

FENELLA DAN LEPRECHAUN

Caca sedang asik baca bukunya di kamarnya, ya buku yang ia pinjam dari temannya Anrez.

Isi buku yang di baca Caca :

Fenella duduk di depan jendela. Dia menatap rerimbunan pohon nun jauh di sana. Dia mulai berpikir, apa saja yang ada di dalam hutan itu? Apakah Leprechaun juga hidup di sana? Tapi benarkah peri itu ada, atau hanya dongeng yang diceritakan Miss Halona kepadanya dan kawan-kawannya. Kalau memang Leprechaun ada, Fenella ingin sekali menangkap satu dari mereka agar mereka dapat mengabulkan tiga permintaanya.

“Fenella...” Sebuah suara memanggilnya. Fenella memalingkan wajahnya. Miss Halona terlihat melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. “Kita akan berjalan-jalan. Kau mau ikut?” lanjut perempuan bertubuh besar itu.

Fennela melompat ke lantai. Dengan kedua tangannya dia berjalan menyangga tubuh mungilnya. Miss Halona menyambut gadis kecil tak berkaki itu dengan kedua tangannya. Dia mengangkat Fenella lalu meletakkannya di sebuah kursi roda mini, yang sudah dia siapkan. Mereka meluncur menuruni tangga asrama. Di halaman, teman-temannya yang lain sudah siap dengan perbekalan masing-masing. Hari ini mereka akan piknik ke sebuah taman di pinggir hutan. Wuih ... sangat menyenangkan!

“Udara pagi yang segar. Mentari bersinar cerah.

Burung-burung bernyanyi dengan gembira…”

Miss Halona mulai bersenandung. Anak-anak kecil berwajah ceria mulai bernyanyi bersama. Suaranya riang dan gembira. Kadang mereka menari mengikuti alunan nada. Mereka berputar bergantian dengan berpegangan satu sama lain.

“Jaga barisan, jangan sampai ada yang bergerak terlalu jauh.” Kali ini Miss Maisie yang memberi peringatan. Dia berjalan paling belakang, memantau anak-anak agar tidak tertinggal.

“Kita berbelok ke kanan.” Miss Halona memberi aba-aba. Dia pun mendorong kursi roda Fenella. Gadis kecil nan mungil itu ikut larut dalam suka cita. Mulutnya tak henti berdendang. Setelah sekian lama berjalan, sampailah mereka di sebuah padang rumput yang lapang. Ada bunga-bunga cantik bermekaran.

“Wow, indah sekali tempat ini,” Fenella berteriak girang.

Teman-temannya yang lain sudah berlari-lari sambil tertawa riang. Miss Halona mengangkat Fenella dan meletakkannya di atas rumput. Fenella segera berlari menggunakan kedua tangannya, menyusul teman-temannya. Dia meninggalkan kursi rodanya begitu saja. Kali ini dia tidak sedang memerlukannya.

“Ingat, jangan terlalu jauh bermain. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam hutan,” Miss Meisie berteriak lantang. Seperti tak mendengar teriakan Miss Meisie, anak-anak itu berkejaran tanpa henti. Fenella tampak tidak ingin ketinggalan. Walaupun fisiknya tidak sempurna seperti yang lain, namun dia bisa melakukan semua yang dilakukan oleh kawan-kawannya. Kali ini, mereka bermain sembunyi endap.

Permainan sudah dimulai. Semua anak berlari mencari tempat persembunyian masing-masing. Fenella buru-buru mengayuh tubuhnya. Tangannya bergerak lincah memindahkan tubuh mungilnya. Ia bersembunyi di rerimbunan belukar. Napasnya terengah-angah. Wajahnya memerah. Sesekali dia mengintip seorang temannya, yang sedang berjaga-jaga di sebuah pohon.

Tiba-tiba, ia dikagetkan oleh suara gemerisik daun. Dia mulai khawatir jika ada binatang buas di sekitar sini. Fenella spontan menajamkan pendengarannya. Kali ini dia seperti mendengar suara palu yang dipukul. Suara itu memang tidak terlalu keras, namun Fenella dapat mendengarnya dengan jelas. Fenella mulai penasaran. Dia bergerak hati-hati, mencari sumber suara. Disibaknya segerombol tanaman perdu yang menghalangi penglihatannya. Serta merta dia melihat siluet kecil berwarna hijau. Rasa penasarannya semakin menjadi. Makhluk apakah itu? Apakah dia Leprechaun yang selama ini dia cari? Tanyanya pada diri sendiri. Hore!!! Fenella menjerit dalam hati. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Dia harus tahu, mengapa orang tuanya membuangnya di panti asuhan. Jika dia bisa menangkap Leprechaun ini, dia akan minta tolong untuk dipertemukan dengan orang tuanya.

Fenella berjalan dengan sangat hati-hati, mendekati siluet itu. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dia takut, siluet itu akan pergi menjauh. Ketika sudah cukup dekat, Fenella dapat melihat dengan jelas sesosok makhluk kerdil berpakaian hijau, topi lebarnya juga berwarna hijau, tali pinggangnya besar berwarna hitam, dan dia sedang duduk membelakangi Fenella. Fenella tidak tau apa yang makhluk itu sedang lakukan. Namun, dia seperti memukulkan palu pada benda yang sedang dipegangnya. Jantung Fenella seakan berhenti berdetak, menahan rasa gugup yang tidak terkira. Sudah lama dia menantikan ssat ini, jadi dia tidak boleh melakukan kesalahan.

Fenella melangkah dengan sangat pelan. Lalu, dengan kedua tangannya yang kotor karena memijak tanah, dia memeluk makhluk itu erat-erat. Fenella juga melepas topi hijau milik makhluk mungil itu dengan cekatan. Dia teringat cerita Miss Halona, makhluk itu bisa menghilang atau berpindah tempat dalam sekejap, jika topi itu masih ada di kepalanya.

“Kena kau,” teriak Fenella, sambil memeluk makhluk hijau itu erat-erat. Makhluk mungil itu meronta namun, Fenella memeluknya erat. Dia tidak ingin kehilangan makhluk itu sebelum dia mengajukan tiga permintaannya.

Makhluk kerdil yang berada dalam dekapan Fenella meronta-ronta, hingga dia menjatuhkan koin emas dari kantongnya. Fenella lalu memungutnya dengan sebelah tangan. Ternyata koin-koin itu tidak disimpan di ujung pelangi, pikir Fenella. Kini, ia bisa memilikinya tanpa perlu mengambilnya ke ujung pelangi.

“Baiklah, sekarang kembalikan topiku dan lepaskanlah aku. Sebagai imbalannya, aku akan mengabulkan tiga permintaanmu,” makhluk hijau itu berkata dengan suaranya yang riang.

“Aku ingin bertemu dengan orang tuaku, aku ingin tahu mengapa mereka membuangku, dan aku ingin berkumpul serta hidup bahagia dengan mereka,” kata Fenella dalam satu tarikan nafas.

Perlahan, dia mulai mengendurkan pelukannya pada makhluk hijau itu. Fenella memerhatikan makhluk kecil dihadapannya. Fenella ingat, Miss Halona pernah bercerita tentang Leprechaun yang berbentuk menyerupai lelaki tua berjenggot dengan wajah yang menyeramkan. Tapi, makhluk hijau di hadapannya justru berwajah ceria dan tersenyum ramah. Hal ini membuat Fenella tidak merasa takut lagi. Makhluk itu kemudian mengambil topinya dan memasangnya kembali. Dia mengangkat alisnya lalu tersenyum lebar.

“Eeemmm, seekor harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri,” katanya lagi, sambil terkekeh-kekeh. Fenella terdiam, tidak ada yang lucu, tapi makhluk kecil ini tertawa terkekeh-kekeh. Dia juga tidak berkata tentang harimau yang tidak akan memangsa anaknya.

“Eeemmm… baiklah. Aku akan mempertemukanmu dengan orang tuamu.” Mulut makhluk itu komat –kamit, mengucapkan sesuatu. Kata-kata yang terlontar terdengar seperti mantra-mantra di telinga Fenella. Ketika makhluk mungil itu selesai dengan kata-katanya, tiba-tiba apa yang ada di hadapan Fennela berubah. Dia melihat seorang wanita cantik yang berdiri di sisi jendela. Pandangannya kosong. Air mata tampak meleleh di pipinya. Wajahnya mirip dirinya. Fenella terbeliak. Inikah Ibuku, batin Fenella.

Fenella belum sempat melakukan sesuatu, ketika pandangannya kembali berubah. Seorang wanita berambut merah dengan dandanan tebal tampak membawa sebuah bungkusan. Dia menyerahkan bungkusan itu ke tangan lelaki setengah baya sambil berkata, “Aku sudah mengatakan pada Angus kalau bayinya sudah meninggal. Sekarang, kau bawa bayi cacat ini ke panti asuhan. Aku tidak sudi memiliki cucu perempuan, apalagi cacat.”

Fenella melihat kejadian itu dengan mata berlinang. Ternyata, Neneknya yang telah membuangnya. Angus, apakah itu nama Ayahnya?

Tiba-tiba, pandangan matanya kembali hijau. Pohon-pohon besar dan tanaman perdu nyata terlihat di depan mata. Fenella menggeleng-gelengkan kepala. Seraut wajah bulat, bertahi lalat di atas alis, tersenyum lebar di hadapannya.  “Rupanya,kau di sini Fenella, kami mencarimu dari tadi. Teman-temanmu sudah bersiap-siap untuk pulang.” Fenella tersentak. Dia spontan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia masih di dalam hutan. Jadi, kejadian tadi itu apa, pikirnya. Fenella hanya bisa pasrah ketika Miss Halona mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di kursi roda mungilnya.

Mereka kembali berbaris untuk kembali ke panti asuhan. Sepanjang perjalanan Fenella diam, merenung. Kejadian yang baru saja dia alami, sebuah kenyataan atau hanya lamunannya saja. Perlahan, dia membuka genggaman tangannya. Koin emas. Kini, dia yakin, dia tidak sedang melamun atau bermimpi. Kejadian itu benar-benar terjadi.

Fenella mendongak sebentar. Dia ingin menanyakan sesuatu pada Miss Halona yang mendorong kursi rodanya. Sesaat, dia memerhatikan wajah bulat berseri itu. Apakah ini waktu yang tepat? tanya Fenella dalam hati. Namun, dia segera mengabaikan pertanyaannya sendiri. Dia ingin tahu lebih cepat.

“Miss Halona, bolehkan aku tahu sesuatu?” tanya Fenella, pelan. Miss Halona sepertinya tidak mendengar pertanyaan Fenella. Hingar bingar suara anak-anak yang lain seolah menelan suara Fenella yang lirih. Fenella lantas mengusap lengan Miss Halona, dan wanita bertubuh tambun itu segera menoleh ke arahnya.

“Ada apa, Fenella?” suaranya kecil dan lembut.

“Siapa sebenarnya orang tuaku?”

Miss Halona menghentikan langkah, menatap mata Fenella yang tengadah, seolah bertanya mengapa mereka berhenti. Miss Halona kembali mendorong kursi roda Fenella, pelan.

“Miss Halona, mengapa Anda tidak mau menjawab pertanyaanku?” tanya Fenella lagi.

Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fenella, Miss Halona berkata, “Kau tanyakan saja pada Ibu asrama. Saya tidak punya hak untuk menjawab pertanyaanmu itu, Nak.” Fenella terdiam, dia semakin merasakan guncangan di tubuhnya. Rupanya, Miss Halona setengah berlari mendorong kursi rodanya karena mereka sudah tertinggal dari anak-anak yang lain.

Sesampai di asrama, mereka semua membersihkan diri dan bersiap untuk istirahat siang. Namun, tidak demikian dengan Fenella. Dia segera menuju ke ruang Ibu asrama. Dia mengetuk pintu, perlahan, hingga terdengar suara serak Ibu asrama dari dalam. Fenella mendorong pintu itu lalu masuk. Ibu asrama menurunkan kaca mata bulat kecil ke hidungnya yang panjang. Perempuan setengah bungkuk itu tersenyum hangat melihat Fenella masuk.

“Ada apa, anakku, Fenella?”

“Maaf, Miss Humfrey, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda. Sudah lama saya menyimpan pertanyaan ini. Saya berharap, Anda bersedia menjawabnya,” Fenella diam beberapa saat. Dia tidak melihat reaksi apa-apa di wajah Miss Humfrey. Wajah itu tetap datar. Fenella menghela napas, memberanikan diri bertanya, “Sebenarnya, aku ingin tahu siapa kedua orang tuaku.”

Kali ini, Fenella seolah melihat kilat di mata Miss Humfrey. Wanita setengah baya itu menelan ludahnya. Dia terdiam cukup lama. Dia berpikir, apakah dia harus memberitahu siapa sebenarnya orang tua Fenella? Tapi, itu adalah rahasia yang harus tetap dijaganya sampai mati. Itu adalah janji yang sudah dia ucapkan kepada Nenek gadis kecil ini.

Fenella melihat keengganan Miss Humfrey, maka dia kembali bertanya, “Apakah Ayahku bernama Angus?”

Miss Humfey terkejut. Dia menatap Fenella. Hatinya bertanya-tanya, dari mana anak ini tahu nama itu. Tidak ada seorang pun di panti ini yang tahu asal usul Fenella, kecuali dirinya. Miss Halona dan Miss Meisie pun tidak.

Fenella menunggu jawaban Miss Humfrey dengan sabar. Namun, wanita di hadapannya itu tetap diam.

“Saya mohon Miss Humfey, mengganguklah jika apa yang saya katakan itu benar,” pinta Fenella.

Miss Humfrey tidak ingin ingin melanggar janji. Sebuah janji untuk tidak membuka rahasia keluarga Fenella, yang masih keturunan istana Longhore. Tetapi, dia juga tidak tega melihat gadis cilik di hadapannya, yang sedari tadi menatapnya dengan iba. Akhirnya, Miss Humfey mengangguk pelan.

“Apakah Anda tahu, di mana mereka tinggal Miss Humfrey?” tanya Fenella.

Miss Humfrey menarik nafas dalam. “Saya tidak bisa mengatakannya padamu, Nak. Semoga takdir mempertemukan kalian kelak.” Miss Humfrey menundukkan wajahnya. Dia semakin tidak tega melihat Fenella menjauh dari meja kerjanya dengan kursi roda mungilnya. Fenella merasa semua orang di sini menyembunyikan asal usulnya. Dia tahu jika tidak ada yang bisa dia harapkan di sini. Dia yakin Miss Humfrey tidak akan mengatakan asal-usulnya. Maka, Fenella bertekad untuk mencarinya sendiri meski dia tidak tahu bagaimana caranya.

Sore itu angin bertiup semilir. Langit penuh awan putih. Seekor burung melintas rendah di bawah jendela. Fenella sedang berdiri di samping jendela kamarnya. Dari jendela kamarnya, dia bisa melihat seorang bocah kecil sedang menapaki tangga asrama bersama laki-laki setengah baya dan wanita bertopi bulat, dengan warna yang lembut. Bocah kecil itu tampak seumuran dengannya. Sesampai di depan pintu asrama, lelaki setengah baya itu membunyikan bel. Mereka berdiri di sana cukup lama. Lelaki tua itu mengangkat tangannya untuk menekan bel di pintu lagi. Fenella memerhatikan mereka dengan rasa ingin tahu. Jarak yang cukup jauh membuatnya tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Dia berpikir, bocah itu mungkin akan dititipkan di panti asuhan ini, sama seperti dirinya dan teman-teman yang lain.

Fenella menarik nafas pelan. Dia tidak habis pikir, mengapa ada orang tua yang tega membuang anaknya. Fenella teringat pengalamannya tadi siang. Sangat wajar jika Neneknya membuang dirinya yang cacat. Tapi, teman-temannya yang lain? Tubuh mereka sempurna. Mereka punya tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya. Mereka cantik dan tampan. Mengapa orang tua mereka tega melakukannya? Butiran bening air mata mulai membasahi pipi Fenella. Fenella menundukkan wajahnya. Perlahan dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. Mungkin, di sini memang tempat terbaikku. Aku harus melupakan orang tuaku. Masih ada Miss Halona, Miss Meisie, dan Miss Humfrey yang sayang padanya, batinnya. Fenella pun tersenyum. Dia melihat keluar jendela lagi. Bocah laki-laki, lelaki setengah baya, dan perempuan bertopi itu sudah tidak dilihatnya lagi. Sepertinya Miss Halona sudah mempersilakan mereka masuk.

“Fenella, ada tamu untukmu.” Miss Humfrey datang dengan langkah tergesa.

“Tamu?” Fenella tertegun. Selama sembilan tahun di tempat ini, tidak pernah seorang pun datang mengunjunginya. Jantung Fenella berdetak lebih kencang. Ia senang, juga penasaran. Dia menemui tamunya di ruangan depan dengan ditemani oleh Miss Humfrey.

Fenella berhenti mengayuh. Tatapan matanya beradu dengan tatapan lembut seorang wanita bertopi bulat. Wanita itu, bukankah dia, wanita yang berdiri di depan jendela. Oh Tuhan, inikah Ibunya? Dan, laki-laki di sebelahnya, apakah dia Mr. Angus, Ayahnya? Lalu, siapa bocah lelaki itu? Wajahnya nyaris serupa dengannya. Mungkinkah dia saudaranya? Dia punya saudara? Benarkah mereka keluarganya?

Ketiga orang itu memandangi Fenella dengan pikiran mereka masing-masing. Sesaat kemudian, wanita bertopi itu berjalan, mendekati Fenella. Dia pun segera memeluk gadis mungil itu, erat.

“Anakku ... akhirnya kami menemukanmu,” isaknya. Air matanya menetes di bahu Fenella. Fenella memejamkan mata. Dia ingin merasakan pelukan ini selamanya. Pelukan seorang ibu sungguh nikmat tiada-tara.

“Oh, alangkah berdosanya ibu, Nak. Ibu tidak mengetahui keberadaanmu selama ini.” Wanita cantik itu sesenggukan. “Ibu sudah tahu kalau kalian terlahir kembar. Meski dokter mengatakan kalau salah satu di antara kalian akan terlahir cacat. Tapi, ibu bisa menerimanya,Anakku. Sayangnya, Nenekmu tidak. Dia mengatakan kalau kau lahir dalam keadaan meninggal. Ternyata kau hidup. Nenekmu sudah mengutus orang untuk membawamu kemari, Nak. Maafkan ibu Nak.”

Wanita itu terus menangis. Lelaki setengah baya itu ikut mendekat, diikuti bocah laki-laki yang mirip dengannya. Mereka memeluk Fenella, hangat.

“Maafkan ayah juga, Nak. Ayah tidak dapat menjagamu dengan baik, sehingga Nenekmu bisa membawamu pergi ke tempat ini. Seperti apapun keadaanmu, kami akan tetap menyayangimu, Anakku.”

Fenella tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Dia pun menangis bahagia.

“Tidak ada yang bisa memisahkan kita lagi, Saudaraku. Aku akan menjagamu,” kata Finley, saudara kembarnya, sambil tersenyum. Fenella ikut tersenyum. Dia tidak menyangka jika dia mempunyai saudara kembar laki-laki.

Miss Humfrey ikut menitikkan air mata di belakang mereka. Ia tidak menduga keluarga Fennela akan datang menjemput gadis mungil itu. Miss Halona dan Miss Meisie ikut terharu. Mereka berpegangan tangan dan tersenyum. Mereka turut merasakan kebahagiaan Fenella.

Sementara itu di sudut ruangan, Fenella melihat bayangan hijau kecil berkelebat cepat. Ekor matanya mengikuti bayangan itu. Leprechaun, Fenella mengingat permintaannya pada peri kecil itu. Sekarang, peri itu telah memenuhi janjinya. Dia bisa bertemu dengan keluarganya. Bersamaan dengan bunyi “flop”, bayangan hijau itu menghilang, meninggalkan senyum riang dan kebahagiaan bagi keluarga Fenella. 

***

Caca selesai membaca bukunya, ya buku di taruh di meja. 

"Cerita yang bagus asal ceritanya dari Irlandia," kata Caca.

Caca keluar dari kamarnya, ya ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama ibu dan ayah sedang asik nonton acara lawak yang paling populer....OVJ.

WILLEM DAN IRENE

Diva selesai bermain dengan temannya di depan rumah. Diva duduk di ruang tamu sambil memegang buku cerita.

"Baca buku," kata Diva.

Diva membuka bukunya dan di baca dengan baik buku tersebut.

Isi buku yang di baca Diva :

Beratus-ratus tahun yang lalu di sebuah desa nelayan bernama Volendam, hiduplah keluarga Jansen dan keluarga Hendrik. Masing-masing memiliki anak berumur sembilan tahun. Keluarga Jansen mempunyai anak perempuan bernama Irene dan keluarga Hendrik mempunyai anak laki-laki bernama Willem. Willem dan Irene adalah anak-anak yang rajin. Willem selalu membantu ayahnya memperbaiki jala yang rusak. Irene selalu membantu ibunya yang berjualan makanan di pinggir pantai. Suatu hari, seperti biasa Willem dan Irene menunggu kepulangan ayah mereka di pinggir dermaga. Satu per satu nelayan pulang, tapi sampai sore belum terlihat tanda-tanda kepulangan ayah mereka.

“Pak, apakah Bapak melihat ayah kami?” tanya Irene pada seorang nelayan.

“Oh, kami melihat ayah kalian menuju ke utara. Katanya, dia mau menangkap ikan tuna lebih banyak lagi,” jawab si nelayan.

Irene menatap langit di utara. Tampak awan mendung bertumpuk. Sepertinya, akan terjadi badai. Irene sangat khawatir.

“Ayah,” isak Irene.

“Jangan khawatir, Irene,” hibur Willem.

“Tapi, bagaimana kalau mereka terjebak badai? Kapalnya bisa terbalik dan tenggelam.”

“Kita bisa menolong ayah kita,” kata Willem. “Bagaimana caranya?” tanya Irene.

“Dengan berdoa,” jawab Willem mantap.

Irene memandang Willem. “Apakah Tuhan akan mendengar doa kita?” tanyanya.

“Ya, Tuhan yang mengendalikan alam. Kita harus berdoa semoga Tuhan mau menghentikan hujan dan membuat laut menjadi tenang,” kata Willem.

Mereka lalu berlutut dan berdoa dengan khusyuk. Tiba-tiba, langit menjadi terang dan angin yang tadinya kencang bertiup lembut. Tidak berapa lama, dari tengah taut nampak sebuah perahu. Ternyata itu memang perahu ayah mereka. Kedua anak itu berseru mengucap syukur. Ternyata, ayah mereka berhasil menangkap seekor ikan tuna yang sangat besar. Belum pernah ada nelayan lain yang pernah menangkap tuna sebesar itu.

Ayah mereka membawa ikan tuna itu ke tempat pelelangan ikan dan terjual dengan harga tinggi. Pemuda yang membeli ikan tuna besar itu ingin makan di rurnah keluarga Hendrik dan Jansen. Hendrik dan Jansen setuju. Di rumah, Willem dan Irene membawa ikan itu ke dapur untuk dibersihkan. Saat mengeluarkan isi perut ikan, mereka menemukan sebuah cincin berlian. Willem dan Irene menyerahkan cincin itu ke. pada si pemuda pembeli ikan. Pemuda itu kagum mengetahui kejujuran kedua anak tersebut.

“Seandainya mereka tidak menyerahkan cincin itu padaku, aku pun tidak akan tahu kalau ada cincin berlian di dalam perut ikan yang kubeli,” batin si pemuda.

Pemuda itu tersenyum pada Willem dan Irene Lalu, ia membuka jubah yang menutupi pakaiannya. Ternyata, pemuda itu adalah pangeran yang sedang menyamar.

“Kalian anak yang jujur,” katanya.

“Karenanya, mulai besok aku akan mengangkat Willem sebagai pengawal pribadiku. Dan Irene, bagaimana kalau kau kuangkat sebagai adikku?”

Sejak saat itu, Willem dan Irene menjadi anggotz kehormatan kerajaan. Berkat kejujuran, mereka bisa hidup mulia.

***

Diva berhenti baca bukunya.

Cerita bagus asal dari Belanda," kata Diva.

Diva membaca pesan moral yang di tulis buku "Jadilah anak yang baik dan jujur. Sebab Tuhan akan memberikan kebaikan yang lebih dari apa yang telah kita lakukan. Kemudian, doakanlah keselamatan kedua orang tua kita." 

Diva memahami pesan moral yang baru ia baca dengan baik. Diva menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.

"Nonton Tv ah!" kata Diva.

Diva ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama Abangnya Miki yang sedang asik nonton film Unyil.

PEDRO INGIN MASUK SURGA

Jamimah duduk di ruang tengah. Ada buku di meja.

"Buku siapa ya?" kata Jamimah.

Jamimah berpikir dengan baik siapa yang dateng ke rumahnya, ya sekedar main saja gitu. Jamimah inget siapa orangnya dan berkata "Abang Delon."

Jamimah mengambil buku untuk memastikan sesuatu. Ternyata ada sebuah nama di tulis di sampul buku tersebut.

"Delon. Ooooooo bukunya Abang Delon," Jamimah.

Jamimah memutuskan untuk membaca buku, ya jadinya membuka bukunya dan membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Jamimah :

Pedro de Urdemalas, biasa dipanggil dengan Pedro, adalah orang Spanyol. Ia adalah orang yang pandai tetapi memiliki nasib yang kurang beruntung. Pedro telah mencoba berbagai macam pekerjaan tetapi ia tetap hidup dalam kemiskinan. Pedro kemudian mencoba peruntungan dengan mendaftar menjadi prajurit kerajaan Spanyol. Ia berpikir, jika dirinya menjadi prajurit maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang makanan dan tempat tinggal. Pedro kemudian dikirim ke wilayah jajahan Spanyol yang disebut dengan “Dunia Baru”, Amerika Selatan, tepatnya Argentina.      

Pelayaran berbulan-bulan membuat kesehatan Pedro menurun. Ia jatuh sakit selama pelayaran, bahkan ketika sampai di Argentina. Makanan dan sanitasi yang buruk di dalam benteng membuat sakit Pedro bertambah parah. Ia butuh waktu yang lama untuk sembuh. Karier Pedro sebagai prajurit kerajaan Spanyol tidak berlangsung lama. Komandannya merasa kasihan dan membebaskan Pedro dari tugasnya sebagai prajurit. Ia juga tidak lupa memberikan gaji Pedro selama menjadi prajurit. Pedro kemudian menggunakan uang gajinya untuk memulai usaha. Ia membuka toko yang menjual barang kebutuhan sehari-hari di benteng. Tokonya sangat ramai karena barang yang dijualnya sangat lengkap. Selain itu, Pedro juga memperbolehkan pelanggannya untuk berhutang. Toko milik Pedro pada awalnya menghasilkan keuntungan yang sangat baik. Tetapi lama-kelamaan tokonya merugi. Banyak dari pelanggan toko Pedro yang tidak dapat membayar hutang-hutangnya.        

“Maaf, Pedro, sudah tiga bulan ini istriku sakit.”    

“Maaf, Pedro, sudah tiga bulan ini suamiku belum pulang dari berlayar.”   

“Maaf, Pedro, sudah tiga bulan ini aku belum menerima gaji!”    

“Maaf, Pedro...”   

Begitulah alasan-alasan yang didengar Pedro ketika menagih hutang para pelanggan tokonya. Ia ingin memaksa mereka membayar tetapi hatinya terlalu lembut untuk berbuat kekerasan. Akhirnya Pedro terpaksa menutup tokonya. Ia tidak punya modal untuk berdagang. Pedro hanya memiliki uang untuk hidup layak selama tiga hari. Ia benar-benar jatuh miskin. Pedro berusaha untuk memulai berdagang lagi. Ia mendatangi pelanggan-pelanggannya untuk menagih hutang tetapi tidak seorang pun dapat ditemui. Pedro juga mendatangi beberapa kenalannya untuk meminjam uang sebagai modal tetapi ia mengalami nasib yang sama. Tidak seorang pun dapat ditemuinya! Pedro menjadi jengkel. 

Ia pulang ke rumah sambil berulang-ulang berkata, “Saya miskin, saya miskin, tidak ada orang yang mau bertemu denganku, bahkan iblis sekalipun.”       

Iblis mendengar perkataan Pedro dan tidak lama kemudian menampakkan diri. Ia mewujudkan diri sebagai seorang laki-laki tampan yang berpenampilan sebagai orang kaya.        

“Siapa kamu?” tanya Pedro.

“Aku, Iblis,” jawab laki-laki itu.

“Iblis tidak mungkin berpenampilan seperti ini,” jawab Pedro. 

“Lalu bagaimana seharusnya penampilan Iblis itu?”

“Ia harusnya memiliki tanduk di kepalanya, memiliki senyum licik, berkulit merah, berkaki kuda, dan ada ekor di belakangnya,”    

“Seperti ini,” kata Iblis mengubah wujudnya sesuai dengan gambaran Pedro. 

Pedro terkejut melihat perubahan itu. Ia kemudian berkata, “Baik, baik, aku percaya kepadamu! Bisakah kau kembali ke wujudmu di awal. Aku merasa lebih nyaman dengan wujud itu.”

Iblis mengubah wujudnya kembali ke awal bertemu dengan Pedro.

“Kenapa kau memanggil diriku, Pedro? Adakah yang kau inginkan dari diriku?” tanya Iblis.

“Aku adalah orang miskin. Satu-satunya harta yang aku miliki adalah jiwaku. Aku akan menjualnya jika kau mau memberiku modal untuk membuka usaha pandai besi,” jawab Pedro.

“Hanya itu?” 

“Iya, hanya itu.”     

Iblis tertawa mendengarnya dan berkata, “Itu perkara yang mudah, Pedro! Kami bisa memberikan lebih dari itu untuk ditukar dengan jiwamu. Kau bisa memiliki harta dan kekuasaan di dunia yang tiada batas.”     

“Tidak, terima kasih! Aku hanya ingin modal untuk membuka usaha pandai besi! Tidak lebih dan tidak kurang,” jawab Pedro.

“Baiklah, jika itu maumu. Aku akan segera membuat kontrak untuk pertukaran jiwamu dengan modal dari kami.” 

“Tapi bisakah kau menambahkan satu syarat dalam kontrak itu?” sela Pedro. 

“Apa?”

“Jika Iblis datang untuk mengambil jiwaku ketika aku sedang bekerja, maka Iblis harus menunggu sampai aku selesai bekerja.” 

“Ya, ya, ya, aku bisa menambahkan hal itu dalam kontrak kita.”

Dalam sekejap mata, kontrak Pedro dengan Iblis selesai dibuat. Pedro menandatangani kontrak itu dan mendapatkan semua kebutuhannya, mulai dari tempat, alat, dan bahan untuk membuka usaha pandai besi. Pilihan usaha Pedro ternyata tepat. Usaha pandai besinya banyak dikunjungi oleh orang, mulai dari ibu-ibu yang ingin dibuatkan panci sampai prajurit-prajurit yang ingin dibuatkan pedang atau hanya memperbaiki baju zirah mereka. Beberapa di antaranya bahkan harus mengantre beberapa hari untuk mendapatkan pelayanan Pedro. Beberapa waktu kemudian, Santo (St.) Peter, salah satu orang suci dalam agama Kristen Katolik, kehilangan salah satu kunci miliknya. Ia berusaha mencarinya ke mana-mana tetapi tidak juga menemukannya. 

St. Peter lalu berdoa, “Tuhan, hamba telah kehilangan kunci pemberian-Mu, kunci kerajaan Surga. Hamba mohon petunjuk-Mu.”

Tuhan menjawab doa St. Peter, “Temuilah Pedro de Urdemalas, salah satu pandai besi terbaik yang pernah ada. Mintalah kepadanya untuk membuat satu set kunci yang baru.”

St. Peter pergi ke tempat pandai besi milik Pedro. Ia kemudian menyerahkan pola serta ukuran kunci-kuncinya dan meminta Pedro untuk membuatnya. Pedro bergegas menyelesaikan pesanan-pesanan yang tersisa di bengkelnya. Ia juga menolak pesanan-pesanan yang baru datang. Pedro ingin berkonsentrasi penuh mengerjakan kunci-kunci St. Peter. Kunci-kunci pesanan St. Peter diselesaikan Pedro dalam waktu tujuh hari. Hasilnya juga sangat baik dan rapi, bahkan lebih bagus dari kunci aslinya. Pedro kemudian menyerahkan kunci-kunci itu kepada St. Peter. Nampak kegembiraan di wajah St. Peter saat menerima kunci-kunci itu. Tiba-tiba terdengar suara lembut dan berwibawa di dekat Pedro dan St. Peter. 

Rupanya Tuhan tengah bersabda, “Berapa biaya kunci-kunci baru ini, Pedro?”

“Semuanya gratis, Tuhanku,” jawab Pedro.

“Baiklah, tetapi Aku tetap menghargai kerja kerasmu, Pedro!” kata Tuhan.

“Aku akan mengabulkan tiga buah permintaanmu. Sekarang sebutkanlah apa saja permintaanmu,” lanjut Tuhan.

Pedro terdiam dan nampak berpikir dengan keras.

“Permintaan saya yang pertama, saya ingin agar pohon ara yang tumbuh di teras bengkel ini selalu berbuah di sepanjang tahun,” pinta Pedro.

Tiba-tiba saja St. Peter menimpali, “Permintaanmu sederhana sekali, Pedro! Tidak sebanding dengan kerja kerasmu. Aku akan mengundangmu, kamu akan menjadi tamuku di surga.” 

Pedro tersenyum mendengarnya. 

“Permintaan saya yang kedua, saya tidak suka ada orang yang memanjat pohon ara itu. Daun-daun pohon ara itu akan berguguran dan mengotori teras bengkel. Saya terpaksa harus menyapunya berulang kali agar tetap bersih,” kata Pedro. 

“Saya ingin menghukum orang itu agar tidak bisa naik atau turun dari pohon ara dengan perkataan ‘Melekatlah dengan erat’. 

Ia akan melekat erat di pohon itu sampai saya berkata ‘Lepas’,” tambah Pedro.

“Permintaan saya yang ketiga, saya tidak ingin ada seorang pun yang bisa mengusik saya ketika saya duduk, kapan pun dan di mana pun,” lanjut Pedro.

“Baiklah, aku kabulkan semua permintaanmu, Pedro,” kata Tuhan.

Hari terus berlalu sampai tiba saatnya Pedro meninggal dunia.

“Temuilah Pedro, nama lengkapnya Pedro de Urdemalas! Hari ini dia harus memenuhi kontrak yang telah dibuatnya denganku! Dia harus menyerahkan jiwanya, jiwanya! Ha... ha... ha...,” perintah Iblis kepada salah satu anaknya.

Anak Iblis itu segera pergi ke bengkel milik Pedro. Ia menemui Pedro sedang mengerjakan salah satu pesanan.

“Aku adalah suruhan Iblis dan aku datang untuk mengambil jiwamu,” kata Anak Iblis.

“Ya... ya... aku tahu, tapi bisakah kau menungguku sebentar? Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku,” balas Pedro.

Anak Iblis itu mengangkat bahunya dan berkata, “Baiklah, aku tidak masalah menunggumu beberapa saat.”

“Sementara aku bekerja, bagaimana kalau kau mengambil buah ara di pohon itu. Rasanya enak sekali,” ujar Pedro sambil menunjuk pohon ara miliknya.

Anak Iblis itu melihat pohon ara itu. 

“Ide yang bagus,” kata Anak Iblis itu sambil bergegas memanjat pohon ara milik Pedro.

Ketika Anak Iblis itu memanjat sampai di tengah, Pedro berkata, “Melekatlah dengan erat.”

Anak Iblis itu tiba-tiba berhenti memanjat. Seluruh tubuhnya nampak terekat erat dengan pohon ara. Ia nampak kebingungan dengan kejadian yang terjadi. Pedro segera mengambil palu besi dan tanpa ba-bi-bu ia memukuli anak Iblis itu. Pedro bahkan tidak berhenti saat anak Iblis itu melolong-lolong, menjerit kesakitan. Ia berhenti ketika merasa dirinya lelah memukul.       

“Lepas,” kata Pedro dan anak Iblis itu bisa menggerakkan badannya. 

Tetapi karena rasa sakit yang amat sangat, anak Iblis itu tidak bisa memeluk pohon dengan erat sehingga tubuhnya jatuh berdebam ke tanah. Sekali lagi terdengar jeritan kesakitan yang menyayat hati.  Anak Iblis itu melaporkan penyiksaaan yang dialaminya kepada Iblis.         

“Pedro nampaknya mengingkari kontrak yang dibuatnya! Jika dia tidak mau datang maka aku sendiri yang akan mendatanginya,” kata Iblis dengan geram, “Ia tidak tahu dengan siapa ia berurusan.” Dalam sekejap mata Iblis sampai di depan bengkel Pedro.

“Pedro de Urdemalas, aku Iblis dan aku datang untuk menjemput ajalmu!” teriak Iblis.

Pedro keluar dengan terburu-buru. Ia nampak penuh keringat dan berlepotan dengan jelaga. Pedro juga membawa palu dan penjepit yang panas membara.

“Hai Iblis, kenapa kau berteriak-teriak di depan rumahku?” tanya Pedro terengah-engah.

“Pedro, kenapa kau tidak datang kepadaku? Aku telah mengutus anakku sendiri untuk menjemputmu baik-baik tetapi engkau malah menghajarnya habis-habisan. Apakah engkau ingin mengingkari perjanjian yang telah engkau buat sendiri?” jawab Iblis.

“Hai Iblis, apakah anakmu itu bercerita kapan dia datang? Dia datang ketika aku sedang bekerja dan sesuai perjanjian kita, kau tidak dapat mengambil jiwaku jika aku sedang bekerja!” tukas Pedro.

Iblis terdiam mendengar perkataan Pedro.

“Sekarang aku akan menyelesaikan pesanan pedang! Jangan menggangguku dengan teriakan-teriakanmu!” kata Pedro.

“Apakah kau masih lama bekerja?”

“Jika kau terus-menerus menggangguku maka pekerjaanku tidak akan selesai dan kau akan menunggu lebih lama untuk mendapatkan jiwaku.” 

Iblis kembali terdiam.          

“Daripada kau berdiam diri seperti itu, kau bisa mengambilkan aku beberapa buah ara. Aku belum makan sejak pagi dan kerjaku melambat jika aku kelaparan,” kata Pedro. 
        
Iblis mengambil beberapa buah ara yang dapat dijangkaunya.
          
“Jangan ambil buah yang itu. Ia masih muda dan rasanya tidak enak. Kau harus mengambil buah yang ada di atasnya. Kau harus memanjat, Iblis!” perintah Pedro. 

Iblis mengikuti perintah Pedro. Ia mulai memanjat pohon untuk mencari buah ara yang lebih baik.          Pedro tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. 

Ia berkata, “Melekatlah dengan erat.”

Iblis pun melekat erat pada pohon ara. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri tetapi semakin kuat ia berusaha semakin kuat pula ia melekat pada pohon itu.            

Pedro kemudian mendekati pohon ara itu dengan membawa palu dan penjepit baja yang sedang membara. Iblis tahu apa yang bakal terjadi. Ia telah melihat sendiri bagaimana siksaan Pedro kepada anaknya.           

“Berhenti, Pedro! Berhenti, Pedro!” teriak Iblis ketakutan. 

“Aku telah melihat bekas siksaan palumu terhadap anakku. Sekarang kau ingin menyiksaku dengan palu dan penjepit bajamu yang membara itu? Aku tidak ingin mati, Pedro! Aku tidak ingin mati!” kata Iblis merengek.

Pedro tersenyum mendengar rengekan Iblis. Ia maju perlahan sambil mengangkat palu dan penjepit baja yang membara.         

“Berhenti, Pedro! Berhenti! Jangan kau teruskan langkahmu! Aku akan mengabulkan semua permintaanmu!” kata Iblis mengiba.
          
“Apa kau ingin membatalkan semua perjanjian kita? Kau bisa bebas asal jangan menyiksaku. Tolonglah, akan aku lakukan apa pun untuk kebebasanku,” lanjut Iblis. 

“Lepas,” kata Pedro. 

Iblis mulai bisa menggerakkan badannya dan beranjak turun. Ia kemudian mengambil surat perjanjian Pedro dan merobeknya menjadi potongan-potongan kecil. Iblis pulang dengan tangan hampa. Pedro kemudian mengumpulkan semua teman dan kenalan-kenalannya. Ia akan menyampaikan permintaan terakhirnya.          

“Ajalku sudah hampir tiba. Jika aku meninggal nanti, aku ingin palu dan penjepit bajaku dikubur bersamaku,” kata Pedro. 

Ramalan Pedro ternyata benar. Ia meninggal keesokan harinya dan dimakamkan sesuai dengan permintaannya, bersama palu dan penjepit bajanya. Pedro sampai di akhirat. Ia kemudian berjalan naik ke pintu gerbang Surga dan mengetuknya dengan palu.          

“Siapa di luar?” tanya St. Peter dari balik pintu gerbang Surga.

“Saya, Pedro de Urdemalas,” jawab Pedro, “Bisakah saya masuk?”

“Tunggu sebentar,” kata St. Peter.

Ia kemudian mencari nama Peter dalam daftar orang-orang yang masuk ke dalam Surga.

“Maaf, Pedro, namamu tidak tercantum dalam daftar ini. Kau tidak bisa masuk ke Surga,” kata St. Peter. 

“Bagaimana bisa? Apakah karena saya pernah membuat perjanjian dengan Iblis? Perjanjian itu sudah tidak berlaku lagi sekarang, Iblis telah membatalkannya,” bantah Pedro.

“Aku tidak tahu, Pedro! Bukan aku yang memutuskan,” jawab St. Peter.

“Hei, suaramu tampak tidak asinng bagiku. Bukankah kau St. Peter, pemegang kunci kerajaan Surga?” tanya Pedro.

“Benar, aku adalah St. Peter,” jawab St. Peter.

“Bukankah kamu pernah berkata aku boleh menjadi tamumu di Surga?”

“Iya, tetapi itu bukan permintaanmu, Pedro! Namamu tidak ada di dalam daftar ini dan itu berarti kamu harus ke Neraka! Sekarang pergilah ke Neraka.”
           
Pedro kemudian pergi ke Neraka. Ia kemudian membuat tanda salib dengan palu dan penjepit bajanya. Iblis dan anak buahnya yang melihat hal itu langsung lari lintang pukang ke dalam Neraka dan menutup gerbang Neraka erat-erat.           

Pedro kembali ke gerbang Surga dan berkata, “St. Peter, aku tidak bertemu seorang pun di gerbang Neraka. Semua berlarian masuk ke dalam Neraka saat aku datang. Mereka juga menutup gerbang Neraka sangat erat. Sekarang bagaimana nasibku?” tanya Pedro.

St. Peter kebingungan. Ia tidak dapat membiarkan Pedro terombang-ambing antara Surga dan Neraka. St. Peter kemudian meminta bantuan Bunda Maria.          

“Baiklah, aku sendiri yang akan mengantar Pedro ke Neraka,” kata Bunda Maria. 

Ia kemudian memberi tanda kepada Pedro untuk berjalan mengikutinya. Ketika mereka sampai di gerbang Neraka, Pedro secara sembunyi-sembunyi membuat tanda salib dengan palu dan penjepit bajanya di balik punggung Bunda Maria. Iblis dan anak buahnya yang melihat lambang itu langsung lari berhamburan ke dalam Neraka. Mereka lalu mengunci gerbangnya rapat-rapat.         

“Pedro, kenapa mereka semua berlari menghindari kita?” tanya Bunda Maria keheranan.

Pedro mengangkat kedua pundaknya, tanda tidak tahu.         

“Aku akan menanyakan hal ini kepada Tuhan di Surga. Tunggulah di sini!” kata Bunda Maria.

 “Maaf, Bunda, apakah Bunda tega membiarkan saya menunggu di tempat seperti ini? Tempat ini gelap dan panas,” kata Pedro dengan nada sedih.

Bunda Maria melihat ke sekeliling dan berkata kepada Pedro, “Baiklah, kau boleh ikut aku ke Surga tetapi kau hanya boleh menunggu di depan gerbang Surga.”

“Terima kasih, Bunda.” 

Mereka kemudian kembali ke Surga. Bunda Maria menyiapkan sebuah kursi di depan gerbang surga dan menyuruh Pedro untuk menunggunya di sana. Pedro menurut dan duduk di kursi itu. Bunda Maria beranjak masuk ke dalam Surga dan ketika hendak menutup gerbang Surga tiba-tiba terdengar teriakan, “Aduh, jariku!”          

Bunda Maria terkejut. Ia melihat jemari Pedro menyelip di antara gerbang Surga. Bunda Maria khawatir dengan jari-jari Pedro. Ia kemudian membuka gerbang sedikit lebih lebar agar Pedro dapat menarik jarinya. Tetapi yang terjadi malah Pedro menjulurkan kepalanya.         

“Aduh, kepalaku!”

Bunda Maria terpaksa membuka gerbang Surga lebih lebar lagi. Pedro tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia miringkan badannya, masuk ke dalam surga, dan duduk di kursi St. Peter yang saat itu sedang kosong. St. Peter terkejut saat mendapati Pedro sedang duduk di kursinya. Ia berusaha dengan segala macam cara untuk mengusirnya tetapi Pedro tetap tidak bergeming dari tempat duduknya. St. Peter kemudian mengadukan masalah ini kepada Tuhan.          

“Peter, apakah kau lupa apa permintaan Pedro yang ketiga? Ia ingin agar tidak ada seorang pun yang dapat mengusiknya ketika ia duduk, di mana pun dan kapan pun,” jawab Tuhan.

Pedro akhirnya tinggal di surga. 

***
Jamimah selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus, ya asalnya dari Argentina," kata Jamimah.

Jamimah menutup buku dan menaruh buku di meja.

"Abang Delon....main kesini lagi. Aku pulangkan bukunya!" kata Jamimah.

Jamimah teringat sesuatu "Aku ada janji latihan dengan Janna. Latihan menyanyi," kata Jamimah.

Jamimah beranjak dari duduknya di ruang tengah, ya ke kamar untuk ganti pakaian. Setelah itu Jamimah keluar dari rumah, ya ke rumah Janna dengan menggunakan motor metic lah.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK