CAMPUR ADUK

Thursday, July 29, 2021

FENELLA DAN LEPRECHAUN

Caca sedang asik baca bukunya di kamarnya, ya buku yang ia pinjam dari temannya Anrez.

Isi buku yang di baca Caca :

Fenella duduk di depan jendela. Dia menatap rerimbunan pohon nun jauh di sana. Dia mulai berpikir, apa saja yang ada di dalam hutan itu? Apakah Leprechaun juga hidup di sana? Tapi benarkah peri itu ada, atau hanya dongeng yang diceritakan Miss Halona kepadanya dan kawan-kawannya. Kalau memang Leprechaun ada, Fenella ingin sekali menangkap satu dari mereka agar mereka dapat mengabulkan tiga permintaanya.

“Fenella...” Sebuah suara memanggilnya. Fenella memalingkan wajahnya. Miss Halona terlihat melambaikan tangan sambil tersenyum hangat. “Kita akan berjalan-jalan. Kau mau ikut?” lanjut perempuan bertubuh besar itu.

Fennela melompat ke lantai. Dengan kedua tangannya dia berjalan menyangga tubuh mungilnya. Miss Halona menyambut gadis kecil tak berkaki itu dengan kedua tangannya. Dia mengangkat Fenella lalu meletakkannya di sebuah kursi roda mini, yang sudah dia siapkan. Mereka meluncur menuruni tangga asrama. Di halaman, teman-temannya yang lain sudah siap dengan perbekalan masing-masing. Hari ini mereka akan piknik ke sebuah taman di pinggir hutan. Wuih ... sangat menyenangkan!

“Udara pagi yang segar. Mentari bersinar cerah.

Burung-burung bernyanyi dengan gembira…”

Miss Halona mulai bersenandung. Anak-anak kecil berwajah ceria mulai bernyanyi bersama. Suaranya riang dan gembira. Kadang mereka menari mengikuti alunan nada. Mereka berputar bergantian dengan berpegangan satu sama lain.

“Jaga barisan, jangan sampai ada yang bergerak terlalu jauh.” Kali ini Miss Maisie yang memberi peringatan. Dia berjalan paling belakang, memantau anak-anak agar tidak tertinggal.

“Kita berbelok ke kanan.” Miss Halona memberi aba-aba. Dia pun mendorong kursi roda Fenella. Gadis kecil nan mungil itu ikut larut dalam suka cita. Mulutnya tak henti berdendang. Setelah sekian lama berjalan, sampailah mereka di sebuah padang rumput yang lapang. Ada bunga-bunga cantik bermekaran.

“Wow, indah sekali tempat ini,” Fenella berteriak girang.

Teman-temannya yang lain sudah berlari-lari sambil tertawa riang. Miss Halona mengangkat Fenella dan meletakkannya di atas rumput. Fenella segera berlari menggunakan kedua tangannya, menyusul teman-temannya. Dia meninggalkan kursi rodanya begitu saja. Kali ini dia tidak sedang memerlukannya.

“Ingat, jangan terlalu jauh bermain. Tidak ada yang boleh masuk ke dalam hutan,” Miss Meisie berteriak lantang. Seperti tak mendengar teriakan Miss Meisie, anak-anak itu berkejaran tanpa henti. Fenella tampak tidak ingin ketinggalan. Walaupun fisiknya tidak sempurna seperti yang lain, namun dia bisa melakukan semua yang dilakukan oleh kawan-kawannya. Kali ini, mereka bermain sembunyi endap.

Permainan sudah dimulai. Semua anak berlari mencari tempat persembunyian masing-masing. Fenella buru-buru mengayuh tubuhnya. Tangannya bergerak lincah memindahkan tubuh mungilnya. Ia bersembunyi di rerimbunan belukar. Napasnya terengah-angah. Wajahnya memerah. Sesekali dia mengintip seorang temannya, yang sedang berjaga-jaga di sebuah pohon.

Tiba-tiba, ia dikagetkan oleh suara gemerisik daun. Dia mulai khawatir jika ada binatang buas di sekitar sini. Fenella spontan menajamkan pendengarannya. Kali ini dia seperti mendengar suara palu yang dipukul. Suara itu memang tidak terlalu keras, namun Fenella dapat mendengarnya dengan jelas. Fenella mulai penasaran. Dia bergerak hati-hati, mencari sumber suara. Disibaknya segerombol tanaman perdu yang menghalangi penglihatannya. Serta merta dia melihat siluet kecil berwarna hijau. Rasa penasarannya semakin menjadi. Makhluk apakah itu? Apakah dia Leprechaun yang selama ini dia cari? Tanyanya pada diri sendiri. Hore!!! Fenella menjerit dalam hati. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan ini. Dia harus tahu, mengapa orang tuanya membuangnya di panti asuhan. Jika dia bisa menangkap Leprechaun ini, dia akan minta tolong untuk dipertemukan dengan orang tuanya.

Fenella berjalan dengan sangat hati-hati, mendekati siluet itu. Dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dia takut, siluet itu akan pergi menjauh. Ketika sudah cukup dekat, Fenella dapat melihat dengan jelas sesosok makhluk kerdil berpakaian hijau, topi lebarnya juga berwarna hijau, tali pinggangnya besar berwarna hitam, dan dia sedang duduk membelakangi Fenella. Fenella tidak tau apa yang makhluk itu sedang lakukan. Namun, dia seperti memukulkan palu pada benda yang sedang dipegangnya. Jantung Fenella seakan berhenti berdetak, menahan rasa gugup yang tidak terkira. Sudah lama dia menantikan ssat ini, jadi dia tidak boleh melakukan kesalahan.

Fenella melangkah dengan sangat pelan. Lalu, dengan kedua tangannya yang kotor karena memijak tanah, dia memeluk makhluk itu erat-erat. Fenella juga melepas topi hijau milik makhluk mungil itu dengan cekatan. Dia teringat cerita Miss Halona, makhluk itu bisa menghilang atau berpindah tempat dalam sekejap, jika topi itu masih ada di kepalanya.

“Kena kau,” teriak Fenella, sambil memeluk makhluk hijau itu erat-erat. Makhluk mungil itu meronta namun, Fenella memeluknya erat. Dia tidak ingin kehilangan makhluk itu sebelum dia mengajukan tiga permintaannya.

Makhluk kerdil yang berada dalam dekapan Fenella meronta-ronta, hingga dia menjatuhkan koin emas dari kantongnya. Fenella lalu memungutnya dengan sebelah tangan. Ternyata koin-koin itu tidak disimpan di ujung pelangi, pikir Fenella. Kini, ia bisa memilikinya tanpa perlu mengambilnya ke ujung pelangi.

“Baiklah, sekarang kembalikan topiku dan lepaskanlah aku. Sebagai imbalannya, aku akan mengabulkan tiga permintaanmu,” makhluk hijau itu berkata dengan suaranya yang riang.

“Aku ingin bertemu dengan orang tuaku, aku ingin tahu mengapa mereka membuangku, dan aku ingin berkumpul serta hidup bahagia dengan mereka,” kata Fenella dalam satu tarikan nafas.

Perlahan, dia mulai mengendurkan pelukannya pada makhluk hijau itu. Fenella memerhatikan makhluk kecil dihadapannya. Fenella ingat, Miss Halona pernah bercerita tentang Leprechaun yang berbentuk menyerupai lelaki tua berjenggot dengan wajah yang menyeramkan. Tapi, makhluk hijau di hadapannya justru berwajah ceria dan tersenyum ramah. Hal ini membuat Fenella tidak merasa takut lagi. Makhluk itu kemudian mengambil topinya dan memasangnya kembali. Dia mengangkat alisnya lalu tersenyum lebar.

“Eeemmm, seekor harimau tidak akan memangsa anaknya sendiri,” katanya lagi, sambil terkekeh-kekeh. Fenella terdiam, tidak ada yang lucu, tapi makhluk kecil ini tertawa terkekeh-kekeh. Dia juga tidak berkata tentang harimau yang tidak akan memangsa anaknya.

“Eeemmm… baiklah. Aku akan mempertemukanmu dengan orang tuamu.” Mulut makhluk itu komat –kamit, mengucapkan sesuatu. Kata-kata yang terlontar terdengar seperti mantra-mantra di telinga Fenella. Ketika makhluk mungil itu selesai dengan kata-katanya, tiba-tiba apa yang ada di hadapan Fennela berubah. Dia melihat seorang wanita cantik yang berdiri di sisi jendela. Pandangannya kosong. Air mata tampak meleleh di pipinya. Wajahnya mirip dirinya. Fenella terbeliak. Inikah Ibuku, batin Fenella.

Fenella belum sempat melakukan sesuatu, ketika pandangannya kembali berubah. Seorang wanita berambut merah dengan dandanan tebal tampak membawa sebuah bungkusan. Dia menyerahkan bungkusan itu ke tangan lelaki setengah baya sambil berkata, “Aku sudah mengatakan pada Angus kalau bayinya sudah meninggal. Sekarang, kau bawa bayi cacat ini ke panti asuhan. Aku tidak sudi memiliki cucu perempuan, apalagi cacat.”

Fenella melihat kejadian itu dengan mata berlinang. Ternyata, Neneknya yang telah membuangnya. Angus, apakah itu nama Ayahnya?

Tiba-tiba, pandangan matanya kembali hijau. Pohon-pohon besar dan tanaman perdu nyata terlihat di depan mata. Fenella menggeleng-gelengkan kepala. Seraut wajah bulat, bertahi lalat di atas alis, tersenyum lebar di hadapannya.  “Rupanya,kau di sini Fenella, kami mencarimu dari tadi. Teman-temanmu sudah bersiap-siap untuk pulang.” Fenella tersentak. Dia spontan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia masih di dalam hutan. Jadi, kejadian tadi itu apa, pikirnya. Fenella hanya bisa pasrah ketika Miss Halona mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di kursi roda mungilnya.

Mereka kembali berbaris untuk kembali ke panti asuhan. Sepanjang perjalanan Fenella diam, merenung. Kejadian yang baru saja dia alami, sebuah kenyataan atau hanya lamunannya saja. Perlahan, dia membuka genggaman tangannya. Koin emas. Kini, dia yakin, dia tidak sedang melamun atau bermimpi. Kejadian itu benar-benar terjadi.

Fenella mendongak sebentar. Dia ingin menanyakan sesuatu pada Miss Halona yang mendorong kursi rodanya. Sesaat, dia memerhatikan wajah bulat berseri itu. Apakah ini waktu yang tepat? tanya Fenella dalam hati. Namun, dia segera mengabaikan pertanyaannya sendiri. Dia ingin tahu lebih cepat.

“Miss Halona, bolehkan aku tahu sesuatu?” tanya Fenella, pelan. Miss Halona sepertinya tidak mendengar pertanyaan Fenella. Hingar bingar suara anak-anak yang lain seolah menelan suara Fenella yang lirih. Fenella lantas mengusap lengan Miss Halona, dan wanita bertubuh tambun itu segera menoleh ke arahnya.

“Ada apa, Fenella?” suaranya kecil dan lembut.

“Siapa sebenarnya orang tuaku?”

Miss Halona menghentikan langkah, menatap mata Fenella yang tengadah, seolah bertanya mengapa mereka berhenti. Miss Halona kembali mendorong kursi roda Fenella, pelan.

“Miss Halona, mengapa Anda tidak mau menjawab pertanyaanku?” tanya Fenella lagi.

Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fenella, Miss Halona berkata, “Kau tanyakan saja pada Ibu asrama. Saya tidak punya hak untuk menjawab pertanyaanmu itu, Nak.” Fenella terdiam, dia semakin merasakan guncangan di tubuhnya. Rupanya, Miss Halona setengah berlari mendorong kursi rodanya karena mereka sudah tertinggal dari anak-anak yang lain.

Sesampai di asrama, mereka semua membersihkan diri dan bersiap untuk istirahat siang. Namun, tidak demikian dengan Fenella. Dia segera menuju ke ruang Ibu asrama. Dia mengetuk pintu, perlahan, hingga terdengar suara serak Ibu asrama dari dalam. Fenella mendorong pintu itu lalu masuk. Ibu asrama menurunkan kaca mata bulat kecil ke hidungnya yang panjang. Perempuan setengah bungkuk itu tersenyum hangat melihat Fenella masuk.

“Ada apa, anakku, Fenella?”

“Maaf, Miss Humfrey, saya ingin menanyakan sesuatu kepada Anda. Sudah lama saya menyimpan pertanyaan ini. Saya berharap, Anda bersedia menjawabnya,” Fenella diam beberapa saat. Dia tidak melihat reaksi apa-apa di wajah Miss Humfrey. Wajah itu tetap datar. Fenella menghela napas, memberanikan diri bertanya, “Sebenarnya, aku ingin tahu siapa kedua orang tuaku.”

Kali ini, Fenella seolah melihat kilat di mata Miss Humfrey. Wanita setengah baya itu menelan ludahnya. Dia terdiam cukup lama. Dia berpikir, apakah dia harus memberitahu siapa sebenarnya orang tua Fenella? Tapi, itu adalah rahasia yang harus tetap dijaganya sampai mati. Itu adalah janji yang sudah dia ucapkan kepada Nenek gadis kecil ini.

Fenella melihat keengganan Miss Humfrey, maka dia kembali bertanya, “Apakah Ayahku bernama Angus?”

Miss Humfey terkejut. Dia menatap Fenella. Hatinya bertanya-tanya, dari mana anak ini tahu nama itu. Tidak ada seorang pun di panti ini yang tahu asal usul Fenella, kecuali dirinya. Miss Halona dan Miss Meisie pun tidak.

Fenella menunggu jawaban Miss Humfrey dengan sabar. Namun, wanita di hadapannya itu tetap diam.

“Saya mohon Miss Humfey, mengganguklah jika apa yang saya katakan itu benar,” pinta Fenella.

Miss Humfrey tidak ingin ingin melanggar janji. Sebuah janji untuk tidak membuka rahasia keluarga Fenella, yang masih keturunan istana Longhore. Tetapi, dia juga tidak tega melihat gadis cilik di hadapannya, yang sedari tadi menatapnya dengan iba. Akhirnya, Miss Humfey mengangguk pelan.

“Apakah Anda tahu, di mana mereka tinggal Miss Humfrey?” tanya Fenella.

Miss Humfrey menarik nafas dalam. “Saya tidak bisa mengatakannya padamu, Nak. Semoga takdir mempertemukan kalian kelak.” Miss Humfrey menundukkan wajahnya. Dia semakin tidak tega melihat Fenella menjauh dari meja kerjanya dengan kursi roda mungilnya. Fenella merasa semua orang di sini menyembunyikan asal usulnya. Dia tahu jika tidak ada yang bisa dia harapkan di sini. Dia yakin Miss Humfrey tidak akan mengatakan asal-usulnya. Maka, Fenella bertekad untuk mencarinya sendiri meski dia tidak tahu bagaimana caranya.

Sore itu angin bertiup semilir. Langit penuh awan putih. Seekor burung melintas rendah di bawah jendela. Fenella sedang berdiri di samping jendela kamarnya. Dari jendela kamarnya, dia bisa melihat seorang bocah kecil sedang menapaki tangga asrama bersama laki-laki setengah baya dan wanita bertopi bulat, dengan warna yang lembut. Bocah kecil itu tampak seumuran dengannya. Sesampai di depan pintu asrama, lelaki setengah baya itu membunyikan bel. Mereka berdiri di sana cukup lama. Lelaki tua itu mengangkat tangannya untuk menekan bel di pintu lagi. Fenella memerhatikan mereka dengan rasa ingin tahu. Jarak yang cukup jauh membuatnya tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Dia berpikir, bocah itu mungkin akan dititipkan di panti asuhan ini, sama seperti dirinya dan teman-teman yang lain.

Fenella menarik nafas pelan. Dia tidak habis pikir, mengapa ada orang tua yang tega membuang anaknya. Fenella teringat pengalamannya tadi siang. Sangat wajar jika Neneknya membuang dirinya yang cacat. Tapi, teman-temannya yang lain? Tubuh mereka sempurna. Mereka punya tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya. Mereka cantik dan tampan. Mengapa orang tua mereka tega melakukannya? Butiran bening air mata mulai membasahi pipi Fenella. Fenella menundukkan wajahnya. Perlahan dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. Mungkin, di sini memang tempat terbaikku. Aku harus melupakan orang tuaku. Masih ada Miss Halona, Miss Meisie, dan Miss Humfrey yang sayang padanya, batinnya. Fenella pun tersenyum. Dia melihat keluar jendela lagi. Bocah laki-laki, lelaki setengah baya, dan perempuan bertopi itu sudah tidak dilihatnya lagi. Sepertinya Miss Halona sudah mempersilakan mereka masuk.

“Fenella, ada tamu untukmu.” Miss Humfrey datang dengan langkah tergesa.

“Tamu?” Fenella tertegun. Selama sembilan tahun di tempat ini, tidak pernah seorang pun datang mengunjunginya. Jantung Fenella berdetak lebih kencang. Ia senang, juga penasaran. Dia menemui tamunya di ruangan depan dengan ditemani oleh Miss Humfrey.

Fenella berhenti mengayuh. Tatapan matanya beradu dengan tatapan lembut seorang wanita bertopi bulat. Wanita itu, bukankah dia, wanita yang berdiri di depan jendela. Oh Tuhan, inikah Ibunya? Dan, laki-laki di sebelahnya, apakah dia Mr. Angus, Ayahnya? Lalu, siapa bocah lelaki itu? Wajahnya nyaris serupa dengannya. Mungkinkah dia saudaranya? Dia punya saudara? Benarkah mereka keluarganya?

Ketiga orang itu memandangi Fenella dengan pikiran mereka masing-masing. Sesaat kemudian, wanita bertopi itu berjalan, mendekati Fenella. Dia pun segera memeluk gadis mungil itu, erat.

“Anakku ... akhirnya kami menemukanmu,” isaknya. Air matanya menetes di bahu Fenella. Fenella memejamkan mata. Dia ingin merasakan pelukan ini selamanya. Pelukan seorang ibu sungguh nikmat tiada-tara.

“Oh, alangkah berdosanya ibu, Nak. Ibu tidak mengetahui keberadaanmu selama ini.” Wanita cantik itu sesenggukan. “Ibu sudah tahu kalau kalian terlahir kembar. Meski dokter mengatakan kalau salah satu di antara kalian akan terlahir cacat. Tapi, ibu bisa menerimanya,Anakku. Sayangnya, Nenekmu tidak. Dia mengatakan kalau kau lahir dalam keadaan meninggal. Ternyata kau hidup. Nenekmu sudah mengutus orang untuk membawamu kemari, Nak. Maafkan ibu Nak.”

Wanita itu terus menangis. Lelaki setengah baya itu ikut mendekat, diikuti bocah laki-laki yang mirip dengannya. Mereka memeluk Fenella, hangat.

“Maafkan ayah juga, Nak. Ayah tidak dapat menjagamu dengan baik, sehingga Nenekmu bisa membawamu pergi ke tempat ini. Seperti apapun keadaanmu, kami akan tetap menyayangimu, Anakku.”

Fenella tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Dia pun menangis bahagia.

“Tidak ada yang bisa memisahkan kita lagi, Saudaraku. Aku akan menjagamu,” kata Finley, saudara kembarnya, sambil tersenyum. Fenella ikut tersenyum. Dia tidak menyangka jika dia mempunyai saudara kembar laki-laki.

Miss Humfrey ikut menitikkan air mata di belakang mereka. Ia tidak menduga keluarga Fennela akan datang menjemput gadis mungil itu. Miss Halona dan Miss Meisie ikut terharu. Mereka berpegangan tangan dan tersenyum. Mereka turut merasakan kebahagiaan Fenella.

Sementara itu di sudut ruangan, Fenella melihat bayangan hijau kecil berkelebat cepat. Ekor matanya mengikuti bayangan itu. Leprechaun, Fenella mengingat permintaannya pada peri kecil itu. Sekarang, peri itu telah memenuhi janjinya. Dia bisa bertemu dengan keluarganya. Bersamaan dengan bunyi “flop”, bayangan hijau itu menghilang, meninggalkan senyum riang dan kebahagiaan bagi keluarga Fenella. 

***

Caca selesai membaca bukunya, ya buku di taruh di meja. 

"Cerita yang bagus asal ceritanya dari Irlandia," kata Caca.

Caca keluar dari kamarnya, ya ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama ibu dan ayah sedang asik nonton acara lawak yang paling populer....OVJ.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK