CAMPUR ADUK

Saturday, August 14, 2021

DOSA

Hari minggu. Kasino di halaman belakang sedang merawat tanaman di potnya dengan baik. Dono di ruang tamu sedang membaca buku. Indro di ruang tengah sedang asik nonton Tv.

"Acara Tv...bagus," kata Indro.

Indro terus menonton Tv yang acara Tv bagus gitu. Sampai akhirnya acara Tv, ya film selesai gitu. Tv di matikan sama Indro. Ya Indro pindah duduknya ke ruang tamu.

"Don," kata Indro.

Dono berhenti baca bukunya "Apa?"

"Aku ingin bertanya sesuatu Don!" kata Indro.

"Tentang apa...Indro?" kata Dono.

"Dosa. Don!" kata Indro.

"Dosa!" kata Dono berpikir dengan baik maksud dari omongan Indro.

"Don. Siapa yang paling banyak berdosa di muka bumi ini dan siapa yang tidak memiliki dosa.....Don?" tanya Indro dengan baik ke Dono.

"Yang paling banyak sih orang telah membangun pradaban dunia ini. Banyak pradaban di bangun dari fakta dan mitos. Bisa di bilang si....orang tua saja lah, ya lulur sih maksudnya! Sedang yang tidak punya dosa, ya anak bayi yang baru lahir!" kata Dono.

"Jadi. Orang tua saja yang banyak dosanya karena menjalankan hidup lebih dulu dari kita. Generasi selanjutnya mengikuti dari dosa itu. Karena peradaban di bangun dari fakta dan mitos," kata Indro

"Semua itu ada alasannya...Indro. Kadang kebohongan di buat tujuannya mendidik anak agar jadi baik, ya seperti cerita yang di buat ketakutan sih. Contohnya : kaya Film horor saja....Indro!" kata Dono.

"Kebohongan itu salah, ya Dosa. Untung saja Dono membuktikan kebenaran dengan proses penelitian yang panjang sampai ajal itu mendekat. Dono menceritakan kejujuran dengan baik," kata Indro.

"Tetap saja Indro. Mana ada percaya dengan kejujuran aku. Tetap aku di bilang pembohong besar," kata Dono.

"Hal yang mustahil tidak bisa di buktikan sama manusia yang lain. Cuma Dono sendiri yang bisa membuktikan hal mustahil dan akhirnya di ceritakan tentang kebenaran awal dan akhir dari peradaban manusia," kata Indro.

"Kenapa manusia menjalankan hidup ini dan memilih ajaran untuk dirinya, keluarga dan orang lain....?Berdasarkan keyakinan saja!" kata Dono.

"Dari sekian anak cucu adam. Lahirlah satu yang dapat membuktikan kebenaran awal dan akhir," kata Indro.

"Ketika aku mati. Maka akan lahir kembali dari anak cucu adam, ya membuktikan kebenaran awal dan akhir," kata Dono.

"Siklus terus seperti itu dengan baik!" kata Indro.

"Emmmm," kata Dono.

"Ajaran Dono. Tidak pernah di tulis di sejarah maupun di kitab ajaran agama pun. Karena itu manusia menolak," kata Indro.

"Semua itu karena kata Nabi Terakhir. Jadi tidak ada jawaban lagi. Mutlaklah...Nabi Terakhir membuktikan kebenaran ajaran," kata Dono.

"Kalau ada Nabi lagi tetap di anggap pembohong besar. Semua karena kata Nabi Terakhir," kata Indro.

"Emmmm," kata Dono.

"Ya sudahlah Don. Tidak perlu di bahas lebih jauh lagi. Sekedar obrolan saja!" kata Indro.

"Emmmm," kata Indro.

"Aku main game di Hp ku!" kata Indro.

"Emmmm," kata Dono.

Dono melanjutkan baca bukunya dengan baik. Indro main game di Hp-nya dengan baik pula lah. Ya Kasino, ya telah selesai dari merawat tanaman di potnya dengan baik. Kasino duduk santai, ya sambil menikmati minum teh dan juga makan keripik singkong yang enak banget.

DITINGGAL PAS SAYANG SAYANGE

Indro duduk di halaman belakang sedang main gitar dan menyanyikan lagu dengan judul Ditinggal Pas Sayang Sayange. Dono menemani Indro, ya menyanyi.

Lirik lagu yang dinyanyikan Indro dan Dono :

Loro rasane ati
Nganti ra biso lali
Tresno tulus songko ati dilarani
Kowe janji tresno tulus songko ati
Nyatane kowe gawe loro ati
Piye kabarmu sayang
Opo kowe eling aku
Biyen sing mbok tinggal tanpo mesakne
Kowe ninggal aku pas sayang sayange
Lungamu ninggal tatu neng atiku
Tatu neng atiku loro rasane
Nganti koyo diiris iris rasane
Mergo naliko aku sayang sayange
Kowe mutus tresno cukup sakmene
Keronto ronto ati rasane
Koyo ra biso tak ibaratake
Amung mergo masalah sing sepele
Kowe nduwe tresno liyane
Loro rasane ati
Nganti ra biso lali
Tresno tulus songko ati dilarani
Kowe janji tresno tulus songko ati
Nyatane kowe gawe loro ati
Piye kabarmu sayang
Opo kowe eling aku
Biyen sing mbok tinggal tanpo mesakne
Kowe ninggal aku pas sayang sayange
Lungamu ninggal tatu neng atiku
Tatu neng atiku loro rasane
Nganti koyo diiris iris rasane
Mergo naliko aku sayang sayange
Kowe mutus tresno cukup sakmene
Keronto ronto ati rasane
Koyo ra biso tak ibaratake
Amung mergo masalah sing sepele
Kowe nduwe tresno liyane

Indro selesai main gitar dan menyanyinya.

"Don," kata Indro.

"Apa?" kata Dono.

"Ditinggal Pas Sayang Sayange. Sakit banget ya Don?!" kata Indro.

"Sakit banget," kata Dono.

"Dia telah tidur selamanya, ya kan Don?!" kata Indro.

"Iya," kata Dono.

"Wulan. Cewek yang baik. Sudah Qodarnya, ya mau di kata apa kan Don?!' kata Indro.

"Iya. Kalau ngobrolin Wulan. Luka lama terbuka kembali," kata Dono.

"Maaf. Aku cuma sekedar nyanyi saja Don dan juga mengkaitkan dengan obrolan saja!" kata Indro.

"Ya, aku maafkan," kata Dono.

"Cewek itu paling jengkel kalau membicarakan cewek yang lebih baik dari dirinya," kata Indro.

"Iyalah. Contohnya. Aku suka sama Rara. Ada cewek temennya Rara, Selfi sajalah....sebenarnya aku juga sama Selfi juga tapi tersamarkan gitu. Aku memuji Selfi di depan Rara. Selfi lebih baik dari Rara gitu. Otomatislah Rara jengkel sama aku," kata Dono menjelaskan.

"Kalau begitu sih. Aku sering memuji Saskia dengan baiklah. Tidak akan membandingkan dengan cewek lain. Agar Saskia tidak akan marah dengan ku. Kalau sampai marah. Saskia milih cowok lain. Aku Ditinggal Pas Sayang Sayange," kata Indro.

"Padahal banyak cerita. Cowok yang meninggalkan cewek. Cewek sakit hatilah," kata Dono.

"Iya deh. Dono yang sering nulis cerita. Tahu tentang banyak cerita ini dan itu," kata Indro.

"Hanya sekedar saja membuat cerita di Blog," kata Dono dengan tegas.

"Ya sudah Don. Tidak perlu di bahas panjang lebar lagi. Aku berhenti main gitar dan juga menyanyi. Biasa main game di Hp ku!" kata Indro.

Indro menaruh gitar di meja dan segera main game di Hp-nya.

"Kalau begitu aku baca buku saja!" kata Dono.

Dono mengambil bukunya di meja dan segera di baca dengan baik. Keduanya di halaman belakang, ya tetap menikmati keadaan yang tenang. Sedangkan Kasino di ruang tengah, ya sedang nonton Tv. Acara Tv yang di tonton dengan baik, ya perlombaan menyanyi sih...dangdut gitu.

KERA DAN AYAM

Lily selesai bermain dengan adiknya Lulu di ruang tengah. Lily duduk santai di ruang tamu, ya membaca buku cerita yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah sih.

Isi buku yang di baca Lily :

Kisah kera dan ayam, merupakan cerita rakyat daerah Sulawesi Tenggara. Menceritakan hubungan pertemanan antara kera, ayam dan kepiting. Kera memiliki sifat selalu usil terhadap ayam, sehingga ayam dan kepiting bersekongkol untuk memberi pelajaran pada kera.

Dikisahkan di suatu daerah hiduplah seekor kera yang berteman dengan seekor ayam. Namun sayang, kera memilik sifat buruk seringkali menjahili ayam. Pada suatu sore yang cerah, seperti biasa si kera mengajak ayam berjalan-jalan. 

"Ayam ayo kita berjalan-jalan sore hari ini mengusir penat," ajak kera.

"Baik. Ayo kita jalan-jalan hai Kera," jawab ayam.

Mereka berdua pun berjalan-jalan. Menjelang senja, kera merasa perutnya sangat lapar lalu keluarlah sifat jahilnya. Kera menangkap ayam kemudian mencabuti bulu-bulunya. Ayam merasa marah dengan tingkah laku kera.

"Hai kera apa yang kau lakukan? aku temanmu kenapa kau selalu usil padaku? Lepaskan aku...lepaskan...!" teriak si ayam sangat marah.

Ayam meronta-ronta berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman kera. Namun si kera tak perduli ia terus mencengkeram si ayam dengan terus berusaha mencabuti bulu-bulunya. Dengan susah payah, akhirnya si ayam bisa melepaskan diri dari kera. Ayam segera lari ketakutan tidak tentu arah. Setelah jauh dari si kera, ayam pergi menuju ke tepian sungai untuk menemui sahabatnya si kepiting. Ayam pun menceritakan kelakuan si kera pada kepiting.

"Sungguh keterlaluan si kera, ia berusaha mencabuti bulu-buluku. Entah apa yang ia pikirkan, mungkin ia hendak memakanku padahal aku kan temannya." kata ayam pada kepiting dengan nafas masih tersengal-sengal.

Kepiting sebagai sahabat ayam sangat marah. Kepiting tidak bisa menerima kelakuan si kera. Kepiting berkata pada ayam bahwa mereka harus membalas kelakuan kera agar ia jera.

"Kurang ajar nian si kera. Kita harus memberinya pelajaran agar ia tidak berani berbuat macam-macam lagi." kata si kepiting.

"Apa yang akan kita lakukan untuk membalas tingkah laku kera hai kepiting? Engkau punya gagasan?" tanya ayam.

"Mudah saja, kita akan mengajak si kera rakus berjalan-jalan menggunakan perahu tanah liat menyeberangi sungai. Kita berbagi tugas, aku akan membuat perahu dari tanah liat, sedangkan kamu ayam, tugasmu membujuk si kera agar mau ikut bersama kita. Jika sudah tiba di tengah sungai, aku akan memberi tanda agar kau melubangi perahu." kata kepiting.

"Baiklah kepiting aku akan membujuk si kera agar mau ikut dengan kita." kata ayam menyetujui rencana kepiting.

Sementara si kepiting membuat perahu dari tanah liat, si ayam pergi ke tempat si kera membujuk agar ia mau berjalan-jalan dengan mereka.

"Hai kera, engkau memang sering jahil padaku tapi bagaimanapun juga engkau tetap temanku. Aku bersama kepiting hendak pergi berjalan-jalan menyeberangi sungai, marilah engkau ikut kami?" kata ayam pada kera.

"Memang ada apa si seberang sungai hai ayam?" tanya kera pada ayam.

"Di seberang sungai banyak sekali buah-buahan. Engkau bisa makan sepuasnya di sana." kata ayam.

"Oh benarkah begitu ayam. Baiklah aku akan ikut berjalan-jalan bersama kalian." kata si kera.

Tanpa curiga si kera berjalan mengikuti ayam menuju pinggir sungai dimana si kepiting telah menunggu mereka di dekat perahu tanah liatnya. Akhirnya, ketiga binatang tersebut menaiki perahu tanah liat. Sebelumnya, kepiting dan ayam telah sepakat menggunakan kata-kata sandi. 

Jika kepiting berkata "lubangi", maka ayam akan mematuk-matuk perahu kayu untuk melubanginya.

Setelah perahu yang ditumpangi ketiganya telah berada di tengah sungai yang berair deras lagi dalam, si kepiting memberi isyarat pada ayam dengan mengatakan "lubangi". 

Ayam pun mengerti kemudian segera mematuk-matuk perahu tanah liat tersebut hingga bocor. Si kera mengetahui perahu tersebut bocor. Ia menjadi sangat panik karena tidak bisa berenang.

"Apa yang kau lakukan hai ayam? Kau ingin menenggelamkan perahunya? Kau kan tahu aku tak bisa berenang!" si kera ketakutan setengah mati.

Air sungai sangat cepat memasuki perahu melalui lubang yang dibuat si ayam. Akhirnya perahu tersebut tenggelam karena terlalu banyak air sungai masuk. Kepiting dengan mudahnya berenang sementara si ayam melompat sambil mengepak-ngepakan sayapnya kemudian mendarat di seberang sungai. Sedangkan si kera mati tenggelam bersama perahu tanah liat di tengah sungai berair deras. Si kera yang selalu jahil pada temannya sendiri dan keras kepala tidak pernah mau mendengarkan nasehat, kini mendapatkan ganjarannya.

***

Lily selesai membaca buku cerita, ya buku di tutup dan di taruh di meja. Ibu menyuruh Lily untuk membeli sayur dan tempe di warung ibu Minah. Lily segera menjalankan perintah ibunya dengan baik, ya membeli sayur dan tempe di warung ibu Minah. Setelah membeli sayur dan tempe, ya segera pulanglah Lily ke rumahnya. Sayur dan tempe di berikan pada ibu untuk di masaklah, ya Lily membantu ibu masak di dapur. Sampai masakan mateng semuanya. Lily makan bersama keluarga di ruang makan.

TIGA RAMUAN AJAIB

Sobia Tezeen selesai dengan kerjaanya, ya duduk santai sambil membaca buku cerita yang ceritanya asal dari Korea Selatan sih.

Isi buku yang di baca Sobia Tezeen :

Rim berdiri di depan kandang sapinya. Ia tertegun mendapati seekor sapinya berbaring tak bernyawa. Selama beberapa hari ini, sapinya mati satu per satu. Ia belum menemukan penyebab kematian binatang peliharaannya itu. Namun, ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi terus-menerus. 

“Kyo!” Rim berteriak, memanggil anak tertuanya. 

Seorang anak laki-laki berkepala gundul datang mendekat. Matanya yang sipit menatap ayahnya penuh tanya. “Ada apa, Ayah?” Kyo mendekati kandang sapi, tempat sang ayah berdiri. 

“Sapi kita ada yang mati lagi.” 

Mereka berdua masuk ke dalam kandang, memeriksa sapi mereka. 

“Nanti malam, kamu jaga kandang sapi ini. Jangan sampai sapi kita mati lagi,” perintah Rim. 

Kyo mengangguk patuh. Malam itu Kyo sudah bersiap di dekat kandang sapinya. Ia memerhatikan keadaan sekitarnya dengan teliti. Bulan nyaris purnama. Cahayanya yang keemasan menerobos dedaunan. Walau tanpa nyala lampu, Kyo bisa melihat sekelebat bayangan mendekati kandang sapinya. Bayangan itu terlihat berhenti sejenak. Wajahnya mendongak menatap bulan. Kyo mengenali bayangan itu. Meski terheran-heran, Kyo memerhatikan bayangan itu tanpa berkedip. Pemilik bayangan itu tampak menari-nari beberapa saat. Kemudian ia melumuri kedua tangannya dengan minyak wijen yang dia bawa. Perlahan-lahan ia membuka kandang sapi dan masuk. 

Secepat kilat ia memasukkan tangannya ke dalam tubuh sapi. Lalu tangan itu keluar lagi dengan menggenggam hati sapi. Darah mulai berceceran. Tanpa rasa jijik ia memasukkan hati sapi itu ke dalam mulutnya. Kyo, yang memerhatikan kejadian itu dengan saksama, tiba-tiba merasa jijik dan mual. Dengan sekuat tenaga ia menahannya. Ia tidak ingin pengintaiannya diketahui. Kyo menahan napasnya selama beberapa saat dengan terpaksa. Setelah sosok itu pergi, Kyo menghembuskan napasnya dengan lega. Ia lalu berjalan pulang dengan kaki gemetaran. Keesokan harinya, Kyo menceritakan kejadian yang dilihatnya semalam kepada ayahnya. Akan tetapi, Rim tidak percaya dan justru marah pada Kyo.

“Tidak mungkin, kamu pasti tertidur saat berjaga,” bantah ayahnya. 

“Tidak Ayah.”

“Atau kamu bermimpi buruk, hah!” gertak ayahnya dengan suara keras. 

“Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, Ayah. Adik kecil kita yang telah melakukannya.” Kyo berusaha meyakinkan ayahnya.

Namun Rim semakin berang. “Pergi kamu dari hadapanku. Mulai sekarang, kamu bukan anakku lagi,” usir Rim. 

Kyo segera pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa, selain rasa sakit hati pada ayahnya. Kemarahan Rim meluap. Ia tidak percaya jika anak perempuannya  melakukan hal itu. Anak perempuannya hanyalah seorang gadis kecil. Ia tidak mungkin melakukan hal-hal, seperti yang telah diceritakan Kyo. Rim sangat menyayangi anak perempuannya, si bungsu. Dulu Rim rela berdoa selama berbulan-bulan di atas gunung karena dia begitu mendamba kehadiran anak perempuan di dalam keluarganya. Dalam keputus-asaannya itulah dia berkata, “Ya Tuhan, berikanlah aku seorang anak perempuan, walaupun ia seekor rubah.”

Beberapa saat kemudian, doa Rim dikabulkan. Sang istri hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Mereka menamainya Yulmi. Yulmi tumbuh seperti anak-anak lainnya. Akan tetapi, setelah usianya mencapai enam tahun, kejadian aneh sering terjadi. Kejadian-kejadian itu tidak membuat Rim berpikiran buruk terhadap anaknya, apalagi kepada putri kesayangannya. Yulmi adalah permata hatinya. Setelah Kyo pergi, Rim menugaskan anak keduanya, Nam, untuk menggantikan tugas Kyo. Selama satu bulan Nam berjaga, tidak ada seekor sapi pun yang mati. Rim merasa senang karena itu berarti Nam menjalankan tugas yang diamanahkan padanya dengan baik. 

“Ini baru anak Ayah,” puji Rim. 

Nam tersenyum bangga. Ia senang mendapat pujian dari ayahnya. Nam terus menjalankan tugasnya. Seperti malam sebelumnya, setelah makan malam Nam bersiap di sekitar kandang sapi. Malam terasa lebih terang karena bulan bersinar sempurna. Cahaya keemasannya membuat tempat itu terang benderang. Tiba-tiba Nam terperanjat ketika melihat seseorang keluar dari dalam rumah. Ia memerhatikan orang itu dengan saksama. Orang itu tampak menari sambil berdiri menengadahkan wajahnya ke arah bulan purnama. Lalu ia melumuri kedua tangannya dengan minyak yang ia bawa dari rumah. 

Setelah selesai, ia bergegas masuk ke kandang sapi. Nam mengikuti orang itu dari belakang. Tiba-tiba, dengan gerakan yang tidak di duga oleh Nam, orang itu memasukkan tangannya ke dalam tubuh sapi dan mengambil sesuatu. Sapi itu langsung tersungkur tanpa suara. Binatang itu mati seketika. Nam tersentak. Ia sama sekali tidak menduga akan melihat kejadian itu. Ia lebih kaget dan jijik ketika melihat orang itu memakan hati sapi mentah-mentah. Nam bergidik. Ia tidak sanggup melihat kejadian selanjutnya. Ia langsung berlari masuk ke dalam rumah. Sesampai di kamar, ia menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, tanpa memejamkan mata hingga pagi tiba.

“Yah, ternyata adik kita, Yulmi, yang membunuh sapi-sapi itu,” lapor Nam dengan tubuh gemetar.

“Apa? Itu tidak mungkin terjadi. Katakan yang sebenarnya Nam!” Rim membentak anak keduanya itu.

Melihat kemarahan ayahnya, Nam semakin gemetar. “I...itu...lah yang sebenarnya terjadi Ayah,” kata Nam terbata. 

“Kau pasti bermimpi buruk. Ayah sudah begitu percaya kepadamu. Selama ini kamu sudah menjalankan tugas dengan baik. Tapi kali ini, kamu mengkhianati kepercayaan yang ayah berikan. Pergi kamu dari rumah ini. Ayah tidak ingin melihat mukamu lagi.”

Nam terkejut. Matanya terbelalak kaget. Ia tidak menyangka ayahnya akan berkata seperti itu. Ia juga tidak menduga jika harus mengalami nasib yang sama dengan Kyo, kakaknya. Maka Nam meninggalkan rumah dengan berat hati. Tugas menjaga ternak dilanjutkan oleh Daiji, anak ketiga Rim. Seperti kedua kakaknya, setiap malam Daiji berjaga di dekat kandang sapi. Meski ia takut berada di luar sendirian, tapi ia tidak bisa menolak tugas dari ayahnya setelah kdua kakaknya pergi. Ia pun bertekad untuk menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya. 

Ia tidak ingin bernasib serupa dengan kedua kakaknya. Selama satu bulan, keadaan aman terkendali. Sapi-sapi mereka sehat dan gemuk. Tidak ada yang mati seekor pun. Namun ketika bulan purnama tiba, bayangan seorang gadis kecil tampak keluar dari dalam rumah. Gadis itu menatap purnama dengan senyum menyeringai. Kemudian ia melumuri kedua tangannya dengan minyak wijen dan masuk ke kandang sapi. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua purnama sebelumnya. Dengan lahap gadis kecil itu memakan hati sapi yang baru diambilnya. Daiji mematung, tak bergerak di tempatnya. Kejadian itu sungguh diluar dugaannya. Ia dapat melihat darah yang belepotan di mulut Yulmi. Sungguh mengerikan. Keesokan harinya, Rim memanggil Daiji karena seekor sapi mereka mati lagi.

“Apa yang terjadi sehingga sapi itu bisa mati?” tanya sang ayah ingin tahu.

“Tadi malam, saya merasa kehausan. Lalu saya masuk ke dalam rumah untuk mengambil minum. Setelah saya keluar lagi, sapi kita sudah mati Ayah,” kata Daiji berbohong. 

Ia menghela napas, berharap ayahnya tidak mengetahui kebohongannya. 

“Semua sapi kita mati pada saat bulan purnama. Mungkin, mereka takut pada cahaya bulan, sehingga mereka mati, Ayah,” lanjutnya lagi.

Daiji kembali berbohong. Ia tidak mengatakan yang sebenarnya karena tidak ingin diusir dari rumah.

“Bagus, kamu sudah menjalankan tugasmu dengan baik. Kamu akan menjadi pewaris harta Ayah, setelah Ayah tiada,” kata Rim dengan bangga. 

Daiji menghembuskan napas lega karena ayahnya tidak marah. Sementara itu, Kyo dan Nam bertemu di jalan. Mereka pun hidup menggelandang, tanpa mempunyai rumah untuk berteduh dan pekerjaan untuk mendapatkan sedikit makanan. Mereka terus berjalan hingga sampai di sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah kuil, tempat tinggal para biksu. Setelah Kyo dan Nam menceritakan kejadian yang mereka alami, para biksu mengizinkan mereka untuk tinggal di kuil. Di kuil tersebut, mereka belajar untuk melupakan sakit hati kepada ayah mereka dan menyerap berbagai ilmu yang diberikan dengan giat. Setelah satu tahun berlalu, Kyo dan Nam sudah berhasil menguasai ilmu yang diberikan sang biksu dengan baik. Mereka pun berkeinginan untuk menengok ayah dan adik mereka. 

“Kami ingin menengok ayah dan adik-adik kami, Biksu,” kata Kyo meminta izin kepada gurunya.

“Tunggulah sampai besok, aku akan membuatkan kalian ramuan ajaib untuk melindungi diri,” kata sang biksu bijak. 

Keesokan harinya, sang biksu menyerahkan tiga buah botol kecil berwarna putih, biru, dan merah sambil memberikan petunjuk bagaimana cara menggunakannya. 

“Gunakan ramuan di botol ini sesuai dengan perintahku. Niscaya kalian akan dapat mengalahkan semua musuh, termasuk adik perempuan kalian, si rubah itu.” 

Sang biksu memberikan wejangan kepada Kyo dan Nam sebelum mereka berangkat. 

“Terima kasih, Guru. Kami akan mengingat nasihat Guru.” 

Kedua kakak beradik itu pun turun gunung. Mereka menempuh perjalanan yang cukup lama, hingga akhirnya mereka sampai di desa tempat mereka tinggal dulu. Namun, mereka berdua kaget melihat keadaan rumah yang tidak terurus. Halaman rumah penuh dengan ilalang tinggi, atap rumah sudah bocor di sana-sini, dan pintu depan penuh dengan bekas cakaran, hingga nyaris hancur. 

“Mungkin Ayah dan Adik sudah pindah dari rumah ini, Kak,” kata Nam ragu. 

“Tidak mungkin, Nam. Tanah ini adalah warisan dari leluhur yang harus tetap dijaga. Sebaiknya kita lihat dulu ke dalam,” ajak Kyo kepada Nam. 

Mereka berdua masuk ke dalam rumah dan kaget mendapati Yulmi sedang duduk di dalam rumah seorang diri. 

“Di mana Ayah dan Daiji?” tanya Kyo.

“Mereka sudah meninggal,” kata Yulmi dengan wajah sedih.

Yulmi tidak menjelaskan mengapa Ayah dan Daiji meninggal, namun Kyo dan Nam dapat menduga apa yang terjadi pada Ayah dan Adik mereka. 

“Sekarang aku sendiri, Kak. Tinggallah bersamaku di sini. Aku membutuhkan perlindungan kalian,” pinta Yulmi mengiba. 

“Tidak, kami sudah menemukan hidup kami sendiri.” 

Nam menolak keras. Ia dan Kyo tahu bahwa Yulmi hanya bersandiwara belaka. Yulmi menatap kedua kakaknya dengan pandangan aneh. Namun hal itu tidak disadari oleh Kyo dan Nam. 

“Hari sudah mulai malam, kalian bisa melanjutkan perjalanan esok hari,” bujuk Yulmi lagi. 

Kyo dan Nam berpikir sejenak. Jalan menuju tempat sang biksu memang melewati hutan lebat. Hal itu akan sangat berbahay bagi mereka. Apalagi jika mereka melakukan perjalanan pada malam hari. Mereka pun memutuskan untuk tinggal di rumah tiu selama satu malam. Yulmi segera menyiapkan makanan dan minuman lezat untuk kedua kakaknya. Kebaikan hati Yulmi membuat Kyo dan Nam curiga. Mereka pun memutuskan untuk berjaga sepanjang malam. Akan tetapi, perjalanan yang melelahkan dan perut yang kenyang membuat mereka tidak dapat terjaga dan justru tertidur dengan lelapnya. Saat tengah maalm, Kyo terbangun karena ingin buang air kecil. Ia berpikir bahwa Nam masih terjaga karena ia mendengar suara orang sedang makan. 

Namun, alangkah kagetnya Kyo ketika ia melihat meja makan yang penuh dengan belatung dan darah yang berbau anyir. Tak berapa lama, Kyo mendengar suara orang mengunyah dari sebuah kamar. Kyo pun mendekat dan langsung terperanjat. Ia mendapati Nam telah meninggal karena Yulmi telah mengambil dan memakan hati saudaranya itu. 

“Apakah kau tidur dengan nyenyak, Kak?” tanya Yulmi dengan tenang. 

“Aku membutuhkan satu hati manusia lagi agar aku bisa menjadi manusia yang sempurna,” kata Yulmi sambil tersenyum menyeringai. 

Nyali Kyo menciut. Ia merasa takut. Perutnya juga bergolak karena merasa mual. Dengan terhuyung-huyung, ia berlari ke luar rumah. Ia berusaha berlari sejauh-jauhnya, menghindar dari Yulmi. Akan tetapi, ia tersandung akar pohon yang melintang. Tubuhnya jatuh tersungkur, sehingga Yulmi dapat menyusulnya dengan mudah. 

“Kau mau pergi ke mana Kakakku?” tanya Yulmi seraya berdiri di hadapan Kyo. 

Kyo semakin ketakutan. Ia segera teringat dengan pesan gurunya. Ia pun mengambil botol kecil berwarna putih dan menaburkan isinya di depan Yulmi. Tiba-tiba muncul asap berwarna putih dan semak belukar lebat. Semak-semak itu menghalangi jalan Yulmi. Yulmi marah dan meraung dengan keras. Tubuhnya langsung berubah ke wujud aslinya, seekor rubah. Dengan wujud aslinya itu, Yulmi lebih mudah menerobos semak belukar di hadapannya. Sementara itu, Kyo berlari kencang dengan sekuat tenaga. Ia tidak ingin menjadi santapan adik perempuannya itu. Namun naas, Yulmi dapat menyusulnya. Ia menjulurkan kaki depannya dan meraih baju Kyo dengan cakarnya yang tajam. Kyo segera merogoh kantungnya dan mengambil botol kecil berwarna biru. Ia langsung melemparkan botol itu kebelakang. 

Botol itu melayang di udara selama beberapa saat. Ketika botol itu menyentuh tanah, timbul percikan yang membuat tanah itu berubah menjadi danau berwarna biru yang sangat luas. Rubah Yulmi semakin geram karena ia tidak dapat berenang. Ia pun berjalan mondar-mandir di tepi danau, mencari cara untuk menyeberangi danau. Tak lama kemudian, pandangan Yulmi tertumbuk pada sebuah batang kayu besar. Ia segera menarik kayu itu ke dalam air dan mendayung dengan ekornya. Meski lambat, Yulmi dapat sampai di seberang. Keempat kakinya langsung meloncat dengan lincah. Ia mengejar Kyo yang mulai kelelahan dengan kecepatan penuh. Kali ini Kyo terjatuh lagi. Tubuh rubah Yulmi melompat tinggi ke udara, hendak menerkam kakaknya. Pada saat bersamaan, Kyo melemparkan botol berwarna merah.

“Terimalah ramuan ajaib ini!” teriak Kyo lantang. 

Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia melempar botol itu ke arah adik perempuannya. Dan... “Duaaarrrr...” Botol itu mengenai tubuh rubah Yulmi. 

Kemudian muncul cahaya yang menyilaukan mata. Kyo menutup matanya rapat-rapat. Ia pasrah dengan kejadian yang akan menimpa dirinya. Tubuhnya sudah tidak bertenaga lagi. Rubah Yulmi meraung. Suaranya membahana hingga ke segala penjuru mata angin. Tubuhnya terbakar oleh kobaran api yang timbul dari ledakan tadi. Kyo menarik napas lega karena Rubah Yulmi akhirnya mati. Ia pun dapat selamat dari ancaman Rubah Yulmi dan bisa kembali ke kuil berkat tiga ramuan ajaib dari sang guru. 

***

Sobia Tezeen selesai membaca bukunya.

"Bagus ceritanya," kata Sobia Tezeen.

Sobia Tezeen menutup buku dan di taruh di meja saja sih.

"Lapar," kata Sobia Tezeen.

Sobia Tezeen keluar dari kamarnya, ya ke dapurlah untuk memasak mie instan yang enak sesuai dengan iklan di Tv sih. Beberapa saat. Mie instan jadi, ya segera di santap dengan baik sama Sobia Tezeen di meja makanlah.

ASAL-USUL BUAH EMAS

Chesa selesai membuat makan, goreng pisang sih di dapur. Chesa duduk di ruang makan, ya sambil menikmati makanan yang ia buat. 

"Enak goreng pisang yang aku buat," kata Chesa.

Chesa mengambil buku di meja, ya majalah sih. Di buka lembar demi lembar majalah sampai Chesa tertarik dengan judul cerita pendek Asal-Usul Buah Emas. Chesa membaca cerita pendek tersebut dengan baik yang asal cerita berasal dari Filipina, ya di tulis di majalah dengan baik sih.

Isi buku yang di baca Chesa :

Dahulu kala hiduplah seorang gadis bernama Pina. Ia hidup bersama ibunya yang sangat memanjakannya. Sejak kecil Pina selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Ibunya selalu memasak makanan yang disukai oleh Pina. Apa pun yang diinginkan oleh Pina ibunya akan mengabulkannya. Pina pun tidak diijinkan untuk mengerjakan pekerjaan apa pun di rumah. Setiap hari Pina selalu bangun siang. Setelah mandi ia merengek kepada ibunya untuk dibuatkan makanan yang sangat enak. Dengan senang hati ibunya pun mengabulkan permintaan Pina. Ia membuat semangkuk bubur yang sangat lezat. Pina merasa gembira sekali.

Kegiatan Pina hanya bermain ke sana kemari bersama teman-temannya. Setelah bosan bermain Pina akan kembali ke rumah. Di rumah, ibunya telah menyiapkan semua keperluan Pina. Jika Pina merasa lapar, ibunya tidak segan-segan untuk menyuapinya hingga kenyang. Pina pun tidak perlu membantu ibunya mengerjakan pekerjaan di rumah. Ia sungguh seperti seorang putri raja di rumahnya.

Tetangga mereka sering menasihati ibu Pina agar tidak terlalu memanjakannya agar kelak ia bisa menjadi anak yang mandiri. Akan tetapi, ibu Pina tidak pernah mendengarkan nasihat para tetangga karena ia begitu menyayangi anak perempuan satu-satunya itu. Pada suatu pagi yang sangat dingin, Pina terbangun karena merasa kedinginan. Ia masih merasa enggan untuk meninggalkan tempat tidurnya, tapi ia merasa sangat lapar. Ia pun berteriak dengan kencang memanggil ibunya.

“Ibu! Aku lapar!”

Pina berkali-kali berteriak memanggil ibunya. Suaranya hampir habis untuk berteriak kencang namun ia tidak juga mendengar suara langkah ibunya yang terburu-buru untuk menghampirinya. Biasanya jika ia berteriak seperti ini, dalam sekejap saja ibunya akan langsung datang menghampirinya. Namun kali ini, meskipun ia berteriak berkali-kali, ibunya tidak datang menghampirinya. Dengan sangat kesal Pina terpaksa bangkit dari tempat tidurnya.

Pina berjalan menuju dapur tempat ibunya biasa berada ketika pagi seperti ini. Dengan langkah yang diseret serta malas-malasan karena merasa kesal dengan ibunya, Pina segera membuka pintu dapur. Namun ia tidak bisa menemukan ibunya. Pina pun menggerutu. Tidak lama kemudian terdengar suara ibunya memanggil namanya.

“Pina... Pinaaa...”

Suara ibu Pina terdengar sangat lemah. Pina segera mencari suara itu. Ia melihat ibunya tengah berbaring di tempat tidur. Rupanya ibunya sedang sakit sehingga waktu ia memanggil tidak ada suara yang menyahut.

“Pina, Ibu sedang sakit,” kata ibunya.

Bukannya menolong ibunya, Pina justru menggerutu dan merasa semakin kesal.

“Ibu, aku sangat lapar. Kenapa tidak ada makanan di dapur?” Pina berkata sambil merengek-rengek.

“Pina, tolong buatkan secangkir teh panas untuk Ibu,” pinta ibunya.

Ibunya memang tidak pernah sekali pun menyuruh Pina untuk melakukan pekerjaan di rumah. Namun kali ini ibu Pina tidak sanggup bangkit dari tempat tidur sehingga dengan sangat terpaksa menyuruh anak kesayangannya tersebut.

“Ibu, aku tidak tahu cara membuat teh panas,” jawab Pina dengan kesal.

Dengan panjang lebar ibu Pina menjelaskan kepada anaknya bagaimana cara membuat teh panas. Meski dengan perasaan kesal Pina segera pergi ke dapur. Ia berusaha melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh ibunya. Namun, ia tidak melihat gelas satu pun berada di dapur. Ia pun berteriak kepada ibunya.

“Ibu, tidak ada gelas di dapur! Bagaimana aku bisa membuatkan teh tanpa gelas?”

“Gelas itu ada di dalam lemari,” kata ibu Pina dari dalam kamar.

Pina terlalu malas untuk mencari gelas itu. Ia tidak pernah melakukan apa pun di rumah ini sehingga ia merasa sangat enggan untuk melakukan perintah ibunya. Diam-diam Pina menyelinap keluar. Ia pergi bermain bersama teman-temannya. Pina baru kembali ke rumah sore harinya. Ia melihat ibunya yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Melihat Pina sudah pulang, ibunya menyuruh Pina untuk membuatkannya bubur.

“Pina, tolong buatkan Ibu bubur,” kata ibunya.

“Aku tidak tahu bagaimana cara membuat bubur,” jawab Pina kepada ibunya.

“Kamu hanya perlu memasukkan beras ke dalam panci lalu tuangkan air sebanyak-banyaknya dan masaklah di atas api hingga beras itu menjadi lembek,” terang ibu Pina.

Dengan langkah gontai Pina menuju ke dapur. Ia sudah menemukan beras dan air. Namun ia tidak melihat sendok di sekitarnya. Ia pun segera bertanya kepada ibunya.

“Di mana Ibu menyimpan sendok?”

Ibu Pina yang merasa semakin lemah mulai hilang kesabaran kepadanya.

“Ibu menyimpannya di lemari. Kamu harus mencarinya!”

Pina merasa sangat malas untuk membuka lemari dan mencari sendok.

“Tidak ada sendok di mana pun. Bagaimana aku bisa membuatkan Ibu bubur jika aku tidak bisa menemukan sendok?”

Ibu Pina yang berada di dalam kamar mulai kesal. Ia kini menyesal telah memanjakan Pina dan tidak pernah menyuruhnya melakukan pekerjaan di rumah. Ibu Pina mengabaikan nasihat para tetangga yang berpikir bahwa Pina terlalu dimanjakan di rumah ini. Kini saat ibu Pina sedang sakit, anak perempuannya itu tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya.

“Kenapa kamu sangat malas, Pina? Kamu mungkin harus mempunyai seratus mata agar bisa melihat di mana sendok itu berada.”

Ibu Pina mulai memaki di dalam kamar. Pina yang merasa tidak bersalah hendak meninggalkan dapur. Namun setelah ibu Pina mengucapkan kata-katanya, tiba-tiba sebuah petir bergemuruh di langit. Cahayanya berkilauan menerangi seluruh rumah. Setelah itu Pina pun menghilang. Keesokan paginya, ibu Pina terbangun dari tidur. Ia masih merasa sangat lemah dan tidak bisa bergerak. Ia berniat memanggil Pina untuk membawakannya air dan berpikir mungkin saja Pina telah berubah dan mau berusaha menolongnya.

“Pinaaa.....” panggil ibunya dari dalam kamar.

Ibu Pina memanggil anaknya berkali-kali namun tidak ada sahutan yang ia dengar. Meskipun sekujur tubuhnya terasa sakit, ibu Pina terpaksa bangkit dari tempat tidur menuju dapur. Ia sangat haus dan harus minum air agar tubuhnya tidak semakin lemas. Ia masih terus memanggil nama Pina berharap gadis itu segera menemuinya. Setelah meminum air sebanyak-banyaknya ibu Pina berusaha mencari anaknya di kamar. Dengan hati-hati ia membuka pintu. Namun, tidak ada Pina di kamarnya. Ia terus memanggil Pina namun sepertinya ia tidak berada di rumah. Ia pun berpikir mungkin Pina sedang bermain di luar rumah.

Mengetahui ibu Pina sedang sakit, para tetangga berdatangan membantunya. Mereka merasa Pina sangat keterlaluan karena membiarkan ibunya yang sakit berada sendiri di rumah. Semua tetangga merasa yakin bahwa Pina pastilah sedang bermain di luar bersama teman-temannya dan enggan merawat ibunya yang tengah sakit. Mereka kembali menasihati ibu Pina agar mengajari gadis itu melakukan pekerjaan di rumah.

Ibu Pina menyadari bahwa ia mendidik anaknya dengan cara yang salah. Ia pun bertekad setelah ia sembuh dan Pina kembali, ia akan mengajari anaknya dan tidak lagi memanjakan gadis itu. Setelah beberapa hari, ibu Pina kembali sehat seperti semula. Ia berpikir Pina pasti telah kembali ke rumah. Namun di luar dugaannya. Ketika ia terbangun dan mencari Pina di dalam dan di luar rumah, ia tetap tidak bisa menemukan anaknya itu. Ibu Pina mulai khawatir tentang anaknya. Ia pun segera ke luar rumah dan bertanya kepada para tetangga. Namun tidak ada satu pun yang telah melihat Pina akhir-akhir ini. Teman-teman bermain Pina juga tidak ada yang mengetahui keberadaan Pina.

Ibu Pina kembali ke rumah sambil menangis. Ia tidak bisa menemukan anak kesayangannya. Ia pergi ke dapur untuk memasak bubur karena ia sangat lapar. Ketika hendak mengambil beras untuk dicuci, ibu Pina melihat sesuatu berwarna kuning yang berbentuk bulat. Benda itu berada di sudut dapur rumahnya. Benda itu mirip sekali dengan kepala manusia. Ibu Pina pun mendekati benda itu agar bisa melihat dengan jelas. Ia mengambil benda itu dan melihat ada banyak bulatan seperti mata di sekelilingnya.

Tiba-tiba ibu Pina teringat makiannya terhadap Pina ketika ia menyuruhnya memasakkan bubur. Tangannya mulai gemetar. Ia tidak percaya pada apa yang ia lihat sekarang. Rupanya Pina telah berubah menjadi benda yang ada di tangannya kini. Ibu Pina pun menangis. Ia menyesal telah memaki anak kesayangannya tersebut. Ibu Pina merasa sangat kesepian. Untuk itulah ia menanam benda tersebut. Benda itulah yang kini dikenal sebagai buah nanas. Ibu Pina terus menanam sebanyak-banyaknya buah nanas untuk mengenang anak kesayangannya. 

***

Chesa selesai membaca cerita pendek di majalah.

"Bagus ceritanya," kata Chesa.

Chesa berhenti membaca majalah, ya di taruh saja di meja. Chesa terus menikmati goreng pisangnya, ya sampai perutnya kenyang.

ZANIN YANG CERDIK

Amena membantu ibu beres-beres rumah. Maklum ayah telah lama pergi. Amena membantu ibu dengan baik, ya meringankan beban ibu yang kerja keras sebagai tulang punggung keluarga. Amena duduk dengan santai di ruang tengah, ya sambil membaca buku cerita asal Arab di tulis dengan baik sih.

Isi buku yang di baca Amena :

Ali berlarian ke sana kemari mencari anak lelakinya, Hisyam. Anak itu masih berumur sepuluh tahun. Tadi Ali mengajaknya ke pasar untuk berdagang. Ali lalai mengawasinya karena sibuk dengan pembeli. Hisyam pun pergi entah ke mana. 

“Apa kau melihat anakku?” tanya Ali pada pedagang di sebelahnya.

“Tadi kulihat dia berlarian di dekatmu. Tapi aku kurang memerhatikan lagi ke mana dia pergi.”

Ali pun menyusuri pasar. Ia bertanya pada setiap orang yang ditemui, terutama para pedagang. Sayangnya tak ada yang tahu persis di mana anak lelakinya sekarang. Pasar sedang ramai. Banyak orang lalu lalang. Ali kesulitan mencari Hisyam. Ali kembali ke tempatnya berdagang. Ia duduk termenung di lapaknya. Ali mencari cara agar bisa menemukan anak itu. Ia tak mungkin pulang tanpa Hisyam. Istrinya bisa marah besar bila mengetahui apa yang terjadi. 

“Ali, jangan-jangan anakmu diculik?” ujar seorang pedagang lain. 

“Siapa yang mau menculik anak pedagang kecil sepertiku?” ujar Ali. 

“Mereka mungkin tak tahu anakmu punya orang tua pedagang kecil sepertimu. Anakmu tampan dan bersih. Pakaiannya pun tampak rapi. Ia begitu polos dan lugu.” 

Ucapan pedagang itu semakin membuat Ali khawatir. Ali menanti hingga sore tiba. Pasar mulai sepi. Ali kembali menyisir pasar. Ia mencari anaknya sampai ke kolong-kolong lapak orang. Sayangnya usaha Ali tak membuahkan hasil. Ia tak juga menemukan anaknya. 

“Apa anakku benar-benar diculik?” gumam Ali.

Ali terkejut saat seseorang menepuk bahunya kencang. Ia hampir jatuh terjengkang dari kursinya.

“Maafkan aku, Ali. Aku tak bermaksud membuatmu terkejut,” ucap Zahin seraya membantu Ali berdiri.

“Ya, ya. Tidak apa-apa, Zahin,” jawab Ali sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor. 

“Sudah hampir petang sekarang. Biasanya kau sudah pulang. Ada urusan apa kau masih di pasar?” tanya Zahin.

“Aku kehilangan anak lelakiku,” ucap Ali sedih. 

“Bagaimana bisa?”

“Tadi aku mengajaknya berjualan. Aku membiarkannya bermain sendiri. Aku sibuk melayani pembeli. Tiba-tiba saja anakku menghilang. Sudah kucari sampai ke sudut pasar tapi tak kutemukan juga. Aku tak bisa pulang sebelum menemukannya.”

“Mungkin dia bermain lalu tersesat,” hibur Zahin. 

“Entahlah. Aku juga sudah mencarinya ke sekitar pasar juga ke lorong-lorong kecil. Ada yang bilang mungkin anakku diculik.” 

“Bisa saja itu terjadi, Ali. Sekarang ini banyak anak-anak diculik lalu dijual sebagai budak. Aku berharap anakmu bukan salah satunya.”

“Jangan membuatku semakin khawatir, Zahin!” 

Zahin terdiam. Dia ikut memikirkan cara untuk mencari anak Ali yang hilang. Zahin pun menawarkan bantuan. 

“Sebaiknya malam ini kau pulang ke rumahku saja. Kita pikirkan bersama cara untuk menemukan anakmu. Aku akan berusaha membantumu.” 

Ali akhirnya bersedia menerima tawaran Zahin. Ia tak mungkin pulang tanpa anaknya. Sementara malam juga segera datang. Rumah Zahin lebih dekat dengan pasar. Dengan begitu dia bisa segera ke pasar lagi esok hari untuk mencari anaknya. Zahin menerima Ali di rumahnya dengan baik. Ia menyiapkan tempat istirahat yang layak untuk Ali. Zahin juga menyediakan makanan dan minuman untuk Ali. Setelah makan malam, Zahin mulai membicarakan rencananya dengan Ali. 

“Aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu ini, Zahin,” ucap Ali merasa sungkan. 

“Sesama manusia memang sudah seharusnya saling menolong,” jawab Zahin sambil tersenyum. 

“Lalu, apa rencanamu?” tanya Ali tak sabar. 

“Kau yakin anakmu diculik?” 

“Kurasa begitu. Hisyam bukan anak yang nakal. Biasanya dia selalu patuh padaku. Kalau dia pergi jauh dariku, dia selalu meminta izin terlebih dulu.”

“Bagaimana bila dia tersesat?”

“Aku sudah mencarinya ke seluruh pasar. Juga ke sudut-sudut kampung di sekitar pasar. Tapi aku tak menemukannya. Jika dia hanya tersesat, pasti aku sudah menemukannya.” 

“Baiklah kalau begitu. Dengarkan rencanaku.”

Zahin pun menyampaikan rencananya pada Ali. Keesokan harinya, Ali datang lagi ke lapaknya di pasar seperti biasa. Dia tetap berjualan. Dia sudah memercayakan urusan anaknya pada Zahin. Saat pasar sedang ramai-ramainya, Zahin berkeliling pasar. Dia berteriak-teriak membuat pengumuman.

“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan seribu keping dinar.” 

Zahin mengulang-ulang pengumumannya. Tak hanya di pasar, Zahin juga berkeliling kampung. Berita itu pun menyebar dengan cepat. Orang-orang menyebarkannya dari mulut ke mulut. Tak sedikit yang mencoba mencari Hisyam demi mendapatkan seribu keping dinar dari Ali. Sebenarnya Hisyam sedang disekap di sebuah rumah tak jauh dari pasar. Seorang pria telah menculiknya dan membawa Hisyam ke rumahnya. Pria itu juga telah mengetahui pengumuman Zahin. Tadinya dia akan mengirim pesan kepada Ali untuk meminta tebusan. Tapi sekarang tak perlu lagi karena Ali sudah menawarkan hadiah yang besar. 

“Sebaiknya aku tak tergesa-gesa membawa anak itu pada ayahnya. Hari ini dia menawarkan seribu dinar. Besok pasti ayahnya menawarkan lebih banyak lagi karena terlalu khawatir pada keadaan anaknya,” gumam si penculik. 

Penculik kembali ke rumahnya dan memastikan Hisyam tidak kabur. Hisyam bersandar lemas di ruangan yang gelap. Tangan dan kakinya terikat. Sudah seharian dia tidak makan. Dia menolak menerima makanan apa pun dari si penculik. Hisyam berharap penculik menjadi kesal dan dia dilepaskan. Sekarang perutnya melilit karena lapar. Penculik menghampiri Hisyam dan menaruh sekerat roti di dekatnya. Ikatan tangan Hisyam dilepaskan. 

“Cepat makan! Aku tak mau kau mati. Kalau sampai kau mati, sia-sia sudah usahaku. Aku tak bisa mendapatkan apa-apa dari ayahmu!” bentak penculik itu. 

Hisyam mulai tergoda. Perutnya keroncongan minta diisi. Dia pun mengambil roti tersebut dan memakannya dengan lahap. 

“Cepat habiskan!”

Setelah rotinya habis, tangan Hisyam kembali diikat dengan tali. Penculik itu meninggalkan Hisyam sendiri. Ia pergi entah ke mana. Sudah seharian Zahin dan Ali menanti kabar tentang Hisyam. Tapi tak ada satu pun petunjuk. Mereka semakin yakin Hisyam diculik. 

“Simpan dulu seribu dinarmu. Besok kita coba lagi,” ucap Zahin. 

Ali tertunduk lesu. Ia khawatir rencana Zahin tak berhasil. Keesokan harinya, Zahin kembali berkeliling pasar dan kampung. Ia meneriakkan lagi pengumumannya. 

“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan lima ratus keping dinar.”

Orang-orang yang mendengarnya bertanya-tanya, mengapa imbalan yang ditawarkan justru lebih sedikit dari hari kemarin. Padahal biasanya hadiah semakin hari semakin bertambah. Yang lebih terkejut lagi tentu penculik yang telah menyembunyikan Hisyam. Ia berpikiran sama seperti orang-orang lainnya. Ketamakan membuatnya menahan Hisyam semakin lama bersamanya. Namun, yang terjadi justru tak seperti yang dia perkirakan. 

“Seharusnya hadiah bertambah besar. Ini malah berkurang separuhnya. Jangan-jangan aku salah dengar. Bukan lima ratus dinar, tetapi lima ribu dinar. Ya, ya, aku pasti salah dengar. Lebih baik aku menahannya dulu bersamaku. Paling tidak sampai ayahnya menawarkan sepuluh ribu dinar,” gumam penculik itu sambil menyeringai.

Ali kembali kecewa. Usaha Zahin belum juga menampakkan hasil. Tak ada satu pun orang yang bahkan mengaku melihat putranya, Hisyam. 

“Zahin, bagaimana bila anakku tak juga ditemukan? Aku sangat khawatir sekarang,” keluh Ali.

“Tenang saja, Ali, besok anakmu pasti akan kembali.”

“Bagaimana kau bisa begitu yakin?” tanya Ali penasaran.

“Anakmu diculik oleh orang yang tamak. Hari pertama saat aku menawarkan seribu dinar, dia masih menahannya. Dia berharap mendapat tebusan yang lebih besar. Tadi saat tebusan kukurangi menjadi lima ratus dinar, dia masih belum juga menyerahkan. Dia masih bimbang, jangan-jangan besok tebusannya naik lagi. Dia ingin memastikan dulu.”

“Kau yakin besok dia pasti mengembalikan anakku?”

“Ya. Besok aku akan mengurangi tebusannya menjadi seratus dinar saja. Dia pasti merasa rugi bila terus menahan Hisyam,” ucap Zahin meyakinkan Ali. 

“Baiklah. Semoga rencana kita berjalan dengan baik.”

Sementara itu, saat si penculik pulang ke rumah, istrinya sudah menunggu dengan membawa gagang sapu. Ia marah pada suaminya. 

“Dasar bodoh! Harusnya kau kembalikan anak itu pada ayahnya kemarin. Kita akan mendapatkan seribu dinar. Sekarang, ayahnya hanya mau memberi lima ratus dinar!” serbu istrinya.

“Masa? Bukannya mau memberi lima ribu dinar?” ujar penculik itu.

“Buka telingamu! Atau tanyakan saja pada orang-orang di pasar. Semua tahu tebusannya hanya menjadi lima ratus dinar saja. Sebaiknya kau kembalikan anak itu sekarang juga. Jangan-jangan semakin hari tak ada lagi tebusan yang akan dia berikan!” balas istrinya semakin marah. 

“Tenang saja dulu. Aku yakin itu tak akan terjadi. Besok pasti ayahnya menawarkan hadiah lebih besar lagi.” 

“Aku tak yakin. Lagi pula kita harus memberi makan anak itu juga. Seharian ini dia sudah dua kali meminta makan padaku.” 

“O ya? Kemarin-kemarin dia tak mau makan. Malah aku sempat memaksanya,” kata penculik heran.

“Lihat saja sendiri jika tak percaya!” omel istrinya. 

Penculik itu bertahan dengan pendapatnya. Ia masih menahan Hisyam di rumahnya. Ia akan melihat keadaan besok. Ia masih berharap tebusan yang ditawarkan Ali kembali naik. Keesokan harinya, penculik kembali datang ke pasar. Ia menunggu-nunggu Zahin berkeliling memberi pengumuman. Ia berpura-pura makan di kedai kecil di tengah pasar. Pagi itu Zahin berkeliling lagi ke pasar. Ia meneriakkan pengumuman yang sama seperti hari-hari kemarin. 

“Pengumuman-pengumuman! Putra kawanku, Ali, telah hilang. Dia anak laki-laki berumur sepuluh tahun. Wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Namanya Hisyam bin Ali. Barang siapa yang menemukannya, Ali akan memberinya imbalan seratus keping dinar.” 

Zahin mengulang-ulang pengumumannya. Penculik itu benar-benar terkejut mendengarnya. Ia tak mengira ternyata ucapan istrinya benar. Hadiah tebusan yang ditawarkan semakin berkurang jumlahnya. Ia pun mendekati Zahin. 

“Tuan, beberapa hari lalu aku dengar kau mengumumkan imbalan yang akan diberikan seribu dinar. Kemudian kemarin aku dengar menjadi lima ratus dinar. Sekarang, mengapa semakin sedikit? Hanya seratus dinar?” tanya penculik itu. 

Ia berpura-pura sedang berbelanja di pasar. 

“Yah, memang begitu seharusnya. Imbalan yang ditawarkan sebanding dengan harga anak yang hilang itu.”

“Maksud Anda?” tanya si penculik semakin penasaran.

“Ketika hari pertama anak itu hilang, dia pasti menolak makanan apa pun yang diberikan oleh orang asing kepadanya. Ia mempertahankan harga dirinya. Maka orang tuanya menganggap anak itu sungguh berharga bagai emas karena bisa menjaga kehormatannya. Imbalan seribu dinar kepada siapa yang menemukannya dirasa setimpal.”

“Ya, saya setuju denganmu Zahin,” ucap seorang pedagang yang juga menyimak pembicaraan Zahin dan si penculik. 

“Sayangnya ia tak segera kembali. Anak itu pasti mulai lapar. Ia tak lagi malu menerima makanan pemberian dari orang asing. Bagi orang tuanya, ia telah menurunkan sedikit harga dirinya. Karena itu imbalan yang diberikan pun harus setimpal. Lima ratus dinar saja sudah cukup.” 

“Lalu hari ini, kenapa turun lagi menjadi seratus dinar?”

“Itu karena dia mulai putus asa. Dia berani meminta makanan pada orang asing demi mengisi perutnya yang lapar. Ia sungguh telah mempermalukan orang tuanya dengan meminta-minta. Karena itu orang tuanya menganggap seratus dinar cukup untuk imbalan bagi siapa pun yang menemukan anaknya. Bila tak juga kembali, orang tuanya tak akan memberi imbalan apa pun pada orang yang menemukannya.”

“Mengapa begitu?”

“Karena anak itu bukan hilang tersesat atau diculik. Ia pasti pergi atas kemauannya sendiri. Dan dia akan kembali dengan kemauannya sendiri.”

“Bagaimana Anda bisa tahu anak itu akan berlaku demikian?” tanya penculik lagi.

“Karena aku telah menanyakan tabiatnya pada ayahnya. Tapi kenapa Anda ingin tahu sekali tentang hal ini?” Zahin balik bertanya. 

Penculik pun gelagapan. 

“E... e... maaf aku harus segera pergi,” jawab si penculik. 

Penculik itu bergegas pulang ke rumahnya. Ia akan menyuruh istrinya untuk mengantarkan anak itu kembali pada ayahnya. Setidaknya ia bisa menerima seratus dinar sebagai imbalan. Zahin diam-diam mengikuti penculik itu karena curiga, namun si penculik tak menyadarinya. Ia segera masuk ke dalam rumah dan mencari istrinya. “Aku tak mau. Kembalikan saja sendiri!” tolak istri penculik itu. 

“Tapi pria yang memberi pengumuman tentang anak hilang itu akan mengenaliku. Dia pasti mengira aku telah menculiknya.”

“Memang kau yang telah menculiknya, kan?”

“Ya. Dan aku tidak akan mendapatkan sepeser pun uang dari mereka. Bisa-bisa mereka meringkusku dan mengirimku ke pengadilan,” kilah penculik itu.

“Aku atau kau yang mengembalikannya, tak ada bedanya. Anak itu pasti bisa bercerita kepada ayahnya.” 

Sang istri tetap menolak permintaan suaminya. 

“Sebelum anak itu bercerita, ambil uangnya lalu segera pergi,” pinta penculik itu lagi.

“Lebih baik kau lakukan saja sendiri!”

Tiba-tiba pintu didobrak dari luar. Zahin, Ali, dan beberapa orang pria berdiri di luar. Zahin sempat menguping pembicaraan si penculik dan istrinya. Ia lalu segera kembali ke pasar untuk memanggil Ali. Beberapa pedagang yang berjualan di dekat lapak Ali ikut serta. 

“Kembalikan anakku!” teriak Ali. Ali dan Zahin segera masuk ke dalam rumah untuk mencari Hisyam, sementara beberapa pria lain memegangi penculik dan istrinya agar tidak kabur. 

Ali dan Zahin menemukan Hisyam meringkuk di sudut kamar yang gelap. Mereka segera melepaskan ikatan tali di tangan dan kaki Hisyam. Penculik dan istrinya menangis memohon ampun. Mereka meminta maaf pada Ali. Ali lega anaknya sudah kembali, ia pun memaafkan perbuatan penculik itu.

“Ali memang memaafkan kalian. Tetapi kalian tetap harus dibawa ke pengadilan agar kalian jera. Biar pengadilan yang memutuskan hukuman untuk kalian,” ucap Zahin.

Ali tak jadi kehilangan uang untuk imbalan orang yang menemukan anaknya. Ia menyedekahkan uang yang telah ia siapkan sebagai rasa syukur. Selama ini ia hanya menyiapkan seratus dinar. Cuma itu yang ia miliki. Imbalan seribu dan lima ratus dinar hanyalah taktik dari Zahin saja.

***

Amena selesai membaca bukunya dan berkata dengan baik "Cerita yang bagus."

Amena menutup bukunya dan buku di taruh di rak bukulah. 

"Belajar ah!" kata Amena.

Amena ke kamarnya untuk belajar, ya mengulas pelajaran yang di berikan guru dengan baik...agar anak pintar yang membanggakan ibu.

TUKANG ROTI YANG KIKIR

Amira selesai bermain dengan teman-temannya, ya pulang ke rumahlah. Amira duduk santai di ruang tamu sambil membaca buku cerita asal dari Arab, ya tertulis dengan baik di buku sih.

Isi buku yang di baca Amira :

“Tolong beri saya daging, Tuan. Saya sangat lapar,” ujar seorang pengemis tua yang datang dari jauh.

Namun, pria yang ia temui itu hanya memandanginya dengan tatapan dingin. Pria itu sedang berdiri di depan rumahnya yang besar dan indah. Dia adalah Tuan Abu. Tuan Abu memiliki toko roti yang besar. Roti Tuan Abu terkenal kelezatannya. Setiap hari, Tuan Abu membuat roti khusus yang dikirim ke istana. Para bangsawan dan saudagar juga kerap memesan roti ke tokonya. Meskipun bergelimang kekayaan, Tuan Abu tidak pernah membantu orang miskin. Ia terkenal pelit dan kikir. Tuan Abu hanya mau bergaul dengan para bangsawan dan saudagar kaya.

“Tidak! Aku tidak punya. Cepat pergi!” hardik Tuan Abu.

Pengemis tua itu belum mau pergi. Ia masih berdiri di luar pagar sambil terus mengiba.

“Tak mungkin di rumah besar dan mewah seperti itu tak ada sedikit pun makanan,” pikir si pengemis.

“Kalau begitu bagilah kepada saya sedikit susu,” kata pengemis itu.

Tuan Abu hanya mendengus kesal.

“Mungkin Anda memiliki beberapa gandum atau kacang untuk membantu saya, Tuan,” pinta pengemis itu lagi. Kelaparan memaksanya mempermalukan diri dengan meminta-minta.

“Aku tak punya apa-apa!” jawab Tuan Abu ketus.

Pengemis tua itu belum menyerah. Ia masih berdiri di dekat pintu pagar, sementara Tuan Abu menatapnya dengan pandangan merendahkan. Namun pengemis itu tak peduli.

“Jika Anda bersedia memberi saya sepotong roti, saya sangat berterima kasih,” pintanya lagi.

Tuan Abu semakin kesal karena pengemis tak juga mau pergi. Ia berjalan dari teras rumahnya ke dekat pagar. Dia mau mengusir pengemis itu.

“Pergilah! Aku tak memiliki roti!” bentaknya.

“Setidaknya berilah saya beberapa teguk air, Tuan. Saya sangat haus,” ucap pengemis tua itu lagi.

“Aku tak punya air! Cepat pergi!” Tuan Abu membentak lagi.

Pengemis tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tatapannya kepada Tuan Abu berubah menjadi tatapan iba.

“Tuan yang mulia, jika Anda tak memiliki apa pun, mengapa Anda hanya berdiri di sini saja? Lebih baik Anda ikut mengemis makanan dari orang-orang baik di luar sana. Anda bahkan lebih miskin dari saya,” kata si pengemis sebelum ia pergi dari hadapan Tuan Abu.

Tuan Abu benar-benar tersinggung dengan ucapan pengemis tua. Ia merasa pengemis itu menghinanya. Dia pun menyusul pengemis tua dan menyeretnya ke pengadilan. Ia membawa pengemis itu menemui Qadi (hakim) Juhha.

“Tuan Qadi, pengemis ini telah menghina saya. Ia menyuruh saya ikut mengemis bersamanya. Ia juga mengatakan saya lebih miskin darinya. Ini sebuah penghinaan besar bagi saya. Padahal Anda tahu sendiri, siapa yang tak kenal dengan Abu, tukang roti kaya raya yang membuat roti untuk raja dan para bangsawan!”

Tuan Abu mengadukan perkaranya pada qadi di kota itu. Napasnya sampai tersengal-sengal karena emosi.

“Tunggu, tunggu. Sabar, Tuan Abu. Ceritakanlah duduk perkaranya baik-baik,” ucap Qadi Juhha.

Qadi Juhha mendengarkan cerita Tuan Abu dengan saksama. Namun Qadi Juhha juga meminta pengemis menceritakan peristiwa itu dari sudut pandangnya. Qadi Juhha memang terkenal sebagai qadi cerdas. Ia selalu berusaha memutuskan suatu perkara dengan adil.

“Baiklah. Aku telah mengetahui duduk perkaranya dari kalian berdua. Sekarang, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada kalian.”

“Silakan, Tuan Qadi,” kata Tuan Abu sudah merasa menang.

“Tuan Abu, apa tuntutan Anda pada pengemis ini?” tanya Qadi Juhha.

“Saya ingin dia dihukum karena telah menghina saya sebagai orang miskin. Saya juga ingin dia diusir karena menganggu kenyamanan kota ini, Tuan,” jawab Tuan Abu.

“Pak Tua, dari mana asal Anda? Apakah Anda penduduk kota ini?” tanya Qadi Juhha pada pengemis.

“Tidak, Tuan Qadi. Saya bukan penduduk kota ini. Saya berasal dari kota sebelah. Saya tak punya tempat tinggal. Saya datang ke sini sekadar singgah dan meminta belas kasihan.”

“Apakah Anda tahu Tuan Abu orang kaya dan terpandang di kota ini?” tanya Qadi Juhha lagi. Pengemis itu menggeleng.

“Lalu, mengapa Anda menghina Tuan Abu? Bukankah Anda telah meminta-minta di rumahnya yang besar dan megah?”

“Saya tidak bermaksud menghina Tuan Abu. Saya tak tahu rumah itu milik Tuan Abu. Maafkan saya,” jawab pengemis.

“Hanya saja, ketika saya meminta belas kasihan, apa pun yang saya minta Tuan Abu mengatakan tak memilikinya. Bahkan hanya untuk beberapa teguk air. Bukankah bila seseorang tak punya makanan dan minuman sedikit pun termasuk golongan orang miskin? Karena itu saya mengajaknya meminta-minta juga agar bisa bertahan hidup,” lanjutnya jujur.

Qadi Juhha mengerti sekarang. Ia tahu Tuan Abu terkenal pelit dan kikir. Qadi Juhha pun memiliki rencana untuk keduanya.

“Baiklah. Aku telah memutuskan jalan keluar untuk masalah ini. Pak Tua, Anda tak bersalah karena Anda sungguh tak tahu bahwa Tuan Abu bukanlah orang miskin. Karena itu, aku tak bisa memutuskan hukuman untuk Anda. Namun, mengemis bukanlah tindakan yang diperbolehkan di kota ini. Jadi jika Anda masih ingin tinggal di kota ini, Anda harus berhenti mengemis,” ucap Qadi Juhha.

“Tapi Tuan, jika saya tidak mengemis, bagaimana saya bisa makan? Saya sudah terlalu tua untuk bekerja menjadi kuli. Sedangkan pekerjaan lain saya tak terampil melakukannya.”

“Datanglah ke baitul mal dan temui bendahara kota, Pak Tua. Dia akan memecahkan masalah Anda ini. Nanti saya akan mengantar Anda padanya.”

Tuan Abu merasa tidak terima. Ia juga tidak senang pengemis itu akan mendapat bantuan dari baitul mal. Baitul mal di kota itu secara rutin mengumpulkan zakat dari warga kota. Kemudian mereka akan membagikan zakat kepada para fakir dan miskin yang tinggal di sana.

“Tuan Qadi, pengemis ini bukan warga kota. Seharusnya ia tidak berhak menerima bantuan dari baitul mal!” protes Tuan Abu.

“Baitul mal memang mendahulukan warga kota kita sendiri, Tuan Abu. Namun bila masih ada kelebihan, baitul mal juga bisa memberi untuk yang lain,” jawab Qadi Juhha.

“Baiklah, baiklah. Yang penting bukan saya yang harus membantunya,” ucap Tuan Abu sinis.

“Sekarang giliran Anda, Tuan Abu. Saya harus membuktikan ucapan Anda bahwa Anda tak memiliki daging, susu, gandum, kacang, roti, dan air. Bila ternyata Anda memilikinya di rumah Anda, berarti Anda telah berbohong pada Pak Tua.”

Tuan Abu jadi semakin sebal pada Qadi Juhha.

Qadi Juhha, Tuan Abu, dan pengemis tua lantas pergi ke rumah Tuan Abu. Qadi Juhha memeriksa dapur Tuan Abu. Ia menemukan semua makanan itu di dalam lemari dapur. Tuan Abu tak bisa mengelak.

“Tuan Abu, Anda terbukti telah membohongi Pak Tua ini. Anda harus membayar denda atas kebohongan Anda.”

“Denda apa yang harus saya bayar?”

“Anda harus memenuhi permintaan Pak Tua ini sesuai barang yang Anda miliki.”

Tuan Abu merasa kesal. Dengan terpaksa ia memberi pengemis tua itu sekerat daging. Karena itulah yang pertama kali diminta oleh pengemis. Qadi Juhha berhasil memberi pelajaran atas kekikiran Tuan Abu. Sementara si pengemis tua tak pernah meminta-minta lagi di kota itu. Ia menetap di sana dan mendapat bantuan rutin dari baitul mal. Orang-orang tua sebatang kara sepertinya memang selalu diberi bantuan oleh baitul mal. Di lain hari, Tuan Abu menangkap seorang anak kecil yang mengendap-endap di dekat toko rotinya. Tuan Abu curiga anak itu akan mencuri roti di tokonya. Padahal dia hanya berhenti karena mencium aroma roti yang wangi.

“Hei, bocah kecil! Cepat ke sini! Apa yang kau lakukan di situ?” panggil Tuan Abu.

Bocah kecil itu ketakutan dan berusaha berlari menjauh. Sayangnya, tangan Tuan Abu bergerak lebih cepat. Tuan Abu sudah mencengkeram bajunya.

“Mau ke mana kau sekarang, ha?”

“Ampun, Tuan. Saya tidak melakukan apa pun. Lepaskan saya,” rengek bocah kecil itu. Ia menggeliat berusaha melepaskan diri.

“Tidak! Kau harus membayar apa yang telah kau ambil dariku.”

“Tapi aku tak mengambil apa-apa,” ujar bocah malang itu.

“Siapa bilang? Kau pasti telah mencuri rotiku.”

“Tidak! Aku tak mencuri,” elak si bocah.

Dari kejauhan, tampak Qadi Juhha berjalan ke arah toko roti Tuan Abu. Ia tak sengaja lewat karena hendak pergi ke pasar. Melihat Tuan Abu mencengkeram baju anak kecil, Qadi Juhha mendekati mereka.

“Ada apa ini?” tanya Qadi Juhha.

“Bocah ini telah mencuri roti saya.”

“Tidak!” potong si bocah. “Aku tidak mencuri apa pun.”

“Baiklah-baiklah. Sekarang, kita buktikan saja. Geledah saja anak ini. Jika Anda menemukan roti yang Anda maksud, berarti tuduhan Anda benar adanya,” kata Qadi Juhha pada Tuan Abu.

Tuan Abu lalu memeriksa pakaian anak itu. Namun ia tak mendapatkan apa yang dia cari. Tak ada satu pun roti yang ia sembunyikan dalam bajunya.

“Anak ini pasti telah menghabiskannya!” tuduh Tuan Abu.

“Sudah kukatakan aku tak mengambil roti Anda, apalagi memakannya!” Bocah kecil itu berusaha membela diri.

“Aku tak percaya!” sergah Tuan Abu.

“Kalau begitu, periksa saja mulutnya. Jika benar ia telah mengambil dan memakan roti Anda, pasti ada yang tersisa di sela gigi anak ini. Agar lebih adil, biar aku yang memeriksanya. Roti apa yang Anda buat tadi, Tuan Abu?”

“Roti kari kambing.”

Qadi Juhha memeriksa mulut bocah kecil. Ia tak menemukan ada daging yang tertinggal di sela giginya. Juga aroma kari kambing yang khas. Yang tercium justru aroma tak sedap seperti orang yang sedang berpuasa.

“Kau sedang berpuasa, bocah kecil?” tanya Qadi Juhha.

“Tidak, Tuan Qadi. Tapi sejak kemarin sore aku belum makan. Di rumahku sedang tak ada apa pun yang bisa kumakan,” jawab bocah itu jujur.

“Nah, kalau begitu, kau pasti sudah berniat mencuri rotiku. Kau tak punya makanan, kan?” Tuan Abu tak berhenti melayangkan tuduhan.

“Sudah kubilang aku tidak mencuri. Berniat pun tidak. Aku cuma lewat dan mencium aroma roti dari dalam toko. Aroma itu begitu harum. Aku hanya menciumnya saja. Tak ada yang kuambil.”

“Kalau begitu, kau tetap harus membayar padaku. Kau telah mencium aroma rotiku. Rotiku roti istimewa. Persembahan untuk raja. Harganya sangat mahal. Kau telah mengambil aromanya. Berarti kau pun harus membayarnya.”

Tuan Abu mulai berkilah. Ia tak mau rugi sedikit pun. Permintaannya mulai mengada-ada.

“Tuan Qadi yang bijak, coba putuskanlah perkara ini dengan baik,” pinta bocah kecil itu.

Ia tak habis pikir dengan sikap Tuan Abu yang mau untung sendiri. Tentu tak ada seorang pun yang bisa menghindar ketika ada aroma roti mampir di hidungnya. Aroma itu datang sendiri, bukan diminta. Qadi Juhha terdiam. Dia memikirkan jalan keluar terbaik. Permintaan Tuan Abu memang berlebihan. Jika seperti itu, siapa pun yang melewati toko roti dan mencium aroma rotinya harus membayar padanya. Sejenak kemudian mata Qadi Juhha berbinar-binar. Ia telah mendapatkan jalan keluar perkara Tuan Abu dan bocah kecil.

“Tuan Abu, berapa harga yang kau minta dari aroma roti Anda?” tanya Qadi Juhha.

Tuan Abu sedikit terkejut dengan pertanyaan Qadi Juhha. Ia mengira Qadi Juhha lah yang akan membayarnya. Padahal Tuan Abu sendiri tahu tuntutannya hanya mengada-ada saja. Ia tak mengira Qadi Juhha berpihak padanya.

Tuan Abu kemudian menghitung-hitung, “Tiga dinar.”

Qadi Juhha lantas mengambil kantung uangnya dan mengambil sebanyak tiga dinar. Ia menaruh keping uang itu di telapak kanannya lalu menangkupkan telapak kirinya di atasnya.

“Perhatikan ini, Tuan Abu,” ujar Qadi Juhha sambil menggoyang-goyangkan tangannya. Uang dalam genggamannya berbunyi gemerincing nyaring.

“Apa kau mendengar bunyi gemerincing uang itu?” tanya Qadi Juhha lagi.

“Ya. Aku mendengarnya,” jawab Tuan Abu.

“Baiklah, berarti Anda telah menerima bayaran dari aroma roti Anda,” ucap Qadi Juhha sambil tersenyum.

“Apa maksud Anda?” Tuan Abu bertanya dengan gusar.

“Bocah ini telah mencium aroma roti Anda. Ia tak memegang, mengambil, apalagi memakannya. Anda sudah mendengar suara gemerincing uang bayaran yang Anda minta. Anda pun tak perlu memegang dan menggunakannya. Sudah setimpal, bukan?”

Tuan Abu bersungut-sungut mendengar penjelasan Qadi Juhha.

“Ayo, kita pergi, bocah kecil!” ajak Qadi Juhha kemudian. Bocah itu pun berlalu dengan senang.

“Yah, sana pergi jauh-jauh. Jangan mendekati toko rotiku lagi!” teriak Tuan Abu dari kejauhan. Namun Qadi Juhha dan si bocah kecil sudah tak mendengarnya. 

***

Amira selesai membaca buku cerita yang bagus, ya buku di tutup dan di taruh di meja. 

"Nonton Tv ah!" kata Amira.

Amira pindah duduknya dari ruang tamu ke ruang tengah, ya nonton Tv bersama ayah dan ibu.

PPKM (PANDAI PANDAI KAU MEMILIH)

Indro duduk di ruang tengah, ya asik nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Indro, ya acara berita seputar ini dan itu baik di dalam negeri, ya seluruh propinsi sih dan juga luar negeri......pokoknya menarik untuk di tonton dengan baik sih. Kasino selesai dengan kerjaanya, ya keluar dari kamarnya.

"Nonton Tv..ah!" kata Kasino.

Kasino ke ruang tengah, ya duduk di sebelah Indrolah dengan baik untuk nonton Tv.

"Acara Tv berita toh," kata Kasino.

"Iya," kata Indro.

"PPKM masih terus berlanjut ya?!" kata Kasino.

"Berita Tv, ya memberitakan tentang itu sih," kata Indro.

Indro dan Kasino terus menonton acara Tv dengan baik sih.

"Kalau ingat-ingat kaya ada lagu dengan judul PPKM?!" kata Kasino.

"Lagu dengan judul PPKM (Puadai Pappoji Ko Mappojiki) yang di nyanyikan sama artis Selfi," kata Indro.

"Lagunya memang pake bahasa daerah sih. Memang yang menyanyikan artis Selfi!" kata Kasino.

"Memang bagus sih lagu itu," kata Indro memuji.

"Kalau bidadari yang menyanyikan lagu itu, ya bagus sih," kata Kasino memuji.

"Bidadari. Mulai deh jatuh hati pada penyanyi yang cantik dengan pesona kecantikannya," kata Indro.

"Nama juga cowok. Sekedar obrolan saja. Agar suasana obrolan tidak boring saja," kata Kasino.

"Aku paham Kasino," kata Indro.

Indro dan Kasino terus menonton acara Tv dengan baik. 

"Kasino. Apa Dono telah memasukkan nama peserta lomba menyanyi dalam tokoh dalam cerita seperti biasanya?!" kata Indro.

"Kalau itu aku tahu. Tanya aja sama Dono!" kata Kasino.

"Ya sudahlah. Nanti aku tanya sama Dono saja," kata Indro.

"Emmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus menonton acara Tv yang bagus itu. Ya berita Tv, ya memberitakan satu persatu berita dengan baik. Dono selesai membaca bukunya di ruang tamu.

"Nonton Tv ah!" kata Dono.

Dono beranjak dari duduknya ke ruang tengah untuk nonton Tv.

"Kasino. Pembawa acara berita di Tv. Cantik dan juga ganteng ya?!" kata Indro.

"Kenyataannya memang begitu. Cantik dan ganteng. Artis juga pembawa acara Tv itu," kata Kasino menegasakan omongan Indro.

Kedua terus menonton acara Tv dengan baik. Dono duduk di ruang tengah bersama Kasino dan Indro.

"Acaranya Tv....berita ya?" kata Dono.

"Iya Don," kata Kasino dan Indro bersaman.

Indro yang ingin nanya tentang Blog-nya Dono, ya berkata dengan baik "Don. Apakah nama peserta lomba menyanyi di masukkan dalam tokoh cerita, ya seperti biasanya gitu?"

"Belum lah. Kan sesuai dengan omongan aku yang lalu lalu. Bahwa aku tidak memasukkan nama peserta lomba menyanyi dalam tokoh cerita yang aku buat. Aku mau bersifat adil saja. Sampai peserta menyanyi itu.... jadi juara gitu," kata Dono menjelaskan.

"Oooo begitu toh," kata Indro.

"PPKM," kata Kasino.

"Ada apa dengan PPKM....Kasino?" tanya Dono.

"PPKM kepanjangannya Pandai Pandai Kau Memilih," kata Kasino yang tegas.

"Bener tuh omongan Kasino. PPKM...Don!" kata Indro menegaskan omongan Kasino.

"Kaya aku memilih seorang cewek saja yang ingin aku jadikan bidadari dalam hidupku. Satu satunya seumur hidup ku," kata Dono.

"Kebiasaanya kan cewek yang di pilih," kata Indro.

"Memang. Kebiasaannya kan cewek untuk di jadikan tokoh dalam cerita," kata Kasino dengan tegas.

"Waktu kan bisa berubah. Cowok mungkin yang aku pilih dari peserta lomba menyanyi, ya jadi tokoh dalam cerita," kata Dono.

"Itukan keputusan Dono. Jadi penulisnya dalam membuat cerita di Blog," kata Kasino.

"Dono yang memutuskan dengan baik," kata Indro.

"Kalau begitu tidak perlu di bahas lebih jauh. Fokus nonton Tv saja!" kata Dono.

"Iya," kata Kasino dan Indro bersamaan.

Ketiganya fokus nonton Tv dengan acara Tv yang bagus gitu.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK