CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

ANAK KEBANGGAAN

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila dipanggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu.

Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayan banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mula-mula si anak dinamainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarkan nama Edward menjadi Ismail, sesuai dengan nama raja Kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yang sudah terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakni ketika bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun, si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy.

Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang pada anak, ia terima juga nama itu, asal ditambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun, dalam hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang. Calon nama dari nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi, itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dengan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang-gemilang, angan-angannya pasti merupa jadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Ditulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.

"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit. 

Dan kalau Ompi melihat orang membuat rumah, lalu ia berkata: "Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah."

Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, anakku," katanya pada diri sendiri, "aku bangga engkau, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Ooo, perkara uang? Tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?"

Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi, semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanya menjadi mimpi semata. Namun, orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua  itu tak hendak percaya? Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang dicapai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya.

"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi, Ayah mengerti kalau mereka memfitnahmu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam sepucuk surat.
Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi yang membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji.

"Ooo, anak Ompi itu! Bukan main dia! Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.

"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."

"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."

"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku, anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."

Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia, Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharapkan cintanya."

Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumannya. "Bukan main! Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya? Ha, ha, ha! Ah, datanglah kau  ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."

Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang dikenalnya, ditegurnya: "Hai, kau kenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha, ha, ha!"

Si gadis tentu saja merah mukanya karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.

Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah patut ditunangkan. Dan pada sangkarnya, tentu Indra Budimannya akan gembira dan bertambah rajin menurut ilmu, sebagai imbangan budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal  harapan saja.

Tapi,  Ompi tak mau mengerti. Sifat keangkuhannya mudah tesinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang cantik tanpa memedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah nanti! Kalau Indra Budimanku sudah jadi dokter, akan kuludahi muka semua. Sombong!"

Kepada Indra Budiman tak dikatakan kemarahan itu Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya.

Celakanya, Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, sudah banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya  yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat. Sejak itu, berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu, si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimi foto-foto gadis yang dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa foto gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Di samping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah diselesaikan.

Tapi, rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis saat Ompi kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tidak datang lagi. Antara  rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat. Ditungguinya beberapa hari. Tapi, tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak berbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tanggannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar ia karena bahagia. Akan tetapi, alangkah remuknya hati orang tua itu karena ternyata pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang ditiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu dibukanya dan dibacanya satu per satu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu.

Tapi, ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan agar apa yang terjadi itu adalah memang mimpi.

Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tetapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian mengurus. Tapi, mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup.

Akan tetapi, setiap sore di antara jam empat dan jam lima Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu Pak Pos biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang memberikan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah luka hatinya. Hingga lebih meroyok. Sebab, selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.

Namun, kemalangan itu bertambah lagi, yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama baru orang tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya dipasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan. Sehingga ia akan sertamerta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada tiap jam empat dan jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya.

Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka di hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengirimkan surat. Kedatangan seorang dokter dipandangnya sebagai suatu sindirian, bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-citanya tercapai.

Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan risiko besar, bangunkahlah kembali mahligai angan-angannya."

Semenjak itu, aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu acara samar-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita kenangan masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut.

Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokternya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi, aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya.

Pada suatu hari terjadilan apa yang  kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan  jika perlu akan kuubah isinya agar terelakkan saat-saat yang menyeramkan.

Akan tetapi, semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah rencanaku. Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada saja dibelakangku. Sesaat setelah aku menerima dan menandatangani resi telegram itu.  Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

"Bukanlah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dulu.

Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulangkah dia dengan membaca titel dokternya?" Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi terburu-buru berdesakan keluar.

Tak tahulah aku, apa yang harus ku katakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi, keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku aku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.

Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi, aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya.

Sepi begitu menekan, sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri.

"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraan akan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf-sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.

Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jawa dan sesalan bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi, telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.

"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan gembira.

Dan telegram itu dibawanya ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.

KISAH SEBUAH CELANA PENDEK

Tepat pada hari Pearl Harbour diserang Jepang, Kusno dibelikan ayahnya sebuah celana pendek. Celana kepar 1001, made in Italia.

Pak Kusno buta pilitik. Tak tahu ia, berapa besarnya arti penyerangan itu. Yang diketahuianya hanya, bahwa anaknya sudah tidak mempunyai celana pendek lagi yang pantas dipakai. Setiap orang yang sedikit banyak kenal politik di seluruh dunia mengernyutkan keningnya: karena dendam, karena khawatir, karena marah. Tapi Pak Kusno tersenyum senang pada hari itu. Ia telah berhasil apa yang disangkanya semula sesuatu yang tidak bisa; membelikan Kusno sebuah celana pendek.

Pada waktu itu Kusno berusia 14 tahun. Baru tamat Sekolah Rakyat. Sekarang hendak melamar pekerjaan. Dan dengan celana baru, rasanya baginya segala pekerjaan terbuka. Ia akan membuktikan kepada ayahnya, bahwa ia adalah anak yang tahu membalas guna. Pendek kata, keluarga Kusno pada hari itu bergirang hati seperti belum pernah sebelum itu. Dan kabar-kabarnya tentang Pear Harbour tidak bergema sedikitpun juga dalam hati orang sederhana ini.

Demikan benarlah ucapan: hanya orang-orang besar yang mau perang; rakyat sederhana mau damai cuma!

Tapi Kusno tak selekas seperti sangkanya mendapat pekerjaan. Kantor-kantor tahu, apa arti penyerangan Pulau Mutiara itu. Mereka tidak menerima seorang pekerja baru lagi. Di atas kantor itu bergumpar awan hitam dan dari sela-sela awan itu menjulur muka malaikatulmaut.

Kusno terpaksa menurunkan harga dagangannya: dari juru tilis menjadi portir dan dari portir menjadi opas. Dan setelah berpuluh kantor dinaikinya, akhirnya berhasil juga ia mendapatkan sebuah pekerjaan,... sebagai opas dengan gaji sepuluh rupiah sebulan.

Pak Kusno bersusah hati. Ia sendiri seorang opas. Mestikah anaknya menjadi opas lagi? Dan anak Kusno kelas opas pula? Turun-temurun menjadi opas? Tidak pernah tercita-cita olehnya, keluarganya akan menjadi keluarga opas. Tapi, seperti juga orang-orang kampung lain dalam kesusahan. Pak Kusno ingat kepada Tuhan; manusia berusaha, Tuhan menentukan!

Kusno bekerja dengan rajin, tapi celana kepar 1001-nya bertambah lama bertambah pudar, karena sering kena cuci. Setiap bulan ia berharap akan dapat membeli celana baru, tapi uang yang sepuluh rupiah itu  untuk makan sajapun tidak mencukupi. Dengan sendirinya kepar 1001 bertambah sering harus dicuci, dan setiap kena cuci, rupanya bertambah mengkhawatirkan.

Seluruh pikiran Kusno tertuju kepada celana pendek itu. Apakah yang terjadi dengan dirinya, jika celana pendek itu sudah tidak bisa dipakai lagi? Setiap hari ia berdoa, agar Tuhan jangan menurunkan hujan. Dan jika hujan turun juga, Kusno dengan hati kembang-kempis melihat kepada celananya, seperti seorang ibu melihat kepada anaknya yang hendak di lepas ke medan peperangan.

Kepar 1001 x 1 = 1. Berapakah 1-1 ? Kalau pikiran Kusno mengenakan celana 1001 ini. Apalagi kalau tidak ada uang pembeli sabun, sedang celana lagi kotor.

Tidak, rakyat sederhana tidak mau perang; ia hanya mau hidup sederhana dan hidup bebas dari ketakutan esok hari tidak mempunyai celana.

Tapi orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang; yang satu untuk demokrasi dan yang lain untuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya.

Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemakmuran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti bagi celana. Dan sebab itu disambutnya tentara Jepang dengan peluk cium dan salaman tangan.

Dan seperti kebanyakan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan bangsa Indonesia hidup dengan pengharapan akan kemerdekaan, Kusno hidup dengan pengharapan celana baru, terus-menerus berharap selama tiga setengah tahun.

Tapi seperti juga kemerdekaan itu, celana itupun tak berbayang. Dan waktu Kusno melepaskan harapan itu, celana 1001 itu sudah tidak seperti celana lagi. Di sana sini benangnya sudah keluar dan apa yang dulunya putih, sekarang sudah kuning kehitam-hitaman. Dan karena itu celana itu tidak pantas lagi dipakai oleh seorang opas. Waktu Kusno memberanikan hatinya meminta kepada sepnya, ia dibentak demikian hebatnya, sehingga pada waktu itu hilang semangatnya.

Dia datang juga beberapa hari lagi ke kantor, tapi akhirnya malunya berkuasa atas gaji yang sepuluh rupiah itu dan ia pun minta berhenti.

Hari kemudian gelap bagi Kusno. Tapi sekarang ia lepas bebas dari malu yang mencoret mukanya. Ia tahu, bahwa hari gelap dan maha menakutkan akan menimpa dia. Tapi Tuhan maha pengasih dan pemurah. Demikian keyakinan Kusno.

Pada suatu hari, Kusno sakit kepala. Ia tahu bahwa sakit kepala itu segera hilang, jika ia dapat mengisi perutnya. Dua hari dua malam tak ada lain yang dimakannya selain daun-daun kayu. Ada terlayang di pikirannya untuk menjual celana 1001 itu, guna membeli sekedar makanan yang pantas dimakan manusia. Tetapi lekas dibuangnya pikiran itu. Jika celana itu dijualnya, perutnya kenyang buat beberapa detik, tapi sesudah itu dengan apa akan ditutupnya auratnya? Sekali pula ada niatnya untuk mencuri. Dan keluarga Kusno turun-temurun takut kepada Tuhan itu, sungguh pun belum pernah dilihatnya.

Begitulah Kusno tidak menjual celana, tidak mencuri, sering sakit kepala dan hidup dengan daun-daun kayu. Tapi ia hidup terus, sengsara memang, tapi hidup dengan bangga.

Tentang celana kepar 1001 itu, tak ada yang diceritakan lagi. Pada suatu kali ia pasti hilang dari muka bumi, seperti juga Kusno akan hilang dari muka bumi. Dan mungkinkah ia bersama-sama dengan Kusno hilang dari muka bumi ini?

Tapi bagaimana juga, Kusno tak akan putus asa. Ia dilahirkan dalam kesengsaraan, hidup bersama kesengsaraan. Dan meskipun celana 1001-nya hilang lenyap menjadi kain topo. Kusno akan berjuang terus melawan kesengsaraan,  biarpun hanya guna mendapatkan sebuah celana kepar 1001 yang lain.

Hanya yang belum juga dapat dipahamkan Kusno ialah, mengapa selalu saja masih ada peperangan. Kusno merasa seorang yang dikorbankan.


Karya: Idrus.

SADARNYA KURA-KURA

Hujan lagi! Banjir lagi!

Hewan-hewan penghuni hutan sempat kalang kabut. Mereka agak terlambat menyiapkan diri menghadapi musim hujan. Saluran air mampet tersumbat sampah. Jalan tergenang air. Bahkan sebagian menjadi kubangan yang cukup dalam.

Kancil menjadi ketua RT di lingkungannya. Ia mengajar warganya untuk bekerja bakti. Semua turun tangan ikut bekerja bakti. Hanya Kura-Kura yang tidak ikut. Padahal, Kancil sudah mengajaknya.

"Kalau jalan tergenang dan  jadi kumbangan, tentu tidak sedap dipandang. Untuk lewat pun berbahaya. Bisa tergelincir. Bahkan, juga bisa menjadi sarang penyakit," kata Kancil.

Maksudnya menyadarkan Kura-Kura. Akan tetapi, Kura-Kura menanggapi seenaknya.

"Saya tidak takut menghadapi kubangan. Walau kubangan sedalam apa pun, saya mudah melewatinya," timpal Kura-Kura.

Mentang-mentang ia bisa berenang. Kancil tidak putus asa. Hari berikutnya, ia datang lagi ke rumah Kura-Kura. Ia kembali mengajak bergotong-royong.

"Para warga sedang membersihkan saluran air. Agar jika hujan turun deras, tidak mengakibatkan banjir," ujar Kancil.

"Saya malas!" potong Kura-Kura.

"Ini demi kepentingan kita semua," desak Kancil.

Anehnya, Kura-Kura menggeleng mendengar ucapan Kancil. "Bukan kepentinganku, melainkan kepentingan warga yang takut banjir."

"Apa maksudmu?" tanya Kancil.

"Saya tidak pernah menganggap banjir sebagai bahaya. Walaupun banjir setinggi pohon kelapa, saya tidak takut," tandas Kura-Kura keras kepala.

Kancil  sudah berusaha. Akan tetapi, Kura-Kura masih juga belum sadar pentingnya gotong-royong. Hal itu akhirnya ketahuan juga oleh warga yang lain.

"Memangnya dia mau hidup sendiri?" cetus Kera bernada kesal.

Suatu saat, Kura-Kura meninggalkan rumah untuk mencari makan. Ia melewati jalan yang hendak diperkeras. Batu kali menggunduk di mana-mana. Sebagian terserak, belum diratakan. Sial menimpa Kura-Kura. Dia tergelincir ketika mengijak batu bundar. Tubuhnya yang besar dan berat terguling, lalu jatuh terlentang. Kura-Kura berusaha membalikkan badan. Namun tak berhasil.
....

ELLEN SOEBIANTORO TAK TAKUT MEMIDANA MATI

PENEGAKAN hukum harus dimulai dari diri sendiri. Itulah komitmen Ellen Soebiantoro, perempuan pertama yang menduduki jabatan Jaksa Agung Muda di jajaran Kejaksaan Agung. Awal Juni 2003, perempuan bernama lengkap Harprilenny Bareno ini dilantik Jaksa Agung M.A Rachman menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.

Ellen mencapai jabatan ini melalui perjuangan sepanjang 35 tahun. Ketika memulai kariernya tahun 1968, jumlah perempuan jaksa tidak banyak. Hal itu memacu Ellen untuk meniti karier di kejaksaan.

***

Teman-temannya sesama jaksa menjulukinya sebagai orang yang berani mengeksekusi mati. Meski demikian, ia mengakui bahwa hal yang paling berat baginya adalah ketika menduduki jabatan Kepala Seksi Eksekusi terpidana mati dalam kasus Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Ketika melaksanakan eksekusi hukuman mati, hati saya sangat berat, apalagi kalau yang dieksekusi sudah tua. Proses hukuman mati di negeri kita, memang memerlukan waktu lama. Kalau waktu dihukum usianya 40 tahun dan langsung didor mungkin enggak apa-apa. Tetapi kalau sudah 60 tahun, sudah tua, lihat orangnya dalam hati mau menangis," paparnya. Untuk menghibur dirinya, Ellen mencoba berpikir, apabila orang itu masih hidup, mungkin akan lebih jahat lagi.

Menjadi jaksa memang merupakan cita-citanya sejak kecil. Keinginan tersebut mulai muncul ketika melihat ayahnya yang purnawirawan jenderal polisi bekerja. "Dulu melihat ayah saya pakai seragam polisi sangat keren dan gagah, saya ingin jadi polisi. Tetapi, karena dua kakak saya sudah jadi polisi, saya pilih jadi jaksa. Apalagi, kakek saya juga mantan jaksa," tutur Ellen yang dilahirkan di Padang, 56 tahun lalu.

Sejak kecil sikap beraninya sudah kelihatan. Pergaulannya lebih banyak dengan anak laki-laki. Hobinya main sepak bola, naik pohon, sepatu roda, naik kuda, bahkan berkelahi. Semasa kuliah, ia berlatih karate sampai menyandang Dan Satu.

***

Sebagai jaksa, berbagai tugas telah ia jalani. Mulai dari urusan sekretariat, bagian keuangan, penyusunan rencana di biro hukum, hingga bagian perpustakaan. Kariernya terus melejit ketika ia menjadi Wakil Jaksa Tinggi Jambi tahun 1997. Hanya setahun, ia ditarik ke Kejaksaan Agung menjabat Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak JAM Datun. Dua tahun kemudian, ia dipromosikan menjadi Kepala Kejati Jawa Barat. Hanya setahun di sana, ia naik menjadi Sekretaris JAM Datun. Dua tahun kemudian, dia diangkat menjadi JAM Datun setelah sempat sekali menjadi Pelaksana Harian JAM Datun Kejaksaan Agung.

Sebagai perempuan, Ellen pantang bersikap cengeng. "Orang sering meragukan perempuan karena kaum perempuan sendiri tidak membuktikan. Maka, saya berusaha keras untuk membuktikan bahwa perempuan bisa seperti laki-laki," ujarnya. Ia membuktikannya: jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, yang termasuk Kelas I-A yang selama ini hanya dipimpin laki-laki pernah dipercayakan kepadanya.

Meski demikian, Ellen mengakui kepercayaan  yang diberikan kepada perempuan jaksa untuk menangani perkara sangat minim. Atasannya khawatir perempuan tidak bisa 24 jam bekerja dan jika dipanggil mendadak tidak siap.

Dalam keluarga ia tidak sependapat jika hanya perempuan yang diserahi tanggung jawab mengurus rumah tangga. "Aneh ya, kalau sudah menikah, biasanya suami suka bilang, sekarang saya sudah ada yang mengurus. Kadang-kadang saya berpikir, perempuan yang menikah ini jadi istri atau jadi pembantu. Makanya saya bertekad, meskipun sebagai ibu rumah tangga, saya harus membuktikan bahwa saya mampu jadi pegawai yang baik," ujar Ellen yang bersuami seorang mantan jaksa ini.

***

Oleh karena itu, ia memacu dirinya agar bisa berhasil menduduki jabatan penting di kejaksaan yang selama ini tidak tersentuh oleh perempuan jaksa. Dorongan suami yang cukup banyak mempengaruhi keberhasilan Ellen sebagai jaksa.

"Ketika dilantik menjadi kepada Kejari sampai kepala Kejati, suami tidak pernah mau hadir. Dia hanya bilang, nanti saja kalau kamu sudah jadi JAM, baru saya ikut. Itulah yang memotivasi saya. Makanya saya kerja terus, lebih bagus, sampai akhirnya saya dilantik menjadi JAM Datun," ujar ibu dari Virginia Hariz Taviane, Heidy Febbyane, Helena Octaviane, M. Hasley Hossein, dan Sri Rejeki Prema Caesariane itu.

Ellen tidak menolak anggapan bahwa kinerja kejaksaan makin merosot. "Namanya manusia tidak luput dari kesalahan. Bisikan setan lebih kuat daripada bisikan malaikat. Saya akui gaji pegawai negeri memang kecil, tetapi sebenarnya kembali kepada diri kita sendiri. Tetapi kalau kita mau jadi jaksa yang baik, seharusnya kita bekerja dengan baik," ujarnya.

Oleh karena itulah, dalam menangani perkara, ia tidak peduli jika ada yang perkara, ia tidak peduli jika ada  yang menjulukinya sebagai jaksa yang punya sifat "tega". Ketika menangani perkara, ia sering berhadapan dengan jaksa-jaksa senior atau atasannya yang kebetulan kenal dengan tersangka dari perkara yang dia tanggani. "Soal jaksa, sebenarnya dapat dilihat dari cara hidupnya. Akan kelihatan bagaimana dia menangani perkara," paparnya.

Ellen pernah ditelepon oleh jaksa senior dan kepala Kejari sehubungan dengan kasus pembebasan tanah dengan tersangka seorang lurah. Bukannya melepaskan si tersangka seperti dikehendaki para penelepon, ia malah menahannya. Pernah pula ia menolak permintaan polisi yang meminta sebuah kasus yang sudah siap dilimpahkan ke pengadilan. Ujarnya, "Kalau memang orang itu salah, ya harus diproses. Biar saja, teman mau apa, hukum harus ditegakkan. Kalau tidak mulai dari dari kita sendiri, hukum tidak akan pernah tegak."

Dalam menangani kasus yang terkait dengan perempuan, ia lebih keras lagi. Pernah ada seorang pemimpin band memerkosa anak angkatnya. Ellen pun menuntut tinggi orang tersebut. "Kasihan kalau perempuan sudah rusak, mana ada laki-laki yang tidak mengungkit masalah seperti itu. Makanya hukuman terhadap pemerkosa harus diperberat."

Ia berjanji akan terus melaksanakan penegakan hukum sebaik mungkin. Ia bertekad akan meningkatkan pengetahuan jaksa, terutama dalam masalah hukum yang semakin modern."Jaksa tidak hanya berhadapan dengan pengacara yang pintar, tetapi juga dengan penjahat yang lebih pintar," ujar perempuan pengagum mantan Presiden Soekarno ini.
Selesai...!

LANTIP

.....

Seperti di tempat-tempat lain di Jawa, tentara Jepang masuk dan menguasai Wanagalih dengan mudah. Jembatan Jamus, satu-satunya jembatan besi dan besar di Wanagalih, yang menghubungkan kota ini dengan ,kota lain di sebelah timur Kali Madiun, yang diledakkan oleh tentara Hindia Belanda, tidak mampu menghambat laju masuknya balatentara Dai Nippon. Pada perasaan saya waktu itu, tahu-tahu, tentara Jepang berada di mana-mana di dalam kota. Dengan cepat, mereka mengambil alih semua kantor pemerintahan di kota kami dan langsung saja memutar kembali roda pemerintahan. Pengumuman yang berisi ancaman tembak mati kepada siapa saja yang  ditempel di mana-mana dan lansung ditaati oleh penduduk. Ceriteria-ceritera dan desas-desus tentang kehebatan balatentara Dai Nippon telah menjadi mitos yang hebat di kalangan ramai. Bayangkan, tentara orang-orang kate, berkepala gundul plontos, berkaki bengkok, bermata sipit, dapat menang dengan mudah melawan Londo-Londo gede, jangkung, yang sudah menjajah tanah Jawa selama ratusan tahun. Pastilah orang-orang kate itu bukan orang-orang sembarangan. Orang-orang yang dapat mengalahkan keturunan Murjangkung, yang dulu pernah mengalahkan Sultan Agung, pastilah orang-orang yang sakti mandraguna dan tidak dapat dipandang enteng. Maka kedatangan mereka disambut oleh penduduk dengan penuh kekaguman dan perintah-perintah mereka pun dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Tentara Jepang itu juga mengatakan kepada kami bahwa mereka datang untuk membebaskan kami dari belenggu penjajahan Belanda, dan kami memercayainya. Pada permulaan pendudukan itu kami juga diperbolehkan menyanyikan lagu "Indonesia Raya" yang untuk pertama kali saya ketahui digubah oleh seorang yang bernama Wage Rudolf Soepratman. Alangkah bangga hati saya memiliki nama Wage. Ternyata, nama itu dapat menyandang orang yang benar dan berjasa. Lagu yang saya dengar dari radio itu hanya diiringi oleh biola, gitar, dan ukulele. Begitu sederhana, begitu mengharukan. Indoneesch, Indoneesch, mulia, mulia. Sayang, bulan madu dengan "Indonesia Raya" itu tidak berlangsung lama sebab lagu itu, bersama dengan banyak hal lainnya, kemudian dilarang oleh tentara Dai Nippon, tentara yang membebaskan kita dari belenggu penjajahan Belanda.

Untuk beberapa lama, sekolah-sekolah di Wanagalih, termasuk sekolah Ndoro Guru Kakung di Karangdompol, ditutup. Rupanya dibutuhkan waktu yang agak lama lagi bagi pemerintahah yang baru untuk mengubah sistem pendidikan gaya Hindia Belanda menjadi gaya baru pemerintahan pendudukan Jepang. Sekolah-sekolah dasar yang dulu dikotak-kotak dalam sekolah ongko loro, angka dua, di desa, sekolah schakel, HIS, dan ELS, sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan anak pejabat tinggi pribumi di kota, dikocok menjadi satu macam sekolah dasar saja. Sekolah Desa Karangdompol, dengan demikian, naik status sosialnya, sedang HIS dan ELS menjadi turun gengsi. Waktu itu, saya sudah tamat sekolah dasar lima tahun di Karangdompol. Pada masa peralihan itu, sambil menunggu sekolah dibuka kembali, saya membantu bekerja di rumah.

Membersihkan rumah, menyapu halaman, menimba air dan sumur untuk mengisi kamar mandi, dan membantu orang-orang belakang untuk macam-macam pekerjaan. Ndoro Kakung dan Ndoro Putri mengisi waktu mereka dengan bekerja lebih banyak di tegalan dan sawah, memeriksa tanaman palawija di tegalan dan padi di sawah tadah hujan mereka. Pada masa peralihan yang terasa belum menentu benar itu, agaknya naluri mereka sebagai keturunan petani muncul. Naluri itu adalah naluri untuk menabung, menumpuk persediaan dalam menghadapi masa paceklik. Bayangan sementara penduduk bahwa dengan kedatangan tentara Jepang harga-harga akan turun, secara bertahap semakin mengabur. Harga-harga tidak turun. Barang-barang bahkan mulai menghilang.

Pada suatu pagi, tiba-tiba ada suatu panggilan mendadak bagi Ndoro Guru Kakung untuk berkumpul di kabupaten. Kata beliau, semua guru diwajibkan berkumpul di kabupaten karena akan mendengarkan penjelasan tentang peraturan sekolah yang baru. Saya sangat tertarik mendengar itu karena berharap sekolah akan segera dibuka kembali. Tetapi, waktu pada siang hari saya melihat Ndoro Guru Kakung pulang dengan wajah lesu, saya jadi khawatir. Jangan-jangan, sekolah akan ditutup untuk selamanya dan semua harapan saya untuk dapat menyambung sekolah sesudah tamat sekolah desa di Karangdompol, akan sirna. Ndoro Guru Kakung, sesudah menyadarkan sepeda beliau di tritisan samping rumah, langsung duduk di kursi goyang di ruang depan. Hari, seperti biasa di Wanagalih, panas bukan main. Teh hangat yang dibawakan Ndoro Guru Putri tidak dijamahnya, tetapi beliau malah langsung memerintahkan saya untuk membuat segelas air kelapa muda dengan sedikit gula Jawa. Saya tahu, bila Ndoro Guru Kakung sudah minta minuman yang tidak terlalu umum pada waktu seperti itu, pasti sedang suntuk pikirannya. Minuman itu, sesudah saya suguhkan, langsung diteguknya habis, dan minta tambah segelas lagi. Saya pun segera melaksanakannya. Barulah kemudian beliau kelihatan puas. Blangkon, ikat kepala, sudah terletak di meja, jas tutup sudah dibuka beberapa kancingnya, kipas untuk mengipas dan meneduhkan leher dan dada beliau yang basah karena keringat, sudah pula saya haturkan. Ndoro Putri, yang duduk di kursi goyang yang satu lagi, memandang beliau, menunggu ceritera dan Kabupaten. Saya duduk di tangga bawah memasang telinga. Agak lama juga rasanya Ndoro Guru Kakung membutuhkan waktu untuk mengeringkan leher dan dadanya.

"Hem, susah."

"Susah bagaimana, to, Pakne?"

"Nippong itu, lho. Sekolah diperintahkan untuk dibuka mulai minggu depan."

"Lha, malah bagus, to, Pakne. Anak-anak sudah terlalu lama menganggur. Nanti keburu nakal semua mereka."

"Tunggu dulu, to Saya tak ceritera, ya?"

Pertemuan di Kabupaten pagi tadi memang pertemuan yang istimewa. Belum pernah saya menghadiri pertemuan yang dihadiri orang sebanyak itu dan dari berbagai macam lapisan pangkat dan jabatan. Ada tiga tuan-tuan Nippong dan dua orang tuan-tuan Jawa yang berpakaian persis seperti Nippong. Cepetnya itu, lho, bangsaku menyesuaikan diri. Tuan Nippong yang kelihatan paling tinggi pangkatnya berpidato dalam bahasa Nippong yang sudah tentu kami semua tidak ada yang tahu. Kemudian, diteruskan oleh Nippong yang seorang lagi dalam bahasa Indonesia yang aneh dan lucu sekali. Lagunya seperti membentak-bentak, begitu. Kemudian, diteruskan oleh bangsa kita sendiri. Eh, tahunya lagunya juga ikut-ikutan seperti membentak-bentak. Pokok, pidato-pidato itu perintah kepada kami untuk mengikuti kebiasaan baru di sekolah. Setiap pagi, kami, baik guru maupun murid, menghadap ke utara, membungkukkan badan dalam-dalam memberi hormat kepada Tenno Heika, yaitu kaisar Jepang yang  katanya adalah keturunan dewa. Habis itu, kami semua diwajibkan taiso, yaitu olahraga, baru kemudian mulai dengan pelajaran. Setiap hari, mesti ada pelajaran bahasa Nippong. Dan untuk itu, akan diadakan kursus kilat bahasa Nippong buat guru-guru yang terpilih.

"Wah, pokoknya repot dan sudah, Bune."

Ndoro Guru Putri diam, nampaknya sedang mencoba membayangkan dan memahami ceritera suaminya itu. Saya pun, yang ikut mendengarkan dari tangga, mencoba juga membayangkan bagaimana semua itu akan dilaksanakan.

"Bayangkan, Bune, orang setua saya disuruh membungkuk-bungkuk menghadap ke utara setiap pagi untuk menyembah Dewa, Lha, rak susah dan, menjengkelkan, to itu? Wong sembahyang menurut agama kita sendiri kita masih belum bagus, kok, ini disuruh menyembah Dewa orang lain. Dan belajar lagi bahasa asing? Wong bahasa Belanda yang sudah di sini ratusan tahun saya belum juga bisa, kok, sekarang saya harus belajar cepat bahasa Nippong! Bagaimana mungkin. Tidak, Bune. Saya mau pensiun saja! Toh sesungguhnya saya ini sudah pensiun, tapi diperintah gupermen untuk masih berada di Karangdompol."

Ndoro Putri diam mendengar gerutu Ndoro Kakung yang panjang itu. Saya mendengarkan gerutu dan keluh-kesah Ndoro Guru Kakung itu dengan perasaan khawatir. Apakah Ndoro Guru Kakung menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan gupermen sudah berakhir dan sekarang sudah diganti oleh pemerintahan Nippong?

Apakah keputusan beliau untuk pensiun tidak dianggap sebagai keinginan untuk melawan? Nampaknya Ndoro Putri juga memendam rasa khawatir tersebut.

"Sudahlah, Pak. Sementara jangan dipikir dulu. Sekarang sebaiknya Bapak dahar dulu, terus istirahat tidur siang."

"Dan celakanya lagi, Bune. Murid-murid sekolah mulai minggu depan harus cukur gundul, berkepala plontos! Bayangkan! Anak-anak priyayi harus berkepala plontos seperti anak gembala.

"Iya, iya, Pakne. Ayolah, kita makan dulu."

Saya segera berlari ke belakang menyiapkan semua hidangan di atas meja. Ndoro Guru Kakung nampak tidak  terlalu berselera makan siang itu. Sayur asem kangkung kesukaan beliau hanya disinggung sedikit.

Rupanya, keputusan Ndoro Guru Kakung untuk pensiun sudah mantap benar. Sepulang beliau dari sekolah di Karangdompol, beliau langsung memberi tahu keputusan itu kepala Ndoro Putri. Saya yang diperintahkan untuk ikut ke sekolah tahu betul bagaimana Ndoro Guru Kakung mengumumkan keputusan beliau untuk pensiun di depan rekan-rekannya di sekolah. Rekan-rekannya pada terkejut mendengar keputusan itu. Mereka pada mencoba menahan beliau agar beliau mau tinggal untuk sementara. Tetapi, agaknya, keputusan beliau sudah mantap. Pensiun.  Ndoro Guru Putri menerima keputusan suaminya dengan tenang. Agaknya, beliau sudah menduga bahwa keputusan itu memang tidak dapat ditawar lagi. Hal itu dapat saya lihat dari kemantapan langkah beliau waktu meninggalkan sekolah dan ketenangan wajahnya. Saya ingat  waktu kemudian kami berada di sampan penyeberangan, beliau menunjuk tempuran Kali Madiun dan Bengawan Solo. Perahu-perahu itu penuh dengan dagangan sayur-sayuran, daun jati, ayam, berkarung-karung beras, dan para petani. Wajah Ndoro Guru Kakung nampak tenang, ayem, tidak tegang atau lesu memandangi hilir-mudiknya lalu lintas di sungai itu. Mereka bekerja dengan keras, rajin dan gembira tidak usah harus membungkuk ke utara setiap pagi, Le....

Kira-kira satu minggu sesudah itu, pada pagi hari, datang beberapa orang ke rumah Jalan Setenan. Saya melihat ada seorang Dai "Nippong" dengan pakaian tentara memakai ban putih dengan tulisan Nippong di tangan kanannya. Selebihnya adalah orang-orang Indonesia. Saya melihat Menir Soetardjo adalah salah seorang dari yang datang itu. Ndoro Guru Kakung dan Ndoro Putri bergegas menyambut kedatangan tamu-tamu itu. Dengan gugup, Ndoro Guru Kakung menyilakan mereka untuk duduk. Saya melihat Menir Soetardjo juga tidak kurang gugup dan gelisah wajahnya. Beliau yang mulai dengan pembicaraan.

"Nuwun sewu, Kamas Darsono. Kami datang tiba-tiba begini."

"Oh, tidak apa-apa, Menir.

Dan belum lagi kata-kata basa-basi itu yang biasa dilempar pada perjumpaan seperti itu dimulai, tuan Nippong itu menyela dalam bahasa Indonesia yang lucu.

"Ano, Tuan Sasturodarusono desu ka?"

"Ya, ya, Tuan Nippong."

Ndoro Guru Kakung kelihatan semakin gugup. Menir Soetardjo menenangkan beliau dengan mengatakan bahwa Tuan Nippong ini adalah Tuan Sato dari kantor pemerintahan daerah. Beliau ingin bertanya tentang sekolah karangdompol, jelas Menir Soetardjo.

"Tuan Darusono guru Karangdomporu desu ka?"

Ndoro Guru Kakung masih terus gugup, hanya mengangguk-angguk saja.

"Hai?" 

Menir Soetardjo melihat Ndoro Guru Kakung, kemudian berbisik.

"Bilang hai, Kamas. Hai."

"Hai, hei, Tuan Sato."

Tiba-tiba, saya melihat muka Tuan Sato itu beringas dan kulitnya yang kuning kepucatan itu menjadi merah.

"Darusono tidak mau saikere kita ni muke?"

Ndoro Guru Kakung kelihatan hilang akal. Dengan gagap, beliau bertanya setengah minta tolong Menir Soetardjo.

"I-i-ni a-pa maksudnya, Dimas Menir Tardjo?"

"Aduh, Kamas. Tuan Sato ini marah karena dapat laporan Kamas tidak mau ikut upacara membungkuk ke arah utara."

Tiba-tiba, salah seorang Indonesia itu menyela dengan kasar.

"Sudahlah, Pak. Mengaku saja! Menyerah saja!"

Menir Sutardjo kelihatan tersinggung.

"Hus, jangan begitu, to. Ini kolega saya. Tenag, Kamas Darsono, saya akan mencoba melerai Tuan Sato."

Menir Soetardjo kemudian dengan hati-hati sekali menjelaskan kepada Sato bahwa Ndoro Guru Kakung adalah mantri guru yang sudah tua, sudah pensiun tetapi diminta untuk masih mau membantu di Karangdompol. Menir Soetardjo mohon pengertian Tuan Sato agar memaafkan Ndoro Guru Kakung karena beliau tidak paham akan perubahan baru ini.

"Kamas Darsono, saya mohon Kamas minta maaf saja kepada Tuan Sato."

"Mohon maaf?"

"Sudahlah, Kamas. Ini untuk keselamatan Kamas sekeluarga." Ndoro Guru Putri lantas juga cepat-cepat menyela.

"Mbok iyo, to, Pakne. Ngalah, Pakne, ngalah, Minta maaf." Ndoro Guru Kakung dengan gugup, pelan tapi juga jelas gemas mukanya menyampaikan maafnya.

"Sa-sa-ya mohon maaf, Tuan."

Tuan Sato mendekati Ndoro Guru Kakung. Lantas memegang tubuh Ndoro Kakung, membungkukkannya.

"Ayo, bungkuk, bungkuk, Darsono, bungkuk."

Dengan susah payah dan kaku, Ndoro Guru Kakung mencoba membungkukkan badannya. Tuan Sato kelihatan tidak puas dengan bungkuk Ndoro Guru Kakung. Tiba-tiba, dengan secepat kilat, tanpa kita nyana, tangan Tuan Sato melayang menempeleng kepada Ndoro Kakung. Plak! Plak! Ndoro Kakung geloyoran tubuhnya. Dengan cepat saya tangkap bersama Menir Soetardjo, terus kami dudukkan di kursi goyang.

"Darusono, jelek, busuk! Genjimin begero! Sehabis mengumpat begitu, Tuan Sato pergi dengan diiringi yang lain-lainnya. Sesudah sepi ruang depan itu, barulah ketegangan itu terasa mereda. Tetapi, justru waktu itu saya lihat muka , ngokro, lesu. Air matanya berlelehan keluar. Beliau menangis seperti. anak kecil.

"Oh, Allah, Buu! Belum pernah saya dihina orang seperti sekarang ini. Dia memukul kepala saya, Blune. Kepala!"

Dan beliau menangis terisak-isak. Mukanya kelihatan tersinggung betul.


Karya: Romo Mangunwijaya.

GAGAP BISA DISEMBUHKAN

Wahai sudah setahun bekerja di sebuah perusahaan besar. Hasil kerjanya baik karena ia tekun menyelesaikan tugas-tugasnya. Hanya saja, pemuda tampan berusia 22 tahun ini pemalu sekali. Berbicara dengan teman-teman wanita. Ketika berbicara, Wandi tak berani menatap lawan bicaranya. Sebelum melaporkan sesuatu dalam rapat, ia sudah risau dulu. Soalnya, Wandi gagap. Ia selalu berbicara sambil mengedip-ngedipkan mata serta ujung jari jari diketuk-ketukkan ke meja.

Seorang teman sejawatnya merasa prihatin. Ia membujuk Wandi agar mau berobat ke Klinik Bina Wicara. Di sana, mula-mula Wandi di wawancarai. Ia ditanya apa saja kesulitannya selama ini. Walaupun banyak mengulang kata-kata selama bercerita, ahli Bina Wicara tetap menunggunya dengan sabar. Ia diberi kesempatan  untuk berbicara secara bebas tanpa rasa takut.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa Wandi menderita secondary stuttering (kegagapan tahap kedua). Ia mengalami kemacetan tiap kali akan mengucapkan kata-kata yang dimulai dengan huruf S. Di samping itu, ia sering merasa cemas, takut, malu, dan merasa bersalah.
Ahli "bina wicara" di sana berhasil mengorek keterangan dari Wandi bahwa ia mulai gagap sejak duduk di kelas V Sekolah Dasar. Waktu itu, guru Matematika yang mengajar di kelasnya sangat keras. Guru tersebut selalu menyuruh Wandi maju ke depan kelas untuk membaca atau menyebut nilai ulangannya dengan suara keras sehingga ia gugup. Lama-kelamaan, gugup ini berkembang menjadi gagap. Akibatnya, Wandi pun sering diejek oleh teman-temannya. 

Ketika duduk di SMP, bicaranya lebih lancar. Mungkin karena tidak ada lagi guru yang ditakuti. Akan tetapi, di SMA ia kembali gagap ketika bertemu guru Bahasa Inggris yang galak. Terlebih saat ia harus tinggal bersama pamannya yang sangat disiplin dan keras. Ia juga dibatasi untuk bergaul dengan  teman wanita.

Wandi merupakan salah satu pasien gagap yang pernah mendapat terapi dari Karsinah Soedjadi, seorang ahli "bina wicara" (speech therapist) yang sejak tahun 1978 banyak menangani kasus kesulitan bicara, serta kesulitan belajar pada anak-anak.

IMPIAN YANG TERGANTI

Aku diam, tidak dapat mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Abi barusan. Bahkan panas matahari yang masuk melalui celah fentilasi ruang tamu pun, tidak dapat mencairkan otakku yang beku. Satu detik, dua detik, tiga detik.....otakku akhirnya dapat menangkap pernyataan Abi barusannya, mungkin saat ini matahari  sudah mulai mencairkan otakku, lalu sel-sel dalam otakku memerintahkan bibirku untuk berkata-kata.

"Apa Abi? Sekolah di pondok yang ada di Lampung?"

"Iya, Ndra.....Disana lebih dekat dengan Jakarta, jadi kamu bisa lebih modern. Pondok di sana nggak kampung-kampung amat kayak disini. Pondok disana udah kayak sekolah SMA Negeri di desa ini, udah bagus...." bukan Abi, tapi Umi yang menjawab pertanyaanku dengan sabar. Umi memang selalu begitu. Setiap Abi dan aku berbeda pendapat, Umi memang selalu bisa menengahi kami berdua seperti saat ini. Tapi tentu saja, aku harus tetap memperjuangkan keinginanku untuk bersekolah di Jambi bersama teman-teman SMP-ku,

"Nggak, Umi.....Aku nggak mau....mending aku di sini aja, di Jambi, walaupun di kampung kayak gini. Lagian kenapa sih, aku harus sekolah di pondok?" Aku kembali mengelak permintaan mereka.

"Ya.....Maksud Abi sama Umi itu, maunya kamu jadi orang yang bisa mendalami islam, Ndra.....Biar kamu bisa bahagia dunia akhirat," Umi menjawab masih dengan sabarnya. Sementara itu, Abi hanya diam menatapku tajam.

"Kalau Indra sekolah di pondoknya dengan terpaksa, itu artinya Indra nggak bahagia Umi....Pokoknya Indra nggak mau sekolah di pondok, apalagi di Lampung," aku tidak menghiraukan tatapan tajam Abi.

"Indra....tolong turutin permintaan Umi sama Abi, dong...," Umi kembali memintaku dengan penuh harap.

"Nggak Umi! Indra maunya ngelanjutin sekolah SMA Negeri yang Indra impikan. Kemudian melanjutkan kuliah di universitas Negeri yang terkenal di Indonesia Umi.....biar bisa ngebanggain Umi sama Abi juga. Pokoknya, Indra nggak mau sekolah di pondok, titik!" kali ini aku membentak Umi, tanpa memandang ke arah Abi. Nasibku tak ingin seperti Bang Doni, tetanggaku. Setelah lulus dari pondok, ia hanya bisa menjadi ustad biasa. Tidak punya ijazah yang sama seperti di SMA atau MAN, sehingga tak bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri. Ya, walau ada penyetaraan pun, tetap akan susah.

"Cukup Ndra! Kamu jangan bentak-bentak Abi sama Umi lagi kayak gitu. Abi udah janji sama temen Abi yang ada di Lampung, kalau Abi mau menyekolahkan anak Abi di sana, Abi juga udah ngedaftarin kamu dan ngebayar uang sekolahnya separuh. Jadi kamu harus sekolah disana!" Abi sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi.

"Apa Abi? Ya Abi ambil lagi dong uangnya, pokoknya Indra nggak mau!", kali ini aku harus lebih tegas menentang mereka.

"Indra! Jangan bikin Abi marah lagi. Pokoknya, beresin aja baju yang akan kamu bawa!", abi menunjuk ke arahku." Abi udah mesen tiket bis ke Lampung, jadi besok pagi-pagi kita sudah harus berangkat."

"Tapi Abi...,"  aku tidak melanjutkan kata-kataku, karena tatapan tajam Abi mampu membunuh keberanianku.

"Indra! Cukup, kamu nggak usah bantah lagi!"

Aku meihat ke arah Umi untuk meminta pembelaan, namun Umi hanya menganggukan kepada. Menandakan bahwa aku harus menuruti permintaan Abi. akhirnya, akupun menyerah dan berjalan perlahan menuju kamar.

Aku memandang kearah kertas yang tertempel di dinding sebelah lemari belajarku. Disana terdapat tulisan berbentuk poin-poin bertinta warna hitam, yang berjudul 'DAFTAR IMPIANKU ENAM TAHUN KEDEPAN', yang kutulis tiga tahun lalu. Beberapa poin sudah kutandai dengan pena biru dan poin yang lain belum kutandai.

Seharusnya aku menandai semua daftar ini dengan pena biru, namun aku harus terpaksa menodai dua poin dari daftar tersebut dengan pena merah. Sekilas, aku membaca tulisan yang ada di bagian bawah kertas itu. ' Note : tinta biru = impian yang tercapai, tinta merah = impian yang tidak tercapai (do not ever)'. Hatiku perih membaca 'note' tersebut. Namun apa daya, semua harus terjadi, aku harus mengingat bahwa perintah orang tua adalah perintah yang wajib kita lakukan, setelah perintah Allah. Kemudian dengan berat hati, tangganku meraih pena merah yang ada di meja belajar dan menandai dua poin yang bertuliskan 'Masuk SMA Negeri favorit di Jambi' dan 'Masuk PTN favorit di Indonesia'.

***

Setelah dua hari perjalanan yang kutempuh. Akhirnya aku sampai di Lampung, tepatnya di Kota Tapis Berseri, Bandar Lampung. Saat ini aku dan Abi berada di...."Terminal Rajabasa!" Ya, begitu tulisannya. Sepanjang perjalan tersebut aku tidak banyak bicara, masih jengkel dan sedikit marah dengan Abi. Saat ditanya saja baru aku bicara, selebihnya aku hanya diam.

Saat turun dari mobil bis, terasa sekali yang tadinya tulangku pegal-pegal akhirnya dapat direngangkan. Rasanya sungguh melelahkan. Dalam hati, aku berkata sendiri, Sabar Indra, sebentar lagi sampai di Pondok Pesantren dan kemudian beristirahat disebuah kamar tamu yang sudah Abi jelaskan tadi.

"Nah, setelah ini kita naik mobil bis hijau itu Ndra, kira-kira 10 menit," Abi menunjuk sebuah bis yang sedang parkir di ujung terminal, kemudian melanjutkan, "Terus, kita turun di Lampu Merah Untung, dari sana kita naik ojek ke Pondok Pesantren Ulul Albab kira-kira 25 menit. Itu keterangan yang dijelaskan teman Abi."

"Apa Abi? Masih ada perjalanan lagi? Jauh banget, sih Bi.....Indra capek.," tubuhku melemas. Huh! Ternyata peristirahatan yang kutunggu-tunggu harus diundur sekitar 35 menit lagi, kataku dalam hati.

"Iya, Abi juga capek. Ya sudah, kita istirahat dulu ya di warung itu?" Abi menunjuk ke arah sebuah warung makan yang ada di depan kami.

"Iya, Bi," aku pun berjalan gontai mengikuti Abi.

***

Sebuah gerbang besar berbentuk seperti gapura putih menyambutku dan Abi dalam bisu. Tulisan besar diatasnya menarik perhatianku 'Pondok Pesantren Islam Ulul Albab'. Kudongakkan kepadaku bagian dalam pesantren, wilayah yang cukup luas dengan halaman yang ditumbuhi dengan rumput hijau, masjid putih yang cukup besar, yang letaknya di pojok depan halaman pesantren menghiasi pandanganku, sangat asri. Sementara, di lain sisi terlihat ruangan-ruangan pondok bercat putih dengan jendela berwarna biru.

Aku dan Abi memasuki bagian ruangan resepsionis atau biasa disebut ruang TU. Disana seorang wanita berjilbab berumur sekitar 30 tahunan menyapaku dan Abi dengan rumah.

"Selamat ghatong...," wanita tersebut menyapa kami dengan bahasa yang tidak mengerti - sepertinya itu Bahasa Lampung.

"Maaf..." belum sempat Abi melanjutkan kata-katanya, wanita tersebut langsung menyela, sepertinya dia mengetahui maksud ucapan Abi.

"Oh....maaf, saya kira kalian warga Lampung. Maksud saya tadi adalah selamat datang," wanita  tersebut berhenti sebentar ketika meilihat mulutku dan Abi berbentuk huruf 'o'. Kemudian dia melanjutkan, "Oh, mari....silahkan duduk," dia mempersilahkanku dan Abi duduk di kursi yang ada di depan mejanya.

"Oh, iya. Terimakasih," Abi menjawab dan duduk di kursi hitam empuk diikuti olehku.

"Maaf, dengan siapa, ya?" wanita tersebut bertanya kepadaku dan Abi.

"Saya Pak Ferdi, dan ini anak saya Indra. Saya mau mendaftar ulang anak saya yang kemarin sudah saya daftarkan lewat teman saya, Kepada Ulama di sini, Ustad Alamsyah," Abi menjelaskan, sebelum ditanya lebih lanjut oleh wanita tersebut.

"Oh, Pak Ferdi dan Indra ini....Yang dari Jambi itu, ya?" tanya wanita tersebut.

"Iya, benar, Mbak," jawab Abi.

"Baik, kalau begitu....isi formulir ini dulu," wanita tersebut menyerahkan kertas berwarna biru muda padaku, "Maaf Pak Ferdi, Indra, saya permisi sebentar ya....," wanita tersebut kemudian pergi.

Aku kemudian mengisi lembar data tersebut. Beberapa menit kemudian, setelah aku menyelesaikan mengisi semua data tersebut. "Assalamualaikum...," terdengar suara laki-laki memberikan salam.

"Waalaikumsalam...," jawabku dan Abi berbarengan seraya memandang ke arah datangnya suara. Di sana berdiri wanita paruh baya tadi, namun kali ini bersama laki-laki yang umurnya sepertinya sama dengan Abi. Beliau memakai sarung dan peci serta ditangannya memegang tasbih.

Sadar bahwa Abi mengenal laki-laki tersebut, ia langsung berdiri dari kursi yang didudukinya. "Alamsyah...! Masya Allah, sudah lama sekali kita tidak bertemu," Abi langsung memeluk orang tersebut yang ternyata Ustad Alamsyah, teman Abi itu.

"Ya, sudah sangat lama," mereka melepaskan pelukan, "Mana anakmu?" tanya Ustad Alamsyah.

Abi kemudian menggeser tubuhnya yang berisi, agar tidak menutupinya dari pandangan Ustad Alamsyah."Ini anakku....," Abi memperkenalkanku dengan bangga. Aku kemudian menghampiri Ustad Alamsyah dan mencium tangannya. "Asalamualaikum...," sapaku.

"Waalaikumsalam," Ustad Alamsyah menyambut uluran tanganku.

"Sudah besar dan  wawai nihan  anakmu, Fer," Ustad Alamsyah menepuk-nepuk punggungku.

"Ha..ha...ha, kamu ini...ya kan penurunannya juga sudah bagus," Abi menepuk-nepuk dadanya.

Ustad Alamsyah kemudian tergeletak, " Ferdi....Ferdi.....kamu memang tidak berubah dari dulu. Ya sudah....lebih baik kalian sekarang istirahat di kamar tamu. Setelah itu kita sholat maghrib bersama."

"Ya, baiklah.....," Abi menanggapi.

"Dina, tulung attako tian...." Ustad Alamsyah kemudian menyuruh wanita paru baya tadi.
Aku dan Abi kemudian diantar ke sebuah kamar yang terletak lumayan jauh dari ruang TU. Untuk sampai disana, kami melewati beberapa koridor kelas dan ruang asrama yang terlihat sepi karena masih musim liburan.

***

Dua tahun kemudian....

Panas matahari pagi yang keluar dari celah awan-awan yang menggumpal seakan-akan menyodorku. Bagaikan tokoh utama dalam pertunjukkan teater yang disorotkan oleh lampu, sementara tokoh lainnya dibiarkan samar-samar. Semua mata memandangku perhatian, yang berdiri lebih tinggi satu meter dari kawan-kawanku yang lain. Dalam pandanganku, aku melihat mereka menampakkan wajah yang penuh kegembiraan, namun sedikit gelisah karena sudah lama menunggu. Ya, di pesantren ini aku terpilih menjadi ketua santri. Kalau di SMA, istilahnya disebut sebagai ketua OSIS. Setidaknya, impianku menjadi ketua OSIS tercapai, meskipun istilahnya berbeda.

Kehidupan selama dua tahun di pesantren ini, tidak seburuk yang kubayangkan. Kegiatan-kegiatan yang padat, membuat kualitas tidurku meningkat, dan badanku pun terasa lebih sehat, karena setiap pagi melaksanakan senam. Benar kata Umi, pesantren ini sudah lebih modern, dibandingkan pesantren yang ada di Jambi. Ya, walaupun terkadang terasa melelahkan dan membosankan. Namun, apa gunanya teman, kalau tidak untuk membangkitkan semangat?.

"Bismillah...," aku menggumam dalam hati, memulai sambutanku, "Assalamualaikum wr. wb...," aku memberikan salam dengan suara yang lantang, yang kemudian mereka jawab dengan suara yang lantang pula.

"Baiklah kawan-kawanku kelas dua semuanya. Tentu kalian berada disini, pagi ini, karena kalian ingat bahwa hari ini kita akan mengadakan kunjungan pariwisata ke Taman Wisata Way Kambas, Untuk itu, saya sebagai ketua pelaksana acara, meminta kerjasama dengan kalian untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan masalah selama keberangkatan, sampai kita kembali lagi di Pokok Pesantren Ulul Albab yang kita cintai....," aku memberikan sambutan yang mereka dengar dengan seksama, meskipun ada juga beberapa orang yang sibuk mengontrol.

"Baiklah, sebelum kita berangkat. Ada baiknya kalau kita berdoa terlebih dahulu. "Silahkan saudara Fadhil, untuk dapat memimpin doa," aku mempersilahkan Fadhil, untuk dapat memimpin doa," aku mempersilahkan Fadhil, teman terdekatku selama dipesantren. Aku kemudian pergi dari posisiku, yang kemudian digantikan oleh Fadhil.

Beberapa menit kemudian, kami semua sudah berada di dalam bis yang akan membawa kami ke Way Kambas. Bis tersebut ukurannya sama seperti bis yang membawaku dari Jambi ke Lampung, dua tahun yang lalu. Membawaku ke kehidupan yang lebih baik.

***

Setelah kurang lebih dua jam perjalan yang sangat melelahkan, akhirnya kami sampai di Taman Wisata Way Kambas. Letak Taman Wisata tersebut berada di daerah Lampung Timur, tepatnya di Kecematan Labuhan Ratu.

"Selamat ghatong, seunyini....... Silahko kughu...," seorang petugas tiket mempersilahkan kami, setelah memberikan tiket masuk kepada sopir bus.

Setelah masuk ke dalam wilayah, Aku memandang kesegala penjuru taman wisata tersebut. Sangat terlihat jelas segerombolah kawanan gajah yang sedang duduk-duduk ataupun makan rumput. Terbesit rasa bahagia dalam hatiku. Ini adalah kai pertamanya aku datang ke Taman Wisata Way Kambas. Dari kecil, aku sangat mengagumi binatang yang berbelalai ini, aku sangat mengimpikan melihat dari dekat hewan tersebut. Namun, Abi tidak pernah mengajakku pergi kesini, dengan alasan wilayahnya yang jauh.

"Nah, disini sudah ada lebih dari 300 ekor gajah yang dilatih, dijinakkan, dam dikembangbiakkan, dan disebarkan di berbagai kebun bintang yang ada di Indonesia," salah satu petugas menjelaskan, membuatku tersadar dari lamunanku.

"Wahhh... Ternyata di sini juga ada badak, harimau dan buaya juga ya, Pak?" salah satu temanku, Ahmad, bertanya pada petugas tersebut.

"Iyu....selain Gajah Sumatera, disini juga ada Badak Sumatra, Harimau Sumatera, Mentok Rimba dan Buaya Sepit. Sementara itu, jenis burungnya ada Bangau Tongtong, Sempidan Biru, Kuau raja, Burung Pependang Timur dan jenis lainnya. Jama.... untuk jenis tanamannya ada tanaman  Api-api, Pidada, Nipah, dan Pandan," petugas tersebut menjelaskan.

Setelah beberapa jam kami berjalan-jalan di Taman Wisata tersebut, kami pun memutuskan untuk pulang. Saat perjalan pulang, banyak diantara kami tertidur, termasuk aku.

***

Satu tahun kemudian, setelah satu bulan pengumuman kelulusan.

Aku masih mengumpulkan pakaian kotor yang terletak di keranjang plastik yang kuletakkan di bawah kasur tidurku. Tiba-tiba, Fadhil memanggilku untuk segera ke papan pengumunan yang terletak di depan ruang TU. Mendengar hal tersebut, aku langsung mengurungkan niatku untuk mencuci, dan langsung berlari menuju Tempat tujuan.

Aku berjarak lima meter dari papan pengumuman yang sudah dikerumuni oleh santri-santri, sehingga menyebabkan papan pengumuman yang berbentuk papan tulis berukuran 2x1 meter tersebut, tidak terlihat lagi. Aku memutuskan untuk memperlambat langkahku, sambil memandang kawan-kawanku yang baru saja keluar dari kerumunan tersebut.

Ada dua golongan wajah yang tampak dari santri-santri itu, golongan pertama adalah santri yang berteriak bahagia, bersujud syukur, ataupun hanya menyengir lebar dan menggumamkan kalimat 'Alhamdulillah...". Sedangkan golongan kedua adalah santri yang menampakkan wajah sedih dan murung Semoga aku adalah santri yang termasuk dalam golongan satu, aamiiiin.....Doaku dalam hati.

Aku memasuki kerumunan tadi, kemudian memulai mencari namaku pada kertas HVS berjumlah tiga lembar, berisi sejumlah nama santri Pondok Pesantren Ulul Albab. Aku memulai mencari namaku dari lembar terakhir.

Setelah mencari beberapa lama, aku mulai cemas dan putus asa, karena setelah dua lembar kucari namaku tak kunjung kutemukan.

"Bagaimana?" Fadhil menghampiriku.

Aku hanya menggelengkan kepalaku. "Masih ada satu lembar lagi. Bagaimana denganmu?" aku berbalik bertanya kepada Fadhil.

"Alhamdulillah...," Fadhil menyengir sebentar. "Ayo kubantu cari. Kau dari bawah, aku dari atas....," Fadhil telah kembali memasang wajah simpati.

"Baiklah...," aku kembali semangat untuk mencari namaku.

Tidak sampai satu menit kemudian, Fadhil sudah memanggil-manggil namaku.

"Indra! Indra! Ini namamu, kamu masuk di Universitas Al-Azhar Kairo."

"Yang benar? Mana?" aku tak percaya dengan kalimat yang diucapkan Fadhil barusan.

"Ini....kamu ada di urutan kedua," Fadhil menunjuk kesebuah nama, yang ternyata memang benar, itu namaku 'INDRA PUTRA FERDIAWAN' dan disebelahnya tertulis 'AL-AZHAR, KAIRO'.

"Alhamdulillah ya Allah....," aku bersujud syukur setelah keluar dari kerumunan tersebut.

"Selamat ya Ndra...," Fadhil mengulurkan tanggannya.

Aku langsung menyambut uluran tangannya, "Ya, selamat juga untukmu,,,,Oya, kamu masuk mana?"

"Alhamdullilah, sama sepertimu."

"Subhanallah.... Sepertinya kita memang ditakdirkan menjadi sahabat, ya Dil?"

"Iya Ndra, semoga kita menjadi sahabat sejati," jawabnya, dilanjutnya dengan pelukan sahabat.

***

Malam harinya, kuambil daftar impianku. Semuanya telah ditandai pena biru, kecuali dua poin. Kubaca kembali tulisan yang bertanda merah, lalu kutulis kalimat lain dengan pena hitam disebelahnya 'Masuk pondok pesantren yang menyenangkan' dan 'Masuk Universitas luar negeri'. Kemudian kutandai dua poin tersebut dengan pena biru. Jadi sekarang, lengkap sudah daftar impianku.

Aku memandang kembali daftar tersebut sekali lagi, dan tersenyum lebar, Kemudian kulipat kertas tersebut dua kali sehingga menjadi persegi panjang yang lebih kecil. Lalu kumasukan kedalam tas, yang sudah penuh terisi pakaianku.

Aku masih menyadarkan tubuhku di atas tempat tidur, saat melihat ke arah jam dinding yang tertempel empat meter dariku. Pukul dua belas. Kulihat satu persatu kelima teman satu kamarku. Mereka semua sudah tertidur nyenyak. Namun tidak sepertiku, yang masih terjaga, karena menunggu- nunggu hari esok untuk pulang ke Jambi dan ingin cepat-cepat bertemu Abi dan Umi yang sangat aku rindukan.

***


Karya: Ardini Yuliastri Putri

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK