CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

DI KAKI BUKIT CIBALAK

Dulu, jalan setapak itu adalah terowongan yang menembus berlokar puyengan. Bila iring-iringan kerbau lewat, tubuh mereka tenggelam di bawah terowongan semak itu, hanya bunyi kerokan yang tergantung pada leher mereka terdengar dengan suara berdentang-dentang, iramanya tetap dan datar. Burung-burung kucica yang terkejut, mencicit.

.....

Sekarang terowongan di bawah belukar puyengan itu lenyap, berubah menjadi jalan setapak. Tak terdengar lagi suara kerbau karena binatang itu telah banyak diangkut ke kota, kota di sana akan diolah menjadi daging goreng atau makanan anjing. Di sekitar kaki bukit cibalak, tenaga kerbau telah di gantikan traktor-traktor tangan.....

Di pagi itu baik mereka yang keturunkan kawula maupun mereka yang keturunan kerabat ningrat sudah berkumpul di halaman Balai Desa. Banyak orang yang akan memberikan suara kepada  calon yang disukainya dengan ikhlas. Tetapi banyak juga yang bersedia menjual suaranya dengan berbagai cara yang dirahasiakan. Pandangan suara ini acap kali membuat suasana seperti dalam perang dingin. Seorang pemilih berkata dengan seenaknya, "Toh hanya sehari ini kita mempunyai harga. Besok, seorang yang terpilih akan berubah sikap dari ramah-ramah kepada semua orang, menjadi acuh tak acuh kepada siapapun.

.....

Meskipun ada lima orang calon, kebanyakan orang mengatakan hanya dua orang yang memiliki peluang. Satu diantaranya adalah Pak Badi. Ia patut merasa berbesar hati, karena di Desa Tanggir ia mempunyai nama yang baik. Orang Tanggir ia mempunyai nama yang baik. Orang Tanggir belum pernah mendengar Pak Badi terlibat dalam perbuatan curang, apalagi perjudian. Sifat dermawannya amat menonjol. Juga orang Tanggir tahu, Pak Badi memiliki ijazah SMEP. Sekiranya lima calon itu masing-masing memegang buku lapor, pastilah angka tertinggi untuk mata pelajaran Budi Pekerti ada pada lapor Pak Badi.

Calon lain yang keadaannya mengimbangi Pak Badi adalah calon yang memegang lambang dengan gambar pedang. Dia berpakaian Jawa dengan belangkon, jas hitam wungkal gerang, dan kain batik sida mukti. Kumis tebal yang sengaja diperliharanya mengingat orang akan Aria Panangsang, Adipati Pajang dalam ketoprak. Calon yang gagah itu bernama Dirgamulya, dan terkenal dengan sebutan dengan Pak Dirga. Di dalam pergaulan, Pak Dirga lebih populer daripada keempat calon lainnya. Ia luwes, pandai bermain bola pandai berjudi.....

Selain Pak Budi dan Pak Dirga semua calon lemah. Barang kali mereka mencalonkan diri karena didorong diri oleh perasaan ingin menjadi sementara orang, bahwa ketiga calon itu hanyalah boneka-boneka yang sengaja dipasang oleh Pak Dirga untuk mengurahi suara yang berpihak pada Pak Badi. Siang itu penduduk Tanggir menetukan siapa yang menjadi lurah mereka. Dan keluhuran Budi, kearifan, serta kejujuran Pak Badi tidak memberikan nasib baik. Ia kalah, karena Pak Dirgalah yang terpilih.

Bagian kedua.....

Pambudi merasa kecewa karena calon yang dijagoinya kalah. Ia menginginkan Pak Badi yang terpilih sebab Pambudi menyenangi wataknya. Pambudi yang berusia 24 tahun, bekerja mengurus lumbung koperasi Desa Tanggir. Sudah dua tahun dia bekerja di sana, dan akhirnya dia berkesimpulan bahwa badan usaha itu tidak mungkin terus ditungguinya. Sebenarnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat dia membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi yang akan banyak faedahnya bagi semua penduduk Desa Tanggir. Tetapi lurah yang lama tidak demikian pendapatnya. Pak Lurah sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian yang selalu ia pidatokan sendiri.

.....

Hati Pambudi makin lama makin resah. Rasanya ia takakan bisa berbuat banyak dengan lumbung koperasi Desa Tanggir. Pak Dirga, lurah yang baru, berbuat tepat yang diramalkan Pambudi. Curang! Aneh, pikir Pambudi, aku hanya ingin bekerja menurut ukuran yang wajar, mengembangkan lumbung koperasi untuk kebaikan bersama.

.....

Karena merasa menemukan jalan buntu, Pambudi mulai berpikir untuk mencari pekerjaan yang baru dan keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan yang lama, datang dua bulan kemudian seorang perempuan datang menemui Pambudi. Ia mengajukan permohonan agar diberi pinjaman padi. Mula-mula keempat calon lainnya. Ia luwes, pandai bermain bola pandai-berjudi.....

Selain Pak Badi dan Pak Dirga semua calon lemah. Barang kali mereka mencalonkan diri karena didorong diri oleh perasaan ingin menjadi seorang lurah semata-mata. Atau benar kata sementara orang, bahwa ketiga calon itu hanyalah boneka-boneka yang sengaja dipasang oleh Pak Dirga untuk mengurangi suara yang berpihak pada Pak Badi. Siang itu penduduk Tanggir menentukan siapa yang menjadi lurah mereka. Dan keluhuran Budi, kearifan, serta kejujuran Pak Badi tidak memberikan nasib baik. Ia kalah, karena Pak Dirgalah yang terpilih.

Bagian kedua....

Pambudi merasa kecewa karena calon yang dijagoinya kalah. Ia menginginkan Pak Badi yang terpilih sebab Pambudi menyenangi wataknya. Pambudi yang berusia 24 tahun, bekerja mengurus lumbung koperasi Desa Tanggir. Sudah dua tahun dia bekerja di sana, dan akhirnya dia berkesimpulan bahwa badan usaha itu tidak mungkin terus ditungguinya. Sebenarnya Pambudi ingin menjadikan lumbung koperasi yang diurusnya sebagai tempat dia membuktikan kecakapannya. Ia ingin membuat badan sosial itu sungguh-sungguh merupakan sebuah koperasi yang akan  banyak faedahnya bagi semua penduduk Desa Tanggir. Tetapi lurah yang lama tidak demikian pendapatnya. Pak Lurah sering melanggar ketentuan-ketentuan perkoperasian yang selalu ia pidatokan sendiri.

.....

Hati Pambudi makin lama makin resah. Rasanya ia takakan bisa berbuat banyak dengan lumbung koperasi Desa Tanggir. Pak Dirga, lurah yang baru, berbuat tepat yang diramalkan Pambudi. Curang! Aneh, pikir Pambudi, aku hanya ingin bekerja menurut ukuran yang wajar, mengembangkan lumbung koperasi untuk kebaikan bersama.

.....

Karena merasa menemukan jalan buntu, Pambudi mulai berpikir untuk mencari pekerjaan yang baru dan keputusannya untuk yang baru dan keputusannya untuk meninggalkan pekerjaan yang lama, datang dua bulan kemudian seorang perempuan datang manemui Pambudi. Ia mengajukan permohonan agar diberi pinjaman padi. Mula-mula perempuan itu tidak menyebutkan tujuan meminjam padi itu sebelum Pambudi bertanya.

"Untuk apa padimu nanti, Mbok?"

"Akan kujual. Untungnya akan kupergunakan untuk berobat. Lihatlah, leherku membengkak. Sakit sekali rasanya." Mbok Ralem, demikian nama perempuan itu,  memperlihatkan lehernya yang menggelembung seperti leher ular koros.

"Berapa luas sawah yang kau garap, Mbok?"

"Oalah, Nak, aku tak mempunyai sawah sedikit pun. Biasanya aku menggarap sawah tetangga, tetapi musim ini tidak. Aku tak menggarap sawah."

"Kalau begitu kau takkan mendapat pinjaman lebih dari 25 kilo. Apakah jumlah itu cukup?"

"Pasti tidak cukup, Nak sebab kata Pak Mantri, aku harus berobat ke Yogya,"

"Aku tidak dapat memutuskan kalau begitu. Mari kuantar menghadap Pak Lurah."

Ternyata Pak Dirga belum ada di kantornya. Sambil menunggu kedatangan kepala Desa Tanggir itu, Pambudi dan Mbok Ralem duduk di sebuah bangku panjang. Perempuan ini bercerita bahwa dia sudah tiga kali berobat kepada dukun dan sekali berobat dengan Pak Mantri kesehatan.

"Aku ingin sekali cepat sembuh, Nak. Leherku makin lama makin tercekik rasanya."

"Iya, aku mengerti. Kukira kau memerlukan biaya yang agak banyak, sebab akan cukup dengan uang dua-tiga ribu rupiah."

"Memang demikian, Nak. Seandainya masih ada sesuatu yang dapat kujual, pasti aku tidak akan meminjam padi di sini. Aku takut nanti tak mampu mengembalikannya."

Setelah Pak Dirga datang, Pambudi membawa tamunya masuk ke kamar kerja Kepala Desa. Dengan suara lirih dan gemetar, Mbok Ralem mengutarakan maksudnya kepada Pak Dirga. Selama berbicara perempuan itu tidak sekalipun menaatap wajah lurah. Pak lurah tidak segera memberi jawaban. Ia hanya melihat sepintas saja leher Mbok Ralem. Kemudian dengan pandangan mata lurus Pak Dirga berkata, "Mbok Ralem, sebenarnya seorang seperti kamu tidak bisa mendapatkan pinjaman. Aku tahu, banyak peminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya saja tidak dapat, apalagi bersama bunganya. Jawablah sekarang rang dengan jujur, apakah dulu kau punya pinjaman dari lumbung?"

Wajah Mbok Ralem pucat mendadak. Betul, dua tahun yang lalu dia meminjam sepuluh kilo padi dari lumbung. Dua panenan berikutnya hama wereng memusnakan padinya selagi masih hijau. Jadi dia tidak bisa mengumpulkan bawon. Jangankan mengembalikan pinjaman, untuk makan bersama dua orang anaknya saja sudah tidak ada. Pak Dirga mengulangi pertanyaannya. Dengan suara yang berguman di tenggorokan, Mbok Ralem mengakui dakwaan lurahnya.

"Pambudi." Kata Pak Dirga. "Hitung berapa pinjaman perempuan ini bersama bunganya sekarang." 

"Dua puluh tujuh setenga kilo," jawab Pambudi dengan suara sedikit tertahan.

"Nah, itu. Utangmu dua tahun yang lalu belum bisa kau bayar kembali, sekarang kau mau punjam kembali, bagaimana?"

Mbok Ralem meremas-remas jarinya sendiri, benjolan di lehernya terasa menggigit,  bibirnya gemetar mau berbicara, tetapi tidak sepatah kata pun berhasil diucapkannya. Sebagai gantinya air matanya mengalir deras. Kemudian Mbok Ralem bangkit karena merasa tidak mampu lagi berkata walau hanya sepatah. Apalagi kalau dia teringat kepada kedua anaknya yang ditinggal di rumah, yang disuruh menjaga ubi yang sedang direbus dalam kuali. Sebelum berjalan Mbok Ralem memandang kepada Pambudi. Sebuah batu terasa jatuh menimpa hati anak muda itu. Pandangan mata Mbok Ralem pandangan seorang perempuan Tanggir yang tak akan dapat dilupa oleh Pambudi sepanjang hidupnya. Mata orang yang tak berdaya. Mata yang sekung, merah, dan basah. Pandangan yang mewakili kegitaran yang mutlak, yang akan menarik hati nurani siapapun dari persembunyiannya.

"Nanti dulu, Pak. Jadi orang ini tidak akan dapat diberi kesempatan untuk berobat ke yogya?"

Kata Pambudi seraya bangkit dari duduknya.

"Lho, kenapa kau bertanya begitu? Sudah lama kau mengurus lumbung, bukan? Tentu Kau sudah hapal ketentuan-ketentuan yang harus ditaati oleh  seorang peminjam, bukan? Mbok Ralem tidak menggarap sawah sedikit pun, Mbok Ralem bahkan masih menangguhkan hutangnya. Tapi baiklah beri dia pinjaman 20 kilo. Dengan hanya bertindak sedemikian sesungguhannya aku telah menempuh resiko."

"Padi sejumlah itu takkan ada artinya untuk perawatan penyakit yang diderita Mbok Ralem. Saya mempunyai sebuah usul, Pak."

"Cepat katakan!"

"Sepantasnya Mbok Ralem diperlakukan secara khusus. Ia sakit. Wajarlah bila ia diberi pinjaman sebesar yang ia perlukan untuk biaya penyembuhan penyakitnya itu. Apa artinya ia diberi pinjaman bila jumlahnya tidak cukup sehingga penyakitnya tidak diapa-apakan?"
"Perihal sakitnya, itu terserah kepadanya dan kepada sanak familinya. Atau ia dapat mengajukan permohonan bantuan kepada kas Lembaga Sosial Desa. Aku ketua lembaga itu,  dan tahu benar kasnya melompong."

"Ya, Pak, tapi maaf. Saya mengingatkan Bapak akan sebuah pasal dalam peraturan perlumbungan. Bahwa sepertiga keuntungan lumbung koperasi tersedia bagi pengeluaran-pengeluaran darurat yang harus dipikul oleh desa, seperti ada bencana banjir, kebakaran, dan sebagainya. Bagaimana bila Mbok Ralem kita beri uang obat dari dana darurat itu. Saya tahu, dana itu dan pasti cukup."

"Dengar. Apa yang terjadi oleh Mbok Ralem adalah sakit. Bukan bencana banjir, bukan bencana kebakaran. Pokoknya aku tidak bisa memberi pinjaman yang ia perlukan. Apalagi dana darurat yang kau maksud ini harus kita memberinya secara cuma-cuma. Tidak mungkin. Aku telah mempunyai rencana yang besar pelaksanaannya akan dibiayai dengan dana darurat itu."

"Apa lagi rencana Bapak itu?"

"Kalau tak perlu tahu! Oh, maksudku kau belum saatnya kuberitahu."

"Kali ini saya harus tahu. Soalnya, saya ingin tahu, penting mana rencana Bapak itu dengan keharusan dengan kita menolong Mbok Ralem. Maaf, Pak, sesungguhnya saya merasa masygul. Untuk membiyai pelantikan Bapak beberapa bulan lalu, kas dana darurat susut 125.000 rupiah. Sebaliknya Bapak tidak merelakan sedikit pun uang dana darurat itu untuk menolong Mbok Ralem. Sekarang katakan terus terang, apalagi rencana Bapak dengan uang milik bersama itu?"
.....
"Wah, nanti dulu, Pambudi. Bicara pelan-pelan. Mbok Ralem sendiri mungkin masih mendengarnya. Rencana yang kumaksud adalah hanya boleh diketahui oleh orang-orang tertentu saja, termaksud kau. Barang kali kau belum tahu, pemerintah akan mengadakan pelebaran jalan yang melewati desa kita ini. Karena pelebaran itu, lima ratus batang pohon kelapa akan diganti rugi. Tahukah kau, ada rezeki yang kita ambil?"

"Oh, tidak, Pak. Tetapi apa hubungannya dengan uang dana darurat milik koperasi kita?"

.....

"Dengarlah anak muda. Pertama-tama kukatakan kepadamu bahwa inilah kesempatan yang dapat aku ambil untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Marilah kita bekerja sama. Kau tahu, uang yang dijanjikan Pemerintah sebesar 2.000 rupiah untuk tiap batang yang tergusur, akan lambat datangnya. Uang milik koperasi dapat kita pakai dulu untuk membayar ganti rugi kepada pemilik pohon kelapa. Kita tidak akan membayar 2.000 tiap batang, tetapi cukup 1.000 saja. Jadi apabila uang ganti rugi yang dijanjikan oleh Pemerintah keluar, kitalah pemiliknya. Sementara kita menunggu, kita tebang pohon-pohon kelapa yang sudah kita bayar itu. Bayangkan, pemborong yang sedang membangun jembatan Kali Benda itu berani membayar 2.500 per batang. Wah, Pembudi, apa tidak lumayan? Bila mau, kau dapat juga membeli sepeda motor seperti poyo. Enak, bukan?"

.....

"Bagaimana, pambudi?"

Yang ditanya kaget. "Oh, maaf hendaknya Bapak jangan mengikutsertakan saya dalam urusan seperti itu."

Lho, kenapa? Kau akan mendapatkan keuntungan tanpa banyak mengeluarkan banyak tenaga. Semua orang menyenangi hal semacam itu, mengapa kau tidak? Lihat, Poyo telah lumayan hidupnya. Sekarang tiba giliranmu ayolah!"

"Tidak, Pak."

"Mengapa?"

"Saya tidak dapat menerangkannya mengapa."

Pak Dirga melepaskan nafas panjang lalu menyadarkan pambudi lama-lama, tetapi pemuda itu tenang saja. Bahkan di dalam  hatinya Pambudi merasa lega. Ia telah mengikuti suara hati nuraninya untuk tidak turut melakukan kecurangan bersama Pak Dirga. Memang satu yang terasa olehnya pada saat itu: Lega...Lega!

Pak Dirga sebaliknya, kulit mukanya terasa seperti di jerang di atas api. Panas, malu. Ia tidak berhasil menundukkan Pambudi pada rencana yang dirahasiakan sudah terlanjur diberitahukan kepada anak muda itu. Bagaimana pun ini berbahaya. Tetapi kepada desa tersebut terpaksa menaruh hormat pada keteguhan atas sikap Pambudi. Karena itu ia tidak meneruskan pembicaraan itu lebih lanjut. Pak Dirga hanya mengangguk-angguk tanpa arti. Dan ia terdiam saja ketika Pambudi pamit dan pergi.

Pada hari berikutnya Pambudi lupa tidak berangkat kerja. Selesai ia sembahyang subuh ia bernyanyi-nyanyi kecil. Terkadang ia menyanyikan kidung ciptaan para empu, kidung tentang "zaman edan". Lalu di sambungnya dengan lagu-lagu keras nyanyian anak-anak muda yang merasa korban kepalsuan.

Pambudi tidak bisa mengatakan mengapa di pagi hari itu ia merasa tentram. Padahal tadi malam ia telah menulis kepada Pak Dirga. Pambudi menyatakan pengunduran diri dari kepengurusan lumbung Koperasi Desa.

.....


Karya: Ahmad Tohari

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK