CAMPUR ADUK

Monday, February 4, 2019

ANAK KEBANGGAAN

Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila dipanggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu.

Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen. Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayan banyaknya. Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki. Mula-mula si anak dinamainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta karena perempuan, ditukarkan nama Edward menjadi Ismail, sesuai dengan nama raja Kerajaan Mesir yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum karena maling dan membunuh, Ompi naik pitam. Nama anaknya seolah ikut tercemar. Dan ia merasa terhina. Dan pada suatu hari yang sudah terpilih menurut kepercayaan orang tua-tua, yakni ketika bulan sedang mengambang naik, Ompi mengadakan kenduri. Maka jadilah Ismail menjadi Indra Budiman. Namun, si anak ketagihan dengan nama yang dicarinya sendiri, Eddy.

Ompi jadi jengkel. Tapi karena sayang pada anak, ia terima juga nama itu, asal ditambah di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun, dalam hati Ompi masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang. Calon nama dari nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli kekayaan akan punah. Tapi, itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang. Dan ia menunggu dengan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang-gemilang, angan-angannya pasti merupa jadi kenyataan. Dia yakin itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan dokter di muka namanya sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya. Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Ditulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.

"Ah, aku lebih merasa berduka cita lagi karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit. 

Dan kalau Ompi melihat orang membuat rumah, lalu ia berkata: "Ah, sayang. Rumah-rumah orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman sudah menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah."

Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin bahwa setahun demi setahun segala cita-citanya tercapai pasti. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.

Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, anakku," katanya pada diri sendiri, "aku bangga engkau, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan begitu kau akan disegani orang. Ooo, perkara uang? Tiga ribu, lima ribu akan kukirim, Anakku. Mengapa tidak?"

Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi, semua orang tahu, bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanya menjadi mimpi semata. Namun, orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua  itu tak hendak percaya? Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang dicapai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama baik anaknya.

"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi, Ayah mengerti kalau mereka memfitnahmu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng. Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya dalam sepucuk surat.
Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi yang membicarakan Indra Budiman padanya. Malah sebaliknya kini semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji.

"Ooo, anak Ompi itu! Bukan main dia! Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.

"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."

"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."

"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku, anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali. Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."

Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia, Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharapkan cintanya."

Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumannya. "Bukan main! Bukan main. Indra Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya? Ha, ha, ha! Ah, datanglah kau  ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."

Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang dikenalnya, ditegurnya: "Hai, kau kenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan padamu. Biar kau dipinangnya. Ha, ha, ha!"

Si gadis tentu saja merah mukanya karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi, muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.

Akan tetapi ketika Ompi tahu aku bakal kawin, dia dapat ilham baru. Dia pun merasa pula, bahwa Indra Budiman sudah patut ditunangkan. Dan pada sangkarnya, tentu Indra Budimannya akan gembira dan bertambah rajin menurut ilmu, sebagai imbangan budi baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal  harapan saja.

Tapi,  Ompi tak mau mengerti. Sifat keangkuhannya mudah tesinggung. Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik. Bahkan bukan kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya yang cantik tanpa memedulikan Indra Budiman lebih dulu. Tak masuk akal, orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter itu. Lama-lama rasa dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah nanti! Kalau Indra Budimanku sudah jadi dokter, akan kuludahi muka semua. Sombong!"

Kepada Indra Budiman tak dikatakan kemarahan itu Malah sebaliknya. Dikatakannya, banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih mementingkan studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku. Gadis yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya.

Celakanya, Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui oleh orang kampungya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya, sudah banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa semua mata orang kampungnya  yang tinggal di Jakarta selalu saja mempercermin hidupnya yang bejat. Sejak itu, berubahlah letak panggung sandiwara. Jika dulu si anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang menipu, si anak yang percaya. Lalu, si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya dikirimi foto-foto gadis yang dicalonkan.

Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak peduli ia apa foto gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya. Di samping itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan lain yang tak mudah diselesaikan.

Tapi, rupanya Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis saat Ompi kehabisan foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tidak datang lagi. Antara  rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. Pasai ia menunggu, dikiriminya surat. Ditungguinya beberapa hari. Tapi, tak datang balasan. Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak berbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak berbalas. Bulan datang, bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus.

Pada suatu hari yang tak baik, di kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tanggannya segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar ia karena bahagia. Akan tetapi, alangkah remuknya hati orang tua itu karena ternyata pengantar surat itu cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia tak percaya bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia merasa seperti bermimpi dan tubuhnya serasa seringan kapas yang melayang ditiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang kali. Lalu dibukanya dan dibacanya satu per satu. Dan tahulah ia, bahwa semuanya memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu.

Tapi, ia tak meyakininya dengan sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang bermimpi. Dan berdoalah ia kepada Tuhan agar apa yang terjadi itu adalah memang mimpi.

Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya, Indra Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu. Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tetapi matanya selalu lebar terbuka memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya oleh badannya yang kian mengurus. Tapi, mata yang lebar itu tiada cemerlang. Redup.

Akan tetapi, setiap sore di antara jam empat dan jam lima Ompi kelihatan seperti orang sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu Pak Pos biasanya mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti itu, yang memberikan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah luka hatinya. Hingga lebih meroyok. Sebab, selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman. Dan kalau Pak Pos itu lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.

Namun, kemalangan itu bertambah lagi, yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama baru orang tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya dipasang pada dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan. Sehingga ia akan sertamerta dapat melihat Pak Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada tiap jam empat dan jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja. Sedangkan di waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya.

Kami tak pernah lagi memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan dokter hanya akan memperdalam luka di hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengirimkan surat. Kedatangan seorang dokter dipandangnya sebagai suatu sindirian, bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-citanya tercapai.

Ketika terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang, dokter hanya menggelengkan kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain saja. Atau bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia sendirian. Bila perlu, meski dengan risiko besar, bangunkahlah kembali mahligai angan-angannya."

Semenjak itu, aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi. Aku sadar, bahwa tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu acara samar-samar aku elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita kenangan masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati yang kecut.

Aku pun tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokternya. Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi, aku selamanya bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya.

Pada suatu hari terjadilan apa yang  kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan berlangsungnya. Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang. Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram. Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan  jika perlu akan kuubah isinya agar terelakkan saat-saat yang menyeramkan.

Akan tetapi, semua kejadian datang dengan serba tiba-tiba. Hingga gagallah rencanaku. Tak sempat aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah lumpuh selama ini, telah berada saja dibelakangku. Sesaat setelah aku menerima dan menandatangani resi telegram itu.  Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.

"Bukanlah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia memerintah orang-orang di waktu mudanya dulu.

Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah meninggal.

"Telegram dari anakku? Apa katanya? Pulangkah dia dengan membaca titel dokternya?" Ompi bertanya dengan suara yang mendesis, tapi terburu-buru berdesakan keluar.

Tak tahulah aku, apa yang harus ku katakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi, keajaiban tidak juga datang. Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku aku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.

Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya kepadaku meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi, aku tak bisa berbuat lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya.

Sepi begitu menekan, sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri.

"Ah, tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraan akan meledakkan hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah bisa menjalari segala saraf-sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.

Dalam kegugupan kususun sebuah taruhan jawa dan sesalan bagi selama hidupku. Akan kukarang kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi, telegram itu tak diberikannya padaku. Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum, serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.

"Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan dokter," kata Ompi dengan gembira.

Dan telegram itu dibawanya ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya memicing. Selama tangannya sampai terkulai dan matanya terbuka setelah kehilangan cahaya. Dan telegram itu jatuh dan terkapar di pangkuannya.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK