ADA seorang laki-laki yang pekerjaannya memanjat pohon siwalan untuk menyadap nira. Hasil sadapan itu kemudian dimasak menjadi gula. Dan menjual gula itulah ia bisa memberi nafkah keluarganya.
Pada suatu pagi, udara sangat lembap. Seluruh langit tertutup awan hitam yang mengandung air hujan. Laki-laki penyadap nira itu seperti tidak memperhatikan tanda-tanda alam bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Dengan tubuhnya yang kuat, tetap saja ia memanjat pohon siwalan untuk mengambil nira dan turun membawa timba penuh berisi nira.
Telah tiga pohon siwalan ia ambil niranya. Kini, ia naik ke pohon siwalan keempat. Sejak ia naik ke pohon itu, gerimis sudah turun ke bumi. Akan tetapi, ia masih terus memanjat. Tiba di atas pohon itu, hujan datang bersama angin yang bertiup keras. pohon-pohon pun bergoyang-goyang dipermainkan angin. Angin kencang itu ternyata bukan angin biasa. Pohon siwalan yang sedang dipanjat si penyadap nira itu meliuk-liuk ke sana kemari dan daunnya yang lebat melambai-lambai seolah-olah hendak lepas dari tangkainya.
"Celaka!" seru si penyadap dalam hati. "Ini angin topan."
Pohon siwalan itu seakan-akan hendak roboh ke tanah. Penyadap nira sangat ketakutan. Pikirnya dalam hatinya. "Jika pohon siwalan ini tumbang, aku pasti mati."
"Ya, Tuhan," ujar penyadap nira itu dengan khusyuk, "tolong, selamatkanlah diriku yang kini tidak berdaya! Jika aku selamat karena pohon yang kupanjat ini tidak tumbang, aku berjanji kepada-Mu, akan kupotong seekor sapiku yang paling gemuk dan akan kuundang orang-orang miskin untuk makan enak di rumahku."
Setelah penyadap itu berdoa dan mengucapkan janjinya kepada Tuhan, angin agak reda sehingga ia bisa turun pelan-pelan. Tiba di bawah pelepah, penyadap itu sudah mulai punya harapan untuk hidup. Ia merasa sedikit gembira. Akan tetapi, ia menyesal karena sudah berjanji kepada Tuhan akan menyembelih sapi untuk fakir miskin.
"Mohon ampun, ya, Tuhan. Aku telah telanjur berjanji akan memotong sapiku yang paling gemuk, padahal sapi itu sangat aku sayangi. Biarlah jika aku selamat di bawah, sapi sayangi. Biarlah jika aku selamat di bawah, sapi itu akan kuganti dengan kambingku yang paling besar dan paling gemuk."
Angin pun semakin reda sehingga pohon siwalan itu tidak lagi keras bergoyang. Penyadap itu beringsut lagi ke bawah. Kemudian, ia berhenti tepat di tengah batang siwalan.
"Tuhanku yang baik, kambing barangkali terlalu besar untuk selamatan angin yang tak terlalu lama ini. Biarlah, aku akan menyembelih ayam saja. Apalagi tetanggaku yang miskin tidak banyak. Dengan memotong seekor ayam saja, sudah cukup memuaskan mereka."
Kini, angin benar-benar telah reda. Dengan cepat penyadap nira itu meluncur ke bawah. Di atas pangkal batang siwalan ia berhenti lagi. Kemudian, ia berucap kepada Tuhan, "Tuhan, ayam yang akan kupotong itu jika bertelur banyak sekali. Sayang sekali jika ayam itu kupotong. Lebih baik lima butir telurnya kusisihkan untuk memenuhi kaulku mengadakan selamatan."
Sesudah itu, meloncatlah si penyadap ke tanah. Ia merasa sangat gembira karena selamat.
"Ah, topan itu ternyata hanya angin lewat." kata penyadap itu kepada dirinya sendiri. "Meskipun aku tidak mengucap kaul, pasti aku tetap selamat. Hm, baiklah aku tidak usah mengadakan syukuran. Daripada digunakan untuk menjamu orang miskin, lebih baik telur itu kumakan sendiri."
Sesudah mengucapkan kalimat-kalimat itu, penyadap itu mulai memanjat pohon siwalan kelima, keenam, dan seterusnya. Sekarang, ia berada di atas pohon siwalan terakhir yang ia panjat. Ia sudah lupa pada peristiwa mengerikan yang hampir merenggut nyawanya. Ia bersiul keras-keras sebagai tanda kegembiraan hatinya. Suara siulnya berkumandang di atas lembah yang banyak ditumbuhi pohon siwalan.
Timban yang penuh dengan nira itu ia bawa turun. Siulnya yang merdu terus berkumandang. Ia turun dengan cepat. Setibanya di tengah agak ke bawah, tiba-tiba, kakinya tergelincir karena pohon yang dipanjatnya masih basah oleh air hujan. Tubuh pemanjat itu jauh berdebum dan terkapar di tanah.
Telah satu jam lebih istri penyadap nira menunggu suaminya yang tak kunjung pulang, padahal ia telah siap memasak nira sadapan suaminya. Karena tidak sabar menunggu, ia segera menjemput suaminya di kebun. Alangkah terkejut perempuan itu melihat suaminya tergolek di tanah. Ia menjerit keras-keras sehingga orang kampung berdatangan ke tempat itu.
Karya: D. Zawawi Imron.
No comments:
Post a Comment