CAMPUR ADUK

Monday, July 26, 2021

MATAHARI KEMBAR

Tissa selesai mengerjakan PR-nya, ya keluar dari kamarnya dengan membawa buku cerita. Tissa duduk santai di ruang tamu dan segera membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Tissa :

Suku Aztec memercayai cerita kuno bahwa dahulu matahari sudah mengalami pergantian selama lima kali. Matahari pertama adalah persembahan dari pemimpin para dewa, yaitu Tezcatlipoca. Matahari pertama hancur karena Dewa Tezcatlipoca berselisih dengan Dewa Quetzalcoatl. Mereka kemudian bertarung sampai menghancurkan matahari. Matahari kedua merupakan persembahan Dewa angin timur Quetzalcoatl. Ia mengambil alih pengaturan matahari setelah mengalahkan Dewa Tezcatlipoca saat mereka berselisih. Dewa hujan Tlaloc kemudian mempersembahkan diri menjadi matahari ketiga. Lalu, matahari keempat dipersembahkan oleh Dewi air, Chalchiuhtlicue. Matahari ketiga dan keempat itu telah hancur karena bencana besar.

Kini, saatnya menentukan siapa yang akan menjadi persembahan untuk matahari kelima. Para dewa sedang berkumpul di Teotihuacan. Sayangnya, belum ada Dewa yang bersedia menerima tugas tersebut. Mereka merasa belum siap mengorbankan diri dalam api dan malah saling tunjuk. Dewa Tezcatlipoca dan Dewa Quetzalcoatl sebenarnya bersedia menjadi matahari yang kelima. Akan tetapi, mereka sudah pernah mempersembahkan diri untuk menjadi matahari dan tidak bisa melakukannya untuk kedua kali.

“Saya yang akan menjadi matahari berikutnya,” seru seorang Dewa yang baru saja hadir. Dewa itu adalah Tecciztecatl, putra dari Dewa Tlaloc dan Dewi Chalchiuhtlicue. Tecciztecatl adalah dewa yang gagah dan kaya raya. Dia mengajukan diri dengan penuh kesombongan.

Semua mata menatap ke arah Dewa Tecciztecatl. Mereka mengagumi keberanian dewa muda itu. Dewa muda biasanya jarang mengajukan diri, jadi Dewa Tecciztecatl pasti memiliki keberanian yang besar.

“Lalu, siapa berikutnya?” tanya Dewa Tezcatlipoca. Para dewa terdiam, tak ada yang menjawab. Dalam upacara pergantian matahari, biasanya ada dua dewa yang bertanding. Dewa yang berhak menjadi matahari berikutnya hanyalah dewa yang bisa memberikan persembahan terbaik.

Di tengah kasak-kusuk para dewa, ada seorang dewa yang sedari tadi diam. Ia adalah dewa yang rendah hati dan berpenampilan sederhana. Sedari tadi, dia hanya mendengarkan dewa-dewa lain beradu mulut. Dia adalah Dewa Nanahuatzin, dewa yang bersahaja. Dewa Quetzalcoatl yang menyadari kehadirannya, segera mengusulkan Dewa Nanahuatzin menjadi calon berikutnya.

“Dewa yang satu lagi, Nanahuatzin saja,” usul Dewa Quetzalcoatl.

Dewa-dewa yang lain tampak menyetujui usul Dewa Quetzalcoatl. Banyak dari mereka yang menyukai sifat Dewa Nanahuatzin. Namun, ada juga beberapa dewa yang meragukan kemampuan Dewa Nanahuatzin. Tubuhnya yang kecil tampak lemah. Pakaiannya juga sedikit lusuh. Sangat jauh berbeda dengan Dewa Tecciztecatl. Hal tersebut membuat para dewa yakin jika Dewa Tecciztecatl yang akan menang menjadi matahari kelima.

“Bagaimana Dewa Nanahuatzin? Apakah kau bersedia?” tanya Dewa Tezcatlipoca.

“Jika para dewa memberi kepercayaan ini pada hamba, hamba akan melaksanakannya,” jawab Dewa Nanahuatzin.

Dukungan beberapa dewa membuat Dewa Nanahuatzin mau memenuhi permintaan itu. Dewa Nanahuatzin memang tidak segagah dan sekaya Dewa Tecciztecatl. Tapi, ia memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh Dewa Tecciztecatl. Setelah keduanya terpilih menjadi calon matahari kelima, mereka harus menjalani pertapaan. Para dewa lalu membuatkan piramida untuk Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Piramida itu dibangun di Teotihuacan dan akan mereka pergunakan untuk bertapa. Sebelum bertapa, kedua dewa tersebut harus menyiapkan persembahan mereka. Dewa Tecciztecatl telah membawa banyak hadiah mahal dan indah. Sementara Dewa Nanahuatzin masuk ke dalam piramida tanpa membawa apa-apa.

“Kenapa kau tidak membawa sesuatu pun sebagai persembahan? Apa yang akan kau berikan saat kau bertapa nanti?” tanya seorang dewa pada Dewa Nanahuatzin.

“Aku memang tidak memiliki apa-apa. Aku hanya membawa darah dan jiwaku sebagai persembahan,” jawab Dewa Nanahuatzin. Dewa yang bertanya itu memandangnya rendah, tapi Dewa Nanahuatzin tak memedulikannya.

Bertapa di piramida itu bertujuan untuk menyucikan Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin. Selama bertapa, mereka harus tinggal di piramida seorang diri selama empat hari empat malam. Sementara mereka bertapa, dewa-dewa lain telah menyiapkan perapian besar di Teotexcalli, di mana Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin akan memberikan persembahan mereka.

Pada saat mereka mulai bertapa di dalam piramida, godaan mulai datang. Dewa Tecciztecatl melihat bayangan dirinya berada di dalam rumah yang besar dan megah. Di dalam rumah itu telah terhampar permadani dari bulu jaguar, dan perabotan rumah yang berkilau-kilau karena berlapis emas. Saat melihat semua itu, Dewa Tecciztecatl merasa ragu akan langkahnya. Menjadi matahari tentu harus meninggalkan semua hartanya. Ia harus terus memberi dan melayani. Sesaat, Dewa Tecciztecatl menghentikan pertapaannya. Ia mulai berpikir ulang.

“Apa kata dewa lain kalau aku mundur. Mereka pasti akan mengejekku. Aku tak akan membiarkan semua itu, akan kutunjukkan pada mereka kemampuanku,” gumam Dewa Tecciztecatl. Ia lupa makna sesungguhnya dari persembahan ini. Makna persembahan itu adalah penyerahan diri. Tapi, ia justru melakukannya demi mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari dewa lain.

Dewa Nanahuatzin juga mendapat godaan. Ia melihat dirinya merasakan sakit yang teramat sangat ketika memasuki api. Kulitnya terbakar. Panas menusuk sampai ke dalam sumsum tulang. Gambaran itu meniupkan rasa takut dalam diri Dewa Nanahuatzin, tapi dia tidak goyah. Dia terus bertapa untuk mendapatkan ketenangan diri. Dia tak ingin terpengaruh oleh godaan yang mendatanginya.

“Rasa sakit itu hanya sementara. Aku pasti bisa melaluinya. Aku akan menjadi bagian dari api suci dan memberikan manfaat untuk jagat raya,” bisiknya meyakinkan diri.

Setelah menyelesaikan pertapaannya, dewa memberi mereka hadiah. Dewa Tecciztecatl mendapat hadiah rompi dan hiasan kepala dari bulu indah yang disebut aztacomitl. Dia menerimanya dengan bangga. Sedangkan Dewa Nanahuatzin diberi pakaian dan mahkota dari kertas yang disebut amatzontli. Meski mendapat hadiah yang berbeda, Dewa Nanahuatzin tak keberatan dan menerimanya tanpa rasa iri. Saat tengah malam, para dewa berkumpul di Teotexcalli. Mereka berdiri membentuk barisan mengelilingi perapian yang telah dibuat. Dewa Tezcatlipoca yang akan memimpin upacara sudah siap di tempatnya.

“Kita akan mulai upacara ini. Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin bersiaplah di tempat kalian,” seru Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Tecciztecatl dan Dewa Nanahuatzin maju, mendekati lingkaran api. Perapian yang besar itu sesekali memercikkan bunga api. Panasnya sudah terasa sampai ke kulit walau berdiri dalam jarak yang cukup jauh dari perapian. Kini, keduanya berdiri berseberangan.

“Giliran yang pertama. Dewa Tecciztecatl, tunjukkanlah persembahanmu.”

Dewa Tecciztecatl maju, mendekat ke perapian. Dia menjatuhkan barang-barang yang ia jadikan persembahan seperti bulu burung Quetzal yang indah, bola emas, karang merah yang langka, dan batu-batu permata yang mahal. Semua benda itu adalah benda berharga di kalangan para dewa. Dewa Tecciztecatl melemparkan persembahannya dengan bangga.

“Sekarang, giliranmu, Dewa Nanahuatzin. Tunjukkanlah persembahanmu.”

Dewa Nanahuatzin melangkah tenang. Satu per satu ia menjatuhkan persembahannya ke dalam api. Ada sembilan batang tebu yang diikat tiga-tiga, bola jerami, duri tanaman kaktus yang dilumuri darahnya sendiri, dan beberapa potong jamur hitam. Semua benda itu memiliki peran penting dalam upacara-upacara para dewa.

“Kini, saatnya memberikan persembahan diri. Dewa Tecciztecatl, melompatlah ke dalam api.”

Dewa Tecciztecatl maju, semakin dekat dengan api. Panas api terasa semakin membakar kulitnya. Dewa Tecciztecatl belum meloncat. Para dewa yang mengikuti upacara menunggu dengan napas tertahan.

“Dewa Tecciztecatl, ini adalah kesempatan keduamu. Cepatlah melompat ke dalam api suci!” Suara Dewa Tezcatlipoca sedikit meninggi. Ia tak mengira jika Dewa Tecciztecatl ragu untuk mempersembahkan dirinya.

Dewa Tecciztecatl mulai gemetar. Keberanian yang ia sesumbarkan mulai hangus dilalap panasnya api suci. Ia menarik napas dalam-dalam lalu memejamkan matanya. Namun, kakinya terasa berat untuk diangkat. Dewa Tecciztecatl mematung di tempatnya berdiri.

“Sekali lagi kuminta, Dewa Tecciztecatl. Segeralah melompat ke dalam api!” bentak Dewa Tezcatlipoca mulai tak sabar.

Sayangnya, Dewa Tecciztecatl justru semakin ketakutan. Ia benar-benar kehilangan nyali. Ia tidak sanggup menjatuhkan diri ke dalam api.

“Dewa Tecciztecatl! Ini kesempatan terakhirmu!” teriak Dewa Tezcatlipoca. Suasana menjadi gaduh. Para dewa yang tadinya menjagokan Dewa Tecciztecatl ikut kecewa.

“Diaaaaaam!” teriak Dewa Tezcatlipoca lagi. Suasana langsung hening.

“Kau telah melewatkan kesempatanmu, Dewa Tecciztecatl. Persembahanmu sia-sia. Sekarang mundurlah ke belakang,” pinta Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Tecciztecatl mundur ke belakang dengan rasa malu. Meski demikian, hatinya masih diliputi kesombongan. Ia sangat yakin jika Dewa Nanahuatzin tak akan sanggup melangkah ke perapian yang membara itu. Sesaat setelah Dewa Tecciztecatl gagal melakukan persembahan diri, Dewa Tezcatlipoca segera memanggil Dewa Nanahuatzin. Dewa Nanahuatzin maju dengan sikap tenang, seperti biasa.

“Masuklah ke dalam api, Dewa Nanahuatzin. Persembahkanlah dirimu,” perintah Dewa Tezcatlipoca.

Dewa Nanahuatzin menutup matanya. Ia melangkah ke arah perapian tanpa ragu. Ia memasuki api dengan perlahan. Dewa Nanahuatzin berhasil. Namun, tanpa disangka-sangka, Dewa Tecciztecatl ikut melompat ke dalam api. Perasaan malu mendorongnya untuk menyusul Dewa Nanahuatzin. Ia tidak menyangka jika dewa yang ia remehkan justru mempunyai keberanian yang besar. Dewa Tecciztecatl tak mau dikalahkan oleh Dewa Nanahuatzin.

Para dewa terperanjat mengetahui tindakan itu. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi bila dua orang dewa masuk ke api suci bersamaan. Biasanya dewa pertama yang berani masuk ke api akan menjadi matahari. Setelah matahari muncul, dewa kedua yang dilemparkan ke api akan menjadi bulan. Kini, para dewa menanti dengan cemas. Tak lama kemudian, para dewa melihat kemunculan cahaya yang sangat terang. Sebuah cahaya fajar kemerahan menerangi Teotexcalli. Para dewa segera menebak dari mana arah matahari dewa Nanahuatzin muncul.

“Pasti dari utara,” seru seorang dewa.

“Aku rasa ia bisa terbit dari mana pun. Lihatlah cahaya yang menyebar di mana-mana ini,” seru yang lain.

“Tidak. Ia akan muncul dari sana,” pekik Dewa Quetzalcoatl lantang. Tangannya menunjuk ke arah timur. Dan, benarlah tak lama kemudian sang matahari tampak di langit. Akan tetapi, sesaat kemudian para dewa dikejutkan oleh matahari berikutnya. Matahari kedua itu juga terbit dari timur, dan sangat berdekatan dengan matahari pertama. Keduanya juga mempunyai sinar yang sama-sama benderang.

Kini, para dewa mengetahui akibat dari perbuatan Dewa Tecciztecatl. Dua matahari kembar menyinari jagat raya. Matahari pertama adalah dari Dewa Nanahuatzin sedangkan matahari kedua dari Dewa Tecciztecatl. Padahal, seharusnya satu dewa menjadi matahari dan satu lagi menjadi bulan.

Para dewa beranggapan jika kehadiran matahari kembar bisa menandakan terjadinya bencana. Mereka khawatir apabila hal itu benar-benar menjadi kenyataan. Jika bencana besar terjadi dan menyebabkan kedua matahari hancur, jagat raya akan lumpuh dan kehidupan akan berakhir. 

Dewa Tezcatlipoca marah besar karena Dewa Tecciztecatl telah mengacaukan upacara pergantian matahari. “Pengecut itu harus diberi pelajaran,” katanya.

Dalam kemarahannya, Dewa Tezcatlipoca menyambar seekor kelinci yang melintas di dekatnya dan melemparkan kelinci itu ke arah matahari kedua. Kelinci itu tepat mengenai wajah Dewa Tecciztecatl.

“Awww!” jerit Dewa Tecciztecatl kesakitan.

Peristiwa itu membuat Dewa Tecciztecatl kehilangan sebagian kekuatannya. Sinar matahari kedua pun meredup dan ia berubah menjadi bulan. Bekas tamparan Dewa Tezcatlipoca masih terlihat di wajah bulan hingga sekarang. Saat bulan purnama, bayangan berbentuk kelinci selalu tampak di wajah bulan. Ketika permasalahan Dewa Tecciztecatl sudah selesai, para dewa mendapat satu masalah lagi. Matahari dari Dewa Nanahuatzin tak mau bergerak, hanya diam di tempat yang sama. Hal tersebut terjadi karena fisik Dewa Nanahuatzin yang lemah. Seluruh energinya telah diubah menjadi sinar yang terang, sehingga ia tak sanggup menggerakkan matahari. Akibatnya, ada tempat-tempat yang mengalami kekeringan dan ada yang membeku karena tak kebagian sinar matahari. Dewa-dewa mulai kebingungan.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dewa Tlaloc.

“Ya, kita tak bisa membiarkan keadaan ini berlangsung terus-menerus. Hal ini bisa membuat jagat raya mengalami kerusakan dan sirna,” ujar yang lain, khawatir.

“Kita harus meniupnya dengan angin yang kencang agar mau bergerak,” usul seorang dewa.

“Aku akan mencobanya,” Dewa angin Quetzalcoatl menawarkan diri. Dia berusaha meniup matahari itu sekuat tenaga. Namun, matahari tak juga bergerak dari tempatnya.

“Aku tak sanggup. Kita harus meminta bantuan Dewa angin barat Ehecatl,” usul Dewa Quetzalcoatl.

Dewa Tezcatlipoca lalu memanggil dan menyuruh Dewa Ehecatl membantu Dewa Quetzalcoatl. Kedua dewa itu bekerja sama untuk meniup matahari.

“Ayo, tiup lebih kuat lagi!” seru para dewa menyemangati.

Dewa Ehecatl dan Dewa Quetzalcoatl mengerahkan seluruh kemampuannya, tetapi hasilnya nihil. Mereka pun menyerah.

“Bagaimana ini? Apakah ada cara lain, Dewa Tezcatlipoca?”

Dewa Tezcatlipoca menghela napas, “Satu-satunya cara adalah kita ikut mempersembahkan diri untuk menggerakkan matahari.”

Para dewa terkejut mendengar ucapan Dewa Tezcatlipoca. Ada beberapa dari mereka yang tidak siap, namun banyak juga yang mengangguk setuju. Mereka menyadari jika mereka bertugas untuk menjaga jagat raya ini. Para dewa pun bersiap-siap. Satu per satu mereka masuk ke dalam api dengan sukarela. Tak lama kemudian angin kencang bertiup dan mulai menggerakkan matahari Dewa Nanahuatzin.

Matahari itu bergerak perlahan dari timur ke barat. Semua tempat mendapatkan sinar dan panas matahari secara merata. Kehidupan di jagat raya kembali berjalan normal. Saat matahari mulai bergerak menjauh, bulan dari Dewa Tecciztecatl bergerak mengikuti. Letaknya mulai menjauh dari matahari. Ia memberikan penerangan saat matahari berada di belahan lain jagat raya.

Para dewa merasa lega. Kehidupan di jagat raya sudah berjalan dengan baik. Sejak saat itu Dewa Nanahuatzin dan Dewa Tecciztecatl bekerja sama dan bersinar untuk menerangi jagat raya. Matahari menerangi di kala siang datang, dan bulan menerangi di kala malam menjelang. 

***

Tissa selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal cerita Mesiko di tulis di buku," kata Tissa.

Tissa menutup bukunya dan buku di taruh di bawah meja bersama buku majalah yang memang di taruh di bawah meja. Tissa beranjak dari duduknya ke dapur, ya membantu ibu memasak di dapur.

MALAIKAT MAUT

Kasino dan Indro masuk ruangan mayat. Memang keadaan ruangan gelap sih. Indro dan Kasino lagi mencari sakelar menghidupkan lampu gitu.

"Kasino kenapa ke ruangan mayat sih?" tanya Indro.

"Memeriksa sesuatu," kata Kasino.

"Apa yang harus di periksa?" kata Indro.

"Orang meninggal karena penyebabnya terkena penyakit covi-19....katanya," kata Kasino.

"Oooo begitu," kata Indro.

Kasino menemukan sakelar untuk menghidupkan lampu. Ya lampu ruangan hidup sih. Muncul sosok yang diam di depan pintu. Kasino dan Indro kaget dengan sosok tersebut dan berkata dengan lantang "Setan".

Dono mendengar omongan Kasino dan Indro jadi bingung.

"Kasino dan Indro kenapa aku di panggil Setan?" kata Dono.

Kasino dan Indro melihat dengan baik orang yang bicara pada mereka, ya ternyata Dono.

"Dono bikin takut aja," kata Kasino.

"Bikin takut tahu. Masker kamu itu bergambar gigi yang bertaring," kata Indro.

"Oooooo masker yang aku pake toh. Keren kan. Gigi bertaring kaya taringnya Drakula gitu," kata Dono.

"Lepas Dono tuh Masker!" kata Kasino.

"Kalau di lepas ini masker. Nanti kena marah sama petugas yang menangani covid-19. Tujuannya memakai masker, ya mencegah agar tidak terkena penyakit covid-19 lewat aliran udara gitu," kata Dono.

"Repot juga dengan peraturan ya. Dononya lagi iseng lagi," kata Kasino.

"Mau gimana lagi. Pake aja tuh masker Don!" kata Indro.

"Emmm," kata Dono.

Dono, Indro dan Kasino mulai memeriksa mayat yang katanya terkena covid-19. Ketiganya memeriksa dengan baik.

"Ini orang matinya karena sakit," kata Kasino.

"Setelah di periksa dengan baik. Ada sih penyakit covid-19," kata Indro.

"Berarti benar ini orang matinya karena covid-19," kata Dono.

"Ternyata covid-19 yang menyebabkan orang ini mati, bisa di bilang juga malaikat maut sih tuh covid-19," kata Kasino.

"Emmmm," kata Dono dan Indro.

Dono mulai menggunakan kemampuannya yang mampu melihat hal gaib jadi periksa dengan baik mayat tersebut, ya melihat roh lah di dalam tubuh mayat.

"Ternyata begitu," kata Dono.

"Apanya yang begitu Don?" tanya Kasino.

"Omongan Dono ganjil. Jangan-jangan Dono melihat mayat ini dengan menggunakan ilmu Dono yang dapat melihat hal yang gaib gitu," kata Indro.

"Iya bener omongan Indro. Aku melihat ini mayat dengan menggunakan ilmu ku yang dapat melihat hal yang gaib," kata Dono.

"Jadi Dono. Ada apa di dalam tubuh ini mayat?" tanya Kasino.

"Iya...Dono. Ada apa di dalam tubuh ini mayat?" kata Indro yang antusias ingin tahu.

"Orang ini yang telah menjadi mayat, ya memang terkena penyakit covid-19, ya ada juga penyakit yang di deritanya.....bawaan gitu di turunkan tuh penyakit. Yang menggerakkan penyakit di dalam tubuhnya ini orang yang menjadi mayat ternyata malaikat maut bisa di bilang roh lah. Berarti orang yang jadi mayat ini.....memang harus mati karena sudah waktunya di matikan," kata Dono menjelaskan.

"Malaikat maut. Yang menggerakkan penyakit di dalam tubuh orang ini yang menjadi mayat. Iiiiii serem juga ya di kendalikan malaikat maut sampai mati," kata Indro.

"Malaikat maut....memang kejem jika sudah bangun dari tidurnya, ya di putuskan mati ya harus mati," kata Kasino.

"Rajin ibadahlah dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar di beri umur panjang," kata Indro.

"Idem," kata Dono.

"Ya aku idem saja," kata Kasino.

"Dono, Kasino....keluar dari sini. Kita telah berhasil membuktikan bahwa orang ini terkena penyakit covid-19 dan juga malaikat maut lah!" kata Indro.

"Iya," kata Dono dan Kasino bersamaan.

"Aku matiin lampu dulu!" kata Indro mematikan lampu dari sakelarnya.

Ruangan mayat menjadi gelap. Dono, Kasino dan Indro keluar dari ruangan mayat. Ketiganya pulang ke rumah. Sekitar satu jam. Petugas yang menanggulangi masalah covid-19, ya membawa mayat untuk di kuburkan dengan cara protokol kesehatan....agar aman gitu.

UANG PERAK DI DALAM PERAPIAN

Surya selesai mengerjakan PR-nya. Surya keluar dari kamarnya sambil membawa buku ceritanya. Sampai di ruang tengah, ya Surya membuka bukunya dengan baik dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Surya :

Di sebuah desa di Afghanistan, ada seorang petani miskin. Setiap malam dia berdoa agar Tuhan memberinya uang perak lewat perapian. Suatu hari, celana petani itu robek terkena tanaman berduri. Petani akhirnya mencabut tanaman berduri itu. Dia takut tanaman itu akan melukai anaknya atau orang lain. Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang berkilau. Kilauan itu berasal dari tanah tempat dia mencabut tanaman itu. Petani pun menggali lebih dalam dan menemukan sebuah kendi.

Kendi itu berisi uang perak. Awalnya petani itu sangat senang. Namun, dia pun berpikir, “Aku berdoa agar diberi uang perak lewat perapianku. Tapi, aku menemukan uang perak ini di ladang. Jadi, ini tentu bukan uang perakku.”

Petani itu mengembalikan kendi ke dalam tanah yang dia gali. Ketika sampai di rumah, dia menceritakan apa yang terjadi pada istrinya. Istrinya sangat marah mendengar cerita si suami.

“Kenapa kau tidak mengambil kendi itu? Dengan uang perak itu kita bisa membeli semua yang kita inginkan,” kata istrinya kesal.

Istrinya kemudian pergi ke rumah tetangga. Dia menyuruh tetangganya untuk mengambil kendi itu. Hasilnya nanti akan mereka bagi dua. Maka, pergilah si tetangga ke tempat kendi itu dikubur. Kendi itu memang masih ada di sana. Tapi, isinya bukan uang perak melainkan ular berbisa.

“Istri petani telah menipuku. Dia berusaha mencelakaiku dengan ular ini,” pikir si tetangga marah.

Si tetangga kemudian membawa kendi itu pulang ke rumah. Ketika malam tiba, dia membuang kendi berisi ular berbisa ke cerobong perapian petani. Pagi harinya, petani menemukan sebuah kendi di perapian. Ketika dilihat, ternyata kendi itu berisi uang perak yang banyak. Petani itu sangat senang.

“Jika memang ini rezekiku, maka aku akan mendapatkannya bagaimana pun caranya,” katanya senang.

***

Surya terus melanjutkan baca bukunya, ya sampai pesan moralnya sih "Jujur. Tuhan sudah mengatur untuk kita. Carilah rezekimu dengan cara yang baik dan jujur."

Surya memahami apa yang ia baca.

"Cerita yang bagus dari asalnya Afganistan, ya tertulis di buku. Memang hidup harus di jalanin dengan penuh kejujuran. Jalan yang baiklah," kata Surya.

Surya menutup bukunya dengan baik dan di taruh di meja tuh buku. Surya menghidupkan Tv dengan remot dan di pilih acara lawaklah. Surya seneng banget dengan acara lawak, ya menghibur gitu.

1001 MALAM

Denny duduk di ruang tamu.

"Hari minggu gini ngapain ya?!" kata Denny masih berpikir panjang.

Denny mengambil buku di bawa meja dan berkata "Baca buku ah!"

Denny membuka buku dengan baik dan membaca buku dengan baik.

Isi buku yang di baca Denny :

Dahulu kala, ada seorang raja bernama Shahriah. la adalah raja yang baik, sampai suatu hari ia mengetahui istrinya berselingkuh. Raja Shahriah murka dan menghukum mati istrinya. Sejak saat itu, Raja Shahriah mempunyai kebiasaan buruk. Setiap malam ia menikahi seorang perempuan dan esoknya perempuan itu di hukum mati. Tiga tahun berlalu dan sudah seribu perempuan mati di hukum sang raja. Patih kerajaan sangat sedih oleh kebiasaan buruk rajanya. la sering menangis di dalam kamarnya. Putri sang patih yang bernama Sheherezade mendengar ayahnya menangis.

“Mengapa engkau menangis, Ayah?” tanya Sheherezade.

Sang patih menceritakan bahwa ia sedih karena kebiasaan buruk sang raja. Sheherezade pun menjadi sedih mendengar seribu gadis telah dihukum mati oleh raja. “Ayah, biarkan aku menikahinya,” katanya.

“Jangan putriku, nanti kau mati juga,” kata sang patih.

“Percayalah, aku punya akal,” kata Sheherezade.

Akhirnya, Sheherezade dinikahkan dengan Raja Shahriah. Saat tiba malam pertama, Sheherezade menceritakan sebuah dongeng yang memukau raja. Sebelum pagi, Sheherezade menghentikan ceritanya di tengah-tengah.

“Hari sudah pagi, aku lanjutkan ceritanya besok malam,” kata Sheherezade.

“Baiklah,” kata raja yang penasaran ingin mengetahui kelanjutan cerita Sheherezade. Raja tidak menghukum mati Sheherezade hari itu.

Malamnya, Sheherezade menyelesaikan dongeng malam sebelumnya dan memulai dongeng baru. Sebelum pagi, Sheherezade lagi-lagi berhenti menceritakan dongeng itu di tengah-tengah.

“Hari sudah pagi, aku lanjutkan ceritanya besok malam,” kata Sheherezade.

“Baiklah,” kata raja. 

Hari itu raja juga tidak menghukum mati Sheherezade. Selama 1001 malam, ya Sheherezade menceritkan dongeng agar terhindar dari hukuman mati dari raja dan menyelamatkan nyawa perempuan-perempuan di negerinya. Akhirnya, raja lupa pada kebiasaan buruknya itu. Rajapun hidup bahagia dengan Sheherezade. Mereka memerintah dengan adil dan bijaksana.

***

Denny terus membaca pesan moral yang di tulis di buku dengan baik "Jadilah anak yang cerdik dan banyak akal. Jangan hadapi kemarahan dengan kemarahan. Tapi, hadapilah dengan akal sehat dan pikiran yang tenang. Banyaklah belajar dan jadikan membaca menjadi hobimu, karena semakin banyak membaca maka pengetahuanmu akan semakin bertambah."

Denny memahami dengan pesan moral yang di tulis di buku.

"Cerita yang bagus asalnya dari Irak, ya di tulis di buku sih. Benar atau tidaknya asal dari Irak, ya aku hanya pembaca yang baik saja. Dengan membaca buku. Aku memahami ilmu ini dan itu, ya aku jadi pintarlah," kata Denny.

Denny menutup bukunya dan di taruh di meja.

"Main apa belajar ya?!" kata Denny berpikir panjang.

Denny akhirnya memutuskan untuk belajar, ya masuk ke kamarnya dan belajar mengulas pelajaran yang di berikan sama guru di bangku sekolah. 

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK