Seorang anak laki-laki bernama Awin berjalan menuju lampu merah tepatnya jalan tamin. Menunggulah Awin di tortoar dengan penuh kesabaran sampai mobil angkot yang akan di naikinnya.
Mobil angkot pun muncul dan segera Awin mengacungkan tangan kanannya menghentikan mobil angkot. Sang sopir pun berhenti di samping Awin.
"Bang gudang garam ya!" kata Awin.
"Iya ...," saut sang sopir angkot.
Awin naik mobil angkot menuju gudang garam. Dengan sabar Awin di dalam angkot sampai berganti-ganti penumpang dan akhirnya sampai juga di tujuan Awin melihat dan berkata pada sopir "Minggir sopir."
Sang sopir angkot langsung berhenti sesuai permintaan penumpang. Awin segera turun dari angkot dan membayar dengan uang pas ke sopir angkot.
Awin mulai berjalan menuju jalan persimpangan untuk naik mobil angkot. Ternyata sudah ada mobil yang ngetem di persimpangan jalan. Segera Awin naik mobil angkot sampai daerah jalan mastur. Dengan sabar Awin di dalam mobil angkot dan melihat perkembangan daerah sekitar lewat jendela kaca mobil angkot.
"Tiga tahun daerah ini banyak berubah," kata hati Awin.
Terlihat tujuan di mata Awin dan menyuruh pak sopir mingir!. Sontak pak sopir mengikuti perintah penumpangnya. Awin mulai turun dari mobil angkot dan membayar dengan uang pas.
"Sampai juga di jalan mastur," celoteh Awin.
Awin berjalan menuju rumah temannya bernama Eko. Ternyata Eko ada di rumahnya Awin di sambut baik.
"Eko...daerah sini banyak perubahan ya setelah kita lulus dari SMAN 11?" kata Awin.
Eko sedang menyajikan minuman air putih di meja dan langsung duduk.
"Iya begitulah. Tapi hidup gini- gini aja. Gak ada perubahan," kata Eko.
"Ya sudah jalan nasip kita," saut Awin.
"Ngomong-ngomong apa angin apa kamu main ke daerah sini?" tanya Eko.
"Ah..cuma refesing aja ..Eko," kata Awin.
"Saya kirain minta kerjaan sama saya," kata Eko.
"Cuma main," kata Awin.
"Oh..begitu," saut Eko.
Awin dan Eko terus berbincang-bincang sampai azan di kumandangkan. Eko mengajak Awin untuk sholat di mesjid. Keduanya berjalan menuju mesjid dekat rumah. Tak sengaja bertemu denga Purnama teman Awin dan Eko, tapi tidak tegur sapa. Awin dan Eko pun melaksanakan sholat dzuhur di mesjid dengan penuh khusuk.
Awin pun duduk di luar mesjid selesai sholat begitu dengan Eko.
"Hidup gak ada perubahan," kata Awin.
"Bener kan gak ada perubahan. Saya tetap begini-gini aja. Untuk menyambung hidup jad tukang ojek on line awalnya tukang ojek pangkalan," cerita Eko.
"Sedang saya cuma warung di rumah aja. Ngomong-ngomong bagaimana kabar Purnama?" kata Awin.
"Orang kamu sukai saat SMA dulu. Sudah menikah dengan tetangga samping rumahnya namanya Sulaiman," penjelasan Eko.
"Cinta saya kandas deh," saut Awin.
"Ya terang aja. Jarak dan waktu mempengaruhi segalanya. Kamu dimana dia mana," kat Eko.
"Iya saya tahu. Tapi sebenarnya saya ingin mengubah nasip saya di kota ini," kata Awin.
"Mimpi. Kota Lampung apa yang bisa kita dapatkan dari kota ini. Cuma gede omongnya sama dengan piilnya suku asli Lampung. Tetap aja isu KKN para pejabat kota Lampung jadi ocehan lapisan ke lapisan paling bawah. Dan akhirnya mempengaruhi tekan sosial dan ekonomi," penjelasan Eko.
"Saya sendiri sadar jadi warga Lampung. Sampai banyak kabar lewat teman- teman kita yang merantau ke kota lain demi merubah nasip," saut Awin.
"Itulah hidup di kota Lampung terkenal dengan egonya....saja dan hasilnya nihil kan," tambahan Eko.
"Saya lebih sadar lagi cinta SMA pun kandas karena alasan kemiskinan dan juga banyak polemik di kota Lampung yang gak selesai. Dan pada akhirnya...hidup gak ada perubahaan bagi orang miskin," kata Awin.
"Ya..sudahlah..ayo ke rumah," ajak Eko.
"Ayo," saut Awin.
Awin dan Eko berjalan menuju rumahnya Eko. Sampai bertemu dengan kawan-kawan SMA di jalan dan bercerita banyak hal. Sampai waktunya Awin pulang ke rumah dan menyelesaikan misi main ke rumah teman baiknya saat SMA.
Seperti biasanya Awin melanjutkan hidupnya di rumah dengan usaha warung demi bertahan hidup di kota Lampung yang gak berubahnya di sektor perekonomiannya.
Karya: No