CAMPUR ADUK

Sunday, June 27, 2021

SAKURA DI BULAN FEBRUARI

Kenta main ke rumah Haruka. Ternyata Haruka tidak ada di rumahnya. Kenta murung jadinya, ya tidak bertemu Haruka. Kenta pulang ke rumahnya. Sampai di rumah, ya Kenta duduk di ruang tamu. 

"Baca buku saja!" kata Kenta.

Kenta mengambil buku di meja dan membaca judul buku tersebut dengan baik "Sakura Di Bulan Februari."

Kenta membuka buku. Kenta pun tiba-tiba teringat dengan Haruka.

"Teringat Haruka. Bisa di bilang cinta apa tidak?" kata Kenta.

Kenta berpikir panjang.

"Kata orang-orang yang pernah menjalankan cinta. Teringat pada cewek yang di sukai....tandanya cinta," kata Kenta.

Kenta lebih baik membaca buku dengan baik banget.

Isi buku yang di baca Kenta :

Dahulu kala di suatu desa hiduplah seorang kakek yang sudah jompo bersama seorang cucu laki-lakinya. Di desa itu sejak dahulu kala ada sebuah pohon sakura yang sangat besar. Umurnya tidak ada seorang pun yang tahu, sejak  sang kakek masih anak-anak pohon sakura itu sudah ada di desa itu. Bila musim semi tiba. Seiring menghangatnya cuaca setelah berakhirnya musim dingin yang membeku, bunga-bunga sakura pun bermekaran dengan begitu indahnya. Bunga-bunganya bermekaran memenuhi rerantingan dahannya yang gundul dengan keharuman yang semerbak mewangi. Begitu pun kakek bila sedang bekerja di sawah, dia sering lupa dan terlena karena terpesona melihat keindahan bunga sakura itu. Dan, bila bunga-bunga sakura itu rontok jatuh ke atas tanah, kakek pun memungutinya helai demi helai lalu menguburkannya ke dalam tanah. 

“Bunga sakura, terima kasih telah memberikan keindahan di tahun ini,” kata kakek setelah mengubur bunga-bunga sakura yang rontok itu. 

Nah, seiring dengan bergulirnya waktu kakek pun bertambah usia menjadi seorang kakek jompo, tidak bisa bekerja di sawah lagi. Di suatu hari yang dingin membeku di bulan Februari. Ketika mendengar hembusan angin utara yang dingin, kakek berkata kepada cucunya. 

“Sampai saat ini hidupku benar-benar bahagia. Tapi aku akan lebih bahagia lagi bila sebelum ajal menjemputku bisa melihat bunga sakura mekar sekali lagi.” 

“Kok kakek berkata seperti itu? Sekarang kan masih musim dingin. Masih di pertengahan Februari, Kek. Musim semi masih lama datangnya, jadi bunga sakura belum saatnya mekar,” kata cucu laki-lakinya.

“Tapi aku ingin melihat sakura mekar sekali lagi. Aku merasa usiaku tidak akan lama lagi,” kata kakek dengan sedih. 

Matanya mulai berkaca-kaca, lalu air matanya pun tumpah membasahi pipinya yang keriput. Melihat kakek yang menangis sedih. Cucu laki-lakinya itu pun merasa sangat kasihan. Dia pun berpikir mencari cara untuk mewujudkan keinginan kakeknya melihat bunga sakura mekar sebelum meninggal dunia.

“Tunggu di sini ya, kek!” kata cucu laki-lakinya itu. 

Pemuda itu pun  keluar rumah. Lalu berjalan menyusuri jalan desa yang memutih tertimbun salju. Dia tidak menghiraukan dinginnya angin utara yang berhembus menerpanya. Dia terus berjalan menuju bukit kecil di belakang desa tempat pohon sakura raksasa itu tumbuh. Begitu sampai di bawah pohon sakura, pemuda itu memandangi pohon itu dari bawah sampai ke atas. Seluruh ranting dan dahannya terlihat gundul membeku terselimuti salju putih yang tebal. Dia pun duduk bersimpuh di bawah pohon sakura itu dengan mengatupkan ke dua telapak tangannya dan mulai berdoa. 

“Pohon sakura, aku mohon padamu. Untuk sekali ini saja! Tolong wujudkanlah keinginan kakekku. Selagi dia masih hidup, kakek ingin melihat bunga sakura mekar sekali lagi. Tolong mekarkanlah bunga-bungamu demi kakek. Aku mohon!” 

Pemuda itu terus-menerus berdoa dengan mengucapkan perkataan itu berkali-kali. Malam hari pun tiba namun pemuda itu tetap tak beranjak dari tempatnya berdoa. Dia terus-menerus berdoa sambil bersujud. Hingga akhirnya di saat merah fajar menyingsing di ufuk timur pada keesokan pagi harinya, pemuda itu merasakan suatu keanehan. Dia merasa cuaca di pagi hari itu terasa sangat hangat seperti di musim semi. Padahal waktu itu masih di pertengahan musim dingin yang membeku. 

“Kok aneh? Kenapa hawanya jadi hangat, ya? Hmm… Kok, aku mencium harumnya bunga?” 

Pemuda itu pun menengadahkan kepalanya melihat pohon sakura di atasnya. 

“Oh, Tuhan?!” 

Keajaiban pun terjadi. Pemuda itu melihat ranting-ranting dan dahan sakura yang semula gundul berselimut salju itu, kini telah berbunga dengan lebatnya. Bunga sakura bermekaran begitu indahnya memenuhi rerantingan dahan yang gundul itu dengan keharuman yang semerbak mewangi. Benar-benar keajaiban! Di bulan Februari yang dingin membeku seperti itu bunga sakura bisa mekar. 

“Terima kasih pohon sakura,” kata pemuda itu. 

Dia pun segera bergegas pulang ke rumah menemui kakeknya. 

“Kek...Kakek! Ayo ikut aku!” 

“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya kakek terheran-heran melihat tingkah cucu laki-lakinya itu. 

“Kabar bagus! Kakek pasti senang. Ayo kita berangkat!” 

Pemuda itu lalu menggendong sang kakek di atas punggungnya. Berjalan menyusuri jalan desa yang beku tertimbun salju putih menuju tempat pohon sakura raksasa. Semakin lama mereka semakin mendekati pohon sakura raksasa itu. 

“Oh, Tuhan! Benarkah yang kulihat ini?” kata kakek terkejut. 

Kakek tak bisa menahan rasa terharunya karena merasa sangat bahagia. Matanya berkaca-kaca, lalu air matanya pun jatuh bercucuran membasahi pipi keriputnya, hingga kakek pun tidak bisa berkata-kata lagi untuk mengungkapkan kebahagiaannya di saat itu. Sinar matahari pagi yang menyinari pohon itu membuat bunga-bunga sakura yang mekar terlihat bercahaya berkilauan dengan begitu indahnya. 

“Ini benar-benar sakura terindah yang pernah kulihat seumur hidupku. Baru kali ini aku melihat sakura seindah ini,” kata kakek. 

Melihat kakek yang tampak sangat bahagia, pemuda itu pun menangis terharu. Akhirnya tak lama setelah peristiwa itu kakek pun meninggal dunia. Namun anehnya, sejak peristiwa itu pohon sakura raksasa di desa itu setiap tahun selalu mekar lebih awal dari pohon-pohon sakura lainnya. Pohon itu selalu berbunga di pertengahan Februari pada tanggal 16. 

***

Kenta berhenti baca buku.

"Cerita yang bagus berasal dari Jepang. Pinter yang buat ceritanya," kata Kenta.

Kenta menutup bukunya dan buku di taruh di meja. 

"Main ah!" kata Kenta.

Kenta memutuskan ingin main, ya jadinya keluar rumah. Kenta berjalan dengan baik menuju rumahnya teman baiknya Kenta yaitu Lee Jeong Hoon.

BALAS BUDI BURUNG BANGAU

Kasino dan Indro duduk di ruang tengah, ya nonton Tv dengan acara yang bagus banget gitu. Acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro, ya berita seputar ini dan itu sih. Dono duduk di ruang tamu. Mengambil buku di meja dan segera di baca tuh buku cerita yang asal cerita dari Jepang.

Isi buku di baca Dono :

Dahulu kala hiduplah seorang kakek dan nenek yang sangat miskin. Suatu hari di musim salju yang sangat dingin membeku, sang kakek pergi ke kota untuk menjual kayu bakar. Di tengah perjalanan ketika melintasi persawahan, kakek melihat ada seekor burung bangau terjerat perangkap seorang pemburu.

“Aduh, kasihan sekali,” kata kakek.

Kakek pun segera melepaskan burung bangau itu dari dalam perangkap. Setelah terbebas burung bangau itu terbang berputar-putar tiga kali di atas kepala kakek. Seolah-olah dia ingin mengucapkan terima kasih sambil bersuara ‘Kaok… kaok… kaok…’ Lalu terbang tinggi meninggalkan kakek.

Malam hari itu terasa sangat dingin membeku. Sejak sore hari salju turun terus-menerus dengan lebatnya, hingga jalan-jalan dan pelataran semua tertimbun salju tebal. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah hamparan salju yang memutih. Ketika kakek sedang menceritakan kejadian yang dialaminya siang tadi kepada nenek. Tiba-tiba dari pintu depan terdengar suara ketukan.

Tok! Tok! Tok!

“Permisi. Bolehkah saya masuk?” terdengar suara seorang wanita muda.

Begitu pintu dibuka, terlihat ada seorang wanita muda dengan rambut dan tubuh dipenuhi salju berdiri di depan pintu.

“Oh, Tuhan! Kau pasti sangat kedinginan.Ayo, ayo cepat masuk!” ajak nenek mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah.

“Terima kasih, nek.”

“Kenapa kau seorang diri di tengah hujan salju selebat ini?” tanya nenek.

“Sebenarnya  saya sedang mencari seseorang yang tinggal di sekitar tempat ini. Sudah saya cari kemana-mana tetapi tidak ketemu juga. Lalu salju turun dengan lebatnya dan hari mulai gelap. Akhirnya dengan susah payah saya sampai di rumah ini. Kalau tidak mengganggu kakek dan nenek, bolehkah saya menginap di sini barang semalam saja?” tutur wanita muda itu dengan sangat sopan.

“Oh, begitu. Tentu saja boleh, nak! Kamu tidak perlu sungkan. Anggap saja ini di rumah sendiri. Tapi ya, seperti ini keadaan rumah kami,” kata kakek dengan ramah.

“Terima kasih kakek. Terima kasih nenek,” kata wanita muda itu dengan wajah berseri-seri. Dia pun membungkukkan badannya dalam-dalam sebagai tanda terima kasihnya.

Wanita muda itu lalu membantu nenek mempersiapkan makan malam. Mereka bertiga pun makan malam bersama-sama. Setelah itu wanita muda itu segera membersihkan semua piring dan perabotan yang kotor. Keesokan pagi harinya ketika nenek terbangun dan membuka mata. Dia melihat wanita muda itu sudah bangun lebih dahulu. Keadaan rumah pun sudah tertata rapi dan terlihat bersih. Wanita muda itu juga sudah memasak untuk sarapan pagi.

“Wah, wah… Jadi merepotkan. Tidak hanya memasak, kau pun sudah membersihkan rumah kami. Terimakasih ya, nak!” kata nenek.

Sepanjang hari itu hingga beberapa hari berikutnya salju terus-menerus turun dengan lebatnya. Hingga tidak ada seorang pun yang bisa keluar rumah. Wanita muda itu pun tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Dia lalu memijat pundak kakek dan nenek bergantian.

“Kau benar-benar seorang anak yang baik dan berbakti. Andai aku punya anak gadis sepertimu, alangkah senangnya aku,” kata kakek.

“Iya, aku akan sangat senang bila kau mau tinggal bersama kami,” ujar nenek menimpali.

“Sebenarnya saya ini hidup sebatang kara, tidak punya sanak saudara. Kalau kakek dan nenek tidak keberatan, bolehkah saya tinggal di sini?” kata wanita muda itu dengan membungkukkan badannya.

“Oh, benarkah?” seru kakek dan nenek bersamaan.

“Kalau begitu tinggallah bersama kami,” pinta nenek.

Wanita muda itu pun menganggukkan kepalanya. Kakek dan nenek pun sangat gembira. Mereka bertiga hidup sederhana dan bahagia walau dalam keadaan serba kekurangan. Suatu hari wanita muda itu bilang ingin menenun kain. Dia pun meminta kakek untuk membelikan benang. Ketika pergi ke kota, kakek pun membelikan benang yang diperlukan.

“Tolong selama saya menenun kain, jangan ganggu saya! Jangan sekali-kali kakek dan nenek membuka pintu kamar ini, ya?” kata wanita muda itu sebelum menutup pintu kamar dan mulai menenun.

Tok, tak, tok...  gleduk.

Tok, tak, tok...  gleduk.

Begitulah suara alat tenun itu terdengar sepanjang hari. Setelah tiga hari berlalu wanita muda itu pun membuka pintu kamarnya. Dia memondong beberapa lembar kain tenun di ke dua tangannya. Dia lalu berkata kepada kakek.

“Kek, tolong jual kain ini ke kota. Tolong nanti saya dibelikan benang lagi.”

“Iya, iya... Wah, bagus sekali tenunanmu ini?” puji kakek dengan perasaan terkagum-kagum.

Kakek sangat senang menerima kain tenun itu. Dia pun segera pergi ke kota untuk menjual kain tenun tersebut. Karena tenunannya sangat halus dan bagus, kain itu pun dibeli dengan harga mahal oleh seorang pejabat yang kaya raya. Kakek sangat senang menerima uang yang sebegitu banyaknya. Tidak lupa sebelum pulang kakek membelikan benang pesanan wanita muda itu. Setelah mendapatkan benang dari kakek, wanita muda itu pun segera masuk kamar dan mulai menenun lagi. Suara alat tenun kembali terdengar meramaikan rumah kakek dan nenek.

Tok, tak, tok... gleduk.

Tok, tak, tok... gleduk.

Dua hari pun berlalu.

“Kek, aku kok penasaran. Aku ingin melihat bagaimana cara gadis itu menenun kain sehalus dan sebagus itu. Aku ingin mengintip sebentar saja,” kata nenek.

Nenek pun berjalan berjingkat-jingkat mendekati pintu kamar. Lalu perlahan-lahan dia menggeser pintu itu sedikit. Nenek mengintip ke dalam kamar dari celah pintu itu. Namun betapa terkejutnya nenek begitu tahu apa yang ada di dalam kamar.

“Oh, Tuhan!” jeritnya dengan suara tertahan.

Di dalam kamar tidak ada wanita muda itu, tetapi yang ada hanyalah seekor burung bangau putih yang terlihat sangat kurus. Burung itu mencabuti bulu-bulunya satu per satu lalu menyelipkannya ke alat tenun dan menenunnya menjadi kain yang halus dan bagus.

“Kek... kakek!” panggil nenek dengan tubuh masih gemetaran.

“Ada apa, nek?” tanya kakek sambil mendekati nenek.

“Lihatlah itu!” bisik nenek.

“Hahhh?! Burung bangau?” kata kakek tak kalah terkejutnya dengan nenek.

Tiba-tiba suara alat tenun itu berhenti. Wanita muda itu membuka pintu kamar. Lalu keluar dengan membawa beberapa lembar kain tenun yang sangat halus dan bagus. Dia memberikan kain itu kepada kakek dan nenek.

“Kakek, nenek… Sebenarnya saya adalah burung bangau yang pernah ditolong kakek dahulu. Karena ingin membalas budi maka saya merubah wujud menjadi seorang gadis. Tapi sekarang sudah waktunya kita harus berpisah. Terima kasih atas kebaikan hati kakek dan nenek. Semoga panjang umur dan sehat selalu.”

Setelah berkata demikian dalam sekejap mata wanita muda itu telah berubah menjadi seekor burung bangau putih. Lalu terbang berputar mengitari atas rumah kakek dan nenek tiga kali sambil bersuara ‘Kaok… kaok… kaok…’ sebagai ucapan terima kasih. Lalu terbang tinggi menuju gunung yang terlihat nan jauh di sana.

“Burung bangau… Hai, gadis muda… Semoga kau pun selalu sehat wal afiat. Terima kasih atas semua ini,” kata kakek dan nenek sambil berurai air mata.

Setelah itu kakek dan nenek bisa hidup berkecukupan dengan uang hasil menjual kain tenunan burung bangau itu. Mereka pun hidup bahagia selamanya. 

***

Dono berhenti baca buku.

"Bagus ceritanya. Pandai membuat ceritanya. Kaya pernah di angkat cerita yang aku baca ini. Film kartun," kata Dono.

Dono menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

"Main game ah!" kata Dono.

Dono main game di Hp-nya dengan baik banget. Kasino dan Indro di ruang tengah masih asik nonton Tv.

PUTRI YANG BISU

Jihan duduk di ruang tengah. Jihan melihat buku di meja.

"Buku siapa ya?" kata Jihan.

Jihan mengambil buku di meja.

"Jangan-jangan buku...nya Mbak Nella," kata Jihan.

Jihan membaca judul buku tersebut "Putri Yang Bisu."

Jihan tertarik banget jadinya, ya membuka buku dan membaca dengan baik buku tersebut.

Isi buku yang di baca Jihan :

Nun jauh di sana, ada sebuah kerajaan kecil di tanah Turki yang dipimpin oleh seorang Pasha. Sang Pasha memiliki seorang putra bernama Shahzada. Shahzada mempunyai sebuah bola kesayangan yang terbuat dari emas. Sedari kecil hingga dewasa, ia sangat suka memainkan bola itu di halaman istananya. Permainan yang paling  ia suka adalah mengganggu orang-orang yang mengambil air di mata air yang terletak di halaman istana. 

“Paman! Awas!” seru Shahzada kepada seorang lelaki yang sedang mengisi kantung air minumnya di mata air. 

Kaki kanan pangeran muda itu menendang kuat-kuat bola emas ke arah mata air. Byurr! 

“Ya, ampun!” teriak si pengambil air. 

Badannya basah terkena air cipratan bola. Shahzada terbahak-bahak melihat kejadian itu. 

“Semoga kau mendapatkan balasan atas kenakalanmu, Pangeran!” Lelaki itu merutuk dalam hati. 

Ia segera mengambil air, kemudian pergi. Ia tidak berani memarahi Shahzada, sebab pemuda itu adalah anak seorang Pasha. Di lain hari, datanglah seorang wanita tua yang membawa sebuah guci untuk mengambil air di mata air itu.

“Hihihi. Ini dia. Pasti lebih seru!” Shahzada merencanakan sebuah kenakalan saat melihat wanita itu datang. 

Shahzada menendang kuat-kuat bola emasnya ke arah guci itu. Praang! Guci tanah liat milik wanita tua tadi pecah berkeping-keping. 

“Hei, siapa berani memecahkan guciku?!” seru wanita itu marah. 

“Aku yang memecahkan gucimu.” Shahzada datang mengambil bola emas. 

Wanita itu terdiam, menahan semua kemarahannya, karena yang memecahkan gucinya adalah seorang pangeran. Ia pun pergi meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, ia datang lagi membawa sebuah guci baru untuk mengambil air. Shahzada mengetahui kedatangan wanita itu dari kejauhan. Ia menyiapkan bola emasnya dan kembali menendangnya ke arah guci milik wanita tua itu. Praang! Guci baru yang dibawa oleh wanita itu pecah. Sambil bersungut-sungut, wanita itu pergi. Gelak tawa Shahzada yang senang, karena menganggap semua itu adalah hal lucu, mengiringi kepergian wanita itu.

“Aku suka permainan ini,” kata Shahzada. 

Seakan tak mau berputus asa, wanita tadi datang lagi untuk ketiga kalinya dengan guci baru. Kali ini, guci itu dibelinya dengan cara berhutang karena uangnya telah habis untuk membeli guci kedua yang dipecahkan Shahzada sebelumnya. Shahzada meletakkan bola emasnya di dekat kaki, kemudian menendangnya lagi. Praang! Guci ketiga telah pecah. Dan, pecah pula kesabaran wanita itu untuk menahan amarah. Ia melotot jengkel kepada Shahzada. 

“Anda memang seorang pangeran yang tidak berperasaan! Dengarlah perkataan saya ini, saya berdoa semoga anda jatuh hati pada Putri Bisu!” kutuknya, lalu pergi meninggalkan tempat itu. 

Shahzada yang semula tertawa terbahak-bahak, kini terdiam seribu bahasa. Terpukul mendengar kutukan wanita pembawa guci. Putri Bisu?Siapakah Putri Bisu itu?Apa maksud kata-kata wanita itu? pikir Shahzada. Ia terus memikirkannya sehari semalam, seminggu tujuh hari, sebulan empat minggu, hingga ia lupa pada permainan bola emasnya, enggan makan, dan tidak nyenyak tidur. Shahzada berubah menjadi pemuda yang murung dan sakit-sakitan. Seribu tabib dan orang bijak didatangkan ke istana untuk mengobati penyakit misterius yang diderita Shahzada, namun tak kunjung membawa hasil menggembirakan. Sang Pasha mulai gelisah memikirkan penyakit putranya itu. 

“Anakku, apa yang sebenarnya menyebabkan engkau sakit seperti ini? Bisakah kau menceritakan sesuatu? Mungkin, ada sesuatu yang terjadi sebelum engkau sakit?” tanya Pasha. 

Shahzada menatap ayahnya dengan sayu. “Iya, Ayahanda. Saya pernah memecahkan tiga guci milik seorang wanita tua yang sedang mengambil air di halaman istana. Dia mengutuk, semoga saya jatuh hati hati kepada Putri Bisu.” Pasha mengerutkan kening, “Akan tetapi, siapakah Putri Bisu yang dimaksud itu? Apa maksud dari kutukannya itu?”

 “Itulah yang merisaukan saya selama ini ini, Ayahanda. Sepertinya, akan lebih baik jika saya melakukan perjalanan untuk mencari Putri Bisu. Mungkin hanya itu obat bagi penyakit saya,” kata Shahzada. 

Pasha merenung. 

“Engkau pasti akan menempuh banyak rintangan di luar sana. Tetapi, jika ini jalan yang terbaik, maka pergilah, anakku. Bawalah serta satu orang pengawal istana terbaik untuk menemanimu dalam perjalanan.” 

Segala persiapan telah selesai dilakukan. Shahzada dan pengawalnya pun mulai berangkat mencari Putri Bisu. Mereka melewati hutan yang lebat, semak-semak, dan padang ilalang. Tetapi, mereka tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Putri Bisu. Mereka terus berjalan melewati daerah tak berpenghuni. Tak ada manusia yang bisa ditemui. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun jarang sekali hidup di sana. Bekal Shahzada dan pengawalnya telah habis. Mereka jarang sekali bisa makan dan minum. Penampilan mereka menjadi kurus, compang-camping, dan lusuh. Hingga suatu hari, mereka tiba di sebuah puncak gunung yang memiliki bebatuan aneh. Bebatuan di puncak gunung itu berkilauan layaknya berlian. Mereka kemudian bertanya kepada seorang lelaki tua yang kebetulan berpapasan dengan mereka. 

“Tolong katakan kepada kami, apa yang menyebabkan batu-batu di puncak gunung ini berkilauan?” tanya Shahzada. 

“Kalian sedang berada di gunung milik Putri Bisu. Ia memakai tujuh lapis penutup wajah. Batu-batuan adalah pantulan dari kecerdasan sang putri,” ucap lelaki tua itu. 

Shahzada dan pengawalnya tampak sangat senang. Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan petunjuk tentang Putri Bisu. 

“Masih jauhkah istana Putri Bisu?” tanya Shahzada lagi. 

“Sabarlah, Anak Muda. Jika kalian berdua kembali berjalan terus selama enam bulan, kalian akan sampai di istananya.” 

Shahzada dan pengawalnya merasa gembira karena perjalanan mereka ternyata tidak sia-sia. Mereka telah menuju arah yang benar dan sebentar lagi akan menemukan Putri Bisu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, hingga tiga bulan lamanya, hingga mereka sampai di puncak gunung yang lain. Anehnya, bebatuan di gunung itu mempunyai warna semu merah yang amat cantik. 

“Aku sangat lelah. Sebaiknya, kita pergi ke sebuah desa untuk beristirahat. Kita juga bisa bertanya mengenai gunung ini di sana,” kata Shahzada sembari mengatur napasnya. 

Setelah mereka berdua menemukan sebuah desa, Shahzada dan pengawalnya pun beristirahat di sebuah penginapan di daerah itu. 

“Selamat datang, Tuan-Tuan!” sapa si pemilik penginapan. 

“Apakah Anda bisa memberi tahu saya, mengapa batu-batu di puncak gunung sana berwarna merah?” tanya Shahzada. 

“Oh, tak tahukah Tuan-Tuan? Batu-batu itu mencerminkan warna bibir dan pipi Sang Putri Bisu. Putri Bisu mengenakan tujuh lapis penutup wajah. Tetapi, kecantikannya tak dapat dihalangi. Meskipun begitu, tak ada yang pernah melihat wajah Putri Bisu. Tidak ada yang pernah bicara dengannya karena dia tak mau berbicara sepatah kata pun. Banyak orang yang mencoba membuatnya bicara. Namun semua berakhir dengan kematian,” pemilik penginapan itu menjelaskan panjang lebar. 

Mendengar berita buruk itu, Shahzada tidak merasa gentar. “Di manakah letak istana Putri Bisu?”

“Lanjutkanlah perjalanan selama tiga setengah bulan lagi, dan Tuan-Tuan akan sampai di sana.”

Shahzada dan pengawalnya melanjutkan perjalanan sesuai dengan saran pemilik penginapan. Akhirnya, mereka sampai di sebuah puncak gunung yang sangat besar. Shahzada berpikir bahwa di situlah istana Putri Bisu berada. Namun, saat mereka mendekat, pemandangan yang mengerikan menyambut mata. Sebuah istana megah berdiri menjulang dan kokoh. Namun, tulang-tulang tengkorak manusia berserakan di sekitar istana itu. 

“Tuan! Tengkorak-tengkorak itu pastilah orang-orang yang tidak berhasil membuat Putri Bisu bicara. Kita akan berakhir sama seperti itu jika kita gagal. Lebih baik kita segera pergi dari sini sebelum terlambat!” Pengawal Shahzada mencoba mengingatkan tuannya. 

“Tenanglah, cepat atau lambat, semua orang pasti mati, bukan? Jadi, tidak ada yang perlu kita takutkan,” kata Shahzada. 

Shahzada memutuskan untuk beristirahat di sebuah desa, di dekat istana. Ketika Shahzada menceritakan tujuan kedatangannya, para penduduk desa menangisinya. 

“Oh, Tuan-Tuan, apakah kita masih bisa berjumpa lagi?” tanya orang-orang itu sambil berurai air mata.

“Mengapa kalian berkata seperti itu?” tanya Shahzada heran. 

“Sepertinya, Tuan-Tuan sedang menghampiri kematian. Desa ini adalah milik ayah Putri Bisu. Jika Tuan-Tuan ingin membuat Putri Bisu bicara, Tuan-Tuan harus meminta izin terlebih dulu kepada ayahnya. Apabila Tuan-Tuan gagal membuat Putri Bisu bicara, kalian akan menjadi salah satu dari tulang-tulang tengkorak itu.” 

Shahzada mengangguk-angguk, dan berkata kepada pengawalnya. “Kita hampir sampai pada akhir perjalanan. Sekarang kita istirahat di sini saja selama beberapa hari.”

Sembari beristirahat, Shahzada dan pengawalnya berjalan-jalan di sebuah bazar. Tanpa sengaja, mereka melihat seekor burung bulbul yang dijual. Shahzada tertarik dengan tingkah burung yang menyenangkan itu. Ia pun memutuskan untuk membelinya. Setelah kembali ke penginapannya pada malam hari, Shahzada termenung di kamar. Ia memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara. Ia benar-benar takut gagal. 

“Apa yang merisaukan hati Tuan?” tanya sebuah suara. 

Shahzada terkejut. Awalnya, ia berpikir bahwa suara yang didengarnya adalah suara hantu. Namun ternyata, atas kemurahan Tuhan, burung bul-bul yang baru dibelinya tadi bisa berbicara. 

“Aku sedang memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara,” kata Shahzada. 

“Jangan khawatir, Tuan. Bawalah aku saat Anda menemui Putri Bisu. Gantungkanlah sangkarku di tiang lampu kamarnya. Kemudian, ajaklah Putri Bisu bercakap-cakap. Dan, ketika ia tidak menjawab Anda, berbicaralah kepada tiang lampu. Aku yang akan membalas pembicaraan Tuan, sebagai sebuah tiang lampu.” Shahzada menuruti nasihat Burung Bul-Bul. 

Keesokan harinya, mereka berangkat menuju istana Putri Bisu. 

“Ingatlah, Anak Muda. Putriku membuat sebuah mantra. Barang siapa yang ingin menikahinya, harus bisa membuatnya bicara. Jika tidak, mereka akan menemui kematian. Ribuan orang telah mencobanya, namun gagal. Lihatlah tulang belulang yang berserakan itu. Apakah kau sudah siap?” tanya Sultan, ayah Putri Bisu. 

“Saya siap, Sultan. Suatu hari, mantra itu pasti bisa dihancurkan. Dan, hari itu mungkin adalah hari ini,” ucap Shahzada penuh semangat. 

Setelah mendapatkan izin dari Sultan, pergilah ia ke tempat Putri Bisu berada. Di sana, Shahzada menjumpai seorang putri yang memakai penutup kepala berlapis-lapis. Penutup itu menjuntai hingga menutupi seluruh wajahnya. Bahkan, Sang Putri awalnya tidak mengetahui kehadiran Shahzada, karena pandangannya terhalang oleh lapisan-lapisan penutup wajah. Ia juga tidak bisa melihat bahwa sebuah sangkar berisi seekor burung bul-bul telah digantungkan di tiang lampu kamarnya. Shahzada menyapa Putri Bisu, “Bagaimanakah kabar Tuan Putri? Saya harap Tuan Putri dalam keadaan sehat.” 

Putri Bisu tidak menjawab. Ia bahkan tetap tidak menjawab, ketika Shahzada berbasa-basi lebih panjang lagi. Shahzada pun akhirnya berkata. “Baiklah, malam sudah semakin larut. Karena Tuan Putri tidak menjawab satu pun pertanyaan saya, biarlah saya berbicara dengan tiang lampu. Walaupun tiang lampu ini tidak bernyawa, tapi mungkin lebih berperasaan daripada Tuan Putri.” 

Shahzada menghadapkan dirinya kepada tiang lampu kamar. 

“Bagaimana kabarmu, wahai Tiang Lampu?” tanya Shahzada. 

“Sangat baik, Tuan. Meski bertahun-tahun tidak pernah ada yang mengajakku bicara. Tetapi Tuhan sungguh Maha Pemurah, karena mengirimkan Tuan untuk berbicara denganku. Aku senang sekali. Maka dari itu, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah untuk Tuan?” jawab Tiang Lampu yang sebenarnya adalah suara Burung Bul-Bul. 

Anggukan Shahzada menjadi tanda dimulainya cerita. 

“Syahdan, ada seorang Pardishah yang memiliki seorang putri. Putri itu hendak dinikahi oleh tiga orang pangeran. Maka, Pardishah membuat sebuah lomba. Siapa yang berhasil menjadi pangeran terhebat, maka dialah yang berhak menikahi Sang Putri. Kemudian, tiga pangeran itu berpisah ke tiga arah mata angin yang berbeda.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Pangeran Pertama berhasil menguasai ilmu bagaimana menempuh perjalanan enam bulan dalam tempo satu jam. Pangeran Kedua menguasai ilmu penglihatan jauh. Dan, Pangeran Ketiga menguasai ilmu pengobatan. Suatu hari, pangeran yang bisa melihat dari jauh menyampaikan kabar bahwa Putri sedang sakit parah dan sebentar lagi akan meninggal. Pangeran Ketiga segera membuat ramuan obat. Lalu, dengan secepat kilat, Pangeran Pertama mengantarkan obat itu ke tempat Sang Putri untuk diminum. Akhirnya, putri pun sembuh. Namun, kini, Pardishah bingung memilih siapa pangeran terhebat yang berhak menikahi putrinya. Bagaimana menurut Tuan Shahzada? Siapakah Pangeran yang berhak menikahi Sang Putri?” 

Shahzada menjawab, “Tentu saja pangeran yang meramu obat untuk Sang Putri. Sang Putri tidak akan bisa disembuhkan tanpa obat yang dia buat.” 

Burung Bul-Bul menolak jawaban Shahzada, “Tetapi, Sang Putri tidak akan selamat jika pangeran yang bisa melihat dari jauh tidak memberitahu bahwa Sang Putri sedang sakit.” 

“Sang Putri pasti juga akan meninggal tanpa obat dari Pangeran Ketiga.” 

“Tanpa kabar dari Pangeran Kedua, Pangeran Ketiga tidak akan membuat obat untuk menyembuhkan Sang Putri!” 

Shahzada dan Burung Bul-Bul terlibat perdebatan seru. Putri Bisu hanya mendengarkan dan berkata dalam hati. 

“Mengapa tidak ada yang ingat jasa Pangeran Pertama? Ia yang berhasil mengantarkan obat secepat kilat, hingga bisa diminum Sang Putri tepat waktu.” 

Beberapa saat kemudian. Putri Bisu menjadi jengkel karena perdebatan sengit antara Shahzada dan Burung Bul-Bul tak kunjung usai. Tanpa sadar, ia berseru. “Oh, kalian benar-benar bodoh! Aku akan memberikan putri itu kepada pangeran pembawa obat. Tanpa kecepatan larinya, putri itu akan tetap mati!” 

Shahzada dan Burung Bul-Bul senang sekali. Mereka telah berhasil membuat Putri Bisu bicara. Sultan pun segera mengetahui kabar itu. Namun, Putri Bisu menolak kemenangan Shahzada. 

“Aku telah dijebak, Ayah! Ini bukan sebuah kemenangan,” tolak Putri Bisu.

“Baiklah, jika pangeran ini berhasil membuatmu bicara dua kali lagi, maka dia berhak menikahimu,” kata Sultan. 

Shahzada tidak berani menolak ketentuan itu. Namun, ia yakin jika Burung Bul-Bul akan membantunya. 

“Gantungkanlah sangkarku pada sebuah pilar, Tuan,” bisik Burung Bul-Bul. 

“Perhatikanlah, setelah kita berhasil membuatnya bicara, kerudung yang menutupi wajah Putri Bisu mulai berjatuhan.” 

Keesokan harinya, Shahzada menyapa Putri Bisu lagi. Seperti biasa, Sang Putri diam saja. 

“Bagaimana kabarmu, Pilar? Karena Sang Putri tidak bersedia berbicara denganku, bolehkah aku berbicara denganmu?” tanya Shahzada seraya menghadap salah satu pilar di kamar Putri Bisu. 

“Oh, tentu saja, Tuan,” jawab Burung Bul-Bul yang berpura-pura menjadi pilar. 

“Saya sangat senang punya teman bicara. Oleh karena itu, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?”

“Aku akan mendengarkan dengan senang hati,” jawab Shahzada. 

“Ada seorang gadis yang sedang bingung memilih calon suami. Apakah ia akan memilih Baldji, Jagdji, atau Firedji? Lalu, ia merencanakan sesuatu untuk melihat siapa yang paling bersemangat memenuhi permintaannya.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Gadis itu pura-pura menangis, lalu berkata, Oh, ayahku baru saja meninggal. Arwahnya selalu menghantuiku. Adakah yang bisa membantu? Mendengar hal itu, Baldji datang menawarkan bantuan. Tolong, pakailah selembar kain dan tidurlah di dalam makam ayahku, supaya ayahku berhenti menghantuiku. Baldji pun menuruti permintaannya.” 

“Kemudian gadis itu menangis lagi. Kini, datanglah Jagdji. Jika hantu ayahku datang, pukullah dengan batu, supaya ia tidak menghantuiku lagi. Setelah Jagdji pergi menuruti keinginannya, gadis itu kembali menangis, hingga Firedji datang. Ada seorang penyihir yang hendak mengambil jasad ayahku dari makamnya. Tolong, ambillah jasad ayahku dan selamatkanlah dia. Seperti kedua kawannya, Firedji juga menuruti keinginan gadis itu.” 

“Firedji pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh gadis itu, membongkar makam, dan menggotong Baldji yang terbungkus kain. Tetapi, Jagdji mengira ada dua hantu yang muncul. Ia pun memukul keduanya dengan batu. Saat semuanya terbongkar, mereka terkejut dan segera meminta penjelasan dari si gadis.”

“Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahi gadis itu? Menurutku Firedji!” tanya Burung Bul-Bul.

“Menurutku Jagdji, karena ia berani menghadapi dua hantu sekaligus!” jawab Shahzada. 

Sebentar saja, mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Putri Bisu sungguh kecewa mendengarnya. Mereka berdua telah melupakan perjuangan Baldji. Ketika Putri Bisu mengemukakan pendapatnya, Shahzada berkata, “Tinggal satu kali lagi, Tuan Putri.” 

Putri Bisu sangat marah menyadari kekalahannya. Ia memerintahkan pengawalnya untuk menghancurkan pilar yang berbicara dengan Shahzada tadi. Pada kesempatan terakhir, Putri Bisu menjadi lebih berhati-hati untuk tidak terbawa suasana perdebatan.

“Wahai, Tirai, maukah engkau bercakap-cakap denganku? Sebab Tuan Putri enggan menjawab sapaanku,” kata Shahzada sembari menghadap tirai gelap di kamar Sang Putri. 

“Tentu saja, Tuan. Aku senang sekali karena Anda mau mengajakku berbicara. Sebagai balasan atas kebaikanmu, aku akan menceritakan sebuah kisah. Dahulu kala, ada seorang Tukang Kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti yang membuat usaha bersama-sama. Suatu hari, Tukang Kayu terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur. Kemudian, ia membuat sebuah patung wanita. Namun, ia tertidur karena kelelahan. Tak berapa lama, Penjahit terbangun. Ketika ia melihat sebuah patung wanita tanpa pakaian, ia segera menjahit sebuah gaun indah dan memakaikannya kepada patung itu. Akan tetapi, ia pun kembali tertidur karena merasa lelah. Kemudian, pagi-pagi sekali, seorang Sakti bangun dan melihat sebuah patung wanita cantik, bergaun indah. Dia kagum dengan patung itu dan memohon pada Tuhan untuk menghidupkannya. Dan, Tuhan mengabulkan doanya. Patung wanita itu berubah menjadi seorang wanita cantik dan anggun. Tukang Kayu, Penjahit, dan Orang Sakti berebut menikahinya. Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahinya?” tanya Burung Bul-Bul. 

“Menurutku, Tukang Kayu yang paling berhak menikahinya,” katanya memberikan pendapat. 

“Tidak bisa! Penjahitlah yang pantas menikahinya!” sergah Shahzada. 

Perdebatan seru tak bisa terelakkan. Putri Bisu tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia jengkel sekali sebab tidak ada yang mengingat jasa Orang Sakti. Putri Bisu bangkit dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Ayolah! Tanpa Orang Sakti, wanita itu akan tetap menjadi sebuah patung mati. Jadi, Orang Sakti yang berhak menikahinya!” 

Seketika itu juga, kerudung lapis terakhir Putri Bisu terlepas. Maka, terungkaplah wajahnya yang sangat rupawan. Putri Bisu kaget, namun segera tersenyum kepada Shahzada. 

“Kau menang. Kau telah membuatku berbicara sebanyak tiga kali.” 

Shahzada sangat berterima kasih kepada pengawalnya yang setia dan burung bul-bulnya yang cerdik. Kini, ia telah terbebas dari kutukan dan berhasil menikahi Putri Bisu. Ayah Putri Bisu mengadakan pesta pernikahan yang meriah selama 40 hari 40 malam untuk Shahzada dan putrinya. Semua orang bergembira dengan pernikahan itu. Shahzada juga tak lupa mengundang wanita yang dulu mengutuknya dan memintanya tinggal di istana untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya, kelak. 

***

Jihan berhenti baca buku.

"Cerita yang bagus banget," pujian Jihan.

Jihan menutup buku dan di taruh buku di atas meja. Ibu yang baru pulang dari pasar, ya memanggil Jihan dengan suara yang cukup keras. Jihan mendengar panggilan Ibu, ya segera beranjak dari duduknya di ruang tengah ke depan rumah. Jihan segera mengambil barang belanjaan di lantai gitu karena memang ibu menggeletakan....ibu capek baru pulang dari pasar. Jihan membawa barang belanjaan ke dapur dan segera di bereskan dengan baik. Jihan memasak dengan baik di dapur membuat makan untuk keluarga. Ibu beristirahat di ruang tengah dengan baik banget. Nella, ya Mbaknya Jihan.... yang selesai mengerjakan kerjaannya di dalam kamarnya. Nella biasa mengetik di leptopnya membuat tugas kuliah dengan baik banget. Nella ke ruang tengah, ya seperti biasa sih mijitin kaki ibu dengan baik. Nella tidak bisa menemani ibu ke pasar karena banyak tugas kuliah. Ibu memakluminya dengan baik banget.

SI GUNDUL DAN SEGEL AJAIB

Indro duduk di ruang tamu, ya seperti biasa ingin main game di Hp-nya. Indro melihat bukunya Dono di taruh di meja gitu. Indro tertarik dengan judul buku tersebut, ya Indro membaca judul buku tersebut " Si Gundul dan Segel Ajaib". 

Indro pun berpikir panjang dan berkata "Acara Tv ada yang judulnya 'Petualangan Gundul', ya ternyata gundul itu terkenal....sampai artis pun gundul juga."

Indro mengambil buku tersebut dan membukanya dengan baik, ya segera di baca dengan baik juga lah.

Isi buku yang baca Indro :

 Alkisah, di suatu desa, hiduplah seorang anak lelaki miskin dengan ibunya. Meski masih muda, kepala anak laki-laki itu tidak ditumbuhi rambut, mirip seperti orang lanjut usia. 

“Hei, Gundul! Kapan rambutmu bisa tumbuh? Hahaha!” 

Kemana pun Gundul pergi, orang-orang selalu menertawakan kepalanya. Saking seringnya memanggil dengan nama julukan, orang-orang menjadi lupa siapa nama Gundul sebenarnya. Meski sering menjadi bahan olok-olokkan, Gundul berhati lapang. Ia selalu tersenyum. Ia tak pernah merasa sedih atau marah dengan julukan yang diberikan kepadanya. Semua itu dia anggap sebagai candaan belaka. 

“Walaupun kepalaku tidak ditumbuhi rambut, tetapi Ibu sangat sayang kepadaku. Orang-orang juga suka berteman denganku,” hibur Gundul pada dirinya sendiri. 

Orang-orang sangat menyukai Gundul karena ia suka menolong orang lain tanpa pamrih. 

“Maukah saya bantu mengangkat guci yang berat itu, Pak Tua?” 

“Ibu yang baik, ini dompet Anda. Tadi terjatuh di jalan.”

“Ah, Adik Kecil. Aku punya sedikit manisan. Apa kau mau separuh?” 

Selain itu, Gundul juga penyayang binatang.

“Oh, semut yang malang. Apa yang kau lakukan dalam gelas minumku? Ayo, naiklah kemari.” 

Gundul mencelupkan ujung jarinya ke dalam gelas. Seekor semut hitam, yang berenang di sana, tampak naik ke jari Gundul. Semut itu pun selamat dan tidak tenggelam. Di samping suka menolong dan menyayangi binatang, Gundul juga anak yang berbakti kepada ibunya.

“Ibu, aku sudah besar sekarang. Ibu tak perlu bersusah payah lagi untuk mencari uang. Biar aku saja yang bekerja keras!” katanya bersemangat. 

Setiap hari, Gundul pergi bekerja ke kebun-kebun tetangganya untuk mendapatkan uang. Apabila uangnya tidak cukup untuk membeli makanan, ia akan pergi ke hutan kecil di pinggir desa untuk mengumpulkan jamur-jamur dan buah-buahan. 

“Maaf, Bu. Hari ini aku hanya menemukan beberapa jamur dan buah beri untuk makan malam,” kata Gundul saat menyerahkan hasil pencariannya di hutan. 

“Tidak apa-apa, Nak. Tunggulah sebentar, ibu akan memasaknya, lalu kita makan malam bersama. Ibu masih mempunyai sedikit tepung di dapur. Jadi, ibu bisa membuat sepotong roti untukmu,” ucap ibunya. 

“Oh, tidak, Bu. Kita bagi dua saja rotinya. Jika Ibu senang melihatku makan roti, maka aku juga senang melihat Ibu makan roti.”

Itulah Gundul. Sangat setia dan sayang kepada ibunya. 

“Hmm, sebentar lagi musim dingin tiba. Aku ingin membelikan Ibu sebuah mantel yang lembut dan hangat. Mantel Ibu sudah usang dan penuh tambalan di mana-mana,” pikir Gundul suatu hari. 

Gundul pun menyisihkan uang hasil kerjanya sedikit demi sedikit. Ketika uangnya sudah terkumpul banyak, ia menukarkannya dengan tiga koin emas. Tiga keping koin itu akan ia gunakan untuk membeli mantel bagi ibunya. Suatu hari, Gundul berjalan ke pasar dengan hati riang. Ia bermaksud membeli mantel untuk ibunya. Namun, di tengah jalan, ia melihat sekumpulan anak kecil sedang menjahili seekor kucing kurus dengan sebuah tongkat panjang. 

“Hahaha! Kucing jelek! Kucing jelek!” Anak-anak itu tertawa mengejek. 

Gundul merasa kasihan melihat kucing malang itu. 

“Hentikan, hentikan! Jangan mempermainkan binatang.”

“Mengapa kami harus berhenti mempermainkannya? Pergilah, jangan ganggu kesenangan kami,” tukas anak-anak itu. 

Gundul kemudian merogoh saku bajunya. 

“Tinggalkan kucing ini. Sebagai gantinya, aku berikan satu keping koin emas.” 

Setelah anak-anak itu pergi, Gundul segera mendekati kucing kurus itu dan membagi separuh rotinya.

“Makanlah.” 

Gundul meneruskan perjalanannya, menuju sebuah toko baju, untuk membeli mantel. Mungkin, dua koin emas masih cukup untuk membeli sebuah mantel yang hangat, walaupun agak kasar. Meong… Meong… Ternyata, kucing yang tadi ditolong oleh Gundul masih mengikutinya. Kucing itu memandang Gundul dengan tatapan terima kasih. 

“Baiklah, kau boleh ikut denganku,” ucapnya. 

Dalam jarak sepuluh kios, dari tempat kucing tadi dijahili, terlihat seekor anjing yang sedang dipukuli oleh sepasang suami istri. Mereka memarahi anjing itu karena ia terus-menerus menggonggong.

“Tolong, jangan pukul anjing ini lagi, Tuan dan Nyonya,” pinta Gundul.

“Mengapa kami harus berhenti memukul anjing ini? Binatang ini harus diberi pelajaran!” kata mereka serempak.

“Tinggalkanlah anjing ini. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu keping koin emas,” kata Gundul sambil mengulurkan koin emas yang diambilnya dari saku baju. 

Pasangan suami istri itu menerima koin emas dari Gundul dengan senang hati. Mereka segera menyingkir dari tempat itu. Gundul lalu menghampiri anjing itu dan memberikan separuh rotinya yang masih tersisa kepada si anjing. 

“Ah, aku telah kehilangan sepotong roti dan dua keping koin emas. Sekarang, aku lapar dan ragu, apakah aku masih bisa membeli sebuah mantel untuk Ibu dengan sekeping uang emas?” katanya kepada anjing dan kucing yang ditolongnya tadi. 

Kedua binatang itu menggosok-gosokkan kepala mereka ke kaki Gundul, berusaha menghibur dan seolah berkata, “Tenanglah, Tuan, kami akan menemanimu dan membalas kebaikanmu suatu hari nanti.”

Gundul mulai melangkahkan kakinya menuju toko pakaian bersama dengan si anjing dan si kucing. Ia berusaha membeli sebuah mantel seharga sekeping koin emas, namun setiap toko pakaian yang ia masuki, tidak bersedia menjual mantelnya seharga satu keping koin emas. Akhirnya, Gundul pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Saat ia melewati tepian hutan kecil, ia melihat seorang penebang kayu hendak memukul seekor ular dengan menggunakan kapaknya yang tajam. 

“Tuan, saya mohon, jangan bunuh ular itu!” seru Gundul tiba-tiba. 

Dan, Gundul, sekali lagi, memberikan satu keping koin emas yang tersisa untuk menyelamatkan ular itu. “Sssss... Terima kasih, Tuan telah menyelamatkan saya. Saya adalah anak dari Raja Ular. Ikutlah bersama saya untuk menerima ucapan terima kasih dari ayah saya,” bisik ular kecil itu. 

Gundul dan dua sahabatnya memenuhi permintaan ular kecil itu. 

“Terima kasih, Tuan sssss… Anda telah menyelamatkan anak saya. Untuk membalas kebaikan Tuan, silakan minta apa saja yang Tuan inginkan. Ssss…,” kata Raja Ular. 

“Tidak, Raja Ular. Saya tidak ingin hadiah apa-apa,” tolak Gundul. 

Rupanya, penolakan Gundul justru membuat Raja Ular mendesis marah. 

“Mintalah sesuatu untuk menghormati ayahku. Mintalah Segel Ajaib yang ada di bawah lidahnya. Sssss…,” bisik ular kecil itu cepat. 

“Baiklah, Yang Mulia. Bolehkah saya meminta Segel Ajaib yang tersimpan di bawah lidah Yang Mulia?” pinta Gundul. 

Raja Ular mendesis. 

“Tuan telah meminta milik saya yang sangat berharga. Namun, saya akan tetap memberikannya karena Tuan telah menyelamatkan anak saya. Nyawa anak saya lebih berharga dari segel ini. Ssss…” 

Raja Ular mengeluarkan pun sesuatu dari dalam mulutnya. Sebuah segel emas berbentuk bulat pipih dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Segel itu tampak indah dan misterius. 

“Segel ini bisa mengabulkan apa pun keinginan Tuan. Ssss…,” kata Raja Ular.

“Terima kasih atas pemberian, Yang Mulia.”

 Gundul menerima segel itu dengan penuh rasa hormat. Setelah berpamitan dengan Raja Ular, Gundul bersama kucing dan anjingnya segera pulang ke rumah dengan hati gembira. 

“Ibu! Ibu! Aku pulang!” teriak Gundul. Ibunya datang tergopoh-gopoh.

“Oh, anakku! Tidak tahukah bahwa engkau telah pergi terlalu lama? Aku mengira engkau mengalami celaka di luar sana!” 

“Tidak, Bu. Aku baik-baik saja. Aku bahkan mendapatkan hadiah dari Raja Ular karena aku telah menyelamatkan anaknya.”

Gundul lalu menceritakan semua hal yang dialaminya. Kemudian, ia menyimpan segel itu di bawah lidahnya. 

“Wahai, Segel Ajaib! Berikanlah aku sebuah mantel terbaik di dunia!” seru Gundul. 

Tak berapa lama, sebuah mantel indah berbulu lembut muncul di hadapan mereka. Melihat itu semua, ibu Gundul berkata. “Kalau segel ini benar-benar ajaib, ia pasti bisa menolongmu untuk menikahi Putri Sultan, Nak.” 

“Tapi, Bu, apakah itu tidak berlebihan? Kita kan orang miskin. Kita juga bukan keluarga bangsawan,” sahut Gundul. 

“Semua orang tahu bahwa Putri Sultan tidak hanya cantik, tetapi juga baik hati dan penyayang kepada rakyat. Gadis seperti itulah yang pantas menjadi istri pemuda sebaik engkau, Nak,” kata ibu Gundul.

Semula, Gundul enggan untuk menuruti perintah ibunya. Namun, karena ibunya terus-menerus mendesaknya, ia pun berangkat ke istana bersama kucing dan anjingnya yang setia. 

“Kau hendak menikahi putriku?” 

Sultan terkejut mendengar permintaan seorang pemuda gundul di hadapannya. Ia memerhatikan penampilan Gundul dengan saksama. Tidak ada tanda-tanda seorang bangsawan ataupun saudagar pada dirinya. 

“Baginda Sultan boleh meminta apa pun sebagai syarat. Saya akan memberikannya,” kata Gundul yakin. 

Sultan tertawa terbahak-bahak. 

“Baiklah. Kalau begitu, sediakan sebuah istana dan segala isinya. Sebagai seorang ayah, aku harus tahu bahwa putriku tidak akan hidup dalam kekurangan.”

Gundul menyanggupi permintaan Sultan. Ia bergegas pergi ke sebuah daerah di dekat danau, di pinggir hutan kecil. Kemudian, ia meminta Segel Ajaib membuatkan sebuah istana lengkap dengan isinya. Tiba-tiba, sebuah cahaya menyilaukan meluncur dari langit dan menghantam tanah bagaikan bintang jatuh. Sesaat setelah pendaran cahaya itu hilang, Gundul melihat sebuah istana menjulang dengan megah di samping danau. 

“Baiklah, Anak Muda. Kau boleh menikahi putriku.”

Sultan menepati janjinya, karena Gundul telah berhasil menyediakan sebuah istana, yang lengkap dengan isinya, untuk Putri Sultan. Pesta pernikahan Gundul dan Putri Sultan digelar dengan meriah selama 40 hari 40 malam. Semua orang di negeri itu diundang untuk menghadirinya. Tak seorang pun menyangka bahwa Gundul bisa memiliki sebuah istana yang indah dan menikahi Putri Sultan. Gundul dan ibunya pun, kini, hidup berkecukupan dan bahagia. Waktu terus berjalan, Segel Ajaib telah mengabulkan banyak keinginan Gundul. Ia pun akhirnya berkata. “Aku sudah mempunyai istana yang bagus, istri yang cantik dan baik hati, harta yang melimpah, dan banyak hal lainnya. Aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.” 

Gundul memutuskan untuk mengeluarkan Segel Ajaib dari dalam mulutnya. Lalu ia menyerahkannya kepada Putri Sultan untuk disimpan, tanpa memberitahu bahwa segel itu adalah sebuah benda ajaib. Suatu hari, Gundul sedang pergi ke luar kota untuk berdagang dan ibunya sedang pergi ke pasar, ketika seorang penjual manik-manik datang mengetuk pintu istananya. 

“Tuan, silakan memilih salah satu untaian manik-manik yang saya bawa,” tawarnya. 

Putri Sultan yang saat itu membuka pintu, langsung jatuh hati dan ingin membeli manik-manik itu.

“Aku ingin membeli dua. Satu untukku dan satu untuk ibu mertuaku,” katanya. 

Putri Sultan segera membayarnya, namun penjual itu menolaknya, “Saya tidak menerima pembayaran dengan uang, Tuan Putri. Saya hanya mau menukar manik-manik ini dengan sebuah barang.” 

“Barang apakah itu?” tanya Putri Sultan keheranan.

“Sebuah segel emas dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Hanya itu harga yang pantas untuk manik-manik saya yang indah ini,” jawab penjual itu. 

Putri Sultan segera teringat pada segel milik suaminya. “Tunggu sebentar, sepertinya saya memiliki barang seperti itu.” 

Sesaat kemudian, Putri Sultan kembali sambil membawa barang yang dimaksud. 

“Apakah seperti ini?” 

“Ah, iya. Anda benar, Tuan Putri. Sekarang, Anda boleh memilih dua atau tiga untaian manik-manik yang Anda suka,” kata penjual itu dengan sukacita karena telah menemukan benda yang ia cari.

“Segel Ajaib ini akhirnya jadi milikku!” seru penjual manik-manik itu saat ia kembali ke rumahnya, di seberang danau yang gelap. 

Seiring dengan perginya Segel Ajaib, istana dan semua barang-barang yang diberikan oleh Segel Ajaib ikut menghilang. Putri Sultan dan ibu Gundul sungguh terkejut. Kini, barang-barang yang tersisa hanyalah barang-barang yang dibeli dari hasil kerja Gundul saja. 

“Oh, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana ini?” Ibu Gundul panik bukan kepalang. 

“Jika begini keadaannya, lebih baik putriku pulang kembali ke istana bersamaku,” kata Sultan yang mengetahui kejadian itu. 

“Tidak, Ayah. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sini. Suamiku dan ibunya adalah orang-orang yang aku sayangi. Mereka sangat baik kepadaku,” tolak Putri Sultan. 

“Tidak! Kau harus tetap kembali ke istana kita.” Sultan bersikeras membawa pulang putrinya. Ketika Gundul kembali dari luar kota, ia sangat terkejut melihat perubahan tempat tinggalnya. Ia benar-benar kaget karena harus kehilangan istana dan istri tercintanya. 

“Oh, anakku yang malang!” Ibu Gundul memeluk anaknya untuk memberi penghiburan. Kucing dan anjing, yang selalu menyertai Gundul, merasa kasihan melihat tuan mereka yang baik mengalami kemalangan. 

“Mereka bilang penjual manik-manik itu pergi ke seberang danau yang gelap. Kita harus mengambil kembali segel ajaib itu,” usul Anjing. 

“Tetapi, aku takut sekali dengan air,” jawab Kucing. 

“Ingatlah, kebaikan tuan kita dahulu. Ia yang telah menyelamatkan nyawa kita berdua dan memelihara kita dengan kemurahan hatinya. Aku pandai berenang dan bisa membawamu di atas punggungku,” bujuk Anjing. 

Kucing pun menyetujui usul Anjing. Tanpa membuang waktu lagi, kedua binatang itu berangkat menyeberangi danau. Air danau yang dingin tidak menghalangi langkah kedua binatang itu untuk terus maju, hingga sampai ke rumah penjual manik-manik yang licik itu. 

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Anjing saat melihat penjual manik-manik itu tertidur lelap di atas kursi kayunya. 

“Kita berbagi tugas saja. Aku akan pergi menangkap seekor tikus, sedangkan kau menghancurkan butiran merica ini hingga menjadi bubuk,” kata Kucing. 

Anjing mengangguk, setuju. Mereka pun bergegas melaksanakan tugas masing-masing. Matahari baru saja tenggelam ketika Kucing datang membawa seekor tikus yang masih hidup. Kucing lalu mengoleskan bubuk merica, hasil kerja Anjing, pada ekor tikus itu. 

“Nah, Tikus. Gelitikilah hidung orang itu dengan ekormu. Ketika ia bersin dan mulutnya mengeluarkan sebuah segel emas, bawalah benda itu kepadaku,” perintah Kucing. 

Tikus menuruti semua perintah Kucing. Ia takut jika Kucing akan memakanannya. Ciit… ciit... ciit! Tikus berlari kencang, melompat pelan di atas pundak penjual manik-manik, lalu melompat lagi di atas mulut lelaki itu. Tikus menggoyang-goyangkan ekornya, tepat, di hidung penjual manik-manik. Seketika itu juga, penjual manik-manik bersin dengan keras, hingga Segel Ajaib, yang di simpan di mulutnya, terlempar keluar. Tikus langsung menangkap segel itu dengan mulutnya dan berlari kencang, kembali kepada Kucing. Penjual manik-manik melanjutkan tidurnya karena tidak tahu apa yang sedang terjadi. 

“Terima kasih, Tikus. Kau boleh pergi sekarang,” kata Kucing, setelah menerima Segel Ajaib. 

Kucing dan Anjing kembali menyeberangi danau untuk kembali pulang kepada tuan mereka, Gundul. Gundul sangat senang karena Segel Ajaib berhasil diselamatkan oleh dua binatang setia, yang selama ini selalu mendampinginya. 

“Kalian berdua memang sahabat terbaikku,” ucap Gundul tulus, sambil mengelus-elus Anjing dan Kucing. 

Dalam secepat kilat, istana Gundul dan semua isinya muncul kembali di tepi danau. Gundul segera menjemput istrinya dan mereka sekeluarga hidup bahagia. Gundul pun sadar, ternyata harta hasil kerja keras dan persahabatannya dengan Anjing dan Kucing lebih sejati dari pada kekuatan Segel Ajaib.

***

Indro berhenti baca buku.

"Cerita asal dari Turki kata di buku di tulis sih, ya bagus ceritanya. Pinter yang membuat bukunya," kata Indro memuji.

Indro memutup buku dan menaruh buku di meja dengan baik banget. 

"Main game ah!" kata Indro.

Indro main game di Hp-nya dengan baik banget. Sedangkan Kasino sibuk dengan pekerjaannya di kamar, ya pembukuan gitu. Dono sibuk mengetik di leptopnya, ya membauat cerita yang baik di Blog-nya.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK