Jihan duduk di ruang tengah. Jihan melihat buku di meja.
"Buku siapa ya?" kata Jihan.
Jihan mengambil buku di meja.
"Jangan-jangan buku...nya Mbak Nella," kata Jihan.
Jihan membaca judul buku tersebut "Putri Yang Bisu."
Jihan tertarik banget jadinya, ya membuka buku dan membaca dengan baik buku tersebut.
Isi buku yang di baca Jihan :
Nun jauh di sana, ada sebuah kerajaan kecil di tanah Turki yang dipimpin oleh seorang Pasha. Sang Pasha memiliki seorang putra bernama Shahzada. Shahzada mempunyai sebuah bola kesayangan yang terbuat dari emas. Sedari kecil hingga dewasa, ia sangat suka memainkan bola itu di halaman istananya. Permainan yang paling ia suka adalah mengganggu orang-orang yang mengambil air di mata air yang terletak di halaman istana.
“Paman! Awas!” seru Shahzada kepada seorang lelaki yang sedang mengisi kantung air minumnya di mata air.
Kaki kanan pangeran muda itu menendang kuat-kuat bola emas ke arah mata air. Byurr!
“Ya, ampun!” teriak si pengambil air.
Badannya basah terkena air cipratan bola. Shahzada terbahak-bahak melihat kejadian itu.
“Semoga kau mendapatkan balasan atas kenakalanmu, Pangeran!” Lelaki itu merutuk dalam hati.
Ia segera mengambil air, kemudian pergi. Ia tidak berani memarahi Shahzada, sebab pemuda itu adalah anak seorang Pasha. Di lain hari, datanglah seorang wanita tua yang membawa sebuah guci untuk mengambil air di mata air itu.
“Hihihi. Ini dia. Pasti lebih seru!” Shahzada merencanakan sebuah kenakalan saat melihat wanita itu datang.
Shahzada menendang kuat-kuat bola emasnya ke arah guci itu. Praang! Guci tanah liat milik wanita tua tadi pecah berkeping-keping.
“Hei, siapa berani memecahkan guciku?!” seru wanita itu marah.
“Aku yang memecahkan gucimu.” Shahzada datang mengambil bola emas.
Wanita itu terdiam, menahan semua kemarahannya, karena yang memecahkan gucinya adalah seorang pangeran. Ia pun pergi meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian, ia datang lagi membawa sebuah guci baru untuk mengambil air. Shahzada mengetahui kedatangan wanita itu dari kejauhan. Ia menyiapkan bola emasnya dan kembali menendangnya ke arah guci milik wanita tua itu. Praang! Guci baru yang dibawa oleh wanita itu pecah. Sambil bersungut-sungut, wanita itu pergi. Gelak tawa Shahzada yang senang, karena menganggap semua itu adalah hal lucu, mengiringi kepergian wanita itu.
“Aku suka permainan ini,” kata Shahzada.
Seakan tak mau berputus asa, wanita tadi datang lagi untuk ketiga kalinya dengan guci baru. Kali ini, guci itu dibelinya dengan cara berhutang karena uangnya telah habis untuk membeli guci kedua yang dipecahkan Shahzada sebelumnya. Shahzada meletakkan bola emasnya di dekat kaki, kemudian menendangnya lagi. Praang! Guci ketiga telah pecah. Dan, pecah pula kesabaran wanita itu untuk menahan amarah. Ia melotot jengkel kepada Shahzada.
“Anda memang seorang pangeran yang tidak berperasaan! Dengarlah perkataan saya ini, saya berdoa semoga anda jatuh hati pada Putri Bisu!” kutuknya, lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Shahzada yang semula tertawa terbahak-bahak, kini terdiam seribu bahasa. Terpukul mendengar kutukan wanita pembawa guci. Putri Bisu?Siapakah Putri Bisu itu?Apa maksud kata-kata wanita itu? pikir Shahzada. Ia terus memikirkannya sehari semalam, seminggu tujuh hari, sebulan empat minggu, hingga ia lupa pada permainan bola emasnya, enggan makan, dan tidak nyenyak tidur. Shahzada berubah menjadi pemuda yang murung dan sakit-sakitan. Seribu tabib dan orang bijak didatangkan ke istana untuk mengobati penyakit misterius yang diderita Shahzada, namun tak kunjung membawa hasil menggembirakan. Sang Pasha mulai gelisah memikirkan penyakit putranya itu.
“Anakku, apa yang sebenarnya menyebabkan engkau sakit seperti ini? Bisakah kau menceritakan sesuatu? Mungkin, ada sesuatu yang terjadi sebelum engkau sakit?” tanya Pasha.
Shahzada menatap ayahnya dengan sayu. “Iya, Ayahanda. Saya pernah memecahkan tiga guci milik seorang wanita tua yang sedang mengambil air di halaman istana. Dia mengutuk, semoga saya jatuh hati hati kepada Putri Bisu.” Pasha mengerutkan kening, “Akan tetapi, siapakah Putri Bisu yang dimaksud itu? Apa maksud dari kutukannya itu?”
“Itulah yang merisaukan saya selama ini ini, Ayahanda. Sepertinya, akan lebih baik jika saya melakukan perjalanan untuk mencari Putri Bisu. Mungkin hanya itu obat bagi penyakit saya,” kata Shahzada.
Pasha merenung.
“Engkau pasti akan menempuh banyak rintangan di luar sana. Tetapi, jika ini jalan yang terbaik, maka pergilah, anakku. Bawalah serta satu orang pengawal istana terbaik untuk menemanimu dalam perjalanan.”
Segala persiapan telah selesai dilakukan. Shahzada dan pengawalnya pun mulai berangkat mencari Putri Bisu. Mereka melewati hutan yang lebat, semak-semak, dan padang ilalang. Tetapi, mereka tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Putri Bisu. Mereka terus berjalan melewati daerah tak berpenghuni. Tak ada manusia yang bisa ditemui. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun jarang sekali hidup di sana. Bekal Shahzada dan pengawalnya telah habis. Mereka jarang sekali bisa makan dan minum. Penampilan mereka menjadi kurus, compang-camping, dan lusuh. Hingga suatu hari, mereka tiba di sebuah puncak gunung yang memiliki bebatuan aneh. Bebatuan di puncak gunung itu berkilauan layaknya berlian. Mereka kemudian bertanya kepada seorang lelaki tua yang kebetulan berpapasan dengan mereka.
“Tolong katakan kepada kami, apa yang menyebabkan batu-batu di puncak gunung ini berkilauan?” tanya Shahzada.
“Kalian sedang berada di gunung milik Putri Bisu. Ia memakai tujuh lapis penutup wajah. Batu-batuan adalah pantulan dari kecerdasan sang putri,” ucap lelaki tua itu.
Shahzada dan pengawalnya tampak sangat senang. Setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan tanpa tujuan, akhirnya mereka menemukan petunjuk tentang Putri Bisu.
“Masih jauhkah istana Putri Bisu?” tanya Shahzada lagi.
“Sabarlah, Anak Muda. Jika kalian berdua kembali berjalan terus selama enam bulan, kalian akan sampai di istananya.”
Shahzada dan pengawalnya merasa gembira karena perjalanan mereka ternyata tidak sia-sia. Mereka telah menuju arah yang benar dan sebentar lagi akan menemukan Putri Bisu. Mereka pun melanjutkan perjalanan, hingga tiga bulan lamanya, hingga mereka sampai di puncak gunung yang lain. Anehnya, bebatuan di gunung itu mempunyai warna semu merah yang amat cantik.
“Aku sangat lelah. Sebaiknya, kita pergi ke sebuah desa untuk beristirahat. Kita juga bisa bertanya mengenai gunung ini di sana,” kata Shahzada sembari mengatur napasnya.
Setelah mereka berdua menemukan sebuah desa, Shahzada dan pengawalnya pun beristirahat di sebuah penginapan di daerah itu.
“Selamat datang, Tuan-Tuan!” sapa si pemilik penginapan.
“Apakah Anda bisa memberi tahu saya, mengapa batu-batu di puncak gunung sana berwarna merah?” tanya Shahzada.
“Oh, tak tahukah Tuan-Tuan? Batu-batu itu mencerminkan warna bibir dan pipi Sang Putri Bisu. Putri Bisu mengenakan tujuh lapis penutup wajah. Tetapi, kecantikannya tak dapat dihalangi. Meskipun begitu, tak ada yang pernah melihat wajah Putri Bisu. Tidak ada yang pernah bicara dengannya karena dia tak mau berbicara sepatah kata pun. Banyak orang yang mencoba membuatnya bicara. Namun semua berakhir dengan kematian,” pemilik penginapan itu menjelaskan panjang lebar.
Mendengar berita buruk itu, Shahzada tidak merasa gentar. “Di manakah letak istana Putri Bisu?”
“Lanjutkanlah perjalanan selama tiga setengah bulan lagi, dan Tuan-Tuan akan sampai di sana.”
Shahzada dan pengawalnya melanjutkan perjalanan sesuai dengan saran pemilik penginapan. Akhirnya, mereka sampai di sebuah puncak gunung yang sangat besar. Shahzada berpikir bahwa di situlah istana Putri Bisu berada. Namun, saat mereka mendekat, pemandangan yang mengerikan menyambut mata. Sebuah istana megah berdiri menjulang dan kokoh. Namun, tulang-tulang tengkorak manusia berserakan di sekitar istana itu.
“Tuan! Tengkorak-tengkorak itu pastilah orang-orang yang tidak berhasil membuat Putri Bisu bicara. Kita akan berakhir sama seperti itu jika kita gagal. Lebih baik kita segera pergi dari sini sebelum terlambat!” Pengawal Shahzada mencoba mengingatkan tuannya.
“Tenanglah, cepat atau lambat, semua orang pasti mati, bukan? Jadi, tidak ada yang perlu kita takutkan,” kata Shahzada.
Shahzada memutuskan untuk beristirahat di sebuah desa, di dekat istana. Ketika Shahzada menceritakan tujuan kedatangannya, para penduduk desa menangisinya.
“Oh, Tuan-Tuan, apakah kita masih bisa berjumpa lagi?” tanya orang-orang itu sambil berurai air mata.
“Mengapa kalian berkata seperti itu?” tanya Shahzada heran.
“Sepertinya, Tuan-Tuan sedang menghampiri kematian. Desa ini adalah milik ayah Putri Bisu. Jika Tuan-Tuan ingin membuat Putri Bisu bicara, Tuan-Tuan harus meminta izin terlebih dulu kepada ayahnya. Apabila Tuan-Tuan gagal membuat Putri Bisu bicara, kalian akan menjadi salah satu dari tulang-tulang tengkorak itu.”
Shahzada mengangguk-angguk, dan berkata kepada pengawalnya. “Kita hampir sampai pada akhir perjalanan. Sekarang kita istirahat di sini saja selama beberapa hari.”
Sembari beristirahat, Shahzada dan pengawalnya berjalan-jalan di sebuah bazar. Tanpa sengaja, mereka melihat seekor burung bulbul yang dijual. Shahzada tertarik dengan tingkah burung yang menyenangkan itu. Ia pun memutuskan untuk membelinya. Setelah kembali ke penginapannya pada malam hari, Shahzada termenung di kamar. Ia memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara. Ia benar-benar takut gagal.
“Apa yang merisaukan hati Tuan?” tanya sebuah suara.
Shahzada terkejut. Awalnya, ia berpikir bahwa suara yang didengarnya adalah suara hantu. Namun ternyata, atas kemurahan Tuhan, burung bul-bul yang baru dibelinya tadi bisa berbicara.
“Aku sedang memikirkan cara untuk membuat Putri Bisu bicara,” kata Shahzada.
“Jangan khawatir, Tuan. Bawalah aku saat Anda menemui Putri Bisu. Gantungkanlah sangkarku di tiang lampu kamarnya. Kemudian, ajaklah Putri Bisu bercakap-cakap. Dan, ketika ia tidak menjawab Anda, berbicaralah kepada tiang lampu. Aku yang akan membalas pembicaraan Tuan, sebagai sebuah tiang lampu.” Shahzada menuruti nasihat Burung Bul-Bul.
Keesokan harinya, mereka berangkat menuju istana Putri Bisu.
“Ingatlah, Anak Muda. Putriku membuat sebuah mantra. Barang siapa yang ingin menikahinya, harus bisa membuatnya bicara. Jika tidak, mereka akan menemui kematian. Ribuan orang telah mencobanya, namun gagal. Lihatlah tulang belulang yang berserakan itu. Apakah kau sudah siap?” tanya Sultan, ayah Putri Bisu.
“Saya siap, Sultan. Suatu hari, mantra itu pasti bisa dihancurkan. Dan, hari itu mungkin adalah hari ini,” ucap Shahzada penuh semangat.
Setelah mendapatkan izin dari Sultan, pergilah ia ke tempat Putri Bisu berada. Di sana, Shahzada menjumpai seorang putri yang memakai penutup kepala berlapis-lapis. Penutup itu menjuntai hingga menutupi seluruh wajahnya. Bahkan, Sang Putri awalnya tidak mengetahui kehadiran Shahzada, karena pandangannya terhalang oleh lapisan-lapisan penutup wajah. Ia juga tidak bisa melihat bahwa sebuah sangkar berisi seekor burung bul-bul telah digantungkan di tiang lampu kamarnya. Shahzada menyapa Putri Bisu, “Bagaimanakah kabar Tuan Putri? Saya harap Tuan Putri dalam keadaan sehat.”
Putri Bisu tidak menjawab. Ia bahkan tetap tidak menjawab, ketika Shahzada berbasa-basi lebih panjang lagi. Shahzada pun akhirnya berkata. “Baiklah, malam sudah semakin larut. Karena Tuan Putri tidak menjawab satu pun pertanyaan saya, biarlah saya berbicara dengan tiang lampu. Walaupun tiang lampu ini tidak bernyawa, tapi mungkin lebih berperasaan daripada Tuan Putri.”
Shahzada menghadapkan dirinya kepada tiang lampu kamar.
“Bagaimana kabarmu, wahai Tiang Lampu?” tanya Shahzada.
“Sangat baik, Tuan. Meski bertahun-tahun tidak pernah ada yang mengajakku bicara. Tetapi Tuhan sungguh Maha Pemurah, karena mengirimkan Tuan untuk berbicara denganku. Aku senang sekali. Maka dari itu, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah untuk Tuan?” jawab Tiang Lampu yang sebenarnya adalah suara Burung Bul-Bul.
Anggukan Shahzada menjadi tanda dimulainya cerita.
“Syahdan, ada seorang Pardishah yang memiliki seorang putri. Putri itu hendak dinikahi oleh tiga orang pangeran. Maka, Pardishah membuat sebuah lomba. Siapa yang berhasil menjadi pangeran terhebat, maka dialah yang berhak menikahi Sang Putri. Kemudian, tiga pangeran itu berpisah ke tiga arah mata angin yang berbeda.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Pangeran Pertama berhasil menguasai ilmu bagaimana menempuh perjalanan enam bulan dalam tempo satu jam. Pangeran Kedua menguasai ilmu penglihatan jauh. Dan, Pangeran Ketiga menguasai ilmu pengobatan. Suatu hari, pangeran yang bisa melihat dari jauh menyampaikan kabar bahwa Putri sedang sakit parah dan sebentar lagi akan meninggal. Pangeran Ketiga segera membuat ramuan obat. Lalu, dengan secepat kilat, Pangeran Pertama mengantarkan obat itu ke tempat Sang Putri untuk diminum. Akhirnya, putri pun sembuh. Namun, kini, Pardishah bingung memilih siapa pangeran terhebat yang berhak menikahi putrinya. Bagaimana menurut Tuan Shahzada? Siapakah Pangeran yang berhak menikahi Sang Putri?”
Shahzada menjawab, “Tentu saja pangeran yang meramu obat untuk Sang Putri. Sang Putri tidak akan bisa disembuhkan tanpa obat yang dia buat.”
Burung Bul-Bul menolak jawaban Shahzada, “Tetapi, Sang Putri tidak akan selamat jika pangeran yang bisa melihat dari jauh tidak memberitahu bahwa Sang Putri sedang sakit.”
“Sang Putri pasti juga akan meninggal tanpa obat dari Pangeran Ketiga.”
“Tanpa kabar dari Pangeran Kedua, Pangeran Ketiga tidak akan membuat obat untuk menyembuhkan Sang Putri!”
Shahzada dan Burung Bul-Bul terlibat perdebatan seru. Putri Bisu hanya mendengarkan dan berkata dalam hati.
“Mengapa tidak ada yang ingat jasa Pangeran Pertama? Ia yang berhasil mengantarkan obat secepat kilat, hingga bisa diminum Sang Putri tepat waktu.”
Beberapa saat kemudian. Putri Bisu menjadi jengkel karena perdebatan sengit antara Shahzada dan Burung Bul-Bul tak kunjung usai. Tanpa sadar, ia berseru. “Oh, kalian benar-benar bodoh! Aku akan memberikan putri itu kepada pangeran pembawa obat. Tanpa kecepatan larinya, putri itu akan tetap mati!”
Shahzada dan Burung Bul-Bul senang sekali. Mereka telah berhasil membuat Putri Bisu bicara. Sultan pun segera mengetahui kabar itu. Namun, Putri Bisu menolak kemenangan Shahzada.
“Aku telah dijebak, Ayah! Ini bukan sebuah kemenangan,” tolak Putri Bisu.
“Baiklah, jika pangeran ini berhasil membuatmu bicara dua kali lagi, maka dia berhak menikahimu,” kata Sultan.
Shahzada tidak berani menolak ketentuan itu. Namun, ia yakin jika Burung Bul-Bul akan membantunya.
“Gantungkanlah sangkarku pada sebuah pilar, Tuan,” bisik Burung Bul-Bul.
“Perhatikanlah, setelah kita berhasil membuatnya bicara, kerudung yang menutupi wajah Putri Bisu mulai berjatuhan.”
Keesokan harinya, Shahzada menyapa Putri Bisu lagi. Seperti biasa, Sang Putri diam saja.
“Bagaimana kabarmu, Pilar? Karena Sang Putri tidak bersedia berbicara denganku, bolehkah aku berbicara denganmu?” tanya Shahzada seraya menghadap salah satu pilar di kamar Putri Bisu.
“Oh, tentu saja, Tuan,” jawab Burung Bul-Bul yang berpura-pura menjadi pilar.
“Saya sangat senang punya teman bicara. Oleh karena itu, bolehkah saya menceritakan sebuah cerita?”
“Aku akan mendengarkan dengan senang hati,” jawab Shahzada.
“Ada seorang gadis yang sedang bingung memilih calon suami. Apakah ia akan memilih Baldji, Jagdji, atau Firedji? Lalu, ia merencanakan sesuatu untuk melihat siapa yang paling bersemangat memenuhi permintaannya.” Burung Bul-Bul melanjutkan. “Gadis itu pura-pura menangis, lalu berkata, Oh, ayahku baru saja meninggal. Arwahnya selalu menghantuiku. Adakah yang bisa membantu? Mendengar hal itu, Baldji datang menawarkan bantuan. Tolong, pakailah selembar kain dan tidurlah di dalam makam ayahku, supaya ayahku berhenti menghantuiku. Baldji pun menuruti permintaannya.”
“Kemudian gadis itu menangis lagi. Kini, datanglah Jagdji. Jika hantu ayahku datang, pukullah dengan batu, supaya ia tidak menghantuiku lagi. Setelah Jagdji pergi menuruti keinginannya, gadis itu kembali menangis, hingga Firedji datang. Ada seorang penyihir yang hendak mengambil jasad ayahku dari makamnya. Tolong, ambillah jasad ayahku dan selamatkanlah dia. Seperti kedua kawannya, Firedji juga menuruti keinginan gadis itu.”
“Firedji pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh gadis itu, membongkar makam, dan menggotong Baldji yang terbungkus kain. Tetapi, Jagdji mengira ada dua hantu yang muncul. Ia pun memukul keduanya dengan batu. Saat semuanya terbongkar, mereka terkejut dan segera meminta penjelasan dari si gadis.”
“Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahi gadis itu? Menurutku Firedji!” tanya Burung Bul-Bul.
“Menurutku Jagdji, karena ia berani menghadapi dua hantu sekaligus!” jawab Shahzada.
Sebentar saja, mereka terlibat dalam perdebatan sengit. Putri Bisu sungguh kecewa mendengarnya. Mereka berdua telah melupakan perjuangan Baldji. Ketika Putri Bisu mengemukakan pendapatnya, Shahzada berkata, “Tinggal satu kali lagi, Tuan Putri.”
Putri Bisu sangat marah menyadari kekalahannya. Ia memerintahkan pengawalnya untuk menghancurkan pilar yang berbicara dengan Shahzada tadi. Pada kesempatan terakhir, Putri Bisu menjadi lebih berhati-hati untuk tidak terbawa suasana perdebatan.
“Wahai, Tirai, maukah engkau bercakap-cakap denganku? Sebab Tuan Putri enggan menjawab sapaanku,” kata Shahzada sembari menghadap tirai gelap di kamar Sang Putri.
“Tentu saja, Tuan. Aku senang sekali karena Anda mau mengajakku berbicara. Sebagai balasan atas kebaikanmu, aku akan menceritakan sebuah kisah. Dahulu kala, ada seorang Tukang Kayu, seorang Penjahit, dan seorang Sakti yang membuat usaha bersama-sama. Suatu hari, Tukang Kayu terbangun tengah malam dan tidak bisa tidur. Kemudian, ia membuat sebuah patung wanita. Namun, ia tertidur karena kelelahan. Tak berapa lama, Penjahit terbangun. Ketika ia melihat sebuah patung wanita tanpa pakaian, ia segera menjahit sebuah gaun indah dan memakaikannya kepada patung itu. Akan tetapi, ia pun kembali tertidur karena merasa lelah. Kemudian, pagi-pagi sekali, seorang Sakti bangun dan melihat sebuah patung wanita cantik, bergaun indah. Dia kagum dengan patung itu dan memohon pada Tuhan untuk menghidupkannya. Dan, Tuhan mengabulkan doanya. Patung wanita itu berubah menjadi seorang wanita cantik dan anggun. Tukang Kayu, Penjahit, dan Orang Sakti berebut menikahinya. Menurut Tuan, siapa yang berhak menikahinya?” tanya Burung Bul-Bul.
“Menurutku, Tukang Kayu yang paling berhak menikahinya,” katanya memberikan pendapat.
“Tidak bisa! Penjahitlah yang pantas menikahinya!” sergah Shahzada.
Perdebatan seru tak bisa terelakkan. Putri Bisu tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia jengkel sekali sebab tidak ada yang mengingat jasa Orang Sakti. Putri Bisu bangkit dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Ayolah! Tanpa Orang Sakti, wanita itu akan tetap menjadi sebuah patung mati. Jadi, Orang Sakti yang berhak menikahinya!”
Seketika itu juga, kerudung lapis terakhir Putri Bisu terlepas. Maka, terungkaplah wajahnya yang sangat rupawan. Putri Bisu kaget, namun segera tersenyum kepada Shahzada.
“Kau menang. Kau telah membuatku berbicara sebanyak tiga kali.”
Shahzada sangat berterima kasih kepada pengawalnya yang setia dan burung bul-bulnya yang cerdik. Kini, ia telah terbebas dari kutukan dan berhasil menikahi Putri Bisu. Ayah Putri Bisu mengadakan pesta pernikahan yang meriah selama 40 hari 40 malam untuk Shahzada dan putrinya. Semua orang bergembira dengan pernikahan itu. Shahzada juga tak lupa mengundang wanita yang dulu mengutuknya dan memintanya tinggal di istana untuk menjadi pengasuh bagi anak-anaknya, kelak.
***
Jihan berhenti baca buku.
"Cerita yang bagus banget," pujian Jihan.
Jihan menutup buku dan di taruh buku di atas meja. Ibu yang baru pulang dari pasar, ya memanggil Jihan dengan suara yang cukup keras. Jihan mendengar panggilan Ibu, ya segera beranjak dari duduknya di ruang tengah ke depan rumah. Jihan segera mengambil barang belanjaan di lantai gitu karena memang ibu menggeletakan....ibu capek baru pulang dari pasar. Jihan membawa barang belanjaan ke dapur dan segera di bereskan dengan baik. Jihan memasak dengan baik di dapur membuat makan untuk keluarga. Ibu beristirahat di ruang tengah dengan baik banget. Nella, ya Mbaknya Jihan.... yang selesai mengerjakan kerjaannya di dalam kamarnya. Nella biasa mengetik di leptopnya membuat tugas kuliah dengan baik banget. Nella ke ruang tengah, ya seperti biasa sih mijitin kaki ibu dengan baik. Nella tidak bisa menemani ibu ke pasar karena banyak tugas kuliah. Ibu memakluminya dengan baik banget.