Indro pun berpikir panjang dan berkata "Acara Tv ada yang judulnya 'Petualangan Gundul', ya ternyata gundul itu terkenal....sampai artis pun gundul juga."
Indro mengambil buku tersebut dan membukanya dengan baik, ya segera di baca dengan baik juga lah.
Isi buku yang baca Indro :
Alkisah, di suatu desa, hiduplah seorang anak lelaki miskin dengan ibunya. Meski masih muda, kepala anak laki-laki itu tidak ditumbuhi rambut, mirip seperti orang lanjut usia.
“Hei, Gundul! Kapan rambutmu bisa tumbuh? Hahaha!”
Kemana pun Gundul pergi, orang-orang selalu menertawakan kepalanya. Saking seringnya memanggil dengan nama julukan, orang-orang menjadi lupa siapa nama Gundul sebenarnya. Meski sering menjadi bahan olok-olokkan, Gundul berhati lapang. Ia selalu tersenyum. Ia tak pernah merasa sedih atau marah dengan julukan yang diberikan kepadanya. Semua itu dia anggap sebagai candaan belaka.
“Walaupun kepalaku tidak ditumbuhi rambut, tetapi Ibu sangat sayang kepadaku. Orang-orang juga suka berteman denganku,” hibur Gundul pada dirinya sendiri.
Orang-orang sangat menyukai Gundul karena ia suka menolong orang lain tanpa pamrih.
“Maukah saya bantu mengangkat guci yang berat itu, Pak Tua?”
“Ibu yang baik, ini dompet Anda. Tadi terjatuh di jalan.”
“Ah, Adik Kecil. Aku punya sedikit manisan. Apa kau mau separuh?”
Selain itu, Gundul juga penyayang binatang.
“Oh, semut yang malang. Apa yang kau lakukan dalam gelas minumku? Ayo, naiklah kemari.”
Gundul mencelupkan ujung jarinya ke dalam gelas. Seekor semut hitam, yang berenang di sana, tampak naik ke jari Gundul. Semut itu pun selamat dan tidak tenggelam. Di samping suka menolong dan menyayangi binatang, Gundul juga anak yang berbakti kepada ibunya.
“Ibu, aku sudah besar sekarang. Ibu tak perlu bersusah payah lagi untuk mencari uang. Biar aku saja yang bekerja keras!” katanya bersemangat.
Setiap hari, Gundul pergi bekerja ke kebun-kebun tetangganya untuk mendapatkan uang. Apabila uangnya tidak cukup untuk membeli makanan, ia akan pergi ke hutan kecil di pinggir desa untuk mengumpulkan jamur-jamur dan buah-buahan.
“Maaf, Bu. Hari ini aku hanya menemukan beberapa jamur dan buah beri untuk makan malam,” kata Gundul saat menyerahkan hasil pencariannya di hutan.
“Tidak apa-apa, Nak. Tunggulah sebentar, ibu akan memasaknya, lalu kita makan malam bersama. Ibu masih mempunyai sedikit tepung di dapur. Jadi, ibu bisa membuat sepotong roti untukmu,” ucap ibunya.
“Oh, tidak, Bu. Kita bagi dua saja rotinya. Jika Ibu senang melihatku makan roti, maka aku juga senang melihat Ibu makan roti.”
Itulah Gundul. Sangat setia dan sayang kepada ibunya.
“Hmm, sebentar lagi musim dingin tiba. Aku ingin membelikan Ibu sebuah mantel yang lembut dan hangat. Mantel Ibu sudah usang dan penuh tambalan di mana-mana,” pikir Gundul suatu hari.
Gundul pun menyisihkan uang hasil kerjanya sedikit demi sedikit. Ketika uangnya sudah terkumpul banyak, ia menukarkannya dengan tiga koin emas. Tiga keping koin itu akan ia gunakan untuk membeli mantel bagi ibunya. Suatu hari, Gundul berjalan ke pasar dengan hati riang. Ia bermaksud membeli mantel untuk ibunya. Namun, di tengah jalan, ia melihat sekumpulan anak kecil sedang menjahili seekor kucing kurus dengan sebuah tongkat panjang.
“Hahaha! Kucing jelek! Kucing jelek!” Anak-anak itu tertawa mengejek.
Gundul merasa kasihan melihat kucing malang itu.
“Hentikan, hentikan! Jangan mempermainkan binatang.”
“Mengapa kami harus berhenti mempermainkannya? Pergilah, jangan ganggu kesenangan kami,” tukas anak-anak itu.
Gundul kemudian merogoh saku bajunya.
“Tinggalkan kucing ini. Sebagai gantinya, aku berikan satu keping koin emas.”
Setelah anak-anak itu pergi, Gundul segera mendekati kucing kurus itu dan membagi separuh rotinya.
“Makanlah.”
Gundul meneruskan perjalanannya, menuju sebuah toko baju, untuk membeli mantel. Mungkin, dua koin emas masih cukup untuk membeli sebuah mantel yang hangat, walaupun agak kasar. Meong… Meong… Ternyata, kucing yang tadi ditolong oleh Gundul masih mengikutinya. Kucing itu memandang Gundul dengan tatapan terima kasih.
“Baiklah, kau boleh ikut denganku,” ucapnya.
Dalam jarak sepuluh kios, dari tempat kucing tadi dijahili, terlihat seekor anjing yang sedang dipukuli oleh sepasang suami istri. Mereka memarahi anjing itu karena ia terus-menerus menggonggong.
“Tolong, jangan pukul anjing ini lagi, Tuan dan Nyonya,” pinta Gundul.
“Mengapa kami harus berhenti memukul anjing ini? Binatang ini harus diberi pelajaran!” kata mereka serempak.
“Tinggalkanlah anjing ini. Sebagai gantinya, saya akan memberikan satu keping koin emas,” kata Gundul sambil mengulurkan koin emas yang diambilnya dari saku baju.
Pasangan suami istri itu menerima koin emas dari Gundul dengan senang hati. Mereka segera menyingkir dari tempat itu. Gundul lalu menghampiri anjing itu dan memberikan separuh rotinya yang masih tersisa kepada si anjing.
“Ah, aku telah kehilangan sepotong roti dan dua keping koin emas. Sekarang, aku lapar dan ragu, apakah aku masih bisa membeli sebuah mantel untuk Ibu dengan sekeping uang emas?” katanya kepada anjing dan kucing yang ditolongnya tadi.
Kedua binatang itu menggosok-gosokkan kepala mereka ke kaki Gundul, berusaha menghibur dan seolah berkata, “Tenanglah, Tuan, kami akan menemanimu dan membalas kebaikanmu suatu hari nanti.”
Gundul mulai melangkahkan kakinya menuju toko pakaian bersama dengan si anjing dan si kucing. Ia berusaha membeli sebuah mantel seharga sekeping koin emas, namun setiap toko pakaian yang ia masuki, tidak bersedia menjual mantelnya seharga satu keping koin emas. Akhirnya, Gundul pulang ke rumahnya dengan tangan hampa. Saat ia melewati tepian hutan kecil, ia melihat seorang penebang kayu hendak memukul seekor ular dengan menggunakan kapaknya yang tajam.
“Tuan, saya mohon, jangan bunuh ular itu!” seru Gundul tiba-tiba.
Dan, Gundul, sekali lagi, memberikan satu keping koin emas yang tersisa untuk menyelamatkan ular itu. “Sssss... Terima kasih, Tuan telah menyelamatkan saya. Saya adalah anak dari Raja Ular. Ikutlah bersama saya untuk menerima ucapan terima kasih dari ayah saya,” bisik ular kecil itu.
Gundul dan dua sahabatnya memenuhi permintaan ular kecil itu.
“Terima kasih, Tuan sssss… Anda telah menyelamatkan anak saya. Untuk membalas kebaikan Tuan, silakan minta apa saja yang Tuan inginkan. Ssss…,” kata Raja Ular.
“Tidak, Raja Ular. Saya tidak ingin hadiah apa-apa,” tolak Gundul.
Rupanya, penolakan Gundul justru membuat Raja Ular mendesis marah.
“Mintalah sesuatu untuk menghormati ayahku. Mintalah Segel Ajaib yang ada di bawah lidahnya. Sssss…,” bisik ular kecil itu cepat.
“Baiklah, Yang Mulia. Bolehkah saya meminta Segel Ajaib yang tersimpan di bawah lidah Yang Mulia?” pinta Gundul.
Raja Ular mendesis.
“Tuan telah meminta milik saya yang sangat berharga. Namun, saya akan tetap memberikannya karena Tuan telah menyelamatkan anak saya. Nyawa anak saya lebih berharga dari segel ini. Ssss…”
Raja Ular mengeluarkan pun sesuatu dari dalam mulutnya. Sebuah segel emas berbentuk bulat pipih dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Segel itu tampak indah dan misterius.
“Segel ini bisa mengabulkan apa pun keinginan Tuan. Ssss…,” kata Raja Ular.
“Terima kasih atas pemberian, Yang Mulia.”
Gundul menerima segel itu dengan penuh rasa hormat. Setelah berpamitan dengan Raja Ular, Gundul bersama kucing dan anjingnya segera pulang ke rumah dengan hati gembira.
“Ibu! Ibu! Aku pulang!” teriak Gundul. Ibunya datang tergopoh-gopoh.
“Oh, anakku! Tidak tahukah bahwa engkau telah pergi terlalu lama? Aku mengira engkau mengalami celaka di luar sana!”
“Tidak, Bu. Aku baik-baik saja. Aku bahkan mendapatkan hadiah dari Raja Ular karena aku telah menyelamatkan anaknya.”
Gundul lalu menceritakan semua hal yang dialaminya. Kemudian, ia menyimpan segel itu di bawah lidahnya.
“Wahai, Segel Ajaib! Berikanlah aku sebuah mantel terbaik di dunia!” seru Gundul.
Tak berapa lama, sebuah mantel indah berbulu lembut muncul di hadapan mereka. Melihat itu semua, ibu Gundul berkata. “Kalau segel ini benar-benar ajaib, ia pasti bisa menolongmu untuk menikahi Putri Sultan, Nak.”
“Tapi, Bu, apakah itu tidak berlebihan? Kita kan orang miskin. Kita juga bukan keluarga bangsawan,” sahut Gundul.
“Semua orang tahu bahwa Putri Sultan tidak hanya cantik, tetapi juga baik hati dan penyayang kepada rakyat. Gadis seperti itulah yang pantas menjadi istri pemuda sebaik engkau, Nak,” kata ibu Gundul.
Semula, Gundul enggan untuk menuruti perintah ibunya. Namun, karena ibunya terus-menerus mendesaknya, ia pun berangkat ke istana bersama kucing dan anjingnya yang setia.
“Kau hendak menikahi putriku?”
Sultan terkejut mendengar permintaan seorang pemuda gundul di hadapannya. Ia memerhatikan penampilan Gundul dengan saksama. Tidak ada tanda-tanda seorang bangsawan ataupun saudagar pada dirinya.
“Baginda Sultan boleh meminta apa pun sebagai syarat. Saya akan memberikannya,” kata Gundul yakin.
Sultan tertawa terbahak-bahak.
“Baiklah. Kalau begitu, sediakan sebuah istana dan segala isinya. Sebagai seorang ayah, aku harus tahu bahwa putriku tidak akan hidup dalam kekurangan.”
Gundul menyanggupi permintaan Sultan. Ia bergegas pergi ke sebuah daerah di dekat danau, di pinggir hutan kecil. Kemudian, ia meminta Segel Ajaib membuatkan sebuah istana lengkap dengan isinya. Tiba-tiba, sebuah cahaya menyilaukan meluncur dari langit dan menghantam tanah bagaikan bintang jatuh. Sesaat setelah pendaran cahaya itu hilang, Gundul melihat sebuah istana menjulang dengan megah di samping danau.
“Baiklah, Anak Muda. Kau boleh menikahi putriku.”
Sultan menepati janjinya, karena Gundul telah berhasil menyediakan sebuah istana, yang lengkap dengan isinya, untuk Putri Sultan. Pesta pernikahan Gundul dan Putri Sultan digelar dengan meriah selama 40 hari 40 malam. Semua orang di negeri itu diundang untuk menghadirinya. Tak seorang pun menyangka bahwa Gundul bisa memiliki sebuah istana yang indah dan menikahi Putri Sultan. Gundul dan ibunya pun, kini, hidup berkecukupan dan bahagia. Waktu terus berjalan, Segel Ajaib telah mengabulkan banyak keinginan Gundul. Ia pun akhirnya berkata. “Aku sudah mempunyai istana yang bagus, istri yang cantik dan baik hati, harta yang melimpah, dan banyak hal lainnya. Aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi.”
Gundul memutuskan untuk mengeluarkan Segel Ajaib dari dalam mulutnya. Lalu ia menyerahkannya kepada Putri Sultan untuk disimpan, tanpa memberitahu bahwa segel itu adalah sebuah benda ajaib. Suatu hari, Gundul sedang pergi ke luar kota untuk berdagang dan ibunya sedang pergi ke pasar, ketika seorang penjual manik-manik datang mengetuk pintu istananya.
“Tuan, silakan memilih salah satu untaian manik-manik yang saya bawa,” tawarnya.
Putri Sultan yang saat itu membuka pintu, langsung jatuh hati dan ingin membeli manik-manik itu.
“Aku ingin membeli dua. Satu untukku dan satu untuk ibu mertuaku,” katanya.
Putri Sultan segera membayarnya, namun penjual itu menolaknya, “Saya tidak menerima pembayaran dengan uang, Tuan Putri. Saya hanya mau menukar manik-manik ini dengan sebuah barang.”
“Barang apakah itu?” tanya Putri Sultan keheranan.
“Sebuah segel emas dengan ukiran seekor ular di tengahnya. Hanya itu harga yang pantas untuk manik-manik saya yang indah ini,” jawab penjual itu.
Putri Sultan segera teringat pada segel milik suaminya. “Tunggu sebentar, sepertinya saya memiliki barang seperti itu.”
Sesaat kemudian, Putri Sultan kembali sambil membawa barang yang dimaksud.
“Apakah seperti ini?”
“Ah, iya. Anda benar, Tuan Putri. Sekarang, Anda boleh memilih dua atau tiga untaian manik-manik yang Anda suka,” kata penjual itu dengan sukacita karena telah menemukan benda yang ia cari.
“Segel Ajaib ini akhirnya jadi milikku!” seru penjual manik-manik itu saat ia kembali ke rumahnya, di seberang danau yang gelap.
Seiring dengan perginya Segel Ajaib, istana dan semua barang-barang yang diberikan oleh Segel Ajaib ikut menghilang. Putri Sultan dan ibu Gundul sungguh terkejut. Kini, barang-barang yang tersisa hanyalah barang-barang yang dibeli dari hasil kerja Gundul saja.
“Oh, apa yang harus kita lakukan? Bagaimana ini?” Ibu Gundul panik bukan kepalang.
“Jika begini keadaannya, lebih baik putriku pulang kembali ke istana bersamaku,” kata Sultan yang mengetahui kejadian itu.
“Tidak, Ayah. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap berada di sini. Suamiku dan ibunya adalah orang-orang yang aku sayangi. Mereka sangat baik kepadaku,” tolak Putri Sultan.
“Tidak! Kau harus tetap kembali ke istana kita.” Sultan bersikeras membawa pulang putrinya. Ketika Gundul kembali dari luar kota, ia sangat terkejut melihat perubahan tempat tinggalnya. Ia benar-benar kaget karena harus kehilangan istana dan istri tercintanya.
“Oh, anakku yang malang!” Ibu Gundul memeluk anaknya untuk memberi penghiburan. Kucing dan anjing, yang selalu menyertai Gundul, merasa kasihan melihat tuan mereka yang baik mengalami kemalangan.
“Mereka bilang penjual manik-manik itu pergi ke seberang danau yang gelap. Kita harus mengambil kembali segel ajaib itu,” usul Anjing.
“Tetapi, aku takut sekali dengan air,” jawab Kucing.
“Ingatlah, kebaikan tuan kita dahulu. Ia yang telah menyelamatkan nyawa kita berdua dan memelihara kita dengan kemurahan hatinya. Aku pandai berenang dan bisa membawamu di atas punggungku,” bujuk Anjing.
Kucing pun menyetujui usul Anjing. Tanpa membuang waktu lagi, kedua binatang itu berangkat menyeberangi danau. Air danau yang dingin tidak menghalangi langkah kedua binatang itu untuk terus maju, hingga sampai ke rumah penjual manik-manik yang licik itu.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Anjing saat melihat penjual manik-manik itu tertidur lelap di atas kursi kayunya.
“Kita berbagi tugas saja. Aku akan pergi menangkap seekor tikus, sedangkan kau menghancurkan butiran merica ini hingga menjadi bubuk,” kata Kucing.
Anjing mengangguk, setuju. Mereka pun bergegas melaksanakan tugas masing-masing. Matahari baru saja tenggelam ketika Kucing datang membawa seekor tikus yang masih hidup. Kucing lalu mengoleskan bubuk merica, hasil kerja Anjing, pada ekor tikus itu.
“Nah, Tikus. Gelitikilah hidung orang itu dengan ekormu. Ketika ia bersin dan mulutnya mengeluarkan sebuah segel emas, bawalah benda itu kepadaku,” perintah Kucing.
Tikus menuruti semua perintah Kucing. Ia takut jika Kucing akan memakanannya. Ciit… ciit... ciit! Tikus berlari kencang, melompat pelan di atas pundak penjual manik-manik, lalu melompat lagi di atas mulut lelaki itu. Tikus menggoyang-goyangkan ekornya, tepat, di hidung penjual manik-manik. Seketika itu juga, penjual manik-manik bersin dengan keras, hingga Segel Ajaib, yang di simpan di mulutnya, terlempar keluar. Tikus langsung menangkap segel itu dengan mulutnya dan berlari kencang, kembali kepada Kucing. Penjual manik-manik melanjutkan tidurnya karena tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Terima kasih, Tikus. Kau boleh pergi sekarang,” kata Kucing, setelah menerima Segel Ajaib.
Kucing dan Anjing kembali menyeberangi danau untuk kembali pulang kepada tuan mereka, Gundul. Gundul sangat senang karena Segel Ajaib berhasil diselamatkan oleh dua binatang setia, yang selama ini selalu mendampinginya.
“Kalian berdua memang sahabat terbaikku,” ucap Gundul tulus, sambil mengelus-elus Anjing dan Kucing.
Dalam secepat kilat, istana Gundul dan semua isinya muncul kembali di tepi danau. Gundul segera menjemput istrinya dan mereka sekeluarga hidup bahagia. Gundul pun sadar, ternyata harta hasil kerja keras dan persahabatannya dengan Anjing dan Kucing lebih sejati dari pada kekuatan Segel Ajaib.
***
Indro berhenti baca buku.
"Cerita asal dari Turki kata di buku di tulis sih, ya bagus ceritanya. Pinter yang membuat bukunya," kata Indro memuji.
Indro memutup buku dan menaruh buku di meja dengan baik banget.
"Main game ah!" kata Indro.
Indro main game di Hp-nya dengan baik banget. Sedangkan Kasino sibuk dengan pekerjaannya di kamar, ya pembukuan gitu. Dono sibuk mengetik di leptopnya, ya membauat cerita yang baik di Blog-nya.
No comments:
Post a Comment