CAMPUR ADUK

Tuesday, February 5, 2019

PERTARUNGAN HIDUP

Malam hari di tengah hutan. Yakimaru mengalami kesakitan dengan pendengarannya. Dororo berusaha menenangkan Yakimaru yang kacau. Lalu Dororo menutup telinga Yakimaru dengan sebuah kain.

"Semoga ini bisa mengurang sakit pendengaran kamu" kata Dororo.

Yakimaru hanya diam saja dan merasa baikan dengan pendengarannya. Terdengar suara yang nyaring sekali memekakkan telinga dateng ke arah Dororo dan Yakimaru. Seekor makluk terbang besar langsung menyerang Dororo dan Yakimaru. 

"Siluman...burung," teriak Dororo yang ketakutan.

Yakimaru mencabut pedangnya dan bertarung dengan siluman burung yang besarnya lebih dari ukuran manusia. Yakimaru mencoba menyerang siluman burung dengan pedangnya dan ternyata terpental oleh hempasan sayap yang menciptakan angin. Apalagi siluman burung mengeluarkan gelombang suara yang memekakkan telinga sampai-sampai Yakimaru kesakitan sampai meringkuk di tanah.

Dororo ingin menolong Yakimaru yang dianggap kakaknya tapi tidak ada kemampuan. Siluman burung terus menyerang ke arah Yakimaru. Dateng dengan hebat menyudutkan si siluman burung dengan serangan kakek yang buta pada mata kirinya bernama Tobe. Siluman burung langsung menyerang kembali dengan cepat. Kakek Tobe menggunakan teknik pedang pembunuhnya dan memotong-motong siluman burung menjadi beberapa bagian.

Siluman burung mengucurkan darah dan akhirnya jatuh ke tanah dengan terpotong-potong. Kakek Tobe menyarungkan pedangnya kembali. Dororo langsung menolong Yakimaru, lalu kakek Tobe mendekati mereka berdua.

"Kalian berdua tidak apa-apa?" tanya kakek Tobe.

"Tidak apa-apa Kek!" jawab Dororo.

"Gimana dengan Yakimaru?" tanya kakek Tobe.

"Kakak Yakimaru mengalami kesakitan terus menerus pada telinganya," penjelasan dari Dororo.

"Kalau begitu jaga dia dan lebih banyak istirahat," saran kakek Tobe.

"Iya," saut Dororo.

Dororo menjaga Yakimaru yang kesakitan dan membereskan pedang yang di pakai untuk bertarung. Kakek Tobe yang buta menjaga Dororo dan Yakimaru dengan baik. Waktu pun berganti pagi. Kakek Tobe mencari makanan. Yakimaru terbangun dari tidurnya dan berjalan menuju suatau tempat. Dororo mencoba mengikuti Yakimaru. 

Sampai di aliran sungai ada seorang gadis cantik yang sedang bermain di tengah aliran sungai. Yakimaru bergerak dan mencoba mendekati gadis tersebut. Sang gadis tidak terkejut dengan tindak tanduk dari Yakimaru yang mendekatinya malah senang. Dororo pun melihatnya dari jauh.

"Kamu mau apa?" tanya sang gadis.

Yakimaru hanya diam saja.

"Maaf..kakak teman saya tidak bisa bicara," penjelasan Dororo.

"Oh begitu," saut sang gadis.

Sang gadis keluar dari aliran sungai menuju pulang ke rumah. Yakimaru mengikuti sang gadis. Akhirnya Dororo dan Yakimaru berkenalan dengan sang gadis dan akhirnya mereka tahu nama gadis itu adalah  Yosine. Dengan kebaikan dari Yosine di ajaklah Dororo dan Yakimaru ke rumahnya yang tidak begitu jauh dari tempat berada mereka. Sampai di rumah ternyata Dororo terkejut dengan anak-anak yang di rawat oleh Yosine sampai ada yang cacat tangan dan kakinya. 

Dororo mulai berteman baik dengan anak asuh Yosine begitu dengan Yakimaru. Tetap saja Yakimaru mengalami kesakitan pada telinganya dan terbaring di lantai rumah. Semua orang mengkhatirkan keadaan dari Yakimaru.  Di jaga dengan baik Yakimaru oleh semuanya. Tapi saat tengah malam Yakimaru keluar dari rumah Yosine dengan terburu-buru. Sedangkan Dororo tidak khawatir sama sekali dengan keadaan Yakimaru lain ceritanya dengan anak-anak yang di asuh oleh Yosine.

Ternyata Yosine pergi juga. Dororo yang mengikuti juga Yosine pergi. Sampai di sebuah tempat yang cukup aman ada 2 orang laki-laki yang bermalam di hutan lalu Yosine langsung menawarkan dirinya sebagai barang dagangan. 2 lelaki tersebut menerima tawaran Yosine mulai mereka bersenang-senang di tengah hutan. Dororo menemukan Yosine dengan 2 orang yang mengerubutinya. 

"Astaga....jangan-jangan," celoteh Dororo.

Dororo segera mendekati 2 lelaki yang mulai menikmati tubuh Yosine. Sedang di sisi lain. Yakimaru dengan kakek Tobe bergerak menuju hutan dan menemukan sebuah lubang yang cukup besar. Yakimaru dan kakek Tobe menarik pedangnya untuk bertarung dengan siluman undur-undur. Keluarlah siluman undur-undur dari tanah dan akhirnya pijakan pada Yakimaru dan kakek Tobe longsor dengan segera langsung menyerang dengan pedang mereka ke arah siluman undur-undur. Karena kulit luarnya siluman undur-undur sangat kuat susah untuk di tebas oleh pedang. Yakimaru mencari celah bagian yang lunak untuk di hunuskan pedangnya. Ternyata kaki kanan Yakimaru terkena gigitan siluman undur-undur dan langsung pedang di tancapkan pada bagian yang lunak pada siluman undur-undur. Kakek Tobe mencoba menolong Yakimaru ternyata terlambat kaki Yakimaru putus. 

Berteriak sekuatnya Yakimaru karena menahan sakit yang di deritanya karena kakinya hilang. Siluman undur-undur keluar lagi. Segera kakek Tobe menyerangnya dengan tebasan yang mematikan pada bagian yang dapat di tembus oleh pedang begitu juga Yakimaru. Siluman undur-undur mati. Kakek Tobe membopong Yakimaru dari lubang di buat siluman undur-undur.

Tiba-tiba Yakimaru mengalami fenomena  yang aneh pada dirinya seketika kakinya yang terputus kembali semula. Kakek Tobe pun terkejut sekali dengan menyentuh kakinya Yakimaru yang bagus kembali.

"Ini keajaiban setelah membunuh siluman undur-undur itu. Dewa menolong Yakimaru," kata kakek Tobe.

Sedangkan Dororo mencoba menolong Yosine dengan cara mengambil sebuah kayu dan di pukullah pada 2 orang yang mulai menggagahi Yosine. Seketika 2 orang laki-laki pingsan begitu saja.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya Dororo.

"Saya tidak butuh bantuan kamu," kata Yosine membuang mukanya.

"Jangan sok begitu kakak. Saya tahu tujuan kakak berbuat ini menjual diri demi uang dan untuk bisa menghidupkan anak-anak asuh kakak. Apalagi negeri...ini mengalami tekanan ekonomi yang cukup pelik. Rakyatnya mengalami ketidak berdayaan karena kemiskinan. Wajar saja tidak ada kerjaan yang pantes. Lebih baik menjual diri kan," kata Dororo yang berusaha memahami Yosine.

Yosine menunduk malu dengan pekerjaannya. Lalu mengambil uang yang ada pada 2 orang lelaki di balik pakaiannya dan pergi begitu saja meninggalkan Dororo.

"Dasar wanita..selalu saja berpikir pendek dalam menjalankan hidup. Nafsu alasan saja demi menjalankan hidup menutupi kebenaran yang sebenarnya ketidak berdayaan dirinya dalam menjalankan hidup. Pada hal alam memberikan banyak makan," celoteh Dororo.

Dororo pun mengikuti Yosine dari kejauhan dengan menjaga jarak. Sampai di rumah Yosine berdiam diri di kamarnya seperti biasanya. Sedangkan anak-anak asuhnya menyiapkan makan untuk semuanya termasuk untuk Dororo. 


Karya: No

PILIHAN HATI

....Tuhan telah mempertemukan aku dengan kehidupan yang tenang. Ya! Kayakinan dan kesabaran adalah anak-anak tangga yang harus didaki untuk mencapai keberhasilan....!" kata Faisal dalam hati.

....

Hari itu dia tidak bekerja. Faisal sengaja mengambil cuti sehari. Setiap kali dia ada waktu luang,  tempat itulah yang menjadi pilihan utamannya. Dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk melihat keindahan alam. Dia juga tidak perlu susah payah mencari kedamaian. Di sana semuanya ada.

Tapi entah mengapa senja itu seakan ada yang terlewatkan. Keindahan yang dicarinya tidak tampak kedamaian yang diharapkan pun tidak tampak kedamaian yang diharapkan pun tidak terasa. Hingga dia dibungkam dengan kesepian dan kesunyian. Mungkin langkahnya di petang itu di bekali oleh beberapa masalah  yang memerlukan penyelesaian segera.

Faisal menghembuskan napas panjang. Diluapkan pula segala persoalan yang menghadap dalam benaknya. Pikirannya melayang ke suatu kehidupan yang dilaluinya dua tahun yang lalu.

Setelah mengucapkan salam, Pak Mail menyusun jarinya memohon doa kehadirat Ilahi. Doanya pendek dan singkat. Lalu dia berjalan ke pintu untuk segera pulang. Tidak seperti biasanya dia mengobrol sebentar bersama jemaah lain di beranda. Pikirannya kalau memikirkan masalah yang di hadapinya. Lelah dia memeras otak mencari penyelesaian masalah tersebut. Tetapi pikirannya buntu.

Langkahnya gontai menuju ke rumah dikontrakannya. Di dalam pondok inilah Pak Mail bersama istrinya dan keenam orang anaknya berteduh. Lorong jalan yang dilaluinya agak gelap, hanya diterangi sinar lampu diujung persimpangan jalan.

Setelah dia sampai di kaki tangga, dia berhenti sejenak. Merenung memandang rumah kecil yang dikontraknya. Rumahnya terlihat agak sepi. Cahaya lampu bulat yang menerangi ruang dalam terpancar keluar melalui lubang-lubang papan yang telah lapuk. Cahaya itu tampak samar-samar di tanah.

"Inilah rumahku. Inilah istanaku....!"

"Apakah....apakah sisa hidupku berakhir di sini?!"

"Oh!Tuhan....apakah ini artinya hidup?" bisik hatinya.

Peci di kepalanya digantungkan pada dinding yang telah separuh usia. Dengan ekor matanya dia melirik ke arah anak-anaknya. Faisal anak sulungnya bersama dua orang adiknya yaitu Nizam dan Andi. Mereka nampak lebih sibuk dengan pekerjaan sekolah mereka masing-masing. Faisal dan adik-adiknya berbagi tempat belajar si atas meja yang di buat Pak Mail sendiri.

Faisal seorang pelajar tingkat SMU kelas tiga. Dia akan menghadapi ujian akhir pada tahun ini. Nizam kelas dua SMU sekolah yang sama dengan abangnya. Sedangkan Andi duduk di bangku kelas tiga SMP. Di lantai, Faiza berbaring sambil menggambar sesuatu. Dia duduk di bangku kelas satu SMP, dan satu sekolah juga dengan Andi.

Di sudut yang lain Farha dan anak bungsunya Fazilah tampak tertidur pulas. Pak Mail berjalan ke arah kedua orang anaknya itu. Dia meraih sehelai kain batik dan menyelimutikannya ke atas badan kedua orang anaknya. Dengan mata sayu Pak Mail memandang mereka berdua.

Di dapur Bu Ani sudah siap menghidangkan makan malam untuk Pak Mail. Sayur daun ubi, ikan sepat goreng dan sambal. Pak Mail duduk bersila menghadap hidangan yang telah disiapkan oleh ibu Ani. Pak Mail menghadiahkan senyuman kepada istrinya. Bu Ani seperti mengerti apa yang berkecamuk di pikiran suaminya itu.

"Anak-anak sudah makan?" Tanya Pak Mail dengan suara yang lemah.

"Sudah...! Hanya sepatah kata yang keluar dari mulut ibu Ani....

Bu Ani merasa mendesak. Mau tidak mau masalah itu harus dibicarakan. Sejak siang tadi tiga kali anaknya mengingatkannya tentang masalah itu. Bu Ani menguatkan niatnya.

"Bang...!"

Panggilan Bu Ani tidak terbalas. Mungkin Pa Mail tidak mendengar panggilan itu, pikirnya. 

"Abang...bagaimana dengan uang ujian Faisal? Hanya tinggal  dua sampai tiga hari lagi," Tanya Bu Ani.

Berdegup jantung mendengar pertanyaan itu. Nasi di tangannya jatuh. Tenggorokannya tersekat. Dia memandang tepat pada istrinya dengan tatapan muram. Hati Bu Ani tersentuh. Kesal hati Pak Mail mendengar pertanyaan itu, kemudian dia mencuci tangannya. Lalu dia berkata perlahan sebelum meninggalkan Bu Ani. 

"Tak usah kau bimbang Ani, abang akan usahakan..."

Pak Mail berjalan perlahan lalu duduk di atas anak tangga. Sambil kakinya tergantung di bawah, Tangannya membuka dan melipat sehelai daun rokok. Pikirannya langsung melayang jauh memikirkan masalah yang harus diselesaikannya. Di luar agak tampak gelap, segelap kehidupannya. Bulan pun tak tampak yang ada cuma dua tiga buah bintang yang berkelip-kelip. Dari jauh didapat melihat hiasan cahaya lampu di persimpangan jalan.
"Di mana aku bisa mendapatkan uang ujian Faisal? Dimana? Dimana akan mencarinya dalam tiga hari....? Kalau tidak dapat bagaimana...? Oh Tuhan, tolonglah aku!" Pak Mail berpikir sambil mengharapkan pertolongan dari Tuhan.

Kemudian pandangannya dialihkan kepada becak roda tiga yang teronggok di bawah pohon nangka. Dialah teman hidup Pak Mail. Dialah sumber rejekinya. Setiap pagi dia mengayuh becaknya di sekitar pasar untuk mencari penumpang. Pak Mail menghitung sesuatu dengan jarinya. Paling banyak pendapatannya hanyalah 25 ribu rupiah sehari. Dikurangi 7.500 rupiah untuk di setorkan kepada Haji Darus pemilik becak yang digunakannya.

"Bagaimana aku bisa menabung? Untuk belanja pun tidak cukup" terbersit rasa kesal karena dia tidak pernah mencoba menabung. 

"Uang untuk Faisal? Di mana aku untuk mencarinya? Kembali pertanyaan itu menerjang pikirannya. Dahinya berdenyut. Dia mengaruk-garuk kepalanya yang mulai botak.

"Sal, ayah belum punya uang. Mintalah waktu sampai minggu depan." Suara Pak Mail bercampur keraguan. Sambil tangganya mencengkram erat lengan anaknya.

Faisal memahami arti cengkraman itu. Dia dapat merasakan kesedihan yang tertanam di lubuk hati ayahnya. Di luar, malam telah beranjak. Faisal menutup buku di tanggannya. Dia merebahkan badannya di sehelai tikar usang di sisi meja. Ibu dan adik-adiknya telah usang di sisi meja. Ibu dan adik-adiknya telah lama tidur. Kelopak matanya masih berkedip-kedip, sudah dia memejamkan matanya.

"Mana mungkin bisa menangguhkan sampai minggu depan?"

Betapa sedih perasaannya ketika mendengar jawaban dari ayahnya. Dia tidak memiliki pilihan lain kecuali terpaksa mengangguk. Tidak mungkin baginya untuk membantah. Berat apa yang telah di dengarnya berat pula yang di tanggungnya di hati. Masalah yang semula bergejolak di benak ayahnya kini berpindah pula ke kepalanya juga.

"Apa yang harus aku lakukan? Menundanya hingga minggu depan?"

"Tidak mungkin...! hanya aku yang belum melunasinya."

Suasana di dalam rumah agak gelap. Hanya diteranginya oleh cahaya lampu minyak. Di luar sesekali terdengar suara jangkrik. Seakan ada sesuatu yang di obrolkan mereka.

"Apakah aku harus berhenti sekolah...?"

Tidak...Tidak....!"

Di sela-sela kegelapan, seakan-akan nampak sesuatu yang bersinar.

"Ya! Ya! Aku mempunyai simpanan 15 ribu, jadi masih kurang 40 ribu lagi.

Aku harus melakukan sesuatu. Tapi, apa yang harus aku lakukan...?

Mampukah aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sangat singkat?

.....

"Kau tidak makan Sal..." Tanya ibuya Debaran jantung terasa sedikit kuat. Dia menarik napas panjang untuk memilihi keyakinan yang diharapkan.

"Ibu, apakah Ibu....mau Faisal terus melanjutkan sekolah?" tanyanya terputus-putus. 

Bu Ani kaget mendengar pertanyaan Faisal. Dia seakan tak percaya mendengar pertanyaan anaknya sendiri. Langkah Bu Ani terhenti. Dia berbalik, melangkah kembali ke arah Faisal.

"Faisal, apa maksudmu....? sambil matanya merenung memandang wajah anak remajanya itu. Faisal masih saja memandang nasi di dalam piringnya itu. Beberapa helai rambutnya yang lurus jatuh kewajahnya.

"Apalah gunanya Faisal sekolah Bu....kalau tidak bisa ikut ujian itu...! Ayah memintaku untuk menundanya sampai minggu depan. Pak Guru hanya memberi waktu dua hari saja. Faisal malu Bu....Hanya Faisal saja yang belum membayar uang ujian Bu." Kata Faisal saya sambil menahan sesak di dada.

Mendengar kata-kata itu perasaan Bu Ani terasa dicabik-cabik. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena dia tidak bisa membantu anaknya. Bu Ani tidak dapat membendung perasaan yang terharu. Air matanya mengalir membasahi pipi. Lalu dia memeluk erat anaknya itu. Melepaskan kesalahan yang dirasakannya.

"Maafkan Ibu, Nak, Maafkan Ibu...? suara Bu Ani tersendat-sendat.

"Ibu tidak perlu sedih dan menangis. Faisal sudah besar. Faisal sudah besar Bu...! Biarkanlah Faisal bekerja Bu....!

"Kau...? Kau mau bekerja...?" tanya Bu Ani keheranan.

"Faisal...Faisal terpaksa Bu. Faisal ingin ikut ujian itu juga. Ijinkanlah, Bu....! Bu Ani tidak dapat berkata apa-apa. Untuk sesaat dia terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia merelakan keputusan anaknya itu karena keadaan yang memaksa. Di dalam hatinya dia dapat merasakan kesungguhan niat anaknya itu. Pada serpihan hati dia berdoa agar anaknya dijauhkan dari segala kesulitan.

Faisal merasa gembira karena berhasil mendapatkan ijin dari Ibunya. Dia melangkahkan kakinya menuju ke tempat yang telah dijanjikan. Faisal ingin segera tiba di Restoran yang terletak di Hotel Berbintang 2 di Jakarta. Di sanalah terletak segala harapannya. Berhasil atau tidaknya keinginan untuk mengambil Ujian Akhir Sekolah akan diketahuinya sebentar lagi.

"Kamu ingin bekerja di sini...? tanya pemilik Restoran tersebut.

"Iya, Tuan!"

"Kamu bisa bekerja berat?"

"Akan saya coba tuan." Faisal mencoba meyakinkan orang di hadapannya itu. Orang itu berbadan tegap dan berbaju putih. Keduanya membisu sesaat.

"Baiklah, untuk permulaan kamu bekerja sementara dulu, seorang pegawai saya sedang cuti.

"Saya harap kamu rajin bekerja...!"

"Insya Allah....!" Faisal langsung menjawab. Raut mukanya nampak kegirangan. Harapannya hampir menjadi kenyataan.

Setelah mendengar penjelasan kendala yang dihadapi oleh Faisal karena dia masih sekolah, maka pemilik restoran sepakat menetapkan jam kerja Faisal dari pukul 3.00 sore hingga pukul 8.00 malam pada setiap harinya. Kemudian Haji Karim menerangkan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh Faisal. Sebagai pemula dia hanya diminta untuk bekerja mencuci piring-piring. Faisal dibawa ke suatu sudut ruangan dimana tugas tersebut harus dikerjakan.

Di sana terdapat tumpukan piring-piring, mangkok dan gelas-gelas serta dua buah panci besar menunggu kedatangan Faisal. Faisal menelan ludah setelah melihat tugas yang harus dikerjakannya itu.

"Uang...! Uang...! Aku datang ke sini karena uang." Walau bagaimanapun dia harus mengerjakannya.

Faisal melepas baju yang dipakainya. Badannya yang agak kurus hanya ditutupi dengan sehelai senglet tipis. Celana hitam yang dikenakanya di gulung sebatas lutut. Dia memulai pekerjaannya.

.....

"Kau baru bekerja di sini?" Terdengar satu suara menyapa di belakangnya.

Faisal menoleh ke arah datangnya suara itu. Dia tersenyum memandang seseorang yang berjalan menghampirinya. Seorang perempuan yang sederhana.

"Iya nyonya...!" Balas Faisal sopan.

"Panggil saja Bu Santi." Kata perempuan itu. Lalu dia berdiri di sebelah Faisal. Bu Santi telah bekerja selama lebih dari lima tahun. Selain memasak, dia juga menjadi orang kepercayaan Haji Karim.

"Kerjaan saya sudah selesai. Biar saya bantu kamu." Bu Santi menawarkan bantuan. Tangannya mulai sibuk mengangkat piring-piring yang sudah dicuci oleh Faisal. Piring-piring dimasukan ke dalam ember berisi air bersih.

.....

Setelah selesai mencuci. Faisal membantu pekerja yang lainnya. Tidak peduli pekerjaan siapa, dia mencoba membantu mereka. Haji Karim memperhatikan sikap ringan tangan yang ditunjukkan Faisal. Dia merasa puas karena mendapatkan seorang pegawai yang begitu cekatan.

"Faisal..."

"Iya Tuan...! Sahut Faisal ketika ia dipanggil majikannya.

"Ini gajimu untuk hari ini." Dia mengulurkan uang lima belas ribu.

"Terima kasih tuan," Sambut Faisal dengan bangga. Inilah uang hasil keringat yang pertama. Dalam hati dia memanjatkan syukur.

"Kau boleh pulang Faisal. Besok kan sekolah," kata Haji Karim. Dia diperkenankan pulang lebih awal dari waktu yang telah ditetapkan.

"Terima kasih...!" Walaupun baru sehari dia kerja di situ, dia telah merasakan keakraban dengan setiap orang yang baru dikenalnya.

Faisal melangkah menuju ke rumahnya. Sambil melangkah dia terus menghitung dan memikirkan tentang uang ujian yang harus dicarinya.

"Kau sudah pulang, Sal?" Sambut ibunya dimuka pintu. Hati Bu Ani legah melihat anaknya yang ditunggu-tunggunya telah pulang.

"Iya Bu. Biar Sal mandi dulu." Faisal terus berlalu kearah sumur yang tidak jauh dari rumahnya.

.....

"Ayah tidak ke Masjid?" tanya Faisal.

"Tidak..." matanya merenung, menatap sesuatu di dinding. Faisal seolah dapat menebak apa yang dirasakan oleh ayahnya.

Suasana seketika menjadi sunyi. Bu Ani berdiam diri. Begitu pula dengan Pak Mail dan Faisal. Cuma sesekali Faisal dan Ibunya saling berpandangan. Sekali lagi Faisal mengatakan hatinya untuk berkata sesuatu kepada ayahnya. Tapi kali ini dia ingin ayahnya memahami apa yang telah dilakukannya.

"Ayah.... Ayah, maaf Faisal, Faisal terpaksa melakukannya..." suara Faisal tersendat-sendat.

Kata-kata itu bagaikan ombak memecah di dada sang ayah yang tunduk membisu. Dia coba menyembunyikan perasaannya yang hancur. Sebagai seorang ayah, dia merasa sangat kesal karena tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dengan wajah sayu dia memandang anaknya itu. Lalu kedua tangannya mencengram bahu Faisal. Kerutan di dahinya menampakkan usia senjanya. Air matanya mengalir membasahi pipi. Di bawah tamaran lampu minyak, tetesan air mata itu tampak jelas berkilauan. "Ayah yang salah nak. Ayah yang salah. Maafkan Ayah," Pak Mail kemudian memeluk anaknya dengan penuh rasa haru.

"Isal... Jika terjadi sesuatu pada Ayah, kaulah sebagai pengganti ayah, " bisik sang ayah ditelinganya. Sedangkan Bu Ani hanya bisa mengusap air matanya dengan ujung kain bajunya.

.....

Hari berikutnya, Faisal lebih tenang bekerja. Hari itu piring dan mangkok sedikit yang dicuci tidak terlalu banyak. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, dia ke depan untuk membantu seperlunya.

"Faisal, tolong antarkan mi goreng ke meja nomor sepuluh.....!" Faisal mengambil sebuah nampan yang diulurkan oleh Malik. Di atasnya terdapat dua piring mie goreng dan dua gelas soft drink.

Dengan hati-hati makanan itu di bawah ke meja yang disebutkan. Tetapi segera saja ketika dia hampir sampai di meja yang dituju, langkah kakinya terhenti. Dia terdiam, begitu berat kakinya terus melangkah. Badannya terasa menggigil ketika memandang orang yang ada dihadapannya. Dia serba salah.

Berdenting gelas dan piring di atas nampan. Menetes keringat di dahi. Dalam keadaan yang serba tidak menentu itu, tiba-tiba hatinya dikejutkan ketika namanya ditegur oleh seorang.

"Faisal, Kau kerja di sini?" Tanya suara itu tercampur sedikit keberanian.

"Iya, Iya....Pak Kamal!" jawab Faisal terbata-bata. Dia mencoba mengukir senyum di bibir. Faisal menyembunyikan kegelisahannya. Segera nampan di tangannya diletakkan di atas meja. Piring mie dan minuman yang dipesan di susunnya rapi di atas meja Pak Kamal dan Isterinya, guru Faisal.

"Permisi, Pak Kamal..." kata Faisal meminta diri dengan hormat untuk melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Pak Kamal masih termangu terkejut oleh apa yang telah dilihatnya.

"Alamakk...ketahuan!" ujar Faisal dalam hati.

Keesokan paginya, dia dipanggil oleh Pak Kamal. Berita tersebut disampaikan oleh seorang pengawas. Setelah jam pelajaran Bahasa Inggris selesai, dia berjalan menuju ke ruang guru di mana Pak Kamal telah menunggunya.

"Apakah  uang ujian...?" Wajahnya seketika pucat pasi melihat uang yang ada ditangannya masih kurang.

"Ataukah... Mungkin Juga tentang kejadian semalam....? Faisal terus melangkah kakinya ke ruang guru sambil bertanya-tanya dalam hati.

.....

Faisal langsung mengetuk pintu saat di ruang guru.

"Masuk...!" sahut satu suara dari dalam. Faisal melangkah masuk dengan  hati yung berdebar. Keadaan di ruang itu tampak sedikit lenggang. Mungkin guru-guru lain masih ada di ruang masing-masing. Dia melihat Pak Tan yang duduk di sudut ruangan.

"Assalamualaikum...!"

"Waalaikumsalam...!" dia menghentikan perkerjaannya dan melihat ke arah Faisal.

"Ah...Kau, Sal. Duduklah...!" Pak Kamal mempersilahkan.

"Terima kasih." Segera dia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan mengeluarkan uang kertas. Matanya terpaku tepat pada uang kertas yang diserahkannya kepada Pak Kamal.

"Pak, saya masih kurang dua puluh ribu lagi. Besok akan saya lunasi."

Dia diam seketika. Pak Kamal menarik nafas yang panjang. Ucapan Faisal mengusik hatinya. Lalu ditatapnya sesosok tubuh yang berdiri di hadapannya dengan penuh pengertian.

"Kamu...kamu kerja di sana?"

Faisal tersengak mendengarkan pertanyaan yang diajukan Pak Kamal. Dia tidak langsung menjawab.

.....

"Bolehkah....saya tahu sebabnya? Ehmm....maksud Bapak, bagaimana dengan pelajaran kamu? Ujian semakin dekat. Tidakkah itu menggangu belajar kamu nanti?" Tanya Pak Kamal. Dia mengharapkan agar suasana itu menenangkan perasaan Faisal.

.....

"Pak, saya terpaksa bekerja. Semua itu karena saya ingin mengikuti ujian akhir."

"Ayah kamu?"

"Ayah....ayah....Suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya mulai berkaca-kaca. 

"Tak apa, Sal. Bapak mengerti maksudmu."

Pak Kamal menenangkan suasana.

"Kamu tak perlu malu Sal, kalau itu yang harus kamu lakukan. Hidup ini tidak semudah yang kamu kira. Hidup menjadi orang berhasil berbagai rintangan yang harus kita tempuh."

"Tidak semua orang yang berhasil berasal dari keluarga yang berada dan mampu. Mereka juga berakit-rakit dahulu. Sikap kamu ini harus menjadi contoh pelajar yang lain."

.....

"Terima Kasih, Pak. Saya permisi dulu."

"Tunggu dulu...!"

"Ada apa Pak? Jawab Faisal dengan sedikit heran.

"Faisal, sebenarnya..." Pak Kamal terdiam sejenak. Dia serba salah. Faisal merasa khawatir melihat perubahan muka Pak Kamal.

"Kenapa Pak?"

"Sebetulnya, iuran ujian itu harus dilunasi hari ini. Kepala sekolah akan mengirimnya siang nanti."

"Apa Pak...?" Tanya Faisal seakan tak percaya. Tubuhnya lemas seketika dan perasaannya hampa.

"Tapi, kamu tak perlu bimbang," tambah Pak Kamal. "Biarlah bapak yang melunasi kekurangannya. Bapak ikhlas. Kamu tak perlu mengembalikannya, hanya belajarlah bersungguh-sungguh. Jadilah murid terbaik di sekolah ini. Bapak akan merasa bangga jika kamu dapat memenuhi harapan itu."


Karya: Auriell Suzane.

KUTIL MARINI

Marini punya kutil di telapak tangan kirinya. Mulanya satu buah. Tetapi, sekarang sudah menjadi tiga buah. Yang satu sebesar pentul korek, dan yang duanya lagi sedikit lebih kecil. Sebel, deh, rasanya Marini, tangan halusnya mesti ditumbuhi kutil. Marini ingin mengadukannya pada Mama-Papa, tapi Marini takut. Marini takut dirinya dibawa ke rumah sakit, lantas dioperasi! Dioperasi? Hiyy...! Marini jadi merinding.

Pikir Marini, yang namanya operasi, pasti kulit kita dibelek pakai pisau tajam. Cres! Cress! Wadow, bulu kuduk Marini berdiri membayangkannya! Biar saja, deh, tuh kutil tumbul, yang penting nggak dioperasi. Lagian, kutil itu nggak terlalu mengganggu, sebab tangan kiri, kan nggak dipakai buat salaman. Kecuali kalau buang hajat (eh...joorooook), baru deh pakai tangan kiri. Dan, rasain! Kutil itu dipakai buat cebok! Siapa suruh tumbuh di situ?

"Kutil apaan, sih, Kak?" tanya Rhino, adiknya yang kelas lima SD.

"Ini nih, yang namanya kutil!" ucap Marini, sambil nunjukin kutil di telapak tangan kirinya.

"Idih! Kok, kayak jerawat Mama."

"Husy! Awas, jangan bilang-bilang Papa-Mama, ya!" ancam Marini.

"Oke deh, Kak! Tapi janji ya, Rhido diajak nonton bioskop lagi!"

"Iya deh, kalo ada film anak-anak lagi!"

"Janji ya, Kak!"

"Kutil! Eh... kutil!!!" Marini tersandung. dan berteriak-teriak menyebut kulitnya sendiri. 

"Il, cerewet!" maki Marini kemudian.

Rhino senyam-senyam sambil melirik kutil kakaknya.

Namun begitu, meski merahasiakan pada mama dan papanya, suatu sore Marini. Menceritakan kutilnya pada Sandra. Meski ketiga kutil itu nggak sakit, Marini bermaksud mengenyahkannya.

"Operasi itu nggak sakit, monyong!" Sandra memberi jalan keluar, ketika Marini memperlihatkan kutilnya yang imut itu.

"Yang lain aja deh, asal nggak dioperasi!"

"Habis, mau diapain? Berobat alternatif, maksud lu?"

"Apa tuh, berobat alternatif?"

"Berobat alternatif itu,  berobat secara tradisonal. Biasanya sama orang pintar atau semacam tabib."

"Nggak dioperasi, dong!"

"Nggak, lah! Nantinya kutil elu diusap-usap, disembur...ffuih....! Langsung, deh!"

"Hilang?"

"Nambah! Huahaha....!"Sandra tertawa-tawa sampai tubuhnya yang gembrot terguncang-guncang.

"Eh, buldog! Gue serius, nih! Kok, malah bercanda!"

"Udah deh, nanti kita tanya ke Salman aja!"

"Salman? Nggak deh, nggak! Gila kali lu, yah! Salman nggak boleh tahu masalah ini. Gue nggak mau kutil ini diketahui Salman!"

"Bokap Salman, kan dokter! Ntar lu bisa konsultasi sama bokapnya dia!"

"Ogah ah, buldog! Mending gue rawat aja, daripada dioperasi!"

"Dasar monyong! Kutil, kok, dipelihara?!"

"Monyong? Aeh, monyong!" Marini tersandung, ketika hendak meninggalkan Sandra. Sandra terkekeh-kekeh sambil megangin perutnya.

***

Seminggu kemudian Marini mendatangi Sandra pas bubaran sekolah. Sesuai kesepakatan lewat telepon semalam, siang ini mereka mencari tempat pengobatan alternatif, guna memusnahkan kutil terkutuk itu.

O ya, beberapa hari yang lalu Sandra tentang pengobatan alternatif. Selebaran itu ia dapatkan dari perempatan jalan, saat mengantar mamanya ke pasar. Seseorang menyebarkan selebaran berupa secantik kertas itu ke mobil-mobil yang melintas. Dalam selebaran itu tertera alamat lengkap si ahli pengobatan alternatif. Sederet nama-nama penyakit yang bisa diobati tertera di sana, kecuali kutil. Ahli alternatif itu bernama tabib Markum.

"Kok, kutil nggak ada?" selidik Marini setelah membaca isi selebaran itu.

"Bacanya teliti, dong! Nih, lu liat! Jantung, kencing manis, asam urat, ginjal, kanker ganas, kanker rahim, batuk menahun, tumor jinak, tumor ganas...!"

"Apa hubungannya sama kutil?" potong Marini.

"Uh, monyong... monyong! Tumor ganas aja bisa ditanggani, apalagi kutil?!"

Marini berpikir sebentar, lalu menggut-manggut.

"Pinter juga lu, buldog!"

"Jangan panggil gue buldog dong!" kali ini Sandra protes dipanggil buldog.

"Habis, gue kan nggak monyong, kok dipanggil monyong?!"

"Ya udah gimana kalu gue panggil kutil?

Si Kutil? Hehe, si Kutil! Keren juga!"

"Gembrot, gembrot! Si Gem-brot!"

"Stop! Stop! Kita damai aja! Lu jangan panggil gue buldog atau gembrot, dan gue janji nggak panggil elu monyong atau si Kutil. Oke, nyong? Aeh, hehe, ee...gimana Marini manis?" cerocos Sandra sambil menepuk pundak Marini.

"Buldog! Aeh...buldog! Gembrot! Aeh...gembrot! Aduuh...gimana, dong!"

"Weleh-weleh, abad dua puluh udah lewat, kok, masih latah aja. Non!"

"Elu sih, pake ngagetin, gitu?"

"Sori, sori! Nah, sekarang gimana dong, setuju nggak?"

"Setuju bul..., hehe, Sandra yang imut?"

"Kok, Sandra yang imut, sih? Emang gue imut?"

"Habis apa,  dong? Mau yang sebenarnya. Sandra yang......?"

"Stop! Stop! Gue setuju, Sandra yang imut!"

"Sandra yang imut, kita berangkat sekarang?"

"Nah, gitu doong!"

***


Karya: Zainal Radar T

PERGI BEKERJA

Sebenarnya terlalu dini untuk menyuruh Oliver bekerja kepada Pak Sowerberry. Tetapi, keputusan telah diambil. Pak Bumble membawa Oliver pergi ke toko Pak Sowerberry pada malam harinya. Oliver mulai menangis. Ia merasa sangat tidak bahagia dan yakin bahwa setiap orang membecinya.

Pak Sowerberry telah menutup tokonya. Dia kini sedang menulis dengan cahaya "lilin" yang kecil sangat menyedihkan. "Lilin" itu terbuat dari sebatang kayu yang tengahnya diberi sumbu.

"Kemarilah, Pak Soweberry. Saya membawa anak laki-laki yang kau maksudkan." Oliver menunduk.

"Oh, anak itukah?" tanya Pak Sowerberry sambil mengangkat "lilin"-nya di atas kepala agar bisa lebih jelas melihat wajah Oliver.

Kemudian ia teriak kepada istrinya, "Bu, maukah kau datang ke sini untuk melihat kesempatan ini, sayangku?"

Wanita kurus kecil dengan muka sangat buruk datang dari ruangan kecil di belakang toko.

"Sayangku," kata Pak Sowerberry, "ini anak laki-laki dari rumah penampungan yang kukatakan kepadamu."

Oliver menunduk lagi.

"Oh, sayang," kata wanita itu. "Dia terlaku kecil."

"Tak apa, dia hanya agak kecil," kata Pak Bumble sambil menatap tajam ke arah Oliver, seolah-olah anak itu bersalah karena bertubuh tidak lebih besar. "Dia memang kecil. Itu memang benar. Tapi dia akan segera tumbuh. Bu Sowerberry. Dia akan segera tumbuh besar."

"Ya, saya yakin dia akan tumbuh." kata wanita itu agak marah. "Dengan makanan dan minuman yang kami berikan. Anak ini terlalu mahal untuk dipelihara Kemari, masuklah ke ruang bawah, kamu hanya tulang kurus kering."

Wanita itu membuka pintu dan mendorong Oliver menuruni beberapa anak tangga menuju ruangan gelap yang biasa digunakan sebagai dapur. Seorang gadis duduk di sana. Gadis itu mengenakan sepatu dan baju usang dan banyak berlubang.

"Kemari, Charlotte," kata Bu Sowerberry, yang mengikuti Oliver turun ke ruangan itu. "Beri anak ini beberapa potong daging dingin yang kita simpan untuk makanan anjing. Anjing itu tidak datang ke rumah sejak pagi tadi, jadi daging itu tidak diperlukan lagi oleh anjing."

Mata Oliver bercahaya membayangkan tentang daging. Mereka memberi sepiring makanan anjing kepada Oliver. Oliver menyantapnya amat lahap.

Bu Sowerberry memperhatikan Oliver yang sedang makan. Dia tidak senang melihat bagaimana Oliver makan.

"Ikutlah denganku." kata Bu Sowerberry sambil membawa lampu yang kotor dan menunjukkan jalan menuju ruang atas. Tempat tidurmu di toko. Kamu tidak pernah membayangkan tidur di peti mati, kan? Kurasa begitu. Tetapi,  tidak ada tempat lain. Meskipun kamu mau atau tidak, kamu tak dapat tidur di tempat lain. Kamu harus tidur di peti mati itu. Ayo cepat, jangan membuatku berada di sini sepanjang malam!"

Ketika Oliver ditinggalkan seorang diri di toko, ia merasa sangat takut. Di sana peti mati yang hampir separuh selesai, yang terlihat seperti peti kematiannya sendiri. Potongan-potongan kayu yang berada di dinding terlihat seperti hantu. Udara di dalam toko sangatlah panas, dan bau kematian seperti melayang-layang di udara. Tempat tidur Oliver sangat sepi seperti kuburan.

Itulah tempat tidur Oliver seorang diri di tempat yang menakutkan, tanpa teman seorang pun. Oliver merasa sangat menderita. Tidak ada seorang yang mencintai atau memedulikannya. Hatinya terasa sangat berat. Sambil melangkah menuju peti mati, yang seterusnya akan dipakai sebagai ranjang ke kecilnya, ia berharap benar-benar mati dan dapat tidur selamanya di tempat itu.

Pagi harinya, Oliver mendengar suara pintu toko diketuk sangat keras. Ketukan itu diulang-ulang sekitar dua puluh kali, rupanya orang yang sedang mengetuknya sedang marah atau terburu-buru.

"Buka pintu, cepatlah!" teriak suara itu.

"Ya, akan saya buka, Pak," kata Oliver sambil memutar kunci pintu.

"Aku yakin kamu anak baru itu bukan begitu?" tanya suara itu.

"Ya, Pak," jawab Oliver.

"Berapa umurmu?"

"Sepuluh tahun, Pak,"

"Akan kupukul kau begitu aku sudah masuk ke dalam," kata suara itu.

Oliver membuka pun kecuali seorang anak laki-laki besar yang duduk di depan rumah, sedang makan roti dan mentega. Anak itu bermata kecil dan hidungnya berwarna merah.

"Apakah kamu yang mengentuk pintu?" tanya Oliver.

"Ya."

"Apakah Anda membutuhkan peti mati?" tanya Oliver.

"Sepertinya kau tidak tahu siapa aku. Kau dari rumah penampungan, ya?"

"Bukan, Pak," sahut Oliver.

"Aku Noah Claypole," kata anak laki-laki itu, "Dan kamu akan bekerja di bawah pekerja yang malas!" Sambil berkata begitu, Noah Claypole memukul Oliver dan melangkah masuk ke toko.

***

Pak Sowerberry dan istrinya datang beberapa saat kemudian. Oliver diikuti Noah Claypole masuk ke dapur untuk sarapan pagi. 

"Pergilah ke dekat perapian, Noah," kata Charlotte. "Aku menyimpan beberapa potong daging yang lezat untuk sarapanmu. Oliver,  tutuplah pintu di belakang Noah,  dan ambilah beberapa potong daging yang telah kusiapkan untukmu. Tehmu ada di sana. Bawalah dengan kotak di sana. Cepatlah,  mereka ingin agar kamu segera ke toko. Kamu dengar?"

"Kamu dengar, Gembel?" Noah Claypole ikut berteriak.

"Oh, Noah!" seru Charlotte. "Mengapa kau memanggil dia seperti itu? Kau lucu. Mengapa kau tidak membiarkan dia sendirian?"

"Baiklah, mari kita biarkan dia sendiri!" kata Noah. "Semua orang membiarkan dia sendiri!" kata Noah. "Semua orang membiarkan dia sendirian. Ayah dan ibunya membiarkan dia sendiri, begitu pula dengan keluarganya. Bukankah begitu, Charlotte?"

"Oh, kau lucu," kata gadis itu sambil tertawa mendengar olok-olok Noah.

Noah juga mulai tertawa. Keduanya asyik melihat Oliver Twist yang malang yang sedang duduk di atas kotak kayu di sudut yang paling dingin di ruang makan, sambil  menyantap beberapa potongan roti yang sudah keras.

Noah adalah anak laki-laki miskin, tetapi tidak berasal dari rumah penampungan. Dia tahu siapa orang tuanya. Ibunya bekerja sebagai pencuci pakaian, dan ayahnya adalah tentara yang terlalu sering mabuk. Karena itu, anak laki-laki lain yang bekerja di toko ini dulu bersikap kasar kepadanya, sehingga Noah senang sekarang melihat Oliver datang, karena sekarang ia dapat bersikap kasar pada Oliver.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK