....Tuhan telah mempertemukan aku dengan kehidupan yang tenang. Ya! Kayakinan dan kesabaran adalah anak-anak tangga yang harus didaki untuk mencapai keberhasilan....!" kata Faisal dalam hati.
Hari itu dia tidak bekerja. Faisal sengaja mengambil cuti sehari. Setiap kali dia ada waktu luang, tempat itulah yang menjadi pilihan utamannya. Dia tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk melihat keindahan alam. Dia juga tidak perlu susah payah mencari kedamaian. Di sana semuanya ada.
Tapi entah mengapa senja itu seakan ada yang terlewatkan. Keindahan yang dicarinya tidak tampak kedamaian yang diharapkan pun tidak tampak kedamaian yang diharapkan pun tidak terasa. Hingga dia dibungkam dengan kesepian dan kesunyian. Mungkin langkahnya di petang itu di bekali oleh beberapa masalah yang memerlukan penyelesaian segera.
Faisal menghembuskan napas panjang. Diluapkan pula segala persoalan yang menghadap dalam benaknya. Pikirannya melayang ke suatu kehidupan yang dilaluinya dua tahun yang lalu.
Setelah mengucapkan salam, Pak Mail menyusun jarinya memohon doa kehadirat Ilahi. Doanya pendek dan singkat. Lalu dia berjalan ke pintu untuk segera pulang. Tidak seperti biasanya dia mengobrol sebentar bersama jemaah lain di beranda. Pikirannya kalau memikirkan masalah yang di hadapinya. Lelah dia memeras otak mencari penyelesaian masalah tersebut. Tetapi pikirannya buntu.
Langkahnya gontai menuju ke rumah dikontrakannya. Di dalam pondok inilah Pak Mail bersama istrinya dan keenam orang anaknya berteduh. Lorong jalan yang dilaluinya agak gelap, hanya diterangi sinar lampu diujung persimpangan jalan.
Setelah dia sampai di kaki tangga, dia berhenti sejenak. Merenung memandang rumah kecil yang dikontraknya. Rumahnya terlihat agak sepi. Cahaya lampu bulat yang menerangi ruang dalam terpancar keluar melalui lubang-lubang papan yang telah lapuk. Cahaya itu tampak samar-samar di tanah.
"Inilah rumahku. Inilah istanaku....!"
"Apakah....apakah sisa hidupku berakhir di sini?!"
"Oh!Tuhan....apakah ini artinya hidup?" bisik hatinya.
Peci di kepalanya digantungkan pada dinding yang telah separuh usia. Dengan ekor matanya dia melirik ke arah anak-anaknya. Faisal anak sulungnya bersama dua orang adiknya yaitu Nizam dan Andi. Mereka nampak lebih sibuk dengan pekerjaan sekolah mereka masing-masing. Faisal dan adik-adiknya berbagi tempat belajar si atas meja yang di buat Pak Mail sendiri.
Faisal seorang pelajar tingkat SMU kelas tiga. Dia akan menghadapi ujian akhir pada tahun ini. Nizam kelas dua SMU sekolah yang sama dengan abangnya. Sedangkan Andi duduk di bangku kelas tiga SMP. Di lantai, Faiza berbaring sambil menggambar sesuatu. Dia duduk di bangku kelas satu SMP, dan satu sekolah juga dengan Andi.
Di sudut yang lain Farha dan anak bungsunya Fazilah tampak tertidur pulas. Pak Mail berjalan ke arah kedua orang anaknya itu. Dia meraih sehelai kain batik dan menyelimutikannya ke atas badan kedua orang anaknya. Dengan mata sayu Pak Mail memandang mereka berdua.
Di dapur Bu Ani sudah siap menghidangkan makan malam untuk Pak Mail. Sayur daun ubi, ikan sepat goreng dan sambal. Pak Mail duduk bersila menghadap hidangan yang telah disiapkan oleh ibu Ani. Pak Mail menghadiahkan senyuman kepada istrinya. Bu Ani seperti mengerti apa yang berkecamuk di pikiran suaminya itu.
"Anak-anak sudah makan?" Tanya Pak Mail dengan suara yang lemah.
"Sudah...! Hanya sepatah kata yang keluar dari mulut ibu Ani....
Bu Ani merasa mendesak. Mau tidak mau masalah itu harus dibicarakan. Sejak siang tadi tiga kali anaknya mengingatkannya tentang masalah itu. Bu Ani menguatkan niatnya.
"Bang...!"
Panggilan Bu Ani tidak terbalas. Mungkin Pa Mail tidak mendengar panggilan itu, pikirnya.
"Abang...bagaimana dengan uang ujian Faisal? Hanya tinggal dua sampai tiga hari lagi," Tanya Bu Ani.
Berdegup jantung mendengar pertanyaan itu. Nasi di tangannya jatuh. Tenggorokannya tersekat. Dia memandang tepat pada istrinya dengan tatapan muram. Hati Bu Ani tersentuh. Kesal hati Pak Mail mendengar pertanyaan itu, kemudian dia mencuci tangannya. Lalu dia berkata perlahan sebelum meninggalkan Bu Ani.
"Tak usah kau bimbang Ani, abang akan usahakan..."
Pak Mail berjalan perlahan lalu duduk di atas anak tangga. Sambil kakinya tergantung di bawah, Tangannya membuka dan melipat sehelai daun rokok. Pikirannya langsung melayang jauh memikirkan masalah yang harus diselesaikannya. Di luar agak tampak gelap, segelap kehidupannya. Bulan pun tak tampak yang ada cuma dua tiga buah bintang yang berkelip-kelip. Dari jauh didapat melihat hiasan cahaya lampu di persimpangan jalan.
"Di mana aku bisa mendapatkan uang ujian Faisal? Dimana? Dimana akan mencarinya dalam tiga hari....? Kalau tidak dapat bagaimana...? Oh Tuhan, tolonglah aku!" Pak Mail berpikir sambil mengharapkan pertolongan dari Tuhan.
Kemudian pandangannya dialihkan kepada becak roda tiga yang teronggok di bawah pohon nangka. Dialah teman hidup Pak Mail. Dialah sumber rejekinya. Setiap pagi dia mengayuh becaknya di sekitar pasar untuk mencari penumpang. Pak Mail menghitung sesuatu dengan jarinya. Paling banyak pendapatannya hanyalah 25 ribu rupiah sehari. Dikurangi 7.500 rupiah untuk di setorkan kepada Haji Darus pemilik becak yang digunakannya.
"Bagaimana aku bisa menabung? Untuk belanja pun tidak cukup" terbersit rasa kesal karena dia tidak pernah mencoba menabung.
"Uang untuk Faisal? Di mana aku untuk mencarinya? Kembali pertanyaan itu menerjang pikirannya. Dahinya berdenyut. Dia mengaruk-garuk kepalanya yang mulai botak.
"Sal, ayah belum punya uang. Mintalah waktu sampai minggu depan." Suara Pak Mail bercampur keraguan. Sambil tangganya mencengkram erat lengan anaknya.
Faisal memahami arti cengkraman itu. Dia dapat merasakan kesedihan yang tertanam di lubuk hati ayahnya. Di luar, malam telah beranjak. Faisal menutup buku di tanggannya. Dia merebahkan badannya di sehelai tikar usang di sisi meja. Ibu dan adik-adiknya telah usang di sisi meja. Ibu dan adik-adiknya telah lama tidur. Kelopak matanya masih berkedip-kedip, sudah dia memejamkan matanya.
"Mana mungkin bisa menangguhkan sampai minggu depan?"
Betapa sedih perasaannya ketika mendengar jawaban dari ayahnya. Dia tidak memiliki pilihan lain kecuali terpaksa mengangguk. Tidak mungkin baginya untuk membantah. Berat apa yang telah di dengarnya berat pula yang di tanggungnya di hati. Masalah yang semula bergejolak di benak ayahnya kini berpindah pula ke kepalanya juga.
"Apa yang harus aku lakukan? Menundanya hingga minggu depan?"
"Tidak mungkin...! hanya aku yang belum melunasinya."
Suasana di dalam rumah agak gelap. Hanya diteranginya oleh cahaya lampu minyak. Di luar sesekali terdengar suara jangkrik. Seakan ada sesuatu yang di obrolkan mereka.
"Apakah aku harus berhenti sekolah...?"
Tidak...Tidak....!"
Di sela-sela kegelapan, seakan-akan nampak sesuatu yang bersinar.
"Ya! Ya! Aku mempunyai simpanan 15 ribu, jadi masih kurang 40 ribu lagi.
Aku harus melakukan sesuatu. Tapi, apa yang harus aku lakukan...?
Mampukah aku mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu yang sangat singkat?
"Kau tidak makan Sal..." Tanya ibuya Debaran jantung terasa sedikit kuat. Dia menarik napas panjang untuk memilihi keyakinan yang diharapkan.
"Ibu, apakah Ibu....mau Faisal terus melanjutkan sekolah?" tanyanya terputus-putus.
Bu Ani kaget mendengar pertanyaan Faisal. Dia seakan tak percaya mendengar pertanyaan anaknya sendiri. Langkah Bu Ani terhenti. Dia berbalik, melangkah kembali ke arah Faisal.
"Faisal, apa maksudmu....? sambil matanya merenung memandang wajah anak remajanya itu. Faisal masih saja memandang nasi di dalam piringnya itu. Beberapa helai rambutnya yang lurus jatuh kewajahnya.
"Apalah gunanya Faisal sekolah Bu....kalau tidak bisa ikut ujian itu...! Ayah memintaku untuk menundanya sampai minggu depan. Pak Guru hanya memberi waktu dua hari saja. Faisal malu Bu....Hanya Faisal saja yang belum membayar uang ujian Bu." Kata Faisal saya sambil menahan sesak di dada.
Mendengar kata-kata itu perasaan Bu Ani terasa dicabik-cabik. Sebagai seorang ibu dia merasa bersalah karena dia tidak bisa membantu anaknya. Bu Ani tidak dapat membendung perasaan yang terharu. Air matanya mengalir membasahi pipi. Lalu dia memeluk erat anaknya itu. Melepaskan kesalahan yang dirasakannya.
"Maafkan Ibu, Nak, Maafkan Ibu...? suara Bu Ani tersendat-sendat.
"Ibu tidak perlu sedih dan menangis. Faisal sudah besar. Faisal sudah besar Bu...! Biarkanlah Faisal bekerja Bu....!
"Kau...? Kau mau bekerja...?" tanya Bu Ani keheranan.
"Faisal...Faisal terpaksa Bu. Faisal ingin ikut ujian itu juga. Ijinkanlah, Bu....! Bu Ani tidak dapat berkata apa-apa. Untuk sesaat dia terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia merelakan keputusan anaknya itu karena keadaan yang memaksa. Di dalam hatinya dia dapat merasakan kesungguhan niat anaknya itu. Pada serpihan hati dia berdoa agar anaknya dijauhkan dari segala kesulitan.
Faisal merasa gembira karena berhasil mendapatkan ijin dari Ibunya. Dia melangkahkan kakinya menuju ke tempat yang telah dijanjikan. Faisal ingin segera tiba di Restoran yang terletak di Hotel Berbintang 2 di Jakarta. Di sanalah terletak segala harapannya. Berhasil atau tidaknya keinginan untuk mengambil Ujian Akhir Sekolah akan diketahuinya sebentar lagi.
"Kamu ingin bekerja di sini...? tanya pemilik Restoran tersebut.
"Iya, Tuan!"
"Kamu bisa bekerja berat?"
"Akan saya coba tuan." Faisal mencoba meyakinkan orang di hadapannya itu. Orang itu berbadan tegap dan berbaju putih. Keduanya membisu sesaat.
"Baiklah, untuk permulaan kamu bekerja sementara dulu, seorang pegawai saya sedang cuti.
"Saya harap kamu rajin bekerja...!"
"Insya Allah....!" Faisal langsung menjawab. Raut mukanya nampak kegirangan. Harapannya hampir menjadi kenyataan.
Setelah mendengar penjelasan kendala yang dihadapi oleh Faisal karena dia masih sekolah, maka pemilik restoran sepakat menetapkan jam kerja Faisal dari pukul 3.00 sore hingga pukul 8.00 malam pada setiap harinya. Kemudian Haji Karim menerangkan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh Faisal. Sebagai pemula dia hanya diminta untuk bekerja mencuci piring-piring. Faisal dibawa ke suatu sudut ruangan dimana tugas tersebut harus dikerjakan.
Di sana terdapat tumpukan piring-piring, mangkok dan gelas-gelas serta dua buah panci besar menunggu kedatangan Faisal. Faisal menelan ludah setelah melihat tugas yang harus dikerjakannya itu.
"Uang...! Uang...! Aku datang ke sini karena uang." Walau bagaimanapun dia harus mengerjakannya.
Faisal melepas baju yang dipakainya. Badannya yang agak kurus hanya ditutupi dengan sehelai senglet tipis. Celana hitam yang dikenakanya di gulung sebatas lutut. Dia memulai pekerjaannya.
"Kau baru bekerja di sini?" Terdengar satu suara menyapa di belakangnya.
Faisal menoleh ke arah datangnya suara itu. Dia tersenyum memandang seseorang yang berjalan menghampirinya. Seorang perempuan yang sederhana.
"Iya nyonya...!" Balas Faisal sopan.
"Panggil saja Bu Santi." Kata perempuan itu. Lalu dia berdiri di sebelah Faisal. Bu Santi telah bekerja selama lebih dari lima tahun. Selain memasak, dia juga menjadi orang kepercayaan Haji Karim.
"Kerjaan saya sudah selesai. Biar saya bantu kamu." Bu Santi menawarkan bantuan. Tangannya mulai sibuk mengangkat piring-piring yang sudah dicuci oleh Faisal. Piring-piring dimasukan ke dalam ember berisi air bersih.
Setelah selesai mencuci. Faisal membantu pekerja yang lainnya. Tidak peduli pekerjaan siapa, dia mencoba membantu mereka. Haji Karim memperhatikan sikap ringan tangan yang ditunjukkan Faisal. Dia merasa puas karena mendapatkan seorang pegawai yang begitu cekatan.
"Faisal..."
"Iya Tuan...! Sahut Faisal ketika ia dipanggil majikannya.
"Ini gajimu untuk hari ini." Dia mengulurkan uang lima belas ribu.
"Terima kasih tuan," Sambut Faisal dengan bangga. Inilah uang hasil keringat yang pertama. Dalam hati dia memanjatkan syukur.
"Kau boleh pulang Faisal. Besok kan sekolah," kata Haji Karim. Dia diperkenankan pulang lebih awal dari waktu yang telah ditetapkan.
"Terima kasih...!" Walaupun baru sehari dia kerja di situ, dia telah merasakan keakraban dengan setiap orang yang baru dikenalnya.
Faisal melangkah menuju ke rumahnya. Sambil melangkah dia terus menghitung dan memikirkan tentang uang ujian yang harus dicarinya.
"Kau sudah pulang, Sal?" Sambut ibunya dimuka pintu. Hati Bu Ani legah melihat anaknya yang ditunggu-tunggunya telah pulang.
"Iya Bu. Biar Sal mandi dulu." Faisal terus berlalu kearah sumur yang tidak jauh dari rumahnya.
"Ayah tidak ke Masjid?" tanya Faisal.
"Tidak..." matanya merenung, menatap sesuatu di dinding. Faisal seolah dapat menebak apa yang dirasakan oleh ayahnya.
Suasana seketika menjadi sunyi. Bu Ani berdiam diri. Begitu pula dengan Pak Mail dan Faisal. Cuma sesekali Faisal dan Ibunya saling berpandangan. Sekali lagi Faisal mengatakan hatinya untuk berkata sesuatu kepada ayahnya. Tapi kali ini dia ingin ayahnya memahami apa yang telah dilakukannya.
"Ayah.... Ayah, maaf Faisal, Faisal terpaksa melakukannya..." suara Faisal tersendat-sendat.
Kata-kata itu bagaikan ombak memecah di dada sang ayah yang tunduk membisu. Dia coba menyembunyikan perasaannya yang hancur. Sebagai seorang ayah, dia merasa sangat kesal karena tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Dengan wajah sayu dia memandang anaknya itu. Lalu kedua tangannya mencengram bahu Faisal. Kerutan di dahinya menampakkan usia senjanya. Air matanya mengalir membasahi pipi. Di bawah tamaran lampu minyak, tetesan air mata itu tampak jelas berkilauan. "Ayah yang salah nak. Ayah yang salah. Maafkan Ayah," Pak Mail kemudian memeluk anaknya dengan penuh rasa haru.
"Isal... Jika terjadi sesuatu pada Ayah, kaulah sebagai pengganti ayah, " bisik sang ayah ditelinganya. Sedangkan Bu Ani hanya bisa mengusap air matanya dengan ujung kain bajunya.
Hari berikutnya, Faisal lebih tenang bekerja. Hari itu piring dan mangkok sedikit yang dicuci tidak terlalu banyak. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, dia ke depan untuk membantu seperlunya.
"Faisal, tolong antarkan mi goreng ke meja nomor sepuluh.....!" Faisal mengambil sebuah nampan yang diulurkan oleh Malik. Di atasnya terdapat dua piring mie goreng dan dua gelas soft drink.
Dengan hati-hati makanan itu di bawah ke meja yang disebutkan. Tetapi segera saja ketika dia hampir sampai di meja yang dituju, langkah kakinya terhenti. Dia terdiam, begitu berat kakinya terus melangkah. Badannya terasa menggigil ketika memandang orang yang ada dihadapannya. Dia serba salah.
Berdenting gelas dan piring di atas nampan. Menetes keringat di dahi. Dalam keadaan yang serba tidak menentu itu, tiba-tiba hatinya dikejutkan ketika namanya ditegur oleh seorang.
"Faisal, Kau kerja di sini?" Tanya suara itu tercampur sedikit keberanian.
"Iya, Iya....Pak Kamal!" jawab Faisal terbata-bata. Dia mencoba mengukir senyum di bibir. Faisal menyembunyikan kegelisahannya. Segera nampan di tangannya diletakkan di atas meja. Piring mie dan minuman yang dipesan di susunnya rapi di atas meja Pak Kamal dan Isterinya, guru Faisal.
"Permisi, Pak Kamal..." kata Faisal meminta diri dengan hormat untuk melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Pak Kamal masih termangu terkejut oleh apa yang telah dilihatnya.
"Alamakk...ketahuan!" ujar Faisal dalam hati.
Keesokan paginya, dia dipanggil oleh Pak Kamal. Berita tersebut disampaikan oleh seorang pengawas. Setelah jam pelajaran Bahasa Inggris selesai, dia berjalan menuju ke ruang guru di mana Pak Kamal telah menunggunya.
"Apakah uang ujian...?" Wajahnya seketika pucat pasi melihat uang yang ada ditangannya masih kurang.
"Ataukah... Mungkin Juga tentang kejadian semalam....? Faisal terus melangkah kakinya ke ruang guru sambil bertanya-tanya dalam hati.
Faisal langsung mengetuk pintu saat di ruang guru.
"Masuk...!" sahut satu suara dari dalam. Faisal melangkah masuk dengan hati yung berdebar. Keadaan di ruang itu tampak sedikit lenggang. Mungkin guru-guru lain masih ada di ruang masing-masing. Dia melihat Pak Tan yang duduk di sudut ruangan.
"Assalamualaikum...!"
"Waalaikumsalam...!" dia menghentikan perkerjaannya dan melihat ke arah Faisal.
"Ah...Kau, Sal. Duduklah...!" Pak Kamal mempersilahkan.
"Terima kasih." Segera dia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya dan mengeluarkan uang kertas. Matanya terpaku tepat pada uang kertas yang diserahkannya kepada Pak Kamal.
"Pak, saya masih kurang dua puluh ribu lagi. Besok akan saya lunasi."
Dia diam seketika. Pak Kamal menarik nafas yang panjang. Ucapan Faisal mengusik hatinya. Lalu ditatapnya sesosok tubuh yang berdiri di hadapannya dengan penuh pengertian.
"Kamu...kamu kerja di sana?"
Faisal tersengak mendengarkan pertanyaan yang diajukan Pak Kamal. Dia tidak langsung menjawab.
"Bolehkah....saya tahu sebabnya? Ehmm....maksud Bapak, bagaimana dengan pelajaran kamu? Ujian semakin dekat. Tidakkah itu menggangu belajar kamu nanti?" Tanya Pak Kamal. Dia mengharapkan agar suasana itu menenangkan perasaan Faisal.
"Pak, saya terpaksa bekerja. Semua itu karena saya ingin mengikuti ujian akhir."
"Ayah kamu?"
"Ayah....ayah....Suaranya tercekat di tenggorokan. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Tak apa, Sal. Bapak mengerti maksudmu."
Pak Kamal menenangkan suasana.
"Kamu tak perlu malu Sal, kalau itu yang harus kamu lakukan. Hidup ini tidak semudah yang kamu kira. Hidup menjadi orang berhasil berbagai rintangan yang harus kita tempuh."
"Tidak semua orang yang berhasil berasal dari keluarga yang berada dan mampu. Mereka juga berakit-rakit dahulu. Sikap kamu ini harus menjadi contoh pelajar yang lain."
"Terima Kasih, Pak. Saya permisi dulu."
"Tunggu dulu...!"
"Ada apa Pak? Jawab Faisal dengan sedikit heran.
"Faisal, sebenarnya..." Pak Kamal terdiam sejenak. Dia serba salah. Faisal merasa khawatir melihat perubahan muka Pak Kamal.
"Kenapa Pak?"
"Sebetulnya, iuran ujian itu harus dilunasi hari ini. Kepala sekolah akan mengirimnya siang nanti."
"Apa Pak...?" Tanya Faisal seakan tak percaya. Tubuhnya lemas seketika dan perasaannya hampa.
"Tapi, kamu tak perlu bimbang," tambah Pak Kamal. "Biarlah bapak yang melunasi kekurangannya. Bapak ikhlas. Kamu tak perlu mengembalikannya, hanya belajarlah bersungguh-sungguh. Jadilah murid terbaik di sekolah ini. Bapak akan merasa bangga jika kamu dapat memenuhi harapan itu."
Karya: Auriell Suzane.