CAMPUR ADUK

Tuesday, February 5, 2019

LOST IN BEIJING

Entah bagaimana aku jadi terpisah dengan rombongan tur yang aku ikuti. Begitu ke luar dari toilet bandara, tiba-tiba rombongan yang tadi berkumpul di lobi itu sudah tidak ada. Tuhan… bagaimana ini? Aku benar-benar tidak mengenal negeri asing ini. Dalam kebingungan, aku berjalan meninggalkan lobi bandara sambil menyeret koperku yang memang tidak penuh terisi. Aku memandang berkeliling dengan panik. Orang-orang yang aku kenal, sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Aku telah berada di negeri yang selama ini menjadi impianku untuk bisa menjejakkan kaki di atas tanahnya. Tapi, sekarang aku malah menjadi orang hilang. Benar-benar… akh!

Rasanya sudah lebih dari sepuluh menit aku berjalan sambil menyeret koperku, tapi pemandangan yang aku lihat masih sama. Aku terkesima. Bandara ini benar-benar luas. Sangat berbeda dengan bandara di kota asalku. Ya Tuhan… aku benar-benar sudah jadi orang hilang. Sementara orang-orang yang satu rombongan denganku itu mungkin sedang bergembira menikmati suasana kota ini. Memikirkan itu, sungguh membuatku kesal. Tenggelam dalam lamunanku sendiri, tiba-tiba seseorang menabrakku. Tabrakan itu begitu cepat dan membuatku nyaris jatuh terjengkang. Tapi dengan cekatan, tangan orang yang bertabrakan denganku itu meraih lenganku. Menahanku agar tidak terjatuh sambil mengucapkan kalimat dalam bahasa Mandarin yang cepat. Tapi setelah melihat sosokku, ia mengulang ucapannya dalam bahasa Inggris.

“Oh, sorry,” katanya. “are you okay?”

Aku tidak langsung menjawab karena begitu terkesima melihat sosok laki-laki di hadapanku itu.

“I–I’m okay,” sahutku agak terbata.

Laki-laki itu sekali lagi menatapku seksama dengan mata sipitnya. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.

“Thank you,” kataku mengerti apa yang dipikirkannya.

“Welcome,” balasnya sambil tersenyum.

Oh! senyumannya membuatku membeku. Sungguh manis penuh ketulusan. Aku membalas senyuman itu dengan sedikit canggung.

Kemudian seperti tersadar, ia melepaskan lenganku.

“Better I go now,” ucapnya. “have a nice trip, Lady.”

Laki-laki itu menunduk sopan dan siap melangkah pergi. Tapi entah apa yang membuatku berani bereaksi untuk menarik jaketnya sambil berkata, “Please, don’t go,”

Sesaat ia kembali menatapku. Pandangannya kali ini penuh selidik. Namun kemudian raut wajahnya melunak. Lalu ia bertanya, “Are you lost?” Pertanyaannya yang begitu tepat serasa menusuk dadaku. “Um.. yeah,” jawabku sambil tertunduk malu.

“Where are you from?”

“Indonesia.”

“A tour group?” kembali ia menebak dengan tepat.

Aku menjawab dengan anggukan.

“What can I do for you?” Aku tidak langsung menjawab dan hanya menatap.

“If you don’t need me, why are you holding me?”

“I just..”

“What?”

“I just afraid..” lanjutku. “because I know nothing about this place and you are so friendly,”
Ia tertawa kecil. “Okay, that make sense,” katanya.

“I’m sorry..”

“No need to say,” ujarnya. “I can understand your situation.”

Aku tersenyum penuh terima kasih. “So, will you help me?”

“No problem,” jawabnya sambil balas tersenyum.

“I didn’t bother you?”

Ia menggeleng. “Nope.”

“Really?”

“Yes.”

“Ah, xie xie ni,” ucapku spontan.

“Oh, you can speak Mandarin?” tanyanya penasaran.

“Only a few.”

“Not bad.”

Aku tersenyum.

Ia balas tersenyum dan bertanya, “Now, where are we going?”

“Can you take me to this inn?” tanyaku seraya memperlihatkan tour list yang aku bawa.

Ia mengangguk dalam senyuman setelah membaca tour list yang aku tunjukkan padanya. “No problem,” ujarnya.

“Thank you so much.”

“Because you are lucky today, Lady.”

“Am I?” tanyaku.

Sekali lagi ia mengangguk dalam senyuman. “You believe me?”

Aku mengangguk. “Tight your coat, Lady,” katanya dan tanpa basa-basi, ia meraih tanganku dan membawaku pergi meninggalkan bandara yang super sibuk itu.

Tiba di depan bandara, ia langsung berjalan mendekati sebuah taksi. Ia menyapa seorang supir taksi dengan akrab. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mereka berbincang dengan bahasa Mandarin yang cepat sekali. Tapi aku mengerti keduanya juga membicarakanku, karena sesekali si supir taksi melempar tatapannya padaku. “Romeo, today is your day,” si sopir taksi berkata demikian sebelum ia ke luar dari taksi dan menyerahkan kuncinya kepada penyelamatku itu. Si sopir taksi menepuk pelan pundak laki-laki yang dipanggilnya Romeo itu dan berlalu pergi begitu saja.

“Look,” katanya kepadaku. “we are lucky today.”

“Um, this is okay?” tanyaku.

“Don’t worry, Lady, he is my friend,” jawabnya.

Aku tersenyum agak canggung.

Ia seperti menangkap keraguanku, lalu mendekatkankan wajahnya ke wajahku dan berkata, “If you want to believe me, believe me with sincerity, or just leave me.”

Kata-katanya membuat hatiku mencelos. Ia benar, akulah yang menahannya, dan ia yang dengan sukarela membuang waktunya untuk membantuku. Sekarang malah aku yang meragukannya. Benar-benar tidak tahu diri aku ini. “I’m sorry,” kataku segera.

“Just tell me you believe me,” sahutnya.

“I believe you.”

Romeo (meskipun aku tak yakin itu nama aslinya) tersenyum. “That’s good, Lady,” katanya. Lalu membukakan pintu depan taksi. “Please…”

Aku tersenyum, dan tanpa ragu melangkah masuk ke dalam taksi. Kemudian ia masuk ke tempat duduk sopir, menghidupkan mesin, dan segera melaju meninggalkan Bandara International Ibukota Beijing.

Dia membawaku melewati jalan utama kota dengan kecepatan normal. Beijing, kota ini benar-benar membuatku takjub. Aku dapat menangkap setiap pemandangan yang ada di kanan dan kiri jalan raya. Ditambah lagi dengan nuansa merah dan keemasan dedaunan pohon maple di musim gugur seperti ini. Sungguh pemandangan yang luar biasa, yang tidak akan pernah aku temukan di kotaku. Angin yang berhembus membawa hawa dingin. Niatku untuk terus membuka jendela aku urungkan.

Aku melirik sosok di sebelahku. Aku juga tidak tahu dari mana datangnya rasa percaya ini. Tapi sejak ia menangkapku ketika hampir terjatuh di bandara tadi, aku merasakan ia adalah sosok laki-laki yang baik. Romeo, itulah nama panggilan yang memang cocok untuknya. Aku sungguh beruntung bisa bertemu dengan laki-laki sebaik Romeo di negeri asing seperti ini. Sesaat, itu sungguh membuatku lupa pada orang-orang yang telah meninggalkan aku sendirian di bandara. Apa yang mereka kerjakan sekarang? Masihkah mereka tidak menyadari bahwa aku sudah hilang? Pertanyaan itu berulang kali terlintas dalam benakku.

“Lady, Beijing huan ying ni!” ucap Romeo membuyarkan lamunanku.

“Eh?” sahutku bingung.

Romeo tertawa. “I mean, welcome to Beijing!” ia berseru sekali lagi.

“Oh, xiexie ni,” aku bergaya menjawab dengan bahasa Mandarin.

Romeo tertawa renyah. “Maybe, you have to learn Mandarin more,” katanya.

“I really want it,” kataku.

“Are you?”

“Yes, I am.”

“Wow, nice to know that.”

Kami kembali tertawa bersama. Oh Tuhan.. aku benar-benar berharap waktu berhenti sekarang juga. Sehingga aku tidak akan pernah melewatkan momen menyenangkan ini. Selama di perjalanan, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya setiap kali melihat bangunan yang menarik. Sambil menyetir, Romeo menceritakan padaku sejarah atau kisah dari setiap bangunan atau jalan yang kami lewati. “You really like a guide,” komentarku.

“Really?” tanyanya. Aku mengangguk. Romeo tertawa lagi. Aku suka melihat tawanya. Matanya yang sipit total terpejam setiap kali ia tertawa. Logat aslinya membuat setiap ucapan Bahasa Inggrisnya terdengar berbeda dan lucu.

“I hope, you are not sad anymore, Lady,” ujarnya.

“No, I’m not sad,” jawabku. “I just confused and afraid. Because this place is totally strange for me.”

Romeo menatapku, lalu mengangguk dalam senyuman. “First time to visit?”

“Yes.”

“Oh, I hope you’re not chary to come back here after all of this.”

Aku tersenyum. “Of course not,” sahutku.

Romeo tersenyum. “Happy to know that,” ujarnya.

Aku membalas senyuman itu.

Bagaimana mungkin aku bisa jera? Jika suatu hari nanti aku bisa kembali ke kota ini dan bertemu lagi dengan Romeo. Aku tidak akan pernah melewatkan kesempatan itu. Aku juga tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya mengenai penginapan yang sedang kami tuju sekarang ini. Romeo dengan senang hati menceritakan tentang penginapan yang menjadi pilihan kelompok tur yang aku ikuti. Kata Romeo, meski penginapan yang kami pilih tidak termasuk kategori hotel berbintang, tetapi layak untuk menjadi pilihan.

Selain tidak terlalu jauh dari Bandara International Ibukota Beijing, penginapan tersebut juga dekat dengan tempat-tempat yang cukup menyenangkan untuk dikunjungi. Dan sungguh, hal itu membuatku menjadi semakin tidak sabar untuk segera tiba di penginapan dan melihat-lihat. Aku juga tidak keberatan jika memang sudah ketinggalan tur. Karena aku bisa pergi tur sendiri bersama Romeo, begitu pikirku.

Setelah dua puluh menit berada di jalanan kota Beijing yang begitu padat dan sibuk, akhirnya taksi yang Romeo kendarai berbelok menuju jalan yang lebih kecil dan berjalan masuk ke sebuah gang. Kemudian taksi berhenti di pelataran sebuah bangunan yang lebih mirip dengan apartemen-apartemen yang pernah ku lihat di televisi. Namun bisa dipastikan, kami sudah berada di tempat yang benar. Papan yang tertera di bangunan menjelaskan semuanya. Ini memang penginapan yang kami tuju. Hanya saja, di pelataran parkirnya hanya tampak beberapa mobil pribadi. Dugaanku, aku memang sudah ketinggalan tur.

Romeo membantuku mengeluarkan koper dari bagasi dan bersikeras membawakannya. Aku berterima kasih untuk itu, yang hanya dijawabnya dengan senyuman. Sambil menarik koperku, Romeo dan aku berjalan bersebelahan menuju penginapan. Benakku asyik dengan pikiranku sendiri. Setelah ini aku akan segera mandi dan berganti pakaian. Lalu aku bisa melanjutkan tur pribadiku dengan pemandu wisata yang baik hati dan tampan. Aku tersenyum sendiri ketika memikirkan hal itu. Begitu menjejakkan kakiku melewati pintu masuk, aku dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menghambur memelukku. Romeo pun hanya bisa terkesima karenanya.

“Ku kira aku nggak akan pernah bisa melihatmu lagi, Nin,” ucap perempuan itu terisak, sambil terus memelukku. Ternyata yang menubrukku itu adalah teman baikku yang juga ikut dalam tur ini. Namanya Rima. Aku mencoba menenangkan Rima sebisaku. Akhirnya ia bisa lebih tenang dan melepaskan pelukannya. Di belakang tubuh Rima, aku juga bisa melihat orang-orang dengan ekspresi cemas yang juga berdatangan padaku kemudian.

“Terima kasih, teman-teman,” kataku kepada mereka semua. “aku baik-baik saja.”

“Oh, syukurlah kalau begitu,” ucap beberapa dari para peserta tur tampak lega.

Ternyata mereka tidak meninggalkan aku. Mereka bahkan memilih untuk terus menunggu di penginapan alih-alih melanjutkan tur.

Si pemimpin tur mendekatiku dan berkata penuh penyesalan, “Maafkan atas kelalaianku, Miss Nindi.”

“Tidak apa-apa,” sahutku. “yang penting aku sekarang sudah ada di sini dan dalam keadaan baik-baik saja.”

Si pemimpin tur mengangguk dalam senyuman. Lalu sebelum berbalik, ia berkata, “Aku akan meminta resepsionis untuk menghubungi bandara.”

Aku mengangguk.

Setelah selesai dengan resepsionis. Si pemimpin tur mulai mengkoordinasi kembali para peserta tur dan mereka semua mulai membawa koper mereka menuju kamar masing-masing.

Sesaat keberadaan Romeo terlupakan sampai Rima bertanya kepadaku, “Eh, siapa sih cowok tampan yang datang bersamamu itu?” Aku seperti diingatkan, tetapi aku hanya menjawab pertanyaan Rima dengan senyuman.

“Apa arti senyuman itu?” Rima kembali bertanya.

“Rahasia,” jawabku sambil mengedipkan mata. Lalu kembali ke Romeo tanpa mempedulikan rasa penasaran teman baikku itu.

“I think, everything is okay now, Lady,” kata Romeo begitu aku tiba di dekatnya.

“I think so,” sahutku mengangguk.

“They don’t leave you, right?”

“No, they don’t.”

“That’s good.”

Aku tersenyum.

“How can I thank you?” tanyaku kemudian.

“Um.. how about, stay all night with me later?” jawabnya.

“Eh?!” Romeo tertawa melihat reaksiku. “Just kidding,” katanya.

Aku menghela napas lega. “I’m not a guy like that, Miss Nindi,” ucapnya.

Oh.. dia mendengar ketika pemimpin tur menyebut namaku tadi.

“I know that,” sahutku.

Sesaat kami hanya saling menatap satu sama lain. Aku bisa merasakan perasaan hangat mengalir dalam dadaku.

“You have a sweet name, Lady,” komentar Romeo kemudian.

“Oh, thank you.”

Romeo tersenyum. “So, I can go now,” katanya.

Aku ingin sekali mencegahnya. Tapi sekarang, aku tidak punya alasan lagi untuk membuatnya tetap tinggal. Entah apa yang sudah aku alami. Mungkin aku memang sudah jatuh hati pada penyelamatku itu.

“Once again, thank you so much,” ucapku.

Ia mengangguk dalam senyuman. “Nice to meet you, Lady,” ucapnya kemudian.

“Especially I am,” sahutku balas tersenyum. “Without you.. I don’t know what will happen to me.”

“A pleasure for me to help you.”

“Can we meet again?” tanyaku begitu spontan.

“I hope so,” kata Romeo dalam senyuman.

Aku balas tersenyum.

“Enjoy your trip.” Aku mengangguk.

Romeo kemudian merogoh kantung jaketnya dan menyerahkan lembaran daftar tur yang tadi aku perlihatkan padanya.

“This is yours,” katanya.

“Thank you,” sahutku.

“And please, look carefully your tour list, Lady.”

“I will.”

“So.. good bye.”

“Bye.”

Romeo sekali lagi mengangguk hormat sebelum akhirnya beranjak pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya sampai ia masuk ke taksinya dan melesat pergi.

“Hm, sepertinya, nggak jelek juga pengalamanmu hilang di kota ini, Nin,” kata Rima yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku.

Aku berpaling padanya dan tersenyum. “Dan tidak terlupakan,” kataku menambahkan.

“Dia seorang sopir taksi?” tanya Rima.

“Aku juga tidak tahu,” jawabku tidak terlalu peduli apapun atau siapa pun Romeo itu.

“Terserahlah,” kata Rima kemudian.

“yang penting sekarang, sebaiknya kita segera ke kamar dan bersiap-siap untuk perjalanan tur kita. Karena jadwalnya jadi mundur jauh gara-gara menunggumu.”

“Maaf deh,” sahutku. “siapa juga yang mau jadi orang hilang di negeri asing begini.”

Rima tertawa. “Iya, iya,” ujarnya. “aku cuma bercanda.”

Aku tersenyum dan berjalan bersama Rima menuju kamar sambil menyeret koper. Tapi kemudian langkahku terhenti. Aku teringat bahwa aku belum menanyakan siapa nama Romeo yang sebenarnya. Tapi di saat yang sama, aku juga teringat ucapan Romeo sebelum pergi tadi, dan bergegas membuka lipatan kertas daftar tur. “Ada apa lagi, sih, Nin?” tanya Rima.

Aku tak mengindahkan pertanyaan Rima karena perhatianku tercurah pada dua baris tulisan tangan yang ada di lembar daftar tur. Sebuah nama dan nomor telepon. Di bawahnya dituliskan juga sebuah alamat e-mail. Kini aku mengerti mengapa Romeo memintaku untuk melihat dengan seksama daftar tur ini. Ternyata, ia telah menambahkan catatan khusus untukku. Aku begitu gembira. Karena aku tahu, akan ada kesempatan untuk bertemu lagi dengan Romeo. Aku tersenyum senang dan berjalan mendahului Rima yang berdiri heran menatap tingkahku.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK