Marini punya kutil di telapak tangan kirinya. Mulanya satu buah. Tetapi, sekarang sudah menjadi tiga buah. Yang satu sebesar pentul korek, dan yang duanya lagi sedikit lebih kecil. Sebel, deh, rasanya Marini, tangan halusnya mesti ditumbuhi kutil. Marini ingin mengadukannya pada Mama-Papa, tapi Marini takut. Marini takut dirinya dibawa ke rumah sakit, lantas dioperasi! Dioperasi? Hiyy...! Marini jadi merinding.
Pikir Marini, yang namanya operasi, pasti kulit kita dibelek pakai pisau tajam. Cres! Cress! Wadow, bulu kuduk Marini berdiri membayangkannya! Biar saja, deh, tuh kutil tumbul, yang penting nggak dioperasi. Lagian, kutil itu nggak terlalu mengganggu, sebab tangan kiri, kan nggak dipakai buat salaman. Kecuali kalau buang hajat (eh...joorooook), baru deh pakai tangan kiri. Dan, rasain! Kutil itu dipakai buat cebok! Siapa suruh tumbuh di situ?
"Kutil apaan, sih, Kak?" tanya Rhino, adiknya yang kelas lima SD.
"Ini nih, yang namanya kutil!" ucap Marini, sambil nunjukin kutil di telapak tangan kirinya.
"Idih! Kok, kayak jerawat Mama."
"Husy! Awas, jangan bilang-bilang Papa-Mama, ya!" ancam Marini.
"Oke deh, Kak! Tapi janji ya, Rhido diajak nonton bioskop lagi!"
"Iya deh, kalo ada film anak-anak lagi!"
"Janji ya, Kak!"
"Kutil! Eh... kutil!!!" Marini tersandung. dan berteriak-teriak menyebut kulitnya sendiri.
"Il, cerewet!" maki Marini kemudian.
Rhino senyam-senyam sambil melirik kutil kakaknya.
Namun begitu, meski merahasiakan pada mama dan papanya, suatu sore Marini. Menceritakan kutilnya pada Sandra. Meski ketiga kutil itu nggak sakit, Marini bermaksud mengenyahkannya.
"Operasi itu nggak sakit, monyong!" Sandra memberi jalan keluar, ketika Marini memperlihatkan kutilnya yang imut itu.
"Yang lain aja deh, asal nggak dioperasi!"
"Habis, mau diapain? Berobat alternatif, maksud lu?"
"Apa tuh, berobat alternatif?"
"Berobat alternatif itu, berobat secara tradisonal. Biasanya sama orang pintar atau semacam tabib."
"Nggak dioperasi, dong!"
"Nggak, lah! Nantinya kutil elu diusap-usap, disembur...ffuih....! Langsung, deh!"
"Hilang?"
"Nambah! Huahaha....!"Sandra tertawa-tawa sampai tubuhnya yang gembrot terguncang-guncang.
"Eh, buldog! Gue serius, nih! Kok, malah bercanda!"
"Udah deh, nanti kita tanya ke Salman aja!"
"Salman? Nggak deh, nggak! Gila kali lu, yah! Salman nggak boleh tahu masalah ini. Gue nggak mau kutil ini diketahui Salman!"
"Bokap Salman, kan dokter! Ntar lu bisa konsultasi sama bokapnya dia!"
"Ogah ah, buldog! Mending gue rawat aja, daripada dioperasi!"
"Dasar monyong! Kutil, kok, dipelihara?!"
"Monyong? Aeh, monyong!" Marini tersandung, ketika hendak meninggalkan Sandra. Sandra terkekeh-kekeh sambil megangin perutnya.
***
Seminggu kemudian Marini mendatangi Sandra pas bubaran sekolah. Sesuai kesepakatan lewat telepon semalam, siang ini mereka mencari tempat pengobatan alternatif, guna memusnahkan kutil terkutuk itu.
O ya, beberapa hari yang lalu Sandra tentang pengobatan alternatif. Selebaran itu ia dapatkan dari perempatan jalan, saat mengantar mamanya ke pasar. Seseorang menyebarkan selebaran berupa secantik kertas itu ke mobil-mobil yang melintas. Dalam selebaran itu tertera alamat lengkap si ahli pengobatan alternatif. Sederet nama-nama penyakit yang bisa diobati tertera di sana, kecuali kutil. Ahli alternatif itu bernama tabib Markum.
"Kok, kutil nggak ada?" selidik Marini setelah membaca isi selebaran itu.
"Bacanya teliti, dong! Nih, lu liat! Jantung, kencing manis, asam urat, ginjal, kanker ganas, kanker rahim, batuk menahun, tumor jinak, tumor ganas...!"
"Apa hubungannya sama kutil?" potong Marini.
"Uh, monyong... monyong! Tumor ganas aja bisa ditanggani, apalagi kutil?!"
Marini berpikir sebentar, lalu menggut-manggut.
"Pinter juga lu, buldog!"
"Jangan panggil gue buldog dong!" kali ini Sandra protes dipanggil buldog.
"Habis, gue kan nggak monyong, kok dipanggil monyong?!"
"Ya udah gimana kalu gue panggil kutil?
Si Kutil? Hehe, si Kutil! Keren juga!"
"Gembrot, gembrot! Si Gem-brot!"
"Stop! Stop! Kita damai aja! Lu jangan panggil gue buldog atau gembrot, dan gue janji nggak panggil elu monyong atau si Kutil. Oke, nyong? Aeh, hehe, ee...gimana Marini manis?" cerocos Sandra sambil menepuk pundak Marini.
"Buldog! Aeh...buldog! Gembrot! Aeh...gembrot! Aduuh...gimana, dong!"
"Weleh-weleh, abad dua puluh udah lewat, kok, masih latah aja. Non!"
"Elu sih, pake ngagetin, gitu?"
"Sori, sori! Nah, sekarang gimana dong, setuju nggak?"
"Setuju bul..., hehe, Sandra yang imut?"
"Kok, Sandra yang imut, sih? Emang gue imut?"
"Habis apa, dong? Mau yang sebenarnya. Sandra yang......?"
"Stop! Stop! Gue setuju, Sandra yang imut!"
"Sandra yang imut, kita berangkat sekarang?"
"Nah, gitu doong!"
***
Karya: Zainal Radar T
No comments:
Post a Comment