Alkisah cerita, ada sebuah kerajaan yang besar di daerah Timur dengan rajanya yang bernama Prabu Brawijaya. Sang Prabu dalam memimpin kerajaannya sangat arif dan bijaksana sehingga disegani dan dikagumi oleh rakyatnya. Kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya dengan suka rela ikut bergabung dengan kerjaan yang dipimpin Prabu Brawijaya. Keadilan dan kemakmuran bagi rakyat terwujud. Murah sandang dan pangan, gemah ripah loh jinawi. Dari sang prameswari, Sang Prabu dikarunai seorang putra mahkota tampan rupawan yang diberi nama Pangeran Bratanjung. Selain itu, Prabu Brawijaya juga mempunyai beberapa orang selir. Dari salah seorang selir kinasih lahirlah dua orang putra laki-laki dan perempuan. Putra laki-laki itu selanjutnya diberi nama Pangeran Jayakusuma dan yang perempuan diberi nama Dyah Retna Galuhwati.
Singkat cerita, Setelah Prabu Brawijaya meninggal, Pangeran Bratanjung kemudian dilantik untuk menggantikan ayahnya memegang tampuk kerjaan. Sesudah dilantik menjadi raja, Pangeran Bratanjung kemudian bergelar Prabu Bratanjung Brawijaya. Beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang arif bijaksana seperti ayahandanya. Di dalam memerintah. Prabu Bratanjung Brawijaya bertindak adil dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya. Apa yang sudah terwujud pada masa pemerintahan ayahandanya dilestarikan dengan baik oleh Prabu Bratanjung Brawijaya bertindak adil dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya. Apa yang sudah terwujud pada masa pemerintahan ayahandanya dilestarikan dengan baik oleh Prabu Bratanjung. Meskipun disibukkan oleh tata pemerintahan kerajaan, namun sang Prabu masih mempunyai cukup waktu untuk bercengkarama dengan adik-adik putra bibi selir ayahnya, lebih-lebih dengan kedua adinda kinasihnya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati. Kecintaan Sang Prabu kepada Pangeran Jayakusuma bukan hanya karena dilandasi oleh ketangkasan Sang Pangeran dalam berolah kanuragan, tetapi juga karena ketampanan wajah sang Pangeran dan kehalusan budi pekertinya.
Memang, Pangeran Jayakusuma adalah seorang Pangeran yang sangat tampan wajahnya. Wanita manapun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta. Sang Pangeran memiliki badan yang tinggi, tubuh yang bidang, mata yang indah dan berkulit kuning. Di samping itu, Pangeran Jayakusuma juga dikarunia suatu kelebihan yaitu memiliki suara yang merdu. Sampai-sampai, burung-burung pun merdu. Sampai-sampai, burung-burung pun akan berada di sekelilingnya tanpa merasa takut jika sang Pangeran sedang mengalunkan tembang di kala ia sedang berburu di hutan belantara.
Begitu juga dengan Dyah Retna Galuhwati, sang putri memiliki paras yang sangat cantik, Walaupun Galuhwati masih perawan kecil, namun aura kecantikannya sudah kelihatan. Rambut Galuhwati sangat tebal, panjang dan bergelombang. Hidungnya mancung dan bibirnya mungil.
Prabu Bratanjung Brawijaya sangat sayang kepada Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati. Karena sayangnya, sang Prabu memerintahkan kepada beberapa punggawa istana untuk selalu menjaga keberadaan kedua adiknya. Kemana pun mereka pergi harus selalu ada punggawa yang mengikuti. Sang Prabu sangat mengkhawatirkan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kedua adiknya. Hal itu dilaksanakan karena Sang Prabu mempunyai keinginan terpendam terhadap masa depan Pangeran Jayakusuma. Keinginan beliau yaitu apabila tiba-tiba terjadi hal yang tidak diinginkan kepada diri sang Prabu (sakit, mati, dll), maka Pangeran Jayakusuma yang telah dipersiapkan dengan baik untuk menjadi pewaris tahta diharapkan dapat menggantikannya.
Namun, di balik itu, Sang Prabu tidak mengetahui bahwa Pangeran Jayakusuma ternyata mempunyai kebiasaan buruk yaitu kegemaran menyabung puyuh adalah hal yang dianggap kurang baik bagi calon seorang raja. Dalam setiap persabungan tentulah ada perjudian. Emosi yang melingkupi akan menutup hati nurani.
Kegemaran menyambung bagi Pangeran Jayakusuma adalah merupakan bagian dari hidupnya. Hobi menyabung itu sudah diketahui oleh masyarakat luas di kerajaan itu. Lebih-lebih para punggawa pengawal setia Sang Pangeran, mereka juga banyak yang mengikuti kegemaran tersebut. Namun, Sang Prabu belum juga mengetahui kebiasaan buruk adiknya. Kesibukan sang Prabu dalam mengendalikan kerajaan agar tercipta suatu kerajaan yang adil dan makmur telah cukup menyita perhatiannya. Ditambah rasa percaya kepada para pengawalnya menjadikan sang prabu tidak mengetahui secara persis keseharian sang Pangeran. Anehnya, tak seorang pun yang berani melapor kepada Sang Prabu. Mereka hanya menanti agar Sang Prabu suatau saat nanti memergoki kesukaan adiknya itu.
Ketikakberanian melapor kepada Sang Prabu perihal kegemaran menyabung itu bukan karena takut pada Pengeran Jayakusuma, tetapi karena mereka sangat sayang kepada Pangeran. Mereka sudah terpesona lebih dahulu dengan kelembutan perilaku Sang Pangeran. Selain itu, Sang Pangeran selalu bersikap santun dengan siapa pun, baik dengan para punggawa maupun dengan rakyat jelata.
2. Diusir Dari Istana
Pada suatu hari yang telah ditentukan, Prabu Bratanjung Brawijaya berkenan mengadakan pertemuan agung di balairung. Pertemuan itu dihadiri oleh para menteri, patih, bupati dan punggawa kerjaan yang lain. Sebelum pertemuan agung itu dimulai, Sang Prabu dari atas singgasananya mencermati satu per satu tempat duduk kelompok menteri. Seperti itu, Pangeran Jayakusuma pastilah berada di kelompok para menteri. Namun, betapa terkejutnya hati sang Prabu karena pada pertemuan kali ini Pangeran Jayakusuma tidak kelihatan. Timbullah syak wasangka dalam sanubari Sang Prabu. Ia bertanya-tanya dalam hati. Di mana gerangan adiknya? Mengapa tidak hadir? Apakah Jayakusuma sakit? Berbagai macam pertanyaan berseliweran dalam benak Sang Prabu. Namun tak kunjung juga mendapatkan jawaban. Sang Prabu menjadi gelisah. Kegelisahan Sang Prabu menyebabkan semua yang hadir juga ikut gelisah. Melihat ketidaktenangan Sang Prabu, maka Maha Patih Mada mendekatinya. Kemudian Sang Prabu menanyakan penyebab ketidakhadiran Pangeran Jayaksuma. Beliau mengutus Maha Patih untuk memanggilnya. Seketika itu juga Maha Patih menyembah dan pergi untuk mencari Pangeran Jayakusuma.
Setelah mencari di sekeliling istana, Patih Mada melihat Pangeran Jayakusuma sedang duduk berjongkok di tepi kolam, Ternyata, Sang Pangeran sedang asyik memandikan puyuh-puyuhnya. Tak jauh dari kolam itu, Galuhwati duduk di atas batu sambil merangkai bunga melati. Patih Mada cepat-cepat mendekati sang Pangeran dan menyampaikan perintah dari Sang Prabu. Patih Mada mengingatkan akan pertemuan agung yang sudah tertunda pembukaannya karena menunggu kehadiran Pangeran. Untuk itu Patih Mada meminta kepada Pangeran untuk berangkat juga bersama-sama menuju Balairung agar Sang Prabu tidak marah. Namun, Pangeran Jayakusuma menolak dengan halus ajakan itu. Dia mengatakan bahwa dia akan berganti pakaian terlebih dahulu. Patih Mada diminta untuk berangkat duluan. Karena tidak ingin mengecewakan keinginan Pangeran, Patih Mada kemudian berpura-pura berangkat duluan. Ketika sampai di gardu penjagaan, Patih Mada berhenti untuk menunggu Pangeran Jayakusuma. Patih Mada bersembunyi di dalam gardu sambil berulang kali mengintai keluar, kalau-kalau Sang Pangeran lewat. Namun, sudah ditunggu lama, Sang Pangeran belum muncul juga.
Di balairung istana orang-orang yang menunggu kehadiran Pangeran Jayakusuma sudah mulai terlihat lelah. Sang Prabu pun matanya sudah kelihatan sayu tanda mengantuk. Tidak berapa lama Sang Prabu tertidur di kursi singgasananya. Anehnya, orang-orang yang hadir juga ikut mengantuk. Sampai tidak terasa, semua yang ada di balairung itu tertidur.
Setelah berganti pakaian dan berdandan, Pangeran Jayakusuma berangkat menuju balairung dengan diikuti adiknya, Dyah Ayu Galuhwati. Ketika sampai di gardu penjagaan, dia dihadang Patih Mada. Dengan agak jengkel dan penuh was-was, Patih Mada menceritakan keadaan di balairung. Namun, Sang Pangeran tetap tenang melihat keadaan di balairung. Dengan cepat ia mengutarakan idenya kepada Patih Mada. Idenya yaitu mereka bertiga harus berjalan perlahan-perlahan, lalu bersimpuh menyembah di hadapan Sang Prabu. Mereka juga harus sangat hati-hati, jangan sampai ada orang yang terbangun karena kedatangan yang sudah terlambat. Kemudian, dengan posisi menyembah tersebut mereka pura-pura ikut tertidur pulas.
Ketika Sang Prabu terbangun, dilihatnya seluruh peserta pertemuan tertidur pulas. Dilihatnya pula kedua adiknya tertidur di hadapannya dengan posisi mencium lantai(menyembah). Melihat hal itu, beliau sangat iba kepala adiknya. Lalu, ditepuknya dengan pelan bahu kedua adiknya. Selang kemudian, Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati pura-pura seperti terbangun dari tidurnya. Seketika itu pula kemarahan Sang Prabu lenyap. Beliau menjadi lupa akan kejengkelan hatinya menunggu kehadiran adiknya. Lucunya lagi, Sang Prabu memerintahkan agar pertemuan pada hari itu dibubarkan. Beliau meminta untuk diundur pada besok pagi. Kemudian orang-orang pada pergi meninggalkan balairung sambil berbisik-bisik membicarakan kejadian yang baru mereka alami. Adapula yang menyangka bahwa mereka terkena "sirep" (rasa kantuk yang disebabkan oleh ilmu gaib) dari ajian Pangeran Jayakusuma.
Keesokan harinya, petugas istana membunyikan gong besar tiga kali. Itu sebagai pertanda bahwa akan diadakan pertemuan agung di balairung. Pada pagi itu, Pangeran Jayakusuma sedang asyik menimang-nimang salah seekor puyuhnya. Puyuh itu kelihatan paling menarik di antara puyuh-puyuh piaraannya. Dielus-elusnya dengan penuh kasih puyuh itu. Pada saat Sang Pangeran meraba-raba perut si puyuh, ternyata perut itu kosong dan sangat kempes. Tanpa pikir panjang Sang Pangeran langsung pergi menuju perbukitan. Di perbukitan itu banyak sekali belalang kesukaan si puyuh. Di sana ia asyik mencari belalang sampai lupa kalau pagi itu dia harus menghadiri rapat agung di balairung.
Ketika rapat besar itu dimulai, Sang Prabu agak terkejut.Beliau kelihatan marah karena Pangeran Jayakusma tidak hadir lagi dalam pertemuan itu. Sang Prabu berjalan mondar-mandir di dekat kursi singgasanannya. Sewaktu beliau berjalan menuju Patih Mada untuk memerintahkan memanggil Pangeran Jayakusuma, tiba-tiba bertiup angin yang dingin. Sang Prabu serta orang-orang yang hadir terperanjat. Sang Prabu hatinya tanggap bahwa di sekitar balairung ada sesuatu. Beliau lalu membalikkan badannya untuk kembali duduk di singgasana. Sambil duduk, Sang Prabu memusatkan pikiran dan hatinya untuk menerawang tanda dari tiupan angin dingin itu. Ternyata, itu hanya sebuah tanda kehadiran adiknya. Di tangga masuk balairung terlihat Pangeran Jayakusuma beserta Galuhwati berjalan masuk. Kemudian kakak beradik itu berjalan dengan jongkok menghadap Sang Prabu. Mereka kemudian menghaturkan sembah sujud. Sambil menekan amarah, Sang Prabu mendekati Pangeran Jayakusuma. Dan, apa yang terjadi saat itu? Terlihat beberapa belalang meloncat keluar dari saku Pangeran Jayakusuma. Sang Prabu terperanjat bercampur heran.
Sang Prabu menanyakan tentang keberadaan belalang-belalang tadi. Mengapa dari sakunya banyak belalang. Pangeran menjawab bahwa dia memiliki kegemaran memelihara puyuh. Belalang-belalang itu untuk memberi makan puyuh-puyuhnya. Bahkan pangeran menjelaskan bahwa puyuh-puyuh piaraannya bagus-bagus dan selalu menang jika diadu. Sambil membelalakkan mata tanda tak percaya, Sang Prabu berkata,"Jadi kau suka menyabung burung puyuh?" Pangeran Jayakusuma mengangguk. Lalu Sang Prabu menyambung lagi, "Apakah kau tidak tahu kalau kegemaran menyabung itu adalah perilaku yang tercela. Lebih-lebih bagi seorang pangeran seperti dirimu," Sang Prabu kemudian berpesan kepada Pangeran Jayakusuma agar menghadap beliau di istana seusai pertemuan itu.
Seusai pertemuan, San Prabu mengajak Pangeran Jayakusuma menuju istana. Sementara itu, Galuhwati yang duduk di samping Jayakusuma tiba-tiba menghaturkan sembah dan mengutarakan sebuah usul. Dia memohon agar diperbolehkan mengikuti kakaknya ke istana. Sang Prabu berkata halus kepada Galuhwati, "Tidaklah perlu kau ikut kakakmu. Kami akan membicarakan hal-hal yang peting bagi laki-laki calon pengemban kerajaan. Apalagi kau masih kecil." Galuhwati dengan manja tetap bersikeras ingin mendampingi kakaknya. Sambil merengek Galuhwati berkata, "Ampun Sang Prabu, di dunia ini saya tidak punya apa-apa selain kakak Jayakusuma. Semenjak ibu meninggal, kakak Jayakusuma itulah tempat curahan dan berteduh bagiku. Aku tak dapat berpisah darinya." Sang Prabu luluh juga hatinya. Kemudian, kedua adiknya diajak ke istana.
Sesampai di istana Pangeran Jayakusuma diberi nasihat panjang lebar. Terutama kegemaran menyabung diminta harus dapat ditinggalkan. Sang Prabu juga menyampaikan beberapa rencana tata pemerintahannya. Sang Prabu mengharap agar Pangeran Jayakusuma dapat selalu mendampinginya agar tahu permasalahan yang terjadi di istana. Disampaikan pula bahwa Pangeran Jayakusuma adalah satu-satunya adik yang diharapkan dapat menjadi sebagai penggantinya. Mendengar nasihat dan penjelasan Sang Prabu, lalu Pangeran Jayakusuma menghaturkan sembah dan berkata, "Kangmas Prabu yang hamba junjung tinggi dan hamba hormati... betapa mulia hati Kangmas Prabu. Hamba sangat berterimakasih atas kepercayaan yang engkau berikan padaku. Sebagai pengganti pengemban kerajaan bukanlah sesuatu yang gampang. Hamba menjadi malu pada diri sendiri. Rasanya hamba tidak patut menjadi orang yang gampang. Hamba menjadi malu pada diri sendiri. Rasanya hamba tidak patut menjadi orang yang engkau sayangi dan engkau harapkan. Hamba adalah orang yang bodoh dan kurang cakap. Lebih-lebih hamba masih mencintai puyuh-puyuh aduan dan belum dapat meninggalkannya. Hamba memang tidak pantas hidup di kalangan istana." Namun, Sang Prabu tidak putus asa. Dengan sabar beliau membujuk adiknya agar mau berlatih sedikit demi sedikit meninggalkan kegemaran itu. Kemudian, kedua adiknya diperbolehkan pulang ke pesanggrahan masing-masing.
Pikiran Pangeran Jayakusuma berkecamuk menentang kata hatinya. Hatinya kecamuk menentang kata hatinya. Hatinya bersuara bahwa ia tidak dapat meninggalkan puyuh-puyuhnya. Dia sudah terlanjur mencintai puyuh-puyuhnya. Dia sudah terlanjur mencintai puyuh-puyuh tersebut. Bahkan, ada seekor puyuh yang betul-betul dicintai. Sampai sepertinya, puyuh yang satu itu terasa menjadi bagian dari dirinya. Puyuh itu diberi nama si Kebrok. Sementara di sisi lain pikirannya membenarkan nasihat dari Sang Prabu. Apalagi melihat Sang Prabu begitu sayang pada dirinya. Malam itu Pangeran Jayakusuma merenung-renung. Sampai larut malam dia tidak dapat tidur karena teringat semua kata-kata dari Sang Prabu. Ia pun menjadi bertanya-tanya heran terhadap dirinya, mengapa si Kebrok sangat memikat hatinya. Rasanya, si Kebrok itu telah memberi arti di dalam kehidupannya.
Lain dengan Galuhwati, ia selalu membujuk kakaknya agar menuruti nasihat Sang Prabu. Galuhwati pun dengan sebisanya ikut menyadarkan kakaknya untuk meninggalkan kegemarannya. Dia mengatakan pada kakaknya bahwa menyabung itu perbuatan yang berdosa. Apalagi kegemaran itu disertai taruhan. Hal itu termasuk judi. Siang malam Galuhwati berdoa agar kakaknya dapat meninggalkan hobinya.
Sudah beberapa hari Pangeran Jayakusuma mencoba berusaha meninggalkan kegemaran menyabung. Satu per satu puyuhnya dikeluarkan dari kandangnya, lalu dilepaskan di pinggiran hutan. Anehnya, ketika ia sampai pada kandang si Kebrok, tiba-tiba perasaan hatinya bergemuruh. Lalu, dipandangnya si Kebrok. Semakin lama dipandang mata si Kebrok, semakin terasa lekat hatinya. Rasanya ada suatu getaran di dadanya. Kandang itu lalu dibuka dan ditatapnya lagi mata si Kebrok. Lebih aneh lagi, si Kebrok merebahkan tubuhnya. Seakan-akan ia tidak mau keluar dari kandangnya. Kemudian si Kebrok diambil keluar. Dielus-elusnya kepada si Kebrok pelan-pelan. Dengan sedih, si Kebrok didekapnya erat-erat. Lalu, dipandangnya lagi mata si Kebrok. Sang Pangeran menjadi sangat heran karena si Kebrok pun meneteskan air matanya. Dan, didekapnya lagi si Kebrok. Pangeran Jayakusuma lalu menengadahkan kepalanya. Dia berjanji tidak akan berpisah dengan si Kebrok sampai puyuh itu meninggal. Ketika janji itu diucapkan, terdengar halilintar di angkasa. Hal itu sebagai pertanda bahwa janjinya didengarkan oleh penguasa alam.
Tiga bulan kemudian, di balairung diadakan pertemuan akbar lagi. Pangeran Jayakusuma pun telah hadir. Dia mengenakan baju kebesaran seorang pangeran. Pakaiannya berwarna biru tua berhiaskan manik-manik kuning keemasan. Sabuknya berwarna hitam beludru. Terselip pula sebuah keris di pinggangnya. Dipakainya ikat kepala kepangeranan yang menambah rupawan wajahnya.
Di saat pertemuan akan dimulai, Pangeran Jayakusuma tiba-tiba ingat bahwa si Kebrok belum diberi makan. Lalu, dia berdiri dan pamit pada Patih Mada. Sebenarnya Patih Mada sudah melarangnya dan mengingatkan akan pentingnya pertemuan itu. Dikatakan bahwa di dalam pertemuan akan diadakan upacara pengukuhan pejabat istana yang baru, termasuk nanti Pangeran Jayakusuma mendapat jabatan baru. Namun, Pangeran Jayakusuma sudah tidak mendengarkan perkataan Patih Mada. Ia cepat-cepat menuju ke alun-alun. Letak alun-alun itu tepat di depan balairung. Dari tempat duduk Sang Prabu, alun-alun itu dapat terlihat dengan jelas.
Di alun-alun rumputnya terbentang hijau. Di sela-sela rumput itu banyak belalahnya. Di tengah alun-alun terlihat Pangeran Jayakusuma berjongkok-jongkok mencari belalang. Kadang berdiri, lalu berpindah tempat dan berjongkok lagi.
Pada saat itu Sang Prabu telah duduk di singgasananya. Beliau melihat sekelilingnya. Sampai pada tempat duduk yang kosong, beliau terperanjat juga. Tempat duduk yang kosong itu adalah tempat duduk Pangeran Jayakusuma. Sang Prabu timbulnya kejengkelannya. Beliau bergumam. "Hehmm.....benar-benar keterlaluan anak ini." Sang Prabu tidak dapat menahan amarahnya. Diperintahnya Patih Mada pun langsung menyembah dan menunjuk ke arah alun-alun tempat Pangeran Jayakusuma mencari belalang. Dilaporkannya juga bahwa tadi sebenarnya Sang Pangeran sudah hadir di balairung, tetapi karena teringat pada puyuhnya yang belum diberi makan maka ia lalu lari mencari belalang di alun-alun itu. Mendengar penjelasan tersebut, Sang Prabu sangat jengkel. Dengan geram Sang Prabu berkata, "Bawa dia kemari." Kemudian, Patih Mada bersama dua orang punggawa yang lain bergegas lari menuju ke alun-alun. Sampai di alun-alun disampaikannya perintah Sang Prabu. Diceritakan juga bahwa Sang Prabu kali ini betul-betul kelihatan murka.
Tidak berapa lama Pangeran Jayakusuma sampai di balairung dan menghadap Sang Prabu. Raut muka Sang Pangeran memperlihatkan ketenangan. Tidak ada perasaan takut sedikit pun. Dia berpikir bahwa mencari belalang sebentar itu tidak akan mengganggu jalannya pertemuan. Dalam benak Sang Pangeran lebih takut kalau puyuhnya mati kelaparan. Pangeran Jayakusuma betul-betul tidak menyelami kejengkelan dan kemarahan Sang Prabu. Akibatnya, Sang Prabu berkata keras, "Hai dimas Jayakusuma, sebetulnya apa maumu? Sekarang senyampang disaksikan banyak orang, kau harus menyampaikan pilihanmu. Hai dimas, Kau dapat meninggalkan puyuhmu atau tidak. Kalau tidak, kau harus meninggalkan istana ini sekarang juga." Pada saat itu Galuhwati berada di pinggir balairung bersama pemomongnya. Ia menangis mendengar kata-kata yang diucapkan Sang Prabu. Ia lalu berlari mendekati kakaknya. Dengan lembut dibujuknya kakaknya agar mau menuruti kata-kata Sang Prabu. Pangeran Jayakusuma hanya diam menunduk. Sepertinya dia sedang memantapkan suara hatinya. Lalu dia dengan mantap menjawab, "Kakanda Prabu sesembahanku! Hamba mohon maaf sebesar-besarnya. Hamba sudah tidak bisa mengalahkan suara sanubari hamba. Hamba telah bertekad tidak akan berpisah dengan si Kebrok sampai kematiannya." Sang Prabu terkejut, heran dan bercampur marah. Lalu beliau bertanya sekali lagi, "Jadi kau betul-betul tidak mau meninggalkan kegemaran itu?" Sambil menghaturkan sembah, sekali lagi Pangeran menegaskan jawabannya, "Sekali lagi hamba mohon ampun beribu ampun Sang Prabu. Hamba tidak dapat menuruti perintah Sang Prabu." Sang Prabu betul-betul kehabisan kesabarannya. Seketika itu, beliau membentak, "Tinggalkan tempat ini. Aku tidak sudi mempunyai adik sepertimu." Lalu dilanjutkan berkata kepada Galuhwati, "Dan kau, dinda Galuhwati, jangan kau ikuti kakakmu yang tebal telinga itu. Dia adalah orang yang tidak mau diuntung untuk dimulyakan. Biarkan ia dengan pilihannya dan relakan dia meninggalkan istana ini." Namun, Galuhwati tidak mengiyakan kata-kata Sang Prabu. Sambil menangis sesenggukan, Galuhwati berkata terbata-bata, "Tidak kakanda Prabu..... saya mohon ampun. Saya tidak dapat berpisah dengan kakanda Jayakusuma. Saya pamit akan mengikuti kemanapun dia pergi." Lalu Pangeran Jayakusuma berusaha membujuk adiknya agar tetap mau tinggal di istana kaputren. Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa dia akan pergi mengembara tanpa tujuan dan pasti di perjalanan nantinya akan menemui banyak rintangan. Namun, Dyah Galuhwati bersikeras hati tetap pada pendiriannya tidak mau ditinggal pergi kakandanya. Dipegangnya lengan kakaknya kuat-kuat, seakan takut ditinggal dan tidak mau lepas selamanya.
Pangeran Jayakusuma merasa tidak dapat berlama-lama duduk menghadap di situ. Lalu dia menghaturkan sembah kepada sang Prabu untuk pamit. Tidak lupa ia melepas ikat kepala tersebut diserahkan kepada Sang Prabu. Galuhwati pun ikut memohon pamit. Dengan deraian air mata dia menghaturkan sembahnya yang terakhir.
Hati Sang Prabu bergetar melihat langkah-langkah kepergian kedua adiknya. Sebetulnya, dari dalam lubuk hati beliau tidak menginginkan hal itu terjadi. Hatinya merasa tidak tega dengan kepergian yang tidak diharapkan itu. Ada perasaan kecewa dan ingin menarik kembali kata perintahnya. Namun, beliau sudah tidak dapat mencabut kata-katanya lagi. Beliau menyadari sepenuhnya bahwa sabda raja tak boleh berubah-ubah. Sementara itu, orang-orang yang hapir di balairung kelihatan ikut bersedih. Bahkan, banyak pula yang ikut meneteskan air mata. Seakan mereka pun ikut menyayangkan kejadian itu.
Langkah Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati semakin jauh. Mereka sudah sampai di seberang alun-alun. Sang Prabu terus memandang kepergian mereka. Setelah hilang dari pandangan. Sang Prabu baru sadar bahwa saat itu berada dalam ruang pertemuan. Lalu, beliau melangkah menuju Patih Mada. Dengan berbisik beliau mengutus Patih Mada agar kepergian kedua adiknya diikuti beberapa pengawal. Beliau juga memerintahkan agar Pangeran Jayakusuma diberi seekor kuda yang tangguh. Beliau berpesan supaya para pengawal tersebut betul-betul menjaga keselamatan kedua adiknya. Dari perintah-perintah tersebut dapat terlihat bahwa Sang Prabu masih menyayangi dan melindungi adiknya.
3. Perjalanan yang panjang
Langkah kedua kakak beradik, Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati, sudah sampai di daerah perbatasan kota, mereka kemudian duduk beristirahat di bawah pohon meja. Bertanyalah Galuhwati kepada kakaknya, "Buah apa itu Kangmas?" sambil menunjuk pada buah yang menggantung di atasnya. Bentuknya bulat seperti bola dan warnanya hijau. Dijawab oleh kakaknya bahwa nama buah itu adalah buah maja. Galuhwati bertanya lagi, "Apakah buah maja itu enak dimakan? Saya ingin buah itu. Saya merasa lapar." Pangeran Jayakusuma tertawa sedih melihat kemanjaan adiknya. Lebih-lebih ketika ia melihat ketidaktahuan adiknya akan rasa buah maja itu. Namun, ia juga merasa kasihan melihat adiknya benar-benar lapar. Kemudian, diterangkannya bahwa buah itu rasanya pahit, tidak enak dimakan. Memang, bentuknya mirip semangka, tetapi dalamnya berbeda. Kemudian dibujuknya dengan halus agar Galuhwati mau kembali saja ke istana. Dikatakannya bahwa di istana Galuhwati bisa meminta makanan apa saja. Minta apa saja pasti ada dan pasti dituruti. Kalau di pengembaraan Galuhwati akan mengalami kesusahan untuk mendapatkan makanan. Mendengar nasihat kakaknya Galuhwati malah menangis. Sambil terisak-isak Galuhwati berkata, "Kangmas, kau ini bagaimana. Diikuti adiknya mengapa tidak mau. Apakah tidak kasihan padaku? Apabila saya kembali ke istana, aku menjadi semakin sedih. Sudah yatim piatu, ditinggal pergi kakaknya lagi. Mengapa kakak tega? Mengapa... mengapa tidak mau saya ikuti?" Pangeran Jayakusuma menjadi trenyuh hatinya. Ia lalu duduk jongkok di samping Galuhwati. Ditepuk-tepuknya pundak adiknya dengan sayang. Dijelaskan sekali lagi kepada adiknya bahwa orang pergi mengembara itu berbeda dengan orang yang pergi dengan ada tujuannya. Mengembara itu pergi tanpa tujuan. Mengembara itu perjalanan yang berat, penuh dengan cobaan dan rintangan. Lebih-lebih bagi perempuan kecil seperti Dyah Galuhwati. Di pengembaraan itu rintangannya sangat banyak. Lalu Pangeran Jayakusuma memberi pengertian kepada adiknya. Sang Pangeran mengatakan bahwa jika Galuhwati benar-benar ingin ikut serta dalam pengembaraan, maka haruslah selalu tabah. Galuhwati pun lalu diam dari tangisnya agar tetap diperbolehkan ikut kakandanya mengembara, walaupun sesungguhnya perutnya menahan lapar.
Tak terasa hari mulai gelap. Hutan di perbatasan sudah menampakkan keangkerannya. Pangeran Jayakusuma kemudian mengumpulkan beberapa daun jati kering. Daun-daun itu ditata untuk dijadikan alas tempat tidur Galuhwati. Sementara adiknya tiduran menahan lapar, Pangeran Jayakusuma kemudian duduk di sebuah batu. Pangeran merenung-renung dan berpikir, bagaimanakah caranya untuk mendapatkan makanan di hutan itu. Pangeran ini berjalan masuk hutan mencari buruan atau tetumbuhan yang bisa dimakan, tetapi tidak tega meninggalkan adiknya sendirian khawatir terjadi sesuatu sepeninggalnya. Kalau adiknya diajak, ia takut teradi hal yang tak diinginkandi dalam hutan. Sesaat kemudian, Pangeran Jayakusuma memutuskan memusatkan pikiran (bersemedi) untuk memperoleh petunjuk atau ilham. Tidak lama kemudian telinganya berdenyut. Ibu memberi tanda bahwa akan ada sesuatu di dekatnya.
Ternyata benar. Dari arah timur terdengar ringkikan beberapa ekor kuda. Sang Pangeran lalu berdiri. dan berjalan beberapa langkah ke arah timur. Dari tempat berdirinya terlihat dua orang punggawa kerajaan disertai beberapa orang prajurit. Setelah mereka melihat Sang Pangeran, mereka langsung menghaturkan sembah. Pangeran Jayakusuma merasa kaget dan heran. Lalu, bertanyalah Sang Pangeran kepada salah seorang punggawa itu, "Mengapa Paman berada di sini?" Punggawa itu menjelaskan bahwa mereka diutus oleh Sang Prabu untuk mengantarkan kuda tunggangan dan perbekalan. Kuda itu dimaksudkan untuk memudahkan sarana perjalanan Sang Pangeran. Selain itu, Sang Prabu juga mengutus beberapa orang prajurit untuk mengawal pengembaraan Sang Pangeran. Saat itu Pangeran Jayakusuma hanya dapat berdiam diri saja. Lidahnya terasa kelu, bibirnya kaku. Dia terharu merasakan kebaikan Sang Prabu. Ternyata, Sang Prabu benar-benar sayang kepadanya. Dia malu pada dirinya yang tidak dapat menaklukkan kata hatinya. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur terjadi. Dia pun juga sudah terlanjur menyayangi si Kebrok. Dalam kesunyian itu, tiba-tiba Galuhwati menyusul di belakang Sang Pangeran. Ia menyeletuk dengan manja dan tanpa rasa malu, "Paman, apakah Paman membawa bekal makanan?" Dengan tersenyum geli Pangeran Jayakusuma menyahut, "Hehh, Diajeng, mengapa yang kau tanyakan itu, Makanan. Tidaklah lebih baik kau haturkan selam lebih dahulu. Pertanyaanmu itu lucu. Tuh lihat, kuda itu juga merasa geli dengan pertanyaan itu," sambil tangannya menuding pada kuda. Anehnya, kuda itu meringkik seperti tertawa. Semua yang ada di situ jadi tertawa geli. Kemudian, salah seorang prajurit maju ke depan dan menyerahkan sedikit bekal makanan. Di samping itu, ada seorang prajurit lagi yang mengalungkan beberapa kantong di punggung kuda. Kantong itu berisi bekal bahan makan dan gula merah. Galuhwati melihat hal itu merasa girang bukan main. Setelah menerima bingkisan dari punggawa itu, ia lalu duduk di bawah pohon dan makan. Punggawa dan para prajurit yang mellihat merasa geli bercampur trenyuh.
Setelah berbincang-bincang agak lama menanyakan berbagai perkembangan yang terjadi di istana sepeninggal pangeran, Pangeran Jayakusuma kemudian memutuskan bahwa dia tidak perlu dikawal oleh prajurit. Pangeran meminta agar mereka kembali ke istana saja. Dikatakannya bahwa di istana masih banyak yang harus dikerjakan oleh para prajurit. Pangeran Jayakusuma tidak mau pengembaraannya menyebabkan repotnya mereka. Lalu, Pangeran berpesan agar para pengawal tidak usah mengawal kepergiannya mengembara. Jadi, ketidakikutsertaan mereka dalam perjalanan Pangeran adalah karena kehendak Sang Pangeran sendiri. Kemudian, sebelum mereka pergi kembali ke istana, Pangeran Jayakusuma berkata, "Paman dan juga para prajurit, sampaikan sembah bakti saya kepada Sang Prabu.... dan sampaikan terimakasih saya atas pemberian kuda itu. Semua akan kukenang sampai mati. Semoga Beliau selalu sehat sentosa dan dalam lindungan-Nya." Kemudian, para prajurit dan punggawa itu mohon pamit untuk kembali ke kerajaan.
Seperginya para prajurit, tempat itu manjadi sepi kembali. Tinggallah Pangeran Jayakusuma yang sedang mengamati kuda pemberian Sang Prabu. Seekor kuda berbulu abu-abu kehitam-hitaman yang gagah perkasa dengan bulu surainya yang panjang. Ia merenungkan kembali perasaannya. Berkatalah Pangeran dalam hati, "Memang Sang Prabu betul-betul sayang kepadaku, terima kasih kakanda prabu dan maafkan atas kekerasaan hatiku". Dielus-elusnya dengan sayang kepada kuda itu. Pengeran Jayakusuma mengetahui kalau kuda itu adalah kuda pilihan. Kuda itu memang termasuk kuda yang tangguh. Dia ingat kalau kuda itu adalah kuda tunggangan Sang Prabu. Pangeran Jayakusuma berangan-angan bahwa dirinya harus pergi sejauh mungkin untuk menjauh istana. Ia merasa malu telah mencemari keluarga istana karena kegemarannya menyabung burung puyuh. Ia berjanji tidak akan kembali ke istana walaupun nantinya si Kebrok sudah mati. Kemudian, kuda itu ditambatkannya di sebuah pohon. Setelah itu, diturunkan kantong bekal yang ada di punggung kuda. Dengan perlahan-lahan kantong itu dibukanya. Ternyata, isinya tidak hanya bekal makanan, tetapi beberapa peralatan itu misalnya, arit, pisau, gayung dari tempurung, batu penggerut untuk membuat api. Betapa bersyukurnya Pangeran Jayakusuma melihat benda-benda pemberian itu. Benda-benda itu lalu dimasukkan dan dirapikannya kembali ke dalam kantong.
Pada pagi dini harinya, setelah merapihkan diri dan membersihkan tempat peristirahatannya semalam, Pangeran Jayakusuma kemudian meninggalkan daerah perbatasan dengan menunggangg kuda. Dyah Galuhwati duduk di bagian belakangnya. Mereka mulai memasuki lebatnya hutan. Dalam perjalan panjang itu, kuda tunggangannya tidak dilarikan, tetapi hanya diminta berjalan saja.
Sementara itu, di istana Sang Prabu menerima laporan para prajurit dan punggawa yang telah menemui Pangeran Jayakusuma. Para prajurit dan punggawa itu melaporkan bahwa mereka sudah bertemu dengan pangeran dan menyampaikan kuda beserta perkekalannya. Kemudian mereka diminta Sang Pangeran untuk kembali ke istana karena ingin mengembara tanpa dikawal prajurit. Sang Prabu tidak berkenan mendengar laporan dari para utusan. Beliau masih menginginkan para prajurit untuk tetap mengawal kepergian Pangeran Jayakusuma. Akhirnya, diperintahkanlah dua orang prajurit dan disuruh mengikuti perjalan Pangeran Jayakusuma. Oleh karena Pangeran Jayakusuma berpesan tidak mau dikawal, Sang Prabu memerintahkan dua prajurit itu untuk mengawal dari jarak yang cukup. Apabila terjadi sesuatu hal, kalau perlu prajurit itu meminta bantuan ke penduduk yang dilewatinya. Yang penting, pinta Sang Prabu, perjalanan kedua adiknya tetap terjaga dari mara bahaya.
Perjalanan Pengeran Jayakusuma menuju ke arah barat daya. Hutan dan gunung mereka lalui, sungai-sungai mereka seberangi. Di sepanjang jalan Galuhwati selalu ceriwis bertanya. Kadang-kadang pertanyaannya tentang buah atau tumbuhan yang belum pernah dilihatnya. Di kesempatan lain Galuhwati bertanya tentang perilaku atau kebiasaan masyarakat yang mereka temui. Di samping itu, Galuhwati kadang-kadang merengek-rengek karena kecapaian, kelaparan, atau kehausan. Dengan penuh sabar Pangeran Jayakusuma membuyuk adiknya agar mengurangi rengekannya. Dinasihatnya Galuhwati agar dapat menahan rasa lelah, lapar, haus dan dahaga. Dikatakannya, jika Galuhwati dapat mengekang hawa nafsunya, ia akan menjadi orang yang kuat lahir maupun batin. Tetapi, jika Galuhwati sering merengek-rengek mengeluhkan penderitaan perjalanan, lebih baik ia kembali sendiri ke istana. Karena takut disuruh kembali ke istana, Galuhwati kemudian berusaha semampunya untuk menuruti nasihat kakaknya. Di samping menasihati, Pangeran Jayakusuma juga selalu berusaha memenuhi kebutuhan adiknya. Misalnya, ia memetik berbagai macam buah lalu dimasukkan ke dalam kantong sebagai bekal makan di perjalanan. Ia juga memetik buah kelapa muda banyak-banyak lalu digantung di punggung kuda. Jika di punggung kuda itu sudah banyak tergantung berbagai macam bekal makanan, Pangeran Jayakusuma memilih untuk tidak duduk di punggung kuda. Ia berjalan di sisi kuda. Namun, Galuhwati tetap naik di atas kuda. Sering sampai berpuluh-puluh kilo jauhnya. Pangeran Jayakusuma berjalan kaki menggandeng tali kuda, sedangkan Galuhwati terkantuk-kantuk tertidur di atas kuda. Untuk menjaga keselamatan adiknya, apabila malam telah menjelang, maka Pangeran Jayakusuma mengusahakan untuk beristirahat di tepi perkampungan. Selain dapat terhindar dari ancaman binatang buas, ia dapat terhindar dari ancaman binatang buas, ia dapat memberi kesempatan pada adiknya untuk belajar bermasyarakat.
Di beberapa pedesaan yang mereka lalui, banyak di dapat pengalaman dari para penduduk sekitar. Pernah pada suatu hari yang panas mereka bertemu dengan seorang ibu yang sedang mencari kayu dengan anaknya. Si anak menangis merengek-rengek kehausan. Sementara mereka tidak membawa perbekalan. Saat itu, kelapa yang ada di punggung kuda tinggal satu buah. Padahal Galuhwati juga merasakan keharusan. Untuk menguji dan mengajarkan sifat pemurah dari adiknya, Pangeran Jayakusuma meminta agar adiknya mau memberikan kepala muda itu kepada si anak tadi. Semula, Galuhwati merasakan berat untuk memberikannya, dalam benaknya menyayangkan perintah kakaknya karena dia juga membutuhkannya. Sejenak Galuhwati berpikir, tetapi demi melihat si ibu yang tampak kerepotan membawa kayu itu tidak kuasa lagi menghentikan tangis kehausan anaknya, kemudian Galuhwati mengikhlaskan. Kemudian ia mendekat dan memberikan kelapa itu. Pangeran Jayakusuma senang dan bangga melihat kemurahan hati adiknya. Setelah melanjutkan perjalanan dan menjauh dari tempat itu, kemudian Jayakusuma membuka kantong perbekalan yang berisi buah-buahan, Galuhwati juga ikut memilih buah yang akan dimakan. Betapa terperanjatnya Galuhwati karena melihat buah kelapa muda ada di dalam kantong. Dia merasa heran. Kakaknya menjelaskan bahwa itulah balasan bagi orang yang mau bermurah hati kepada orang yang sedang membutuhkan. Dan dijelaskan lagi bahwa semua kebaikan itu pastilah ada balasannya. Padahal, sebenarnya Sang Pangeranlah yang menyimpan sebuah kelapa muda itu dalam kantong. Maka dari itu, ia berani menyuruh adiknya untuk memberikan kelapa muda yang tinggal satu di punggung kuda kepada ibu itu. Demikianlah, Sang Pangeran menggunakan salah satu cara di dalam mendidik adiknya agar mempunyai watak yang terpuji, lebih mengutamakan kepentingan kawulanya daripada kepentingan sendiri.
Di lain hal, orang-orang desa yang mereka lalui sering bertanya-tanya, "Mengapa seorang Pangeran dan adiknya bepergian tanpa pengawal?" Orang-orang desa mengetahui kalau Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati itu adalah keturunan bangsawan. Mereka dengan mudah dapat mengetahuinya dari dandanan atau pakaian yang dikenakannya. Selain itu, mereka semakin mempercayai bahwa mereka adalah bangsawan dengan melihat kuda tunggangannya. Memang, tidak mungkin jika rakyat biasa memiliki kuda yang tinggi besar dan berbulu abu-abu kehitam-hitaman, serta berekor lebat dan mengkilat. Di samping itu, yang menambah keyakinan akan kebangsawanan Pangeran Jayakusuma adalah terselipnya sebilah keris di pinggangnya. Keris itu kelihatan selalu bersinar penuh kewibawaan, apalagi jika berada di kegelapan. Atas dasar keyakinan itu, orang-orang yang kebetulan berpapasan jalan langsung menghaturkan sembah walaupun mereka belum pernah berjumpa atau belum tahu namanya.
Pada suatu hari, Pangeran Jayakusuma sampai di hutan yang sangat luas. Ia memperkirakan akan lama menembus hutan itu. Untuk itu, Jayakusuma telah mempersiapkan segala sesuatunya. Tempat air minum telah ia penuhi sebab takut kalau nantinya sulit menemukan sumber air di tengah hutan. Berbagai macam buah-buahan dan ketela dipersiapkan dalam jumlah yang cukup banyak. Lalu, mereka berdua mulai meneruskan perjalanan memasuki hutan itu. Namun, ternyata Sang Pangeran masih melupakan satu hal, ia belum mencarikan belalang untuk makanan si Kebrok. Setelah agak jauh masuk di tengah hutan, Pangeran teringat akan persediaan belalangnya yang telah habis. Tetapi, timbul pikirannya bahwa di hutan pasti banyak belalang. Dilanjutkannya perjalanan menembus hutan. Akhirnya, perjalanan itu sudah sangat jauh ke dalam hutan, tetapi belum juga ditemukan komunitas kehidupan belalang. Pangeran Jayakusuma merasa agak resah. Bahkan tiba-tiba, Galuhwati berkata, "Kangmas, mengapa si Kebrok sejak tadi tidur saja, tidak bangun-bangun." Sang Pangeran terperanjat. Dipandangannya si Kebrok dengan cermat. Nafas si Kebrok masih terlihat teratur, hanya agak lemah. Sang Pangeran ingat kalau si Kebrok seharian memang belum makan. Kemudian, Sang Pangeran menghentikan perjalanannya. Ditambatkannya kudanya. Karena perutnya juga sudah terasa lapar, Galuhwati disuruh membakar ketela, Pangeran Jayakusuma membantu membuatkan api. Di saat Galuhwati membakar ketela. Pangeran Jayakusuma berjalan-jalan di sekitar tempat tersebut untuk mencari belalang. Dia berpikir, "Mengapa di daerah ini tidak ada belalang. Padahal banyak rerumputan dan tumbuh-tumbuhan." Di situ juga terlihat kuda tunggangannya dengan lahapnya memakan rerumputun. Pangeran Jayakusuma menjadi kesal hatinya. Lalu, didekatinya kembali adiknya. Sementara itu, Galuhwati sibuk membolak-balik ketela bakarnya. Pangeran memandang adiknya dengan penuh iba. Dalam hatinya dia berpikir, Waah, kasihan Galuhwati ini. Dia harus hidup menderita dan penuh perjuangan. Seharusnya tanggannya yang lentik kuning itu tidak pantas untuk menyentuh jelaga ketela bakar seperti itu." Di dalam kebisuan itu, Galuhwati berkata pelan kepada kakaknya, "Coba Kangmas, si Kebrok itu didekatkan di perapian ini agar tubuhnya hangat." Pangeran Jayakusuma mengikuti saja apa kata adiknya. Diambilnya keranjang tempat si Kebrok dan diletakkan di dekat perapian. Anehnya, si Kebrok kemudian menggerak-gerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Pangeran Jayakusuma wajahnya bersinar kegirangan. Dia berkata dengan mantap, "Heehh, Yayi, benar Yayi, si Kebrok mau bangun. Mungkin benar, ia kedinginan." Galuhwati tersenyum manja, lalu katanya, "Kangmas, siapa tahu si Kebrok itu bangun bukan hanya karena merasa hangat di perapian ini, tapi....mungkin karena tertarik dengan aroma ketela bakar." Pangeran Jayakusuma cepat menyahut,"Ahh, Yayi ini kok ada-ada saja. Ya jelas hal itu tidak mungkin, masa seekor burung puyuh doyan ketela bakar." Galuhwati seperti mempunyai keyakinan bahwa si Kebrok mau bangun lantaran aroma ketela bakar. Kemudian, dia meminta izin kakaknya, Bolehkah aku mencoba Kangmas? Aku percaya kalau si Kebrok menyukai ketela ini. Dan lagi, ketela ini tidak akan membuat Kebrok mabuk." Pangeran Jayakusuma lalu mengangguk pelan, pertanda dia menyetujui usul adiknya. Galuhwati lalu memotong ketela bakar itu menjadi beberapa bagian. Ketela itu agak dihancurkan agar halus. Kemudian dimasukkan ke dalam keranjang si Kebrok. Betul-betul aneh, si Kebrok langsung mau mematuk-matuk ketela itu. Setelah itu dimakannya dengan cepat. Pangeran Jayakusuma menjadi heran. Sejauh pengalamannya memelihara burung puyuh belum pernah mendapati kejadian itu. Dipujinya adiknya berualang-ulang. Pangeran Jayakusuma kelihatan gembira sekali karena si Kebrok yang semula terlihat hampir mati sudah segar kembali. Si Kebrok sudah tidak kelihatan lemas. Setelah si Kebrok kelihatan kenyang, Pangeran Jayakusuma berdiri mengambil air. Diminuminya puyuh kesayangannya itu.
Tidak terasa, hari-hari telah mereka lalui, minggu berganti minggu, bahkan sudah beberapa bulan mereka mengembara, Suka duka dalam perjalanan telah mereka rasakan bersama. Kira-kira setelah satu tahun dalam pengembaraan, sampailah mereka di suatu tempat. Di daerah itu terlihat adanya suatu kehidupan masyarakat. Pangeran Jayakusuma memberikan salam pada salah seorang warga desa itu. Kepadanya ditanyakan mengenai nama desa dan siapa pemimpinnya. Orang itu dengan senang hati banyak memberikan informasi. Diceritaknnya bahwa daerah itu bernama desa Bagelen. Di desa Bagelen ada seorang wanita yang dijadikan tetua yang sangat dihormati. Ia bernama Nyai Bagelen. Ia adalah orang yang sakti mandraguna. Hebatnya, Nyai Bagelen sangat menghormati suaminya walaupun kepandaiannya lebih daripada suaminya. Menurut cerita, Nyai Bagelen itu masih mempunyai darah keturunan dari bangsawan Majapahit. Selain menyukai petualangan di berbagai tempat tujuan, Ia juga rajin dalam bertapa untuk mendekatkan diri pada sang Penguasa. Mendengar penjelasan dari orang desa tersebut, Pangeran Jayakusuma tertarik dan ingin berjumpa dengan Nyai Bagelen. Kemudian dimintanya pada orang desa itu untuk mengantarkan menemui Nyai Bagelen. Tidak berapa jauh perjalanannya, sampailah Pangeran Jayakusuma dengan Galuhwati di tempat pesanggrahan Nyai Bagelen. Setelah bercakap-cakap panjang lebar, diketahuilah dari silsilah bahwa Nyai Bagelen ternyata adalah bibi Pangeran Jayakusuma. Lalu, Nyai Bagelen menawari pada Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati untuk tinggal bersama. Namun, Pangeran Jayakusuma telah berniat tidak akan merepotkan orang lain dalam pengembaraannya. Oleh karena itu, Pangeran Jayakusuma tidak mau. Dia hanya meminta petunjuk pada bibinya tentang daerah mana yang sebaiknya ia tuju. Setelah mengembara cukup lama, tibalah saatnya bagi Pangeran Jayakusuma untuk memikirkan tempat untuk menetap. Maksudnya, bertanya tentang daerah yang dapat dijadikan tempat tinggal. Lalu, Nyai Bagelen setelah mengheningkan cipta sesaat memberi nasihat dan menunjukkan daerah yang harus dituju. Ditunjukkan bahwa sebaiknya Pengeran Jayakusuma berjalan menuju ke arah barat dari desa Bagelen. Namun, Nyai Bagelen tidak menunjukkan secara tepat tanah yang dapat didirikan tempat tinggal. Tidak pula dijelaskan seberapa jauh perjalanan yang harus ditempuh ke arah barat dari desa Bagelen. Setelah mendengar nasihat dari bibirnya, Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati kemudian memohon pamit setelah dirasa cukup memperoleh petunjuk. Diiringi oleh beberapa orang sesepuh desa dan penduduk, Nyai Bagelen menghantarkan mereka sampai di pintu gerbang. Ketika telah sampai di pintu gerbang Nyai Bagelen berpesan sekali lagi, yaitu jika mereka menemui kesulitan dalam perjalanan, Nyai Bagelen bersedia memberikan bantuan. Mereka diberi pesan agar tidak sungkan untuk meminta bantuan ke bibinya itu.
4. Pembukaan Tlatah Banyuurip
Perjalanan pengembaraan Pangeran Jayakusuma dilanjutkan. Galuhwati merasa senang hatinya karena kakaknya akan membuat tempat tinggal yang tetap. Pangeran Jayakusuma berpikir-pikir, "Sampai berapa jauh saya harus berhenti? Sebenarnya, tepatnya di sebelah mana daerah yang ditunjukkan bibi Nyai Bagelen?" Ketika ia sedang berpikir, adiknya merengek-rengek minta minum. Dilihatnya sekeliling daerah ini, tidak ada pohon kelapa, apalagi tanah di sekitar itu kelihatan kering dan tandus. Lalu, Pangeran Jayakusuma terus menjalankan kudanya tanpa mempedulikan rengekan adiknya. Akhirnya, mereka sampai di suatu tempat, yaitu tanah yang ditumbuhi semak belukar dan pohon-pohon waru. Melihat Pangeran Jayakusuma turun dari kuda, Galuhwati langsung mengikuti dibelakangnya. Karena Pangeran Jayakusuma merasa hatinya belum cocok untuk berhenti, dia lalu naik kuda lagi. Galuhwati terus menggumam dan merengek kehausan di punggung kakaknya. Dia minta agar kakaknya mau kembali ke Bibi Bagelen untuk minta air minum. Kali itu Pangeran Jayakusuma betul-betul habis kesabarannya, hatinya menjadi jengkel dengan adiknya. Lalu, dihardiknya Galuhwati. Pangeran Jayakusuma turun dari kuda lagi. Kemudian Ia berjalan kaki ke arah barat menuruni jurang. Tanah di jurang itu agak rumpil dan banyak batu cadasnya. Setelah berdiri agak di bawah, ditemukannya batu besar. Di batu itu ia mengambil sikap duduk bersemedi Sementara itu, Galuhwati masih menangis tersedu-sedu di atas punggung kuda. Pelan-pelan ia turun dari kudanya. Kemudian, dengan susah payah ia ikut turun ke jurang mendekati kakaknya. Sesampainya di sisi kakaknya, Galuhwati memegangi lutut kakaknya, lalu direbahkan kepadanya. Diletakkannya kepala Galuhwati di atas paha kakaknya. Sambil menangis Galuhwati di atas paha kakaknya. Sambil menangis Galuhwati berkata, "Kangmas....Kangmas, ayo Kangmas kita kembali ke Bagelen sebentar. Saya harus sekali. Ingatlah....saya ini seorang wanita. Kekuatan seorang wanita tidak sama dengan kekuatan seorang laki-laki. Saya betul-betul sudah tidak kuat menahan haus ini." Pangeran Jayakusuma tetap membisu melanjutkan semedinya. Melihat kakaknya diam tak bergeming. Galuhwati berdiri memegangi pundak kakaknya. Diguncang-guncangkan tubuh kakaknya sekuat tenaga. Didorongnya tubuh kakaknya sebuat tenaga. Didorongnya tubuh itu ke arah belakang. Maksudnya, agar kakaknya mau bangun dari semedinya. Namun, seberapa besar tenaga gadis kecil seperti Galuhwati. Oleh karena itu, Pangeran Jayakusuma tetap tidak bergeming dari duduk bersilanya. Akhirnya, Galuhwati merasa kecapaian dengan sendirinya dan tertidur di sisi tempat duduk kakak nya yang sedang bersemedi.
Setelah beberapa saat berada dalam keheningan, Pangeran Jayakusuma terbangun dari semedinya. Dibangunkan pula adiknya yang terkulai di sebelahnya. Kemudian, Galuhwati digandeng untuk berjalan menuju ke arah barat laut naik ke sebuah bukit. Di atas bukit itu ada sebuah batu yang bentuknya bulat, warnanya hitam sekali, dan lagi mengkilat. Dari atas situ dapat terlihat daerah sekelilingnya. Kemudian, Pangeran Jayakusuma dan Galuhwati melihat-lihat keliling. Di sebelah barat dan utara terdapat hutan kecil. Di tepi hutan-hutan itu terlihat beberapa orang yang sedang mencari kayu. Di sebelah bukit itu terdapat jurang yang dipenuhi semak bekular dan pohon-pohon waru. Di sebelah tidur terdapat dataran rendah yang juga ditumbuhi semak belukar. Di sebelah tersebut terlihat kudanya yang sedang merumput dan si Kebrok berada di punggung kuda. Lucu kelihatannya.
Setelah melihat sekeliling, Pangeran Jayakusuma mendekati batu hitam di atas bukit. Dengan mengambil sikap duduk bersila Pangeran Jayakusuma bersemedi lagi. Melihat kakaknya mau bersemedi, Galuh menjadi teringat akan kehausannya. Lalu digoncang-goncangkan lagi punggung kakaknya. Dia terus merengek minta minum. Oleh karena Pangeran Jayakusuma tetap diam membisu, Galuhwati mendorongnya sampai jatuh dari batu tempat duduknya. Pangeran Jayakusuma tidak marah. Lalu dia menghentikan semedinya. Dengan sabar dia berkata Kepada Galuhwati, "Sebentar Yayi...., Aku telah mendapat petunjuk bahwa disebelah kanan itu ada sumber air." Kemudian, Pangeran Jayakusuma berjalan beberapa langkah dari batunya sambil mencabut kerisnya. Keris yang bernama Kyai Panubiru itu lalu diangkatnya ke atas dan seketika ditancapkan di tanah. Pada saat itu pula tanah disekitar mulai bergetar. Orang-orang desa disekitar pada berlarian ke bukit karena melihat sinar diatas bukit, mereka heran dan terkejut melihat dua orang duduk bersila menunggui sebuah keris yang tertancap di depannya. Orang-orang itu melihat bahwa yang bersihar adalah keris itu. Mereka belum mengenal dua orang yang menunggui keris itu. Mereka hanya mengira-ira bahwa kedua orang itu adalah keturunan bangsawan. Mereka bertanya-tanya, mengapa kedua orang itu berada diatas bukit itu. Orang-orang itu lalu ikut mengelilingi keris itu. Mereka ingin mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi.
Selang beberapa saat kemudian, tanah disekitar bukit sudah tidak bergetar lagi. Lalu Pangeran Jayakusuma dengan perlahan memegang keris yang tertancap ditanah. Dengan kedua tangannya, keris itu ditariknya pelan-pelan. Dan....apa yang terjadi? sebuah keajaiban terjadi. Dari tanah yang kering itu memancar air sebening kaca. Menampaki pancaran air Galuhwati senangnya bukan main. Heran bercampur bahagia rasanya. Lalu, cepat-cepat ia bersujud di kaki kakaknya. Galuhwati mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga. Kemudian Galuhwati mengambil air itu dengan tangannya dan meminumnya. Sepuas-puasnya dia menikmati air itu. Dibasuhnya berulang-ulang mukanya. Segera kesegaran merambat dalam wajah galuhwati. Sementara itu, Pangeran Jayakusuma kembali melangkah ke batu hitam tadi dan mengambil sikap duduk kembali. Orang-orang desa yang melihat kajadian itu bersorak. Mereka keheranan bercampur kegirangan. Betul-betul dirasakan sesuatu yang menakjubkan. Dalam keriuhan itu Pangeran Jayakusuma berkata dengan lantang penuh wibawa, "Hai kalian semua...mengapa kalian bersorak kegirangan? adakah sesuatu hal yang telah membuat kalian bergembira?" Salah seorang dari mereka memberanikan diri menjawab, "Maafkanlah kami Tuhan. Sebelum kami jelaskan sebab kegembiraan kami, perbolehkanlah kami mengetahui siapa Anda berdua ini?" Pangeran Jayakusuma tersenyum. Dalam hati ia membenarkan perkataan orang itu. Mereka memang belum saling mengenal. Lalu, Pangeran Jayakusuma menjelaskan bahwa ia adalah seorang pengembara yang berasal dari kerajaan yang terbesar di Nusantara ini. Adapun namanya yaitu Pangeran Jayakusuma dan adiknya Dyah Retno Galuhwati. Orang-orang yang mendengarkan disitu mengangguk-angguk. Kemudian Pangeran Jayakusuma mengulangi pertanyaannya, yaitu tentang kegembiaraan orang-orang melihat air. Maka, salah seorang dari mereka menjelaskannya sebagai berikut. Dikatakannya bahwa sebelum ditemukannya mata air tersebut maka daerah di sekitar wilayah itu sangat tandus. Tanah di daerah itu tidak subur. Memang daerah itu kelihatan hijau, tetapi yang tumbuh hanya pohon waru dan semak belukar, Apabila orang-orang sekitar akan mencair air, mereka harus berjalan berkilo-kilo dahulu. Yang paling sering mereka lakukan adalah mengambil air ke desa Bagelen, tepatnya disungai Bogowonto. Karena di bukit itu sekarang ada mata air, maka mereka menjadi gembira dan diperkirakan daerah itu akan menjadi daerah yang subur. Hal itu jelas menggembirakan bagi orang-orang yaitu mereka sudah tidak kesulitan mendapatkan air minum. Pangeran Jayakusuma mengangguk-anggukkan kepadanya mendengar penjelasan itu. Sejenak kemudian, Pangeran berkata, "Kalau begitu, marilah kita bekerja bergotong-royong untuk membuat sumur pada sumber air itu. Dan....dengarkanlah baik-baik, sumur itu aku beri nama sumur Beji." Orang-orang serentak mengiyakan perkataan sang Pangeran. Tanpa ada yang menyuruh, serentak mereka juga bersujud mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Jayakusuma. Kemudian, Pangeran Jayakusuma meminta beberapa orang penduduk untuk memandikan kudanya. Sudah teramat lama tubuh kuda itu tidak diguyur air.
Dengan adanya sumber air itu, orang-orang daerah kiri kanan bukit itu kemudian berdatangan. Mereka kemudian mendirikan rumah-rumah tempat tinggal baru di sekitar sumber air. Selain itu, sebagai tanda terima kasih kepada pangeran, mereka secara bergotong royong membangunkan tempat tinggal untuk Pangeran Jayakusuma dan Dyah Galuhwati. Di sebelah kanan depan rumah Sang Pangeran didirikan sebuah pendopo yang besar. Di situ di jadikan padepokan.
Beberapa hari kemudian, setelah pendopo itu jadi, orang-orang berkumpul di depan pendopo. Pangeran Jayakusuma juga ada di situ. Mereka bersepakat untuk mengangkat Pangeran Jayakusuma sebagai tetua desa sekaligus memberi nama daerah tersebut. Mendengar permintaan itu, kemudian Sang Pangeran berkata "Sehubungan dengan ditemukannya sumber air sumur Beji itu, daerah ditemukannya sumber air sumur Beji itu, daerah ini maka saya namakan Bayuurip. Ketahuilah wahai kalian semua, nama itu memiliki arti 'air penghidupan'. Maksudnya setelah ada sumber air itu, di daerah itu ada kehidupan baru. Karena sumber air itu pula, daerah ini menjadi banyak penghuninya." Mendengar penjelasan dari Pangeran Jayakusuma, orang-orang bersorak ramai. Mereka menyepakati pemberian nama Banyuurip dari Sang Pangeran. Mereka juga menyepakati. Mereka memberi julukan kepada Pangeran Jayakusuma yaitu Pangeran Bayuurip. Sejak saat itu daerah Banyuurip menjadi daerah yang subur dan makmur. Berkat kepemimpinan Pangeran Jayakusuma yang adil an bijaksana maka masyarakatnya tentram dan damai. Berkat kesaktian san pangeran maka tanah di wilayah Bayuurip dan sekitarnya berubah menjadi hitam kecoklatan. Tanah yang semula berupa cadas berwarna putih itu menjadi gembur subur. Orang-orang mulai beternak, bercocok tanam, dan berkebun di daerah itu. Mereka bahu-membahu membangun daerah Bayuurip. Mereka mulai membangun jalan-jalan baru, mereka menebangi pohon-pohon untuk membuat rumah. Adapun kayu-kayu yang dibutuhkan untuk membuat rumah, mereka mengambil kayu nangka dari desa Bagelen.
Singkat cerita, terbentuklah suatu masyarakat yang berdatangan dari daerah sekitar. Daerah Banyuurip telah terbangun suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera. Nama desa Banyuurip sudah dikenal oleh daerah-daerah sekitarnya. Desa Bagelen kekuasaan bibi Sang Pangeran juga telah mengakui keberadaan desa Bayuurip. Kearifan dan kebijaksanaan Pangeran Jayakusuma dalam mengendalikan tanah Bayuurip menjadikanya semakin di puja oleh rakyatnya. Selain itu, Pangeran Jayakusuma juga terkenal sebagai orang yang waskita, mampu melihat dengan indera keenam. Bahkan, orang-orang di luar wilayah Bayuurip banyak yang berdatangan untuk memohon petunjuk. Banyak pula orang-orang yang ikut mengabdi di padepokan Banyuurip.
5. Menyabung Puyuh yang Terakhir
Hari-hari telah berlalu tanpa terasa. Galuhwati kelihatan mulai mekar. Dia mulai menjadi gadis remaja. Kecantikan Galuhwati elok bukan alang kepalang. Raut mukanya memancarkan cahaya bagai bidadari. Kelihatannya lebih dewasa dari umur yang sebenarnya. Mungkin hal itu dikarenakan keadaan yang melingkupinya. Apalagi, dia anak yatim pintu, yang membuat dia prihatin menghadapi kehidupan. Rambut Galuhwati semakin panjang sampai melebihi pantatnya. Tubuhnya tambah berisi, tetapi tetap semampai. Kalau berjalan, kaki dan tangannya melenggang luwes sekali. Kalau tertawa tubuhnya kelihatan rapi. Jika mengulum senyum, pipinya menyembul merona. Memang, untuk melukiskan kecantikannya, pasti menjadi jatuh cinta. Di samping itu, Galuhwati pun bertambah terampil dalam hal kewanitaan. Dia sering berbincang-bincang dengan para ibu yang kebetulan bersama di sumur Beji. Di situ Galuhwati banyak bertanya mengenai hal-hal yang baik dilakukan oleh seorang wanita. Dari komunikasi dengan para ibu itu, Galuhwati menjadi banyak mendapat pengalaman. Pengalaman itu seperti cara memasak, cara mengasuh anak, dan cara merawat sebagai seorang wanita. Galuhwati betul-betul menjadi gadis idaman saat itu.
Sementara itu, Pangeran Jayakusuma juga tumbuh menjadi manusia yang gagah dan kuat. Kuat lahir maupun bahtin. Dia semakin rajin berlatih olah kanuragan. Kesakitan Pangeran Jayakusuma sudah merambah pada tataran tinggi. Selain itu, dia juga sering melakukan olah kebathinan. Puasa dan bertapa adalah hal yang rutin dikerjakan. Oleh karena itu, walaupun usia Pangeran Jayakusuma masih tergolong muda, ia sudah dianggap sebagai tetua di daerah Bayuurip. Karena ilmu dan pengetahuannya itu Pangeran Jayakusuma sering di datangi orang, baik orang-orang disekitar Banyuurip maupun dari luar daerah. Mereka banyak meminta petunjuk untuk mencari ketenangan batin.
Pada suatu pagi, ketika Pangeran Jaya-kusuma sedang duduk santai di beranda rumah, ia melihat Galuhwati berjalan dengan salah seorang pembantunya menuju ke sumur Beji. Dipandangnya lama si Galuhwati dari belakang. Tiba-tiba Pangeran Jayakusuma tersadar bahwa adiknya kini telah mengijak dewasa. Usia dimana sudah saatnya untuk dicarikan pasangan hidup. Dia bergumam pelan, "Waah...tidak terasa adikku, Yayi Galuhwati kini sudah besar... sudah dewasa." Lalu, pikirannya terus berjalan berpikir tentang masa depan adiknya. Dalam hatinya ia berkata bahwa Galuhwati telah tumbuh menjadi wanita yang amat mempesona.Di samping itu Pangeran Jayakusuma juga merasa kasihan terhadap adiknya yang kini hidup jauh dari tempat asalnya, istana. Sambil merenung-renung Pangeran Jayakusuma memikirkan kehidupan mendatang bagi adiknya. Jauh terbersit dalam perasaannya bahwa tidak mungkin kalau Galuhwati terus-menerus hidup bersamanya. Sampai malam Sang pangeran memikirkan akan adiknya. Ia bertanya-tanya dalam hari, "Apakah yang harus dia lakukan untuk adiknya yang patut menjadi suaminya kelak? Siapakah yang patut menjadi suaminya kelak? Pasti orang-orang desa itu tidak ada yang berani menyuntingnya. Selain tidak sepadan, mereka juga akan merasa berkecil hati menghadapi sang putri. Pangeran Jayakusuma betul-betul terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dia merasa bahwa semua sudah menjadi tanggung jawabnya. Ia merasa bahwa dirinya bukan hanya seorang kakak, tetapi juga pengganti orang tuanya. Untuk menemukan jalan keluarnya, Pangeran Jayakusuma kemudian bersuci diri. Dilangkahkanlah kakinya menuju batu hitam tempat semedi. Segera Pangeran Jayakusuma mengambil sikap bersemedi di situ. Dengan penuh keyakinan meminta petunjuk dari Sang Pencipta ia berharap akan memperoleh wahyu sebagai petunjuk (Jawa: wisik) dari berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikirannya.
Malam itu Pangeran Jayakusuma bertafakur dengan khidmadnya. Ketika menjelang subuh, ia melihat seperti sinar bintang meluncur cepat menuju ke arah barat laut. Baginya sinar itu merupakan suatu petunjuk. Kemudian, pertanda itu di pelajarinya. Setelah ditafsirkan dan di pelajari maknanya, dia mulai melaksanakan petunjuk itu. Diisyaratkan bahwa Pangeran Jayakusuma harus berjalan menuju ke barat seperti arah luncuran sinar tadi malam. Tak lupa ia menggendong si Kebrok. Pokoknya, kemanapun Pangeran Jayakusuma pergi, si Kebrok pasti digendongnya.
Kira-kira sepuluh kilo Pangeran Jayakusuma telah berjalan ke arah barat, ia melihat sinar bintang seperti yang dilihat pada malam sebelumnya. Sinar itu berada di atas rumah seseorang. Atap rumah tersebut kelihatan terang benderang. Atap rumah tersebut kelihatan terang benderang. Pangeran Jayakusuma agak heran melihat hal itu. Aneh sekali, siapakah gerangan pemilik rumah itu. Tanpa pikir panjang, Pangeran Jayakusuma mengetuk pintu rumah itu. Setelah beberapa saat, keluarlah seorang lelaki yang kepadanya bersorban. Laki-laki tersebut usianya kira-kira dua atau tiga tahun di atas Pangeran Jayakusuma. Laki-laki itu lalu membungkuk hormat dan menyilakan tamunya. Pangeran Jayakusuma mengenalkan dirinya. Diceritakannya asal usul dirinya serta tempat tinggalnya sekarang. Begitu pula laki-laki itu, ia juga mengenalkan dirinya. Laki-laki itu adalah seorang pertapa. Ia bernama Ki Manguyu. Ia seorang yang berbudi luhur, tetapi ia bukan seorang keturunan bangsawan. Ia tidak menceritakan asal usulnya. Hanya dikatakan bahwa dirinya juga seorang pengembara seperti Pangeran Jayakusuma. Ia juga gemar akan oleh kanuragan.
Mereka bercakap-cakap tidak begitu lama karena hari telah larut malam. Pangeran Jayakusuma berpikir bahwa bertamu untuk pertama kali jangan terlalu lama, apalagi waktu sudah tidak mengijinkan untuk bersilaturahmi. Lalu, Pangeran Jayakusuma mohon pamit. Sebelum pamit, Pangeran mengatakan bahwa di lain waktu ia akan berkunjung kembali.
Pertemuannya dengan Ki Manguyu menjadikan ketentraman hatinya. Pangeran Jayakusuma merasa mendapat kawan yang baik dengan Ki Manguyu itu. Rasanya, Pangeran Jayakusuma ingin selalu dapat berbincang-bincang dengan Ki Manguyu. Berhari-hari dia memikirkan cara menjadikan Ki Manguyu mau mendampingi adiknya. Pangeran Jayakusuma telah mengamati pribadi Ki Manguyu, Ki Manguyu telah dinilai oleh Pangeran Jayakusuma sebagai orang yang paling cocok untuk pendamping adiknya.
Pagi itu udara segar, cuaca amat cerah. Seperti biasa Galuhwati pergi ke sumur Beji. Saat Galuhwati di sumur Beji, Pangeran Jayakusuma berjalan-jalan sampai di rumah Ki Manguyu. Pada waktu Pangeran Jayakusuma sampai di rumah Ki Manguyu, ia melihat Ki Manguyu sedang menjemur puyuh-puyuhnya di sebuah kurungan yang besar. Dalam hati Pangeran Jayakusuma merasa senang karena Ki Manguyu pun memiliki kegemaran pada puyuh. Setelah memberi salam, Pangeran Jayakusuma mendekati Ki Manguyu. Dengan ramahnya Ki Manguyu mengajak Pangeran Jayakusuma melihat ternak-ternak piaraannya. Ternyata, Ki Manguyu itu adalah orang yang rajin. Kandang ternaknya banyak. Ada ternak sapi, kerbau, ayam, kambing dan puyuh. Setiap hari ternak-ternak itu dirawatnya dengan dibantu dua orang pembantunya. Walaupun Ki Manguyu memiliki banyak puyuh, dia tidak pernah menyabungnya. Semua ternaknya gemuk-gemuk. Meskipun untuk mendapatkan air itu sulit, Ki Manguyu tidak pernah malas mengambil air untuk ternak-ternaknya. Itu semua dilakukan dengan senang hati. Bagi Ki Manguyu, mengambil air yang jaraknya berkilo-kilo meter itu digunakan untuk melatih kekuatan tubuhnya.
Dari beberapa kunjungannya itu, Pangeran Jayakusuma memperoleh akal. Dia berencana untuk menyabung puyuhnya dengan puyuh Ki Manguyu. Dalam persabungannya nanti, si Kebrok harus dikalahkan. Sebagai taruhannya adalah Galuhwati. Rencana itu disimpan dalam-dalam di hatinya. Hari-hari sebelum persabungan itu dilaksanakan, Pangeran Jayakusuma mengadakan persabungan puyuh dengan orang-orang desa. Karena seringnya, banyak orang-orang sekitar Banyuurip, mengetahui persabungan itu. Sampai-sampai kegiatan persabungan itu terdengar oleh Ki Manguyu. Ki Manguyu tidak suka mendengar Pangeran Jayakusuma gemar menyabung puyuh. Sebagai orang yang sudah dianggap menjadi teman baik, Ki Manguyu ingin memberi saran atau nasihat. Ki Manguyu lalu berkata pada orang-orang yang sering menyaksikan persabungan, yaitu bahwa Ki Manguyu ingin bertemu dengan Pangeran Jayakusuma. Ia ingin menyampaikan rasa kebenciannya pada persabungan. Baginya, persabungan itu menjadikan masyarakat akan melalaikan kewajiban harian mereka. Orang-orang yang mendengar pesan Ki Manguyu lalu menyampaikannya pada Pangeran Jayakusuma. Sangatlah senang Pangeran Jayakusuma. Sangatlah senang Pangeran Jayakusuma mendengar laporan dari orang-orang desa itu. Pancingan Pangeran Jayakusuma telah mengena. Hal itu mengisyaratkan bahwa jalan menemukan Galuhwati dengan Ki Manguyu semakin dekat.
Keesokan harinya, Ki Manguyu berangkat menuju ke padepokan Banyuurip. Dia memperkirakan di situ ada persabungan. Memang benar, di depan pendapa terlihat Pangeran Jayakusuma berdiri sambil mengelus-elus si Kebrok. Tempat persabungan di kebun sisi kanan padepokan. Ki Manguyu melangkah mendekati Pangeran Jayakusuma. Melihat Ki Manguyu mendekati, Pangeran Jayakusuma mempersilakan dengan ramah. Bahkan, ditawarinya Ki Manguyu untuk mengikuti persabungan itu. Ki Manguyu bersikap dingin menanggapi tawaran bersabung. Sebaiknya, Pangeran Jayakusuma semakin senang karena kelihatannya Ki Manguyu tidak menyukai persabungan itu. Lalu, Ki Manguyu mulai mengajak berbicara. Ia menanyakan tentang kegemaran itu pada Pangeran Jayakusuma. Ki Manguyu menyarankan untuk menghentikan kegemaran itu. Saat-saat pembicaraan seperti itulah yang ditunggu oleh Pangeran Jayakusuma. Lalu, Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa dirinya akan menghentikan kegemaran menyabung puyuh itu jika ada yang dapat mengalahkan si Kebrok. Bahkan, Pangeran Jayakusuma menantang puyuh-puyuh Ki Manguyu untuk mengalahkan si Kebrok. Ki Manguyu tetap tidak mau bersabung puyuh. Dia terus mengusulkan untuk menggagalkan persabungan hari itu dan menyarankan kepada Pangeran Jayakusuma untuk meninggalkan kebiasaan itu. Sekali lagi Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa dia mau menghentikan kegemaran itu asal ada yang dapat mengalahkan si Kebrok. Mendengar penjelasan itu, Ki Manguyu lalu meninggalkan arena persabungan.
Dalam perjalanan pulang, Ki Manguyu berpikir bahwa dia betul-betul ingin berpikir bahwa dia betul-betul ingin menghentikan kebiasaan Sang Pangeran itu. Tetapi caranya bagaimana? Sesampainya di rumah, dia merenung-renung di depan kandang puyuhnya. Berbagai alternatif pemecahan di coba dipikirkannya, namun Ki Manguyu belum juga mendapatkan jawabannya. Dalam proses perenungannya, Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kandang yang paling sudut. Di situ ada seekor puyuh yang badannya agak besar. Dengan segera Ki Manguyu mengeluarkannya dari kandang. Puyuh itu tampak kuat dan gagah. Melihat sosok puyuh itu tampak kuat dan gagah. Melihat sosok puyuh itu, Ki Manguyu mendapat jawaban untuk menghentikan kebiasaan sang Pangeran. Lalu, ia segera kembali ke Banyuurip untuk menemui Pangeran Jayakusuma.
Di padepokan Banyuurip masih terlihat banyak orang yang bersorak-sorai mengerubungi pertarungan burung puyuh milik Pangeran Jayakusuma. Si Kebrok kelihatan sangat lincah dengan menerjangkan kuku-kukunya. Berkali-kali si Kebrok berhasil menghantam lawannya, dan kadangkala dengan cerdiknya menghidari hantaman balasan dari lawannya. Si Kebrok memang puyuh unggulan, tidak berapa lama tampaklah jelas bahwa kemenangan tinggal menunggu waktunya. Ki Manguyu dari jarak jauh mengamati si Kebrok. Dia beerpikir bahwa si Kebrok adalah puyuh berbadan kecil. Mungkin bisa dikalahkan dengan puyuhnya belum pernah diadu. Jadi, puyuhnya masih memerlukan latihan. Ki Manguyu mulai muncul keinginannya untuk menantang si Kebrok. Keinginan mengadu itu hanya karena ingin menghentikan kebiasaan persabungan siang itu selesai, Ki Manguyu berunding dengan Pangeran Jayakusuma tentang tantangan adu puyuh. Tantangan itu diterima oleh Pangeran Jayakusuma. Sebelum waktu persabungan ditentukan, Pangeran Jayakusuma menanyakan taruhannya. Ki Manguyu mengatakan bahwa dirinya tidak punya harta yang dapat dijadikan taruhan. Dia hanya menyerahkan dirinya sebagai taruhannya. Dirinya boleh dijadikan abdi atau apa saja jika puyuhnya kalah dalam pertarungan nanti. Sebaliknya, Pangeran Jayakusuma memberikan taruhan untuk pertarungan itu adalah adiknya, si Galuhwati. Ki Manguyu terkejut keheranan mendengar perkataan Pangeran Jayakusuma. Lalu Ki Manguyu bertanya, mengapa Yayi niluh Galuhwati yang dijadikan taruhannya. Dijawabnya oleh Pangeran Jayakusuma bahwa taruhan itu sudah seimbang. Jika taruhannya adalah harta benda, itu namanya tidak adil. Bahkan, Pangeran Jayakusuma menambahkan bahwa kalau puyuh Ki Manguyu betul-betul dapat mengalahkan si Kebrok, Ki Manguyu diperbolehkan membuat tempat tinggal di dekat padepokan. Pangeran Jayakusuma juga menguji keberanian Ki Manguyu untuk mengadu puyuhnya. Hati Ki Manguyu semakin membara, semakin bulat pula niatnya untuk melatih puyuhnya. Dia bepikir bahwa dia mengadu puyuh kali itu bukan untuk menumbuhkan suatu hobi, tetapi merupakan suatu upaya baik untuk Pangeran Jayakusuma. Dari persabungan nanti diharapkan agar Pangeran Jayakusuma betul-betul dapat sembuh dari kegemaran yang tidak baik. Masalah taruhan bagi Ki Manguyu tidak begitu dipikirkan. Selain itu, Ki Manguyu seperti telah mendapat firasat kalau puyuhnya akan menang.
Di lain hal, Galuhwati sebenarnya bersedih hatinya karena melihat kakaknya yang kembali gemar menyabung. Dari dahulu sebetulnya Galuhwati membenci persabungan yang dilakukan kakaknya. Namun, Galuhwati tidak tahu kalau persabungan yang dilakukan kakaknya kali ini merupakan suatu usaha kakaknya untuk dirinya. Usaha itu juga merupakan wujud kasih sayang dan tanggung jawab kakaknya pada dirinya. Ketika Galuhwati sedang memikirkan cara untuk menghentikan kegemaran kakaknya, dia dipanggil bibi pemomongnya. Bibi itu mengatakan bahwa Galuhwati dipanggil Pangeran Jayakusuma di pendapa. Galuhwati pun langsung menemui kakaknya. Setelah berbincang-bincang, Pangeran Jayakusuma meminta Galuhwati untuk mendatangi persabungan puyuh yang akan diadakan tiga hari lagi. Galuhwati, dalam hatinya, ingin berontak, yaitu ia tidak mau menuruti permintaan kakaknya. Namun, sebelum Galuhwati mengutarakan maksudnya, Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa itu merupakan permintaan kakaknya yang terakhir. Galuhwati menjadi takut akan perkataan kakaknya itu. Mengapa merupakan yang terakhir? Akan ada apakah sebenarnya dengan kakaknya. Galuhwati betul-betul menjadi takut. Lalu, ia menyetujuinya.
Seperti hari yang telah dijanjikan, Ki Manguyu datang ke Padepokan dengan membawa puyuhnya. Orang-orang telah banyak yang hadir. Pangeran Jayakusuma memang telah mengumumkan pada masyarakat kalau hari itu ada pertarungan yang tidak seperti biasanya. Mereka dimohon hadir sebanyak-banyaknya. Tidak hanya orang laki-laki saja yang hadir, tetapi para wanita juga banyak. Mereka tidak ada yang mengetahui rencana Pangeran Jayakusuma. Galuhwati pun diminta oleh kakaknya untuk berdandan dengan menguraikan rambutnya. Pangeran Jayakusuma mengatakan pada Galuhwati bahwa hari itu Galuhwati harus kelihatan cantik. Sementara orang-orang telah datang, Pangeran Jayakusuma mempersiapkan si Kebrok. Setelah si Kebrok dimandikan, dibawanya ke kamarnya. Si Kebrok diberi reramuan jamu dari daun-daunan. Reramuan yang telah dibuat oleh Pangeran Jayakusuma sendiri itu bertujuan untuk membuat tubuh si Kebrok lemas dalam jangka waktu yang pendek. Jadi, diperkirakan oleh Pangeran Jayakusuma bahwa si Kebrok akan pingsan beberapa menit dalam pertarungannya.
Ketika Pangeran Jayakusuma keluar dengan menggendong si Kebrok, orang-orang di padepokan bersorak. Pangeran Jayakusuma lalu memerintahkan untuk menuju lapangan pertarungan. Galuhwati berada di belakang kakaknya. Sesampainya di tempat pertarungan, Ki Manguyu sempat memperhatikan Galuhwati. Katanya dalam hati, "Betapa cantiknya adik Pangeran Jayakusuma ini. Mengapa sampai tega dijadikan taruhannya?" Galuhwati pun merasakan hal yang aneh dalam hatinya ketika melihat Ki Manguyu. Dia bertanya-tanya, mengapa di desa seperti ini ada orang seperti itu, kelihatan lembut orang itu.
Pangeran Jayakusuma memberi aba-aba bahwa pertarungan segera dimulai. Dielus-elusnya kepala si Kebrok. Ditiup-tiupnya pula matanya agar kelihatan bersinar. Lalu si Kebrok diaju-ajukan pada puyuh Ki Manguyu. Sayap si Kebrok kelihatan mengembang. Sementara itu, Ki Manguyu merentang-rentangkan sayap puyuhnya. Dijunjungnya tinggi-tinggi lalu dilepaskan. Kelihatan lebih gagah puyuh itu dibanding si Kebrok. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu mulai meriah dengan taruhan-taruhannya. Hampir semua warga Banyuurip bertaruh kemenangan pada si Kebrok karena mereka sudah tahu ketangguhan si Kebrok. Namun, masih ada beberapa orang dan luar desa Banyuurip yang memberi taruhan pada puyuh milik Ki Manguyu karena melihat tubuh puyuh yang lebih besar.
Pertarungan pun dimulai. Riuh rendah mereka bersorak. Jika salah satu puyuh yang kena patukan, bersoraklah mereka. Ada yang berteriak-teriak sampai otot lehernya kelihatan. Kelihatannya, kedua puyuh sama-sama kuat. Belum ada yang mau lari. Pangeran Jayakusuma yang pada permulaannya kelihatan tenang menjadi agak gelisah karena si Kebrok tidak kelihatan lemas. Si Kebrok bahkan menunjukkan kebolehannya seperti kalau diajak bertarung hari-hari sebelumnya. Pangeran Jayakusuma bertanya-tanya, mengapa jamu ramuan yang diminumkan si Kebrok tidak membuat lemas tubuhnya. Namun, sebaliknya, bagi orang yang menjagoi si Kebrok semakin senang. Teriakan mereka semakin menjadi. Melihat keadaan seperti itu Galuhwati mulai tidak senang. Dia malu pada diri sendiri. Dia merasa tidak pantas berada di situ sebagai seorang wanita. Dia rasanya ingin lari dari arena itu. Pangeran Jayakusuma tahu kalau adiknya resah tidak betah di situ. Pangeran Jayakusuma lalu mendekati adiknya. Dia tahu kalau adiknya mempunyai hati yang keras dan manja. Ingin selalu kemauannya dituruti. Pelan-pelan dibujuknya Galuhwati agar mau sabar menunggui selesainya pertarungan itu. Pangeran Jayakusuma juga menjelaskan bahwa pertarungan itu tidak akan lama. Dia katakan bahwa si Kebrok akan kalah karena badannya lebih kecil. Mendengar penjelasan itu, Galuhwati menjadi tidak tega kalau si Kebrok kalah. Dia lalu ingin memberi semangat pada si Kebrok.
Ketika Pangeran Jayakusuma kembali memperhatikan pertarungan itu sangat terkejut, tetapi juga agak senang. Terkejut karena si Kebrok telah ambruk dengan nafas yang tersengal-sengal, merasa senang karena kekalahan itu sama dengan rencananya. Orang-orang yang berada di pihak si Kebrok menjadi melongo dan membelalak terkejut. Mereka merasa kaget bukan main melihat kondisi si Kebrok yang tiba-tiba ambruk tampa lemas lebih dahulu. Keterkejutan itu juga dialami Ki Manguyu. Dia merasa heran bercampur bersyukur. Heran karena kemenangan puyuhnya yang tidak pernah menjadi puyuh aduan, bersyukur karena dia bakal bisa menghentikan kebiasaan Pangeran Jayakusuma. Lain halnya dengan Galuhwati, dia menjadi sangat sedih melihat keadaan si Kebrok. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia sebenarnya memberi persabungan, tetapi mengingat si Kebrok sudah seperti keluarga yang menemani perjalanan pengembaraan, Galuhwati menjadi sedih. Lalu diambilnya air, dan kakaknya disuruh meminumkannya. Namun, si Kebrok tetap lemas tak dapat berdiri. Semua orang yang melihat ikut berdebar-debar. Mereka bertanya-tanya, apa yang akan terjadi?.
Dalam suasana yang penuh tanya itu, Pangeran Jayakusuma maju ke tengah-tengah arena. Dia berkata dengan lantang, "Hai semua yang hadir,..... yang ikut menyaksikan pertandingan dan rombongan Ki Manguyu,......saya ingin menyampaikan beberapa pernyataan. Mohon dengarkanlah." Orang-orang di situ serempak mengiyakan. Lalu, Pangeran Jayakusuma melanjutkan lagi, "Saya sebagai orang yang kalian anggap sebagai tetua dan kalian percayai,......ingin melaksanakan seperti apa yang telah saya ujarkan. Pertama, saya mengakui kemenangan puyuh Ki Manguyu dan saya menerima kekalahan si Kebrok dengan lapang dada. Kedua, dengan kekalahan ini akan saya laksanakan janji taruhan saya. Dengan disaksikan oleh banyak orang, adik saya yang bernama Yayi Dyah Retno Galuhwati saya serahkan kepada Ki Manguyu. Hanya saja, adik saya tidak saya serahkan langsung hari ini, tetapi tujuh hari lagi. Kalian boleh menyaksikan serah terima itu di padepokan. Dan....ketiga, mulai saat ini saya tidak akan mengadakan persabungan lagi. Persabungan itu ternyata sangat dibenci oleh orang-orang yang tahu kebijakan dan kebijaksanaan." Selesai berkata begitu, Pangeran Jayakusuma mendekati Ki Manguyu. Mereka mengadakan perjanjian sendiri, yaitu nanti malam mereka akan bertemu. Seperti kejatuhan bintang dari langit, hati Ki Manguyu amat bahagia. Dia betul-betul orang yang beruntung. Sepanjang perjalanan pulang, dia mengucap terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Memang, rasanya sudah pantas jika Ki Manguyu memperoleh hadiah seperti itu. Ki Manguyu adalah orang yang bijak. Selain itu, ia adalah orang yang kuat lahir dan batin. Tubuhnya yang tinggi mendukung kemahirannya dalam olah kanuragan. Ki Manguyu juga termasuk orang yang sangat hati-hati dan waspada. Oleh karena itu, dia juga akan sangat hati-hati dalam menerima perjanjian nanti malam.
Kembali pada keadaan di Banyuurip. Setelah arena sudah agak sepi. Pangeran Jayakusuma mendekati Galuhwati. Galuhwati sedang menunggui si Kebrok dengan dua orang pembantunya. Pangeran Jayakusuma ikut jongkok di sebelah adiknya. Lalu, digendongnya si Kebrok sambil membimbing Galuhwati. Diajaknya Galuhwati di padepokan. Sampai di padepokan, Pangeran Jayakusuma memberi nasihat kepada Galuhwati banyak-banyak. Dijelaskannya tentang perjodohannya dengan Ki Manguyu. Galuhwati pun menuruti apa kata kakaknya. Hanya, Galuhwati minta agar Pangeran Jayakusuma tidak meninggalkan dirinya. Dia juga minta agar Pangeran Jayakusuma tidak mengembara lagi. Lalu Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa setelah nantinya Galuhwati diboyong oleh Ki Manguyu, mereka diperbolehkan kembali ke Banyuurip dan bertempat tinggal di Banyuurip.
Malam pun datang. Pangeran Jayakusuma telah berada di padepokan bersama beberapa orang. Mereka menunggu kedatangan Ki Manguyu. Sambil menunggu, mereka berbincang-bincang tentang rencana pembangunan desa Banyuurip. Mereka ingin membangun sumur-sumur lagi. Salah satu sumur yang mereka rencanakan yaitu berada di dekat padepokan. Sumur itu oleh Pangeran akan diberi nama sumur Perigi. Saat mereka sedang asyik bercakap-cakap, Ki Manguyu telah hadir bersama keempat orang temannya. Setelah dipersilahkan untuk masuk, mereka beramah-tamah. Kemudian, Pangeran Jayakusuma mulai menyampaikan isi hatinya.
Pangeran Jayakusuma menghendaki agar Ki Manguyu mau tinggal di Banyuurip. Dimintanya agar Ki Manguyu dapat melindungi dan menjaga adiknya, si Galuhwati. Dijelaskannya bahwa Galuhwati itu adalah anak bungsu yang manja. Sudah terlalu sering kakaknya mengalah untuk menuruti kemaunnya. Dimohonkan maaf kalau adiknya nanti kurang pandai memberi layanan masak dan sebagainya. Hal itu terjadi karena Galuhwati itu semula pergaulannya terbatas, yaitu hanya di kalangan keraton saja. Jadi, dia belum dapat bermasyarakat seperti layaknya orang-orang desa. Pangeran Jayakusuma juga meminta agar Ki Manguyu tidak menyia-nyiakan adiknya.
Mendengar cerita dan nasihat dari Pangeran Jayakusuma, Ki Manguyu hanya dapat mengiyakan dan mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia sangat bersyukur sekaligus harus berjuang. Dia amat berterima kasih karena mendapat istri secantik Galuhwati, dan lagi putri keraton. Namun, dia meyadari sepenuhnya harus berjuang, dalam artian, ia harus banyak belajar hidup dengan penuh pengertian menuruti kemauan seorang istri yang berbeda derajat keturunannya.
Benar! Tepat pada hari ketujuh setelah kalahnya si Kebrok, perjodohan Ki Manguyu dan Galuhwati berlangsung. Ramai sekali desa Banyuurip. Berita perjodohan itu juga sampai kepada bibinya, Nyai Bagelen. Singkat cerita, Galuhwati mau diboyong ke rumah Ki Manguyu, yaitu di desa Condong. Sebelum diboyong, Ki Manguyu dan Galuhwati mohon pamit kepada Pangeran Jayakusuma. Mereka memohon doa restu agar selalu rukun dan sejahtera. Galuhwati terasa berat untuk berpamitan. Dia menangis sambil menciumi tangan kakaknya. Rasanya tak mau berpisah barang sekejap pun. Namun, Ki Manguyu dengan halus membujuknya dan Galuhwati pun menurutinya. Mereka kemudian bertempat tinggal di desa Condong.
6. Kematian Si Kebrok
Berhari-hari Pangeran Jayakusuma berjalan keliling mencari keberadaan si Kebrok. Siang malam dia terus berjalan dan berjalan. Yang menjadi keinginannya yaitu menemukan si Kebrok, baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Setelah beberapa hari si Kebrok belum diketemukan, Pangeran Jayakusuma berniat mencari ke luar daerah Banyuurip.
Pagi harinya, Pangeran Jayakusuma mulai berangkat ke luar daerah Banyuurip. Ia berjalan menuju ke arah utara. Di perjalanan ia bertemu dengan orang-orang yang akan pergi ke sumur Beji. Setelah saling menyapa, Pangeran Jayakusuma bertanya tentang asal rumah orang-orang itu. Mereka menjawab bahwa mereka dari desa sebelah, yaitu sebelah utara Banyuurip.
Pangeran Jayakusuma bertanya lagi, bagaimana mereka tahu kalau di Banyuurip ada sumber air. Orang-orang itu menjawab bahwa beberapa hari yang lalu mereka melihat persabungan puyuh dan melihat sumur itu. Ditanyakan lagi bagaimana mereka mengetahui ada pertandingan adu puyuh. Mereka menjawab bahwa mereka mendengar Pangeran Jayakusuma membentak-bentak si Kebrok saat bertarung. Maksudnya, bentakan Pangeran Jayakusuma terdengar sampai di daerah utara desa Banyuurip (Kata bentakan dalam bahasa Jawanya adalah sentakan).Kemudian Sang Pangeran berkata bahwa besok daerah ini, di tempat pertemuan ini, agar diberi nama desa Sentakan. Orang-orang tersebut serentak menyepakatinya.
Perjalanan Sang Pangeran diteruskan. Ia lalu membelokkan perjalanannya ke arah barat laut dari desa Banyuurip. Di tengah-tengah perjalanannya itu ia bertemu dengan beberapa orang yang sedang mencari kayu di hutan keci. Lalu, ditanyakan tentang si Kebrok, burung puyuh kesayangannya, apakah mereka melihatnya. Mereka menjawab bahwa mereka kemarin melihat puyuh di sekitar hutan itu. Kelihatannya masih hidup di sekitar hutan itu. Kelihatannya masih hidup, masih selamat. Pangeran Jayakusuma berkata cepat "Apa....? Dia masih selamat?." Orang-orang mengiyakan. Kata selamat dalam bahasa Jawanya adalah Besuki. Oleh karena itu, Pangeran Jayakusuma lalu berkata kepada orang-orang di situ bahwa daerah itu nantinya dinamakan desa Basuki.
Pada malam harinya Pangeran Jayakusuma melanjutkan kembali pencariannya. Ia melanjutkan kembali pencariannya. Ia meneruskan perjalanan menuju ke arah barat lagi. Di tengah kegelapan malam ia berjumpa dengan beberapa orang desa yang membawa obor. Ditanyakan kepada mereka tentang si Kebrok. Pangeran Jayakusuma menjelaskan bahwa puyuh itu salah satu kakinya sudah pincang. Salah satu dari mereka menjawab bahwa di sebelah barat sana di bawah pohon besar ia melihat seekor puyuh. Nafas puyuh itu sangat keras suaranya. Terdengar nafasnya tersengal-sengal. Kata tersengal-sengal dalam bahasa Jawanya adalah kemrumpyung. Pangeran Jayakusuma lalu berpesan pada orang desa itu bahwa nantinya daerah itu diberi nama desa Krumpyung.
Dua hari kemudian, Pangeran Jayakusuma menemukan si Kebrok di sebuah tempat, di sebelah utara desa Krumpyung. Di situ si Kebrok sudah menjadi bangkai. Pangeran Jayakusuma sangat sedih. Lalu, si Kebrok dibawanya ke sebuah bukit kecil. Di bukit kecil itu si Kebrok dimakamkan. Kemudian Pangeran Jayakusuma mencari beberapa batu cadas. Disusunnya batu-batu itu menadi sebuah candi kecil. Candi itu tingginya kira-kira tiga meter. Melihat ada sebuah candi, orang-orang desa sekitar berdatangan. Mereka bertanya-tanya dalam hati mengapa Sang Pangeran berjongkok di situ. Mengapa Sang Pangeran mendirikan sebuah candi di situ? Lalu, mereka mempertanyakan candi untuk makan si Kebrok. Candi itu dijadikan peringatan bagi dirinya untuk mengakhiri persabungan. Kemudian Pangeran Jayakusuma mengatakan pada orang-orang itu bahwa kelak daerah itu diberi nama desa Candi.
Desa-desa yang namanya diciptakan oleh Pangeran Jayakusuma tersebut masuk di dalam kekuasaan daerah/wilayah Banyuurip. Di kemudian hari, diadakan pengangkatan kepada-kepala desa untuk mengepalai desa-desa tersebut.
7. Moksanya Pangeran Jayakusuma
Kematian si Kebrok membuat kesepian hari Pangeran Jayakusuma. Kesepian itu bertambah terasa karena Galuhwati sudah tidak berada di Bayuurip. Kini Pangeran Jayakusuma mulai menekuni kehidupan yang sejati. Sebelum dia mulai bertapa lagi, dikumpulkannya orang-orang Banyuurip di padepokan. Dijelaskannya kepada Banyuurip di padepokan. Dijelaskannya kepada orang-orang itu bahwa Ki Manguyu nantinya akan tinggal di Banyuurip bersama Galuhwati. Jikalau masyarakat ingin bermusyawarah, berembug, atau apa saja, dipersilahkan menghubungi Ki Manguyu. Apabila ada hal-hal yang penting untuk dibicarakan, diminta untuk menyampaikannya kepada Ki Manguyu. Nanti, Ki Manguyulah yang akan menghubungi atau berembug dengan Pangeran Jayakusuma. Dijelaskan bahwa orang-orang tidak dapat berkomunikasi dengan Pangeran Jayakusuma, kecuali Ki Manguyu dan Galuhwati. Namun demikian, Pangeran Jayakusuma berpesan bahwa mereka tidak perlu mempertanyakan di mana Sang Pangeran berada. Sang Pangeran tetap menyertai kehidupan orang-orang di Banyuurip. Sang Pangeran mengatakan bahwa dia akan bertapa dan hidup jauh dari keduniawian. Kehidupan yang dijalaninya itu diperuntukkan bagi kesejahteraan orang-orang Banyuurip beserta anak keturunannya nanti.
Sebenarnya, Pangeran Jayakusuma hanya berada di padepokan itu, yaitu di belakang tempat tinggal Galuhwati. Di situ ada sebuah baju besar hitam, di bawah pohon bodi. Di sisi barat batu itu adalah sumur Perigi. Oleh Ki Manguyu tempat itu diberi pagar pada saat-saat tertentu Ki Manguyu mengadakan pertemuan dengan Pangeran Jayakusuma di situ. Di siang hari tak ada yang dapat melihat Pangeran Jayakusuma. Di malam hari, kadang ia kelihatan duduk bersila di batu itu. Hanya Ki Manguyu dan Galuhwati yang tahu kalau sebenarnya siang dan malam Pangeran Jayakusuma berada di situ. Memang, orang yang tidak mempunyai kekuatan linuwih tidak akan mampu untuk melihat kalau Pangeran Jayakusuma sedang duduk bersila semedi di situ.
Hari berganti hari, juga bulan dan tahunan. Kehidupan di Banyuurip berlangsung terus. Daerah itu semakin asri. Penduduk di situ anak-beranak semakin banyak. Begitu pula dengan Galuhwati. Ia menjalani kehidupan rumah tangga bersama Ki Manguyu rukun sejahtera.
Galuhwati mulai mengandung. Tujuh bulan kemudian ia menyampaikan suatu permintaan kepada Ki Manguyu. Ia meminta pada Ki Manguyu untuk membuat sebuah sumur, Dikatakan Galuhwati bahwa, sumur itu nantinya akan dipakai untuk memandikan kandungannya yang sudah berusia tujuh bulan. Sebelum Ki Manguyu membuatkan sumur, dia menanyakan mengapa harus membuat sumur baru, padahal sudah ada sumur Beji dan sumur Perigi. Namun, Galuhwati tetap ngotot dan rewel minta dibuatkan sumur. Karena Ki Manguyu ingat pesan Pangeran Jayakusuma, ia lalu dengan sabar menuruti kehendak Galuhwati. Walaupun saat itu matahari sudah agak jauh condong ke barat, Ki Manguyu mulai membuat sumur. Aneh bin ajaib, dalam waktu yang sangat singkat, galian sumur sudah dalam dan keluar mata airnya. Tubuh Ki Manguyu belum merasakan kelelahan, tetapi lobang sumur sudah dalam dan rapi. Akhirnya, dengan sekali cangkul pada mata air itu, terpancarlah air yang sangat kuat. Ki Manguyu cepat-cepat naik, lalu lari memberi tahu Galuhwati. Setelah bertemu Galuhwati, dilaporkannya bahwa sumur itu telah jadi. Galuhwati terperanjat keheranan, mengapa cepat sekali. Kemudian, Galuhwati meminta kepada Ki Manguyu untuk mencari batu cadas sebesar tempurung kelapa. Disuruhnya Ki Manguyu untuk mengukir batu tersebut. Galuhwati meminta Ki Manguyu untuk mengukir wajah Panji Asmara Bangun dan wajah Dewi Candra Kirana. Lalu, ukiran tersebut dimasukkan ke dalam sumur oleh Galuhwati. Dan apa yang terjadi? Batu cadas yang diukir itu pecah menjadi dua dan berubah menjadi boneka emas. Dari atas sumur kedua boneka emas tersebut dapat kelihatan karena airnya sangat jernih.
Kira-kira setelah waktu ashar, Galuhwati dimandikan di sumur tersebut dengan disaksikan orang-orang perempuan daerah Banyuurip. Ketika dimandikan, Galuhwati berpesan pada orang-orang yang habis bahwa warga Banyuurip yang usia kandungannya sudah tujuh bulan disarankan untuk dimandikan di sumur tersebut. Dikatakan bahwa jika nantinya melahirkan anak laki-laki, wajahnya akan tampan setampan Raden Panji. Sebaliknya, jika nantinya melahirkan anak perempuan, wajahnya akan cantik secantik Dewi Candra Kirana. Setelah selesai dimandikan, Galuhwati berkata bahwa untuk menghormati suaminya, ia memberi nama sumur itu sumur Tinatah. Tinatah artinya diukir atau terukir. Maksudnya, sumur itu dibuat oleh Ki Manguyu serta terdapat dua boneka perlambangan hasil ukiran Ki Manguyu.
Dua bulan setelah itu, Galuhwati melahirkan seorang putra yang sangat elok parasnya. Rumah tangga Galuhwati semakin marak dan bahagia. Tak terceritakan masanya, waktu terus melaju. Galuhwati telah mempunyai beberapa orang putra. Ki Manguyu semakin rajin bertani. Hasilnya melimpah. Namun, dia juga masih tetap rajin berlatih olah kenuragan dan olah batin. Anak-anaknya yang laki-laki walau belum dewasa juga sudah mulai diajak berlatih. Pada saat-saat tertentu ia masih sering mengadakan pertemuan dengan Pangeran Jayakusuma.
Pada suatu malam, yaitu malam Jumat, Pangeran Jayakusuma memperlihatkan dirinya. Dia ingin bertemu dengan adiknya. Dia datangi rumah Galuhwati. Malam itu rumah Galuhwati sudah nampak sepi. Namun saat dia mau memberi salam, Ki Manguyu mendahului memberi salam. Ternyata di malam larut seperti itu Ki Manguyu masih terjaga di berandanya. Dalam hati Pangeran Jayakusuma merasa bersyukur bahwa dia tidak salah memilih suami untuk adiknya. Memang Ki Manguyu betul-betul orang yang sabar dan kuat dalam berprihatin. Hal itu terbukti pada malam itu, yaitu walaupun sudah larut malam dia masih duduk di beranda menjaga keluarganya.
Setelah Pangeran Jayakusuma dipersilahkan, Ki Manguyu masuk memanggil Galuhwati. Melihat kakaknya datang, Galuhwati sangat senang. Galuhwati cepat-cepat merunduk memberikan sembah bektinya. Dia amat rindu dengan pertemuan-pertemuan seperti itu. Ingin rasanya Galuhwati memeluk lutut kakaknya lama-lama. Namun, Pangeran Jayakusuma segera menyampaikan beberapa pesan. Kemudian Pangeran Jayakusuma berkata pelan-pelan, "Dimas Manguyu dan Yayi Galuhwati, saya ingin menyampaikan beberapa pesan. Pertama, saya ingin bersilaturahmi menengok keadaan kalian sekeluarga. Kedua, saya berpesan agar kalian harus tetap rukun dalam berumah tangga. Kalian tidak usah memikirkan keberadaan saya. Semua yang ada di Bayuurip saya serahkan pada kalian. Terutama pada Dimas Manguyu, saya minta dapat memberi pengayoman kepada seluruh rakyat, warga Banyuurip. Tatalah dan bangunlah daerah ini. Ketiga, saya ingin memberikan wasiat kepada kalian, yaitu sebuah tombak yang berujung pisau. Tiada orang yang dapat menerima tombak ini selain kalian berdua. Rawatlah baik-baik benda ini. Jika besok kau akan meninggal, berikanlah pada putra sulungmu. Begitu seterusnya, pada anak turun yang sulung. Sebetulnya, yang berhak menerima adalah anak sulung saya. Berhubung saya tidak mempunyai keturunan, sudah wajarlah jika wasiat ini kuserahkan kepada kalian." Galuhwati lalu menangis dan bertanya, "Mengapa mau ke mana? Jangan pergi mengembara jauh-jauh lagi Kangmas!" Pangeran Jayakusuma menjelaskan bahwa dirinya sudah tidak akan bisa ditemui lagi. Namun, ia tetap akan didekat mereka. Ia akan bersemedi dan merasuk ke praba jatinya. Lalu, dijelaskan lagi bahwa Ki Manguyu dan Galuhwati tidak boleh mencemaskan dirinya. Dikatakannya bahwa dirinya akan dalam keadaan baik-baik saja. Dia tidak dapat dipastikan kedatangannya. Serta, jangan kaget kalau tiba-tiba dirinya muncul seperti malam ini. Dipesan sekali lagi bahwa Ki Manguyu dan Galuhwati tidak boleh mencari keberadaan Pangeran Jayakusuma. Setelah menyampaikan pesan-pesan itu. Pangeran Jayakusuma minta pamit. Sebelum melangkah keluar, Pangeran Jayakusuma menyempatkan diri untuk melihat anak-anak Galuhwati yang sedang tidur pulas. Ditiupnya satu-satu ubun-ubun anak-anak itu. Kemudian, Pangeran Jayakusuma melangkah keluar. Ki Manguyu dan Galuhwati mengikuti di belakangnya sampai di depan pintu pagar, Galuhwati memandangi kakaknya sampai hilang ditelan kegelapan. Arah langkah Pangeran Jayakusuma menuju ke Perigi.
Awal-awal sepeninggalnya Pangeran Jayakusuma, Galuhwati kelihatan murung wajahnya. Dia betul-betul merasakan kesepian dalam hidupnya. Kakaknya, yang teramat dia cintai sudah tidak dapat diharapkan lagi kehadirannya. Ia sudah tidak dapat memastikan pertemuan dengan kakaknya. Apalagi dia sudah jauh dari asalnya. Ki Manguyu dengan susah payah membujuk dan menghibur istrinya agar tidak terlalu memikirkan kakaknya. Diingatkannya bahwa dirinya kini telah memiliki putra-putri yang memerlukan perhatian. Lama-lama Galuhwati membenarkan nasihat dari suaminya. Perhatiannya kini dicurahkan kepada keluarganya. Dia harus merasa bersyukur memiliki kakak yang teramat sayang pada dirinya yang dapat memberinya kebahagian keluarganya.
Kira-kira satu dasa warsa telah berlalu. Galuhwati sehari-harinya sibuk mengurusi anak-anaknya. Anak-anaknya telah tumbuh besar-besar dan cakap-cakap. Anak laki-laki yang sulung sudah jatuh jika bermain. Anak sulungnya itu bernama Raden Bagus Randiya. Sedangkan adik-adiknya tidak terceritakan nama-namanya.
Pada suatu hari, Bagus Randiya bermain ke desa Kaligesing, yaitu di sebelah utara desa Bagelen. Semula ia bersama teman-temannya memancing di sungai. Di sana ia bertemu dengan seorang kakek. Kakek itu memperkenalkan dirinya. Ia bernama Ki Buyut Singgela. Lalu, Ki Buyut itu bercerita bahwa dia sedang berprihatin. Dia berprihatin karena di desanya sudah beberapa hari ini selalu ada angin ribut di malam hari. Keadaan itu belum diketahui sebab-sebabnya. Orang-orang di daerah itu tidak ada yang berani keluar. Angin itu sangat kuat dan berputar-putar. Jika ada yang berani berjalan di malam hari, pasti orang itu akan terjatuh-jatuh. Pada saat mereka bercakap-cakap, di tepi sungai itu ada sebatang pohon pisang yang hanyut dan tersangkut kayu besar di depan mereka. Batang pohon pisang itu dipinggirkan oleh Ki Buyut. Setelah dientas, batang pohon pisang itu berubah menjadi manusia. Setelah diamati, Ki Buyut Singgela tahu siapa orang itu. Dia adalah Kyai Lowano, yaitu penguasa daerah sebelah utara desa Bagelen. Kyai Lowano saat itu sedang melakukan tapa "ngeli" (menghanyut). Tapa tersebut dilakukan untuk mencari jawab tentang siapakah yang berkelahi di setiap malam hari sampai menimbulkan getaran-getaran di daerahnya. Ki Buyut dan Kyai Lowano sudah saling mengenal. Lalu, mereka sepakat untuk mengamati bersama. Mendengar rencana itu, Bagus Randiya menjadi ingin pula mengikuti.
Pada malam harinya, Ki Buyut Singgela, Kyai Lowano, dan Bagus Randiya bersama-sama sembunyi di balik pohon. Kemudian angin berputar-putar itu datang. Mereka mengikuti jalannya angin itu. Sampai di hutan Kaligesing, kumparan-kumparan angin itu semakin hebat. Dan.......apa yang mereka lihat? Di situ ada dua orang yang sedang berkelahi dengan hebat. Perkelahian mereka sangat seru. Tiba-tiba salah satunya berubah menjadi kelabang. Kemudian yang satunya berkata "Heh, Jayakusuma, tidak hanya dirimu yang dapat mengubah wujud, saya pun akan berubah." Sekejap kemudian yang satunya berubah menjadi laba-laba. Si Kelabang lalu berkata, "Lawa Ijo, habiskan kekuatanmu. Akan akan meladeni." Mendengar pembicaraan tantang-menantang itu, Ki Buyut Singgela berkata pada Kyai Lowano, "Kyai, ternyata, orang berkelahi itu adalah Lawa Ijo dengan Jayakusuma dari Banyuurip." Bagus Randiya berdesir dadanya mendengar nama Jayakusuma disebut. Mereka bertiga terus mengintip pertarungan tersebut.
Perkelahian Pangeran Jayakusuma dengan Lawa Ijo semakin seru. Mereka saling menggigit. Si Kelabang menungging-nungging mengeluarkan bisa. Si laba-laba berputar-putar ingin menjeratnya. Kemudian Pangeran Jayakusuma berubah lagi menjadi tikus. Lawa Ijo pun berubah menjadi kucing. Mereka kejar-kejaran. Tiba-tiba di dekat si tikus ada sebuah kendi. Masuklah si tikus ke dalam kendi. Dikiranya, kucing tidak mengetahui kalau ia bersembunyi di dalam kendi. Namun, sebaliknya, kesempatan itu digunakan oleh si kucing. Si kucing lalu cepat-cepat menutup kendi itu. Setelah tertutup rapat, si kucing berubah menjadi sebagai manusia, yaitu Lawa Ijo. Kendi itu kemudian dibawa ke desa Ganggeng, yaitu ke tempat Ki Kuwu. Dari belakang Ki Buyut Singgela, Kyai Lowano, dan Bagus Randiya mengikuti secara sembunyi-sembunyi. Mereka tetap belum tahu masalah atau penyebab perkelahian itu.
Ki Kuwu adalah penguasa desa Ganggeng. Ia juga seorang yang sangat sakti. Hanya saja ia suka berteman dengan orang-orang kuat yang gemar berkelahi.
Ketika Lawa Ijo sampai di desa Ganggeng, hari sudah subuh. Saat itu Ki Kuwu duduk di halaman menanti kedatangan Lawa Ijo. Setelah Lawa Ijo sampai di halapan Ki Kuwu, kendi itu diserahkannya. Kemudian, Ki Kuwu mengambil keris Caranggesing. Ia ingin menghabisi tikus di dalam kendi itu. Dari dalam kendi, Pangeran Jayakusuma yang berwujud tikus menantang. "Hai, Ki Kuwu, jika kau lelaki yang jantan, tidak akan mau membunuh karena bantuan orang lain. Kalau kau seorang pemberani, bukalah tutup kendi ini. Hadapilah aku secara jantan!" Ki Kuwu merasa panas telinganya mendengar tantangan itu. Dengan marah, Ki Kuwu membanting kendi itu. Kendi itu pecah dan Pangeran Jayakusuma, jatuh terguling-guling di tanah. Lalu, Ki Kuwu berkata, "Hai anak kecil, mengapa kau berani menelusup di daerah kekuasaanku?" Pangeran Jayakusuma jengkel juga mendengar ia dipanggil sebagai anak kecil. Lalu dia menjawab dengan nada tinggi. "Saya kan tidak menelusup untuk berbuat jahat. Saya itu seorang pengembara, berjalan ke mana saja." Diputus cepat oleh Ki Kuwu, "Mengapa kau berjalan-jalan di malam hari kalau tidak akan berbuat jahat?" Dijawab oleh Pangeran Jayakusuma bahwa itu sudah menjadi kebiasaannya. Ki Kuwu berkata lagi, "Perjalanan seseorang di larut malam itu perlu dicurigai. Memang, kau perlu diberi pelajaran. Kalau kau orang baik, pasti tidak diusir dari istana." Panaslah hati Pangeran Jayakusuma mendengar permasalahan istana disinggung-singgung. Permasalahan ini bukan urusan Ki Kuwu. Dan, hal itu sudah dianggap sudah berlalu. Pangeran Jayakusuma tidak suka ada orang mengungkit masalah itu. Baginya, masalah itu merupakan pelajaran yang benar yang harus disimpan hanya dalam hidupnya. Dengan marah Pangeran Jayakusuma menyerang Ki Kuwu. Ki Kuwu pun segera membalasnya. Mereka berkelahi sangat seru, tiada yang kalah. Mereka sama-sama kuat. Lalu, Ki Kuwu mencabut kerisnya. Caranggesing. Dengan cepat Pangeran Jayakusuma juga mencabut keris Panubiru. Kedua keris itu berkilat-kilat. berkali-kali pula mereka jatuh terpental. Sampai akhirnya keris-keris itu terlepas dari masing-masing tangannya. Keduanya jatuh bersamaan. Keris Panubiru jatuh tertancap di depan Bagus Randiya dan Keris Caranggesing jatuh tertancap di depan Ki Buyut Singgela. Kemudian, dengan sempoyongan keduanya bangun. Ki Kuwu mengakui kehebatan Pangeran Jayakusuma. Begitu juga Pangeran Jayakusuma mengakui kekuatan Ki Kuwu. Mereka saling mendekat. Mereka ingin bersalaman. Mereka ingin akur kembali.
Tetapi, apa yang terjadi? Saat tangan mereka bersentuhan, ada kilatan sinar dari langit sehingga mereka terpental lagi. Mereka jatuh terlentang. Kepala Pangeran Jayakusuma berada di sebelah barat, sedang kepala Ki Kuwu di sebelah timur. Kemudian seperti ada asap tebal berputar-putar di atas tubuh mereka. Tak lama kemudian mereka berdua hilang tertutup awan tebal itu,.......dan lenyap tanpa bekas.
Di sekitar tempat pertarungan Ki Kuwu dan Pangeran Jayakusuma itu ternyata banyak orang-orang desa yang menyaksikan. Mereka melihat secara sembunyi-sembunyi di balik pohon-pohon. Setelah dinanti, baik Pangeran Jayakusuma maupun Ki Kuwu tidak kembali. Orang-orang itu saling berusaha mengambil kedua keris yang tertancap di tanah. Namun, tiada satupun yang dapat mencabutnya. Jika ada yang mencoba mencabutnya, pasti orang itu jatuh terguling-guling dan tak sadarkan diri. Semua yang melihat merasa heran bercampur takut. Mereka lalu pada pulang. Tidak diketahui pula kalau Lawa Ijo sudah menghilang dari situ.
Sementara itu Ki Buyut Singgela, Kyai Lowano, dan Bagus Randiya hanya diam terpaku memandangi kedua keris itu. Ki Buyut Singgela menjadi bersedih mengetahui kepergian Ki Kuwu yang masih keponakannya itu. Memang, diakuinya bahwa keponakannya itu orang yang keras kepala dan beremosi tinggi. Tetapi, jika ia sudah sadar akan permasalahnya, dia cepat untuk berbuat baik. Seperti disaksikan tadi. Ia kelihatan mengajak bersalaman Pangeran Jayakusuma.
Kesedihan itu juga dirasakan oleh Bagus Randiya. Karena sedihnya, dia tidak mampu berkata apa-apa. Dia amat kecewa karena melihat paman Jayakusuma pada saat kepergiannya. Bagus Randiya belum sempat bertemu, lebih-lebih bercakap-cakap. Dia mengetahui tentang paman Jayakusuma hanya dari cerita ibu dan bapaknya. Kemudian, dengan pelan ia berpesan pada Ki Buyut untuk menjaga keris itu. Sementara dia akan pulang ke Banyuurip untuk memberi tahu keluarganya.
Sampai di Banyuurip, Raden Bagus Randiya menceritakan semua yang dialaminya kepada bapaknya. Saat itu Ki Manguyu sedang duduk di serambi depan sambil mengawasi jemuran padinya. Kemudian, dengan hati-hati diberitahunya si Galuhwati. Mendengar hal itu, Galuhwati menangis sejadi-jadinya. Ki Manguyu dan Raden Bagus Randiya bersama-sama membujuk Galuhwati. Kata Raden Bagus Randiya, "Ibu, berhentilah menangis, Ibu harus tabah. Kalau Ibu masih menangis kami tidak bisa berangkat ke desa Ganggeng untuk mengambil keris Panubiru." Galuhwati ingat keris Panubiru hatinya menjadi bergetar. Dia ingat bahwa keris itulah yang menjadikan desa Banguurip ini ada. Dia cepat-cepat mengucap air matanya. Dipersilahkannya Ki Manguyu dan anaknya untuk mengambil keris itu.
Malam hari, Ki Manguyu dan Raden Bagus Randiya baru sampai di Banyuurip lagi. Disucikannya keris Panubiru dan diserahkan kepada Galuhwati. Memegang keris itu, Galuhwati serasa bertemu dengan kakaknya. Satu-satu butiran air matanya meleleh di pipi. Ki Manguyu mendekati istrinya dan terus membujuknya agar jangan menangis di depan anak-anaknya. Dikatakan oleh Ki Manguyu bahwa dia (Galuhwati) cobaan. Dikatakannya bahwa ketabahan Galuhwati nantinya akan menjadi kebahagiaan putra-putrinya.
Malam berikutnya, Ki Manguyu mengetahui kalau di batu hitam dekat sumur Perigi ada bayangan orang duduk. Setelah didekati, ternyata adalah Pangeran Jayakusuma. Dia memberi pesan kepada Ki Manguyu agar keris Panubiru diberikan kepada Raden Bagus Randiya kelak kalau sudah dewa bersa. Pangeran Jayakusuma mengatakan bahwa kelak Raden Bagus Randiya itu akan menjadi prajurit di Mataram. Setelah berpesan, Pangeran Jayakusuma minta pamit untuk selama-lamanya. Lalu, dia menghilang. Ki Manguyu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya dan mengiyakan segala pesan Pangeran Jayakusuma. Semua pesan itu disampaikan kepada Galuhwati, tetapi tidak kepada Bagus Randiya. Kalau nanti sudah waktunya, keris itu pasti diserahkannya.
Tujuh hari setelah kejadian moksanya Pangeran Jayakusuma, di Banyuurip diadakan selamatan. Selamatan itu bertempat di padepokan. Ketika selamatan. Selamatan itu bertempat di padepokan. Ketika selamatan, orang-orang mendengar suara "daaakkk" keras sekali di dekat sumur Perigi. Mereka lalu mencari asal suara itu bersama-sama. Ternyata, batu hitam dekat sumur Perigi itu retak dan terdapat bekas telapak tangan serta telapak kaki dalam posisi bersila. Ki Manguyu lalu menjelaskan pada orang-orang yang hadir bahwa sekarang Pangeran Jayakusuma betul-betul telah meninggalkan kita semua. Dia telah pergi ke alam kelanggengan. Kita harus dapat merawat daerah Banyuurip ini sebagai peninggalannya. Kita harus ingat akan jasanya dalam menyuburkan daerah ini. Setelah berkata begitu, Ki Manguyu mempersilahkan orang-orang untuk kembali ke kediaman masing-masing.
8. Galuhwati Sepeninggal Pangeran Jayakusuma
Kesedihan Galuhwati atas moksanya Pangeran Jayakusuma lama-kelamaan bisa hilang. Hari-harinya semakin sibuk diisi dengan urusan rumah tangganya. Galuhwati sudah dikaruniai dua orang putra.
Pada suatu petang Galuhwati tiba-tiba merasa gerah seluruh tubuhnya. Lalu dia mendekati Ki Manguyu. Dengan lirih ia berkata, "Kakang, mengapa tubuhku sangat gerah, padahal hari tidak begitu panas, aku ingin mandi." Ki Manguyu menjawab dengan sabar. "Janganlah mandi di petang hari, itu tidak baik untuk kesehatanmu. Ke sinilah, berangin-angin di sini, nantikan segar tubuhmu." Ki Manguyu melanjutkan pembicaraannya, "Itu mungkin karena kandunganmu yang semakin besar." Ketika itu Galuhwati sedang mengandung. Usia kandungannya sudah memasuki tujuh bulan.
Mendengar ajakan suaminya, Galuhwati mencoba menurutinya. Dia duduk berangin-angin di beranda. Namun, sebenarnya hatinya tidak mau. Dia tetap ingin mandi. Suara hatinya terus bersuara mandi, mandi, dan mandi. "Aku harus mandi." katanya. Tiba-tiba dia berdiri lalu memohon suaminya agar memperbolehkan dia mandi. Ki Manguyu sudah hafal dengan sikap istrinya, yaitu bahwa istrinya kalau mempunyai kemauan sangat keras. Ki Manguyu juga ingat pesan Pangeran Jayakusuma bahwa dia harus betul-betul "ngemong" Galuhwati karena dia seorang yang manja dan terbiasa dituruti kemauannya.
Ki Manguyu mencoba melarangnya lagi dengan berkata, "Apakah bisa tidak mandi, tapi cukup cuci muka saja, Yayi?" Galuhwati menjawab, "Rasanya badanku panas sekali, akan segar jika diguyur air." Akhirnya, Ki Manguyu memperbolehkannya. Dibimbingnya Galuhwati keluar halaman menuju sumur.
Petang itu bintang sudah tertabur banyak di lazuardi. Bulan pun bertengger di bagian timur di antara taburan bintang. Pelan-pelan Ki Manguyu menggandeng Galuhwati menuju sumur Beji, yang juga dinamakan sumur penghidupan. Penghidupan bagi masyarakat. Banyuurip yang semula hanya daerah kering bersemak belukar.
Tiba-tiba Galuhwati menghentikan jalannya. Cepat-cepat Ki Manguyu bertanya, "Kenapa berhenti?" Galuhwati menjawab sambil memegang lengan suaminya, "Jangan marah ya......Ki, aku mau bicara." Ki Manguyu mengerutkan dahinya. Dia bertanya dalam hati, 'Mau apalagi istriku ini?' "Kenapa?" katanya. "Anu, ehh..., aku tidak mau mandi di sumur Beji," jawab Galuhwati. Ki Manguyu bingung. "Terus mau mandi di mana? Di sumur Tinatah?" tanyanya. "Tidak, Ki. Aku ingin mandi di mata air yang baru memancar," jawab Galuhwati cepat.
Ketika Ki Manguyu sedang berpikir, Galuhwati mendekat, "Ki, ini bukan permintaanku saja. Lihat perutku. Keinginan ini sangat kuat dari dalam ini." Ki Manguyu masih diam. Semakin dalam dia berpikir, semakin ada rasa heran. Dengan manja Galuhwati meminta, "Ki, tolong buatkan sumur di sana," sambil menunjuk ke arah barat daya. Ki Manguyu semakin bingung dengan permintaan istrinya. Malam-malam begini disuruh membuat sumur, pikirnya. Dulu dia pernah diminta membuat sumur Tinatah, mengapa sekarang minta lagi. Kemudian Ki Manguyu ingat pesan Pangeran Jayakusuma, yaitu apabila ia menemui kebingungan atau masalah, di dalam menghadapi sikap Galuhwati, dia bisa meminta pertimbangan pada Pangeran Jayakusuma.
Segera ki Manguyu mengambil sikap semedi. Setelah Ki Manguyu mengheningkan cipta sebentar, terdengar suara "kraak" di sela-sela dedaunan. Lamat-lamat di telinga Ki Manguyu terdengar bisikan, "Laksanakanlah apa yang diminta, aku akan membantumu!" Dan disertai suara "wusss!" bisikan itu berhenti. Ki Manguyu sudah tahu tindakan yang harus diperbuat. Dia juga tahu suara bisikan tadi tidak lain suara Pangeran Jayakusuma.
Ki Manguyu membalikkan langkah kakinya, menuju rumah. Hatinya bergembira setelah mendengar bisikan dari kakak iparnya. Sementara itu Galuhwati diam termenung, duduk menanti di sebuah batu menanti kembalinya Ki Manguyu. Dia merenung sambil mengelus-elus kandungannya. Tiba-tiba dia ingat kakaknya, Pangeran Jayakusuma. Alangkah senangnya bila kakaknya melihat keponakan-keponakannya. Galuhwati jadi sangat rindu pada kakaknya.
Tak lama kemudian Ki Manguyu muncul dengan membawa cangkul dan linggis. Mereka berdua lalu berjalan menuju ke arah barat daya. Kira-kira 300 meter dari rumahnya Galuhwati minta berhenti dan di situ dia minta sumur itu dibuat.
Di dalam memang malam, hanya sinar bulan yang menerangi, Ki Manguyu bekerja keras memenuhi permintaan istrinya, yaitu menggali.....menggali, menggali untuk dibuat sumur. Galuhwati duduk tak jauh dari situ. Matanya memancarkan sorot kebahagiaan. Sebentar-sebentar dia mengeluas perutnya. Kadang juga berdiri mendekati suaminya sambil bertanya, "Sudah dapat mata air, Ki?" Ki Manguyu dengan sabar menjawab, "Sebentar Yahyi, tanah di sini banyak batunya." Dalam hati Galuhwati sangat senang dan bersyukur mempunyai suami Ki Manguyu yang sabar, harus budi, dan kuat lagi. Tidaklah salah kakaknya memilih Ki Manguyu sebagai suaminya.
Saat Galuhwati hampir tertidur, Ki Manguyu berseru, "Yayi, Yayi....ke sini Yayi, mata air....ada mata air." Seketika Galuhwati menjawab, "Terima kasih Yang Maha Kuasa, Terima kasih Ki. Banyakkah airnya?" Dari dalam sumur Ki Manguyu menjawab, "Tidak begitu banyak, airnya pelan karena mata air itu berada di antara dua batu besar." Setelah Ki Manguyu naik, dia berkata, "Kita tunggu saja. Nanti subuh, air itu cukup untuk mandi."
Dari atas Galuhwati melihat air sumur. Betapa jernihnya air itu. Bulan di atas terpantul ke dalam sumur. Indah sekali berkilau-kilau.
Tiba-tiba Galuhwati bersimpuh di depan suaminya yang sedang duduk beristirahat. Sambil memegang lutut suaminya, Galuhwati berkata lirih, "Ki, bolehkah aku mengajukan perintaan satu lagi.....satu lagi, ya." "Apalagi Yayi, inikan sudah mau subuh. Itu sudah cukup untuk mandi," jawab Ki Manguyu. Selanjutnya Ki Manguyu berkata, "Sekarang mandi juga boleh. Dengarlah....., sudah ada suara ayam berkokok tanda Subuh." "Tidak Ki, sebentar saja. Tolong ambilkan batu di dalam sumur itu. Aku ingin batu itu dibawa ke atas," pinta Galuhwati. Sebenarnya, Ki Manguyu mulai agak jengkel, tetapi saat itu pun kembali dia teringat pesan Pangeran Jayakusuma. Tanda berpikir panjang Ki Manguyu kemudian mengheningkan cipta, meminta pertimbangan pada Pangeran Jayakusuma. Dan ......"wussh" lalu berbisik, "Aku berada di dekatmu, akan kuangkatkan batu itu." Lalu, Ki Manguyu melangkah menuju sumur. Di bungkukkan badannya dan terambillah batu dari sumur itu. Galuhwati meminta batu tersebut lalu dipangku.
Batu tadi diusap-usap sampai kering. Kemudian, batu itu diukir dengan menggunakan pecahan batu yang tajam. Tak berapa lama lukisan yang berupa ukiran itu jadi. Batu tersebut lalu disodorkan kepada Ki Manguyu sambil berucap, "Ini harapanku." "Apa artinya?" tanya Ki Manguyu. Galuhwati menjelaskan, "Begini, Ki, dengan lukisan itu aku berharap agar anak-anakku kelak dapat pandai serta terampil membawa senjata kalau laki-laki dan akan terampil mengatur rumah tangga jika anakku perempuan." "Silahkan Ki, ceburkanlah batu itu ke dalam sumur," kata Galuhwati. Batu berukir tombak dan pisau itu lalu dimasukkan ke sumur.
Ketika sinar fajar membias di ufuk timur, Galuhwati mandi di sumur baru tersebut. Disiramnya tubuhnya berkali-kali. Terasa lega segalanya.
Hari berganti hari, bulan dan tahun pun berlalu. Patra-putri Ki Manguyu sudah besar. Mereka dikarunia wajah yang tampan-tampan dan cantik-cantik seperti harapan orang tuannya. Lebih-lebih putra sulungnya, mirip sekali dengan pamannya, yaitu Pangeran Jayakusuma. Mereka dapat menjaga dan melestarikan daerah tersebut seperti yang diharapkan Pangeran Jayakusuma. Daerah subur masyarakat makmur. Kehidupan damai dan tenteram.
Putra Galuhwati banyak jumlahnya. Beberapa dari putra Galuhwati kemudian mengabdikan diri sebagai prajurit di kerajaan Mataram. Akhirnya, angan-angan dan harapan Galuhwati tercapai yaitu bahwa banyak putranya yang terampil di bidang keprajuritan (olah senjata).
Tamat.
Karya: Wiwin Erni, SN.
Karya: Wiwin Erni, SN.