1. TENGAH HARI YANG TERIK
Matahari bersinar terik. Panas dan gerah sekali. Kereta api terus melaju. Aku pun terus menjajakan jasaku.
"Semir, Om?" tanyaku kepada seorang bapak. Sepatu kulitnya tampak kotor.
Bapak itu diam saja.
Aku menyentuh lengannya.
"Semir sepatunya, Om?"
Ia mendongak.
"Tidak," sahutnya pendek.
"Sudah kotor, Om," bujukku.
"Biarin. Nanti istri saya yang menyemirnya di rumah," katanya sedikit ketus.
Aku pun segera berlalu. Aku melangkah dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Tidak seorang penumpang pun yang mau disemir sepatunya. Aku mengeluh dalam hati. Tidak seorang penumpang pun yang mau disemir sepatunya. Aku mengeluh dalam hati. Di dekat sambungan gerbong ada bangku yang kosong. Aku duduk melepas lelah. Kotak semir sepatu kuletakkan di sampingku. Di gerbong sebelah aku melihat sekelompok anak sekolah duduk sambil bercanda. Mereka anak SD. Itu aku yakin berdasarkan seragam yang mereka pakai. Baju putih dengan celana pendek berwarna merah. Kadang-kadang melintas di hatiku rasa iri kepada mereka. Nasib mereka memang untung. Tetapi aku.....semua itu hanyalah mimpi.
Aku merogoh kocekku. Dari pagi baru tujuh ratus rupiah pendapatanku. Aku belum makan siang, kataku dalam hati. Dengan uang sebesar ini mana cukup sampai malam nanti?
Tetapi, bukankah masih ada waktu?
Aku membuka kotak semir sepatu. Aku amati kaleng semir, kain lap dan sikat sepatu. Inilah sumber penghidupanku, batinku. Aku berbiri dan mulai menjajakan jasaku kembali.
"Semir sepatunya, Pak, Om. Dijamin mengkilap," teriakku.
Di gerbong yang satu itu tak seorang pun menerima jasaku. Tetapi aku tidak boleh putus asa. Aku tidak boleh putus harapan. Jika aku mudah putus asa, darimana aku dapat makan?
Di gerbong yang lain aku melihat seorang pemuda tengah membaca koran. Sepatunya tampak kotor sekali. Segera aku mendekatinya.
"Om, Semir sepatunya, Om?" sapaku.
Ia menoleh. Menatapku agak lama.
Perlahan ia menggeleng.
"Tapi, Om. Sepatu Om kotor sekali. Biar saya semir. Tanggung mengkilap deh," bujukku.
"Enggak," sahutnya.
Tetapi aku tidak peduli. Segera kukeluarkan alat-alat semir. Aku berjongkok.
Ketika aku mendongak, tepat ia menatapku.
Aku menganggukkan kepala.
Ia tersenyum. Kemudian mengangguk pula. Ia menyerahkan sepasang sepatunya itu. Dengan segera aku bersihkan kotorannya dengan kain lap. Kemudian kusemir sekali dan sekali lagi kubersihkan dengan kain yang lain. Kini sepatu itu mengkilap sekali.
"Bagus sekali sepatu, Om," ujarku.
Ia tersenyum.
"Terima kasih. Siapa namamu?"
"Adi, Om. Om siapa?"
"Saya Ahmad. Tidak usah panggil "Om" segala. Panggil saja 'Kakak'. Kak Ahmad'. Oke?" katanya lembut.
"Baiklah, Kak."
"Berapa saya harus bayar?"
Aku ragu untuk menjawab.
"Kamu telah bekerja tadi. Sekarang patut untuk menerima upahnya. Saya senang kepada mereka yang rajin bekerja. Pekerjaan apa saya penting halal dan tidak merugikan orang lain. Pekerjaan yang Adik lakukan ini adalah pekerjaan yang mulia."
Aku mengangguk-angguk.
"Jadi, berapa saya mesti bayar?" tanyanya lagi.
"Terserah Kakak sajalah," sahutku perlahan.
"Jangan begitu. Berapa biasanya orang lain membayar?"
"Eengng.....seratus, Kak."
"Nah, begitu." Ia merogoh saku celanannya. Kemudian menyerahkan uang seratus rupiah.
"Terima kasih, Kak," ujarku dengan gembira.
Ia mengangguk.
Kereta api berhenti di sebuah stasium.
"Kamu....masih sekolah, Di?" tanya Kak Ahmad.
Aku menggeleng lemah. Malu rasanya mataku menatapnya.
"Dulu sampai kelas berapa?" tanyanya lagi.
Aku kembali menggelengkan kepala. Kali ini aku benar-benar tidak kuasa menatapnya.
"Saya...tidak pernah...sekolah," sahutku terbata-bata.
Aku mendengarnya menghela napas panang.
"Orang tuamu masih hidup?"
Aku menggeleng.
"Maafkan saya."
Aku menggeleng juga.
"Ada apa, Di?"
Jawabanku kembali hanya berupa gelengan.
"Adi," panggil seseorang.
Aku menoleh. Rudi yang memanggilku. Ia berjualan rokok.
"Sini," panggilnya.
"Maaf, Kak."
"Silakan, silakan," kata Kak Ahmad.
"Ada apa, Rud?"
Rudi mengajakku ke tempat yang sepi.
"Ada obyekan, Di," ujarnya serius.
"Obyekan apa, Rud?"
"Pokoknya bagus deh. Mau ikut enggak?"
"Iya, apaan?"
"Sini gue bisikan," Ia lalu membisikkan sesuatu di telingaku.
Mula-mula aku tergiur. Namun hatiku berkata, jangan. Aku mengernyitkan alis.
"Setuju enggak, lu?"
Aku menggeleng tegas.
"Heh? Kenapa?" Rudi tampak terkejut.
"Itu bukan pekerjaan yang baik, Rud."
"Allaa. Macam apa pula kau ini?"
"Aku tetap tidak setuju."
"Di?!!" Rudi tampak tidak senang.
"Sebaiknya kau tidak ikut, Rud. Berbahaya. Lagi pula, dosa."
"Apa kau bilang?" Rudi mencekal kerah bahuku.
"Batalkan niatmu," ujarku tenang.
"Bangsat!"' Rudi menghantam perutku.
Aku meringis. Namun ketika ia hendak memukulku lagi, aku telah siap, Pukulannya kutangkap dan aku balas menghantam wajahnya. Ia semakin beringas. Akhirnya, kami berkelahi cukup seru. Bergulingan di lantai kereta api. Beberapa orang memisahkan kami. Kulihat Kak Ahmad salah satu di antara mereka. Ia menatapku tidak berkedip. Aku jadi malu. Kutundukkan wajahku.
"Tunggu pembalasanku, Di" ancam Rudi sebelum pergi.
Satu per satu mereka meninggalkanku. Kembali ke tempat duduk masing-masing. Pada tengah hari kereta agak sepi. Banyak bangku yang kosong.
"Mengapa kamu berkelahi?" tanya seseorang.
Aku menoleh. Ternyata Kak Ahmad.
"Saya....saya..." Aku segera menceritakan apa yang dibisikkan oleh Rudi tadi.
"Bagus, Kamu telah mengambil keputusan yang tepat. Biarpun kita miskin, namun janganlah berbuat yang terlarang dan dapat menyebabkan kehancuran bagi orang banyak."
Aku beranjak, kemudian duduk di bangku. Ia pun duduk. Di sampingku.
"Kamu mau ikut sama saya, Di?" tanyanya tiba-tiba.
Aku menatapnya dengan sinar mata penuh kegembiraan.
"Tentu saja, Kak. Saya mau."
"Tetapi saya juga orang miskin, Di."
"Biarlah, Kak. Asalkan Kakak orang yang baik. Saya senang."
"Jika begitu, sekarang saja."
"Baiklah, Kak."
"Oke. Di stasiun depan itu kita turun."
2. PENGHUNI BARU
Sebuah rumah sederhana. Tidak terlalu besar. Cat temboknya biru warnanya. Di depan rumah ada sejumlah tanaman bunga.
"Kita sudah sampai, Di. Inilah tempat kost saya," ujar Kak Ahmad.
Ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam," Assalaamualaikum."
Segera terdengar jawaban dari dalam dan pintu terbuka.
"Gus. Kenalkan. Ini Adi, adik saya," katanya tulus.
"Adik? Adikmu yang mana, Mad? Rasa-rasanya kamu tidak punya adik yang seperti ini," kilah pemuda itu.
Kak Ahmad tersenyum.
"Nantilah kuceritakan. Sekarang, kenalan dulu."
Kami segera berkenalan. Ia menyebutkan namanya: Agus. "Adi ini adik pungut saya. Saya menjumpainya di kereta tadi. Nantilah kalau ingin mengobrol dengannya, Gus."
"Oooooh, begitu. Ayo masuk, Dik," Kak Agus mempersilakan.
Aku diajak langsung ke kamar Kak Ahmad. Sebuah kamar yang sedang-sedang saja ukurannya. Ada sebuah dipan, sepasang meja dan kursi dan rak buku yang terbuat dari papan dipasang di tembok. Banyak sekali buku yang terdapat di sana.
"Hah. Kenapa melamun?" tanya Kak Ahmad.
Aku sedikit malu.
"Enggak apa-apa, Kak."
"Ini kamar kost saya, Di. Kamu tinggal di sini mulai sekarang, ya. Soal tidur, Andi nanti tidur sama saya saja. Dipan ini cukup untuk berdua kok."
Aku mengangguk mengiyakan.
Aku meletakkan kotak semir di bawah meja. Gerah. Aku membuka baju.
"Istirahatlah dulu, Di. Nanti mandi. Kamar mandinya di belakang."
"Baik, Kak."
Kak Ahmad mencari-cari sesuatu di lemari plastiknya.
"Ini, ada kaos yang tidak terlalu besar, Di. Rencananya mau saya kirimkan buat adik saya. Tapi pakai sejalah oleh kamu. Saya bisa beli lagi nanti."
"Terima kasih, Kak."
"Oh, ya. Ini kain untukmu. Saya punya tiga. Buat Adi satu."
Sesudah aku mandi, Kak Ahmad menanyaiku.
"Kamu suka sembayang, Di?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak, Kak."
"Mulai hari ini Adi mesti belajar sembahyang."
"Asalkan Kakak mau mengajari saya."
"Tentu saja. Kak Agus juga pasti mau mengajarimu. Oh, ya. Ada tiga orang lagi penghuni rumah ini. Mereka belum pulang kuliah. Nanti kamu kenalan dengan mereka. Mereka baik-baik lho."
Aku cuma tersenyum.
"Mau belajar sembayang sekarang?"
"Baiklah, Kak."
"Kalau begitu, kita mengambil air sembahyang dulu."
Kami ke kamar mandi.
"Perhatikan saya ya, Di. Mula-mula basuh wajah sambil niat di dalam hati. Niat mengambil air sembahyang. Lalu membasuh tangan. Menyapu sebagian rambut kepala. Terakhir, membasuh kaki, yakni telapak kaki sampai mata kaki."
Kak Ahmad mengajariku dengan telaten. Aku senang.
Di rumah ini ada sebuah kamar khusus untuk sembahyang. Kami sembahyang di situ. Kak Ahmad yang di depan. Aku di belakang mengikutinya.
"Dalam sembayang itu ada beberapa bacaan. Tapi jika kamu belum hafal, ya tidak apa-apa. Kamu tidak usah membacanya. Cukup kamu baca yang kamu bisa saja. Misalnya: Allahu Akbar," Kak Ahmad menjelaskan.
"Sembahyang itu mesti dibiasakan sejak kecil, agar terbiasa nantinya," lanjutnya.
Sore hari tiga orang penghuni lainnya pulang. Nama mereka adalah: Edi, Farid, dan Gatot. Mereka kuliah di tempat yang sama dengan Kak Ahmad dan Kak Agus. Tapi fakulatasnya berbeda-beda.
3. PAKAIAN BARU
Kak Ahmad dan kawan-kawannya menggaji seorang pembantu. Bi Minah namanya. Setiap hari tugasnya adalah memasak, mencuci, menyetrika, dan merapikan rumah. Aku membantu Bi Minah bekerja.
"Senang tinggal di sini, Di?" tanya Bi Minah.
Aku mengangguk.
"Senang, Bi."
"Bibi juga senang bekerja di sini. Mereka itu baik. Lagi pula rajin ibadah. Lebaran kemarin bibi dihadiahi pakaian sholat. Bagus sekali. Bibi sangat senang."
Tengah hari Kak Ahmad pulang.
"Di, kemarilah sebentar," panggilnya dari dalam kamar.
"Ada apa, Kak?"
Kak Ahmad menyerahkan sebuah bungkusan.
"Bukalah," katanya.
Ternyata isinya adalah kain sarung, baju, dan peci.
"Kakak dan teman-teman kemarin mengumpulkan uang. Uangnya dipakai untuk membeli pakaian ini. Tapi ingat, ada syaratnya, kamu harus rajin sembahyang," ujar Kak Ahmad.
"Terima kasih, Kak. Segala bantuan Kakak dan teman-teman, semoga dibahas oleh Tuhan," ucapku terharu.
"Amin," sahut Kak Ahmad.
"Sudah sholat Zhuhur?" tanyanya.
"Belum, Kak. Kakak?" aku balik bertanya.
"Belum juga. Kalau begitu kita sholat bersama-sama. Berjama'ah. Pahalanya lebih besar."
***
Kak Ahmad mengajar di sebuah SMP. Ia mengajar pada siang hari.
"Keluarga kakak bukan keluarga yang berada, Di. Ayah kakak hanyalah seorang guru SD. Kalau kakak mengandalkan uang kiriman beliau tidak akan cukup, sebab yang harus dibiayai bukan hanya kakak seorang. Adik-adik kakak di kampung juga butuh biaya. Makanya kakak berusaha mencari uang tambahan dengan cara mengajar," Kak Ahmad menjelaskan.
"Kawan-kawan kakak di sini juga berusaha mencari uang tambahan dengan berbagai cara. Kak Agus dan Kak Farid menulis di koran dan majalah. Kak Gatot dan Kak Edi membuka agen koran dan majalah. Yang penting kan halal," lanjutnya.
Di rumah ini aku ditanggung oleh Kak Ahmad. Namun teman-temannya tidak jarang membantuku juga. Setiap hari aku diajar sembayang. Setiap hari Maghrib aku diajari mengaji Al Qur'an. Aku sekarang sudah hafal surat Al Fatihah dan Al Ikhlas. Gerakan sembahyangku juga sudah lebih lancar. Siang hari aku di rumah. Membantu Bi Minah seperlunya. Malam hari aku memperhatikan Kak Ahmad belajar. Ia rajin sekali. Ia belajar dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya nilainya sangat baik.
"Kita harus pandai, Di, agar dapat hidup dengan lebih baik. Untuk itu kita mesti rajin belajar. Dua bulan lagi tahunan ajaran baru. Adi mau sekolah?" tanya Kak Ahmad.
Aku terlonjak. Gembira.
"Sekolah, Kak?!" tanyaku seperti tak percaya.
"Ya," sahutnya seraya tersenyum.
"Saya mau, Kak. Saya mau," jawabku cepat.
"Baiklah kalau begitu. Usiamu memang sudah agak lewat. Tapi belum terlambat. Belum terlambat dan tidak ada istilah terlambat untuk belajar."
Terbayang di mataku anak-anak sekolah yang sering kulihat di kereta. Ah, sebentar lagi aku juga akan seperti mereka. Betapa senangnya.
"Tapi.....biayanya, Kak?" tanyaku ragu. Tiba-tiba saja aku merasa putus asa.
"Jangan putus asa, Di. Kakak akan membantumu. Semampu kakak."
"Terima kasih, Kak," lonjakku gembira.
"Kamu tahu, Di? Semua teman kakak di sini menjadi orang tua asuh."
"Orang tua asuh? Apa maksudnya, Kak?"
"Orang tua asuh artinya begini, Di. Sekarang di negeri kita ini ada program wajib belajar. Setiap anak yang berusia tujuh sampai dua belas tahun harus bersekolah. Tetapi, kan tidak semua orang tua mampu membiayai anaknya. Maka kepada yang mampu dianjurkan agar mau membiayai anak-anak yang tidak mampu tersebut. Terserah, mau satu orang, dua orang, pokoknya semampunya."
"Kak Gatot juga begitu, Kak?"
"Iya. Juga Kak Agus, Kak Edi dan Kak Farid."
"Mana anaknya, Kak? Kok tidak tinggal di sini?"
"Memang. Kawan-kawan kakak itu hanya menanggung biaya pendidikan. Mereka tetap tinggal di rumah orang tuanya masing-masing."
"Ooooh...begitu."
"Sudah ya. Kakak mau mengajar dulu."
Aku mencium tangannya.
4. ASAL-USUL
Matahari baru sepenggalan naik. Bi Minah ke pasar. Kak Ahmad ke kampus. Ada tugas yang harus dikerjakannya di sana. Pagi-pagi sekali ia telah berangkat. Aku mencuci piring dan gelas yang kotor. Sebelumnya aku menyapu lantai. Semua piring baru saja selesai kucuci. Kini aku hendak menyimpannya di meja dapur. Tapi malang. Kakiku terpeleset. Aku terjatuh. Semua piring tersebut pecah. Tiba-tiba saja aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku ingin menangis sekuat-kuatnya. Aku ingin kabur dari rumah ini.
Aku ingin kabur!
Aku mengendap-endap keluar. Sepi.
Pintu depan kututup hati-hati.
Namun baru selangkah terdengar sapaan Kak Ahmad.
"Mau ke mana, Di?"
Mendengar pertanyaan tersebut langkahku terhenti seketika. Wajahku terasa pucat-pasi. Aku menunduk gelisah. Tak berani mengangkat wajah.
"Hei, ada apa, Di? Kamu kok tampaknya bingung sekali?" Kak Ahmad menghampiriku.
Aku tak tahu mesti menjawab apa.
Kabur! Itulah yang melintas di hatiku.
Segera aku beraksi. Namun dengan sigap Kak Ahmad menangkap tanganku.
"Hei, Di! Ada apa? Mau ke mana? Kenapa seperti hendak kabur?" tanya Kak Ahmad beruntun.
Aku menunduk gelisah. Pasrah.
"Ayo masuk. Kita mengobrol di dalam," ajar Kak Ahmad sambil menarik lenganku.
"Ceritakanlah apa yang telah terjadi," ujar Kak Ahmad setelah kami duduk berhadapan.
"Saya....saya...takut, Kak," sahutku terbata-bata.
"Takut? Takut kenapa? Apakah ada yang mengancammu?" Aku menggeleng.
"Habis apa dong?"
"Tadi...tadi...saat saya mencuci piring...saya....terpeleset dan piring itu pecah semuanya....."
"Begitu masalahnya. Lalu, kenapa kamu hendak kabur?"
"Saya...saya....," aku tidak meneruskan kalimat tersebut.
"Kamu belum pernah menceritakan dirimu secara lengkap, Di. Berceritalah. Saya akan bersedia mendengarnya. Siapa tahu cerita itu bermanfaat bagi kakak maupun orang lain?"
Agak lama aku membisu.
"Baiklah," Kak. Sebenarnya..... sebenarnya...saya ini anak tak tentu asal-usulnya. Ayah saya entah siapa. Ibu saya membuang saya di pinggir jalan. Untunglah saya diselamatkan oleh sebuah keluarga. Saya dipelihara sampai berusia tujuh tahun. Mulanya keluarga tersebut sangat senang. Karena mereka memang tidak punya anak. Tapi setelah punya anak, kasih sayang mereka semakin lama kian hilang. Terutama pihak istri. Ia sangat membenci saya. Salah sedikit saya dimarahinya. Pada suatu hari saya mencuci piring. Saya terpeleset. Piring-piring yang ada di tangan saya jatuh dan pecah semua. Bukan buatan marahnya. Saya dipukuli dengan sapu lidi sampai hampir pingsan. Setelah itu saya diusirnya. Saya jagi gelandanga di kereta api. Akhirnya saya bertemu asongan di rumahnya. Saya jadi tukang semir sepatu. Hampir dua tahun lamanya."
Aku memandang wajah Kak Ahmad. Beliau juga memandangku.
"Saya...saya...takut, Kak," kataku terbata-bata.
Kak Ahmad memegang bahuku.
"Saya mengerti. Kamu pasti dihantui oleh masa lalumu. Percayalah, kami tidak sekejam itu. Kami yakin, kamu tidak sengaja memecahkan barang tersebut. Jangan takut. Jangan bersedih. Barang yang sudah pecah tak perlu dipersoalkan lagi. Kalau ada rezeki kita beli yang baru."
Aku tertegun.
"Kenapa masih melamun? Semua sudah selesai. Sudah beres. Yang penting, lain kali Adi harus lebih hati-hati lagi dalam bekerja. Ya?"
Aku mengangguk terharu.
5.DISEKOLAHKAN
Hari ini hari pertama aku masuk sekolah. Akhirnya aku dapat juga bersekolah. Meskipun usiaku sudah lewat dari yang umumnya. Kawan-kawanku rata-rata berusia 7 tahun. Aku lain sendiri, 9 tahun. Kak Ahmad membelikanku seragam sekolah. Baju putih dengan celana pendek merah warnanya. Aku lihat banyak anak yang masih malu-malu. Aku tidak demikian. Mentalku sudah kuat. Ini kuperoleh pada saat menjadi tukang semir sepatu dulu.Aku tidak merasa takut atau gugup menghadapi guru maupun teman-teman. Aku tengah berjalan di depan kelas, ketika seseorang menabrakku. Aku hampir saja terjerembab. Ketika aku menoleh, seseorang berdiri tegak di sampingku. Ia memandang sinis kepadaku.
"Kalau jalan hati-hati!" bentaknya.
Tentu saja aku terkejut. Aku rasa tadi hati-hati. Ia yang menabrakku dari belakang.
"Kamu yang harus hati-hati!" tukasku tegas.
"Kamu!" sahutnya sengit.
Beberapa orang anak mendekatinya.
"Ada apa, Bim? tanya yang seorang.
"Ada ini sombong!" sahutnya.
"Sombong? Siapa yang sombong?" kilahku.
"Kamu yang sombong!" sahut Bim sambil mencibir.
"Iya. Lagi pula ia sudah tua. Sudah tua kok baru masuk SD ya? Malu!" sela seorang dari mereka.
"Ia pikir ia bisa menakuti-nakuti kita ya. Keciiiil," timpal yang lain sambil memperlihatkan jari kelingkingnya.
Aku sangat tersinggung. Ketika masih jadi tukang semir sepatu, aku dan kawan-kawan mudah sekali tersinggung. Jika salah seorang dari kami tersinggung, tak ada istilah tenggang rasa. Jawabannya hanya satu: adu otot. Itulah sebabnya di tempat tinggal tidak jarang kami berkelahi. Aku telah terbiasa kehidupan keras. Aku pantang dihina. Aku pantang tersinggung oleh kawan-kawanku. Tapi kini lain. Kak Ahmad telah membimbingku. Aku dididiknya agar bersabar dalam menempuh hidup ini. Jangan lekas marah mendapatkan hinaan dan ejekan orang. Jangan mudah berkelahi, kalau bukan terpaksa sekali. Hidup ini bukan untuk mencari musuh. Hidup adalah untuk mencari teman.
"Ingat, Di, nasihat yang pernah disampaikan orang. Bunyinya: Seribu orang kawan belumlah cukup, namun seorang musuh sudah lebih dari cukup!
Karena itu jadilah orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, dan suka mencari persahabatan," demikian nasihatnya.
Aku segera mengulurkan tangan.
"Maafkan aku, Bim. Mungkin kamu benar. Aku yang tidak hati-hati," ujarku putus.
Tapi anak itu tidak menanggapi. Ia malah tersenyum mengejek.
"Hajar saja, Bim," usul seorang kawannya.
"Betul, Bim. Jangan takut. Kita berempat kok. Masa kamu takut?" yang lain memanas-manasi.
Bim tampak masih ragu.
"Ayo, tunggu apalagi, Bim?" tanya yang seorang.
Bim segera maju lebih dekat lagi. Aku tidak tinggal diam. Ketika sebuah pukulan Bim mengarah ke wajahku, segera kutangkap. Aku tarik ke belakang dan kuhantam perutnya. Bim terjerembab. Ia meringis sambil memegangi perutnya. Kawan-kawannya mengeroyokku. Namun aku berhasil menghadapi mereka. Seorang jatuh tersungkur terkena tendanganku. Seorang kuhajar iganya sehingga tidak berani bangkit lagi. Tinggal seorang. Kutangkap tangannya dan kupelintir. Ia mengaduh kesakitan. Tapi aku tidak melepaskannya.
Teman-temannya beringsut dan berkumpul. Mereka menatapku takut.
"Siapa namamu?" tanyaku kepada yang tangannya kupelintir.
"Aku,,,aku...Dedi," sahutnya terputus-putus.
"Dan kawan-kawanmu itu?"
"Mereka adalah....Bim...Ari dan Imat. Aduh, tanganku!"
Aku menariknya, mendekati ketiga kawannya. Dedi kulepaskan.
"Maafkan aku. Sebenarnya aku lebih menyukai persahabatan. Namun kalian memaksa. Tentu saja aku harus membela diri," kataku.
"Maukah kalian bersahabat denganku? Namaku Adi," lanjutku.
Mereka saling pandang.
Aku segera mengulurkan tangan kepada Bim.
"Maafkan aku, Bim."
"Di.....," Bim menyambutku terharu.
Akhirnya kami semua bersalam-salaman. Pagi itu aku mendapatkan empat orang kawan baru.
6. BELAJAR ITU MENYENANGKAN
Pukul tujuh pagi aku masuk sekolah. Pulang pukul dua belas. Guruku perempuan. Namanya Bu Jamilah. Beliau sangat sayang kepada kami. Dengan sabar beliau mengajarkan bermacam-macam pelajaran kepada kami. Beliau juga mendidik akhlak kami.
"Ilmu atau pelajaran itu penting, Anak-anak. Kita harus pandai, agar hidup kita dihargai oleh orang lain. Di samping itu, dengan ilmu tersebut kita dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi ilmu itu harus dilengkapi dengan akhlak. Kita harus berakhlak yang mulia. Menghormati yang lebih tua dari kita. Menyayangi yang sebaya dan lebih muda dari kita," demikian salah satu nasihat beliau.
Sulit juga aku belajar menulis huruf abjad dari A sampai Z. Begitu pula belajar membaca. Namun aku sungguh-sungguh sekali. Di rumah, Kak Ahmad dan kawan-kawannya selalu memberikan dorongan semangat. Maka semangatku menggebu-gebu. Aku memperhatikan guru dengan baik. Aku kerjakan perintah beliau sebagaimana mestinya. Di rumah, aku juga belajar, Ini kulakukan setiap hari.
"Sejak masih kecil kita harus rajin belajar, Di, sehingga nantinya terbiasa," nasihat Kak Ahmad.
"Otak kita tidak akan mampu jika dipakai belajar sekaligus ketika hendak menghadapi ulangan. Kita harus belajar sedikit demi sedikit. Kita harus belajar setiap hari."
Di kamar Kak Ahmad hanya terdapat satu meja. Maka aku memanfaatkan ketika Kak Ahmad tidak memakainya. Kadang-kadang aku belajar di ruang tamu. Mejanya cukup baik. Jika tidak, maka aku belajar di tempat tidur saja. Tapi itu kulakukan sambil duduk. Kak Ahmad melarang keras aku belajar sambil tiduran.
"Itu tidak baik bagi kesehatan matamu, Di. Mungkin saja baru-baru sih tidak apa-apa. Tapi nantinya baru terasa. Lagi benar sambil tiduran itu sulit. Pikiranmu tidak terpusat benar kepada pelajaranmu. Satu hari, kamu akan gambang tertidur kalau belajar sambil tiduran," nasihat beliau.
Di kelas, aku duduk di depan. Maksudku, agar lebih jelas dan mudah mendengarkan uraian guru. Selain itu juga mencegah diriku bercanda dengan kawan-kawan. Lagi pula kalau duduk di belakang itu mata suka cepat mengantuk. Kalau ditanya oleh guru, siapa yang mau maju ke muka, maka aku segera mengacungkan jari. Aku beranikan diriku. Aku tidak takut salah. Bukankah ada guru yang selalu siap membantu? Kalau salah tentu akan diberitahukannya jawaban yang benar. Karena sering maju ke muka, maka aku dikenal dan disayangi oleh guru maupun kawan-kawanku. Karena itu pula aku lebih rajin lagi belajar di rumah maupun di sekolah. Tidak jarang kawan-kawanku bertanya. Dengan senang hati aku menjawabnya. Tetapi aku pun terkadang tidak bisa tentang suatu pelajaran. Maka aku bertanya kepada yang bisa. Aku tidak malu melakukannya.
Di sekolah ada perpustakaan. Aku rajin ke sana. Aku membaca buku-buku yang mampu kubaca. Di perpustakan tersebut terdapat bermacam-macam buku. Ada yang hurufnya besar-besar, ada pula yang kecil-kecil. Buku yang hurufnya besar-besar, itulah yang kupilih.
Sejak masuk sekolah SD aku tidak bermain seperti dulu lagi. Sekarang aku harus rajin belajar. Tetapi aku pun tidak melupakan kewajibanku, membantu merapikan rumah. Aku tetap membantu Bi Minah pada waktu-waktu tertentu.
"Kami di sini tidak mau memanjakanmu," demikian kata Kak Ahmad pada suatu hari. "Kami ajar dan didik kamu bekerja, agar kamu terbiasa bekerja giat sejak kecil. Agar mentalmu kuat. Agar jiwamu teguh. Barangkali kami mampu seandainya kamu tidak bekerja sama sekali di rumah ini sekalipun. Namun kami khawatir, jiwamu akan manja, mentalmu akan lemah. Padahal hidup ini tidak selamanya demikian. Mungkin saja suatu hari Bi Minah sakit. Atau salah seorang dari kami ada yang sakit. Apalagi kalau yang sakit itu saya sendiri," sambung beliau.
Aku mengangguk tanda mengerti. Ya, aku harus belajar mandiri. Sejak kecil. Sebelum ini aku telah terbiasa belajar hidup mandiri. Sekarang aku pun harus demikian.
7. KABAR YANG MENGHARUKAN
Setahun berlalu. Aku berhasil naik ke kelas dua dengan nilai terbaik. Aku bangga dan bahagia sekali. Demikian pula halnya dengan Kak Ahmad dan kawan-kawannya. Mereka menghadiahiku beberapa buah buku tulis dan sebuah pulpen. Aku senang sekali.
Pada suatu hari aku dipanggil Kak Ahmad ke kamarnya. "Saya, Kak," kataku seraya berdiri di sampingnya. Beliau tengah menulis catatan pelajaran. "Duduklah," katanya. Aku mengikuti perintahnya. Aku duduk di dipan.
Kak Ahmad menghentikan pekerjaannya. Perlahan ia menghadapkan wajahnya kepadaku.
"Ada yang ingin saya bicarakan denganmu," ujarnya. Aku diam menunggu. "Sebulan yang lalu saya menerima surat dari bapak. Isinya memberitahukan, bahwa beliau sekarang sudah pensiun. Gajinya hanya separoh yang dulu. Sedangkan gaji seorang guru SD itu berapalah. Adik saya masih dua orang yang harus dibiayai pula pedidikannya. Saya telah berkirim surat kepada orang tua, agar saya tidak dikirimi wesel lagi. Tapi resikonya juga ada. Kamu tentunya butuh biaya, agar pendidikanmu lancar."
Beliau berhenti sejenak. Aku menunggu dengan dada berdebar-debar.
"Kakak dan teman-teman telah membicarakan hal ini. Sebenarnya kami ingin agar kamu tetap bersama kami di sini. Namun kami menyadari, kemampuan kami sangat terbatas. Daripada kamu kami sia-siakan, lebih baik kami tempuh jalan lain. Belum lama ini kami mengunjungi sebuah panti asuhan yang tidak begitu jauh jaraknya dari sini. Hanya sekitar tiga puluh kilometer. Panti asuhan itu menampung sebanyak 30 anak. Kebanyakan masih bersekolah di SD. Mereka berniat mengurus pendidikan anak-anak itu sampai paling tidak SMA. Kami telah membicarakan perihal dirimu. Ternyata mereka, pemilik dan pengurus panti, setuju. Mereka akan membiayai sekolahmu dan mengurusmu semampu mereka dengan sebaik-baiknya."
Kak Ahmad memandangku. Aku tak tahu harus berkata apa. Hanya mataku menatapnya lemah.
"Saya tahu, kamu pasti sedih. Kami juga sedih berpisah denganmu. Kamu anak yang baik. Tapi kita harus rela dan tabah berpisah demi sesuatu yang lebih baik. Jangan berkecil hati. Insya Allah, paling tidak sebulan sekali kami akan menjengukmu. Lagi pula di sana banyak kawan. Kamu pasti senang berkawan dengan mereka."
Sejenak sepi.
"Kamu setuju, Di?" tanya Kak Ahmad.
Aku tidak mampu menjawab.
"Adi." Kak Ahmad memegang bahuku. "Kamu percaya, kami bermaksud baik?"
Perlahan aku mengangguk.
"Kamu setuju rencana ini?"
"Setuju...Kak."
"Baiklah kalau begitu. Saya akan segera mengurus kepindahan sekolahmu. Insya Alloh, minggu depan kamu sudah pindah ke sekolah yang baru. Sekarang teruskan pekerjaanmu. Jangan bersedih. Ya?"
Aku mengangguk. Kamudian keluar kamar. Pekerjaan menyapuku belum selesai.
8. MENJADI ANAK PANTI
Hari Minggu padi Kak Ahmad dan kawan-kawannya mengantarkanku ke panti. Aku diterima oleh Pak Budi, kepala panti. Beliau didampingi oleh istri dan anak pertamanya yang bernama Bayu. Anak itu baru berusia 5 tahun.
"Bapak senang sekali menerima kedatanganmu," ujar Pak Budi. "Panti asuhan ini milik sebuah keluarga besar salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Demikian besar kecintaan mereka kepada anak-anak Indonesia, sehingga mereka membuat panti asuhan ini. Bapak dipercayakan menjadi pengurus panti ini. Bapak dan keluarga merasa senang, karena dapat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan."
"Mereka itu baik-baik kan, Pak?" tanya Kak Ahmad.
"Ya, benar. Mereka itu menyadari benar kehidupan mereka. Dan setiap hari kami memang memompa semangat mereka. Mereka rajin sekali belajar. Itulah sebabnya semuanya mendapatkan nilai yang baik. Bahkan beberapa di antara mereka merupakan juara kelas. Bapak dengar, Adi juga juara di kelasnya ya?"
Aku mengangguk.
"Mudah-mudahan di sini juga tetap jadi juara, yakni di sekolah Adi yang baru."
"Nah, mereka sudah selesai latihan silat," sela Bu Budi.
"Tolong panggil mereka kemari, Bu," pinta Pak Budi.
Bu Budi memanggil mereka. Mereka berkumpul di depan kami.
"Nah, Anak-anakku. Hari ini kita mendapatkan kawan baru. Namanya Adi. Harapan kita, semoga ia kerasan tinggal di tengah-tengah kita," kata Pak Budi.
"Ayo bersalam-salaman," lanjutnya.
Maka kami pun segera bersalaman akrab. Mereka menyebutkan namanya masing-masing. Namun karena banyak sekali, aku tak hafal semuanya.
"Sekarang kalian ke belakang dulu. Bubur kacang hijau sudah menunggu," ujar Pak Budi.
Mereka segera berlalu.
Mulai hari itu aku resmi jadi penghuni panti. Usai sholat Zhuhur aku duduk-duduk di bangku panjang. Pak Budi dan istrinya tengah ke pasar. Tiba-tiba punggungku dipukul dari belakang. Keras sekali pukulan tersebut, sehingga aku terjatuh. Untunglah wajahku tidak membentur lantai. Aku melirik tajam. Seorang anak, Bardi namanya. Ya, aku masih ingat nama tersebut. Ia berdiri tegak. Aku bangkit berdiri. Baru saja aku berdiri pukulan Bardi kembali meluncur ke arahku. Kali ini perutku yang jadi sasaran. Aku terjatuh kemabali. Sejenak aku meringis. Aku bangkit kembali. Kali ini lebih hati-hati. Bardi kembali menyerangku. Namun aku telah siap. Pukulannya kutangkap dan kuhajar ia dengan tangan kananku. Namun ia berhasil mengelakkan pukulanku. Bahkan tendangannya nyaris mengenai tubuhku.
Aku pasang kuda-kuda. Ia pu demikian. Teman-teman berkerumun di sekitar kami. Aku sebenarnya tidak punya dasar-dasar jurus silat. Namun karena alam sebelum aku tinggal bersama Kak Ahmad merupakan alam yang keras, sedikit banyak aku punya taktik berkelahi.
Bardi menyerangku lagi. Kali ini aku tak mau menangkap tanggannya. Aku juga tak mau membiarkan tangan kami beradu. Yang kulakukan adalah mengeles sedikit dan secepat kilat sikutku menghantam iganya. Bardi terhuyung sambil mengaduh. Aku tidak berhenti hingga di situ saja. Kaki kiriku menyepak setelah kakinya. Bardi terjerembab. Wajahnya membentur lantai. Ada darah mengucur dari hidungnya.
Aku segera memburu Bardi. Kubuka bajuku dan kubersihkan hidupnya.
"Maafkan aku," kataku.
Ia tersenyum.
"Kamu hebat. Aku tadi hanya mengujimu," lirih suaranya.
Aku segera memeluknya. Ia membalas pelukanku. Kawan-kawan kami bertepuk tangan. Kegiatan rutin di panti sebagai berikut: Pukul empat pagi harus sudah bangun. Mengaji Al Quran dan sembahyang Shubuh berjama'ah. Setelah itu latihan olahraga. Ada yang bertugas mengepel lantai, menyapu halaman, merapikan kamar, ada pula yang tugasnya menyiram tanaman. Sebagian lagi memompa air. Aku kebagian tugas memompa air bersama Bardi dan Yanto. Bergantian kami mandi. Kami sarapan bersama-sama. Pak Budi dan keluarganya ikut sarapan bersama kami. Di panti kami ada seorang bibi yang bertugas memasak, mencuci dan menyeterika pakaian.
Usia kami bervariasi sekali. Ada yang delapan, sembilan, sepuluh, sebelas dan dua belas tahun. Bahkan ada pula yang sudah empat belas tahun, yakni Maman dan Fauzi. Mereka sudah di SMP. Semua kami adalah laki-laki. Semuanya sudah tidak punya orang tua lagi.
Sedapat-dapatnya kami sembahyang berjama'ah. Di panti kami ada satu kamar khusus untuk keperluan sembahyang dan belajar mengaji.
Pada siang hari kami belajar, terutama mengerjakan PR. Ada jam istirahat. Sore hari kami mengurus tanaman bunga maupun kebun di belakang rumah. Yang tugasnya memompa air harus mengerjakan tugas tersebut 2 kali, pagi dan sore.
Selesai sembahyang Maghrib kami belajar mengaji. Pak Budi dan istrinya yang mengajar. Pak Budi memang guru agama di sebuah SMP. Pada malam hari kami harus belajar. Kami baru boleh tidur paling cepat pukul setengah sepuluh. Tiap malam dan pagi, Pak Budi tidak pernah lupa memompa semangat perjuangan kami. Kami diajar dan dididiknya bersyukur kepada Tuhan, karena kami mendapatkan pertolonganNya.
"Ketahuilah, Anak-anakku. Di dunia ini banyak sekali anak yang bernasib sama seperti kalian. Namun mereka tidak seberuntung kalian. Tidak ada orang yang mengangkat derajat kehidupan mereka. Mereka tetap saja tidak ada yang mengurus. Jangankan menyelenggarakan pendidikan mereka, kehidupan mereka pun tidak ada yang memperhatikan. Kalian beruntung. Rajin-rajinlah belajar, bekerja maupun beribadah."
Setiap hari Minggu pagi kami diajar ilmu silat. Pak Budi mendatangkan pelatih dari luar. Aku ketinggalan beberapa jurus, tapi syukurlah Bardi mau membantuku. Setiap hari aku diajarinya. Dalam waktu dua minggu aku telah berhasil mengejar ketinggalanku.
Kami berlain-lainan sekolah. Kelasnya juga tidak teratur. Ada yang baru berumur 10 tahun sudah kelas tiga SD. Tetapi ada pula yang baru kelas dua SD, meskipun usianya sudah 11 tahun. Aku sekelas dengan Bardi. Anak itu sama umurnya denganku, sepuluh tahun. Tiap bulan Kak Ahmad datang menjengukku. Ia tidak pernah lupa menasihatiku agar rajin belajar, bekerja dan sembahyang. Aku juga dinasihatinya, agar rajin belajar mengaji. Beliau memang orang yang berhati mulia.
9. PENYEKAPAN
Setahun berlalu
Aku berhasil naik ke kelas tiga dengan nilai terbaik. Lima orang anak di panti kami berhasil menjadi juara kelas di sekolah masing-masing. Yanto, Dodo, Deden, Oji dan aku sendiri. Sedang yang lain, walaupun tidak jadi juara, nilai mereka bagus-bagus. Semua naik kelas. Pak Budi dan istrinya sangat senang dan bangga. Begitu pula pemilik panti. Kami mengadakan syukuran. Pak Budi membeli 5 ekor ayam. Kami makan siang dengan gulai ayam.
Minggu di muka pemilik panti membiayai kami melakukan wisata ke Pangandaraan. Kami menyewa sebuah bis. Pengandaraan merupakan objek wisata yang menarik di Jawa Barat. Pantai Pananjung merupakan pantai yang indah. Kami berkejaran di antara debur ombak. Jika sudah bosan, maka kami membiarkan diri kami dihempaskan ombak gelombang. Senang sekali rasanya. Yanto menyewa ban. Aku dan Bardi segera mengurumuninya. Bertiga kami berenang agak ke tengah. Air laut bercipratan. Kami bersorak-sorai.
***
Kak Agus mengambil kuliah di Fakultas Peternakan. Beliau sering juga datang menjengukku bersama Kak Ahmad.
Pada suatu hari Minggu Pak Budi memanggil kami semua.
"Anak-anakku yang tercinta," beliau membuka percakapan.
"Kami dan pemilik panti ini selalu memikirkan masa depan kalian. Kami semua ingin agar kalian nantinya hidup bahagia, menjadi manusia yang bermanfaat bagi negara dan bangsa serta agama. Karena itu kami ingin membekali kalian dengan bekal keterampilan yang bermanfaat. Sudah hampir empat tahun panti ini berdiri. Keterampilan yang kami berikan barulah keterampilan membuat anyaman dan bertani. Sekarang kami ingin pula memberikan latihan keterampilan beternak puyuh. Kak Agus ini yang akan menjadi pembimbing kita."
Kami membuat kandang puyuh. Lantai maupun dindingnya dari kawat. Atapnya genteng. Luas kandang satu meter persegi, tingginya setengah meter.
"Untuk pertama kali cukup kita pelihara lima puluh ekor saja dulu. Nanti kalau sudah berhasil, kita tingkatkan jumlahnya," ujar Kak Agus.
Puyuh yang dipelihara betina semua. Umurnya sudah empat minggu.
"Jika pemeliharaannya cukup baik, biasanya pada umur lima atau enam minggu mereka sudah mulai bertelur," kata Kak Agus.
Agar kami semua sama-sama mendapatkan keterampilan beternak puyuh ini, maka dilakukanlah penjadwalan tugas. Setiap hari dua orang pada pagi hari dan dua orang pada sore hari. Yang harus kami lakukan adalah memberi makanan. Makanan tersebut dibeli di pasar. Sekarang ini banyak makanan puyuh yang sudah judi, dijual di pasar. Kami juga mengganti air minumnya. Kandang puyuh itu seperti sangkar. Lantainya berupa kawat. Di bawah kawat tersebut ada tadahan berupa kawat juga namun dilapisi koran. Kotoran puyuh jatuh ke sana. Setiap pagi kami harus membersihkan tadahan tersebut.
Kak Agus membimbing kami melakukan vaksinasi. Gunanya untuk mencegah timbulnya penyakit. Karena hal tersebut cukup besar resikonya, maka kami hanya disuruhnya memperhatikan saja. Beliau sendiri yang melakukan vaksinasi.
"Lain kali dan seterusnya, Adik-adik sendiri yang melakukan vaksinasi ini," ucap beliau.
Benar perkataan Kak Agus. Dua minggu kemudian puyuh kami mulai bertelur. Mula-mula hanya sepuluh butir. Besoknya dua puluh butir. Dalam waktu satu minggu telurnya mulai tetap jumlahnya, sekitar 40 butir.
"Produksi telur puyuh yang normal sekitar 80%," menerangkan Kak Agus, "Jadi kalau kita memelihara 50 ekor puyuh, maka produksi telurnya per hari sekitar 40 butir."
"Dalam setahun seekor puyuh dapat menghasilkan 270 sampai 300 butir telur. Banyak sekali," lanjut beliau.
"Nah, sekarang, setiap pagi kita makan telur puyuh," ujar Pak Budi. "Menurut ilmu gizi, telur merupakan makanan yang sangat tinggi kandungan gizinya. Telur sangat penting untuk kecerdasan otak kalian, pertumbuhan yang normal maupun kesehatan tubuh. Kita bahagia, karena setiap hari dapat makan telur puyuh yang kita pelihara sendiri."
Pemilik panti turut berbahagia atas keberhasilan kami, Pak Hamdan, atas nama keluarga besar pemilik panti, berjanji akan memberikan modal untuk memperbesar usaha peternakan kami.
"Jika nanti peternakan kalian ini menjadi semakin besar, maka kalian bisa menjual sebagian produksi telurnya ke pasar. Lumayan kan sebagai tambahan pendapatan panti ini," menerangkan beliau.
***
Suatu siang. Sepulang sekolah aku ke toko buku. Maksudku hendak membeli beberapa buku bacaan. Aku menumpang kereta api. Sudah lebih dari dua tahun aku tidak naik kereta api. Aku duduk di pojok gerbong. Kereta api sepi. Meskipun demikian agak banyak juga pedagang asongan yang menawarkan dagangannya. Ada tukang jeruk, tukang rokok, tukang kue pia, dan tukang koran. Melihat mereka, aku jadi teringat masa lalu. Dulu, aku juga seperti mereka. Setiap hari harus bekerja keras mencari sesuap nasi.
Ah, aku teringat kepada Rudi. Di manakah anak itu sekarang? Apakah ia masih tetap berjualan rokok? Ataukah ia jadi pengedar narkotika seperti yang pernah ditawarkannya kepadaku? Tuhan, mudah-mudahan saja tidak terjadi yang demikian itu! Kasihan Rudi. Kasihan pula orang-orang yang menjadi korbannya. Tengah aku melamun, terdengarlah seorang penjual rokok menawarkan dagangannya. Hei, aku masih ingat suara itu! Itu suara Rudi. Dan ketika aku menoleh, benar ia adalah Rudi.
"Rudi!" seruku.
Ia menghentikan langkahnya. Menatapku.
"Di?!"
"Rud? Apa kabar?" Aku menyalaminya.
Ia duduk di sampingku.
"Baik. Kau?"
"Aku pun baik, Rud."
"Di. Aku sekarang kaya. Profesiku seperti yang dulu aku bisikan kepadamu. Aku jualan rokok ini untuk mengelabui polisi saja. Di kereta aku juga mencari mangsa."
Aku terkejut sekali.
"Rud. Sadarlah," bisikku.
Ia tertawa mengejek.
"Kau mau ikut apa tidak?"
Aku menggeleng.
"Sadarlah, Rud. Atau kulaporkan polisi?"
"Apa?" Rudi merenggut kerah bajuku. Ia memandangku tajam. Aku membalas tahapannya.
Beberapa anak-pedagang asongan segera mengerumuni kami.
"Apa apa, Rud?" tanya yang seorang.
"Berkelahi, Rud?" tanya yang seorang lagi.
"Bahwa dia ke tempat kita!" kata Rudi tegas.
Aku hendak melawan. Namun aku perhitungkan, Rudi berlima. Mereka sebaya denganku. Dan mereka anak preman. Meskipun tidak mempunyai dasar-dasar ilmu bela diri yang mantap, badan mereka tampak kuat. Biarlah aku mengalah, kataku dalam hati. Aku mengikuti perintah mereka. Aku dibawa ke sebuah rumah sederhana. Rupanya Rudi tidak tinggal di tempat yang dulu lagi.
"Ini siapa?" tanya seorang lelaki muda. Wajahnya tampak dingin.
"Dulu dia kawan saya, Bos. Tapi sekarang tidak lagi. Dia mengetahui tentang kita. Katanya, dia hendak melapor kepada polisi," sahut Rudi.
"Polisi?" Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Jangan mimpi heh bocah! Pekerjaan kami teratur sekali. Tak mungkin diketahui oleh polisi,"
Ia menghampiriku. Tangannya yang kekar mencekal bahuku.
"Lagakmu! Mau sok jadi pahlawan!" Ia menyorongkan tubuhku. Aku hampir saja terjerembab dari kursi.
"Siapa namanya, Rud?" tanyanya.
"Adi, Bos."
"Hmmmh! Adi!" Ia manggut-manggut.
"Aku Dadang. Pemimpin di sini. Aku masih kasihan padamu. Kalau kau mau, kau boleh bergabung bersama kami. Kalau kau menolak, kau tidak bisa keluar dari sini. Mengerti?"
Aku tidak menjawab. Aku berpikir, bagaimanakah caranya meloloskan diri?
"Heh! Jawab pertanyaanku!" Ia merenggut rambutku. Sakit. Aku tetap tidak menjawab.
Ia menarik rambutku. Sakit sekali. Aku mengaduh.
"Ayo jawab!"
Dengan susah payah aku menggeleng.
"Bah!" Ia mendorong tubuhku hingga aku terjerembab ke lantai.
"Sekap ia di kamar belakang!" perintahnya.
Rudi dan kawan-kawannya menarik tubuhku dengan kasar. Aku dilemparkan begitu saja ke dalam sebuah kamar. Pintu pun segera dikunci dari luar.
10. MELOLOSKAN DIRI
Kamar tersebut berukuran kecil. Suasananya pengap. Dindingnya terbuat dari tembok. Aku duduk bersandar di dinding. Tubuhku terasa sakit. Kaki dan tanganku lecet-lecet. Mataku nanar menatap dinding. Tuhan.....tolonglah saya ini. doakan dalam hati. Aku teringat nasihat pelatih silat kami. Pada saat menghadapi situasi dan kondisi yang sulit, janganlah tegang atau cemas. Sebab ketegangan tersebut menyebabkan otak sulit berpikir.
"Tariklah napas panjang. Keluarkan perlahan-lahan. Ulangi hingga beberapa kali," katanya.
Aku juga teringat nasihat Kak Ahmad dan Pak Budi. Ingatlah selalu kepada Tuhan. Apalagi pada saat-saat yang seperti ini.
"Tuhan itu Maha Penolong," ujar Pak Budi.
Maka aku gabungkan nasihat guru silat dan nasihat Kak Ahmad dan Pak tarik napas panjang beberapa kali. Aku berdoa kepada Tuhan. Aku berpikir. Aku harus segera meloloskan diri. Mumpung tenagaku masih kuat, aku harus berbuat sesuatu. Jika besok, mungkin tenagaku sudah lemah, karena kurang makan dan tidur. Tetapi, bagaimanakah caranya? Aku berpikir keras. Kira-kira satu jam berlalu. Aku mendengar mereka pergi. Hanya satu orang yang tinggal di rumah.
"Boy, Kau jaga kunyuk itu, ya. Awas, jangan sampai lolos!" terdengar suara Boss Dadang.
"Beres, Bos," sahut yang diberi perintah.
Nah, ini kesempatan emas, kataku dalam hati. Aku harus memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.
Aku menunggu beberapa waktu lamanya.
Setelah yakin keadaan sepi, barulah aku mengetuk pintu kamar bertubi-tubi. Tapi pukulanku tidak keras.
"Hei, kunyuk! Jangan berisik!" terdengar gertakan Boy.
"Siapa di luar? Mas Dagang ya?" tanyaku berpura-pura.
"Aku Boy. Ada apa?" tanyanya gusar.
"Mas Dadang mana?"
"Mas Dadang?! Boss gitu!"
"Eh...iyyyaaa...Boss.
"Ke mana dia?"
"Boss sedang keluar."
"Aku ingin bertemu dengannya."
"Untuk apa?"
"Aku setuju tawarannya," ujarku sungguh-sungguh.
"Heh?! Kau setuju?"
"Iya. Makanya aku ingin bertemu dengannya."
"Ia sedang keluar."
"Sayang sekali. Padahal aku ingin bertemu dengannya sekarang. Aku punya calon mangsa yang bagus. Ia anak orang kaya."
"Kau.....sungguh-sungguh?" tanya Boy ragu.
"Tanya saja sam Rudi. Aku dulu juga merupakan anak kereta api. Aku tukang semir sepatu."
"Ya. Rudi sudah menceritakan itu."
"Makanya, apa perlunya kau ragu?"
"Iya ya ya."
Aku ingat Boy mempunyai tubuh yang mirip dengan Rudi. Cukup tinggi dan besar. Aku lebih kecil. Karena itu aku harus pakai taktik. Aku mendengar suara pintu berderit. Boy yang membukanya. Aku masih tetap duduk berjuntai. Sementara tangan kananku memegang kakiku yang lecet dan berdarah.
"Kakiku lecet," ujarku perlahan.
Boy mendekat. Kemudian berjongkok. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Dengan gerakan yang cepat aku bangkit dan menendang perutnya. Boy sama sekali tidak menyangka. Ia terpental. Segera aku kejar. Kedua tangannya aku puntir. Ia mengaduh kesakitan. Terakhir, aku tendang kakinya sehingga ia terjerembab.
Aku segera keluar kamar. Pintu kugembok dari luar.
"Tolong aku! Bajingan kau, Di! Bangsat, kau!" umpat Boy. Aku tidak peduli.
Sejenak aku mengamati keadaan. Sepi. "Boss" dan sejumlah anak buahnya belum kembali.
Aku segera meninggalkan rumah tersebut.
11. PENYERGAPAN
Langkahku menuju kantor polisi yang terdekat. Aku memberikan laporan apa adanya. Seorang polisi memberiku obat merah. Kami segera merencanakan penyergapan. Agar tidak ketahuan oleh komplotan itu maupun masyarakat ramai, maka para polisi tersebut mengenakan pakaian preman. Mobil diparkir jauh sekali dari lokasi rumah tersebut. Kami menyebar, sehingga rumah tersebut terkepung. Namun agar tidak menimbulkan kesan yang aneh di mata masyarakat, kami berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang jajan di warung, ada pula yang membeli es cincau. Aku bersama 2 orang polisi menikmati singkong goreng yang dijual di pinggir jalan. Aduh, nikmatnya. Jumlah polisi yang diturunkan 10 orang. Denganku jadi sebelas jumlahnya.
"Pak," bisikku. "Itu mereka," sambungku melihat Bos Dadang bersama anak buahnya.
"Biarkan mereka masuk dulu," bisik Kapten Hamid.
Boss Dadang memanggil-manggil Boy. Tak lama kemudian ia menendang pintu depan. Mereka masuk rumah dengan gusar.
Kapten Polisi Hamid segera memberikan kode dengan siulan. Serentak kami mendekat. Rumah tersebut kami kepung.
"Boss. Kunyuk itu kabur," terdengar suara Boy.
"Goblok! Dobrak pintu ini!" perintahnya.
Ketika pintu telah terdobrak.
"Seret ia ke sini!" perintahnya lagi.
Boy meringis.
"Sama tikus kecil saja kau kalah. Dasar bodoh!" Boss Dadang menampar wajahnya. Kemudian menendangnya. Boy terjerembab sambi mengaduh.
"Boss. Hati-hati. Barangkali Adi melapor kepada polisi,"
salah seorang memperingatkan.
"Waduh, gawat," ujar Rudi.
"Kita kabur, Boss?" usul seorang yang lain.
"Yakh, kita kabur. Ayo, siapkan barang-barang kalian. Kita lewat pintu belakang."
Ketika mereka tengah bersiap-siap tersebut, Kapten Hamid memberikan kode dengan suitan tangan. Serentak kami maju.
"Angkat tangan!" perintah Kapten Hamid.
Boss Dadang terkejut. Ia segera menyambar pistol di atas mejanya. Namun Kapten Hamid menggertaknya.
"Jangan coba-coba meraih benda tersebut, atau kau ingin peluru ini menembus kulitmu."
Boss Dadang gusur juga hatinya. Ia tidak jadi mengambil benda tersebut.
"Ayo, angkat tangan semua! Jangan coba-coba melawan! Sembilan orang polisi mengepung rumah ini."
Mereka pucat pasi. Tiga orang anak buah Kapten Hamid masuk.
"Ayo, kumpul di pojok sana!" perintah Kapten Hamid.
Mereka menurut. Jumlahnya 10 orang. Kapten Hamid memerintahkan salah seorang anak buahnya memborgol mereka.
"Siap, Kapten," sahut orang tersebut sambil menghormat.
Kapten Hamid memerintahkan salah seorang anak buahnya yang lain menjemput mobil.Setelah menjawab sambil menghormat, ia segera mengeluarkan telepon anginnya. Mobil yang kami tumpangi memang ditunggui oleh seorang polisi.Aku memandang mereka satu per satu. Boss Dadang menatapku penuh kebencian. Aku memandang Rudi. Ia tampak kuyu. Dalam hati aku kasihan. Ya, Rudi itu adalah sahabatku. Dulu, ia tidak jarang menolongku. Sifatnya memang kasar. Ia gampang sekali berkelahi. Mobil segera tiba. Ternyata ada 2 mobil. Aku tak heran sama sekali. Bagi polisi kontak mengontak lewat udara adalah hal yang biasa dan mudah.Mereka segera digiring naik ke atas mobil. Ketika melintas di hadapanku, Rudi menunduk. Aku memegang bahunya.
"Maafkan aku, Rud," tuturku.
Ia tidak menjawab.
12. MENENGOK KAWAN
Aku diantar polisi ke pantai. Tentu saja Pak Budi dan kawan-kawanku terkejut.
"Ada apa, Pak?" tanyanya cemas.
"Tenang, Pak. Tidak apa-apa. Kami berterima kasih kepada Adi. Ia telah membantu kami menangkap komplotan pengedar narkotika."
"Oooooh, begitu. Syukurlah," kata Pak Budi. "Narkotika memang sangat membahayakan, terutama bagi generasi muda."
"Bapak betul."
"Adi ini pandai sekali, Pak. Barangkali ia jenius, Pak," kata polisi tersebut.
Aku tersenyum mendengarnya.
"Mudah-mudahan saja begitu, Pak." sahut Pak Budi.
***
Keesokan harinya berita penangkapan Boss Dadang dan kawan-kawannya dimuat di koran-koran. Namaku ada disebut-sebut di sana. Bahkan fotoku juga dimuat. Yah, aku tidak mengharapkan itu. Harapanku hanyalah agar mereka sadar. Demikian pula komplotan lain yang hingga saat ini belum tertangkap. Pak Hamdan senang sekali atas pekerjaanku tersebut.
"Kita memang harus berbuat baik semampu kita. Apa saja. Kepada siapa saja. Supaya hidup kita di dunia ini punya arti bagi diri kita sendiri maupun orang lain." ujarnya.
***
Dua bulan kemudian keputusan hakim ditetapkan atas diri komplotan pengedar narkotika itu. Di antaranya, lima tahun buat Boss Dadang, tiga tahun buat Boy dan dua tahun terhadap Rudi. Aku menarik napas panjang. Rudi! Dua tahun! Kasihan! Aku mencari tempat Rudi di penjarakan. Jauh juga. Kasihan. Ia ditempatkan bersama-sama dengan para penjahat dewasa. Komplotan Dadang dipenjarakan di sel yang berbeda-beda. Aku sering menjenguk Rudi. Bagaimanapun aku merasa sayang kepadanya. Ia juga sama seperti diriku. Tidak punya orang tua, bahkan tidak pernah tahu siapa orang tuanya. Aku menjenguk pada hari Minggu. Tentu saja setelah mengerjakan tugas-tugas rutinku. Aku membawa makanan sekedarnya, pemberian dari panti. Aku tidak sekedar menjenguk Rudi. Aku juga berusaha menyadarkannya. Mudah-mudahan saja ia masih mau sadar, itulah doaku dalam hati.
13. MASA DEPAN
Aku kini duduk di bangku kelas lima SD. Karena prestasiku selalu baik sekali, maka aku mendapatkan beasiswa dari sekolah. Lumayan juga besarnya. Uang tersebut kutabung untuk masa depanku nanti. Pak Guruku pernah memanggilku ke kantornya.
"Otakmu cerdas sekali, Di. Semangat belajarmu juga luar biasa. Bapak sangat senang. Boleh bapak tahu apa cita-citamu?"
"Saya ingin jadi dokter, Pak."
"Mengapa kamu ingin jadi dokter?"
"Sebab saya ingin memberikan pertolongan kepada orang. Saya ingin berbuat baik sebanyak-banyaknya. Kalau ada yang bertobat kepada saya, maka saya akan memintanya membayar murah saja. Kalau ada yang tidak mampu, ya tak usah membayar."
"Bagus sekali cita-citamu, Di. Tapi untuk menjadi orang yang berguna kita tidak harus semuanya menjadi dokter. Jadi guru juga mulia. Besar jasanya bagi kemajuan masyarakat. Guru mengajar dan mendidik manusia agar pandai dan berakhlak mulia. Jadi insinyur juga bermanfaat bagi orang lain. Baik insinyur perhatian, perikanan, peternakan, kehutanan, teknik maupun mesin. Jadi ulama, kyai, pendeta juga bermanfaat bagi orang lain. Membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan selamat. Apalagi? Jadi dokter hewan, jadi sarjana hukum. Banyak, Di setiap pekerjaan yang baik dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain, asalkan kita sungguh-sungguh mengerjakan.
***
Peternakan puyuh kami sekarang ini sudah besar. Jumlah puyuh yang dipelihara ada 500 ekor. Kandangnya merupakan kadang panjang dan bertingkat dua. Kandang tersebut terbagi atas 10 petak. Tiap petak dihuni oleh 50 ekor puyuh. Setiap hari kami makan telur puyuh. Tetapi kami juga berhasil menjualnya ke pasar. Setiap harinya puyuh kami menghasilkan sekitar 400 butir telur. Sebanyak 50 butir dikonsumsi sendiri. Yang lainnya dikumpulkan dan dibawa ke pasar pada hari Minggu. Banyak pula tetangga yang datang sendiri ke tempat kami. Tentu saja kami layani dengan segala senang hati. Setiap butir telur puyuh kami jual seharga Rp 15,-. Pedagang eceran di pasar menjual Rp 25,- per butirnya.
***
Aku berkunjung ke tempat Rudi dipenjarakan. Tapi ternyata ia sudah tak ada lagi. Ia baru saja dibebaskan.
"Hukumannya dipotong dua bulan, Dik. Baru saja pulang tadi. Baru saja. Belum jauh dari sini," kata sipir penjara.
Aku segera meninggalkan tempat tersebut. Langkahku panjang. Aku menyusuri trotoar jalan raya.
"Rud! Rudi!" panggilku ketika kulihat Rudi tengah berjalan. Rudi menghentikan langkah. Ia menoleh ke belakang. Suasana sepi.
"Rud!" panggilku lagi dengan napas terengah-engah.
Begitu tiba di hadapannya aku segera mengulurkan tangan. Namun Rudi malah menyerangku. Aku sama sekali tak menyangka. Meskipun demikian aku masih dapat menjaga keseimbangan tubuhku. Refleksku lumayan baiknya. Ini berkat latihan silat yang sungguh-sungguh yang kulakukan selama ini. Di panti, aku merupakan pesilat terbaik.
Hanya dalam dua gerakan Rudi berhasil kubekuk. Ia telentang. Sebelah tanganku melipat tangannya, kiri dan kanan. Sebelah lagi menekan dadanya.
Rudi tersenyum.
"Kau hebat, Di." bisiknya lirih.
"Maafkan aku, Rud."
"Aku berusan cuma bercanda kok."
"Apa, Rud?" tanyaku tak mengerti.
"Aku sekarang telah sadar, Di. Aku ingin menjadi orang baik-baik. Aku ingin belajar dan bekerja sungguh-sungguh. Aku ingin punya masa depan yang baik."
"Maukah kau ke panti kami, Rud?"
"Sudah lama aku ingin ke sana. Apakah boleh?"
"Panti kami selalu terbuka untuk orang yang ingin belajar dan bekerja sungguh-sungguh sepertimu."
"Di."
"Rud."
Kami berpelukan erat sekali. Lama sekali.
"Kita harus jadi orang yang berguna, Di."
Aku tak kuasa menjawab. Hanya air mataku yang menitik. Kepalaku mengangguk perlahan.
Dalam hati aku bersyukur kepada Tuhan
Tamat.
Tamat.
.
Karya: IRWAN KELANA
No comments:
Post a Comment