CAMPUR ADUK

Thursday, December 20, 2018

BUNG KARNO PRESIDEN R.I. PERTAMA DARI PECINTA SENI BUDAYA SAMPAI AHLI PIDATO

1. TETAP MAJU MESKI KEKURANGAN

Hari itu pastilah hari yang membahagiakan untuk keluarga Raden Sukemi Sosrodihardjo, guru sekolah dasar negeri. Setelah anak pertamanya lahir, seorang puteri yang diberi nama Sukarmini, lahirlah anak kedua mereka, seorang laki-laki yang diberi nama Sukarno. Sukarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juli 1901. Kelak kemudian hari setelah ia besar kita mengenalnya sebagai Bung Karno, Presiden RI yang pertama.

Sukarno kita kenal dekat dengan kebudayaan Bali karena ibunya memang adalah wanita Bali sedangkan ayahnya dari Suku Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, dari kasta Brahmana (kelas Pendeta), penjaga puri Hindu di Singaraja, Bali. Kedua orang tua Sukarno tinggal di Singaraja, sampai anak pertama mereka lahir. Baru dua tahun kemudian orang tuanya pindah ke Surabaya dan di kota Pahlawan itulah Sukarno lahir.

Ketika lahir, Sukarno belum bernama Sukarno. Ia diberi nama Kusno. Tapi dengan nama Kusno, ia menjadi seorang anak yang sering sakit terutama sakit disentri dan sakit malaria. Oleh karena itu, namanya kemudian diganti menjadi Sukarno. Menurut kepercayaan orang Jawa, seorang anak yang sakit-sakitan,namanya harus diganti. Maka nama Kusno pun diganti menjadi Sukarno,

Sukarno berarti "pahlawan terbaik". Nama ini mengingatkan tentang seorang pahlawan perang dari cerita-cerita Mahabrata, yaitu Karno. Ayah Sukarno suda dengan cerita-cerita Mahabhrata. Dengan nama baru inilah, ayahnya banyak berharap Sukarno kelak dapat menjadi Karno kedua; seorang patriot dan seorang pahlawan negara. Sukarno lahir tepat pada pergantian abad baru, ketika abad kesembilanbelas baru beralih ke abad dua puluh.

Kurang Mampu

Sukarno dibesarkan dalam keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya hanya seorang guru kecil. Mereka bahkan pernah tidak makan satu kali pun dalam sehari.  Kakek nenek Sukarno juga orang tidak mampu. Sukarno menceritakan kemiskinanya ini dalam sebuah buku ketika ia sudah besar. Ketika ia sudah menjadi Presiden dan suatu hari mengunjungi Amerika Serikat tahun 1956 ia pernah berpidato dengan terus terang: "Hidup seseorang sungguh tidak bisa diramalkan. Saya anak miskin dari orang tua miskin. Ayah saya seorang guru kecil, gajinya 25 gulden (nama uang Belanda) sebulan. Ini berarti hanya 10 dolar (mata uang Amerika Serikat). Saya anak rakyat jelata."

sekalipun miskin orang tua Sukarno tetap memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Pada usia enam tahun, Sukarno pindah ke Mojokerto, kota sebelah selatan Surabaya, mengikuti ayahnya yang dipindahkan ke kota itu. Di kota ini pula Sukarno masuk Sekolah Dasar. Di sekolah itu juga ayahnya mengajar. Ayahnya sangat mengutamakan pendidikan bagi anaknya, oleh karena itu Sukarno dididik dengan disiplin amat keras. Bila Sukarno melakukan kesalahan, ayahnya akan marah dan memberinya hukuman. Berbeda dengan sifat ayahnya, ibunya mengasuh Sukarno dengan lemah lembut. Ibunya sangat mengharapkan bila Sukarno besar ia akan menjadi anak yang baik.

Karena ayahnya mendidiknya dengan disiplin yang keras, Sukarno menjadi takut kepadanya. Tapi kepada ibunya Sukarno sangat sayang. Rasa sayang kepadanya ibunya itulah yang kemudian menjadi semangat hidupnya.

Di samping ibunya, yang mengasuh Sukarno di masa kecilnya adalah seorang pembantu yang bernama Sarinah. Sukarno seringkali tidur di samping Sarinah. Dari Sarinah juga Sukarno mengenal dan mencintai rakyat kecil. Ketika Sukarno besar ia menggambarkan Sarinah sebagai seorang wanita yang berasal dari rakyat biasa, tetapi luar biasa bijaksana. Karena merasakan kebaikan Sarinah dalam hidupnya suatu hari Sukarno menulis sebuah buku tentang wanita Indonesia. Sukarno menulis sebuah buku tentang wanita Indonesia. Sukarno mengatakan, Sarinahlah lambang wanita Indonesia. Buku yang ditulisnya pun diberi judul "Sarinah". "Untuk mengenang jasa-jasanya untukku." kata Sukarno.

Bukan sebuah buku saja yang ditulis Sukarno untuk mengenang kasih sayang Sarinah, tetapi juga mengabadikan nama Sarinah pada sebuah Toko Serba Ada (To serba). Toko ini megah, bertingkat, berada di jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Ketika itu belum ada toko yang demikian megah di Jakarta. Sukarno mengakui pengaruh Sarinah demikian besar dalam kehidupannya.

Waktu Luang

Seperti anak-anak kecil lainnya, Sukarno juga suka bermain. Bermain gasing adalah kesukaannya. Ia selalu menjadi jagoaan dalam permainan itu. Sejak kecil Sukarno sudah menunjukkan kemahirannya dalam setiap permainan. Ia juga mampu mengungguli teman-temannya.

Sebagai jagoan muda karena lebih berani ketimbang teman-temannya, maka Sukarno dijadikan teman-temannya sebagai pemimpin dalam permainan bersama. Ia yang mengatur kegiatan permainan dan menjadikan dirinya sebagai pusat dari suatu kelompok kecil. Ia tak pernah membiarkan siapa pun menentang kedudukannya.

Bukan hanya bermain kegemaran Sukarno, tetapi sejak kecil juga ia sudah menyukai seni dan kebudayaan. Selepas kegiatan sekolah ia sering duduk-duduk di pondok Wagiman. Wagiman adalah seorang petani miskin yang tinggal di dekat Mojekerto. Dari Wagimanlah ia mendengar cerita-cerita tentang para pahlawan wayang. Tentang Kumbakarna, Arjuna, Gatotkaca, Kresna, Semar yang lucu namun perkasa; tentang Anoman yang menjadi pemimpin kera dan masih banyak yang lainnya. Ternyata Sukarno sangat menyukai cerita-cerita seperti itu.

Anak-anak kecil di tempat Sukarno dibesarkan rupanya suka duduk dengan orangtua mereka menyaksikan pagelaran wayang semalam suntuk dan mendengarkan dengan cermat penuturan sang dalang. Sukarno juga suka melakukan hal itu. Sampai-sampai pertunjukkan wayang telah mendapat tempat tersendiri dalam jiwanya. Ketika Sukarno besar ia sering memakai kisah dan tokoh-tokoh pewayangan dalam setiapkali berpidato. Sukarno tampak tumbuh dengan kebudayaan Indonesia yang benar-benar baik. Ia menjadi pecinta budaya Indonesia.

Masa Bersekolah

Sejak kecil Sukarno telah tampil sebagai seseorang yang tidak malu pada kemiskinan orang tuanya. Ia tidak mempermasahkan sekalipun harus bersekolah tanpa sepatu. Tidak tampak dalam dirinya rasa rendah diri. Ia juga tidak malu berada di antara teman-temannya yang lebih mampu dari dirinya dalam hal pakaian dan sepatu. Di rumah ia juga tidak mengenal makan dengan menggunakan sendok maupun garpu.

Sekalipun keadaan hidup mereka seperti itu Ayah Sukarno jelas orang yang berpikiran maju. Ini dapat dilihat dari caranya memperhatikan pendidikan Sukarno. Kemiskinan tidak menghambatnya untuk menyekolahkan Sukarno ke sekolah dasar berbahasa Belanda (ELS = Europese Lagere School) di Mojokerto. Waktu itu Sukarno sudah duduk di kelas lima. Dengan meneruskan ke sekolah dasar berbahasa Belanda, ayahnya berharap Sukarno tidak akan mengalami kesulitan ketika masuk sekolah lanjutan Belanda. Namun kesulitan datang. Ketika akan mendaftarkan anaknya ke ELS Mojokerto diketahui ternyata kemampuan Sukarno berbahasa Belanda di bawah ukuran kelas enam di sekolah Belanda tersebut. Bahasa Belanda diajarkan sebagai suatu mata pelajaran tetapi bukan merupakan bahasa pengantar.

Tetapi hal ini belum menjadi hambatan bagi ayah Sukarno. Sukarno tetap diikuti sertakan dalam sebuah wawancara dengan Kepala Sekolah ELS. Hasilnya Sukarno diterima sebagai murid, tetapi diputuskan bahwa ia harus mulai dari kelas yang lebih rendah. Sukarno keberatan dengan keputusan itu. Ia merasa malu didudukkan dalam kelas yang anak-anaknya di bawah umurnya. Ayahnya tidak kehilangan akal, ia dapat memecahkan jalan buntu itu. Ayahnya menyarankan untuk mengurangi satu tahun umur Sukarno dan mendaftarkanya dengan usia 12 tahun dan bukan 13 tahun.

Sukarno yang memang pandai ditambah ia rajin belajar, akhirnya dalam jangka waktu dua tahun berikutnya, mampu menguasai bahasa Belanda.

Pembaca yang Tekun

Selepas pendidikannya di ELS Mojokerto, Sukarno didaftarkan ayahnya ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Pak Sukeni juga memondokkan Sukarno di rumah HOS Tjokroaminoto (kita mengenalnya juga sebagai pahlawan nasional). Rumah pondokan itu bertempat di Peneleh, Gang VII, sebuah gang kecil dalam perkampungan. Rumah HOS Tjokroaminoto sangat sederhana dan sebagian merupakan rumah pondokan.

Di rumah pondokkan itu Sukarno mendapatkan kamar kecil, gelap dan sangat sempit. Kamar itu tidak berjendela. Bahkan pada siang hari pun ia harus menyalakan lampu lilin, sebab pelajar seperti Sukarno tidak mempunyai uang untuk membeli bohlam lampu listrik. Dalam kamar itu terdapat sebuah meja reot, tempat ia meletakkan buku-bukunya. Sebuah kursi kayu, sebuah cantelan untuk menggantungkan pakaiannya, dan sebuah bale-bale bertikar tanpa kasur maupun bantal.

Sukarno tidak merasa nyaman berada di pondokan itu, apalagi ia belum terbiasa jauh dari keluarganya. Karena itu hari ke hari ia merasa rindu pada ayahnya, ibunya, Sarinah, dan orang-orang yang dekat dengannya. Tapi sekalipun Sukarno merasa sendirian, ia tidak cengeng. Ia mengatasi rasa sendirian itu dengan banyak belajar. Ia banyak membaca. Bacaan-bacaan didapatnya dari perpustakan perhimpunan Teosofi Surabaya. Sukarno akhirnya menjadi seorang pembaca yang rajin dan tekun dengan mengurung diri dalam kamarnya.


2. BELAJAR DAN JADI JAGO PIDATO

Pergaulan Baru

Bapak pondokan Sukarno adalah HOS Tjokroaminto. Ia bukan orang sembarangan. Di kota Surabaya ia mendapat julukan "Raja Jawa Tanpa Mahkota", sebab ia seorang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ia juga adalah ketua Serikat Islam. Di antara 25 orang yang tinggal di rumah Tjokroaminoto, ternyata Sukarno mendapat tempat tersendiri di hati Tjokroaminoto. Hal ini terlihat dari kesediaan Tjokroaminoto untuk meminjamkan buku-bukunya dan kepada Sukarno juga ia banyak bercerita tentang organisasi yang dipimpinnya, yakini Serikat Islam. Dari seringnya mereka berbicara, lama-lama Sukarno pun mengagumi Tjokroaminoto.

Sementara itu, di sekolahnya, Sekolah Menengah Tinggi Belanda (HBS), Sukarno dinilai cukup mampu mengikuti pelajaran demi pelajaran dengan baik. Hanya sayangnya di lingkungan teman-teman sekolahnya ia diasingkan karena ia orang Indonesia. Di sekolahnya ada sekitar 20 orang murid Indonesia di antara 300 orang murid Belanda. Lapangan bermain di sekolahnya dikuasai oleh murid-murid Belanda. Murid-murid Indonesia seringkali dihina. Hal itu membuat Sukarno tidak senang. Untuk membela dirinya dan teman-temannya yang orang Indonesia, ia suka maju melawan teman-temannya yang orang Belanda. Perselisihan seringkali tidak terhindarkan. Sejak merasa mendapat perbedaan dan penghinaan karena warna kulit dan golongan inilah dalam diri Sukarno muncul semangat perlawanan terhadap penjajahan.

Penghinaan ini tidak hanya dialaminya ketika ia bersekolah di Surabaya, tapi sejak ia bersekolah di sekolah Belanda di Mojokerto.

Waktu terus berjalan.Tahun 1917 ayahnya dipindahkan ke Blitar yang masih dekat dari Surabaya. Kehidupan Sukarno mulai sedikit berubah. Pembiayaan sekolahnya selain ditanggung ayahnya, di bantu juga suami kakaknya, seorang Inspektur Pekerjaan Umum. Hidupnya mulai jadi agak membaik. Pakaiannya mulai bersih dan rapih dibanding teman-teman sepondokannya di rumah Tjokroaminoto. Bahkan Sukarno merasa bangga mempunyai sebuah sepeda tapi ia harus menggunakan uang sakunya sehemat mungkin.

Jadi Ahli Pidato

Ada bakat dalam diri Sukarno yang akhirnya muncul ketika ia duduk di Sekolah Menengah Tinggi Belanda. Sukarno ternyata mempunyai kepandaian menulis. Bakatnya ini dikembangkannya dengan menulis ratusan tulisan dalam "Utusan Hindia" di bawah nama samaran Bima, tokoh pewayangan yang menjadi pujaannya, seorang tokoh yang perkasa dan pahlawan yang gagah berani. Bukan itu saja bakat Sukarno yang kemudian tampak, tetapi juga adalah kepandaian berpidato. Keahliannya ini didapatnya dari HOS Tjokroaminoto sejak ia masih berusia 16 tahun. Ia selalu tekun mendengarkan dan memperhatikan kata-kata yang meluncur dari "Raja Jawa Tanpa Mahkota" itu setiapkali ada kesempatan berpidato. Sejak saat itulah Sukarno berhasil mengembangkan seni berpidato itu ke arah yang lebih bai. Kelak setelah ia menjadi Presiden, Sukarno terkenal sebagai ahli pidato terbesar dalam sejarah di Indonesia.

Hubungan Sukarno dan Tjokroaminto hari ke hati memang semakin dekat. Dalam sepuluh tahun kehidupan Sukarno berikutnya, peranan Tjokroaminoto sangat besar dalam pembetukan dirinya. Sukarno merasa antara dirinya dan Tjokroaminoto tidak hanya sebagai hubungan anggota keluarga saja, melainkan juga sebagai ikatan antara guru dan murid dalam pergaulannya sehari-hari.

Kedekatan mereka pula yang membawa Tjokroaminto mau memperkenalkan tamu-tamu penting di tanah air yang mengunjunginya kepada Sukarno. Tamu-tamu itu antara lain adalah Agus salim, Soewardi Soerjaningrat yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantoro pendiri gerakan pembaruan pendidikan, Taman Siswa. Perkenalan ini mempunyai banyak arti bagi Sukarno dikemudian hari.

Perkumpulan Pertama

Sukarno semakin dewasa. Ia mulai membandingkan antara apa yang dibacanya dengan apa yang dilihatnya disekelilingnya. Ia semakin menyadari adanya penderitaan sesamanya. Ia jatuh kasihan. Ia ikut merasakan penjajahan Belanda yang telah membuat sengsara rakyat banyak. Oleh karena  itulah Sukarno mengambil sebuah keputusan untuk berjuang demi bangsanya. Sukarno lalu ikut perkumpulan Tri Koro Darmo yang artinya. Tiga tujuan suci. Perkumpulan ini merupakan organisasi sosial bagi para pelajar yang sebaya usianya. Perkumpulan ini dibentuk untuk mengurus kebutuhan-kebutuhan para pelajar sekolah lanjutan yang hidup di perantauan. Perkumpulan ini juga menjadi wadah untuk mendidik anggotanya dalam tradisi kebudayaan sendiri.

Pada tahun 1918, perkumpulan tri Koro Darmo mengganti namanya menjadi Jong Java (Jawa Muda). Sukarno pun mulai dikenal sebagai orang yang pandai berpidato. Setiap ia berpidato banyak orang yang mendengarnya menjadi terpesona. Bila di sekolahnya diadakan pertemuan yang bentuknya perdebatan, ia tampil berpidato. Karena kepandaiannya itu, Sukarno semakin terkenal di perkumpulannya.

Pada suatu kongres Jong Java di Bandung bulan Juni tahun 1912, Sukarno berani mengatakan kalau sebaiknya menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa rendah) sebagai bahasa persatuan daripada menggunakan bahasa Belanda atau bahasa Jawa tinggi. Kemampuan Sukarno berbicara ini mulai menunjukkan kepemimpinannya.

Masuk Sekolah Teknik

Kegiatan belajar dan keaktifannya di perumpulan untuk memajukan bangsanya tidak membuat sekolah Sukarno terhambat. Ia tetap rajin belajar dan lulus dari sekolah menengah HBS Surabaya pada tahun 1921. Setelah ia lulus banyak plihan yang dipikirkan Sukarno untuk meneruskan sekolahnya. Ia ingin meneruskan sekolahnya ke Belanda karena ada beberapa orang temannya dari Indonesia yang belajar di sana, tetapi keinginannya ini sulit diwujudkan karena ia bukan orang yang mampu. Ia tidak mempunyai biaya. Ia kemudian berpikir untuk masuk sekolah OSVIA. Dari sekolah ini ia akan dapat menjadi pegawai negeri. Tetapi ia juga berpikir untuk menekuni suatu perkumpulan kemasyarakatan yang akhir-akhir ini telah menjadi pengalaman yang sangat berkesan dalam hatinya.

Tetapi semua yang dipikirkannya itu tidak ada yang jadi dilaksanakannya. Ia malahan memutuskan masuk THS (Tecknishe Hooge School) di Bandung. Kebetulan sekolah ini memang baru saja didirikan sebagai langkah pertama menuju pemebentukan universitas di Hindia. Keputusan ini diambil Sukarno karena ibunya yang keberatan Sukarno karena ibunya yang keberatan Sukarno melanjutkan pendidikannya di Belanda, di samping memang tidak ada biaya.

Akhirnya pergilah Sukarno ke Bandung dalam usia 20 tahun untuk melanjutkan sekolahnya. Berbeda dari lima tahun lalu waktu ia berpisah dengan orang tuanya untuk sekolah di Surabaya, Sukarno waktu itu sudah mempunyai rasa percaya diri yang besar. Ia tidak lagi merasa kesepian karena harus berpisah dari keluarganya. Sebelum berangkat ke Bandung, Sukarno telah menikah dengan Siti Utari, putri HOS Tjokroaminoto. Pernikahan itu lebih dikenal sebagai 'kawin gantung'. Saat itu Utari usianya masih 15 tahun. Mereka tidak saling mencintai, Pernikahan itu hanya untuk melambangkan hubungan kekeluargaan saja. Barangkali karena itu pula pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Sukarno menganggap Utari sebagai adiknya sendiri.

Di Bandung Sukarno tinggal di rumah Haji Sanusi Haji Sanusi ini adalah kawan HOS Tjokroaminoto. Ia mondok di sana juga atas anjuran Tjokroaminoto. Haji Sanusi sudah mempunyai istri bernama Inggit Garnasih. Saat itu usia Inggit 30 tahun.

Baru beberapa bulan di Bandung, datanglah kabar yang mengejutkan diri Sukarno. Tjokroaminoto ditahan. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1912. Sebagai keluarga apalagi hubungan mereka sangat dekat Sukarno tidak tinggal diam mendengar berita ini. Ia langsung kembali ke Surabaya. Penahanan Tjokroaminoto itu rupanya disebabkan oleh kegiatan pemogokan para buruh yang menjadi anggota organisasinya, Sarekat Islam.

Sukarno memiliki hati yang berkelas kasih dan tanggung jawab. Untuk menopang hidup keluarga Tjokroaminoto, ia rela bekerja sebagai klerk pada sebuah stasiun kereta api. Tujuh bulan ia melakukan pekerjaan itu dan baru menghentikannya setelah Tjokroaminoto dibebaskan. Tiga bulan setelah itu barulah Sukarno kembali ke Bandung. Saat itu juga tepat permulaan tahun ajaran baru. Ia kembali mengikuti pelajaran di THS. Sukarno merasa pengalaman hidupnya semakin bertambah.

Bulan demi bulan berjalan. Lebih kurang satu tahun Sukarno mondok di rumah Haji Sanusi. Hubungan Sukarno dan Inggit, istri Haji Sanusi juga semakin dekat. Keduanya kemudian saling jatuh cinta. Tapi keduanya tidak mau menutupi-nutupi. Inggit mengakui hal ini pada suaminya. Suaminya dapat mengerti dan menyarankan agar mereka bercerai. Beberapa waktu kemudian barulah Inggit dan Sukarno menikah. Usia Sukarno ketika itu lebih muda 10 tahun dari Inggit. Inggit banyak mendorong Sukarno untuk tampil berani bicara di depan orang sekalipun orang-orang tersebut dalam jumlah yang kecil. Rupanya Sukarno dapat lancar berbicara bila tidak didepan masyarakat banyak. Inggit banyak mendampingi Sukarno dalam berbagai acara, baik itu acara pertemuan atau rapat-rapat dengan para mahasiswa atau para tokoh di Bandung.

Singa Podium

Kepandaian Sukarno berpidato hari demi hari semakin meningkat. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai "Singa Podium." Ia berpidato di depan banyak orang dalam berbagai acara kongres. Kegiatannya ini memperluas hubungannya dengan tokoh-tokoh terkenal di Bandung. Namanya pun lebih dikenal sebagai Bung Karno. Suatu hari pada waktu kongres PKI di Bandung, dengan berani dari atas mimbar ia membela Tjokroaminoto dari serangan seorang tokoh yang namanya Haji Misbach.

Tokoh-tokoh terkemuka yang berkenalan dengan Bung Karno antara lain pemimpin Indo-Eropa, Ernest F.E. Douwes Dekker (dikenal kemudian dengan nama Setiabudi) dan para sahabat lainnya. Ia juga mempererat jalinan persahabatan dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantoro (Soewardi Soerjaningrat). Ernest F.E. Douwes Dekker, seorang Asisten Residen Belanda yang di bawah nama samaran Multatuli mengecam keras sistem pemimpin nasionalis. Ia mendirikan Boedi Utomo. Ia seorang dokter yang bekerja pada pemeritah. Sedangkan Ki Hadjar kegiatannya bergerak di pendidikan, yakni pedidikan Taman Siswa.

Kehidupan dan pimikiran para tokoh tersebut sangat berpengaruh terhadap Bung Karno. Tokoh lain yang juga memberi pengaruh pada diri Bung Karno adalah Tan Malaka, meskipun pengaruhnya tidak langsung. Tan Malaka ialah seorang putra kepala negeri di Minangkabau.

Asal Kata Marhaen

Setelah belajar beberapa tahun dan tetap aktif berorganisasi akhirnya sekolah Bung Karno selesai juga. Ia mendapat gelar 'insinyur', tepatnya ia sudah menjadi insinyur sipil. Keahliannya dalam pembuatan jalan raya dan proyek-proyek irigasi. Ia lulus tanggal 26 Mei 1926. Setelah lulus sekolah, perhatiannya semakin tercurah untuk perjuangan bangsanya melawan penjajah. Ia telah menganggap dirinya memang dilahirkan untuk berjuang.

Pada suatu hari Bung Karno berjalan-jalan naik sepeda ke daerah selatan kota Bandung tanpa tujuan yang pasti. Daerah di situ adalah daerah pertanian. Di sekitarnya Bung Karno naik sepeda, dan ia menyaksikan para petani sedang sibuk mengerjakan ladangnya. Entah mengapa perhatian Bung Karno tertarik pada salah seorang petani muda yang sedang mengerjakan tanahnya seorang diri. Ia mendekati petani itu dan terjadilah pembicaraan.

"Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini?" tanya Bung Karno.

"Saya, juragan," jawab petani itu.

"Dan bajak itu, siapa yang punya?"

"Saya gan."

"Padi yang ditanam, untuk siapakah itu?"

"Untuk saya, gan."

"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"

"Sekadar cukup saja untuk mempertahankan hidup kami."

"Pernahkah kau menjual tenagamu?"

"Tidak. Saya harus bekerja keras, tapi semua jerihpayah saya hanya untuk diri sendiri."

"Tapi, kau hidup dalam kemiskinan."

"Itu benar, saya hidup miskin."

Mendengar jawaban itu Bung Karno langsung berpikir, laki-laki ini  jelas dan pasti orang miskin. Ia sangat menderita. Ia tak punya penghasilan  yang cukup untuk hidup, karena ia tidak menjual tenaga kerjanya kepada orang lain. Sawahnya milik sendiri, bajaknya milik sendiri. Semua miliknya sendiri. Panen sawahnya digunakan untuk kebutuhan hidupnya sendiri. Akan tetapi ia tetap miskin dan tidak mampu. Ia melarat dan sengsara. Bagaimanapun ia adalah petani kecil yang sangat miskin, hanya sekadar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kemudian Bung Karno bertanya kembali, "Siapa nama kamu?"

"Marhaen," jawab lelaki itu.

Akhirnya Bung Karno kemudian menggunakan nama itu sebagai gambaran 'kemiskinan rakyat Indonesia'. Kalau kita sekarang sering mendengar kata marhaen, dari kejadian inilah kata itu berasal.


3. DIPENJARA DEMI KEMERDEKAAN


Masuk Penjara

Kelompok organisasi yang pertama didirikan Bung Karno adalah Algemeene Studie Club (Kelompok Studi Umum). Kelompok ini turut didirikan Bung Kurno pada awal tahun 1926 ketika itu ia masih menjadi mahasiswa. Dalam kelompok itu Sukarno dipilih sebagai sekretaris, tetapi ia juga adalah salah satu perggerak utamanya.

Kelompok Studi Umum ini bertujuan sebagai upaya mencapai kemerdekaan. Mereka menolak pandangan kalau kemerdekaan itu dapat diperoleh secara berangsur-angsur melalui kerjasama dengan Belanda. Saat itu juga Bung Karno melihat banyak sekali kelompok gerakan kemerdekaan terpecah-pecah. Bentrokan antara PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Serekat Islam adalam salah satu contoh dari sifat perpecahan itu.

Bung Karno menyesali perpecahan-perpecahan itu. Ia mulai mencari jalan keluar yang tepat dan jitu. Bung Karno mulai merintis pembentukan suatu organisasi untuk mengembangkan kekuatan yang mampu menentang kekuatan penjajah.

Algemeene Studie Club ini menerbitkan sebuah majalah bernama Indonesia Muda. Dalam majalah itu Bung Karno banyak menjelaskan tentang keharusan merdeka bagi bangsanya. Ia mengatakan ini setelah melihat penderitaan bangsanya terus berlanjut bahkan ketika ia sudah menjadi mahasiswa. Menurut Bung Karno, untuk merdeka maka kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat harus bersatu. Apa yang dikatakan Bung Karno saat itu mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat.

Untuk mewujudkan harapannya agar bangsanya merdeka, maka Bung Karno bersama teman-temannya Iskaq Tjokrohadisurjo, Dr. Tjipto Mngukusumo, Budiarto, dan Suharjo mengadakan rapat. Dengan rapat ini mereka mempersiapkan pembentukan organisasi baru. Tiga bulan setelah rapat pertama itu, akhirnya terbentuklah organisasi baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

PNI ini terbentuk tanggal 4 Juli 1927. Bung Karno terpilih sebagai ketuanya. Bagi Bung Karno pilihan tersebut merupaka pengakuan atas kemampuan dirinya. Kemimpinannya dirasanya diuji. Di kalangan teman-temannya ia memang dikenal berkepala dingin, tidak cepat kehilangan akal, memiliki kemampuan berpidato yang luar biasa. Kemampuan Bung Karno itu dianggap sebagai senjata untuk menarik dan membakar semangat para pendengarnya.

Setelah PNI terbentuk Bung Karno semakin sibuk dengan kegiatan organisasi. Keahliannya sebagai insinyur sipil seolah terlupakan. Bersama Iskaq Tjokrohadisurjo, ia mengadakan rapat umum di Bandung. Disusul berikutnya rapat-rapat umum di berbagai tempat dan beberapa kota. Termasuk di Batavia (Jakarta sekarang). Hal ini menunjukkan kedudukan Sukarno sebagai Ketua PNI yang semakin meyakinkan. Semua ini karena semangat dan gaya pidatonya, serta keberaniannya yang secara terbuka menentang kekuasaan Belanda.

Kegiatan Bung Karno semakin luas. Bulan Desember tahun 1927 Bung Karno membentuk pula persatuan organisasi-oraganisasi dari berbagai aliran yang ada. Di Bandung telah tercapai kesepakatan antara PNI, Sarekat Islam, Boedi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok studi Dr. Sutomo di Surabaya, untuk mendirikan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Bung Karno telah tampil meyakinkan sebagai pimpinan. Ia terus maju dengan mengadakan kongres sampai di Surabaya. Inilah kongres pertama PNI pada akhir Mei 1928. Di sini Bung Karno berpidato di depan seribu peserta. Ia menjelaskan tentang tujuan PNI di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Saat itu pula Perserikatan Nasional Indonesia. Singkatannya tetap sama, PNI.

Kesibukan Bung Karno tidak berhenti sampai kongres tersebut. Ia terus pergi dari satu kota ke kota lainnya seperti tidak mengenal lelah. Di setiap kota yang disinggahinya  ia pasti melakukan pidato.

Bulan Juli 1928, Bung Karno berbicara di Pekalongan. Akhir Agustus ia berada di Gresik dan tidak lama kemudian di Surabaya menghadiri kongres pertama PPPKI.

Di samping kesibukan-kesibukannya itu, Bung Karno masih sempat menulis di berbagai majalah, seperti Suluh Indonesia Muda, dan seruan-seruannya lewat banyak lembaran Persatuan Indonesia dan surat kabar lainnya. Kongres lain yang dihadirinya adalah ketika di Batavia diadakan kongres pemuda yang dihadiri wakil-wakil dari berbagai organisasi penting, seperti Jong Jawa, Jong Bataksbond, Jong Sumatra, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, dan lain-lain. Di kongres ini Bung Karno menekankan pentingnya Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Kongres itu juga melahirkan Sumpah Pemuda, yang mempertahankan persatuan nasional di atas dasar "Satu Tanah Air, Satu Bangsa dan Satu Bahasa."

Pada kongres PPPKI yang kedua di Solo Bung Karno juga hadir sebagai pembicara. Dari Solo Bung Karno melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta untuk menghadiri kongres lainnya yang diikutinya sampai larut malam. Tapi apa yang terjadi setelah serangkaian perjalanan panjang Bung Karno menghadiri kongres demi kongres di banyak kota? Pengalaman pertama bagi Bung Karno, ia ditahan selesai berpidato. Dengan teman-temannya mereka ditahan di penjara Wirogunan. Pada subuh pagi lusanya, Bung Karno dan teman-temannya dimasukkan ke dalam kereta api menuju Bandung dengan pengamanan yang sangat ketat.

Di Bandung mereka dijebloskan ke Penjara Banceuy. Baru delapan bulan kemudian, tepatnya tanggal, 18 Agustus 1930, Bung Karno dimajukan ke depan pengadilan. Dalam pengadilan itu Bung Karno membacakan pembelaannya sendiri  yang memakan waktu berjam-jam. Di kemudian hari, pembelaan Bung Karno itu dibukukan dan terkenal dengan judul "Indonesia Menggugat". Dalam pembelaan di depan pengadilan Belanda itu, Bung Karno menguraikan panjang-lebar tentang cara kerja dan kegiatan-kegiatannya di PNI.

Pembelaan Bung Karno ternyata tidak ada gunanya. Pada tanggal, 22 Desember 1930,pimpinan Hakim Ketua Mr. R. Siegenbeek van Heukelon menjatuhkan hukuman penjara selama empat tahun. Bung Karno akhirnya dipindahkan dari penjara Banceuy ke penjara Sukamiskin di dekat Bandung. Di penjara Bung Karno merasa kesepian. Ia terbiasa berada di antara banyak orang. Bung Karno dipekerjakan pada bagian pembuatan buku catatan di percetakan penjara. Dan beliau hanya diberi waktu enam menit untuk mandi, membersihkan badannya yang berlumuran minyak. Tapi saat di penjara itu pula ia memperdalam ajaran agamanya, Islam.

Diasingkan

Bung Karno tidak ditinggal sendirian. Para penasehat hukuman Bung Karno mengajukan upaya banding untuk pembebasan Bung Karno. Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Mahkamah Agung Hindia Belanda di Jakarta. Akhirnya Bung Karno mendapat keputusan yang melegakan dan adil baginya, hukuman Bung Karno dikurangi.

Penahanan dirinya bukan berarti mematikan semangatnya untuk terus berjuang bagi bangsanya. Setelah dibebaskan dari penjara Sukamiskin Bung Karno kembali pada semua kegiatan-kegiatannya. Ia berpidato ke mana-mana tentnag perjuangannya. Sementara itu, ia juga tetap kembali menulis. Kali  itu karangannya berjudul "Mencari Indonesia Merdeka". Sayang, tulisannya ini dibaca pula oleh pemerintah kolonial Belanda. Tulisannya itu dianggap itu telah memanaskan keadaan, dan pemerintah segera mengambil tindakan tegas. Bukunya dilarang beredar dan semua hasil cetakan disita. Dan, pada tanggal 1 Agustus 1933, Bung Karno ditangkap untuk yang kedua kalinya.

Tidak ada pilihan lain bagi Bung Karno. Pada permulaan tahun 1934, Bung Karno diberangkatkan dengan kereta api  menuju Surabaya. Ia berangkat bersama Inggit, ibu mertuanya dan keponakan istrinya Ratna Djami. Dari Surabaya mereka dikirim dengan kapal KPM Van Riebeek, ke Pulau Flores. Bung Karno ditempatkan di kota terpencil, Ende namanya.

Dalam pengasingan Bung Karno tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia merasa seperti dalam penjara Sukamiskin saja, meskipun ruang geraknya kini lebih leluasa. Hati Bung Karno benar-benar sedih. Dan ia semakin sedih ketika Ibu mertuanya yang sangat akrab dengannya meninggal dunia.

Sekalian dalam keadaan bersedih, tetapi Bung Karno tidak berdiam diri. Ia menyibukkan diri dengan menulis surat. Ia mengadakan surat menyurat dengan salah seorang ulama di Bandung. TA Hassan namanya. Dalam surat-suratnya ia banyak berdiskusi soal agama Islam. Kata Bung Karno dalam suratnya, tidak ada seorang pun di Ende yang bisa diajaknya diskusi soal agamanya itu. Makanya ia menyurati Hassan.

Di tempat pengasingannya ini pula Bung Karno jatuh sakit. Ia diserang penyakit malaria. Karena itu, Bung Karno terpaksa dipindahkan ke tempat pengasingan baru yang keadaannya lebih sehat. Diputuskan Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, Sumatera Selatan. Tapi sebelum sampai ke sana, Bung Karno harus melalui perjalanan panjang. Dari Ende Bung Karno dibawa ke Flores, dari sana langsung dibawa ke Surabaya. Dari Surabaya menempuh perjalanan lagi ke Merak. Dari Merak barulah ia diberangkatkan dengan kapal laut menuju Bengkulu. Tempat pengasingannya yang baru ini ternyata tidak ada bedanya dengan di Ende. Daerahnya cukup terpencil.

Dibuang ke tempat terpencil, diasingkan dari teman-temannya tidak membuat semangat berjuang dalam diri Bung Karno menjadi surut. Di tempat pengasingan yang baru ini, Bung Karno masih rajin menulis, di antaranya di majalah Panji Islam yang terbit di Medan, begitu pula di surat kabar Pemandangan di Jakarta.

Tidak beberapa lama di tempat pengasingan yang baru itu Bung Karno berkenalan dengan Hassan Din. Dia adalah ketua Muhammadiyah di tempat itu dan mempunyai sebuah sekolah dasar. Atas ajakannya, Bung Karno akhirnya mengajar di sekolah tersebut. Bung Karno bersedia mengajar untuk mengisi waktunya dengan sebuah kegiatan yang bermanfaat.

Hari demi hari berlalu. Bung Karno mulai tidak asing dengan tempat barunya. Di sana ia mempunyai kenalan baru, seorang gadis bernama Fatmawati. Gadis ini anak Hassan Din. Sejak ia mengenal Fatmawati sudah muncul rasa suka dalam diri Bung Karno. Karena sering bertemu hubungan antara Fatmawati dan Bung Karno semakin dekat. Mereka saling jatuh cinta dan akhirnya sepakat menikah. Sebelumnya Bung Karno bercerai dengan Inggit. Mereka terpaksa bercerai karena tidak dikaruniai anak. Usia Fatmawati dua puluh tahun lebih muda dari Bung Karno ketika mereka menikah.


4. PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA


Jepang Datang

Bung Karno masih berada di Bengkulu ketika terjadi Perang Dunia ke dua. Saat itu juga, Desember 1941 terjadi perang di laut Jawa antara tentara Jepang dan Hindia Belanda. Jepang hanya memerlukan waktu dua bulan menaklukkannya. Pada tanggal, 7 Maret, pemerintah militer Jepang resmi berdiri di Indonesia.

Dengan kekalahkan Belanda, Bung Karno akhirnya dapat pergi dari Bengkulu. Pada tanggal, 9 Juli 1942, Bung Karno tiba di Pulau Jawa. Setelah sebelumnya berlayar empat hari menyeberangi laut dengan perahu motor kecil dari Palembang. Bung Karno mendarat di motor kecil dari Palembang. Bung Karno mendarat di Pasar Ikan dan langsung menghubungi Bung Hatta dan beberapa teman lainnya. Bung Hatta membawanya menginap di rumahnya. Di rumah Bung Hatta, Sukarno berjumpa dengan teman-teman seperjuangannya, begitu mereka yang selamat dari tindakan kekerasaan Belanda pada tahun 1930-an.

Kehadiran pasukan Jepang memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia. Karena Jepang menjanjikan "Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya." Untuk menambah keyakinannya, sengaja Jepang mengajak pemimpin-pemimpin nasional, yakni Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, K.H.M. Mansur (Ketua Muhammadiyah) sebagai wakil dari Islam. Kemudian mereka terkenal dengan sebutan "Empat Serangkai". Tujuan Jepang tidak lain untuk menambah kepercayaan masyarakat Indonesia.

Setelah kerjasama antara Jepang dan "Empat Serangkai" berhasil dijalankan, Jepang kemudian mendirikan gerakan "Tiga A", Semboyan "Tiga A" itu adalah "Jepang pemimpin Asia, Jepang pelindung Asia, Jepang cahaya Asia." Namun Bung Karno dan Bung Hatta mencurigai gerakan ini sebagai gerakan untuk kepentingan Jepang dan mereka pun mulai menjauhinya.

Sekalipun mereka mencurigai itikad pemerintah Jepang, tetapi mereka masih mau diajak bekerjasama. Bulan Maret 1943 dibentuklah sebuah organisasi yang diberi nama "Putera" (Pusat Tenaga Rakyat). Bung Karno menjadi Kedua. Sedangkan Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan K.H.M. Mansur serta sejumlah orang Jepang menjadi anggota dari Dewan Pertimbangannya.

Dengan pembentukan organisasi ini Bung Karno dan teman-temannya berharap adanya keseimbangan antara kekuatan rakyat untuk kepentingan bangsa dan membantu perjuangan Jepang. Bung Karno mengucapkan hal ini dalam salah satu pidatonya. Tapi yang terjadi kemudian adalah pembohongan pemerintah Jepang. Mereka mengelabui Bung Karno dan teman-temannya. Jepang tidak memberikan kepada pada orang yang ada di "Putera" kekuasaan yang sebenarnya.

Jepang memanfaatkan "Putera" hanya untuk kepentingan perang Jepang. Maka terbentuklah Pangerahan tenaga romusha (kerja paksa). Tenaga romusha ini bukan saja dipekerjakan di tanah air, melainkan juga dipekerjakan di negeri-negeri Asia Tenggara. Romusha telah dipaksa bekerja di perkebunan dan membuat jalan-jalan atau melakukan tugas-tugas lain bagi kelancaran jalannya perang bagi Jepang. Menurut perhitungan, lebih 250.000 romusha Indonesia yang telah dikirim ke luar negeri, ternyata yang kembali hanya 70.000 orang saja. Ini adalah bentuk kekejaman tentara Jepang yang paling dikutuk.

Melihat kenyataan yang telah membuat sengsara bangsanya, maka Bung Karno segera mengambil langkah baru, mengembalikan "Putera" kepada cita-cita semula untuk kemerdekaan bagi bangsanya.

Para pimpinan nasional di "Putera" kemudian memberikan masukan untuk membentuk suatu angkatan militer Indonesia. Keinginan itu ternyata disetujui pihak Jepang. Maka pada bulan September 1943, antara pihak Jepang dan pimpinan nasional di Putera merumuskan  hal itu. Pada bulan Oktober 1943 terbentuklah Peta (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Tentara Sukarela Pembela Tanah Air ini terdiri dari orang-orang Indonesia dan para perwira Indonesia yang nantinya akan dilatih oleh Jepang. Untuk persenjataan berada di bawah pengawasan ketat Jepang.

Satu bulan setelah terbentuknya Peta Bung Karno sebagai Presiden Dewan Pertimbangan Pusat bersama para anggotanya yakni Bung Hatta dan Ki Bagoes Hadikusumo, melakukan kunjungan kehormatan ke Tokyo. Kunjungan ini sebagai ungkapan terima kasih rakyat Indonesia atas kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diberikan kepada mereka. Kunjungan ini diterima oleh diberikan kepada mereka. Kunjungan ini diterima oleh Kaisar dan mereka dianugerahi bintang kehormatan. Kunjungan ke Jepang bagi Bung Karno merupakan kunjungan yang pertama kalinya dan ini sangat berarti baginya.

Selama tahun ini, 1943, tentara Sekutu terus-menerus menggempur Jepang dan membuat kedudukan Jepang mulai terancam di tanah jajahannya termasuk di Indonesia. Maka pada tanggal, 7 September 1944, Perdana Menteri Koiso, mengumumkan di parlemen Jepang bahwa akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dalam waktu yang singkat. Dan janji ini di umumkan di surat kabar Indonesia Raya. Mendengar janji seperti itu Bung Karno langsung mengadakan pertemuan dengan para wartawan. Bung Karno mengatakan di depan mereka, kemerdekaan abadi hanya bisa didapat dengan pengorbanan.

Kemerdekaan Indonesia

Segala yang menyangkut kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang sikan lama dijajah bangsa asing telah diatur oleh Tuhan. Akibat adanya Perang Dunia kedua, sekutu menjatuhkan bom atom yang pertama di kota Hiroshima, Jepang dan menghancurkan lebih separuh kota itu. Peristiwa ini tanggal 5 Agustus 1945. Tidak sampai di situ saja akibat dari perang tersebut, sekutu menjatuhkan kembali bom atom yang kedua pada tanggal 9 Agustus ke atas kota Nagasaki, Jepang. Pemboman di kedua kota besar itu mengakhiri keberanian Jepang. Keesokan harinya Jepang menyatakan mengaku kalah. Pada tanggal, 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat.

Segera setelah mengetahui kekalahan Jepang, pada tanggal, 17 Agustus 1945, pukul 10 pagi, di halaman dengan rumah Sukarno teks proklamasi dibacakan Sukarno. Ia diapit Bung Hatta dan Letnan Latief dari Peta. Bendera merah-putih yang khusus dijahit Fatmawati dinaikan di tiang dan berkibar, seiring berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Bunyi teks proklamasi itu adalah:

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Naskah ini ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Indonesia telah merdeka. Akhirnya Sukarno terpilih sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Cita-cita Bung Karno dan seluruh bangsa Indonesia untuk kemerdekaan tercapai sudah. Dengan darah dan air mata akhirnya kita memiliki negara yang indah ini. Kita sudah bebas dari penjajahan. Penjajahan di muka bumi seharusnya tidak terjadi lagi.


SUMBER-SUMBER BACAAN

Adams, Cindy, Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1966.
Legge, J. D., Sukarno: Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Ramadhan, K.H., Kuantar Ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, Jakarta: Sinar Harapan, 1981.
Soedarto, M.W., Seribu Hari Dengan Bung Karno, Jakarta: Yayasan MARINDA, 1990.
Soewarto, W., Kejayaan dan Saat-saat Akhir Bung Karno, Jakarta: Gunung Jati, 1978.
Sukarto, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 2, Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1963 - 1965 - cetakan ke - 2.
Sukarno, Lahirnya Pancasila, Jakarta: Kementerian Penerangan, berbagai penerbit.
Sukarno, Mencapai Indonesia Merdeka, 1933.


Karya: Yant Kaiy dan Ida Cynthia

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK