1.SEMANGAT BELAJAR SEORANG ANAK DESA
Murid yang Pandai
Tidak dapat diduga lebih dulu kalau dari kota Bukit tinggi, Sumatera Barat akan lahir seorang anak laki-laki yang kemudian akan dikenal sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Anak laki-laki ini adalah Mohammad Hatta. Ia lahir di Bukittinggi tanggal 12 Agustus 1902. Ayahnya bernama Haji Muhammad Djamil yang meninggal di usia muda, 30 tahun. Kala itu usia Hatta baru delapan bulan. Hatta kemudian dibesarkan oleh ibunya bernama Siti Saleha. Ibunya pula yang meneruskan usaha ayahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari.
Di daerah Bung Hatta umumnya orang-orang berdagang sebagai mata pencariaannya. Dan masyarakat di situ juga sangat rajin mengikuti pengajian-pengajian. Tak salah kalau di tempat itu banyak surau berdiri, tempat mendalami ilmu agama. Bahkan kakek Bung Hatta yang bernama Syaikh Abdurrahman mempunyai banyak santri yang datang dari segala penjuru tanah air, bahkan santrinya ada yang dari Semenanjung Malaya. Kakek Bung Hatta ini mendapat sebutan Syaikh nan Tuo.
Setelah ayahnya meninggal, ibu Bung Hatta menikah lagi dengan seorang pedagang yang berasal dari Palembang. Haji Ning namanya. Sejak kecil Hatta terlihat sangat akrab dengan ayahnya tirinya itu. Ia belum tahu kalau Haji Ning bukan ayah kandungnya. Ia baru mengetahui setelah usianya 10 tahun. Sekalipun ia baru tahu setelah cukup besar tetapi hubungan mereka tetap akrab.
Suatu hari paman dari ayah Bung Hatta, Syaikh Arsyad seorang ulama di Batu Hampar berpesan kepadanya agar ia tidak boleh menjadi anak penakut. Ia tidak boleh merasa terpencil sekalipun berada di tempat yang jauh dan sunyi. Sebab Allah akan selalu menyertainya. Pesan ini seperti tanda akan hari-hari yang akan dijalaninya kelak. Dan memang pesan ini merasuk dalam hatinya. Dalam hidupnya Bung Hatta taat dalam menjalankan ibadah. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya bahkan ketika suatu hari ia harus menempuh pendidikannya di luar negeri.
Masuk Sekolah
Waktu pertama masuk sekolah dasar, Hatta sempat masuk Sekolah Rakyat Bukittinggi sebelum kemudian pindah ke sekolah ELS (Europese Lagere School). Sekolah dasar ini untuk anak-anak orang kulit putih. Hatta bersekolah di Bukittinggi sampai kelas 4. Naik ke kelas 5 sampai kelas 7 ia meneruskannya di Padang. Semasa ia sekolah di Bukittinggi ia telah belajar bahasa Inggris, Di ELS Padang ia belajar bahasa Perancis. Sekolah di ELS ini diselesaikan Hatta pada tahun 1917.
Hatta memang anak pandai. Oleh sebab itu selesai dari ELS di Padang ia berniat melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School) di Jakarta. HBS adalah sekolah menengah Belanda yang harus ditempuh selama 5 tahun. Sayangnya ibunya melarangnya. Hatta dianggap masih anak-anak. Usianya ketika itu masih sekitar 14 tahun. Ibunya katakan, anak seusia Hatta belum bisa berpisah dengan orang tua.
Sebagai anak yang baik Hatta menuruti keinginan orang tuanya. Pada tahun 1917 ia pun masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) -setingkat sekolah menengah pertama0. Pada tahun 1919 Hatta menyelesaikan pendidikannya di MULO dengan baik.Ketika masuk di MULO Hatta sudah tertarik dengan kegiatan berorganisasi. Ia memilih masuk JBS (Jong Sumatranen Bon- Perkumpulan Pemuda Sumatera). Pada awalnya ia mendapat kepercayaan jadi bendahara. Kemudian tak seberapa lama menjadi sekretaris merangkap bendahara cabang Padang.
Dalam hal pendidikan Hatta betul-betul perhatian. Sewaktu di Padang dan Bukittinggi Hatta selain bersekolah, sorenya ia mengaji. Bahkan di Bukittinggi Hatta telah mempelajari bahasa Arab (nahwu dan sharaf), sebuah pelajaran dasar untuk mempermudah mempelajari figh dan tafsir.
Sekalipun masih disebut remaja, selam di Padang Hatta sudah tahu memperluas pergaulannya. Ia bergaul dengan para tokoh Serikat Usaha. Di kantor serikat Usaha Hatta dapat membaca surat kabar-surat kabar, baik itu terbitan Jakarta ataupun Padang sendiri. Di surat kabar Utusan Hindia Hatta mengenal tulisan HOS Tjokroaminoto, di Neratja ia mengenal nama Haji Agus Salim.
Sekolah ke Jakarta
Setelah menamatkan pendidikannya di MULO, Hatta akhirnya diizinkan melanjutkan sekolahnya di PHS (Prins Hendrik Handels School - Sekolah Dagang Prins Hendrik) di Jakarta. Menurut Bung Hatta, sekolah ini menumbuhkan sifat dan cara yang cepat, tepat, dan teratur dalam hal belajar. Selama di PHS Hatta belajar dengan sungguh-sungguh, sebab di sekolahnya guru memberi pelajaran yang bukan sekedar hafalan, tetapi mengembangkan daya pikir.
Seperti waktu di Padang, Hatta yang suka bergaul dan berorganisasi kemudian berkenalan dengan para tokoh pergerakan terkemuka dari Sumatera, seperti Lam-djumin Datuk Tumenggung, seorang wedana yang bekerja di Kantoor voor Indlandsche Zaken - Ksntor Urusan Bumiputera, juga berkenalan dengan Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim serta Sultan Muhammad Zain, seorang ketua Persatuan Guru Hindia Belanda. Orang-orang terkenal ini dikenalnya di Jakarta.
Hobi lain dari Hatta adalah membaca. Ia banyak membaca buku, koran, dan majalah. Dari apa yang dibacanya ditambah lagi dengan melihat nasib sesamanya yang sangat menderita akibat penjajahan, maka di hatinya mulai timbul cita-cita nasional, yakni sebuah kemerdekaan bagi bangsanya. Hal ini sering Hatta berbicara dengan Bahder Djohan, teman akrabnya semasih di Padang, Bukittinggi, dan Jakarta jika mereka berdua berjalan-jalan Sabtu petang.
Di Jakarta Bung Hatta tinggal di Kampung Lima Tanah Abang. Di situ Hatta bergaul dengan siapa saja. Termasuk dengan Loyok yang bekerja pada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), sebuah perusahaan pelayaran Belanda. Hatta dengan Loyok juga sering bertukar pendapat dan pengalaman tentang nasib bangsanya yang terjajah dan tertindas.
Dasar kepandaian Hatta tetap terlihat semasa ia sekolah di PHS. Ia menyelesaikan sekolahnya tepat waktu dan menempati urutan ketiga. Dan Hatta tidak mau berhenti belajar. Ia berkeinginan melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda. Atas bantuan dana dari Serikat Islam di Padang dan dapat beasiswa dari pihak Belanda, akhirnya Hatta bisa berangkat ke Belanda.
Di Negeri Belanda
Bung Hatta meninggalkan Indonesia untuk belajar di Belanda pada tahun 1921. Tetapi sebelum ia berangkat sempat timbul perbedaan pendapat dalam keluarganya. Hatta merupakan keturunan ulama dari ayahnya. Sedangkan dari pihak ibunya ia keturunan pengusaha. Kedua keluarga ini berbeda keinginan tentang masa depan Hatta. Pihak keluarga ayahnya menghendaki agar Bung Hatta melanjutkan pendidikannya ke Mekkah atau ke Mesir, dengan tujuannya mendalami Islam. Sedangkan pihak ibunya menginginkan agar Bung Hatta melanjutkan pelajarannya di sekolah umum. Namun akhirnya pihak ibunya yang menang. Pihak ibunya beralasan, Hatta tepat melanjutkan sekolahnya ke Belanda karena pendidikan terakhirnya di PHS (Prins Hendrik Handels School).
Akhirnya Bung Hatta menginjakkan kakinya di Belanda bulan September 1921. Di sanalah ia melihat dan merasakan perbedaan yang cukup jauh antara Negeri Belanda dengan Minangkabau dan Jakarta.
Di Belanda Bung Hatta meihat hak rakyat sangat diakui dan ditegakkan dengan benar. Keadilan sangat dijunjungi tinggi. Sungguh jauh berbeda dengan keadaan di Tanah Airnya. Di tanah air ia melihat pekerjaan tanam paksa, pajak yang tinggi, rodi, tidak adanya hak-hak rakyat. Kemerdekaan berbicara pun tidak ada sama sekali.
Perbedaan memang ia lihat di negara tempat belajarnya itu, tetapi Hatta tidak pernah merasakan rendah diri dalam bergaul dengan anak-anak kulit putih. Ia berpendapat, bahwa dirinya setaraf dengan anak-anak Belanda itu. Bahkan dirinya tidak perlu kalah dalam hal apa pun dengan mereka. Ia sama sekali tidak merasa sebagai seorang anak jajahan.
Kegiatannya berorganisasi di Indonesia, kembali diteruskannya di Belanda. Di sana Bung Hatta langsung ikut Perhimpunan Hindia (Indische Vereniging) yang dalam tahun 1925 berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereniging). Perhimpunan ini didirikan pada tahun 1908 dengan tujuan membela kepentingan Indonesia. Setelah tiga tokoh Partai Hindia Belanda (Indische Partij) bermukim di Belanda di antaranya Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker, dan Tjipto Mngunkusumo perhimpunan ini semakin mantap.
Ketika itu mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda cukup banyak juga, Namun yang bergabung dengan Perhimpunan Indonesia hanya sebagian kecil saja. Penasihat Belanda untuk para mahasiswa Indonesia mencatat, untuk tahun 1924 saja berjumlah 673 mahasiswa yang belajar di Belanda. Tapi pada tahun 1929 jumlah mahasiswa Indonesia menurun tajam menjadi 109. Sedangkan anggota Perhimpunan Indonesia saat itu berjumlah 20 orang saja. Penurunan jumlah mahasiswa ini disebabkan karena berdirinya beberapa sekolah tinggi di Indonesia, misalnya Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (1920), Sekolah Tinggi Hukum (1924) dan Sekolah Tinggi Kedokteran (1927), keduanya di Jakarta.
Sekalipun jumlah anggota Perhimpunan Indonesia semakin hari semakin sedikit, namun Hatta masih tetap teguh dengan bentuk perjuangannya tersebut. Semangatnya tidak putus.
2. SAMPAI DI PENJARA DI BELANDA
Ke Berbagai Negara
Kegiatan Bung Hatta untuk mendapatkan dukungan negara-negara asing bagi kemerdekaan Indonesia terus berlanjut. Ia menghadiri Kongres Demokrasi Internasional di Bierville, Perancis. Pertemuan ini dihadiri 31 utusan dari berbagai bangsa, sebagian besar dari Asia. Di pertemuan di Bung Hatta hadir sebagai wakil Persatuan Indonesia. Di pertemuan ini Bung Hatta berharap mendapatkan pengakuan sidang guna memakai kata "Indonesia", mengganti kata "Hindia Belanda", baik dalam pertemuan itu ataupun dalam pembicaraan-pembicaraan tentang kata "Indonesia".
Dari Perancis, Bung Hatta pergi lagi ke Brussel mengikuti Kongres Internasional yang berbicara tentang "menentang kolonialisme". Kehadirannya didampingi teman-temannya antara lain Nazir Pamontjak, Ahmad Subardjo, Gatot Tanumihardja, dan Abdul Manaf. Mereka tidak hanya mewakili Perhimpunan Indonesia saja, melainkan juga mewakili Konsentrasi Nasional di Indonesia.
Di kongres ini utusan Indonesia mendapatkan pengakuan dari para hadirin, bahwa Indonesia sangat menderita; bahwa kepentingan rakyat tidak diperhatikan pemerintah; bahwa tidak ada kebebasan dan kedaulatan di Indonesia. Akhirnya kongres itu menyatakan bersimpati atas berbagai kejadian di Tanah Air, dan menuntut pemerintah Belanda untuk memberikan kebebasan penuh terhadap rakyat Indonesia.
Ditahan
Apa yang dilakukan Hatta, berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan caranya sendiri, ternyata mendapat tantangan berat. Ketika ia dan teman-temannya sedang berada di Jenewa ia mendapat kabar kantor Perhimpunan Indonesia dan tempat tinggalnya di Belanda telah digeledah polisi. Beberapa surat penting telah disita. Sedangkan rumah-rumah rekan Bung Hatta juga ikut digeledah, khususnya mereka yang giat di Perhimpunan Indonesia. Berita tentang penggeledahan itu disiarkan lewat surat-surat kabar Belanda secara mencolok. Karena itu berita ini mendapat perhatian besar bagi masyarakat Belanda khususnya.
Beberapa surat kabar itu menuduh Bung Hatta melarikan diri, padahal tidak. Kepergian Bung Hatta ke Gland, Swiss, tak lain menghadiri Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan. Di situ Bung Hatta memberikan pidato. Ia mengutarakan harapannya agar terwujud kemerdekaan bagi bangsanya.
Setelah penggeledahan itu pemerintah Belanda menangkap Bung Hatta. Demikian pula beberapa rekannya, di antaranya Ali Santroamidjojo, Nazir Pamontjak, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat. Mereka dituduh telah menjadi anggota perkumpulan terlarang; terlihat dalam pemberontakan di Indonesia; dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda.
Bung Hatta dan ketiga rekannya akhirnya meringkuk dalam tahanan. Setelah lima setengah bulan mereka baru diadili. Tetapi tuduhan atas mereka dibatasi pada yang ketiga saja, yakni menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Masing-masing mereka dituntut tiga tahun penjara bagi Bung Hatta, dan dua tahun bagi Abdulmadjid Djojohadiningrat.
Di dalam tahanan Bung Hatta tidak berubah sama sekali seperti masih hidup bebas di luar. Ia mengisi waktunya sebaik mungkin. Ia tetap menulis. Ia mempersiapkan pembelaannya dari dalam tahanan. Kalau soal menggunakan waktu, Bung Hatta dikenal sangat teratur. Sampai-sampai penjaga tahanan kagum melihat keteraturan waktu yang Hatta lakukan. Membaca pun tetap dilakukan Hatta. Ia membawa bahan bacaan ke dalam kamar tahanannya. Bahan-bahan bacaan itu di antaranya majalah Indonesia Merdeka. Bung Hatta menyusun pembelaannya dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).
Sewaktu akan disidang atas permintaan hakim melalui pembela Mr. J.E.W. Duys, seorang anggota parlemen Belanda, Mr. Mobach, dan Nn. Mr. Weber, Bung Hatta tidak jadi membacakan keseluruhan pembelaannya di depan hakim. Duys yang justru tampil sebagai pembela. Pembelaannya betul-betul berdasarkan keadilan. Oleh karena itu, pengadilan akhirnya membebaskan Bung Hatta dan teman-temannya. Pengadilan sepertinya membenarkan perjuangan mereka, paling tidak sama sekali tidak keberatan.
Kembali Berjuang
Penahanan terhadap dirinya tidak menyurutkan langkah Bung Hatta untuk berpidato. Pada tahun 1930, kembali Bung Hatta diundang untuk berpidato di depan mahasiswa-mahasiswa Indologi di Utrecht. Bung Hatta menjelaskan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia erat kaitannya dengan bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Bung Hatta menolak anggapan yang mengatakan, bahwa penjajahan Belanda terhadap Indonesia merupakan perkembangan menurut kehendak Tuhan. Ia menandaskan, bahwa peraturan jajahan sangat merugikan rakyat.
Dari Belanda Bung Hatta juga menulis sebuah karangan berjudul De Vernietiging der PNI (Penghancuran PNI). Tulisannya ini menanggapi tentang hukuman yang dijatuhkan bagi empat pemimpin PNI, yakni Bung Karno dan tiga teman lainnya. Bung Hatta dan teman-temannya yang tergolong dalam Perhimpunan Indonesia (PI) pun melayangkan surat atas penahanan keempat tokoh PNI tersebut. Bung Hatta menilai, pengadilan terhadap keempat temannya itu hanyalah suatu sandiwara. Para saksi yang hadir sudah diatur untuk memberatkan ke empat temannya itu.
Ketika Bung Hatta berada di Belanda, ia pernah mengungkapkan kecintaannya terhadap Tanah Air yang ditinggalkannya. Ia menulis puisi yang menggambarkan keindahan negeri Indonesia sebagai suatu kekayaan Tuhan. Judul puisinya Beranda Indera. Kata Bung Hatta Tanah Air tidak hanya meliputi Sumatera ataupun Jakarta saja. Bung Hatta berkeinginan bangsa Indonesia bisa berkembang dengan baik dan terlepas dari cengkeraman penjajah.
Kembali ke Indonesia
Setelah belajar bertahun-tahun di Belanda dan aktif berjuang bagi bangsanya sampai ke berbagai negara, akhirnya Bung Hatta mampu menyelesaikan ujian doktoralnya pada tanggal, 5 Juli 1932. Ia singgah dulu di Singapura sebelum kembali ke tanah air. Di sana ia mengunjungi kenalannya, sekedar bersilaturahmi. Namun polisi rahasia membuntutinya kemana Bung Hatta pergi. Demikian juga sesampainya di Tanjung Priok, inspektur polisi memeriksa barang-barangnya, terutama buku-bukunya.
Bung Hatta beruntung mempunyai kerabat dekat yang boleh dibilang cukup berada. Ia tinggal bersama Dahlan Sutan Lembaq Tuah, kakak iparnya yang pensiunan pemilik sekolah. Sedangkan buku-bukunya di tempatkan di rumah pamannya yang punya toko Djohan Djohor di Pasar Senen, Jakarta.
Tidak tampak sedikit pun rasa takut pada diri Bung Hatta sekalipun kehadirannya dimata-matai polisi. Di Jakarta ia langsung bergabung dengan kawan-kawannya yang secita-cita di Pendidikan Nasional Indonesia (selanjutnya disebut PNI-Baru). Semua itu memudahkan baginya dalam menempatkan diri menjadi pemimpin PNI-Baru. Ia membagi waktunya sebaik mungkin. Empat hari di Jakarta dan tiga hari di Bandung, tempat kedudukan pimpinan pusat PNI-Baru.
Untuk semakin majunya PNI-Baru, Bung Hatta mendidik para anggotanya sebaik mungkin. Sebelum menjadi anggota mereka harus lulus ujian organisasi PNI-Baru. Untuk para pengajarnya juga diberi ketentuan, yaitu harus benar-benar memahami isi surat kabar Daulat Ra'jat, termasuk juga tulisan Bung Hatta: In-donesie Vrij (Indonesia Merdeka), tujuan Pergerakan Nasional di Indonesia, dan pidato pembelaan Sukarno pada pengadilan di Bandung yang berjudul: Indonesia Menggugat. Menurut Bung Hatta ketentuan seperti itu dibuat agar mereka yang mau menjadi anggota PNI-Baru tidak ikut-ikutan, tapi harus mempunyai semangat juang.
Sewaktu Bung Hatta ada di Bandung, ia bertemu dengan Bung Karno. Ini untuk pertama kalinya mereka bertemu muka. Sebelumnya di antara mereka hanya saling mengenal melalui tulisan. Keduanya sering menulis di berbagai surat kabar. Mereka berharap pertemuan ini dapat menyatukan PNI-Baru dan Partindo (Partai Indonesia). Tapi, kenyataannya pertemuan mereka tidak menghasilkan harapan itu. Bung Hatta dan Bung Karno memilih berjuang dengan cara masing-masing walaupun tujuan mereka sama, ingin lepas dari penjajahan bangsa asing.
Setelah beberapa waktu Bung Hatta berada di Jakarta dan Bandung, ia kembali pulang ke kampungnya untuk mengunjungi keluarganya. Di sana ia juga memperkenalkan organisasinya PNI-Baru kepada masyarakat luas. Selama di Padang Bung Hatta bertemu dengan Taher Marah Sutan. Orang yang telah banyak berjasa ketika ia masih di MULO Padang. Taher Marah Sutan juga yang membantunya mencarikan sebagian biaya untuk menuntut ilmu di Belanda.
Selama di Padang Bung Hatta memanfaatkan waktunya untuk berpidato di Islamic College, suatu sekolah menengah Islam di Padang. Tetapi beberapa waktu kemudian, tanpa sebab yang jelas, Bung Hatta terkena passenstelsel, suatu peraturan yang menyebabkan seseorang tidak dibenarkan tinggal atau mengunjungi daerah tertentu, dalam hal ini dari daerah itu. Ia diantarkan ke kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) oleh pejabat-pejabat setempat. Meskipun bagi Bung Hatta keadaan itu membingungkan dan menyedihkan, tapi ia menerimanya dengan lapang dada.
Ditangkap di Jakarta
Dipulangkan dari Padang, Bung Hatta menuju Jakarta. Di Jakarta usaha Bung Hatta untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan tidak berhenti. Bersama teman-temannya ia terus berjuang. Usahanya baru berhenti ketika suatu hari ia ditangkap. Bung Hatta dan seorang temannya dimasukkan ke penjara di Glodok. Temannya yang lain ada yang dimasukkan ke penjara Sukamiskin, Bandung; penjara Banceuy, juga di Bandung. Syahrir, temannya juga dimasukkan ke penjara Cipinang.
Bagi Bung Hatta dan teman-temannya penahanannya ini tidak terlalu mengejutkan. Mereka sudah menyadari resiko dari perjuangan mereka. Karena itulah dalam tahanan di Glodok, semangat Bung Hatta tetap menyala. Ia tidak menyerah. Ia kemudian menulis beberapa karangan sekalipun ia kesulitan mendapatkan kertas di penjara itu.
Setelah beberapa waktu ditempatkan di penjara Glodok, datang keputusan baru untuk memindahkan Bung Hatta ke Digul. Digul merupakan tanah buangan yang sangat ditakuti oleh orang pergerakan, sebutan bagi mereka yang berjuang untuk kemerdekaan. Tapi Bung Hatta tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terpaksa menerima keputusan itu. Sekalipun demikian tetap saja Bung Hatta bersemangat menulis. Dari sana ia menulis ke berbagai surat kabar, seperti Pemandangan (Jakarta), Adil (Solo), Panjil Islam, dan Pedoman Masyarakat (Medan).
Baru setelah setahun di sana Bung Hatta bersama Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira, di kepulauan Maluku. Kepindahan Bung Hatta itu tepat bulan Desember 1935. Tempat ini jauh lebih baik daripada Digul. Baik dari sudut kesehatan dan lingkungan pergaulan. Setelah tujuh tahun di sana,mereka kembali dipindahkan. Kali itu dipindahkan ke Sukabumi.
3. MEMPERSIAPKAN KEMERDEKAAN
Kerjasama dengan Jepang
Penaklukan dan pendudukan Jepang atas Hindia Belanda merupakan peristiwa yang membawa perubahan besar dan menyeluruh bagi pergerakan nasional. Pihak Belanda menyerah terhadap Jepang pada tanggal, 8 Maret 1942, dari Jenderal Ter Porrten (Belanda) kepada Jenderal Hitoshi Imamura (Jepang) di Kalijati, Jawa Barat.
Setelah pendudukan Jepang di Indonesia resmi berdiri, maka pihak Jepang mengajak kerjasama para tokoh pergerakan. Salah satunya dengan Bung Hatta. Ia bersedia kerjasama karena yakin Jepang akan kalah dengan Sekutu. Ia berpikir juga dengan bekerjasama bisa dimanfaatkan untuk menyusun kekuatan rakyat.
Mula-mula Bung Hatta menjadi penasihat pemerintah militer Jepang. Ia berkantor sendiri dengan staf yang dipilihnya sendiri. Para staf Bung Hatta itu umum-nya orang-orang pergerakan. Kantor Penasihat Umum tempat Bung Hatta bertugas ini berfungsi sebagai penghubung antara pihak Jepang dengan para pemimpin Indonesia. Lama kelamaan, kantor ini juga menjadi penampungan keluh-kesah rakyat atas perlakuan pihak Jepang. Dengan kenyataan inilah Bung Hatta menyampaikan sarannya kepada pemerintah.
Pada pertengahan tahun 1942, Bung Karno kembali ke Jawa dari pembuangannya. Ia segera bergabung dengan Bung Hatta. Jumlah penasihat kemudian menjadi empat orang, yang dikenal sebagai Empat Serangkai, terdiri dari Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer.
Empat Serangkai ini menjadi terkenal sehingga ketika pemerintah Jepang membentuk organisasi "Tiga A" (untuk kepentingan Jepang) dan dijauhi oleh Empat Serangkai ini kemudian membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Bahan ini didirikan atas desakan Bung Karno dan kawan-kawan yang mendambakan terciptanya suatu gerakan rakyat untuk mencapai tujuan nasional. Pelantikan Putera dilakukan oleh Gunseikan (kepada Pemerintahan militer), Mayor Jenderal Okasaki Seizaburo di depan rakyat di lapangan Ikada (kini lapangan Monas).
Harapan banyak orang terhadap Putera sudah begitu kuat. Bagi Bung Hatta sendiri, Putera telah banyak membantu mencapai tujuan perjuangan nasional. Hal ini membuat Jepang tidak puas. Djawa Hokokai (Himpunan Kesetian Rakyat) pun mereka dirikan atas keinginan balatentara Jepang di Jawa pada tanggal, 1 maret 1944. Badan ini sebagai pengganti Putera. Pergantian ini membuat sedih dan bingung masyarakat.
Susunan pengurus badan ini juga berbeda jauh dengan Putera. Kalau Putera pengurusnya lebih banyak orang-orang pergerakan, namun sebaliknya di Djawa Hokokai dikuasai pemerintah Jepang. Kepada Kantornya memang Bung Karno tetapi wakilnya seorang Jepang juga. Bung Hatta sendiri menjadi sebagai Dewan Djawa Hokokai yang diketuai oleh Hayashi Kyujiro.
Suatu hari Menteri Asia Timur Raya, Aoki, berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Bung Hatta. Ia mewakili Empat Serangkai. Kenapa Aoki, Bung Hatta menceritakan kekecewaan rakyat Indonesia terhadap sikap Jepang yang tidak menghiraukan Indonesia untuk mereka. Sementara Philipia dan Birma sudah dieberikan kemerdekaan, tetapi Indonesia tidak. Bung Hatta juga menuntut agar bendera Merah-Putih boleh berkibar, dan Indonesia menjadi satu pemerintahan. Mendengar apa yang dikatakan Bung Hatta, Menteri Aoki berjanji akan membicarakan hal tersebut dengan Perdana Menteri Tojo di Tokyo.
Janji Aoki ditepati walau belum sepenuhnya. Setengah tahun kemudian, setelah pertemuannya dengan Bung Hatta, parlemen Jepang memberi kesempatan kepada penduduk di Jawa untuk ambil bagian dalam pemerintahan selekas mungkin.
Persiapan Kemerdekaan
Keinginan untuk segera merdeka membuat tokoh-tokoh pergerakan membentuk Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Anggotanya terdiri dari 62 orang Indonesia, termasuk delapan orang Jepang, seorang di antaranya menjadi wakil ketua. Dalam beberapa kali rapat tak seorang Jepang pun yang angkat bicara. Juga tidak memberikan pengarahan. Orang-orang Indonesia bebas menyuarakan keinginannya.
Pekerjaan BPUPKI ini dilanjutkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI ini dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang pada permulaan Agustus 1945. Di sini Bung Hatta menjadi anggota Panitia, malah jadi orang kedua setelah Bung Karno. Setelah terbentuknya PPKI Bung Hatta dan Bung Karno dipanggil oleh Panglima Angkatan Perang Jepang di Asia Tenggara ke Saigon, Vietnam. Mereka berangkat dengan seorang teman lainnya. Kepada mereka dibicarakan kemungkinan mendirikan pemerintahan sendiri. Janji yang sama diberikan oleh Perdana Menteri Jepang sebulan setelah pertemuan itu.
Pada masa-masa akhir pendudukan Jepang, berbagai bentuk usaha merampungkan kemerdekaan terkuat lebar. Terutama semakin majunya tentara Sekutu menggempur dan mundurnya tentara Jepang dalam peperangan.
Menjadi Wakil Presiden
Kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan Jepang akan diberikan tanggal 18 Agustus. Tapi manusia berencana Tuhan yang menentukan. Setelah mendengar kekalahan Jepang dari tentara sekutu, pemuda-pemuda Indonesia segera mendesak Bung Karno dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin.
Tanggal, 17 Agustus 1945, sepuluh menit sebelum jam 10 pagi, Bung Hatta berangkat ke Pegangsaan Timur No.56. Bung Hatta tiba tepat pada waktunya. Upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan pun segera dimulai. Terlebih dahulu Bung Hatta berbicara singkat, sebelum Bung Karno membaca teks proklamasi.
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Naskah ini ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Keesokan harinya diadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan ini diadakan di tengah pembicaraan tentang Undang-undang Dasar. Bung Karno dan Bung Hatta akhirnya terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
4. MENCINTAI BUKU
Hatta dan Buku
Hatta dan Buku dapat diibaratkan seperti ikan dan air, tidak terpisahkan. Demikian senangnya Bung Hatta membaca sampai ia memiliki perpustakaan yang menyimpan buku-bukunya. Setiap hari ia membaca buku. Isteri Bung Hatta pernah memberikan keterangan kepada salah seorang tamunya, "Saya ini sebenarnya adalah isteri ketiga dari Hatta." Tamunya pun heran, isteri Bung Hatta segera memberikan penjelasan, "Isteri pertama buku, kedua ibadatnya, sedang yang ketiga adalah saya sendiri."
Isteri Bung Hatta mungkin bercanda, tapi kita dapat mengerti kalau memang bagi Bung Hatta yang sangat penting dalam hidupnya ialah buku, kemudian sembahyang, dan setelah itu barulah isterinya.
Bung Hatta bukan hanya seorang pembaca buku yang tekun, tetapi juga ia memelihara bukunya dengan hati-hati. Ketika ia dibuang ke Diikul (Irian Jaya) tahun 1933, berpeti-peti bukunya harus ikut serta ke tanah pembuangan itu. Dengan buku itulah Bung Hatta menghibur hatinya. Teman-temannya boleh meminjam bukunya. Tetapi tidak boleh sembarangan. Apabila mengembalikan buku, tidak lantas boleh pergi atau pinjam buku yang lain lagi, tetapi harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, seperti:
"Sudah saudara baca seluruhnya?"
"Sudah," jawab peminjam buku.
"Sudah dipahami benar-benar?"
"Sudah."
"Coba saudara tersangka maksud pasal sekian!"
"Coba terangkan lagi maksud pasal sekian!"
Demikian seterusnya, semua isi buku itu ditanyakan, Apabila tidak bisa menerangkan, disuruh baca kembali sampai bisa menerangkannya kepada Bung Hatta. Jika buku yang dipinjam kedapatan rusak, tak usah sampai sobek, misalnya kotor saja bekas dibolak-balik, akibatnya tidak boleh meminjam lagi, dihukum sebulan atau lebih. Letak buku-buku dalam lemarinya pun selalu tersusun rapi dan bersih. Cerita ini didapat dari seorang bekas Digulis yang pernah mendapat hukuman dari Bung Hatta.
Cerita lain tentang bagaimana buku menjadi bagian penting dalam hidup Bung Hatta disampaikan Aboe Bakar Lubis berikut ini:
Pada suatu hari ada pengumuman, bahwa Bung Hatta akan memberi kursus sosiologi, yaitu ilmu yang mempelajari sifat keadaan dan pertumbuhan masyarakat, bagi orang yang berminat. Saya segera mendaftarkan diri. Kursus dilakukan seminggu sekali, di Sekolah Perguruan Rakyat di Jalan Cikini.
Saya sangat tertarik dengan mata pelajarannya, sehingga saja rajin datang tiap minggu dan mempelajari diktat saya berikan, yang sudah diketik rapi dan dijilid.
Ternyata diktat (catatan) yang diberikan tidak memuaskan saya, karena terlalu singkat, terlalu padat, maka saya memberanikan diri bertanya:
"Apakah saya boleh meminjam beberapa buku yang disebut dalam diktat?"
"Buat apa?" Bung Hatta balik bertanya.
Saya pun mengatakan kalau saya ingin mengetahui lebih banyak daripada yang ada di dalam diktat.
"Kamu boleh pinjam satu buku dulu, dengan syarat bukunya tidak boleh kotor, tidak boleh dicoret-coret atau ditulisi, halamannya tidak boleh dilipat-lipat dan harus kembali pada waktu yang ditetapkan," kata Bung Hatta.
Saya meminta waktu satu bulan untuk membacanya, tetapi Bung Hatta hanya mau memberikan waktu dua minggu. Saya tawar sampai tiga minggu, dengan alasan saya masih harus kuliah dan bukunya ditulis dengan bahasa Jerman. Akhirnya disetujui.
Buku itu saya perlakukan dengan hati-hati sekali, tidak ada halaman yang saya lipat-lipat, dan bukunya saya berikan sampul kertas koran. Setelah tiba waktunya, buku saya kembalikan dan mau minta pinjam buku yang lain.
Sekali ini permintaan saya disambut dengan pertanyaan, "Yang saudara baca sebenarnya apa?"
Saya pun menerangkan apa yang saya pelajari. Bung Hatta tampak senang. Seterusnya saya boleh meminjam buku, tanpa diadakan pertanyaan lagi.
Ketika kami masih di Bukittinggi, saya yang ditugaskan mengurus buku-buku yang disimpan di rumah kami di kota itu. Di sini kita bisa melihat bagaimana sayang dan hematnya Bung Hatta kepada buku. Yang saya banggakan dalam pergaulan saya dengan Bung Hatta, ialah bahwa saya termasuk dalam sebagian kecil orang, yang dapat datang ke rumah beliau, langsung naik ke atas bibliotek (taman pustaka), dan meminjam buku tanpa ada pertanyaan apa-apa dari darinya, paling banyak dikatakan: "Habis baca, kembalikan!"
SUMBER-SUMBER BACAAN
Djohan, Bahder, "Potret Seorang Pemimpin: Bung Hatta," dalam Bung Hatta Mengabdi pada Cita-cita Perjuangan Bangsa, Jakarta, Panitia Peringat-an Ulang Tahun Bung Hatta ke-70, 1972.
Noer, Deliar, Mohammad Hatta: Biografi Politik, Jakarta, LP3ES, 1990.
Roem, Mohammad, Bunga Rampai dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
Rose, Mavis, Indonesia Free. A Political Biography of Mohammad Hatta, Ithaca, N.Y., Cornel Modern Indonesia Project, 1987.
Soedarto M.W., Seribu Hari dengan Bung Karno, Jakarta, Yayasan Marinda, 1990.
Soenario, "Bung Hatta di Mata Seorang Teman Sebaya," dalam Bung Hatta Mengabdi pada Cita-cita Perjuangan Bangsa, Jakarta, Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke-70, 1972.
Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams Hongkong, Gunung Agung, 1966.
Sukarno, Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Jakarta, Delha Rohita, 1978.
Wijaya, I. Wangsa, Mengenang Bung Hatta Jakarta, Haji Masagung, 1988.
Karya: Ida Cynthia dan Yant Kaiy
No comments:
Post a Comment