CAMPUR ADUK

Saturday, December 29, 2018

SALING MENGISI SATU DENGAN YANG LAINNYA

Siang hari cerah di sebuah rumah daerah kota Jakarta. Dono duduk nyantai ruang tamu sambil main game pada Hpnya. Indro dateng menghampiri Dono langsung duduk sambil membawa gorengan yang baru di belinya di warung Sakinah. Dono mencium bau yang enak sekali membuat perutnya kosong. Lalu Dono mengambil gorengan yang di taruh meja. 

"Kalau makan kamu cepat Dono," kata Indro.

"Abisnya saya lapar sih.....," saut Dono.

Dono memakan gorengan sangat cepat sekali sampai sudah habis 2 buah. Indro pun meminjam Hpnya Dono yang di taruh di meja untuk mengirim pesan singkat kepada Sakinah. Setelah itu Indro membalikkan Hpnya Dono.

"Terima kasih ya..Don...," kata Indro.

"ya..," saut Dono.

Dono kembali main game setelah minum air putih pada gelas aqua yang di siapkan untuk tamu. 

"Dono...ngomong-ngomong kamu mengadakan tahun baru?" tanya Indro.

"Tahun baru islam atau nasrani?" tanya kembali Dono.

"Iya...juga....ya tahun pergantian ini kan tahun nasrani ...2018 berganti 2019. Jadi bukan tahun islam yang merayakan nasrani. Jadi sebagai umat islam yang tidak merayakan. Bukan ikut-ikutan tapi diam. Lebih baik banyak ngawain diri bahwa banyak salah dan benar dalam menjalankan hidup alias Tobat," kata Indro.

"Banyak-banyak tobat nasuha. Supaya kita sadar jangan jadi umat nasrani tapi umat  muslim. Agama lain yang merayakan kok kita ikut-ikutan. Cuma tahun berganti saja tetap saja kehidupan di jalani seperti biasa. Contoh saya memangnya saya akan jadi kaya setelah hari berganti tahun ini. Ya gak juga. Tetap saja begini. Walau di usahahin pun peningkatannya cuma bisa menikmati hidup saja," kata Dono.

"Benar..kamu Dono. Menghamburkan-hamburkan uang saja. Nyari susah di habiskan satu hari. Apalagi kedudukan sama merayakan tahun baru dengan tahunnya agama nasrani. Ya......sama jadi orang nasrani. Belot deh kita dari agama islam. Kaya gak ada hari ajakan merayakan sesuatu. Padahal harusnya umat islam merayakan tahun islam besar-besaran. Tandanya jalan kita benar sebagai umat islam kenapa menjalan tahun agama lain?," kata Indro.

"Itulah...karena tahun yang di jalani kita ini. Rentan dengan acara tahun nasrani. Maka lebih baik umat islam diam saja untuk apa ikut-ikutan. Kaya ketiban durian runtuh. Padahal hidup gini-gini aja. Harus pintar-pintar mengatur uang agar tidak boros. Entah kapan kesulitan datang kan. Kalau ada yang nolong kalau bila mengalami kesulitan," kata Dono.

"Ada..Dono.... Saya.teman terbaik kamu," kata Indro dengan antusias.

"Iya..kalau teman...kalau orang lain. Mungkin gak ya?" kata Dono.

"Mungkin iya..mungkin tidak," saut Indro.

Bell rumah pun berbunyi. Indro beranjak dari tempat duduknya langsung membuka pintu berjalan menuju gerbang pagar rumah.

Ternyata Sakina membawakan pesan Indro makan dan minuman.

"Cepat banget pesan saya sudah di anter," kata Indro.

"Cepatlah mas cuma sebelah rumah. Apalagi mas Indro mesannya lewat Aplikasi warung yang Sakinah buat untuk meningkat penjualan.........Sakinah," katanya.

"Kamu gadis pintar untuk menanggulangi permasalahan penjualan kamu dengan kecepatan saiber" pujian Indro.

"Terima kasih...mas Indro," kata Sakinah.

"Jadi bayarnya cukup terima kasih ya Sakinah," kata Indro.

"Haa. Ya..gak gitu kali mas Indro. Harus bayar lah tunai jangan ngutang," kata Sakinah.

"Iya...mas... Indro bayar tunai," kata Indro dengan memberikan uang ke Sakinah.

"Iya..saya terima bayarannya," saut Sakinah.

"Sah....," kata Indro.

"Sah......," saut Sakinah.

"Sah....benaran. Sakinah jadi istri mas Indro..," katanya.

"Sah.......maksudnya Ijab Qabul," saut Sakinah.

"100 persen benar untuk Sakinah," kata Indro.

"Ah.....itu gak resmi mas Indro," kata Sakinah.

"Gagal deh mendapatkan Sakinah..jadi istri saya," kata Indro.

"Lain..kali..aja..mainnya. Sakinah masih banyak kerjaan," katanya sambil meninggalkan Indro yang sedikit melamun.

Indro pun masuk ke dalam rumah dan segera duduk bersama Dono.

"Dono...makan dan minuman!" kata Indro.

"Tumben...Indro kamu bawa makan dan minuman lagi. Mau mengadakan tahun baru..ya?" tanya Dono.

"Ya....gak lah merayakan tahun baru. Cuma membeli makan dan minuman lewat Aplikasi warung. Nyobain.......sistem kerjanya aja," kata Indro.

"Punya Sakinah ...tetangga sebelah. Kalau itu bukan nyobain..sistem kerja. Tapi motif mau dekatin Sakinah," kata Dono.

"Kok..tahu Dono?" tanya Indro.

"Ya..tahulah......Indro .....  Sakinah sms saya. Dan juga telat saya yang sudah jadian sama Sakinah. Dan juga yang membuatkan Sakinah Aplikasi warung saya. Untuk meningkatkan penjualan makan yang dibuatnya. Jadi keuntungan Sakinah dobellah. Dari Aplikasi dapet. Dari proses seperti biasanya dapet. Jadikan tidak ada masalah faktor krisis ekonomi. Yang di omongin di semua stasiun Tv yang menjelaskan krisis ekonomi. Ya...sebenarnya pinter-pinter kita saja menanggulangi proses ekonomi kecil, menengah dan besar," kata Dono.

"Saya kalah dalam mendapatkan Sakinah. Di duluin Dono. Pantes saya di tolak di depan. Kok kamu gak marah Dono pacar kamu di godain saya?" kata Indro.

"Ngapain..saya marah. Kan.....Sakinah bukan istri saya. Kalau Alloh SWT berkehendak lain jalan....Saya salah. Bisa saja niat baik saya putus," kata Dono.

"Maksudnya Dono?" tanya Indro.

"Pacaran sebenarnya di larang lebih cepat di nikahin. Tapi masalahnya Sakinah meminta...main pacaran dulu. Nikahin entaran dulu," kata Dono.

"Ya.....kalau begitu sih. Sakinahnya masih kekanak-kanakan," kata Indro.

"Iya...Sakinah ke kanak-kanakan. Umurnya baru 17 tahun baru ngurus KTP," kata Dono.

"Dono.....dono...tetap saya salut mendapatkan Sakinah. Anaknya pintar juga cantik," pujian Indro.

"Terima..kasih," jawab Dono.

Indro pun menikmati makan dan minuman buatan Sakinah begitu juga Dono. Lalu keluarlah Kasino dari kamarnya langsung duduk bersama Dono dan Indro menikmati makan dan minuman.

"Jadi jadi merayakan tahu baru?" tanya Kasino.

"Tidak jadi merayakan. Kami orang muslim bukan nasrani," kata Indro dan Dono bersamaan.

"Kompak banget. Saudara seiman. Pantes jadi ahli surga," pujian Kasino.

"Amin...," jawab Dono dan Indro bersamaan.

"Ya...lebih baik tidak mengadakan tahun baru. Karena manfaatnya gak ada. Cuma hura-hura ngabisin uang udah itu capek...setelah menjalankan aktivitas," kata Kasino.

"Benar....sekali, " saut Dono dan Indro bersamaan kembali.

"Hidup lebih baik dijalan selayaknya menjadi muslim yang baik. Kan jalannya juga benar dan murni. Berdasarkan amanah Nabi Muhammad SAW lewat Al Qur'an dan Hadist," kata Kasino.

"Benar......kan amanat Nabi Muhammad SAW jadi diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW....lewat Al Qur'an dan Hadist," kata Dono.

"Ya..kan langsung......dari Nabi Muhammad SAW dari amanahnya. Tetapilah Al Qur'an dan Hadistnya," kata Indro.

"Benar..benar langsung dari Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kita semua untuk menjalankan hidup dengan baik dan benar. Agar menjauh dari keburukan dan kerusakaan dunia. Hidup lebih damai lagi. Amin...," kata Kasino.

"Amin....," jawab Indro dan Dono bersamaan.

Ketiga sahabat karib melanjutkan makan dan minumnya dengan penuh kegembiraan di dalam rumah.



Karya: No

ALICE HUMAN SACRIFICE

Tentu semua orang ingin jadi istimewa. Termasuk “Dream”. Dia mungkin sesosok anak kecil, tapi Dream sebenarnya hanyalah mimpi yang tidak ingin menghilang, meskipun tak banyak orang yang tahu tentang dirinya.

“Aku tak ingin menghilang…Bagaimana aku bisa membuat orang memimpikan aku…?” gumam Dream.

Setelaha berpikir-berpikir dan berpikir, akhirnya Dream menemukan cara yang tepat.

“Aku akan mencari orang yang merasa sengsara dalam hidupnya, lalu membuatkan mereka sebuah dunia dimana mereka hidup bahagia. Tapi, kalau mereka membuat keburukan… Akan aku bunuh mereka, karena aku ingin menjadi mimpi yang baik” kata Dream, menghilang dari rumahnya untuk mencari orang-orang yang merasa sengsara dalam hidupnya.

Jadi orang yang berpangkat tinggi pasti sangat menyenangkan bagi orang-orang. Namun, tidak untuk Hayden Kirkland, bangsawan dari Cardiff, ibukota Wales. Dia merasa menjadi bangsawan itu menyusahkan hidupnya saja. Memang, banyak hal-hal yang membuatnya marah dan sedih. Karena itu, Hayden ingin kabur atau bunuh diri, tapi pelayan dan dayang-dayangnya selalu mengawasinya dengan ketat.

“Seharusnya tidak seperti ini… Ayah dan ibu meninggalkanku untuk hal yang tidak penting selama 15 tahun… Dan tersisa 6 tahun lagi… 6 TAHUN ITU MASIH LAMA!!!” teriak Hayden.

“KENAPA AYAH DAN IBU HARUS MENINGGALKAN AKU KETIKA UMURKU CUMA 3 TAHUN!!! MEREKA BENAR-BENAR TIDAK MENGINGINKAN AKU!!!” teriak Hayden lebih keras lagi.

“Kau merasa sengsara?” tanya seseorang.

“Huh? Siapa kau…?” tanya Hayden melihat sekeliling kamarnya.

“Hallo, Hayden Kirkland. Aku Dream, aku di belakangmu,” kata Dream.

Hayden pun menoleh ke belakangnnya.

“Dream… Artinya kan mimpi…?” kata Hayden bingung.

“Memang. Berapa umurmu?” tanya Dream.

“12 tahun. Kenapa?” tanya Hayden, sedikit membentak.

“Kau merasa tidak ada yang ingin kau hidup, kan? Bahkan berteriak seperti orang kesurupan. Di Wonderland, kau akan hidup bahagia,” kata Dream.

“Wonderland? Jangan bohong, aku tidak suka yang begitu-begitu,” kata Hayden melipat tangannya.

“Akan aku tunjukkan,” kata Dream, memegang punggung tangan Hayden.

“Ah!! Apa ini?! Sakit!!” teriak Hayden. Punggung tangannya seperti terbakar, dan terbentuklah daun waru berwarna merah.

“Selamat tidur~” kata Dream.

Hayden pun bangun. Sekelilingnya hanya hutan kosong. Tak ada siulan burung, tupai yang melompat, dan air mengalir.

“Akhirnya, kau kesini,” kata suara seorang anak kecil yang familiar.

“Ya… Kau menang,” kata Hayden.

“Baiklah… Karena kau disini, kau bisa membentuk sebuah dunia milikmu sendiri! Apapun yang kau inginkan, akan muncul,” kata Dream.

“Semuanya… Kalau begitu, tak ada hukumannya?” kata Hayden, dengan senyum sadis, sambil mengeluarkan pedang kesayangannya.

“Pasti ada. Hukuman” sebelum Dream menyelesaikan kalimatnya, Hayden sudah berlari.

“Aku harap dia tidak macam-macam…” kata Dream, mengejar Hayden.

Hayden memunculkan semua orang yang ia kenal, hanya untuk membunuhnya. Selagi orang yang ia bunuh berteriak, Hayden tertawa senang, sambil menusuk-nusuk mereka. Di belakangnya, banyak mayat kerabatnya yang mati, dengan darah yang membentuk jalur lurus. Hayden merasa seperti artis, dan orang-orang yang dilewatinya akan mati.

Dream pun merasa sedih apa yang dilakukan Hayden. Dia ingin mimpi indah, bukan yang buruk, dan Hayden membuat sesuatu yang mengerikan. Orang mati bergelimpangan dan bau darah membuat Dream tak enak. Karena sudah bertekad, Dream pun akan menghukum Hayden.

“Hayden,” kata Dream.

“Apa?” kata Hayden, dengan nada kejam sambil mengarahkan pedang belumuran darah ke Dream.

“Ikut aku,” kata Dream. Hayden meletakkan pedangnya.

Setelah sekian lama berjalan, Hayden dan Dream sampai di depan sebuah pintu dengan lambang daun waru.

“Masuklah. Banyak kerabatmu yang menunggu untuk kau bunuh,” kata Dream.

“Benarkah?” kata Hayden, mendekati pintu itu. Tidak ada apapun di dalamnya, jadi Hayden maju satu langkah ke depan.

“AAHHH!!!” Dream dengan cepat mendorong Hayden ke dalam pintu itu, dan menguncinya. Sebuah suara teriakan keras bisa terdengar, namun lama-lama menghilang.

“Hidup sang psikopat itu akan menjadi misteri. Aku sudah mendapatkan “Alice” yang pertama. Sekarang, yang kedua,” kata Dream, menghilang untuk mencari “orang kedua”.


Karya: Rahmania Alanadhanty

ALTER EGO

Namaku Rendi Siregar, pemuda biasa yang hidupnya biasa-biasa saja. Hanya ada satu hal yang tidak biasa, saat aku melamun, waktu berlalu dengan cepat, bahkan mungkin terlalu cepat. Seperti kemarin, aku melamun dari hari senin, lalu tersadar di hari rabu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi ini nyata.

“Hai Ren, tumben kamu datang agak siang”, sapa Lia, nama lengkapnya Dahlia Puspa Mentari, teman sekelasku. “Ah itu, ada masalah teknis”, kataku menyipitkan mata seraya mengelus perutku. “Ha… ha… ha… kau ini”, ujar Lia tak mampu menahan tawanya. “Hei.. hei.. ada apa ini?”, tanya angga menghampiri kami. “Rendi.. hi. hi.. hi.. dia baru saja bersikap konyol”, Lia cekikikan. “Hei itu sesuatu yang manusiawi”, “iya, tapi caramu mengatakannya itu”. Angga hanya geleng-geleng kepala melihat kami.

Dahlia, entah sihir apa yang dipakainya. Tiap kali tersenyum, tubuhku gemetar lalu ada perasaan aneh dalam diriku. Mungkin ini yang disebut cinta atau karena lapar? Entahlah. Bukan aku saja yang menaruh hati padanya, Angga teman sekelasku tak jemu-jemu mendekatinya, tapi sepertinya Lia hanya menganggapnya teman saja. “Hei Ren, bisa kita bicara sebentar?”, ujar angga serius. Aku rasa dia mau bicara tentang Lia, dan semua orang tahu kalau dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tak peduli seperti apa caranya. “Menyerah saja, kau tidak akan mendapatkan Lia. Memang uang bukanlah segalanya, tapi butuh uang. Kau tidak akan bisa membahagiakannya, kau cuma yatim piatu yang hidup dari belas kasihan paman dan bibimu”, ujarnya tanpa basa-basi kemudian berlalu. Hatiku benar-benar sakit mendengarnya, tapi memang begitulah kenyataannya. Tanpa perlu mengatakannya pun aku tidak akan mendekati Lia, karena aku sadar dimana tempatku berada.

Aku mencoba untuk menerima semua kata kata itu, tapi yang kudapat hanya rasa sakit, ia menuntunku terlelap dalam linangan air mata.

“Ngh… sudah pagi ya?”, desahku kalu melirik jam tanganku. Aku terhenyak, kudapati tanganku berlumuran darah menggenggam pisau yang masih meneteskan darah. Seketika tubuhku menggigil, tanganku bergetar hebat. “Ap.. a… yang su.. dah… terja… di…? Huaaa…!!!”.

Hari ini aku putuskan untuk bolos sekolah, aku benar-benar shock dengan apa yang baru saja kualami. Aku menyalakan tv, mungkin menonton kartun bisa membuatku merasa lebih baik. Sedang asyik nonton kartun tiba-tiba ada breaking news, mengganggu saja.. batinku. Aku terbelalak, aku masuk dalam berita itu, parahnya ini berita pembunuhan. Tega sekali angga.. kenapa dia memfitnahku seperti ini… aku meneteskan air mata. Tunggu, korbannya adalah angga. Jadi bukan dia yang melakukan ini. “Berikut rekaman kamera pengawas”, tu..tunggu… orang yang ada di rekaman cctv itu… aku…



“Apa apaan ini semua ini? ti.. tidak mungkin aku yang… tidak! Ini tidak nyata.. semua ini hanya mimpi buruk iya kan? Aku hanya perlu bangun… lalu semua akan baik baik saja.. iya kan?”, aku benar-benar terguncang. “Hanya orang bodoh yang bicara dengan diri sendiri”, seseorang tiba-tiba bicara. “Aku pasti sudah gila, aku mendengar seseorang bicara, padahal hanya ada aku disini”, “hei mau kuhajar ya!”, aku menggeleng. “Sekarang dia berniat menghajarku, sepertinya aku harus segera ke rumah sakit ji… arrgh…sakit…”, seseorang menjambak rambutku, ternyata itu Lia. Dia memalingkan wajahnya, lalu tidak mau bicara denganku. “maafkan aku Lia, aku tidak tahu kalau kamu ada disini maaf. Tapi kenapa kamu kemari? Kamu bisa kena masalah”, “justru karena itu aku kemari”, jelasnya. Aku menyernyitkan dahi, dia tidak mengerti, kalau dia ada di dekatku, orang lain akan mengira kalau dia juga terlibat. “Aku yakin bukan kamu pelakunya”, “isi rekaman itu sudah jelas bukan?”, “tidak, orang sekonyol dirimu tidak akan sanggup membunuh, bahkan seekor nyamuk”. Aku terdiam, “ngiiing… plak..!”, “ini aku membunuh nyamuk”, kataku sambil tersenyum. “Buukk..!!!”, sebuah tinju mendarat di hidungku. “Berhenti bermain-main!! Kau tidak tahu seserius apa situasi saat ini! Kalau kau tidak bisa membuktikan dirimu tidak bersalah, mereka akan memenjarakanmu, kau tahu tidak!”, bentak Lia. “Mereka? Lia jangan bilang kalau kau…”, “dasar gadis bodoh! Kenapa kau beritahu dia sebelum dapat informasi”, bentak seseorang dari luar. “Maaf a..aku tidak sengaja..”, ujar lia terbata-bata. Pintu didobrak dari luar, lalu sekitar 8 polisi mengepung kami. “Cepat kemari!, sebelum dia menyakitimu” teriak sang komandan. “Tidak.! Dia tidak akan menyakitiku! Dia temanku”, “Lia, pergilah. Biar aku menyelesaikan ini sendiri”, “tapi…”, “pergilah Lia..!!”, bentakku seraya mendorong tubuhnya. Rendi tertunduk, lalu tertawa cekikikan. “Ha. ha… ha…!! Akhirnya si pemilik tubuh membuang raganya..!”, rendi tertawa. Aku benar-benar tidak mengerti, dia tidak terlihat seperti rendi yang kukenal. Dan lagi dia mengatakan “si pemilik tubuh”. Mungkinkah ini. “Kau bukan rendi!, Siapa kau sebenarnya!”, dia hanya tersenyum, “Namaku, Budiman sudarso!”,

Budiman Sudarso? Rasanya nama itu memiliki kesan yang sangat kuat, tapi apa?. Kulirik para polisi yang dari tadi terdiam, wajah mereka memucat lalu mundur teratur perlahan. “Mustahil, jangan katakan kalau kau adalah hantu bocah psikopat yang kami eksekusi 4 tahun lalu”, kata seorang polisi. Benar juga, itu adalah kasus pembunuhan paling menghebohkan yang pernah terjadi. Dikabarkan kalau dia sudah membunuh beberapa orang tanpa rasa bersalah, termasuk ayahnya sendiri. Tidak berhenti sampai disitu, dia juga memutilasi tubuh para korban, benar-benar sadis. Dia tersenyum simpul, “aku merasa tersanjung, ternyata kalian masih mengingatku”. Orang ini benar-benar gila, dia seolah merasa bangga dengan apa yang sudah dilakukannya. Rupanya benar dugaanku, rendi memiliki kepribadian ganda. Hanya saja aku tidak menyangka kalau “dirinya yang lain” adalah orang ini. “Cepat katakan, kenapa kau membunuh Angga!”, “oh, ternyata temanmu itu namanya Angga. Aku tidak punya masalah apapun dengannya, tapi temanmu ini punya”. Aku makin tidak mengerti, “katakan dengan jelas apa yang ingin kau katakan!”, “temanmu ini mencintaimu, tapi si angga itu meremehkan, bahkan menghinanya”. Aku tersentak, ternyata selama ini rendi… kalau saja dari dulu aku meyadarinya, semua ini tidak perlu terjadi. “Baiklah nona, karena kau punya dosa yang sama aku…”, dia tidak meneruskan kalimatnya. Dengan cepat ia melocat ke arahku, “akan membunuhmu!!”. Aku tak bisa bergerak, kakiku mati rasa, kurasa aku akan segera menyusul Angga. Tangannya hampir mencengkram leherku, “Dor..!”, sebuah peluru bersarang di perutnya, Ia tumbang seketika. Aku jatuh terduduk, tubuhku benar-benar lemas.

“Tempat apa ini?”, tanyaku pada diri sendiri. Aku berada dalam ruangan kosong yang gelap, hanya ada sedikit cahaya di tempatku berdiri. “Selamat datang di alam bawah sadarmu, Rendi”, suara seseorang tiba-tiba. Aku benar-benar ketakutan, aku bahkan tidak bisa membuka mulutku. Terdengar langkah seseorang menuju kemari, cahaya mulai menerangi tubuhnya, aku mulai bisa melihat wajahnya. Mustahil… wajahnya… persis denganku… Siapa dia ini sebenarnya? Kataku dalam hati. “Namaku Budiman Sudarso”, jawabnya tiba-tiba. “Hoi, aku bahkan belum bertanya”, dia tersenyum, “disini kita tidak perlu bicara untuk mengobrol, tidak perlu berbagi untuk saling memahami”, “apa itu yang disebut kemampuan “Teleponesis”, “Telekinesis! dasar bodoh, sama seperti..”, dia tidak meneruskannya.

FLASHBACK

Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah, terlihat dua orang kakak beradik saling bercanda. “Kak Budi lihat ini, bukan sulap bukan sihir”, ujar si adik seraya menunjukkan genggaman tangan kirinya, lalu dia meniupnya. “nih lihat”, katanya sambil membuka genggaman tangannya. “mana sulapnya? nggak ada apa apa kok”, “memang, kan bukan sulap bukan sihir, jadi bukan apa apa”, jawab si adik lalu menjulurkan lidahnya. Mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain. Tunggu.. si adik tadi menyebut sang kakak “kak Budi”, jangan jangan ini masa lalu Budiman. Tiba-tiba sang kakak terlihat marah lalu pergi menunjuk rumah di seberang jalan raya, si adik sepertinya mencoba menghentikannya tapi sia-sia. Saat menyeberang jalan raya tiba-tiba sebuah minibus yang melaju kencang kehilangan kendali lalu menabrak si adik. Aku mendekati mereka, mendadak minibus yang menabrak tadi melarikan diri. “Kak… tolong jangan.. marahi dia… aku membiarkan dia… memukulku supaya dia memberitahu… sulap-sulapnya yang lain…”, ucap si adik lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Jadi begitu, dia membiarkan dirinya dipukuli temannya supaya dia bisa menunjukkannya pada kakaknya. “Bodoh, dasar bodoh! Aku tidak butuh semua itu bodoh!”, sang kakak kehilangan kendali. Sejak hari itu, ayahnya terus berlaku kasar padanya juga pada ibunya. Lalu di suatu malam si ayah berniat membunuhnya dan ibunya, lalu bunuh diri. Tapi dia terbunuh secara tidak sengaja oleh sang kakak, ibunya terbangun, ia terkejut lalu menelepon polisi. Sang kakak melarikan diri, “tanganku sudah terlanjur berlumuran darah, biar aku habisi sekalian orang yang merenggut adikku”, ucap sang kakak. Dan begitulah, akhirnya dia ditangkap dan dieksekusi mati setelah membunuh si sopir minibus, teman adiknya, serta seseorang yang melihat aksinya.



“Seharusnya kau menghormati permintaan terakhir adikmu”, kataku saat sudah kembali ke alam bawah sadarku. “kau! Bagaimana kau…”, “kau sendiri yang mengatakan kalau kita tidak bisa menyembunyikan apapun disini”, “sial…”, desahnya. “Akhirnya aku mengerti, alasanmu membunuh Angga”, “aku melakukannya demi kesenanganku sendiri, itulah alasannya”, “Bohong!!, kau melakukannya karena kau ingin melindungiku, karena kau peduli padaku, karena kau melihat jiwa adikmu dalam diriku, karena aku telah mengisi kehampaan dalam hatimu”, kataku sedikit terbawa emosi. Dia terdiam, “kau benar, kau memang mirip adikku, konyol, bodoh, tapi memiliki empati pada orang di sekitarmu. Yah, sebagai ganti karena telah mengisi tempat adikku, aku akan selalu melindungimu, setuju?”, “baiklah, kakak”, “jangan seenaknya memanggilku kakak!”, bentaknya. “Masih ada yang mengganjal, kenapa tiba-tiba kau ada dalam tubuhku?”, “sesaat setelah aku dieksekusi mati, seorang bocah mengalami gagal jantung. Pihak rumah sakit meminta jantungku untuk dites kecocokannya, dan ternyata cocok. Akhirnya mereka mentransplantasikannya ke tubuh bocah itu, dan bocah itu masih hidup hingga sekarang”, urainya panjang lebar. “Dan siapa bocah itu?”, “dasar bodoh…”, desahnya.

Aku membuka mataku, aku berada di ruangan serba putih. Tiba-tiba bau obat menyeruak, masuk ke hidungku, rumah sakit ya? Batinku. “Rendi kamu sudah sadar?”, tanya seseorang, aku menoleh, Lia. Tiba-tiba dia memeluku dengan sangat erat, “kau selamat.. aku benar-benar mengkhawatirkanmu… maaf aku tidak menyadarinya selama ini…”, “hoi Lia… lepaskan… aku… tidak… bis…a…”, “tidak akan! Aku tidak mau kehilangan dirimu”, “kalau kau tid…ak… mele…paskan..ku… kau… akan menga…laminya…”, “tidak, jangan… oh maafkan aku”, akhirnya dia mengerti, melepaskan pelukannya. “Bagaimana dengan…”, tanyanya khawatir. “Oh jangan khawatir, aku dan Budiman sudah berteman sekarang”, “bukan itu, tapi lukamu”, “apa? Jadi aku terluka ya? Karena kau mengatakannya… agak terasa… aduuuhh.. sakit…”, “heeeh, jadi ini memang dirimu ya?”, desahnya. Lalu kulihat wajahnya tiba-tiba memerah, tingkahnya juga aneh. “Apa yang kau katakan di rumah itu benar?”, tanyanya sambil memainkan jarinya. “Memangnya ada apa?”, aku tidak ingat mengatakan hal semacam janji waktu. “Ah itu… aku… aku… aku…”, wajahnya makin memerah. “Aku juga mencintaimu!!!”, teriaknya lalu menutup mulutnya seolah ia tidak ingin mengatakan itu sebelumnya. Juga? Aku tidak ingat pernah mengatakanya. Tapi biarlah, yang penting Lia sudah mengungkapkan isi hatinya… batinku girang.


Karya: Sigit Pamungkas

HIJAB YANG DIRINDUKAN

Hari itu terasa sejuk dimana embun pagi menutupi seluruh desa setempat sedangkan aku duduk sendiri menikmati keindahan itu semua yang allah ciptakan sambil terjebak dalam sebuah pemikiran. Ya, pilihan… hal yang paling aku bingungkan dalam kehidupan, aku terjebak dalam sebuah pemikiran dimana aku harus memilih dua insan yang berbeda dari segi kehidupan dan cara berfikir mereka.

Aku teringat seorang wanita yang begitu kukagumi dari segi pemikirannya tapi dari segi yang lain membuat aku bingung yaitu cara ia berpakaian, sebut saja dia Nisa seorang wanita yang berpenampilan biasa seperti wanita pada umumnya, yaitu memakai pakaian rok pendek sampai lutut dan kameja yang bergaris putih tanpa menutupi auratnya. padahal dia paham dan tahu tentang agama apa lagi hukum-hukum islam dalam berpakaian. Aku pernah menegurnya tentang cara ia berpakaian tapi ia menjawab sambil mendekatiku dan berbisik “zymi, lebih baik aku seperti ini tanpa kemunafikan dibalik kerudung” aku pun terdiam tanpa berkata sedikit pun, dan ia melanjutkan jawabanya “zymi aku sempat berfikir ingin sekali menutupi aurat ini tapi keadaan ini yang memaksa” aku pun bertanya “keadaan seperti apa nisa yang kau maksud?” ia memberikan jawaban yang membuat aku terkejut dan memprihatinkan “zymi aku dulu punya teman yang cara berpakainnya sudah terbilang syar’i, tapi dibalik pakaian itu membuat aku membencinya, ternyata ia hanya menyembunyikan aibnya yang sering tidur bersama seorang lelaki yang aku kenali yaitu kakakku sehingga aku menjastifikasi semua perempuan yang memakai hijab sebagian besar mereka hanya menutupi aibnya…” Disaat ia menceritakan kehidupannya itu disaat itu pula aku mulai kagum pada dirinya dan aku pun berniat ingin sekali menyadarkan dari apa yang selama ini ia pikirkan tentang kesalah pahaman dari cara berpakaian yang syar’i.

Hari selasa 12 juni 2012 tepatnya di depan toko buku Gramedia Gorontalo aku bertemu dengan sahabat lamaku yang membuat aku kaget adalah cara ia berpakaian dan berbicara denganku ia adalah ririn, kebetulan ia bersama seorang wanita entah itu sahabatnya ataupun sepupunya, dia dulunya terbilang perempuan tomboi yang sukanya nongkrong dengan laki-laki komunitas anak punk kini ia berpakaian tertutup bahkan kerudungnya menutupi sekujur tubuhnya, hampir saja aku tak mengenalinya, aku pun terpikir ingin menanyakan apa yang terjadi dengannya

“assalamualaiqum ririn gimana kabarnya?”

“wa’allaiqumusalam yah seperti inilah zym, seperti yang kamu lihat sekarang ini…”

“wah subhanallah yah kamu makin cantik saja” tanpa menyadari seseorang yang bersamanya (sedikit merayu)

“astgfrllah bisa aja kamu zym eh iya kenalkan ini sahabatku ira dia yang sering menemani aku, oh iya sekarang ini gimana dengan usahamu itu? kalau nda salah kamu jualan herbal yah? Luar biasa yah kamu zym masih muda aja udah pandai mencari nafkah, udah cocok nikah kayanya…” sedikit memuji tentang diriku

“oh iya emang siapa nih yang membuat kamu berubah drastis seperti ini, maaf aku penasaran… kamu udah nikah yah?”

“hehehehe, pertanyaanmu itu membuat aku kaget lho zym, yah allhamdulillah aku udah seperti ini, awalnya itu aku ketemu sama seseorang yang berkecimpung di satu organisasi islam yaitu HTI (hisbutahrir) ini orangnya yang ada di dekatku sekarang hehehehe, kebetulan aku diajak untuk ikut salah satu kajian islami yang tidak jauh dari kampus UNG yaitu di masjid AL-Munir, disaat itu salah satu ustazah menjelaskan tentang tata cara berpakaian seorang muslimah serta mengeluarkan dalil yang membuat aku merinding dan meneteskan air mata, aku pun tersadarkan apa yang aku perbuat selama ini adalah salah di mata allah… aku malu dengan penampilanku dulu, terus untuk pertanyaanmu yang selanjutnya aku belum bisa menjawab insha allah jika kita bertemu lagi akan kuberitahukan jawaban itu”

Aku pun terus mendengar apa yang ia katakan sedikit memperhatikan sahabatnya juga sih, abisss sahabatnya hanya diam saja tanpa mengeluarkan sekata pun hanya senyuman yang manis terlontar ke arahku saja. Sedangkan ririn terus dengan penjelasannya tanpa kusadari dia sudah mau bertanya ingin pulang

“oh iya zym aku mau balik dulu yah soalnya aku ada janji dengan ustazah untuk ikut kajian hari ini assalamuallaiqum…”

“oh iya wa’allaiqumusalam…”

Aku pun terdiam dan terpikirkan seseorang yang selama ini aku kenali yaitu nisa aku berpikir ingin sekali mempertemukan nisa dengan ririn dan sahabatnya itu yang sudah mengajaknya agar mereka bisa menjelaskan tentang tata cara berpakaian dan aturan-aturan dalam islam.


Karya: Zikran Mbuti

RAWA PENING

Pada zaman dahulu, hidup seorang wanita bernama Endang Sawitri yang tinggal di desa Ngasem.  Endang Sawitri sedang hamil, dan kemudian dia pun melahirkan. Anehnya, yang dilahirkan bukanlah bayi biasa, melainkan seekor naga. Naga tersebut kemudian diberi nama Baru Klinting. Baru Klinting adalah seekor naga yang unik. Dia bisa berbicara seperti manusia.

Saat usianya menginjak remaja, Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Dia ingin tahu apakah dia memiliki seorang ayah, dan dimana ayahnya berada. Endang Sawitri menjawab bahwa ayahnya adalah seorang raja, yang sedang bertapa di sebuah gua, di lereng Gunung Telomoyo. Pada suatu hari, Endang Sawitri berkata bahwa sudah tiba saatnya bagi Baru Klinting untuk menemui ayahnya. Dia memberikan sebuah klintingan kepada Baru Klinting. Benda itu adalah peninggalan dari ayah Baru Klinting, dan dapat menjadi bukti bahwa Baru Klinting adalah benar-benar anaknya.

Baru Klinting berangkat ke pertapaan untuk mencari ayahnya. Saat sampai di pertapaan Ki Hajar Salokantara, dia pun bertemu dengan Ki Hajar Salokantara dan melakukan sembah sujud di hadapannya. Baru Klinting menjelaskan kepada Ki Hajar Salokantara bahwa dia adalah anaknya, sambil menunjukkan klintingan yang dibawanya. Ki Hajar Salokantara kemudian berkata bahwa dia perlu bukti lagi. Dia meminta Baru Klinting untuk melingkari Gunung Telomoyo. Jika dia bisa melakukannya, maka benar dia adalah anaknya. Ternyata Baru Klinting dapat dengan mudah melingkari gunung tersebut. Ki Hajar Salokantara mengakui bahwa memang benar Baru Klinting adalah anaknya. Dia lalu memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan yang terdapat di lereng Gunung Telomoyo.

Saat Baru Klinting sedang bertapa di dalam hutan, datanglah para penduduk dari desa Pathok. Mereka sedang berburu, mencari hewan untuk dijadikan santapan pesta sedekah bumi yang mereka rayakan setelah panen usai. Karena tidak dapat menemukan seekor hewan pun, mereka menangkap naga besar yang sedang bertapa itu, dan memasaknya. Arwah Baru Klinting menjelma menjadi seekor anak kecil yang kumal. Anak kecil tersebut datang ke pesta yang diadakan penduduk desa Pathok, dan meminta untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan. Namun, para penduduk menolak kehadiran anak yang kumal itu. Bahkan, Baru Klinting diusir dan ditendang. Dengan marah dan sakit hati, Baru Klinting meninggalkan tempat tersebut. Ia kemudian bertemu dengan seorang nenek tua yang memperlakukannya dengan sangat baik. Dia diberi makan, dan diperlakukan seperti seorang tamu yang terhormat. Baru Klinting kemudian berpesan kepada nenek tersebut agar segera menyiapkan lesung jika nantinya terdengar suara gemuruh.

Baru Klinting kembali ke pesta warga desa Pathok. Warga desa tersebut tetap berusaha mengusirnya. Baru Klinting kemudian menancapkan sebuah lidi ke tanah. Dia kemudian menantang warga desa untuk mencabutnya. Namun, tidak ada yang mampu untuk mencabutnya. Baru Klinting kemudian mencabut lidi tersebut sendiri, dan muncul mata air yang sangat deras, diikuti oleh suara gemuruh. Air yang muncul dari mata air membanjiri desa tersebut dan terbentuklah Rawa Pening. Seluruh penduduk desa tenggelam, kecuali nenek baik hati yang telah memperlakukan Baru Klinting dengan baik. Nenek tersebut selamat karena masuk ke dalam lesung, sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Baru Klinting.


Karya: Dwi

RUANGAN MISTERIUS

Kenalkan nama aku fitrah, kisah ini berawal waktu aku duduk di bangku smp, waktu itu sedang liburan semesteran. Jadi aku diajak kakakku dan suaminya liburan ke daerah pulau samosir, sebenarnya kami hanya ingin berlibur di tempat itu hanya seharian saja, tapi sewaktu kami mau ke kapal penyeberangan sekitar pukul 20.00 wib kami samapai. Kapal yang ingin kami tumpangi adalah kapal terakhir jadi kami ketinggalan deh.

Suami kakakku memutuskan akan mencari penginapan di sana, sesampainya kami di penginapan suami kakakku menyewa 2 buah kamar, 1 untuk mereka berdua satu lagi untuk aku dan keponakanku, tetapi sang penjaga penginapan berpesan “Jangan masuk ke sebuah kamar dekat pojokan itu karena sudah ada ketentuan oleh pemilik penginapan ini” begitu katanya, teryanta kamarku bersebelahan dengan kamar itu, jadi perasaanku mulai sedikit takut, tapi aku percaya yang kayak gituan itu gak ada.

Setelah kami semua tertidur dan aku terbangun karena mendengar suara orang berkata “Pergi pergii!” lalu aku tersentak dari tidurku, kulihat jam menunjukan sekitar pukul 03.15 wib, lalu aku beranjak ke kamar mandi.

Tiba tiba suara itu terdengar lagi, aku semakin penasaran dibuat suara itu, jadi aku memutuskan untuk melihat kamar itu meskipun hatiku berkata “Jangan” aku memberanikan diri keluar,

Kulihat ruang bagian luar sunyi ditambah lagi hawanya dingin sekali, lalu kudengarkan suara tadi ke pintu kamar itu, tidak ada apa apa, tapi aku masih penasaran, jadi kucoba sekali lagi, tiba tiba terdengar suara langkah kaki semakin mendekat dan pintunya seperti ada yang memukul keras “Brak!” kuberanikan diriku membuka pintu itu, kulihat hanya sebuah tong hitam besar di pojok ruangan dan berbagai alat musik lalu kututup kembali kamar itu dan aku kembali tidur.

Paginya kami berangkat pulang, saat di perjalanan hatiku masih bertanya tanya siapa di dalam ruangan itu.


Karya: Mhd. Fitrah

MISTERI HOTEL BERHANTU

Dina, Tiara, dan Fani berjalan menuju sebuah Hotel yang tak lagi dipakai. Mereka penasaran dengan hotel itu. Kemarin, ketika mereka pulang sekolah. mereka sempat mendengar pembincangan tetangga kami. Kata tetangga, sebuah hotel yang bernama Hotel Bintang maju itu sangat angker. Mereka sangat penasaran dengan Hotel. Mereka pun memutuskan untuk menyelidiki Hotel itu.

Sampai di hotel, mereka pun segera membuka pintu hotel itu. Anehnya, pintu hotel itu tiba tiba terbuka sendiri. diam diam, mereka pun masuk ke dalam hotel. Suasana di dalam hotel itu sangat gelap, jadi mereka pun terpaksa menggunakan senter untuk menerangin ruangan. Tiba tiba, mereka pun menemukan sebuah tangga. mereka pun segera naik ke tangga itu.

Sampai di lantai 2, mereka pun mendengar suara tawa anak kecil. Tentu saja, mereka sangat ketakutan. tiba tiba, mereka melihat sesosok kuntilanak yang sedang terbang ke atas.

“AAAAAAAAAAAAAA!!!!” mereka pun berteriak histeris, lalu mereka pun segera berlari. Namun, mereka pun terjebak di suatu ruangan yang cukup gelap. Tiba tiba, mereka melihat sesosok hantu muncul di hadapan mereka. Mereka pun semakin ketakutan. Akhirnya, mereka pun di tangkap oleh hantu itu. Lalu hantu itu segera membawa mereka ke penjara bawah tanah. Sampai di Penjara, mereka pun di kurung di penjara.

Hantu itu terseyum sinis. hantu itu segera membuka topengnya, rupanya dia itu bukanlah hantu. melainkan, seorang wanita yang sangat cantik. “Hahahaha, kalian telah terkurung di sini. bulan depan lagi, kalian akan di jual ke luar negeri, “kata Wanita itu sambil terseyum sinis.

“Kamu jahat! kamu Jahat!” teriak Tiara.

“Diam kamu!” hardik Wanita itu.

Wanita itu segera pergi meninggalkan mereka.

“Bagaimana ini? Kita harus keluar dari sini. aku tidak mau di jual ke luar negeri,” kata Dina.

“Tenang dulu, jangan khawatir. aku akan berpikir dulu, bagaimana cara untuk keluar dari sini,” kata Fani.

Diana, Tiara dan Fani segera berpikir. tiba tiba, Fani mempunyai ide. Dia pun segera melakukan siasat. Fani segera memanggil Wanita itu. Wanita itu tiba tiba datang.

“Ada apa?” tanya Wanita.

“Tolong, bisakah tante temani aku ke toilet. soalnya aku mau buang air kecil” jawab Fani.

“Baik, aku akan menemanimu ke Toilet” kata Wanita itu.

Wanita itu segera menemaninya ke Toilet. Tiba tiba, Fani melihat sebuah balok kayu di atas meja. Fani pun segera mengambil balok kayu itu, lalu dia pun memukul kepala Wanita itu terlalu keras. Sehingga, Wanita itu jatuh pingsan.

Fani segera membuka pintu penjara itu. Dina dan Tiara segera keluar dari penjara. Mereka pun segera mengikat wanita itu, lalu mereka pun segera menelpon Polisi.

Para Polisi segera datang ke hotel itu. Sampai di hotel, Polisi segera menangkap Wanita itu. Ketika di tanya oleh polisi, Wanita itu mengaku bahwa dia adalah seorang penculik anak. Wanita lalu dicebloskan ke dalam penjara. Akhirnya, Dina, Tiara dan Fani selamat dari tangkapan Wanita itu.


Karya: Zalika Melati

SEKTE SESAT SI PEMUJA IBLIS

Orang-orang masih mengingat akan kebakaran yang terjadi hampir sepuluh tahun silam. Bahkan, orang-orang masih memperbincangkannya hingga hari ini. Kebakaran yang entah oleh sebab apa, terjadi begitu saja hingga meluluhlantakkan bangunan semipermanen berlantai dua tersebut.

Bukan kebakaran biasa. Tuhan turut andil dalam kebakaran misterius itu. Itu asumsi mereka. Atas dasar apa, aku sama sekali tidak tahu.

Lidah api menjilat-jilat. Asap hitam membubung tinggi ke atas awan kelabu malam hari. Banyak orang di sana. Namun, tidak ada seorang pun yang tampak berusaha memadamkan api yang bergejolak berwarna merah. Panas.

Ada jeritan dan teriakan di dalam sana. Orang-orang hanya tertawa, bahkan sebagian bertepuk tangan seolah di balik bangunan yang terbakar itu ada pentas drama komedi yang pantas di-aplause dengan begitu gembira.

Jeritan menggema di antara lelatu yang beterbangan ke beberapa penjuru. Tak ada bangunan lain yang berdiri selain bangunan yang terbakar tersebut. Jeritan perempuan, laki-laki setengah baya, dan jeritan kesakitan anak laki-laki.

"Apa kalian tega membiarkannya?" Seorang perempuan muda berkerudung tampak panik luar biasa berusaha mendekati bangunan yang terbakar. Seorang laki-laki tinggi besar mengadangnya.

"Siapa yang lebih tega? Kami atau para pemuja iblis itu?" Laki-laki itu menarik tangan gadis tersebut lantas mendorongnya hingga terjerambab, jatuh.

"Biarkan mereka mampus! Itulah karmanya," lanjut laki-laki itu dengan mata mendelik.

Bangunan itu terus membara. Jeritan itu mulai menghilang berganti dengan gemuruh bangunan yang tampaknya akan segera roboh, lantak ke tanah.

Mereka betepuk tangan dan bersorak-sorai.

"Akhirnya...."

"Kau dengar sesuatu?" Jari Naomi yang sedang berada di atas tombol keyword-nya, mengetik, tiba-tiba berhenti. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan pendengarannya. Beberapa saat ia menelengkan telinganya untuk memastikan bahwa suara itu benar adanya.

Albert yang duduk di sebelahnya ikut menelengkan telinga. "Dengar apa?"

"Sssttt!" Naomi menempelkan jari telunjuknya di atas bibir. "Jeritan. Bukan, bukan. Teriakan. Tapi, lebih mirip rintihan."

Albert menatap Naomi dengan banyak kebingungan. Selama ia mengenal Naomi, hal seperti ini memang kerap terjadi. Naomi sering berlaku aneh: melihat sosok asing sementara orang lain tidak, mendengar jeritan padahal orang lain tidak mendengar, terkadang ia terlihat seolah berbicara dengan seseorang yang tak kasat mata. Bagiku ini horor.

"Apakah semua penulis cerita horor kelakuannya seperti kamu?" Dalam bisik, Albert mencoba bertanya.

Tidak ada jawaban kecuali pergerakan Naomi yang mendekati bingkai jendela.

"Aku mendengarnya dengan sangat jelas. Rintihan perempuan," ucap Naomi.

Albert mendesah. "Mulai lagi."

"Bisa bantu aku?"

"Tidak untuk kali ini, Naomi."

"Ah!" Naomi sedikit kecewa.

Rintihan yang dimaksud oleh Naomi sama sekali tidak bisa didengar oleh Albert. Sementara Naomi kembali ke meja kerjanya, Albert masih terdiam pada posisinya semula.

"Kamu bikin aku paranoid," ujar Albert.

"Aku tidak mengada-ada. Sumpah! Aku mendengarnya dengan sangat jelas."

Albert menghela napas panjang. Lagi-lagi ia merasakan bahwa kekasihnya bertindak aneh.

"Aku yakin kamu butuh liburan, Naomi."

"Naskah ini sudah harus selesai minggu ini."

"Sudah kuduga kamu akan menolaknya."

"Bukan menolak. Tapi, menangguhkan. Kau saja yang tidak memahaminya," jelas Naomi.

Naomi melanjutkan pekerjaannya. Perihal suara yang didengarnya tadi, coba ia abaikan. Fokusnya kembali kepada naskah di layar laptop-nya.

"Labuan Bajo jauh lebih menarik dibanding naskah konyolmu itu." Sepertinya Albert mulai jengah.

Naomi menghentikan ketikannya. Ia menoleh. "Maksudmu apa?"

"Naskah sialanmu adalah segalanya!" Ucapan Albert mulai meninggi.

"Keluar atau aku banting!" Emosi Naomi tersulut. Ia tampak murka.

"Dengan senang hati," jawab Albert dengan wajah ketus. Ia keluar lantas membanting pintu dengan keras.

"Naomi... Naomi."

Naomi menoleh resah. Suara yang memanggil namanya terdengar jelas di belakangnya. Kosong. Bukankah Albert sudah pergi beberapa menit lalu?

"Naomi... Naomi...."

Suara itu terdengar kembali.

Begitu dekat. Serak dan dalam.

Bruuukkk!!!

Suara benda yang jatuh dari atas ketinggian terdengar nyaring dari arah luar. Naomi tersentak kaget. Ia melonjak menuju bingkai jendela dan menyibak tirainya.

Dari cara mereka berjalan, aku sudah bisa memastikan bahwa mereka tampak kelelahan. Keringat yang mengalir deras dari tubuh mereka seakan mengindikasikan jauhnya perjalanan. Udara malam yang mencucuk tidak serta merta membuat mereka kedinginan. Justru sebaliknya.

Mereka terdiri dua orang dewasa; laki-laki dan perempuan, juga seorang anak kecil: laki-laki.

"Salah kita apa, Papa?" Di dalam pelukan bapaknya, sang anak bertanya penasaran. Sang bapak tidak langsung menjawabnya. Ia mengatur dahulu deru napasnya yang memburu.

"Entahlah, Nak," jawab sang bapak.

Dalam situasi genting seperti ini tak ada yang bisa dijelaskan selain berlari secepat yang mereka bisa. Sang ibu yang sangat kelelahan tampak murung, kilat matanya seolah mengabur dan kehilangan harapan lagi.

"Aku sudah tak kuat lagi, Pa," rutuknya.

RIWAYAT SI BATU

Dahulu kala, di daerah Anyer, terdapat sebuah kerajaan besar. Raja dan permaisuri kerajaan itu tidak disukai oleh rakyat.

Sang raja sangat kejam, sedangkan permaisuri amat suka menghambur-hamburkan uang. Raja membebankan pajak yang sangat tinggi kepada rakyatnya. Uang hasil pajak ini digunakan oleh permasuri untuk berpesta. Permaisuri membeli beraneka macam pakaian mahal dan emas permata.

Pada suatu hari, raja dan permasuri mengadakan pesta besar di kebun istana. Para orang kaya dan pembesar kerajaan hadir. Mereka berpesta penuh sukacita. Saat sedang asyik makan dan minum, muncullah seorang lelaki tua.

Pakaian lelaki tua itu sangat kotor dan penuh tambahan. Tak seorang pun mengetahui dari mana asal lelaki itu. Lelaki tua itu mendatangi setiap meja. Ia meminta makanan. Akan tetapi, tak seorang pun yang memberi. 

Raja memerintahkan para pengawal untuk mengusir lelaki tua itu.

"Yang Mulia," ratap lelaki tua itu, "Kasihanilah hamba. Hamba yang renta ini sudah beberapa hari tak mendapat makanan."

Permaisuri kesal. "Enyahlah kau orang tua bau!" ujarnya penuh kemarahan, "kau sungguh tak pantas berada di sini! Pesta ini hanya untuk orang-orang kaya dan pembesar kerjaan!"

"Usir dia!" seru Raja.

Para pengawal menyeret lelaki tua itu dengan kasar. Lelaki tua itu meronta-ronta. Raja, permaisuri, dan para tamu menertawakannya.

Whuuuush!

Tiba-tiba, angin bertiup dengan kencang. Kemudian, suara petir menggelegar dan memekakkan telinga. Cahaya terang menyusul suara petir itu.

Ploop!

Tiba-tiba, lelaki tua itu lenyap. Sebagai gantinya, di tempatnya berdiri, tampaklah seorang lelaki penuh wibawa. Ia adalah Dewa Indra.

"Kalian sungguh tak berperikemanusiaan!" kata Dewa Indra.

"Kalian sangat kejam! Kalian tak punya perasaan!"

Dewa Indra bertepuk. Seketika, keadaan pun gelap. Ketika kembali terang, Raja, permaisuri, dan semua orang yang hadir di pesta itu tak tampak lagi. Begitupun dengan bangun istana; yang tampak hanya batu-batu berbentuk manusia yang bertebaran di sana-sini. 

"Inilah hukuman untuk manusia-manusia yang tak berperasaan!" kata Dewa Indra.

Ribuan tahun berlalu. Batu-batu itu masih tetap ada. Akan tetapi, batu-batu itu tak lagi berbentuk manusia melainkan hanya berupa batu-batu besar. Orang menamakan tempat itu dengan nama "Sibatu".


Karya: Endang Firdausi

KABAR UNTUK IBU

....

Pukul 7.30 malam aku telah menunggu di lobby Tuscany berkali-kali pandanganku kulempar ke sekeliling kalau-kalau Harun ada di sana. Pukul delapan malam masih belum ada tanda-tanda Harun bertugas. Perasaan khawatir mulai merayap. Pukul delapan lewat lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, dan tiga puluh. Aku menarik nafas. Perasaan kecewa yang membebaniku terlalu berat untuk kusandang.

Ketika itulah kudengar seseorang mendehem.

"Anda mencari saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris sempurna dengan aksen Amerika. Aku berpaling. Suara itu masih tetap seperti dulu. Wajah itu masih tetap bersih, jernih dan penuh optimisme. Ah. Kami saling mendeap. Lama sekali.

"Mengapa tidak memberi kabar?"

"Keberangkatanku tiba-tiba, menggantikan teman yang berhalangan."

Ia menepuk-nepuk pundakku memegang bahuku dan mengajakku ke kamar kerjanya.

"Danus, rasanya seperti mimpi," ujarnya begitu kami duduk di kamarnya berhadapan.

"Alhamdulillah, doaku terkabul," sahutku. "Kau tidak bermimpi David, eh, Harun."
Ia tersenyum.

"Adikku yang dulu sering kukibuli, kini datang sebagai wartawan, lalu memanggilku David," katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.

Keakraban yang dulu kembali kami rasakan di ruangan itu. Pebicaraan pun meluncur deras. Ia banyak sekali bertanya tentang ibu dan tentang semua teman-teman lamanya. Aku menjawab sedapatku. Tetapi wajah cerah yang jernih itu tiba-tiba disergap kabut begitu aku mengajukan pertanyaanku.

"Begitu kudengar paman meninggal sebenarnya aku ingin pulang. Aku tahu tidak ada lagi orang yang akan membiayai kuliahku. Tekadku untuk pulang besar sekali. Tapi begitu aku teringat padamu dan pada ibu, tekad itu meleleh begitu saja. Ayah menginginkan salah seorang dari anaknya yang cuma dua orang itu sukses dalam hidup. Kalau aku pulang berarti aku kembali sebagai orang yang gagal. Setelah ayah meninggal, paman mencoba mewujudkan keinginan ayah itu. Tapi setelah itu paman pula yang menyusulkan sebelum kuliahku selesai."

Tatapannya yang tajam menikam itu mencoba memberikan pengertian. Aku menunduk. Mencoba mengerti dan mencoba untuk tidak menuduh.

"Aku memang berhenti kuliah, tetapi tidak pulang. Aku bekerja di restoran, menjadi supir taksi dan kuli bangunan. Malam hari kulanjutkan kuliahku hingga selesai."

Suaranya lirih dan menusuk pedih. Ah, Harun saudaraku yang kusayangi.

"Setelah itu barulah aku mendapat kerja yang layak di sebuah toko serba ada. Bertahun-tahun aku di sana. Aku menikah dengan salah seorang gadis yang bekerja di sana. Ah, kurasa semua yang kualami di sini telah kuceritakan dalam surat-suratku kepadamu. Barangkali tidak ada lagi yang perlu kau ketahui. Semuanya telah terungkap dalam surat-surat yang kukirimkan kepadamu."

"Tidak tidak semua jelas untuk Ibu. Aku tidak menceritakan betapa kau kerja keras sebagai kuli bangunan dan supir taksi di bawah kangkangan kota yang buas ini. Aku hanya mangatakan ada seseorang yang berbaik hati dan ada yayasan yang memantu kuliahmu hingga selesai. Lalu ketika kau tidak juga pulang, aku mengatakan kepada ibu kau harus menyelesaikan dulu kontrak kerjamu baru dapat pulang. Mulanya Ibu percaya, karena ia memang tidak dapat membaca surat-suratmu yang selalu kau tulis dalam bahasa Inggris itu."

Wajah di depanku itu seakan dihantam dosa yang tidak kenal ampun. Mungkinkah ia menyesal? Mungkinkah ia merasa bersalah?

"Belakangan Ibu sering bertanya mengapa kau tidak juga pulang. Aku terpaksa mencari-cari jawaban yang masuk akal. Berkali-kali Harun. Ibu akhirnya tidak bertanya lagi. Mungkin ia telah maklum. Betapa pun rendah pendidikannya, betapa pun sederhana cara berpikirnya kurasa ia telah memahami skenario yang kita susun bersama. Ketika Ibu tidak bertanya lagi tentang kau, justru aku yang bertanya mengapa ia tidak pernah bertanya lagi tentang anaknya yang jauh di seberang."

"Lalu apa jawab Ibu?" Harun mendesak.

"Ah, Ibu kita yang bijaksana, Ibu yang mulia itu cuma berkata, 'kan setiap kali suratnya datang ia tetap menyampaikan sembah sujudnya. Apa lagi yang kuharapkan dari seorang anak kalau bukan cintanya yang tidak pernah luntur itu. Aku merasa berdosa, Harum. Kita telah mempermainkan Ibu."

Harun menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

....


Karya: Sori Siregar

MISTERI HANTU DI SEKOLAHKU

Sepasang sahabat, yaitu Risa dan Vinny duduk di teras sekolah. Mereka tertawa, menangis dan tersenyum bersama di sekolah tersebut. Risa dan Vinny yang duduk sebangku di kelas 5B tak pernah takut dengan apapun.

Konon, sekolah tersebut penuh dengan puluhan jenis hantu, karena sekolah tersebut merupakan rumah sakit pada zaman penjajahan Belanda.

Beberapa siswa kelas 6 yang akan lulus tewas dengan wajah yang hancur. Ya, Risa dan Vinny sudah lama mengetahui hal itu, tetapi mereka tidak percaya.

“Memangnya kamu percaya kalau ada hantu di sekolah ini?” Kata Vinny.

“Kamu percaya? Aku sih gak, jangan percaya gitu-gituan deh!” Jawab Risa.

“Tapi..Ris”.

“Udah deh, Vin. Malas aku ngomongin hal gak penting” Kata Risa dengan nada marah.

Pada malam hari, Risa yang tak percaya dengan hantu nekat mendatangi sekolahnya. “Woiii..Hantu!! Sini kalian, aku berani kok sama kalian, aku kan pemberani.. Cepat kesini!” Teriak Risa.

Tiba-tiba, ia merasakan makhluk halus datang padanya. Samar-samar, ia mendengar suara berbunyi “Risaaa… kamu akan mati”.

“Papaaa… Mamaaa… tolong aku!!” Risa menangis ketakutan.

Risa pun berlari ke arah rumahnya. Dengan muka yang memerah seperti udang rebus, ayah Risa memeluk Risa dan berkata “Risa, kenapa kamu pulang jam segini? Dan kenapa kamu menangis seperti ini?”.

“Papa, aku takut. Aku tidak mau lagi bersekolah disana lagi. Disana banyak hantunya” Jawab Risa yang mengelap air matanya.

“Ya sudah, kamu mandi dulu habis itu kamu tidur. Jangan lupa berdoa..”. Kata Papa Risa.

Esok harinya, Risa pun bersekolah kembali dengan ceria. Ia berjanji, ia tidak akan menggangu hantu di sekolahnya


Karya: Priskilla Verdina

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK