Jika ini menjadi takbir terakhir,
Izinkan aku mengucap permintaan maafku.
Yang belum dapat mewujudkan kebahagiaan untuk kalian yang kucintai …
Jika ini menjadi takbir terakhir,
Ijinkan aku mengucap sampai jumpa …
Tahukah bahwa cinta karena Allah tak akan memisahkan kita …
Semoga kita bertemu di jannah-Nya …
Parkiran toko toko baju, mall dan pasar terlihat padat. Euforia lebaran terasa begitu kentara mengingat hari raya idul fitri akan segera tiba. Laki laki paruh baya itu hanya bisa menahan hasratnya untuk ikut berbaur dengan masyarakat kota lain yang sedang suka cita menyambut lebaran.
Laki laki itu terus mengayuh becak tuanya dengan sisa tenaga. Menepis godaan hatinya yang terbayang membelikan baju baru untuk anak istrinya. Ia berusaha melupakan hasrat tadi dengan membayangkan sampai rumah dan melihat kolak pisang buatan istrinya untuk berbuka puasa. Maklum saja hari ini spesial, ibu mertuanya dari kampung tadi datang dengan membawa hasil kebun. Pastinya istrinya yang pintar masak itu akan mengolah bahan bahan itu dengan suka cita.
“Assalamu’alaikum … ” ucapnya memasuki pelataran rumah. Ia menyongsong ke dapur menyalami ibu mertua dan istrinya.
“Ibu, kapan tiba? Si rahmat mengantar ibu tadi?” tanyanya. Rahmat adalah adik istrinya di kampung. Ibu menggeleng.
“Enggak. Tadi ibu dari stasiun naek angkot turun depan gang sono.” jawab mertuanya.
“Lho, kenapa ratih nggak ngomong sama saya buat jemput ibu? Gang kan jauh bu … Apalagi bawaan ibu berat”.
Istrinya langsung menyela. “Ya kalo tadi ibu nggak bilang mendadak kalo kereta apinya telat, aku bisa nyuruh kamu mas. Waktunya jemput bisa dikira-kira … Aku kan nggak tega mas kalo bilangnya mendadak. Ibu bisa nunggu kamu kelamaan di stasiun sendirian.”
Ibu menoleh dengan muka bingung. “Lho, kenapa harus kelamaan? Jadi kamu tadi sengaja toh Rat gak nyuruh Herman jemput ibu? Kamu ya yang tega sama ibu naek angkot sendirian?”
Ratih dan suaminya saling berpandangan sesaat, tatapannya menghunus sinis pada herman. “Motornya dijual buat nguliahin Vela buk. Kita punyanya becak sama sepeda mini si Upik aja itu. Itulah juga alasan saya gak bisa pulang kampung tahun ini, karena kami nggak ada duit buk. Ibu mau nungguin Herman selesei narik becak?”
Si ibu hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, istighfar. Sedangkan Herman hanya terdiam menghadapi emosi istrinya, sejak kemarin-kemarin memang mereka sedang tegang akibat kondisi ekonomi yang sedang membelit.
—
“Jangan Vela,” cegah herman saat anaknya mau membanting celengan ayamnya.
“Biarkan pak. Toh cuma diambil sedikit buat beliin baju adek aja kok.” Vela menatap bapaknya dengan seulas senyum yang dipaksa. Si bapak hanya memegang pundaknya.
“Meskipun cuma sedikit, kalau buat adikmu saja bapak udah nyisihin duit.” jelas Herman menatap anaknya lekat, dirogohnya saku lantas memberi selembar uang seratusan ribu pada anaknya.
“Sana antar adikmu ke pasar biar dia gak rewel lagi. Bapak rasa uang segitu cukup. Uang kamu, kamu pakai sendiri. Kebutuhan kamu di depan masih panjang, nak.”
Vela menatap nanar bapaknya, senyum mengembang di wajah pria paruh baya itu.
“Maafin Vela ya pak … Gara-gara Vela …” ratapnya namun langsung dihentikan oleh sang bapak.
“Justru bapak yang harus minta maaf. Bapak cuma bisa bantu di awal aja. Selanjutnya kamu berusaha sendiri. Seharusnya sebagai orangtua bapak membiyai kamu sampai akhir.” sesal Herman.
Vela beringsut memeluk tubuh sang bapak. Air matanya membanjiri baju koko putih itu.
Betapa mirisnya hati Herman memikirkan anak sulungnya itu. Vela gadis pintar dan memiliki impian besar, ia tidak mungkin menyurutkan semangat anaknya untuk meneruskan impiannya. Untunglah kakaknya yang di Surabaya mau berbaik hati ikut membiayai Vela, meskipun dengan imbalan Vela mau ikut tinggal di rumah besar itu dan membantu budhenya. Herman hanya mampu membantu memberangkatkan Vela. Itu pun ia harus menjual motor, perhiasan dan tabungan keluarga. Mereka sadar, biaya pendidikan di kedokteran tidak murah.
Gema takbir idul fitri menggema di setiap sudut bumi. Menyusup ke dalam relung jiwa insan yang merindukan kemenangan tiba. Upik yang masih kecil sangat bersemangat memasukkan kue-kue lebaran ke dalam stoples bersama kakak dan neneknya. Herman dan istrinya ada dalam kamar, membicarakan sesuatu.
“… Kita nggak punya apa-apa bang. Tahun ini kita nggak bisa ngasih angpau ke keponakan-keponakan kita …” tutur Ratih sambil memelas. Dilipatnya tangan di depan dada sambil kepalanya bersandar di tembok.
Herman menggenggam tangannya lembut. “Sabar Rat, toh kita masih bisa sama-sama kumpul merayakan hari kemenangan, yang penting anak bisa sekolah, bukankah itu impian kita juga?”
Ratih mendongak. “Bang, maafkan saya. Jika saja kita dulu bukan karena bangkrut, kita tidak perlu sampai mengemis sama bang Herna nitipin si Vela …”
“Hushh.” Herman menatap tajam istrinya. “Kehendak bang Herna sendiri yang udah lama pengen punya anak. Tahu Vela mau nerusin sekolah di Surabaya, dia antusias bantu kita. Lagipula mbak Ani juga udah lama pengen bawa salah satu dari anak kita. Kita harusnya bersyukur Rat, di tengah kesulitan kita Allah masih ngebantu kita. Bisa nggak kamu bayangin, Vela udah diterima di Kedokteran dengan perjuangan keras akhirnya nggak jadi cuma karena masalah biaya. Pikirkan itu Rat. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?”
Ratih semakin berurai air mata.
“Ketahuilah, Rat. Penderitaan ini nggak ada artinya jika dibandingkan dengan kebahagiaan di belakang hari. Percayalah, kita berjuang bersama-sama demi anak-anak kita. Investasi kita di akhirat nanti. Jika kita mendidik mereka dengan baik, Insya Allah mereka akan menjadi penolong kita menuju surga …” jelas Herman seraya memeluk istrinya. Cinta mereka yang begitu besar mengokohkan keyakinan itu. Bahwa mereka bisa melalui semua rintangan itu.
“Saya bahagia memiliki kamu, mas … Maafkan saya kemarin-kemarin belum bisa berdamai dengan keadaan ini.” sesal Ratih.
Herman mengecup kening Ratih lembut. Mungkin dengan cara sesederhana itu ia menunjukkan cintanya yang begitu besar untuk istrinya.
Idul fitri mereka lalui dalam kesederhanaan namun sangat menyentuh. Bagi Vela itu merupakan momen yang paling membahagiakan sebelum ia berangkat ke Surabaya.
Waktu meninggalkan kota tercinta tiba. Vela diantar bapaknya dengan kereta. Sepanjang perjalanan bapak banyak memberi petuah.
“Istiqomahkan hafalanmu Vel. Jangan cuma menjadikan hafalanmu untuk gacoan dapet biaya tahfidz itu, habis itu hafalan itu hilang … Ingat itu,” pesan bapak.
Vela mengangguk. “Insya Allah, pak.”
“Bapak ingin, meskipun kamu berusaha meraih duniamu, tapi jangan lupakan akhiratmu. Bapak ingin di akhirat nanti, anak-anak bapak dan juga jadi penolong kami ke surgaNya …”
“Doakan Vela, pak. InsyaAllah Vela nggak akan melupakan hal itu.”
Akhirnya mereka sampai di Surabaya disambut Herna dan istrinya dengan luapan suka cita. Tak lama, Herman ingin segera berpamitan pulang.
“Kok buru-buru kenapa sih Her? Baru juga kemarin. Ayolah kita jalan-jalan mumpung di Surabaya.” tawar Herna di saat minum kopi bersama di beranda depan.
“Nggak lah mas. Saya punya tanggungan di rumah. Ratih pasti menunggu saya.”
“Alhah, kalau begitu kenapa nggak ajak sekalian istrimu dan si upik kemarin … Kalian kan sudah lama nggak ke sini …”
Herman tetap kekeuh untuk cepat pulang, meskipun Vela sendiri sangat keberatan berpisah dari bapaknya. Namun tak urung jua hari itu dia segera berpamitan. Diulang-ulangnya pesan untuk Vela sebelum pergi. Sampai berjam-jam kemudian, sebuah stasiun TV lokal mengabarkan tentang kecelakaan bus yang ditumpangi Herman. Dan naasnya, laki-laki paruh baya itu adalah salah satu korban tewasnya.
Sepuluh tahun kemudian …
Sama seperti tahun tahun sebelumnya, mereka sekeluarga mengunjungi pusara itu.
Hujan rintik mewarnai acara ziarah, dengan suami Vela sebagai imam doa. Upik, ibu, dan Vela berusaha menghalau air mata.
Sepuluh tahun memang sudah berlalu. Mereka sudah beranjak dewasa. Namun kenangan bapak, perjuangannya dan kasih sayang tak akan lekang oleh waktu. Impiannya sederhana, ia hanya ingin anak-anaknya menjadi orang yang beruntung dan seluruh keluarganya menjadi penghuni jannahNya jika waktu itu tiba.
Apalah arti hidup yang sesaat ini. Jika kita tak memiliki bekal di akhirat? Vela dan upik berusaha mewujudkan impian orangtua mereka. Juga tak putus mendoakan kedua orangtua mereka, berharap mereka semua akan berkumpul lagi di jannahNya.
Karya: Khoirun Nisa
Izinkan aku mengucap permintaan maafku.
Yang belum dapat mewujudkan kebahagiaan untuk kalian yang kucintai …
Jika ini menjadi takbir terakhir,
Ijinkan aku mengucap sampai jumpa …
Tahukah bahwa cinta karena Allah tak akan memisahkan kita …
Semoga kita bertemu di jannah-Nya …
Parkiran toko toko baju, mall dan pasar terlihat padat. Euforia lebaran terasa begitu kentara mengingat hari raya idul fitri akan segera tiba. Laki laki paruh baya itu hanya bisa menahan hasratnya untuk ikut berbaur dengan masyarakat kota lain yang sedang suka cita menyambut lebaran.
Laki laki itu terus mengayuh becak tuanya dengan sisa tenaga. Menepis godaan hatinya yang terbayang membelikan baju baru untuk anak istrinya. Ia berusaha melupakan hasrat tadi dengan membayangkan sampai rumah dan melihat kolak pisang buatan istrinya untuk berbuka puasa. Maklum saja hari ini spesial, ibu mertuanya dari kampung tadi datang dengan membawa hasil kebun. Pastinya istrinya yang pintar masak itu akan mengolah bahan bahan itu dengan suka cita.
“Assalamu’alaikum … ” ucapnya memasuki pelataran rumah. Ia menyongsong ke dapur menyalami ibu mertua dan istrinya.
“Ibu, kapan tiba? Si rahmat mengantar ibu tadi?” tanyanya. Rahmat adalah adik istrinya di kampung. Ibu menggeleng.
“Enggak. Tadi ibu dari stasiun naek angkot turun depan gang sono.” jawab mertuanya.
“Lho, kenapa ratih nggak ngomong sama saya buat jemput ibu? Gang kan jauh bu … Apalagi bawaan ibu berat”.
Istrinya langsung menyela. “Ya kalo tadi ibu nggak bilang mendadak kalo kereta apinya telat, aku bisa nyuruh kamu mas. Waktunya jemput bisa dikira-kira … Aku kan nggak tega mas kalo bilangnya mendadak. Ibu bisa nunggu kamu kelamaan di stasiun sendirian.”
Ibu menoleh dengan muka bingung. “Lho, kenapa harus kelamaan? Jadi kamu tadi sengaja toh Rat gak nyuruh Herman jemput ibu? Kamu ya yang tega sama ibu naek angkot sendirian?”
Ratih dan suaminya saling berpandangan sesaat, tatapannya menghunus sinis pada herman. “Motornya dijual buat nguliahin Vela buk. Kita punyanya becak sama sepeda mini si Upik aja itu. Itulah juga alasan saya gak bisa pulang kampung tahun ini, karena kami nggak ada duit buk. Ibu mau nungguin Herman selesei narik becak?”
Si ibu hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada, istighfar. Sedangkan Herman hanya terdiam menghadapi emosi istrinya, sejak kemarin-kemarin memang mereka sedang tegang akibat kondisi ekonomi yang sedang membelit.
—
“Jangan Vela,” cegah herman saat anaknya mau membanting celengan ayamnya.
“Biarkan pak. Toh cuma diambil sedikit buat beliin baju adek aja kok.” Vela menatap bapaknya dengan seulas senyum yang dipaksa. Si bapak hanya memegang pundaknya.
“Meskipun cuma sedikit, kalau buat adikmu saja bapak udah nyisihin duit.” jelas Herman menatap anaknya lekat, dirogohnya saku lantas memberi selembar uang seratusan ribu pada anaknya.
“Sana antar adikmu ke pasar biar dia gak rewel lagi. Bapak rasa uang segitu cukup. Uang kamu, kamu pakai sendiri. Kebutuhan kamu di depan masih panjang, nak.”
Vela menatap nanar bapaknya, senyum mengembang di wajah pria paruh baya itu.
“Maafin Vela ya pak … Gara-gara Vela …” ratapnya namun langsung dihentikan oleh sang bapak.
“Justru bapak yang harus minta maaf. Bapak cuma bisa bantu di awal aja. Selanjutnya kamu berusaha sendiri. Seharusnya sebagai orangtua bapak membiyai kamu sampai akhir.” sesal Herman.
Vela beringsut memeluk tubuh sang bapak. Air matanya membanjiri baju koko putih itu.
Betapa mirisnya hati Herman memikirkan anak sulungnya itu. Vela gadis pintar dan memiliki impian besar, ia tidak mungkin menyurutkan semangat anaknya untuk meneruskan impiannya. Untunglah kakaknya yang di Surabaya mau berbaik hati ikut membiayai Vela, meskipun dengan imbalan Vela mau ikut tinggal di rumah besar itu dan membantu budhenya. Herman hanya mampu membantu memberangkatkan Vela. Itu pun ia harus menjual motor, perhiasan dan tabungan keluarga. Mereka sadar, biaya pendidikan di kedokteran tidak murah.
Gema takbir idul fitri menggema di setiap sudut bumi. Menyusup ke dalam relung jiwa insan yang merindukan kemenangan tiba. Upik yang masih kecil sangat bersemangat memasukkan kue-kue lebaran ke dalam stoples bersama kakak dan neneknya. Herman dan istrinya ada dalam kamar, membicarakan sesuatu.
“… Kita nggak punya apa-apa bang. Tahun ini kita nggak bisa ngasih angpau ke keponakan-keponakan kita …” tutur Ratih sambil memelas. Dilipatnya tangan di depan dada sambil kepalanya bersandar di tembok.
Herman menggenggam tangannya lembut. “Sabar Rat, toh kita masih bisa sama-sama kumpul merayakan hari kemenangan, yang penting anak bisa sekolah, bukankah itu impian kita juga?”
Ratih mendongak. “Bang, maafkan saya. Jika saja kita dulu bukan karena bangkrut, kita tidak perlu sampai mengemis sama bang Herna nitipin si Vela …”
“Hushh.” Herman menatap tajam istrinya. “Kehendak bang Herna sendiri yang udah lama pengen punya anak. Tahu Vela mau nerusin sekolah di Surabaya, dia antusias bantu kita. Lagipula mbak Ani juga udah lama pengen bawa salah satu dari anak kita. Kita harusnya bersyukur Rat, di tengah kesulitan kita Allah masih ngebantu kita. Bisa nggak kamu bayangin, Vela udah diterima di Kedokteran dengan perjuangan keras akhirnya nggak jadi cuma karena masalah biaya. Pikirkan itu Rat. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?”
Ratih semakin berurai air mata.
“Ketahuilah, Rat. Penderitaan ini nggak ada artinya jika dibandingkan dengan kebahagiaan di belakang hari. Percayalah, kita berjuang bersama-sama demi anak-anak kita. Investasi kita di akhirat nanti. Jika kita mendidik mereka dengan baik, Insya Allah mereka akan menjadi penolong kita menuju surga …” jelas Herman seraya memeluk istrinya. Cinta mereka yang begitu besar mengokohkan keyakinan itu. Bahwa mereka bisa melalui semua rintangan itu.
“Saya bahagia memiliki kamu, mas … Maafkan saya kemarin-kemarin belum bisa berdamai dengan keadaan ini.” sesal Ratih.
Herman mengecup kening Ratih lembut. Mungkin dengan cara sesederhana itu ia menunjukkan cintanya yang begitu besar untuk istrinya.
Idul fitri mereka lalui dalam kesederhanaan namun sangat menyentuh. Bagi Vela itu merupakan momen yang paling membahagiakan sebelum ia berangkat ke Surabaya.
Waktu meninggalkan kota tercinta tiba. Vela diantar bapaknya dengan kereta. Sepanjang perjalanan bapak banyak memberi petuah.
“Istiqomahkan hafalanmu Vel. Jangan cuma menjadikan hafalanmu untuk gacoan dapet biaya tahfidz itu, habis itu hafalan itu hilang … Ingat itu,” pesan bapak.
Vela mengangguk. “Insya Allah, pak.”
“Bapak ingin, meskipun kamu berusaha meraih duniamu, tapi jangan lupakan akhiratmu. Bapak ingin di akhirat nanti, anak-anak bapak dan juga jadi penolong kami ke surgaNya …”
“Doakan Vela, pak. InsyaAllah Vela nggak akan melupakan hal itu.”
Akhirnya mereka sampai di Surabaya disambut Herna dan istrinya dengan luapan suka cita. Tak lama, Herman ingin segera berpamitan pulang.
“Kok buru-buru kenapa sih Her? Baru juga kemarin. Ayolah kita jalan-jalan mumpung di Surabaya.” tawar Herna di saat minum kopi bersama di beranda depan.
“Nggak lah mas. Saya punya tanggungan di rumah. Ratih pasti menunggu saya.”
“Alhah, kalau begitu kenapa nggak ajak sekalian istrimu dan si upik kemarin … Kalian kan sudah lama nggak ke sini …”
Herman tetap kekeuh untuk cepat pulang, meskipun Vela sendiri sangat keberatan berpisah dari bapaknya. Namun tak urung jua hari itu dia segera berpamitan. Diulang-ulangnya pesan untuk Vela sebelum pergi. Sampai berjam-jam kemudian, sebuah stasiun TV lokal mengabarkan tentang kecelakaan bus yang ditumpangi Herman. Dan naasnya, laki-laki paruh baya itu adalah salah satu korban tewasnya.
Sepuluh tahun kemudian …
Sama seperti tahun tahun sebelumnya, mereka sekeluarga mengunjungi pusara itu.
Hujan rintik mewarnai acara ziarah, dengan suami Vela sebagai imam doa. Upik, ibu, dan Vela berusaha menghalau air mata.
Sepuluh tahun memang sudah berlalu. Mereka sudah beranjak dewasa. Namun kenangan bapak, perjuangannya dan kasih sayang tak akan lekang oleh waktu. Impiannya sederhana, ia hanya ingin anak-anaknya menjadi orang yang beruntung dan seluruh keluarganya menjadi penghuni jannahNya jika waktu itu tiba.
Apalah arti hidup yang sesaat ini. Jika kita tak memiliki bekal di akhirat? Vela dan upik berusaha mewujudkan impian orangtua mereka. Juga tak putus mendoakan kedua orangtua mereka, berharap mereka semua akan berkumpul lagi di jannahNya.
Karya: Khoirun Nisa
No comments:
Post a Comment