Tentu semua orang ingin jadi istimewa. Termasuk “Dream”. Dia mungkin sesosok anak kecil, tapi Dream sebenarnya hanyalah mimpi yang tidak ingin menghilang, meskipun tak banyak orang yang tahu tentang dirinya.
“Aku tak ingin menghilang…Bagaimana aku bisa membuat orang memimpikan aku…?” gumam Dream.
Setelaha berpikir-berpikir dan berpikir, akhirnya Dream menemukan cara yang tepat.
“Aku akan mencari orang yang merasa sengsara dalam hidupnya, lalu membuatkan mereka sebuah dunia dimana mereka hidup bahagia. Tapi, kalau mereka membuat keburukan… Akan aku bunuh mereka, karena aku ingin menjadi mimpi yang baik” kata Dream, menghilang dari rumahnya untuk mencari orang-orang yang merasa sengsara dalam hidupnya.
Jadi orang yang berpangkat tinggi pasti sangat menyenangkan bagi orang-orang. Namun, tidak untuk Hayden Kirkland, bangsawan dari Cardiff, ibukota Wales. Dia merasa menjadi bangsawan itu menyusahkan hidupnya saja. Memang, banyak hal-hal yang membuatnya marah dan sedih. Karena itu, Hayden ingin kabur atau bunuh diri, tapi pelayan dan dayang-dayangnya selalu mengawasinya dengan ketat.
“Seharusnya tidak seperti ini… Ayah dan ibu meninggalkanku untuk hal yang tidak penting selama 15 tahun… Dan tersisa 6 tahun lagi… 6 TAHUN ITU MASIH LAMA!!!” teriak Hayden.
“KENAPA AYAH DAN IBU HARUS MENINGGALKAN AKU KETIKA UMURKU CUMA 3 TAHUN!!! MEREKA BENAR-BENAR TIDAK MENGINGINKAN AKU!!!” teriak Hayden lebih keras lagi.
“Kau merasa sengsara?” tanya seseorang.
“Huh? Siapa kau…?” tanya Hayden melihat sekeliling kamarnya.
“Hallo, Hayden Kirkland. Aku Dream, aku di belakangmu,” kata Dream.
Hayden pun menoleh ke belakangnnya.
“Dream… Artinya kan mimpi…?” kata Hayden bingung.
“Memang. Berapa umurmu?” tanya Dream.
“12 tahun. Kenapa?” tanya Hayden, sedikit membentak.
“Kau merasa tidak ada yang ingin kau hidup, kan? Bahkan berteriak seperti orang kesurupan. Di Wonderland, kau akan hidup bahagia,” kata Dream.
“Wonderland? Jangan bohong, aku tidak suka yang begitu-begitu,” kata Hayden melipat tangannya.
“Akan aku tunjukkan,” kata Dream, memegang punggung tangan Hayden.
“Ah!! Apa ini?! Sakit!!” teriak Hayden. Punggung tangannya seperti terbakar, dan terbentuklah daun waru berwarna merah.
“Selamat tidur~” kata Dream.
Hayden pun bangun. Sekelilingnya hanya hutan kosong. Tak ada siulan burung, tupai yang melompat, dan air mengalir.
“Akhirnya, kau kesini,” kata suara seorang anak kecil yang familiar.
“Ya… Kau menang,” kata Hayden.
“Baiklah… Karena kau disini, kau bisa membentuk sebuah dunia milikmu sendiri! Apapun yang kau inginkan, akan muncul,” kata Dream.
“Semuanya… Kalau begitu, tak ada hukumannya?” kata Hayden, dengan senyum sadis, sambil mengeluarkan pedang kesayangannya.
“Pasti ada. Hukuman” sebelum Dream menyelesaikan kalimatnya, Hayden sudah berlari.
“Aku harap dia tidak macam-macam…” kata Dream, mengejar Hayden.
Hayden memunculkan semua orang yang ia kenal, hanya untuk membunuhnya. Selagi orang yang ia bunuh berteriak, Hayden tertawa senang, sambil menusuk-nusuk mereka. Di belakangnya, banyak mayat kerabatnya yang mati, dengan darah yang membentuk jalur lurus. Hayden merasa seperti artis, dan orang-orang yang dilewatinya akan mati.
Dream pun merasa sedih apa yang dilakukan Hayden. Dia ingin mimpi indah, bukan yang buruk, dan Hayden membuat sesuatu yang mengerikan. Orang mati bergelimpangan dan bau darah membuat Dream tak enak. Karena sudah bertekad, Dream pun akan menghukum Hayden.
“Hayden,” kata Dream.
“Apa?” kata Hayden, dengan nada kejam sambil mengarahkan pedang belumuran darah ke Dream.
“Ikut aku,” kata Dream. Hayden meletakkan pedangnya.
Setelah sekian lama berjalan, Hayden dan Dream sampai di depan sebuah pintu dengan lambang daun waru.
“Masuklah. Banyak kerabatmu yang menunggu untuk kau bunuh,” kata Dream.
“Benarkah?” kata Hayden, mendekati pintu itu. Tidak ada apapun di dalamnya, jadi Hayden maju satu langkah ke depan.
“AAHHH!!!” Dream dengan cepat mendorong Hayden ke dalam pintu itu, dan menguncinya. Sebuah suara teriakan keras bisa terdengar, namun lama-lama menghilang.
“Hidup sang psikopat itu akan menjadi misteri. Aku sudah mendapatkan “Alice” yang pertama. Sekarang, yang kedua,” kata Dream, menghilang untuk mencari “orang kedua”.
Karya: Rahmania Alanadhanty
“Aku tak ingin menghilang…Bagaimana aku bisa membuat orang memimpikan aku…?” gumam Dream.
Setelaha berpikir-berpikir dan berpikir, akhirnya Dream menemukan cara yang tepat.
“Aku akan mencari orang yang merasa sengsara dalam hidupnya, lalu membuatkan mereka sebuah dunia dimana mereka hidup bahagia. Tapi, kalau mereka membuat keburukan… Akan aku bunuh mereka, karena aku ingin menjadi mimpi yang baik” kata Dream, menghilang dari rumahnya untuk mencari orang-orang yang merasa sengsara dalam hidupnya.
Jadi orang yang berpangkat tinggi pasti sangat menyenangkan bagi orang-orang. Namun, tidak untuk Hayden Kirkland, bangsawan dari Cardiff, ibukota Wales. Dia merasa menjadi bangsawan itu menyusahkan hidupnya saja. Memang, banyak hal-hal yang membuatnya marah dan sedih. Karena itu, Hayden ingin kabur atau bunuh diri, tapi pelayan dan dayang-dayangnya selalu mengawasinya dengan ketat.
“Seharusnya tidak seperti ini… Ayah dan ibu meninggalkanku untuk hal yang tidak penting selama 15 tahun… Dan tersisa 6 tahun lagi… 6 TAHUN ITU MASIH LAMA!!!” teriak Hayden.
“KENAPA AYAH DAN IBU HARUS MENINGGALKAN AKU KETIKA UMURKU CUMA 3 TAHUN!!! MEREKA BENAR-BENAR TIDAK MENGINGINKAN AKU!!!” teriak Hayden lebih keras lagi.
“Kau merasa sengsara?” tanya seseorang.
“Huh? Siapa kau…?” tanya Hayden melihat sekeliling kamarnya.
“Hallo, Hayden Kirkland. Aku Dream, aku di belakangmu,” kata Dream.
Hayden pun menoleh ke belakangnnya.
“Dream… Artinya kan mimpi…?” kata Hayden bingung.
“Memang. Berapa umurmu?” tanya Dream.
“12 tahun. Kenapa?” tanya Hayden, sedikit membentak.
“Kau merasa tidak ada yang ingin kau hidup, kan? Bahkan berteriak seperti orang kesurupan. Di Wonderland, kau akan hidup bahagia,” kata Dream.
“Wonderland? Jangan bohong, aku tidak suka yang begitu-begitu,” kata Hayden melipat tangannya.
“Akan aku tunjukkan,” kata Dream, memegang punggung tangan Hayden.
“Ah!! Apa ini?! Sakit!!” teriak Hayden. Punggung tangannya seperti terbakar, dan terbentuklah daun waru berwarna merah.
“Selamat tidur~” kata Dream.
Hayden pun bangun. Sekelilingnya hanya hutan kosong. Tak ada siulan burung, tupai yang melompat, dan air mengalir.
“Akhirnya, kau kesini,” kata suara seorang anak kecil yang familiar.
“Ya… Kau menang,” kata Hayden.
“Baiklah… Karena kau disini, kau bisa membentuk sebuah dunia milikmu sendiri! Apapun yang kau inginkan, akan muncul,” kata Dream.
“Semuanya… Kalau begitu, tak ada hukumannya?” kata Hayden, dengan senyum sadis, sambil mengeluarkan pedang kesayangannya.
“Pasti ada. Hukuman” sebelum Dream menyelesaikan kalimatnya, Hayden sudah berlari.
“Aku harap dia tidak macam-macam…” kata Dream, mengejar Hayden.
Hayden memunculkan semua orang yang ia kenal, hanya untuk membunuhnya. Selagi orang yang ia bunuh berteriak, Hayden tertawa senang, sambil menusuk-nusuk mereka. Di belakangnya, banyak mayat kerabatnya yang mati, dengan darah yang membentuk jalur lurus. Hayden merasa seperti artis, dan orang-orang yang dilewatinya akan mati.
Dream pun merasa sedih apa yang dilakukan Hayden. Dia ingin mimpi indah, bukan yang buruk, dan Hayden membuat sesuatu yang mengerikan. Orang mati bergelimpangan dan bau darah membuat Dream tak enak. Karena sudah bertekad, Dream pun akan menghukum Hayden.
“Hayden,” kata Dream.
“Apa?” kata Hayden, dengan nada kejam sambil mengarahkan pedang belumuran darah ke Dream.
“Ikut aku,” kata Dream. Hayden meletakkan pedangnya.
Setelah sekian lama berjalan, Hayden dan Dream sampai di depan sebuah pintu dengan lambang daun waru.
“Masuklah. Banyak kerabatmu yang menunggu untuk kau bunuh,” kata Dream.
“Benarkah?” kata Hayden, mendekati pintu itu. Tidak ada apapun di dalamnya, jadi Hayden maju satu langkah ke depan.
“AAHHH!!!” Dream dengan cepat mendorong Hayden ke dalam pintu itu, dan menguncinya. Sebuah suara teriakan keras bisa terdengar, namun lama-lama menghilang.
“Hidup sang psikopat itu akan menjadi misteri. Aku sudah mendapatkan “Alice” yang pertama. Sekarang, yang kedua,” kata Dream, menghilang untuk mencari “orang kedua”.
Karya: Rahmania Alanadhanty
No comments:
Post a Comment