Namaku Rendi Siregar, pemuda biasa yang hidupnya biasa-biasa saja. Hanya ada satu hal yang tidak biasa, saat aku melamun, waktu berlalu dengan cepat, bahkan mungkin terlalu cepat. Seperti kemarin, aku melamun dari hari senin, lalu tersadar di hari rabu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi ini nyata.
“Hai Ren, tumben kamu datang agak siang”, sapa Lia, nama lengkapnya Dahlia Puspa Mentari, teman sekelasku. “Ah itu, ada masalah teknis”, kataku menyipitkan mata seraya mengelus perutku. “Ha… ha… ha… kau ini”, ujar Lia tak mampu menahan tawanya. “Hei.. hei.. ada apa ini?”, tanya angga menghampiri kami. “Rendi.. hi. hi.. hi.. dia baru saja bersikap konyol”, Lia cekikikan. “Hei itu sesuatu yang manusiawi”, “iya, tapi caramu mengatakannya itu”. Angga hanya geleng-geleng kepala melihat kami.
Dahlia, entah sihir apa yang dipakainya. Tiap kali tersenyum, tubuhku gemetar lalu ada perasaan aneh dalam diriku. Mungkin ini yang disebut cinta atau karena lapar? Entahlah. Bukan aku saja yang menaruh hati padanya, Angga teman sekelasku tak jemu-jemu mendekatinya, tapi sepertinya Lia hanya menganggapnya teman saja. “Hei Ren, bisa kita bicara sebentar?”, ujar angga serius. Aku rasa dia mau bicara tentang Lia, dan semua orang tahu kalau dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tak peduli seperti apa caranya. “Menyerah saja, kau tidak akan mendapatkan Lia. Memang uang bukanlah segalanya, tapi butuh uang. Kau tidak akan bisa membahagiakannya, kau cuma yatim piatu yang hidup dari belas kasihan paman dan bibimu”, ujarnya tanpa basa-basi kemudian berlalu. Hatiku benar-benar sakit mendengarnya, tapi memang begitulah kenyataannya. Tanpa perlu mengatakannya pun aku tidak akan mendekati Lia, karena aku sadar dimana tempatku berada.
Aku mencoba untuk menerima semua kata kata itu, tapi yang kudapat hanya rasa sakit, ia menuntunku terlelap dalam linangan air mata.
“Ngh… sudah pagi ya?”, desahku kalu melirik jam tanganku. Aku terhenyak, kudapati tanganku berlumuran darah menggenggam pisau yang masih meneteskan darah. Seketika tubuhku menggigil, tanganku bergetar hebat. “Ap.. a… yang su.. dah… terja… di…? Huaaa…!!!”.
Hari ini aku putuskan untuk bolos sekolah, aku benar-benar shock dengan apa yang baru saja kualami. Aku menyalakan tv, mungkin menonton kartun bisa membuatku merasa lebih baik. Sedang asyik nonton kartun tiba-tiba ada breaking news, mengganggu saja.. batinku. Aku terbelalak, aku masuk dalam berita itu, parahnya ini berita pembunuhan. Tega sekali angga.. kenapa dia memfitnahku seperti ini… aku meneteskan air mata. Tunggu, korbannya adalah angga. Jadi bukan dia yang melakukan ini. “Berikut rekaman kamera pengawas”, tu..tunggu… orang yang ada di rekaman cctv itu… aku…
—
“Apa apaan ini semua ini? ti.. tidak mungkin aku yang… tidak! Ini tidak nyata.. semua ini hanya mimpi buruk iya kan? Aku hanya perlu bangun… lalu semua akan baik baik saja.. iya kan?”, aku benar-benar terguncang. “Hanya orang bodoh yang bicara dengan diri sendiri”, seseorang tiba-tiba bicara. “Aku pasti sudah gila, aku mendengar seseorang bicara, padahal hanya ada aku disini”, “hei mau kuhajar ya!”, aku menggeleng. “Sekarang dia berniat menghajarku, sepertinya aku harus segera ke rumah sakit ji… arrgh…sakit…”, seseorang menjambak rambutku, ternyata itu Lia. Dia memalingkan wajahnya, lalu tidak mau bicara denganku. “maafkan aku Lia, aku tidak tahu kalau kamu ada disini maaf. Tapi kenapa kamu kemari? Kamu bisa kena masalah”, “justru karena itu aku kemari”, jelasnya. Aku menyernyitkan dahi, dia tidak mengerti, kalau dia ada di dekatku, orang lain akan mengira kalau dia juga terlibat. “Aku yakin bukan kamu pelakunya”, “isi rekaman itu sudah jelas bukan?”, “tidak, orang sekonyol dirimu tidak akan sanggup membunuh, bahkan seekor nyamuk”. Aku terdiam, “ngiiing… plak..!”, “ini aku membunuh nyamuk”, kataku sambil tersenyum. “Buukk..!!!”, sebuah tinju mendarat di hidungku. “Berhenti bermain-main!! Kau tidak tahu seserius apa situasi saat ini! Kalau kau tidak bisa membuktikan dirimu tidak bersalah, mereka akan memenjarakanmu, kau tahu tidak!”, bentak Lia. “Mereka? Lia jangan bilang kalau kau…”, “dasar gadis bodoh! Kenapa kau beritahu dia sebelum dapat informasi”, bentak seseorang dari luar. “Maaf a..aku tidak sengaja..”, ujar lia terbata-bata. Pintu didobrak dari luar, lalu sekitar 8 polisi mengepung kami. “Cepat kemari!, sebelum dia menyakitimu” teriak sang komandan. “Tidak.! Dia tidak akan menyakitiku! Dia temanku”, “Lia, pergilah. Biar aku menyelesaikan ini sendiri”, “tapi…”, “pergilah Lia..!!”, bentakku seraya mendorong tubuhnya. Rendi tertunduk, lalu tertawa cekikikan. “Ha. ha… ha…!! Akhirnya si pemilik tubuh membuang raganya..!”, rendi tertawa. Aku benar-benar tidak mengerti, dia tidak terlihat seperti rendi yang kukenal. Dan lagi dia mengatakan “si pemilik tubuh”. Mungkinkah ini. “Kau bukan rendi!, Siapa kau sebenarnya!”, dia hanya tersenyum, “Namaku, Budiman sudarso!”,
Budiman Sudarso? Rasanya nama itu memiliki kesan yang sangat kuat, tapi apa?. Kulirik para polisi yang dari tadi terdiam, wajah mereka memucat lalu mundur teratur perlahan. “Mustahil, jangan katakan kalau kau adalah hantu bocah psikopat yang kami eksekusi 4 tahun lalu”, kata seorang polisi. Benar juga, itu adalah kasus pembunuhan paling menghebohkan yang pernah terjadi. Dikabarkan kalau dia sudah membunuh beberapa orang tanpa rasa bersalah, termasuk ayahnya sendiri. Tidak berhenti sampai disitu, dia juga memutilasi tubuh para korban, benar-benar sadis. Dia tersenyum simpul, “aku merasa tersanjung, ternyata kalian masih mengingatku”. Orang ini benar-benar gila, dia seolah merasa bangga dengan apa yang sudah dilakukannya. Rupanya benar dugaanku, rendi memiliki kepribadian ganda. Hanya saja aku tidak menyangka kalau “dirinya yang lain” adalah orang ini. “Cepat katakan, kenapa kau membunuh Angga!”, “oh, ternyata temanmu itu namanya Angga. Aku tidak punya masalah apapun dengannya, tapi temanmu ini punya”. Aku makin tidak mengerti, “katakan dengan jelas apa yang ingin kau katakan!”, “temanmu ini mencintaimu, tapi si angga itu meremehkan, bahkan menghinanya”. Aku tersentak, ternyata selama ini rendi… kalau saja dari dulu aku meyadarinya, semua ini tidak perlu terjadi. “Baiklah nona, karena kau punya dosa yang sama aku…”, dia tidak meneruskan kalimatnya. Dengan cepat ia melocat ke arahku, “akan membunuhmu!!”. Aku tak bisa bergerak, kakiku mati rasa, kurasa aku akan segera menyusul Angga. Tangannya hampir mencengkram leherku, “Dor..!”, sebuah peluru bersarang di perutnya, Ia tumbang seketika. Aku jatuh terduduk, tubuhku benar-benar lemas.
“Tempat apa ini?”, tanyaku pada diri sendiri. Aku berada dalam ruangan kosong yang gelap, hanya ada sedikit cahaya di tempatku berdiri. “Selamat datang di alam bawah sadarmu, Rendi”, suara seseorang tiba-tiba. Aku benar-benar ketakutan, aku bahkan tidak bisa membuka mulutku. Terdengar langkah seseorang menuju kemari, cahaya mulai menerangi tubuhnya, aku mulai bisa melihat wajahnya. Mustahil… wajahnya… persis denganku… Siapa dia ini sebenarnya? Kataku dalam hati. “Namaku Budiman Sudarso”, jawabnya tiba-tiba. “Hoi, aku bahkan belum bertanya”, dia tersenyum, “disini kita tidak perlu bicara untuk mengobrol, tidak perlu berbagi untuk saling memahami”, “apa itu yang disebut kemampuan “Teleponesis”, “Telekinesis! dasar bodoh, sama seperti..”, dia tidak meneruskannya.
FLASHBACK
Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah, terlihat dua orang kakak beradik saling bercanda. “Kak Budi lihat ini, bukan sulap bukan sihir”, ujar si adik seraya menunjukkan genggaman tangan kirinya, lalu dia meniupnya. “nih lihat”, katanya sambil membuka genggaman tangannya. “mana sulapnya? nggak ada apa apa kok”, “memang, kan bukan sulap bukan sihir, jadi bukan apa apa”, jawab si adik lalu menjulurkan lidahnya. Mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain. Tunggu.. si adik tadi menyebut sang kakak “kak Budi”, jangan jangan ini masa lalu Budiman. Tiba-tiba sang kakak terlihat marah lalu pergi menunjuk rumah di seberang jalan raya, si adik sepertinya mencoba menghentikannya tapi sia-sia. Saat menyeberang jalan raya tiba-tiba sebuah minibus yang melaju kencang kehilangan kendali lalu menabrak si adik. Aku mendekati mereka, mendadak minibus yang menabrak tadi melarikan diri. “Kak… tolong jangan.. marahi dia… aku membiarkan dia… memukulku supaya dia memberitahu… sulap-sulapnya yang lain…”, ucap si adik lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Jadi begitu, dia membiarkan dirinya dipukuli temannya supaya dia bisa menunjukkannya pada kakaknya. “Bodoh, dasar bodoh! Aku tidak butuh semua itu bodoh!”, sang kakak kehilangan kendali. Sejak hari itu, ayahnya terus berlaku kasar padanya juga pada ibunya. Lalu di suatu malam si ayah berniat membunuhnya dan ibunya, lalu bunuh diri. Tapi dia terbunuh secara tidak sengaja oleh sang kakak, ibunya terbangun, ia terkejut lalu menelepon polisi. Sang kakak melarikan diri, “tanganku sudah terlanjur berlumuran darah, biar aku habisi sekalian orang yang merenggut adikku”, ucap sang kakak. Dan begitulah, akhirnya dia ditangkap dan dieksekusi mati setelah membunuh si sopir minibus, teman adiknya, serta seseorang yang melihat aksinya.
—
“Seharusnya kau menghormati permintaan terakhir adikmu”, kataku saat sudah kembali ke alam bawah sadarku. “kau! Bagaimana kau…”, “kau sendiri yang mengatakan kalau kita tidak bisa menyembunyikan apapun disini”, “sial…”, desahnya. “Akhirnya aku mengerti, alasanmu membunuh Angga”, “aku melakukannya demi kesenanganku sendiri, itulah alasannya”, “Bohong!!, kau melakukannya karena kau ingin melindungiku, karena kau peduli padaku, karena kau melihat jiwa adikmu dalam diriku, karena aku telah mengisi kehampaan dalam hatimu”, kataku sedikit terbawa emosi. Dia terdiam, “kau benar, kau memang mirip adikku, konyol, bodoh, tapi memiliki empati pada orang di sekitarmu. Yah, sebagai ganti karena telah mengisi tempat adikku, aku akan selalu melindungimu, setuju?”, “baiklah, kakak”, “jangan seenaknya memanggilku kakak!”, bentaknya. “Masih ada yang mengganjal, kenapa tiba-tiba kau ada dalam tubuhku?”, “sesaat setelah aku dieksekusi mati, seorang bocah mengalami gagal jantung. Pihak rumah sakit meminta jantungku untuk dites kecocokannya, dan ternyata cocok. Akhirnya mereka mentransplantasikannya ke tubuh bocah itu, dan bocah itu masih hidup hingga sekarang”, urainya panjang lebar. “Dan siapa bocah itu?”, “dasar bodoh…”, desahnya.
Aku membuka mataku, aku berada di ruangan serba putih. Tiba-tiba bau obat menyeruak, masuk ke hidungku, rumah sakit ya? Batinku. “Rendi kamu sudah sadar?”, tanya seseorang, aku menoleh, Lia. Tiba-tiba dia memeluku dengan sangat erat, “kau selamat.. aku benar-benar mengkhawatirkanmu… maaf aku tidak menyadarinya selama ini…”, “hoi Lia… lepaskan… aku… tidak… bis…a…”, “tidak akan! Aku tidak mau kehilangan dirimu”, “kalau kau tid…ak… mele…paskan..ku… kau… akan menga…laminya…”, “tidak, jangan… oh maafkan aku”, akhirnya dia mengerti, melepaskan pelukannya. “Bagaimana dengan…”, tanyanya khawatir. “Oh jangan khawatir, aku dan Budiman sudah berteman sekarang”, “bukan itu, tapi lukamu”, “apa? Jadi aku terluka ya? Karena kau mengatakannya… agak terasa… aduuuhh.. sakit…”, “heeeh, jadi ini memang dirimu ya?”, desahnya. Lalu kulihat wajahnya tiba-tiba memerah, tingkahnya juga aneh. “Apa yang kau katakan di rumah itu benar?”, tanyanya sambil memainkan jarinya. “Memangnya ada apa?”, aku tidak ingat mengatakan hal semacam janji waktu. “Ah itu… aku… aku… aku…”, wajahnya makin memerah. “Aku juga mencintaimu!!!”, teriaknya lalu menutup mulutnya seolah ia tidak ingin mengatakan itu sebelumnya. Juga? Aku tidak ingat pernah mengatakanya. Tapi biarlah, yang penting Lia sudah mengungkapkan isi hatinya… batinku girang.
Karya: Sigit Pamungkas
“Hai Ren, tumben kamu datang agak siang”, sapa Lia, nama lengkapnya Dahlia Puspa Mentari, teman sekelasku. “Ah itu, ada masalah teknis”, kataku menyipitkan mata seraya mengelus perutku. “Ha… ha… ha… kau ini”, ujar Lia tak mampu menahan tawanya. “Hei.. hei.. ada apa ini?”, tanya angga menghampiri kami. “Rendi.. hi. hi.. hi.. dia baru saja bersikap konyol”, Lia cekikikan. “Hei itu sesuatu yang manusiawi”, “iya, tapi caramu mengatakannya itu”. Angga hanya geleng-geleng kepala melihat kami.
Dahlia, entah sihir apa yang dipakainya. Tiap kali tersenyum, tubuhku gemetar lalu ada perasaan aneh dalam diriku. Mungkin ini yang disebut cinta atau karena lapar? Entahlah. Bukan aku saja yang menaruh hati padanya, Angga teman sekelasku tak jemu-jemu mendekatinya, tapi sepertinya Lia hanya menganggapnya teman saja. “Hei Ren, bisa kita bicara sebentar?”, ujar angga serius. Aku rasa dia mau bicara tentang Lia, dan semua orang tahu kalau dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, tak peduli seperti apa caranya. “Menyerah saja, kau tidak akan mendapatkan Lia. Memang uang bukanlah segalanya, tapi butuh uang. Kau tidak akan bisa membahagiakannya, kau cuma yatim piatu yang hidup dari belas kasihan paman dan bibimu”, ujarnya tanpa basa-basi kemudian berlalu. Hatiku benar-benar sakit mendengarnya, tapi memang begitulah kenyataannya. Tanpa perlu mengatakannya pun aku tidak akan mendekati Lia, karena aku sadar dimana tempatku berada.
Aku mencoba untuk menerima semua kata kata itu, tapi yang kudapat hanya rasa sakit, ia menuntunku terlelap dalam linangan air mata.
“Ngh… sudah pagi ya?”, desahku kalu melirik jam tanganku. Aku terhenyak, kudapati tanganku berlumuran darah menggenggam pisau yang masih meneteskan darah. Seketika tubuhku menggigil, tanganku bergetar hebat. “Ap.. a… yang su.. dah… terja… di…? Huaaa…!!!”.
Hari ini aku putuskan untuk bolos sekolah, aku benar-benar shock dengan apa yang baru saja kualami. Aku menyalakan tv, mungkin menonton kartun bisa membuatku merasa lebih baik. Sedang asyik nonton kartun tiba-tiba ada breaking news, mengganggu saja.. batinku. Aku terbelalak, aku masuk dalam berita itu, parahnya ini berita pembunuhan. Tega sekali angga.. kenapa dia memfitnahku seperti ini… aku meneteskan air mata. Tunggu, korbannya adalah angga. Jadi bukan dia yang melakukan ini. “Berikut rekaman kamera pengawas”, tu..tunggu… orang yang ada di rekaman cctv itu… aku…
—
“Apa apaan ini semua ini? ti.. tidak mungkin aku yang… tidak! Ini tidak nyata.. semua ini hanya mimpi buruk iya kan? Aku hanya perlu bangun… lalu semua akan baik baik saja.. iya kan?”, aku benar-benar terguncang. “Hanya orang bodoh yang bicara dengan diri sendiri”, seseorang tiba-tiba bicara. “Aku pasti sudah gila, aku mendengar seseorang bicara, padahal hanya ada aku disini”, “hei mau kuhajar ya!”, aku menggeleng. “Sekarang dia berniat menghajarku, sepertinya aku harus segera ke rumah sakit ji… arrgh…sakit…”, seseorang menjambak rambutku, ternyata itu Lia. Dia memalingkan wajahnya, lalu tidak mau bicara denganku. “maafkan aku Lia, aku tidak tahu kalau kamu ada disini maaf. Tapi kenapa kamu kemari? Kamu bisa kena masalah”, “justru karena itu aku kemari”, jelasnya. Aku menyernyitkan dahi, dia tidak mengerti, kalau dia ada di dekatku, orang lain akan mengira kalau dia juga terlibat. “Aku yakin bukan kamu pelakunya”, “isi rekaman itu sudah jelas bukan?”, “tidak, orang sekonyol dirimu tidak akan sanggup membunuh, bahkan seekor nyamuk”. Aku terdiam, “ngiiing… plak..!”, “ini aku membunuh nyamuk”, kataku sambil tersenyum. “Buukk..!!!”, sebuah tinju mendarat di hidungku. “Berhenti bermain-main!! Kau tidak tahu seserius apa situasi saat ini! Kalau kau tidak bisa membuktikan dirimu tidak bersalah, mereka akan memenjarakanmu, kau tahu tidak!”, bentak Lia. “Mereka? Lia jangan bilang kalau kau…”, “dasar gadis bodoh! Kenapa kau beritahu dia sebelum dapat informasi”, bentak seseorang dari luar. “Maaf a..aku tidak sengaja..”, ujar lia terbata-bata. Pintu didobrak dari luar, lalu sekitar 8 polisi mengepung kami. “Cepat kemari!, sebelum dia menyakitimu” teriak sang komandan. “Tidak.! Dia tidak akan menyakitiku! Dia temanku”, “Lia, pergilah. Biar aku menyelesaikan ini sendiri”, “tapi…”, “pergilah Lia..!!”, bentakku seraya mendorong tubuhnya. Rendi tertunduk, lalu tertawa cekikikan. “Ha. ha… ha…!! Akhirnya si pemilik tubuh membuang raganya..!”, rendi tertawa. Aku benar-benar tidak mengerti, dia tidak terlihat seperti rendi yang kukenal. Dan lagi dia mengatakan “si pemilik tubuh”. Mungkinkah ini. “Kau bukan rendi!, Siapa kau sebenarnya!”, dia hanya tersenyum, “Namaku, Budiman sudarso!”,
Budiman Sudarso? Rasanya nama itu memiliki kesan yang sangat kuat, tapi apa?. Kulirik para polisi yang dari tadi terdiam, wajah mereka memucat lalu mundur teratur perlahan. “Mustahil, jangan katakan kalau kau adalah hantu bocah psikopat yang kami eksekusi 4 tahun lalu”, kata seorang polisi. Benar juga, itu adalah kasus pembunuhan paling menghebohkan yang pernah terjadi. Dikabarkan kalau dia sudah membunuh beberapa orang tanpa rasa bersalah, termasuk ayahnya sendiri. Tidak berhenti sampai disitu, dia juga memutilasi tubuh para korban, benar-benar sadis. Dia tersenyum simpul, “aku merasa tersanjung, ternyata kalian masih mengingatku”. Orang ini benar-benar gila, dia seolah merasa bangga dengan apa yang sudah dilakukannya. Rupanya benar dugaanku, rendi memiliki kepribadian ganda. Hanya saja aku tidak menyangka kalau “dirinya yang lain” adalah orang ini. “Cepat katakan, kenapa kau membunuh Angga!”, “oh, ternyata temanmu itu namanya Angga. Aku tidak punya masalah apapun dengannya, tapi temanmu ini punya”. Aku makin tidak mengerti, “katakan dengan jelas apa yang ingin kau katakan!”, “temanmu ini mencintaimu, tapi si angga itu meremehkan, bahkan menghinanya”. Aku tersentak, ternyata selama ini rendi… kalau saja dari dulu aku meyadarinya, semua ini tidak perlu terjadi. “Baiklah nona, karena kau punya dosa yang sama aku…”, dia tidak meneruskan kalimatnya. Dengan cepat ia melocat ke arahku, “akan membunuhmu!!”. Aku tak bisa bergerak, kakiku mati rasa, kurasa aku akan segera menyusul Angga. Tangannya hampir mencengkram leherku, “Dor..!”, sebuah peluru bersarang di perutnya, Ia tumbang seketika. Aku jatuh terduduk, tubuhku benar-benar lemas.
“Tempat apa ini?”, tanyaku pada diri sendiri. Aku berada dalam ruangan kosong yang gelap, hanya ada sedikit cahaya di tempatku berdiri. “Selamat datang di alam bawah sadarmu, Rendi”, suara seseorang tiba-tiba. Aku benar-benar ketakutan, aku bahkan tidak bisa membuka mulutku. Terdengar langkah seseorang menuju kemari, cahaya mulai menerangi tubuhnya, aku mulai bisa melihat wajahnya. Mustahil… wajahnya… persis denganku… Siapa dia ini sebenarnya? Kataku dalam hati. “Namaku Budiman Sudarso”, jawabnya tiba-tiba. “Hoi, aku bahkan belum bertanya”, dia tersenyum, “disini kita tidak perlu bicara untuk mengobrol, tidak perlu berbagi untuk saling memahami”, “apa itu yang disebut kemampuan “Teleponesis”, “Telekinesis! dasar bodoh, sama seperti..”, dia tidak meneruskannya.
FLASHBACK
Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah, terlihat dua orang kakak beradik saling bercanda. “Kak Budi lihat ini, bukan sulap bukan sihir”, ujar si adik seraya menunjukkan genggaman tangan kirinya, lalu dia meniupnya. “nih lihat”, katanya sambil membuka genggaman tangannya. “mana sulapnya? nggak ada apa apa kok”, “memang, kan bukan sulap bukan sihir, jadi bukan apa apa”, jawab si adik lalu menjulurkan lidahnya. Mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain. Tunggu.. si adik tadi menyebut sang kakak “kak Budi”, jangan jangan ini masa lalu Budiman. Tiba-tiba sang kakak terlihat marah lalu pergi menunjuk rumah di seberang jalan raya, si adik sepertinya mencoba menghentikannya tapi sia-sia. Saat menyeberang jalan raya tiba-tiba sebuah minibus yang melaju kencang kehilangan kendali lalu menabrak si adik. Aku mendekati mereka, mendadak minibus yang menabrak tadi melarikan diri. “Kak… tolong jangan.. marahi dia… aku membiarkan dia… memukulku supaya dia memberitahu… sulap-sulapnya yang lain…”, ucap si adik lalu menghembuskan nafas terakhirnya. Jadi begitu, dia membiarkan dirinya dipukuli temannya supaya dia bisa menunjukkannya pada kakaknya. “Bodoh, dasar bodoh! Aku tidak butuh semua itu bodoh!”, sang kakak kehilangan kendali. Sejak hari itu, ayahnya terus berlaku kasar padanya juga pada ibunya. Lalu di suatu malam si ayah berniat membunuhnya dan ibunya, lalu bunuh diri. Tapi dia terbunuh secara tidak sengaja oleh sang kakak, ibunya terbangun, ia terkejut lalu menelepon polisi. Sang kakak melarikan diri, “tanganku sudah terlanjur berlumuran darah, biar aku habisi sekalian orang yang merenggut adikku”, ucap sang kakak. Dan begitulah, akhirnya dia ditangkap dan dieksekusi mati setelah membunuh si sopir minibus, teman adiknya, serta seseorang yang melihat aksinya.
—
“Seharusnya kau menghormati permintaan terakhir adikmu”, kataku saat sudah kembali ke alam bawah sadarku. “kau! Bagaimana kau…”, “kau sendiri yang mengatakan kalau kita tidak bisa menyembunyikan apapun disini”, “sial…”, desahnya. “Akhirnya aku mengerti, alasanmu membunuh Angga”, “aku melakukannya demi kesenanganku sendiri, itulah alasannya”, “Bohong!!, kau melakukannya karena kau ingin melindungiku, karena kau peduli padaku, karena kau melihat jiwa adikmu dalam diriku, karena aku telah mengisi kehampaan dalam hatimu”, kataku sedikit terbawa emosi. Dia terdiam, “kau benar, kau memang mirip adikku, konyol, bodoh, tapi memiliki empati pada orang di sekitarmu. Yah, sebagai ganti karena telah mengisi tempat adikku, aku akan selalu melindungimu, setuju?”, “baiklah, kakak”, “jangan seenaknya memanggilku kakak!”, bentaknya. “Masih ada yang mengganjal, kenapa tiba-tiba kau ada dalam tubuhku?”, “sesaat setelah aku dieksekusi mati, seorang bocah mengalami gagal jantung. Pihak rumah sakit meminta jantungku untuk dites kecocokannya, dan ternyata cocok. Akhirnya mereka mentransplantasikannya ke tubuh bocah itu, dan bocah itu masih hidup hingga sekarang”, urainya panjang lebar. “Dan siapa bocah itu?”, “dasar bodoh…”, desahnya.
Aku membuka mataku, aku berada di ruangan serba putih. Tiba-tiba bau obat menyeruak, masuk ke hidungku, rumah sakit ya? Batinku. “Rendi kamu sudah sadar?”, tanya seseorang, aku menoleh, Lia. Tiba-tiba dia memeluku dengan sangat erat, “kau selamat.. aku benar-benar mengkhawatirkanmu… maaf aku tidak menyadarinya selama ini…”, “hoi Lia… lepaskan… aku… tidak… bis…a…”, “tidak akan! Aku tidak mau kehilangan dirimu”, “kalau kau tid…ak… mele…paskan..ku… kau… akan menga…laminya…”, “tidak, jangan… oh maafkan aku”, akhirnya dia mengerti, melepaskan pelukannya. “Bagaimana dengan…”, tanyanya khawatir. “Oh jangan khawatir, aku dan Budiman sudah berteman sekarang”, “bukan itu, tapi lukamu”, “apa? Jadi aku terluka ya? Karena kau mengatakannya… agak terasa… aduuuhh.. sakit…”, “heeeh, jadi ini memang dirimu ya?”, desahnya. Lalu kulihat wajahnya tiba-tiba memerah, tingkahnya juga aneh. “Apa yang kau katakan di rumah itu benar?”, tanyanya sambil memainkan jarinya. “Memangnya ada apa?”, aku tidak ingat mengatakan hal semacam janji waktu. “Ah itu… aku… aku… aku…”, wajahnya makin memerah. “Aku juga mencintaimu!!!”, teriaknya lalu menutup mulutnya seolah ia tidak ingin mengatakan itu sebelumnya. Juga? Aku tidak ingat pernah mengatakanya. Tapi biarlah, yang penting Lia sudah mengungkapkan isi hatinya… batinku girang.
Karya: Sigit Pamungkas
No comments:
Post a Comment