....
Pukul 7.30 malam aku telah menunggu di lobby Tuscany berkali-kali pandanganku kulempar ke sekeliling kalau-kalau Harun ada di sana. Pukul delapan malam masih belum ada tanda-tanda Harun bertugas. Perasaan khawatir mulai merayap. Pukul delapan lewat lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, dan tiga puluh. Aku menarik nafas. Perasaan kecewa yang membebaniku terlalu berat untuk kusandang.
Ketika itulah kudengar seseorang mendehem.
"Anda mencari saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris sempurna dengan aksen Amerika. Aku berpaling. Suara itu masih tetap seperti dulu. Wajah itu masih tetap bersih, jernih dan penuh optimisme. Ah. Kami saling mendeap. Lama sekali.
"Mengapa tidak memberi kabar?"
"Keberangkatanku tiba-tiba, menggantikan teman yang berhalangan."
Ia menepuk-nepuk pundakku memegang bahuku dan mengajakku ke kamar kerjanya.
"Danus, rasanya seperti mimpi," ujarnya begitu kami duduk di kamarnya berhadapan.
"Alhamdulillah, doaku terkabul," sahutku. "Kau tidak bermimpi David, eh, Harun."
Ia tersenyum.
"Adikku yang dulu sering kukibuli, kini datang sebagai wartawan, lalu memanggilku David," katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.
Keakraban yang dulu kembali kami rasakan di ruangan itu. Pebicaraan pun meluncur deras. Ia banyak sekali bertanya tentang ibu dan tentang semua teman-teman lamanya. Aku menjawab sedapatku. Tetapi wajah cerah yang jernih itu tiba-tiba disergap kabut begitu aku mengajukan pertanyaanku.
"Begitu kudengar paman meninggal sebenarnya aku ingin pulang. Aku tahu tidak ada lagi orang yang akan membiayai kuliahku. Tekadku untuk pulang besar sekali. Tapi begitu aku teringat padamu dan pada ibu, tekad itu meleleh begitu saja. Ayah menginginkan salah seorang dari anaknya yang cuma dua orang itu sukses dalam hidup. Kalau aku pulang berarti aku kembali sebagai orang yang gagal. Setelah ayah meninggal, paman mencoba mewujudkan keinginan ayah itu. Tapi setelah itu paman pula yang menyusulkan sebelum kuliahku selesai."
Tatapannya yang tajam menikam itu mencoba memberikan pengertian. Aku menunduk. Mencoba mengerti dan mencoba untuk tidak menuduh.
"Aku memang berhenti kuliah, tetapi tidak pulang. Aku bekerja di restoran, menjadi supir taksi dan kuli bangunan. Malam hari kulanjutkan kuliahku hingga selesai."
Suaranya lirih dan menusuk pedih. Ah, Harun saudaraku yang kusayangi.
"Setelah itu barulah aku mendapat kerja yang layak di sebuah toko serba ada. Bertahun-tahun aku di sana. Aku menikah dengan salah seorang gadis yang bekerja di sana. Ah, kurasa semua yang kualami di sini telah kuceritakan dalam surat-suratku kepadamu. Barangkali tidak ada lagi yang perlu kau ketahui. Semuanya telah terungkap dalam surat-surat yang kukirimkan kepadamu."
"Tidak tidak semua jelas untuk Ibu. Aku tidak menceritakan betapa kau kerja keras sebagai kuli bangunan dan supir taksi di bawah kangkangan kota yang buas ini. Aku hanya mangatakan ada seseorang yang berbaik hati dan ada yayasan yang memantu kuliahmu hingga selesai. Lalu ketika kau tidak juga pulang, aku mengatakan kepada ibu kau harus menyelesaikan dulu kontrak kerjamu baru dapat pulang. Mulanya Ibu percaya, karena ia memang tidak dapat membaca surat-suratmu yang selalu kau tulis dalam bahasa Inggris itu."
Wajah di depanku itu seakan dihantam dosa yang tidak kenal ampun. Mungkinkah ia menyesal? Mungkinkah ia merasa bersalah?
"Belakangan Ibu sering bertanya mengapa kau tidak juga pulang. Aku terpaksa mencari-cari jawaban yang masuk akal. Berkali-kali Harun. Ibu akhirnya tidak bertanya lagi. Mungkin ia telah maklum. Betapa pun rendah pendidikannya, betapa pun sederhana cara berpikirnya kurasa ia telah memahami skenario yang kita susun bersama. Ketika Ibu tidak bertanya lagi tentang kau, justru aku yang bertanya mengapa ia tidak pernah bertanya lagi tentang anaknya yang jauh di seberang."
"Lalu apa jawab Ibu?" Harun mendesak.
"Ah, Ibu kita yang bijaksana, Ibu yang mulia itu cuma berkata, 'kan setiap kali suratnya datang ia tetap menyampaikan sembah sujudnya. Apa lagi yang kuharapkan dari seorang anak kalau bukan cintanya yang tidak pernah luntur itu. Aku merasa berdosa, Harum. Kita telah mempermainkan Ibu."
Harun menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
....
Karya: Sori Siregar
Pukul 7.30 malam aku telah menunggu di lobby Tuscany berkali-kali pandanganku kulempar ke sekeliling kalau-kalau Harun ada di sana. Pukul delapan malam masih belum ada tanda-tanda Harun bertugas. Perasaan khawatir mulai merayap. Pukul delapan lewat lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, dan tiga puluh. Aku menarik nafas. Perasaan kecewa yang membebaniku terlalu berat untuk kusandang.
Ketika itulah kudengar seseorang mendehem.
"Anda mencari saya?" tanyanya dalam bahasa Inggris sempurna dengan aksen Amerika. Aku berpaling. Suara itu masih tetap seperti dulu. Wajah itu masih tetap bersih, jernih dan penuh optimisme. Ah. Kami saling mendeap. Lama sekali.
"Mengapa tidak memberi kabar?"
"Keberangkatanku tiba-tiba, menggantikan teman yang berhalangan."
Ia menepuk-nepuk pundakku memegang bahuku dan mengajakku ke kamar kerjanya.
"Danus, rasanya seperti mimpi," ujarnya begitu kami duduk di kamarnya berhadapan.
"Alhamdulillah, doaku terkabul," sahutku. "Kau tidak bermimpi David, eh, Harun."
Ia tersenyum.
"Adikku yang dulu sering kukibuli, kini datang sebagai wartawan, lalu memanggilku David," katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa.
Keakraban yang dulu kembali kami rasakan di ruangan itu. Pebicaraan pun meluncur deras. Ia banyak sekali bertanya tentang ibu dan tentang semua teman-teman lamanya. Aku menjawab sedapatku. Tetapi wajah cerah yang jernih itu tiba-tiba disergap kabut begitu aku mengajukan pertanyaanku.
"Begitu kudengar paman meninggal sebenarnya aku ingin pulang. Aku tahu tidak ada lagi orang yang akan membiayai kuliahku. Tekadku untuk pulang besar sekali. Tapi begitu aku teringat padamu dan pada ibu, tekad itu meleleh begitu saja. Ayah menginginkan salah seorang dari anaknya yang cuma dua orang itu sukses dalam hidup. Kalau aku pulang berarti aku kembali sebagai orang yang gagal. Setelah ayah meninggal, paman mencoba mewujudkan keinginan ayah itu. Tapi setelah itu paman pula yang menyusulkan sebelum kuliahku selesai."
Tatapannya yang tajam menikam itu mencoba memberikan pengertian. Aku menunduk. Mencoba mengerti dan mencoba untuk tidak menuduh.
"Aku memang berhenti kuliah, tetapi tidak pulang. Aku bekerja di restoran, menjadi supir taksi dan kuli bangunan. Malam hari kulanjutkan kuliahku hingga selesai."
Suaranya lirih dan menusuk pedih. Ah, Harun saudaraku yang kusayangi.
"Setelah itu barulah aku mendapat kerja yang layak di sebuah toko serba ada. Bertahun-tahun aku di sana. Aku menikah dengan salah seorang gadis yang bekerja di sana. Ah, kurasa semua yang kualami di sini telah kuceritakan dalam surat-suratku kepadamu. Barangkali tidak ada lagi yang perlu kau ketahui. Semuanya telah terungkap dalam surat-surat yang kukirimkan kepadamu."
"Tidak tidak semua jelas untuk Ibu. Aku tidak menceritakan betapa kau kerja keras sebagai kuli bangunan dan supir taksi di bawah kangkangan kota yang buas ini. Aku hanya mangatakan ada seseorang yang berbaik hati dan ada yayasan yang memantu kuliahmu hingga selesai. Lalu ketika kau tidak juga pulang, aku mengatakan kepada ibu kau harus menyelesaikan dulu kontrak kerjamu baru dapat pulang. Mulanya Ibu percaya, karena ia memang tidak dapat membaca surat-suratmu yang selalu kau tulis dalam bahasa Inggris itu."
Wajah di depanku itu seakan dihantam dosa yang tidak kenal ampun. Mungkinkah ia menyesal? Mungkinkah ia merasa bersalah?
"Belakangan Ibu sering bertanya mengapa kau tidak juga pulang. Aku terpaksa mencari-cari jawaban yang masuk akal. Berkali-kali Harun. Ibu akhirnya tidak bertanya lagi. Mungkin ia telah maklum. Betapa pun rendah pendidikannya, betapa pun sederhana cara berpikirnya kurasa ia telah memahami skenario yang kita susun bersama. Ketika Ibu tidak bertanya lagi tentang kau, justru aku yang bertanya mengapa ia tidak pernah bertanya lagi tentang anaknya yang jauh di seberang."
"Lalu apa jawab Ibu?" Harun mendesak.
"Ah, Ibu kita yang bijaksana, Ibu yang mulia itu cuma berkata, 'kan setiap kali suratnya datang ia tetap menyampaikan sembah sujudnya. Apa lagi yang kuharapkan dari seorang anak kalau bukan cintanya yang tidak pernah luntur itu. Aku merasa berdosa, Harum. Kita telah mempermainkan Ibu."
Harun menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
....
Karya: Sori Siregar
No comments:
Post a Comment