CAMPUR ADUK

Monday, January 7, 2019

PAK TUA PEMUNGUT SAMPAH

Setelah mencium tanda Bunda dan mengucap salam, Ra berlari keluar rumah. Teman-temannya sudah menunggu di halaman depan, ada Fathia, Tary, dan Rita. Mereka akan pergi ke sekolah bersama-sama. Ra dan teman-temannya melambaikan tangan pada Bunda yang melepas kepergian mereka dengan senyum di depan pintu.

Belum jauh melangkah, anak-anak itu melihat seorang lelaki tua sedang mengaduk-aduk bak sampah.Setiap hari, Ra melihat orang itu mengambil sampah lalu menaruhnya di gerobak dorong tanpa merasa jijik. Sampah-sampah itu bau dan busuk. Ada kulit pisang, sayuran busuk, kertas pembungkus, botol pecah, dan lain-lain. Setiap hari Ra menutup hidung jika bertemu Pak Tua itu.

"lh, bau sekali!'' kata Ra.

"Aku jadi ingin muntah.....," bisik Rita.

"Eh, bukankah itu sampah-sampah bekas dari rumah kita juga?" bela Tary.

"Tapi kita kan mau lewat. Pak Tua itu harusnya berhenti dulu supaya baunya tidak menyengat," kata Fathia.

"Iya. Kita lari saja yuk begitu lewat gerobak sampahnya! Supaya tidak kena baunya," usul Ra.

"Yuk!" Keempat gadis itu berlari sambil tertawa-tawa.

***
"Bunda, sampah di depan rumah  bau sekali," ujar Ra seraya menghampiri Bunda yang sedang menggoreng nasi untuk sarapan. Ra masih menggenggam sapu. Karena hari ini hari Minggu, dia membantu Bunda menyapu lantai.

"Iya, sudah beberapa hari sampah tidak diambil. Pak Soleh sedang sakit. Nanti Ra antar Bunda menjenguk beliau ya?" kata Bunda. Ra sebenarnya tidak mengerti apa yang dikatakan Bunda. Tapi melihat Bunda sedang repot, Ra tidak bertanya lagi dan melanjutkan pekerjaannya.


Karya: Kanianingsih.

PIANO HATI RENA

Keluarga Darmiati ingin sekali membeli piano, sebab semua anggota keluarga Darmiati menyukai musik. Rencana membeli piano ini sangat didukung Rena. Di dalam dirinya ada semangat membara untuk mahir bermain piano. Setelah bermusyawarah, akhirnya keluarga Darmiati sepakat membeli piano. Rena senang sekali ketika papanya memutuskan ini. Dengan riang ia ikut papanya pergi ke toko alat musik.

Hari Jumat, hari yang sangat ditunggu-tunggu Rena. Truk pembawa piano yang dibeli Papa akan datang ke rumahnya. Rena dan kakaknya, Sari, sudah menyiapkan tempat untuk menaruh piano itu.

Papa punya kamar kerja. Kamar kerja itu luas sekali. Pada hanya mengisinya dengan meja komputer dan rak buku. Ketika membeli rumah ini, Papa kebingungan hendak digunakan untuk apa kamar yang satu itu, akhirnya digunakan untuk kamar kerja. Nah, karena tempatnya masih luas Rena dan Sari memutuskan pianonya ditaruh di sana saja. Lagi pula, akhir-akhir ini Papa jarang memakai komputer kamar kerja dan lebih sering bekerja di laptop milik kantor. Rena, Sari, atau siapa pun bakal bisa bebas berlatih piano tanpa mengganggu Papa. Teng....teng...teng - teng - teng - teng....

"Rajinnya anak Mama!" ujar Mama senang sambil membawakan susu. Sore itu Rena sedang berlatih piano. "Makin pintar kamu, Ren. Mama senang punya anak pintar seperti kamu."

"Rena cinta musik, Ma. Bagi Rena, musik itu indah. Dan musik yang paling indah menurut Rena adalah dentingan piano. Terasa begitu mengalun di hati," ujar Rena sambil memainkan lagu-lagu lainnya.

"Sebenarnya kepada kamu menyukai musik? Aya yang membuatmu ingin belajar piano?" tanya Mama.

"Soalnya Rena dilahirkan dalam keluarga yang suka musik. Papa, Mama, Kak Sari juga pecinta musik, kan? Masa Rena jadi pecinta..... pecinta olahraga gulat? Ya nggak lucu dong, ma," canda Rena.

Mama tertawa. "Mama daftarkan saja kamu ke tempat les piano ya, Ren? Bakat pianomu jangan disia-siakan, harus dikembangkan."

"Wah, nggak usah, Ma. Nggak usah repot-repot. Rena cinta musik, nggak berarti harus les musik juga dong. Lihat aja Kak Sari, pinter banget nyanyi, tapi nggak ikut les nyanyi."

Setiap hari kamu selalu menggunakan waktumu untuk main komputer, main sama teman-teman, bersepeda, dan lainnya. Sayang jika waktumu tidak digunakan untuk hal yang lebih berguna. Hidup jangan disia-siakan!"

Rena terdiam. "Iya sih, tapi kalau Rena ikut les piano, nanti jadi nggak ada waktu buat kumpul-kumpul sama teman-teman anggota Musical Do Re Mi."

"Apa? Musical Do Re Mi itu apa, Ren?" tanya Mama penasaran.

"Rena punya kelompok, Ma. Ketua kelompoknya Shanti. Kami menamakannya Musical Do Re Mi karena anggotanya semua pecinta musik. Rena baru saja bergabung dengan kelompok itu," jelas Rena. "Sebenarnya sih nggak susah untuk jadi anggota kelompok itu. Cuma harus memenuhi syarat aja."

"Oh, begitu...,"

"Shanti punya kertas yang isinya syarat-syarat jadi anggota. Syaratnya banyak sekali, kurang lebih ada dua puluh lima syarat. Rena nggak usah menuhin semuanya, Rena bisa milih. Di antara syarat itu, ada syarat  harus bisa jago main piano dan punya piano. Lalu ada juga syarat yang bilang anggota harus punya banyak waktu buat kumpul-kumpul, rapat, atau jalan-jalan. Rena pilih dua syarat itu. Makanya...."

"Makanya kamu mendukung sekali rencana membeli piano?"

"He-eh."

"Rena, Rena! Mama pikir kamu mau serius menekuni dunia musik. Ternyata hanya untuk memenuhi persyaratan Shanti saja. Ren, di rumah ini, yang paling banyak punya waktu untuk latihan piano itu cuma kamu. Kak Sari sibuk belajar, Papa sibuk kerja, Mama sibuk mengurus rumah. Tapi kerjaan kamu sehari-hari, selain sekolah itu maiiin saja. Kalau begitu, piano ini akan sia-sia!" tegur Mama.

"Piano ini mahal, Ren. Kalau tidak terpakai, banyak uang yang terbuang percuma. Lagi pula kamu punya bakat main piano. Siapa tahu kalau serius menekuni dunia musik, kamu bisa jadi musikus yang terkenal di seluruh Indonesia atau bahkan mancanegara. Kalau berlatih serius dan giat, bukan sekedar main-main, siapa tahu nanti ada orang yang mendengar permainan pianomu yang bagus, terus menawarimu tampil di panggung besar. Kalau kamu nggak mau, bisa-bisa orang lain yang dapat kesempatan itu. Terus kalau dia jadi musikus terkenal, mewakili Indonesia ke perlombaan musik sedunia, bagaimana? Kamu bakal menyesal, kan? Hidup itu harus diisi kegiatan-kegiatan berguna!" Nasihat Mama panjaaaang-lebar.

Rena terdiam. Ucapan Mama benar juga. Piano itu kan mahal, sayang banget kalau disia-siain. Lagi pula yang paling banyak punya waktu untuk setia main piano kan cuma dia sendiri.

Ah....hari Rena jadi terusik. Kini di hatinya tertanam keinginan untuk lebih dalam lagi mempelajari musik.


Karya: Sri Izzati

HAND PHONE AYAH

Siang itu, Ayah mengajak Adam ke toko sepatu. Sepatu Adam memang sudah sempit dan tak nyaman lagi untuk dipakai. Namun karena ayah Adam baru punya uang lebih, maka baru hari ini permintaannya dikabulkan.

Adam dan ayahnya naik bus patas AC jurusan Block M. Ongkosnya lumayan mahal, pikir Adam. Dan karena hari itu hari Minggu, banyak bangku kosong yang tersedia.

"Di sini saja, Yah," kata Adam sambil menarik legan ayahnya. Mereka duduk di barisan ketiga dari bangku sopir. Sebelum duduk, ayam Adam memindahkan hand phone yang ada di sakunya ke sarung di pinggangnya supaya tidak mengganggu duduknya.

"Setiap hari Ayah naik bus ini, ya, ke kantor?" tanya Adam.

"Tiap hari? Bisa-bisa kamu tidak pakai sepatu ke sekolah," jawab Ayah meledek. 

"Tarifnya kan, mahal. Lebih baik ayah naik bus biasa dan sisanya bisa ditabung buat keperluan sekolahmu," jawab Ayah.

Adam terdiam mendengar jawaban ayahnya. Dalam hati terharu sekaligus bangga. Karena Ayah rela setiap hari, berbulan-bulan berdesak-desakan, kepanasan, dan membanting tulang demi kepentingan keluarganya. Sementara Adam sendiri, baru sebulan pakai sepatu kesempitan sudah mengeluh setiap hari.

Bus melaju kencang dan keluar dari tol Komdak. Di halte Komdak, banyak penumpang yang turun dan banyak pula yang naik. Tiba-tiba naik juga 3 orang pria. Salah satunya duduk di sisi Ayah.

"Permisi, Pak," kata pria itu ramah.

"Silakan!" jawab Ayah sambil menggeser tempat duduknya.

Pria yang berpakaian rapi itu pun duduk di samping Ayah. Sementara kedua temannya duduk di bangku di sebelahnya.

Adam mulai curiga meihat gerak-gerik mereka. Apalagi orang yang di sebelah Ayah selalu melirik ke arah hand phone Ayah. Dan tiba-tiba orang itu pindah tempat ke depan  bangku teman-temannya. Ayah Adam kemudian bergeser ke posisinya semula, sehingga tempat duduk mereka kembali lega.

Namun pada waktu bergeser ayah Adam merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia meraba pinggangnya. Betapa terkejutnya ia ketika hand phone-nya sudah tidak terselip di pinggangnya.

"Wah! Hand phone ayah hilang, Dan!" seru Ayah sambil bangkit sendiri. Ia lalu memeriksa jok kursi, kalau-kalau hand phone-nya terjatuh. Adam juga sibuk mencari, bahkan memeriksa kolong-kolong bangku.

"Pasti ada yang mencuri," ujar Ayah. 

Penumpang lagi menoleh ke arah mereka, mendengar ribut-ribut di dalam bus.

"Ada apa, Pak? tanya kondektur bus.

"Hand phone saya hilang. Tolong berhenti di halte itu," kata ayah Adam sambil menunjuk halte di perempatan jalan, Kebetulan di halte itu ada polisi yang sedang mengatur lalu lintas.

Lalu Ayah maju ke depan, "Mohon jangan ada yang turun dulu. Yang turun berarti itu pencurinya," kata Ayah dengan suara lantang.

"Oh, tidak bisa begitu, dong! Dari mana Bapak tahu kalau yang mengambil ada di bus?" protes orang yang tadi duduk di samping Ayah. Teman-temannya mengiyakan.

"Benar Mana buktinya? Pokoknya kami mau turun di sini," kata teman orang itu lagi dengan suara keras dan agak mengancam.

"Tidak bisa! Pokoknya yang turun akan saya laporkan ke polisi," tantang Ayah berani. Akhirnya ketiga orang itu diam. Kini giliran ayah Adam yang bingung. Bagaimana cara mencari hand phone-nya? Ini seperti mencari jarum dalam tumpukkan jerami. Tiba-tiba Adam mendapat ide. Ia membisiki ayahnya.

"Eemm...." Ayah mengangguk mengerti. "Maaf, Pak. Bisa pinjam hand phone-nya sebentar?" kata Ayah pada seorang bapak yang kelihatan membawa hand phone di saku kemejanya.

"Silakan..." jawab bapak itu.

Ayah lalu memencet tombol-tombol nomor hand phone-nya. Dan tiba-tiba terdengar suara benda dijatuhkan. "Bruuuuk!" Setelah Ayah selesai memanggil nomor hand phone-nya, terdengarlah bunyi hand phone ayah.

"Itu dia bunyi  hand phone ayah, Yah!" teriak Adam girang.

Ayah Adam, dibantu kondektur bus itu, lalu menyusuri asal suara itu. Ternyata hand phone itu ada di kolong bangku yang kosong. Buru-buru ayah Adam memungutnya.

"Alhamdulillah...rupanya hand phone ini masih rezekiku," kata Ayah bersyukur. Hanya ada sedikit goresan di hand phone itu.

Bus kembali berjalan. Ayah dan Adam kembali duduk, namun kali ini tepat di belakang sopir. Baru beberapa menit bus berjalan,"Kiri! Kiri...., Bang!" kata pria yang tadi duduk di sebelah Adam. Bus berhenti. Ketiga orang itu buru-buru turun dari pintu belakang.

"Aman!" kata kondektur bus itu.

"Lo, kok aman. Memangnya kenapa, Pak?" tanya Ayah heran.

"Tiga orang itu sudah sering naik turun bus ini. Setiap kali mereka naik pasti ada penumpang yang kehilangan barang. Dompet atau hand phone," ujar kondektur bus itu.

"Padahal penampilan mereka rapi, seperti orang berduit," sahut bapak yang tadi meminjamkan hand phone-nya.

"Yah, melihat orang jangan dari penampilan luarnya," sambung ibu di sebelahnya.

"O...ya, terima kasih, Pak, atas pinjaman  hand phone-nya," kata Ayah sambil menjabat tangan bapak itu.

"Ah, sesama penumpang kita memang harus saling tolong-menolong," jawab Bapak itu.

"Tapi sebenarnya yang paling  berjasa, ya adik itu," kata Bapak itu lagi sambil menunjuk ke Adam.

"Iya, nih! Rupanya adik ini berbakat jadi detektif," sambung kondektur, yang tahu ide untuk mencari hand phone itu berasal dari Adam.

"Oh, iya. Terima kasih, ya, Dam," kata ayah Adam sambil menepuk pundak Adam yang tersipu-sipu. Namun Adam lalu buru-buru mencolek lengan ayahnya.

"Yah, beli sepatu sekalian tas, ya. Tas Adam  juga sudah sobek," bisik Adam setengah menggoda ayahnya.

Ayah tersenyum geli, "uu, mencari kesempatan dalam kesempitan!"


Karya: Hadi Pranoto

MISTERI DUA KARCIS PERTUNJUKAN MUSIK

Sambil bersenandung Bu Sinta menyapu lantai rumahnya. Hari ini dia akan memasak makanan yang lezat. Makanan kesukaan Pak Adam, suaminya.

Bu Sinta segera ke dapur untuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasaknya. Pada saat itulah terdengar bunyi bel.

Ia bergegas ke pintu. Dikiranya orang suruhan dari warung Babah Lim yang datang. Tadi pagi dia memesan sekilo daging untuk membuat rendang. Namun ketika pintu dibuka dia tidak menemukan siapa-siapa di sana.

"Pasti anak-anak nakal itu lagi," gumamnya kesal seraya menutup pintu kembali. Pada saat itulah dia melihat dua buah karcis pertunjukan musik di bawah pintu.

"Wah, ini pasti kejutan dari suamiku," gumamnya seraya memungut karcis itu. Rasa kesalnya pun lenyap. Kini berganti dengan rasa bahagia yang meluap-luap.

"Ini mungkin hadiah ulang tahun perkawinan darinya," pikirnya senang. Menonton sebuah pertunjukkan musk di sebuah gedung yang megah memang sudah lama diimpikannya.

"Aku tidak mengirim tiket itu," kata Pak Adam tatkala Bu Sinta mengungkapkan rasa senangnya kepada suaminya itu.

"Jadi siapa?" tanya Bu Sinta heran. Siapa yang telah mengirimkan dua helai karcis pertunjukkan musik itu?

"Kukira kau yang mengirimkannya sebagai hadiah ulang tahun perkawinan kita," katanya agak kecewa. Suaminya pasti lupa akan hari penting itu. Suaminya selalu menganggap hal-hal seperti itu tidak penting.

Sebetulnya Pak Adam memang lupa. Tapi dia berbuat seolah-olah tidak lupa. Katanya, "Tentu saja aku ingat. Aku sendiri sudah punya kejutan untukmu, yaitu mengajakmu makan malam di restoran mewah."

"Aaah," Bu Sinta semakin kecewa Sehingga Pak Adam menjadi heran melihat perubahan wajah istrinya itu.

"Kenapa? Apakah kau tidak ingin makan di restoran mewah?"

"Aku sudah menyiapkan masakan istimewa malam ini," sahut Bu Sinta sedih.

Pak Adam tersenyum, "Baiklah, Kalau begitu kita makan di rumah. Kemudian kita pergi ke pertunjukan musik itu. Siapa pun yang mengirim karcis itu, anggap saja sebagai hadiah ulang tahun perkawinan kita," katanya. Meskipun dia sebenarnya lebih suka mandi air panas, lalu tidur. Tapi demi kebahagiaan istrinya, tak apalah.

Gedung pertunjukkan sudah penuh sesak dengan penonton takkala mereka tiba. Dirigen bahkan sudah mulai memberi aba-aba untuk memulai pertunjukkan. Bu Sinta dan Pak Adam bergegas menuju tempat duduk mereka.

Mereka bertepuk tangan takkala seorang penyanyi muncul. Musik pun mulai mengalun mengiringi suara merdu si penyanyi. Bu Sinta menonton dengan penuh hasrat. Setiap penyanyi mengakhiri lagunya, dia bertepuk tangan. Begitu juga setiap kali penyanyi baru muncul. Sesekali diliriknya suaminya yang duduk di sampingnya. Pak Adam duduk sambil memejamkan mata. Nampaknya dia tertidur.

Bu Sinta menyentuh suaminya.

"Pertunjukan sudah berakhir," katanya.

Suaminya terperanjat, dan terjaga dari tidurnya. "Ooo, sudah berakhir, ya?" keluhnya lega.

Pertunjukannya hebat sekali," gumam Bu Sinta denga rasa puas.

Mereka berjalan menuju pintu keluar.

"Aku harus berterima kasih kepada pengirim karcis itu. Kira-kira siapa dia, ya?" gumam Bu Sinta lagi sambil naik ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan dia terus saja berceloteh tentang pertunjukkan musik itu sementara Pak Adam mendengarkan sambil mengantuk.

Ketika Pak Adam memasukkan mobil ke gerasi, Bu Sinta masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Karena sedang merasa bahagia, dia tidak memerhatikan perubahan di dalam rumahnya. Dia terus saja menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

Tiba-tiba dia memekik kaget.

Pak Adam bergegas menemuinya. Lalu bertanya dengan kuatir," Ada apa?"

"Rumah kita kemasukkan pencuri," sahut Bu Sinta. Dia merasa sulit bernapas takkala melihat isi lemari berantakan. Uang dan persiasannya telah lenyap. Juga televisi dan beberapa peralatan elekronik  yang ada di ruang tengah.

Bu Sinta terduduk lemas takkala melihat sebuah catatan kecil di atas  bantal, "Sekarang kalian tahu siapa pengirim karcis itu."


Karya: Kemala P

SEBUAH EPISODE

Tidak seperti biasa, hari ini aku pulang lebih awal. Aku sengaja tidak bergabung dengan teman-teman seusai belajar. Aku ingin menampilkan perubahan sikapku di hadapan bapak dan ibu bahwa aku mampu menjadi anak yang menyenangkan. Bukankah selama ini aku lebih sering menjengkelkan hati mereka? Aku selalu pulang sore, bahkan malam. Alasannya aku belajar di rumah Roy karena ada PR yang tidak bisa kukerjakan sendiri atau ada kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang tidak bisa kutinggalkan.

Kuperhatikan, ibu tidak banyak pertanyaan tentang itu. Berbeda dengan bapak, walaupun ia tampak tidak peduli, tetapi ada kecurigaan dalam pendangannya. Aku berusaha menghindar setiap kali bertemu bapak di rumah. Aku tidak ingin dihujani dengan berbagai pertanyaan. Salah-salah, aku bisa kena damprat bila tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Sebenarnya aku sering nongkrong di cafe Bu Sopi di pasar proyek. Sambil mendengarkan lagu-lagu slow rock, aku, Ivan, Roy, Noni, Lola, dan Tesa memesan mie goreng atau nasi goreng. Tesa hampir selalu memesan jus wortel. Pantas kulitnya halus dan mulus. Katanya, jus wortel bagus untuk kulit. Sedangkan Noni dan Lola suka melon karena selain enak, juga wangi. Kadang-kadang aku, Roy, dan Ivan ikut-ikutan memesan jus yang disukai nona-nona manis itu.

Setelah ngobrol ke sana kemari, kadang-kadang kami ngeceng di mal. Karena keenakan ngobrol, apalagi bila ada kenalan baru, tanpa kami sadari hari sudah larut tidak bisa berpisah. Di mataku, mereka pasangan yang sangat serasi. Keduanya anak orang kaya. Papa Roy kepada cabang sebuah bank swasta, sedangkan mamanya mempunyai sanggar kebugaran dan memiliki beberapa salon kecantikan. Sedangkan ayah Lola adalah pengusaha garmen untuk ekspor. Ibunya mengelola beberapa radio swasta.

Sedangkan aku, Noni, dan Tesa pulang bersama Ivan. Kebetulan tempat tinggal kami satu arah. Ivan sangat sayang kepada Tesa. Meskippun begitu, mereka juga sering bertengkar. Tesa terkesan cengeng dan suka ngambek. Sedangkan Ivan lebih sabar dan rada cuek. Kalau Ivan lagi cuek, Tesa langsung puyeng.  Mereka berdua juga berasal dari keluarga berada. Ayah Ivan seorang dokter spesialis. Sedangkan papa dan mama Tesa berprofesi sebagai dosen. Noni berasal dari keluarga berada. Bapaknya seorang kontraktor jasa konstruksi.

Sedangkan aku? Aku hanya anak pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan penting di kantornya. Ibuku bukan wanita karier. Ia adalah ibu rumah tangga yang berpenampilan sederhana.

Namun entah mengapa, mereka mau berteman denganku. Apakah karena penampilanku rapi dan bersih? Atau karena aku pintar menyenangkan hati lawan bicaraku? Atau karena aku mampu bermain gitar? Entahlah!

"Tumben pulang cepat!" sapa bapak ketika aku muncul di ambang pintu. 

Sapaan itu seperti menyindirku. Aku berusaha untuk tersenyum. Kuletakkan tasku di atas meja belajar. Aku segera mengganti pakaian, kemudian mengambil air wudu. Selesai salat, aku menuju meja makan.

"Makanlah!" kata ibu sambil membuka tudung saji.

"Ibu sudah makan?"

"Sudah!"

"Bapak?"

"Juga sudah!"

Kudengar derit pagar dibuka. Lewat kaca jendela yang tidak ada gordennya, kulihat bapak keluar. Bapak masih mengenakan seragam kantor. Seorang tukang becak menghampiri bapak dan menawarkan jasanya. Bapak mengangkat tangan, lalu pergi. Aku tidak mendengar suara bapak pamit. Kulihat ibu sibuk dengan cucian yang menumpuk. Tidak biasanya bapak pergi meninggalkan rumah tanpa pamit. Setahuku setiap pergi, bapak selalu berpamitan kepada ibu dan anak-anaknya. Namun sekarang sudah berubah. Aku tidak tahu sejak kapan perubahan itu terjadi.

Kutatap hidangan yang tersaji. Hampir tidak ada perubahan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Nasi putih, sayur bening, ikan asin, oncom, dan sambal terasi. Kalupun ada perubahan, mungkin jenis sayur yang direbus atau ditumis. Sesekali saja ibu menghidangkan ikan mas goreng, telur, atau ayam goreng. Terus terang, menu yang dihidangkan ibu tidak membangkitkan selera makanku.

Sejak keadaan ekonomi keluargaku mengalami krisis, aku lebih senang makan di rumah Ivan. Seperti kemarin, aku makan dengan lima macam lauk. Ada sambal goreng hati, empal, telur, karedok, dan kerupuk emping. Karena sering makan di rumah Ivan, aku dapat mencicipi bistik, sop buntut, udang asam manis, cumi saus tiram, dan banyak lagi jenis masakan yang tidak kukenal namanya.

Selain itu, aku juga bisa mencicipi berbagai buah impor, seperti anggur, apel, strawberry, atau sunkist. Semuanya dalam keadaan segar. Rasanya sangat enak.

Bermcam puding pun tersimpan di kulkas. Ivan sangat menyukai puding karamel. Aku juga suka, tapi uding pelangi dan puding pandang lebih terasa lezat di lidahku. Semua makanan itu tidak pernah kujumpai di rumahku.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Ah, tidak!" jawabku gugup Pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku.

"Kau tidak berselera?" tanya ibu lagi.

Aku tidak menjawab, Kuambil nasi dan lauk seadanya. Pelan-pelan kucoba memasukkan ke mulut. Lama aku mengunyahnya, baru bisa kutelan.

Ibu menatapku sejenak, kemudian membiarkanku makan sendirian. Sepertinya ibu tahu bila atau tidak berselera. Aku kasihan pada ibu. Kalau saja bapak mau berusaha lebih keras,  tentu menu makan keluarga bisa ditingkatkan. Sebagai pegawai negeri, bapak tidak mau seperti teman-teman sekantornya. Misalnya ikut terlibat dalam beberapa proyek yang ditangani kantor. Atau menerima tip dari orang-orang yang berurusan dengan bapak.

Selama ini bapak hanya menerima gaji bulanan. Sedangkan pengeluaran cukup besar. Untuk biaya kuliah kakakku saja, bapak harus mengeluarkan uang ratusan ribu sebulan. Maklum, dua orang kakakku kuliah di universitas swasta. Sekarang ini aku baru dua bulan di kelas 3 SMU. Berarti tahun depan aku juga sudah harus kuliah. Sedangkan Farid, adikku yang paling kecil akan masuk SMU tahun depan. Aku belum melihat persiapan bapak untuk biaya kuliahku nanti. Yang pasti, aku punya cita-cita untuk melanjutkan studi ke fakultas teknik. Namun sampai saat ini, bapak tidak pernah menanyakan tentang cita-citaku itu.

"Makanmu kok sedikit sekali, Yon!" suara ibu mengejutkanku.

"Aku tidak begitu lapar, Bu!" Tidak begitu lapar atau tidak berselera?" Ketika aku mencuci tangan, ibu datang menghampiri. Kutatap raut wajahnya yang lelah. Hatiku getir. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya. Ibu sering mengeluhkan uang belanja yang tidak cukup pada bapak. Tentang harga kebutuhan sehari-hari yang mahal dan naik setiap saat. Bapak menanggapinya dengan diam. Seolah-olah bapak tidak ingin hal itu dibicarakan. Apalagi membicarakannya di hadapan anak-anak.

"Ya, bagaimana pintarnya ibu berbelanja, deh!" Kalimat itu yang sering kudengar dari mulut bapak untuk mengakhiri keluhan ibu, Biasanya ibu akan segera meninggalkan bapak dan pergi ke belakang atau ke kamar. 

"Sekolahmu bagaimana, Yon? tanya ibu. "Lancar, Bu," Jawabku pendek. "Ibu tahu, akhir-akhir ini kamu semakin jarang makan di rumah karena lauknya tidak ada. Di mana kamu makan?" lagi-lagi pembicaraan ibu mengarah ke soal makan.

Aku terdiam. Rasanya malu juga kalau kukatakan bila aku makan di rumah Ivan, Roy, atau ditraktir teman. Tidak masuk akal juga kalau aku ditraktir teman setiap hari. Tetapi, aku yakin ibu sudah menduga bahwa aku makan di rumah teman. Tetapi siapa temanku itu? Ibu tampak enggan bertanya. Sementara uang jajanku sangat terbatas dan hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi, apalagi nasi padang.

"Bareng-bareng sama teman, makan mie atau goreng-gorengan, "jawabku seadanya.

Melihat gelagatku yang tidak ingin di tanyai, ibu meninggalkanku. Sebenarnya banyak hal yang akan kubicarakan dengan ibu. Terutama tentang rencanaku setelah lulus nanti. Lebih kurang tinggal sembilan bulan lagi aku belajar di SMU. Sudah seharusnya aku mempunyai pilihan ke mana aku akan melanjutkan pendidikan.

Hari ini telah kuputuskan untuk tidak keluar rumah. Kamarku yang berantakan seolah minta dirapikan. Aku juga harus menyeleksi buku-buku yang tidak kubutuhkan lagi untuk disimpan. Begitu pula dengan pengaturan kamar yang perlu kuubah agar tercipta suasana baru sehingga aku merasa betah berada di kamar itu. Ada beberapa poster yang sudah rusak terkena air yang merembes dari atap kamarku yang bocor. Poster-poster itu harus kuganti dengan yang baru. Kemarin, Noni memberiku tiga poster. Satu poster bergambar Martina Hinggis, satu lagi David Beckham, si penendang maut dari klub Mancehester United. Poster yang paling besar adalah gambar Ade Ray yang tengah memamerkan tubuhnya yang kekar. Noni tahu jika aku tidak menyukai poster-poster yang dapat memberikan tambahan semangat dalam hidup. Masa depan yang baik harus diperjuangkan. Bukankah ketiga poster itu adalah potret orang-orang yang gigih dalam meraih presasi di bidangnya?


Karya: Hanum Safnas

KEMARAU

Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya terbit.

Semua petani mengeluh dan berputus asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali turun ke sawah di tahun itu. Setelah bulan setelah benih ditanam, bendar-bendar tak mengalirkan air lagi karena hujan sudah lama tak turun. Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tapi langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Apa beberapa orang pergi di dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal ke sawang bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.

Ketika rengkahan tanah di sawah sudah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetes pun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu,  taklah ada gunanya bagi sawah suka main domino atau main kartu di lepau-lepau.
Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalirkan air lagi, sawah-sawah sudah mulai kering dan matahari masih terus bersinar dengan maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung  bambu itu. Dan dua belek minyak tanah digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan ia berhenti pada waktu magrib hampir tiba. Dan beberapa kali angkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.

*****

Sutan Duano muncul di kampung itu pada akhir pendudukan Jepang. Wali Negeri di kampung itu mengizinkannya mendiami sebuah surau tinggal yang telah lapuk dan tersia-sia Seperti surau di mana pun, surau itu juga punya kolam kecil. Juga tersia-sia. Rerumputan dan pohon keladi telah tumbuh di dalamnya dengan subur. Waktu ia datang itu, tidak begitu terbuka, tak seorang pun yang menjadi sahabatnya. Ia lebih suka hidup menyisih.

Waktu itu umurnya sekitar 40 tahun. Dan orang tercengang saja ketika mengetahui seseorang yang belum tua telah mendiami sebuah surau tinggal untuk menghabiskan sisa umurnya. Berapa panjangkah lagi sisa umurnya? Orang pun menyangka bahwa sisa umurnya takkan panjang apabila melihat wajahnya yang pucat dan badannya yang kerempeng.

Tapi orang tambah tercengang lagi karena sisa umurnya dihabiskannya dengan  bekerja keras. Padahal setiap orang yang mati mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan sisa umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Qur'an sampai mata menjadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.

Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya. Lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di tepi kolam itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski di musim lapar itu, dimintanya untuk dikerjakan.

Dari masa ke masa, hingga akhir perang kemerdekaan, tidak ada sesuatu yang penting terjadi pada dirinya. Orang-orang kampung itu hanya menandainya, bahwa ia mengerjakan pekerjaannya ke danau untuk mandi dan memancing ikan badar beberapa ekor. Setelah ia berternak dan sarapan, ia ke ladang lagi hingga matahari tepat pas di puncak ubun-ubun. Sudah itu ia tidur. Dan setelah matahari tidak terik lagi, ia ke ladang lagi. Menjelang senja benar baru ia pulang membawa seikat kayu. Sudah itu, orang menyangka ia tidur sampai subuh tiba pula.

Tapi pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah pemimpin mengungsi ke desa-desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi ke kampung tempat Sutan Duano tinggal. Di antaranya seorang yang bernama Haji Tumbijo. Ia rupa-rupanya mengenal Sutan Duano dengan baik. Dan seorang yang bernama Haji Tumbijo. Ia rupa-rupanya mengenal Sutan Duano dengan baik. Dan ia tinggal di surau Sutan Duano, meski Wali Negeri telah menyediakan rumah yang pantas buatnya.

"Aku akan mengubah hidupnya," kata Haji Tumbijo kepada Wali Negeri yang keheranan memandangnya.

Dan ketika Haji Tumbijo hendak kembali ke kota, setelah serdadu Belanda yakin, bahwa kekuatan rakyat yang sedang mengadakan revolusi itu tak dapat dipatahkan, ia berkata lagi pada Wali Negeri," Ia sudah berubah. Ia akan menjadi orang yang berguna di sini."

Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau tanah parumahan. Sedang tanah-tanah di lereng bukit telah padat oleh pohon pala, cengkeh, dan durian. Dari hasil sawah yang ada tidak pula mencukupi bagi isi perut petaninya sendiri. Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang yang telah berpuasa sebulan, lalu mempunyai kebebasan melahapi peganan di hari raya. Ketika isi kemerdekaan yang telah tercapai itu ditumpahkan ke kampung itu, kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek huruf, lalu didirikan kursus PHB. Semua rakyat harus cerdas, lalu didirikan kursus pengetahuan umum, taman-taman bacaan, kursus politik. Maka orang-orang yang sudah terbiasa bicara tentang politik, lebih menyukai mengikuti kursus-kursus itu, serta berusaha memperkuat pantainya agar memperoleh kursi di perwakilan yang ada di kampung itu. Pendeknya semua orang lalu berjuang menaikkan tingkat martabatnya. Penggembala sepi lebih menyukai jadi murid kursus pengetahuan umum. Petani-petani lebih ingin jadi guru mengikuti kursusnya yang enam bulan saja lamanya. Penggembala beruk pemanjat kepala mencapai kemajuan secepatnya. Kusir-kusir bendi, tukang-tukang pedati telah mengandangkan hewannya, lalu mereka terjun ke lapangan baru. Sedang Wali Negeri sendiri lebih memikirkan usahanya untuk menumbuhkan berbagai macam kursus yang baru. Karena dengan demikian lebih populer dan kedudukannya sebagai Wali Negeri akan dapat dipertahankan terus.

Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjannya. Sapi-sapi yang tak tergembalakan dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kepala sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkannya. Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus , ia membenamkan dirinya mengikisi lumut kulit manis sampai tengah malam. Dan di samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui buku-buku.

Dan kekita orang-orang sudah mulai bosan pada kursus-kursus, baik karena otaknya tak mampu mencernakan pelajaran atau karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak. Karenanya ia telah menjadi orang yang berarti, disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya, melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimpin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. Sapi dan bajaknya dipinjam dengan cuma-cuma. Sistem ijon diusahakan melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga. Pada suatu saat yang masak, didirikannya koperasi di kalangan mereka. Dan ketika guru Agama yang biasanya mengadakan pengajian di kampung itu telah diangkat jadi pegawai di kota, Sutan Duano diminta orang jadi guru. Pada hari Kamis sore suraunya ramai dikunjungi orang-orang perempuan. Dan malamnya dikunjungi kaum laki-laki. Ramalan Haji Tumbijo telah jadi kenyataan.

*****

Awal dari segalanya, yakni pada suatu hari datanglah seorang laki-laki bersama Sutan Caniago kepadanya. Ia seorang ayah dari empat orang anak. Katanya ia tak sangup di kampung lagi. Maksudnya hendak merantau, mengadu untung di kota. Tapi ia memerlukan modal. Untuk mendapat modal itulah ia menemui Sutan Duano. Ia hendak mengijon padinya yang telah selesai  disianginya.

"Sudah yakin benar Sutan akan berhasil lebih baik jika di kota?" tanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir.

"Keadaan nasib siapa yang tahu."

"Jangan bermain' judi dengan nasib, Sutan."

"Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku."

"Di mana Sutan tahu pintu rezeki lebih lapang di kota dari pada di sini?" Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur. Sutan Duano tidak membiarkannya menderita begitu lama. Lalu katanya. "Kalau Sutan jual padi itu, apa yang akan dimakan anak bini Sutan kelak?"

"Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi ini setelah disiangi. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib."

Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat."

Laki-laki itu memandang Sutan Duano dengan pandangan yang tak tertafsirkan. Sorotan matanya lebih dekat pada bentuk melongo daripada memahami, kemudian sorotan mata itu berubah ke arah kepastian. Dan katanya, "Bapak tidak melihat hakikat kehidupan petani di kampung ini rupanya."

"Aku juga petani," kata Sutan Duano cepat,"Bapak petani sebatang kara. Aku punya Kini Sutan Duano yang melongo.

"Nasib kami petani di kampung ini tidak pernah berubah. Betapapun giatnya kami bekerja, kami hanya mampu memberikan pakaian anak bini kami sehelai dalam setahun. Kami orang tani tak pernah mampu membuatkan rumah untuk mereka. Bapak lihat pakaian ini. Hanya dari belacu. Inilah yang sanggup kubeli, betapapun baiknya hasil panen. Lain halnya dengan jadi pedagang. Pedagang mempunyai kesempatan untuk berkembang. Setiap rumah yang ada di kampung ini bukanlah punya petani, melainkan punya pedagang....


Karya: A.A.Navis

PANJANG URATNYA

Malin Sabar antara sebentar sakit gigi. Banyaklah sudah obat-obat yang dijual orang di pasar dipakainya, tetapi tiada yang menolong. Baik sehari dua, kembali sakit pula. Jampi-jampi dukun kampung pun telah banyak sekali dicobanya, tetapi tiada mujarab. Sampai ia mengomel, "Zaman ini bukan saja pencarian yang meleset, tetapi jampi-jampi pun turut pula meleset, tidak ada yang mustajab lagi seperti dahulu," katanya.

"Bawa saja ke sekolah, sebentar saja baik," kata seorang guru pensiun kepadanya.

"Entahlah, Engkau, saya tidak berani dengan dokter. Dokter main cabut, main suntik, dan main potong saja. Kalau salah potong, awak juga yang melarat, jadi takut akan lumpur. Lari keduri awak namanya," jawab Malin Sabar.

Pada suatu hari,penyakit giginya menjadi-jadi benar.

"Jika mati pun, matilah. Sekarang, aku pergi ke dokter," kata Malin Sabar sambil memegang pipinya yang sakit itu, lalu pergi ke rumah sakit.

"Tarik, Tuan, tolonglah obati gigi saya," katanya sesampai di sana.

"Boleh, tapi tunggu sebentar," jawab tuan dokter.

Malin Sabar pun duduklah menunggu di atas sebuah bangku sambil mengerang-erang dokter.

Malin Sabar pun duduklah menunggu di atas sebuah bangku sambil mengerang-erang kecil.

Mendengar jerit orang yang sedang diobati dokter di bilik sebelah, Malih sabar terbit takutnya, kecut hatinya. Sudah berpikir-pikir ia hendak meninggalkan rumah sakit itu, tetapi, tiba-tiba pintu terbuka dan tuan dokter memanggil dia, "Ayo, masuk!"

Hati Malin Sabar berdebar-debar, dan badannya pun gemetar sebab ketakutan. Sangat menyesal ia rasanya datang ke rumah sakit itu.

"Duduk di sini," kata tuan dokter menunjuk sebuah kursi, kemudian menyediakan perkakasnya.

Melihat perkakas yang berkilat-kilat itu, hati Malin Sabar makin kecut. Tiada berapa lama, tuan dokter itu pun menghampiri Malin Sabar dengan sebuah  perkakas di tangannya. 

"Ayo, ngangakan mulut!" katanya.

"Jangan dicabut, Tuan, kasihanilah saya!" kata Malin Sabar dengan suara gemetar.

"Jadi, bagaimana?" tanya tuan dokter heran bercampur gusar rupanya.

"Tuan, obat saja, kasihanilah, Tuan!"

"Ayo, buka lekas!" memerintah tuan dokter.

Malin Sabar pura-pura tidak mendengar. Dagunya makin ditekankannya.

Akan tetapi, tuan dokter tidak sabar rupanya menunggu lama-lama. "Tap," ditangkapnya rahang Malin Sabar, lalu dipijitnya.

Karena Malin Sabar tidak juga mau membuka mulutnya senganga-senganganya, tuan dokter memberi perintah dengan bahasa Belanda kepada verpleger-nya.

Verpleger mengambil sebuah peniti, lalu mencocok kedudukan pantat Malin Sabar dari belakang.

"Auu....," Malin Sabar terkejut, mulutnya ternganga. Dengan tangkas, tuan dokter memasukkan perkakasnya, terus mencabut gigi yang sakit itu sekali.

Setelah memberi pertolongan yang perlu, tuan dokter pun berkata, "Nah, sekarang boleh pulang," katanya sambil tertawa.

"Dari mana engkau, Malin Sabar?" bertanya orang di tengah jalan.

'Dari rumah sakit, mencabut gigi!"

"Sakit.....tidak?"

"Eeei, bagaimana tidak sakit, hampir aku mampus! Pantat uratnya panjang sampai ke sini," katanya sambil meraba kedudukannya.


Karya: M. Kasim

DIA TERAMAT MALANG

Pagi indah sekali di Baturaden. Matahari bersinar cerah menimpa pohon-pohon ceramah yang kelihatan hijau berkilat. Puncak Gunung Slamet muncul di atas warna-warna hijau kebiruan alam di sekitarnya. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang yang menonjolkan kegagalan gunung itu.

Keindahan alam pagi itu saya potret dari beberapa sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkeliling dan menangkap sesosok tubuh berjalan ke arah saya. Segera saja saya ingin memotretnya.

Cepat-cepat saya bidikkan lensa ke arahnya. Melalui lensa, saya melihat seorang wanita berpakian sangat sederhana, menggendong sebuah baskom dengan sehelai kain yang sudah pudar warnanya. Tidak terlihat kesegaran dan kecerahan di wajahnya yang tampak masih muda. Ia bahkan tampak tidak peduli, memandang ke depan dengan pandangan kosong. Dua kali saya berhasil memotretnya, tetapi dia tampaknya tidak menyadari apa yang telah saya lakukan.

"Mendoan, Ndoro, masih anget," katanya sambil mengangkat baskom dari kain gendongannya. Di balik daun pisang penutup baskom itu, kelihatan mendoan, tempe yang digoreng dengan tepung, lembut, dengan aromanya yang gurih menimbulkan selera, khas Purwokerto.

Saya langsung saja mulai menikmati tempe berwarna kehitaman itu sambil berdiam diri. Pada suatu saat, saya merasa wanita itu memperhatikan saya. Saya menengok ke arahnya. Betul saja. Dia menatap saya.

"Susi, ya?" katanya sambil menunjuk ke arah saya dengan ibu jarinya.

Saya kaget. Dari mana dia tahu nama kecil saya? Siapa sih, dia? Rasanya saya tidak kenal siapa pun di sini.

"Ayolah, Susi, seharusnya Anda tidak melupakan saya," sambungnya dengan suara lirih memelas, sambil menundukkan kepalanya.

Saya amati wajahnya dalam-dalam. Saya berusaha mengingat-ingat. Pelan- pelan terasa bahwa saya pernah mengenalnya. Tapi, siapa?

"Anda lupa sama saya. Tari, Untariah," lanjutnya dengan wajah yang betul-betul menghancurkan perasaan.

Saya tidak dapat berkata-kata. Rasanya seperti ini menangis. Dia Untarilah, teman sekelas saya di SD. Seingat saya dia selalu dapat mengalahkan saya. Banyak orang yang memuji otaknya yang cemerlang. Tapi, apa yang terjadi dengannya?

Lama kami terdiam. Setelah menekan perasaan kuat-kuat, saya akhirnya memecahkan kesunyian dengan mulai bercerita tentang diri saya. Saya katakan bahwa saya sedang mendaki gunung. Kami serombongan sudah dua hari berkemah di situ, di bumi perkemahan milik PERHUTANI.

"Anda kelihatannya senang, ya?" katanya tiba-tiba memotong cerita saya. "Ada kesempatan meneruskan sekolah, punya banyak teman, punya kesempatan untuk jalan-jalan menikmati hidup."

"Tapi, saya...rasanya semua sudah hilang....."

"Anda ingat, ayah saya tukang pos," lanjutnya, "Ayah meninggal waktu saya kelas dua SMP. Kami harus berjuang keras untuk hidup. Mula-mula, kami jual rumah untuk modal. Kami pindah ke Desa memutung, di sini. Kami coba membuka warung. Hasilnya pas-pasan, sementara kebutuhan warung. Hasilnya pas-pasan, sementara kebutuhan makin besar. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencoba mencari tambahan. Itu baru kira-kira enam bulan setelah ayah meninggal."

Gila, pikir saya. Ini benar-benar kenyataan yang sangat buruk yang tidak pernah saya bayangkan akan dapat terjadi.

"Sulit sekali bagi saya mencari pekerjaan karena saya tidak mempunyai ijazah apa-apa. Saya pernah menjadi pelayan restoran di Purwokerto. Tapi, ongkos pulang pergi ke sana terlalu besar. Saya terpaksa berhenti bekerja dan membantu usaha ibu. Tapi, tidak banyak hasilnya. Saya berusaha keras keluar dari kesulitan itu. Dan inilah akhirnya," katanya sambil menggerakkan kepalanya ke arah baskom mendoan.

"Adik-adikmu bagaimana?" tanya saya sesudah terdiam beberapa saat.

"Alhamdulillah, sampai sekarang mereka masih bersekolah, tapi mereka juga ikut mencari tambahan, mengumpulkan daun cengkeh yang gugur di sekitar sini."

"Ini hari Sabtu," tiba-tiba Tari memecah kesunyian, "nanti, sebentar lagi pasti banyak orang yang datang ke Taman Ria. Mudah-mudahan saja saya banyak duit," sambungnya mencoba berseloroh.

Dia membereskan baskomnya kemudian bersiap pergi. "Saya harus pergi, Susi. Sampai ketemu lagi," katanya.

"Hei, tunggu, Tapi. Saya belum bayar," kata saya sambil menyerahkan semua uang yang ada di saku saya.

Matahari bersinar terik ketika saya kembali ke kemah. Hawa dingin terasa segar di badan. Puncak Gunung Slamet mulai menghilang tertutup kabut. Alam Baturaden memang indah, tapi nasib Utariah membayangi perasaan saya.


Karya: Asdina Ratnawati

SEJARAH MELAYU

Kata sahibul hikayat, maka tersebutlah perkataan Sang Nila Utama tinggal di Bintan beristrikan Wan Seri Beni. Anak Raja Bintan itu terlalu amat berkasih-kasihan. Hatta berapa lamanya, pada suatu hari, Sang Nila Utama hendak pergi beramai-ramaian ke Tanjung Bemban, hendak membawa perempuan Baginda. Maka Baginda pun bermohon kepada bunda Baginda, permaisuri Iskandar Syah. Maka titah bunda baginda:

"Apa kerja anak kita pergi ke sana? Tiadakah rusa dan pelanduk dengan kandangnya, dan tiadakah kijang, landak dengan kurungannya? Tiadakah segala ikan dan kerang-kerangan di dalam kolam? Dan tiadakah buah-buahan dan bunga-bungaan di dalam taman? Mengapakah maka anak kita hendak bermain jauh?"

Maka sembah Sang Nila Utama: "Segala anak sungai Bintan ini telah habislah sudah tempat beta bermain: Bahwa Tanjung Bemban ini diwartakan orang terlalu baik. Itulah sebabnya maka beta hendak pergi. Dan jikalau tiada pergi diberi beta pergi bermain ke Tanjung Bemban ini, duduk mati, berdiri mati, serba mati."

Maka beberapa dilarang permaisuri Iskandar Syah, Baginda bermohon juga pergi. Maka titah permaisuri, "Daripada sebab kita anak kita mati, baiklah anak kita pergi."

Maka permaisuri pun menyuruh berlengkap pada Indera Bupala dan pada Aria Bupala: Telah sudah lengkap maka Sang Nila Utama pun berangkatlah dengan raja perempuan sekali. Maka secara lancing kenaikan pun didayung oranglah. Apapun kenaikan Baginda lancaran bertiang tiga, pilang peraduan dalam kelambu tirai dalam kurung, serta permandian, dan kelengkapan bermasak-masak. Maka rupa perahu orang yang mengiringkan tiada terbilang lagi.

Telah datang ke Tanjung Bemban maka Baginda pun turun bermain ke pasir. Maka raja perempuan pun turun dengan segala bini orang besar-besar dan orang kaya-kaya bermain di pasir itu mengambil kerang-kerangan. Maka raja perempuan duduk di bawah pohon pandan dihadap bini segala orang kaya-kaya. Maka raja perempuan duduk di bawah pohon pandan dihadap bini segala orang kaya-kaya. Maka Baginda terlalu suka melihat kelakukan dayang-dayang bermain itu. Masing-masing pada kesukaannya: ada yang mengambil siput, ada yang mengambil kupang, ada yang mengambil ketam, ada juga yang mengambil lokan, ada yang mengambil daun kayu olah hulaman, ada yang mengambil bunga karang, ada yang mengambil agar-agar. Maka terlalulah sukacita segala dayang-dayang itu: ada yang mengambil bunga-bungaan diperbuat sunting, masing-masing dengan tingkah lakunya, dan ada yang berlari berhambat-hambatan terserandung jatuh, rebah rempah daripada sangat sukanya itu.

Adapun Sang Nila Utama dengan segala menteri, pegawai, rakyat pergi berburu. Maka terlalulah banyak beroleh perburuan. Hatta mata lalu seekor rusa di hadapan Sang Nila Utama, mata ditikam Baginda sekali lagi, kena rusuknya, terus lalu mati. Maka sang Nila Utama datang pada suatu batu, terlalu besar dengan tingginya, maka Baginda naik ke atas batu itu memandang ke seberang. Maka dilihat Baginda tanah seberang itu. Pasirnya terlalu putih, seperti kain terhampar. Maka Baginda pun bertanya pada Indera Bupala, "Pasir yang kelihatan itu tanah mana?"

Maka sembah Indera Bupala: "Itulah ujung tanah besar, Temaik namanya."

Maka titah sang Nila Utama: "Mari kita pergi ke sana,"

Maka sembah Indera Bupala: "Mana titah tuanku."

Maka sang Nila Utama pun naiklah ke perahu lalu menyeberang.

Setelah datang ke tengah laut, ribut pun turun; maka kenaikan itu pun keairan, maka dipertimba orang tiada tertimba air ruang lagi. Maka disuruh penghulu kenaikan membuang; maka beberapa harta yang dibuangkan, tiada berapa lagi yang tinggal. Maka kenaikan itu hampir ke teluk Belanga, makin sangat air naik; maka dibuang orang segala harta yang lagi tinggal itu, hanyalah mahkota juga yang ada lagi, tiada juga kenaikan itu timbul.

Maka sembah penghulu kenaikan kepada sang Nila Utama: "Tuanku, kepada bicara patik sebab mahkota ini juga gerangan maka kenaikan ini telah habislah sudah. Jikalau mahkota ini tiada dibuangkan, tiadalah kenaikan ini timbul, dan tiadalah terbela oleh patik sekalian."

Maka titah sang Nila Utama: "Jikalau demikian, buangkanlah mahkota ini."

Maka dibuangkan oranglah mahkota itu. Hatta mata ribut itu pun teduhlah, dan kenaikan itu pun timbullah, maka didayung oranglah ke darat. Setelah sampai ke tepi pantai, maka kenaikan itu pun dikepilkan oranglah; maka sang Nila Utama naik ke pasir dengan segala rakyat bermain, mengambil kerang-kerangan; lalu baginda berjalan ke darat bermain ke padang kuala Temasik itu.

Syahdan maka dilihat oleh segala mereka itu seekor binatang maha tangkas lakunya, merah warna tubuhnya, hitam kepalanya dan putih dadanya. Dan sikapnya terlalu pantas dan perkasa, dan besarnya besar sedikit daripada kambing randuk. Telah ia melihat orang banyak maka ia berjalan ke darat lalu lenyap. Maka Sang Nila Utama bertanya pada segala orang yang ada sertanya itu: "Binatang apa itu?"

Maka seorang pun tiada tahu.

Maka sembah Demang Lebar Daun, "Tuanku, ada patik mendengar dahulu kala singa yang demikian sifatnya. Baik tempat ini, karena binatang gagah ada di dalamnya."

Maka titah Sang Nila Utama pada Indera Bupala; "Pergilah Tuan hamba kembali. Katakan kepada Bunda bahwa kami tiadalah kembali. Jikalau ada kasih Bunda akan kita, berilah kita rakyat dan gajah, kuda. Kita hendak membuat negeri di Tamasik ini."

Maka Indera Bupala pun kembali. Telah datang ke Bintan maka ia pun masuk menghadap permasuri Iskandar Syah. Maka kata Sang Nila Utama itu semuanya dipersembahkannya kepada permasuri. Maka kata permasuri. "Baiklah, yang mana kehendak anak kita itu tidak kita lalui."

Maka dihantari Baginda rakyat dan gajah, kuda, tiada tepermanai banyaknya. Maka Sang Nila Utama pun berbuat negeri di Temasik, maka dinamai baginda Singapura. Maka Baginda pun tabahlah di Singapura. Maka Bat membacakan cirinya: Maka Sang Nila Utama digelasnya oleh Bat Seri Teribuana.

Telah beberapa lamanya Seri Teribuana kerajaan di Singapura itu maka Baginda berputra dua orang laki-laki. Keduanya baik paras; yang tua Raja Kecil Besar namanya, yang muda Raja Kecil Muda namanya.

Maka permaisuri Iskandar Syah dan Demang Lebar Daun dirajakan baginda di Bintan, bergelar Tun Telanai. Dan daripada anak cucu dialah bergelar Telanai Bintan itu, dan yang makan di balairung nasinya dan sirihnya sekaliannya bertetampan belaka. Hatta negeri Singapura pun besarlah, dan  bandar pun terlalu makmur.


Karya: T. D. Situmorang dan A. Teeuw

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK