Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya terbit.
Semua petani mengeluh dan berputus asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali turun ke sawah di tahun itu. Setelah bulan setelah benih ditanam, bendar-bendar tak mengalirkan air lagi karena hujan sudah lama tak turun. Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tapi langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merekah, mulailah mereka berpikir. Apa beberapa orang pergi di dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya bersama sekepal kemenyan. Hanya asap tebal ke sawang bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujan tak kunjung turun juga.
Ketika rengkahan tanah di sawah sudah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetes pun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu, taklah ada gunanya bagi sawah suka main domino atau main kartu di lepau-lepau.
Hanya seorang petani saja berbuat lain. Ia seorang laki-laki sekitar 50 tahun. Badannya kekar dan tampang orangnya bersegi empat bagai kotak dengan kulitnya yang hitam oleh bakaran matahari. Pada ketika bendar-bendar tak mengalirkan air lagi, sawah-sawah sudah mulai kering dan matahari masih terus bersinar dengan maraknya tanpa gangguan awan sebondong pun, diambilnya sekerat bambu. Lalu disandangnya di kedua ujung bambu itu. Dan dua belek minyak tanah digantungkannya di kedua ujung bambu itu. Diambilnya air ke danau dan ditumpahkannya ke sawahnya. Ia mulai dari subuh dan berhenti pada jam sembilan pagi. Lalu dimulainya lagi sesudah asar, dan ia berhenti pada waktu magrib hampir tiba. Dan beberapa kali angkut tak dilupakannya mengisi kedua kolam ikannya. Untungnya sawahnya yang luas itu tidak begitu jauh dari tepi danau. Laki-laki itu bernama Sutan Duano.
*****
Sutan Duano muncul di kampung itu pada akhir pendudukan Jepang. Wali Negeri di kampung itu mengizinkannya mendiami sebuah surau tinggal yang telah lapuk dan tersia-sia Seperti surau di mana pun, surau itu juga punya kolam kecil. Juga tersia-sia. Rerumputan dan pohon keladi telah tumbuh di dalamnya dengan subur. Waktu ia datang itu, tidak begitu terbuka, tak seorang pun yang menjadi sahabatnya. Ia lebih suka hidup menyisih.
Waktu itu umurnya sekitar 40 tahun. Dan orang tercengang saja ketika mengetahui seseorang yang belum tua telah mendiami sebuah surau tinggal untuk menghabiskan sisa umurnya. Berapa panjangkah lagi sisa umurnya? Orang pun menyangka bahwa sisa umurnya takkan panjang apabila melihat wajahnya yang pucat dan badannya yang kerempeng.
Tapi orang tambah tercengang lagi karena sisa umurnya dihabiskannya dengan bekerja keras. Padahal setiap orang yang mati mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan sisa umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Qur'an sampai mata menjadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.
Kolam ikan yang kecil diperbaikinya. Disemainya anak ikan di dalamnya. Lalu dibuatnya pula sebuah kakus umum di tepi kolam itu agar orang berak di sana dan ikannya mendapat makan. Dan sebidang tanah yang berbatu di kaki bukit, di mana sebelumnya tak seorang pun berselera mengolahnya meski di musim lapar itu, dimintanya untuk dikerjakan.
Dari masa ke masa, hingga akhir perang kemerdekaan, tidak ada sesuatu yang penting terjadi pada dirinya. Orang-orang kampung itu hanya menandainya, bahwa ia mengerjakan pekerjaannya ke danau untuk mandi dan memancing ikan badar beberapa ekor. Setelah ia berternak dan sarapan, ia ke ladang lagi hingga matahari tepat pas di puncak ubun-ubun. Sudah itu ia tidur. Dan setelah matahari tidak terik lagi, ia ke ladang lagi. Menjelang senja benar baru ia pulang membawa seikat kayu. Sudah itu, orang menyangka ia tidur sampai subuh tiba pula.
Tapi pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah pemimpin mengungsi ke desa-desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi ke kampung tempat Sutan Duano tinggal. Di antaranya seorang yang bernama Haji Tumbijo. Ia rupa-rupanya mengenal Sutan Duano dengan baik. Dan seorang yang bernama Haji Tumbijo. Ia rupa-rupanya mengenal Sutan Duano dengan baik. Dan ia tinggal di surau Sutan Duano, meski Wali Negeri telah menyediakan rumah yang pantas buatnya.
"Aku akan mengubah hidupnya," kata Haji Tumbijo kepada Wali Negeri yang keheranan memandangnya.
Dan ketika Haji Tumbijo hendak kembali ke kota, setelah serdadu Belanda yakin, bahwa kekuatan rakyat yang sedang mengadakan revolusi itu tak dapat dipatahkan, ia berkata lagi pada Wali Negeri," Ia sudah berubah. Ia akan menjadi orang yang berguna di sini."
Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau tanah parumahan. Sedang tanah-tanah di lereng bukit telah padat oleh pohon pala, cengkeh, dan durian. Dari hasil sawah yang ada tidak pula mencukupi bagi isi perut petaninya sendiri. Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang yang telah berpuasa sebulan, lalu mempunyai kebebasan melahapi peganan di hari raya. Ketika isi kemerdekaan yang telah tercapai itu ditumpahkan ke kampung itu, kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek huruf, lalu didirikan kursus PHB. Semua rakyat harus cerdas, lalu didirikan kursus pengetahuan umum, taman-taman bacaan, kursus politik. Maka orang-orang yang sudah terbiasa bicara tentang politik, lebih menyukai mengikuti kursus-kursus itu, serta berusaha memperkuat pantainya agar memperoleh kursi di perwakilan yang ada di kampung itu. Pendeknya semua orang lalu berjuang menaikkan tingkat martabatnya. Penggembala sepi lebih menyukai jadi murid kursus pengetahuan umum. Petani-petani lebih ingin jadi guru mengikuti kursusnya yang enam bulan saja lamanya. Penggembala beruk pemanjat kepala mencapai kemajuan secepatnya. Kusir-kusir bendi, tukang-tukang pedati telah mengandangkan hewannya, lalu mereka terjun ke lapangan baru. Sedang Wali Negeri sendiri lebih memikirkan usahanya untuk menumbuhkan berbagai macam kursus yang baru. Karena dengan demikian lebih populer dan kedudukannya sebagai Wali Negeri akan dapat dipertahankan terus.
Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjannya. Sapi-sapi yang tak tergembalakan dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kepala sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkannya. Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus , ia membenamkan dirinya mengikisi lumut kulit manis sampai tengah malam. Dan di samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui buku-buku.
Dan kekita orang-orang sudah mulai bosan pada kursus-kursus, baik karena otaknya tak mampu mencernakan pelajaran atau karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak. Karenanya ia telah menjadi orang yang berarti, disegani oleh semua orang. Tapi bukan karena kayanya, melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan. Lambat-lambat ia jadi pemimpin di kalangan petani untuk mengerjakan sawah. Sapi dan bajaknya dipinjam dengan cuma-cuma. Sistem ijon diusahakan melenyapkannya dengan meminjamkan uangnya sendiri tanpa bunga. Pada suatu saat yang masak, didirikannya koperasi di kalangan mereka. Dan ketika guru Agama yang biasanya mengadakan pengajian di kampung itu telah diangkat jadi pegawai di kota, Sutan Duano diminta orang jadi guru. Pada hari Kamis sore suraunya ramai dikunjungi orang-orang perempuan. Dan malamnya dikunjungi kaum laki-laki. Ramalan Haji Tumbijo telah jadi kenyataan.
*****
Awal dari segalanya, yakni pada suatu hari datanglah seorang laki-laki bersama Sutan Caniago kepadanya. Ia seorang ayah dari empat orang anak. Katanya ia tak sangup di kampung lagi. Maksudnya hendak merantau, mengadu untung di kota. Tapi ia memerlukan modal. Untuk mendapat modal itulah ia menemui Sutan Duano. Ia hendak mengijon padinya yang telah selesai disianginya.
"Sudah yakin benar Sutan akan berhasil lebih baik jika di kota?" tanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir.
"Keadaan nasib siapa yang tahu."
"Jangan bermain' judi dengan nasib, Sutan."
"Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku."
"Di mana Sutan tahu pintu rezeki lebih lapang di kota dari pada di sini?" Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur. Sutan Duano tidak membiarkannya menderita begitu lama. Lalu katanya. "Kalau Sutan jual padi itu, apa yang akan dimakan anak bini Sutan kelak?"
"Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi ini setelah disiangi. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib."
Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat."
Laki-laki itu memandang Sutan Duano dengan pandangan yang tak tertafsirkan. Sorotan matanya lebih dekat pada bentuk melongo daripada memahami, kemudian sorotan mata itu berubah ke arah kepastian. Dan katanya, "Bapak tidak melihat hakikat kehidupan petani di kampung ini rupanya."
"Aku juga petani," kata Sutan Duano cepat,"Bapak petani sebatang kara. Aku punya Kini Sutan Duano yang melongo.
"Nasib kami petani di kampung ini tidak pernah berubah. Betapapun giatnya kami bekerja, kami hanya mampu memberikan pakaian anak bini kami sehelai dalam setahun. Kami orang tani tak pernah mampu membuatkan rumah untuk mereka. Bapak lihat pakaian ini. Hanya dari belacu. Inilah yang sanggup kubeli, betapapun baiknya hasil panen. Lain halnya dengan jadi pedagang. Pedagang mempunyai kesempatan untuk berkembang. Setiap rumah yang ada di kampung ini bukanlah punya petani, melainkan punya pedagang....
Karya: A.A.Navis
No comments:
Post a Comment