Suasana kamar asrama sempit ini terasa begitu lengang. Hanya terdengar suara gemericik gerimis hujan yang membasahi malam. Ketiga sahabatku masih terdiam, entah apa yang mereka pikirkan. Sedangkan aku berusaha menyerap ekspresi mereka, bisa saja dengan begini akan ketahuan siapa pelakunya. Namun sudah lebih dari dua puluh menit kuamati ketegangan yang terlukis di wajah mereka, tak kutemukan petunjuk apapun. Ternyata menjadi penggemar berat Sherlock Holmes belum cukup membuatku bisa menyelesaikan kasus seperti Sherlock, bahkan untuk masalahku sendiri.
“Di, kau tahu kan, aku tak mungkin melakukan hal semacam itu.” Dimas mulai berani bicara. Aku hanya tersenyum hampa, tak menjawabnya. Kutunggu reaksi Razak dan Farhan yang masih termenung menatap ubin.
“Di, aku turut prihatin pada kamera digitalmu.” Ucap Farhan, suaranya yang lantang mendadak gemetar. Mungkin sahabatku ini begitu iba padaku, paling tidak menurut pendapatku begitu.
“Iya, Di. Aku juga. Kemungkinan pelakunya orang luar.” Ujar Dimas lagi. Kini aku fokus pada Razak, teman yang paling kucurigai. Sedari tadi ia hanya ikut mengangguk-anggukan kepala bila salah satu dari kami sedang bicara, namun bukan karena itu alasan ia kujadikan tersangka utama.
“Mulai besok ayo kita selidiki bersama-sama! Kira-kira siapa yang waktu itu keluar masuk kamar kita!” Dimas mengepalkan tangan.
“Tapi Dim, kamar kita memang biasa tidak dikunci. Jadi siapapun bisa masuk, kan? Lagi pula laci meja belajarku selalu terkunci, hanya kalian bertiga yang tahu letak kuncinya!” Ujarku.
“Kau menuduh kami?!” Pekik Dimas. Razak ikut melotot ke arahku. Farhan menghela nafas panjang. Kini malah aku yang terpojok. Otakku berputar-putar, aku bingung menjelaskan apa pada ketiga teman sekamarku.
“Sudahlah, Dim! Ardi punya hak menuduh kita! Jadi jangan terlalu berlebihan!” Komentar Razak. Skenario bagus, Zak! Tetapi sayangnya tak akan mempan padaku, batinku berbicara. Namun jujur harus kuakui, perkataan Razak barusan agak melegakan hati. Dengan demikian ‘setidaknya’ ia bisa membuat Farhan dan Dimas tidak membenciku.
“Sudahlah! Lupakan pembicaraan ini! Aku keluar dulu, ya! Ada urusan dengan perpustakaan asrama!” Kataku segera beranjak. Kurapatkan jaket sebelum benar-benar keluar dari kamar.
Udara begitu dingin, arloji menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sebenarnya siswa dilarang berkeliaran diatas pukul delapan malam, namun tak apalah, dihukum membersihkan lorong ataupun GOR jauh lebih baik dari pada ditekan masalah sendiri. Ngomong-ngomong tentang jam, kembali kusesali ucapanku sendiri. Apa alasanku tadi? Perpustakaan asrama? Ayolah, semoga mereka tak menyadarinya. Tentu alasanku sangat mengada-ada, semua orang tahu perpustakaan asrama tidak buka diwaktu malam.
Kelihatannya semua siswa sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Lorong dan aula sangat sepi. Kulangkahkan kaki menuju klinik. Disana aku aman. Aku bisa beralasan pusing atau sakit sehingga bisa bebas dari hukuman. Aku mulai membenci segala ucapanku sendiri. Seharusnya tak langsung kukatakan pada mereka tentang nasib kamera digitalku. Ya, kamera digital yang baru dikirimkan Ayah padaku. Ceritanya begini, waktu itu ada pertandingan bola basket di aula asrama. Namun, aku tak ikut menonton disana. Pak Haikal memanggilku ke kantornya. Pak Haikal adalah pembimbing ekskul jurnalistik di asrama dengan aku sebagai ketua redaksinya. Biasanya bila ada tugas meliput, Pak Haikal selalu meminjamkan kameranya padaku, karena itulah aku tak membawa kamera. Kamera digitalku kusimpan di laci meja seperti biasa. Saat kembali, kamera digitalku masih ada, anehnya tubuhnya remuk seperti habis dibanting seseorang.
Siapapun dia, tak ada kata ampun untuknya. Sudah lama kuinginkan kamera itu. Hingga saat ini, ada beberapa orang yang kucurigai. Yang pertama, Razak. Sejak awal masuk asrama, aku merasa tak cocok bersahabat dengannya. Menurutku ia pun berfikiran sama. Pasalnya dari awal kami sering bertengkar mengenai apapun. Aku agak keberatan sekamar dengannya. Aku pernah mengatakan hal ini pada Ayah, juga meminta Ayah menghubungi pihak asrama agar memindahku ke kamar lain. Namun Ayah menolak dan malah memarahi sikapku. ‘Lari dari masalah’ begitu Ayah menyebutnya.
Kedua, Dimas. Sebenarnya, ia bukan anak yang suka mencari gara-gara. Hanya saja Dimas sering kelewatan saat bicara. Sebagai anak laki-laki, ia termasuk dalam kategori cerewet. Aku curiga Dimas tak sengaja membocorkan segala hal pada orang asing, tentang kameraku misalnya.
Jujur, aku sendiri agak keberatan menempatkannya sebagai tersangka. Ia adalah Farhan. Lebih dari lima tahun kami bersahabat. Hobi dan kesukaan kami sama. Rumah Farhan bertetangga denganku. Kami selalu satu sekolah. Saat aku memutuskan ingin masuk sekolah asrama, ia pun ikut serta. Farhan juga masuk anggota jurnalistik asrama. Seperti yang pernah diucapkan orang tua zaman dahulu, kadang yang sedang kita pikirkan secara kebetulan mendatangi kita.
Tiba-tiba kulihat Farhan setengah berlari menyusulku. Nafasnya terengah-engah. Di malam yang dingin ini ia lupa keluar mengenakan jaket.
“Ada masalah apa, Far?” Tanyaku.
“Justru seharusnya aku yang tanya! Apa rencanamu?” Farhan balik bertanya. Aku tercengang, belum bisa mencerna ucapan Farhan. Ia sahabat terbaikku, jadi pasti benar-benar ada sesuatu bila ia bicara begitu padaku “Di, kau sengaja, kan?”
“Maksudmu?” Aku mengrenyitkan dahi. Sebagai sahabat, mungkinkah Farhan sudah menemukan petunjuk atas masalahku ini? Sumpah! Aku tak mengerti semua situasi yang tengah terjadi. Aku tak mengerti maksud ucapan Farhan padaku. Segalanya terasa berbenturan di kepala. Dadaku begitu sesak memikirkannya. Sebagai korban, sepertinya ada banyak hal yang tak kuketahui.
“Far, kita sudah lama bersahabat, kan? Kalau ada sesuatu, katakan saja!”
“Jangan pura-pura, Di! Kau ingin…,” Farhan memenggal kalimatnya. Gema suara derap langkah terdengar mendekat. Ah, gawat! Itu pasti Pak Amri yang sedang jaga malam! Secepat mungkin aku langsung berlari menuju klinik.
Biasanya klinik tak pernah kosong, berbeda jauh dengan saat ini. Aku heran, mungkinkah selama seminggu ini tak ada siswa yang sakit? Bu Ida, petugas klinik, pun tak terlihat sedang berjaga. Klinik begitu senyap, lampunya redup, namun pintu masuknya tak terkunci. Aku bisa bersembunyi disana sampai keadaan benar-benar aman. Aku memutuskan akan segera kembali ke kamar sesudah ini.
“Sudah kuduga! Kau pasti disini, Di!” Seseorang menyalakan lampu klinik. Aku terperanjat. Wajahnya nampak tak asing, namun entah mengapa aku tak tahu siapa dia. Lupa barangkali. Yang pasti orang ini mengenalku.
“Si… siapa kau? Kenapa tahu namaku?” Aku bertanya. Orang itu tersenyum tipis.
“Dasar…! Kau ternyata tak mengenaliku!” Jawabnya singkat. Aku pun ikut tersenyum. Mungkin nanti aku akan mengingat namanya. Yang pasti ia kakak kelas.
“Mmmmm… ada urusan apa, ya Kakak kesini? Mencari Bu Ida? Ada teman yang sakit?” Tanyaku ramah, namun orang itu malah tertawa.
“‘Kakak’ kau bilang? Dasar, Di! Masa’ kau benar-benar tak mengenaliku…!” Aku hanya bengong. Apa maksud orang ini? Tidakkah ia lihat aku sedang bersembunyi?
“Aku ragu. Kau benar Ardi, kan?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Maaf, ya. Kalau mau bicara denganku lagi besok saja. Aku harus kembali ke kamar, bisa-bisa Pak Amri menangkapku!” Aku segera beranjak. Ternyata mencoba lari dari masalah malah mempertemukanku pada masalah yang lebih rumit.
“Tunggu dulu! Berhenti, Di!”
“Apa lagi?” Tanyaku sinis. Aku sudah benar-benar dongkol.
“Sebenarnya kau tak menyukai Razak, bukan?” Aku terdiam. Bagaimana ia tahu? Farhan, sahabat terdekatku, pun tak pernah kuberitahu. Itu hal pribadi. Sudah berkali-kali kucoba untuk berdamai dengan Razak, bahkan selama sebulan pun tak bisa. Ada saja hal yang menjadi biang kerok, meski setelah itu kami saling baikan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Itu tak penting! Di, kau harus ikut aku! Sekarang juga!” Orang itu menarik pergelangan tanganku dengan kasar. Namun bukan hal itu yang kini membuatku takut, sebuah lubang hitam tiba-tiba muncul di lantai klinik. Ia mendorong tubuhku menuju lubang hitam itu. Sekuat tenaga, aku menahannya.
“Ma..mau apa kau?!”
“Sudah! Diam!” Jawabnya ketus. Ia mendorongku semakin keras. Tubuhku semakin dekat dengan lubang aneh itu. Mungkinkah ini yang dinamakan black hole? Merinding, Aku teringat cerita Dimas mengenai black hole, lubang yang dapat menarik segalanya. Tapi sudah tak ada waktu untuk menceritakannya sekarang. Sial! lubang itu menghisapku!
—
Kepalaku serasa berputar-putar. Seakan ada bintang menari-nari di atas kening. Ah, inikah yang namanya berkunang-kunang? Bukan hanya itu, badanku masih terasa berguncang. Seakan aku baru saja masuk ke dalam lintasan spiral.
“Kau sudah sadar?” Sebuah suara. Untuk kesekian kalinya aku terperanjat. Berarti tadi bukanlah mimpi!
“Ini dimana? Barusan apa?!” Protesku.
“Ini di lorong asramamu kemarin siang. Aku membawamu ke hari dimana kameramu…,”
“A…apa?! Kemarin siang? Jangan bercanda!!” Kataku setengah berteriak.
“Barusan itu mesin waktu! Kau tak menyadarinya?!” Orang itu kembali berkata, berusaha meyakinkanku. Jujur, ini hal paling gila dan tak masuk akal yang pernah kualami. Mesin waktu? Tak pernah kutemukan kata itu dalam novel Sherlock Holmes. Ya, kurasa kejadian tak masuk akal ini belum tentu dialami setiap orang. Suasana terlalu cepat berganti. Tadinya keadaan gelap gulita karena sudah hampir tengah malam dan kuakui itu semua normal. Tetapi lihatlah sekarang! Terang benderang! Kemana perginya bulan sabit itu? Kemana larinya bintang gemintang yang indah itu? Matahari seolah sedang tersenyum mengejek kebingunganku.
“Ayo! Kau harus bergegas!”
“Bergegas? Buat apa? Apa maksud semua ini?!”
“Tugasku selesai sampai disini! Cepat larilah menuju kamarmu!” Perintahnya. Aku semakin tak paham, mungkinkah ia berkepribadian ganda? “Kau masih tak mengerti? Aku membawamu kemari agar kau tahu siapa orang yang merusak kameramu!!” Lanjutnya.
“Oh, begitu rupanya!” Desisku.
“Cepat lari! Waktumu terbatas!”
Entah mengapa, keadaan lorong asrama begitu sepi. Kemana perginya orang-orang ini? Ah, iya! Pasti semuanya sedang melihat pertandingan di GOR! Dengan begini, aku bisa dengan mudah menangkap pelaku itu!
“Eh, Ardi!” Seseorang menyapaku. Kutolehkan kepala padanya. Oh! Ternyata Dimas.
“Dimas, mau kemana?”
“Aku mau ke GOR, kau sendiri? Tadi Pak Haikal memanggilmu ke kantornya! Kenapa kau masih di sini?” Jawabnya. Aku tersenyum tipis. Ada banyak yang dapat disimpulkan. Berarti diriku yang satu lagi sedang menghadap Pak Haikal.
“Oh! Sudah, ya! Aku buru-buru!”
Kamarku kosong. Mungkin orang itu belum melancarkan aksinya. Nah, harus sembunyi kemana aku? Kamar ini cukup luas. Jadi gampang bersembunyi di sini. Aha! Lemari kuno di pojok ruangan! Lemari ini sengaja disiapkan pihak asrama sebagai lemari pakaian. Ukirannya aneh dan warnanya juga sudah berubah. Pada kenyataannya, aku, Farhan, Dimas maupun Razak tak mau menggunakannya. Lemari ini lumayan besar, kira-kira muat dimasuki tiga orang. Ya… meskipun harus duduk jongkok di dalam lemari pengap ini, bagiku bukan masalah. Terdengar suara langkah kaki, pasti itu tersangkanya! Urat sendi tanganku mengencang, rasanya ingin langsung kupukul babak belur pelakunya.
Kepalaku mengintip sedikit ke luar lemari. Kira-kira siapakah ia? Terdengar suara kunci dan pintu laci yang terbuka. Pasti ia sedang mencari kameraku, aku yakin! Aku terbelalak. Ini tak mungkin! Tidak mungkin! Jari-jari tanganku langsung melemas, semangatku luntur begitu saja, aku tak berdaya. Pernahkah Sherlock Holmes mengalami dilema seberat ini? Aku takkan pernah percaya apa yang mataku lihat. Ya, dia Farhan. Sedang mencoba melindas kameraku dengan kaki kursi.
“Farhan? Ah, mana mungkin!! Selama ini kukira Razak!” Gumamku. Setelah mengetahui ternyata ia Farhan, seakan aku melupakan segala-galanya. Apa rencanaku tadi? Menangkap basah? Jangankan menangkap basah, bernafas pun rasanya sesak! Urat-uratku seakan mati rasa. Tak pernah kuduga, Farhan?! Ia sahabatku. Lantas apa motifnya?
DUG…!! Ups! Kepalaku membentur dinding lemari.
“Siapa di sana…?” Seru Farhan. Gawat! Ayolah, Far, jangan memeriksa kemari! Ah, sial!! Pintu lemari terbuka perlahan. Kulihat ekspresi salah tingkah Farhan melihatku.
“Ar… Ardi? Ka…kau di sini?!” Farhan tergagap. Sengaja ataupun tidak, aku telah menangkap basah Farhan. Melihat posisiku, aku harus bersikap dewasa. Aku langsung beranjak ke luar dari lemari, menikmati wajah ketakutan Farhan.
“Aku tak percaya, kau…,” Farhan menundukkan kepalanya.
“Kau sama sekali tak mengerti aku!” Serunya sambil berlari ke luar kamar. Sungguh, aku benar-benar bingung. Lebih baik selamanya aku tak mengetahui hal ini, namun kenyataannya?
“Sudah tahu pelakunya, Jagoan?” Orang aneh itu lagi, datang secara tiba-tiba.
“Kau lagi…!”
“Nah, ada hal yang harus kau lakukan saat ini!”
“Mengadukan Farhan pada Pak Amri?”
“Bukan! Ini jauh lebih penting!” Orang aneh itu menepuk pundakku. Sesaat kemudian, ia meraih kameraku yang telah remuk di lantai. Memasukkannya kembali ke dalam laci dan menguncinya. Persis seakan tak pernah terjadi apa-apa.
“Apa yang kau lakukan?” Tanyaku.
“Bicaranya di tempat lain. Saat ini, kau yang satunya sedang menuju kemari!” Ucapnya. Aku mengangguk perlahan. Yah, apa salahnya menuruti nasehat orang itu. Meski aku pun yakin tak pernah mengenalinya.
Orang aneh itu mengajakku ke taman asrama. Taman agak sepi, hanya ada beberapa siswa sedang membaca di sini.
“Kau tahu apa yang sedang terjadi di kamarmu saat ini?” Tanyanya sambil melirik ke arahku.
“Iya. Pasti aku yang satunya sedang uring-uringan menyadari kamera kesayangannya rusak.” Ujarku sambil tersenyum malu.
“Senang menyadari kau sudah tahu pelakunya. Farhan, bukan?”
“I… iya. Satu lagi yang ingin kutanyakan…,” aku sengaja menggantungkan kalimat. Ia beralih menatapku lekat-lekat.
“Apa? Tanyakan saja!”
“Siapa kau? Apa pedulimu padaku? Apa tujuanmu? Mengapa menunjukkan semua ini padaku?” Kulontarkan sederet pertanyaan. Orang itu tersenyum tipis.
“Ternyata kau jauh lebih baik dari dugaanku.”
“Hah…?”
“Aku Razak dua tahun yang akan datang. Masa’ kau tak mengenalku?” Ia tertawa.
“Razak? Kau… kau Razak? Kau Razak teman sekamarku itu, kan?”
“Iya. Aku Razak, mantan teman sekamarmu.”
“Apa katamu, ‘mantan’?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya, setelah kau mengadukanku…!” Razak menatap mataku. Alis tebalnya hampir bersentuhan. Ya, itu tandanya memang ada hal serius yang harus kuketahui.
“Mengadukanmu? Pada siapa?! Masa’ aku mengadukanmu?”
“Ya! Semua terjadi begitu saja…! Tiba-tiba saja malam itu, Pak Haikal menjemputku ke kamar. Ia membawaku ke hadapan kantor kepala asrama. Setelah itu aku membencimu. Dan ternyata Farhan-lah pelakunya. Aku membawamu kesini agar kau tak mengadukanku!” Aku tak berkomentar apa-apa, menunggu kelanjutan ucapannya. Namun ternyata Razak menghentikan ceritanya. Menunggu reaksiku barangkali.
Aku menelan ludah. Ah, mana mungkin aku berbuat sekejam itu? Mungkinkah di sini Razak berbohong?
“Kau berkata jujur, kan? Aku tak percaya akan melakukan semua itu.”
“Itu semua benar, Di. Aku kesini untuk mencegah hal itu terjadi.”
“Langkah apa yang harus dilakukan? Mengadukan Farhan?” Tanyaku. Razak menggeleng.
“Farhan mengira kau sudah tahu bahwa ia pelakunya. Ia pasti sudah menduga bahwa kau pasti akan melaporkannya. Tetapi itu bukan langkah baik, tidak menyelesaikan masalah sama sekali.”
“Lalu apa akan kubiarkan pelaku itu bebas berkeliaran tanpa merasa telah bersalah?! Itu tidak adil, Zak!”
“Kau lupa?! Ia sahabatmu, kan…!?” Seru Razak. Aku kembali menelan ludah. Ya, saking panasnya pada Farhan, sampai-sampai aku lupa statusnya sekarang.
“Kau dari masa depan, kan? Berarti semua itu benar-benar sudah pernah terjadi. Kau yakin bisa mengubah takdir?” Tanyaku.
“Semoga saja, Di. Asal kau tak mengadukanku.”
“Kira-kira, apa ya… motif Farhan melakukan semua itu?”
“Kau tanyakan langsung saja pada orangnya.” Jawab Razak ringan sambil melirik jam tangannya.
“Bertanya langsung?!, kau gila, Zak!”
“Eh, waktunya sudah habis! Aku harus kembali…!” Ujar Razak. Sebuah lubang mirip black hole kembali muncul. Tiba-tiba ia mendorong tubuhku masuk ke lubang itu.
—
“Kau tak apa-apa, Di?!” Tanya seseorang. Aku menoleh. Entah mengapa tubuhku terasa sakit digerakkan. Silau lampu membuat mataku terasa berat dibuka.
“Hah, Dimas?!” Pekikku “Ini dimana?”
“Klinik! Kau tak ingat? Barusan kau terpleset di tangga!”
“Farhan?! Dimana Farhan…?”
“Farhan ke kantor Pak Haikal!” Jawab Dimas. Telingaku bagai tersetrum listrik mendengarnya. Aku punya firasat buruk.
“Aku harus menemui Farhan!” Seruku sambil mencoba menggerakkan tubuh. Tiba-tiba rasa perih menjalar ke ujung kaki. Urat-urat nadiku serasa putus. Aku mengerang kesakitan.
“Jangan bergerak dulu! Kakimu terkilir!” Kata Bu Ida. Sial! Kalau begini caranya…
Seminggu sudah berlalu. Bu Ida mengizinkanku ke luar dari klinik. Aku merasa bebas menikmati udara segar. Masih terbayang di benakku bau sangir obat-obatan klinik yang sangat mengganggu. Ah, yang penting aku sudah bebas! Merdeka! Eh, tunggu dulu. Rasanya ada yang masih mengganjal di hati. Tetapi apa, ya? Hei, itu Farhan!
“Farhan…!!” Panggilku.
“Oh, Ardi! Kau sudah sembuh?”
“Ya, begitulah.”
“Terima kasih tak mengadukanku. Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf.” Kata Farhan tiba-tiba.
“Maksudmu, Far?” Aku belum bisa mencerna perkataan Farhan. Mungkin bau obat-obatan klinik benar-benar merasuki otakku.
“Waktu aku memecahkan kameramu. Sebenarnya kau tahu, kan? Aku melihatmu bersembunyi di lemari saat itu. Ya, terima kasih kau tak mengadukanku!”
“Lalu, dimana Razak?”
“Aku mengadukannya pada Pak Amri bahwa ia yang merusak kameramu. Jadi Razak dikeluarkan!”
“Apa…!! Dikeluarkan?!” Kali ini kurasa telingaku benar-benar tersengat arus listrik.
“Kau membencinya, kan? Akhir-akhir ini kulihat kau tak akur dengan Razak. Makanya sebagai tanda terima kasih, aku mengadukannya. Kau senang, bukan? Maaf aku menghancurkan kameramu. Aku begitu iri, karena kau selalu lebih unggul dariku. Kau murid kesayangan Pak Haikal. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa…,” Farhan berceloteh banyak hal. Namun telingaku tak bisa menyerap semua ucapannya. Diriku terombang-ambing dalam berbagai ketentuan yang tak kuharapkan. Maaf, Razak. Aku tak bisa menepati janjiku. Semuanya terkuak sudah. Sehebat-hebatnya Sherlock Holmes, mungkinkah ia tahu?, bahwa takdir tak bisa diubah.
Karya: Arizqa Shafa Salsabila
“Di, kau tahu kan, aku tak mungkin melakukan hal semacam itu.” Dimas mulai berani bicara. Aku hanya tersenyum hampa, tak menjawabnya. Kutunggu reaksi Razak dan Farhan yang masih termenung menatap ubin.
“Di, aku turut prihatin pada kamera digitalmu.” Ucap Farhan, suaranya yang lantang mendadak gemetar. Mungkin sahabatku ini begitu iba padaku, paling tidak menurut pendapatku begitu.
“Iya, Di. Aku juga. Kemungkinan pelakunya orang luar.” Ujar Dimas lagi. Kini aku fokus pada Razak, teman yang paling kucurigai. Sedari tadi ia hanya ikut mengangguk-anggukan kepala bila salah satu dari kami sedang bicara, namun bukan karena itu alasan ia kujadikan tersangka utama.
“Mulai besok ayo kita selidiki bersama-sama! Kira-kira siapa yang waktu itu keluar masuk kamar kita!” Dimas mengepalkan tangan.
“Tapi Dim, kamar kita memang biasa tidak dikunci. Jadi siapapun bisa masuk, kan? Lagi pula laci meja belajarku selalu terkunci, hanya kalian bertiga yang tahu letak kuncinya!” Ujarku.
“Kau menuduh kami?!” Pekik Dimas. Razak ikut melotot ke arahku. Farhan menghela nafas panjang. Kini malah aku yang terpojok. Otakku berputar-putar, aku bingung menjelaskan apa pada ketiga teman sekamarku.
“Sudahlah, Dim! Ardi punya hak menuduh kita! Jadi jangan terlalu berlebihan!” Komentar Razak. Skenario bagus, Zak! Tetapi sayangnya tak akan mempan padaku, batinku berbicara. Namun jujur harus kuakui, perkataan Razak barusan agak melegakan hati. Dengan demikian ‘setidaknya’ ia bisa membuat Farhan dan Dimas tidak membenciku.
“Sudahlah! Lupakan pembicaraan ini! Aku keluar dulu, ya! Ada urusan dengan perpustakaan asrama!” Kataku segera beranjak. Kurapatkan jaket sebelum benar-benar keluar dari kamar.
Udara begitu dingin, arloji menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sebenarnya siswa dilarang berkeliaran diatas pukul delapan malam, namun tak apalah, dihukum membersihkan lorong ataupun GOR jauh lebih baik dari pada ditekan masalah sendiri. Ngomong-ngomong tentang jam, kembali kusesali ucapanku sendiri. Apa alasanku tadi? Perpustakaan asrama? Ayolah, semoga mereka tak menyadarinya. Tentu alasanku sangat mengada-ada, semua orang tahu perpustakaan asrama tidak buka diwaktu malam.
Kelihatannya semua siswa sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Lorong dan aula sangat sepi. Kulangkahkan kaki menuju klinik. Disana aku aman. Aku bisa beralasan pusing atau sakit sehingga bisa bebas dari hukuman. Aku mulai membenci segala ucapanku sendiri. Seharusnya tak langsung kukatakan pada mereka tentang nasib kamera digitalku. Ya, kamera digital yang baru dikirimkan Ayah padaku. Ceritanya begini, waktu itu ada pertandingan bola basket di aula asrama. Namun, aku tak ikut menonton disana. Pak Haikal memanggilku ke kantornya. Pak Haikal adalah pembimbing ekskul jurnalistik di asrama dengan aku sebagai ketua redaksinya. Biasanya bila ada tugas meliput, Pak Haikal selalu meminjamkan kameranya padaku, karena itulah aku tak membawa kamera. Kamera digitalku kusimpan di laci meja seperti biasa. Saat kembali, kamera digitalku masih ada, anehnya tubuhnya remuk seperti habis dibanting seseorang.
Siapapun dia, tak ada kata ampun untuknya. Sudah lama kuinginkan kamera itu. Hingga saat ini, ada beberapa orang yang kucurigai. Yang pertama, Razak. Sejak awal masuk asrama, aku merasa tak cocok bersahabat dengannya. Menurutku ia pun berfikiran sama. Pasalnya dari awal kami sering bertengkar mengenai apapun. Aku agak keberatan sekamar dengannya. Aku pernah mengatakan hal ini pada Ayah, juga meminta Ayah menghubungi pihak asrama agar memindahku ke kamar lain. Namun Ayah menolak dan malah memarahi sikapku. ‘Lari dari masalah’ begitu Ayah menyebutnya.
Kedua, Dimas. Sebenarnya, ia bukan anak yang suka mencari gara-gara. Hanya saja Dimas sering kelewatan saat bicara. Sebagai anak laki-laki, ia termasuk dalam kategori cerewet. Aku curiga Dimas tak sengaja membocorkan segala hal pada orang asing, tentang kameraku misalnya.
Jujur, aku sendiri agak keberatan menempatkannya sebagai tersangka. Ia adalah Farhan. Lebih dari lima tahun kami bersahabat. Hobi dan kesukaan kami sama. Rumah Farhan bertetangga denganku. Kami selalu satu sekolah. Saat aku memutuskan ingin masuk sekolah asrama, ia pun ikut serta. Farhan juga masuk anggota jurnalistik asrama. Seperti yang pernah diucapkan orang tua zaman dahulu, kadang yang sedang kita pikirkan secara kebetulan mendatangi kita.
Tiba-tiba kulihat Farhan setengah berlari menyusulku. Nafasnya terengah-engah. Di malam yang dingin ini ia lupa keluar mengenakan jaket.
“Ada masalah apa, Far?” Tanyaku.
“Justru seharusnya aku yang tanya! Apa rencanamu?” Farhan balik bertanya. Aku tercengang, belum bisa mencerna ucapan Farhan. Ia sahabat terbaikku, jadi pasti benar-benar ada sesuatu bila ia bicara begitu padaku “Di, kau sengaja, kan?”
“Maksudmu?” Aku mengrenyitkan dahi. Sebagai sahabat, mungkinkah Farhan sudah menemukan petunjuk atas masalahku ini? Sumpah! Aku tak mengerti semua situasi yang tengah terjadi. Aku tak mengerti maksud ucapan Farhan padaku. Segalanya terasa berbenturan di kepala. Dadaku begitu sesak memikirkannya. Sebagai korban, sepertinya ada banyak hal yang tak kuketahui.
“Far, kita sudah lama bersahabat, kan? Kalau ada sesuatu, katakan saja!”
“Jangan pura-pura, Di! Kau ingin…,” Farhan memenggal kalimatnya. Gema suara derap langkah terdengar mendekat. Ah, gawat! Itu pasti Pak Amri yang sedang jaga malam! Secepat mungkin aku langsung berlari menuju klinik.
Biasanya klinik tak pernah kosong, berbeda jauh dengan saat ini. Aku heran, mungkinkah selama seminggu ini tak ada siswa yang sakit? Bu Ida, petugas klinik, pun tak terlihat sedang berjaga. Klinik begitu senyap, lampunya redup, namun pintu masuknya tak terkunci. Aku bisa bersembunyi disana sampai keadaan benar-benar aman. Aku memutuskan akan segera kembali ke kamar sesudah ini.
“Sudah kuduga! Kau pasti disini, Di!” Seseorang menyalakan lampu klinik. Aku terperanjat. Wajahnya nampak tak asing, namun entah mengapa aku tak tahu siapa dia. Lupa barangkali. Yang pasti orang ini mengenalku.
“Si… siapa kau? Kenapa tahu namaku?” Aku bertanya. Orang itu tersenyum tipis.
“Dasar…! Kau ternyata tak mengenaliku!” Jawabnya singkat. Aku pun ikut tersenyum. Mungkin nanti aku akan mengingat namanya. Yang pasti ia kakak kelas.
“Mmmmm… ada urusan apa, ya Kakak kesini? Mencari Bu Ida? Ada teman yang sakit?” Tanyaku ramah, namun orang itu malah tertawa.
“‘Kakak’ kau bilang? Dasar, Di! Masa’ kau benar-benar tak mengenaliku…!” Aku hanya bengong. Apa maksud orang ini? Tidakkah ia lihat aku sedang bersembunyi?
“Aku ragu. Kau benar Ardi, kan?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk.
“Maaf, ya. Kalau mau bicara denganku lagi besok saja. Aku harus kembali ke kamar, bisa-bisa Pak Amri menangkapku!” Aku segera beranjak. Ternyata mencoba lari dari masalah malah mempertemukanku pada masalah yang lebih rumit.
“Tunggu dulu! Berhenti, Di!”
“Apa lagi?” Tanyaku sinis. Aku sudah benar-benar dongkol.
“Sebenarnya kau tak menyukai Razak, bukan?” Aku terdiam. Bagaimana ia tahu? Farhan, sahabat terdekatku, pun tak pernah kuberitahu. Itu hal pribadi. Sudah berkali-kali kucoba untuk berdamai dengan Razak, bahkan selama sebulan pun tak bisa. Ada saja hal yang menjadi biang kerok, meski setelah itu kami saling baikan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Itu tak penting! Di, kau harus ikut aku! Sekarang juga!” Orang itu menarik pergelangan tanganku dengan kasar. Namun bukan hal itu yang kini membuatku takut, sebuah lubang hitam tiba-tiba muncul di lantai klinik. Ia mendorong tubuhku menuju lubang hitam itu. Sekuat tenaga, aku menahannya.
“Ma..mau apa kau?!”
“Sudah! Diam!” Jawabnya ketus. Ia mendorongku semakin keras. Tubuhku semakin dekat dengan lubang aneh itu. Mungkinkah ini yang dinamakan black hole? Merinding, Aku teringat cerita Dimas mengenai black hole, lubang yang dapat menarik segalanya. Tapi sudah tak ada waktu untuk menceritakannya sekarang. Sial! lubang itu menghisapku!
—
Kepalaku serasa berputar-putar. Seakan ada bintang menari-nari di atas kening. Ah, inikah yang namanya berkunang-kunang? Bukan hanya itu, badanku masih terasa berguncang. Seakan aku baru saja masuk ke dalam lintasan spiral.
“Kau sudah sadar?” Sebuah suara. Untuk kesekian kalinya aku terperanjat. Berarti tadi bukanlah mimpi!
“Ini dimana? Barusan apa?!” Protesku.
“Ini di lorong asramamu kemarin siang. Aku membawamu ke hari dimana kameramu…,”
“A…apa?! Kemarin siang? Jangan bercanda!!” Kataku setengah berteriak.
“Barusan itu mesin waktu! Kau tak menyadarinya?!” Orang itu kembali berkata, berusaha meyakinkanku. Jujur, ini hal paling gila dan tak masuk akal yang pernah kualami. Mesin waktu? Tak pernah kutemukan kata itu dalam novel Sherlock Holmes. Ya, kurasa kejadian tak masuk akal ini belum tentu dialami setiap orang. Suasana terlalu cepat berganti. Tadinya keadaan gelap gulita karena sudah hampir tengah malam dan kuakui itu semua normal. Tetapi lihatlah sekarang! Terang benderang! Kemana perginya bulan sabit itu? Kemana larinya bintang gemintang yang indah itu? Matahari seolah sedang tersenyum mengejek kebingunganku.
“Ayo! Kau harus bergegas!”
“Bergegas? Buat apa? Apa maksud semua ini?!”
“Tugasku selesai sampai disini! Cepat larilah menuju kamarmu!” Perintahnya. Aku semakin tak paham, mungkinkah ia berkepribadian ganda? “Kau masih tak mengerti? Aku membawamu kemari agar kau tahu siapa orang yang merusak kameramu!!” Lanjutnya.
“Oh, begitu rupanya!” Desisku.
“Cepat lari! Waktumu terbatas!”
Entah mengapa, keadaan lorong asrama begitu sepi. Kemana perginya orang-orang ini? Ah, iya! Pasti semuanya sedang melihat pertandingan di GOR! Dengan begini, aku bisa dengan mudah menangkap pelaku itu!
“Eh, Ardi!” Seseorang menyapaku. Kutolehkan kepala padanya. Oh! Ternyata Dimas.
“Dimas, mau kemana?”
“Aku mau ke GOR, kau sendiri? Tadi Pak Haikal memanggilmu ke kantornya! Kenapa kau masih di sini?” Jawabnya. Aku tersenyum tipis. Ada banyak yang dapat disimpulkan. Berarti diriku yang satu lagi sedang menghadap Pak Haikal.
“Oh! Sudah, ya! Aku buru-buru!”
Kamarku kosong. Mungkin orang itu belum melancarkan aksinya. Nah, harus sembunyi kemana aku? Kamar ini cukup luas. Jadi gampang bersembunyi di sini. Aha! Lemari kuno di pojok ruangan! Lemari ini sengaja disiapkan pihak asrama sebagai lemari pakaian. Ukirannya aneh dan warnanya juga sudah berubah. Pada kenyataannya, aku, Farhan, Dimas maupun Razak tak mau menggunakannya. Lemari ini lumayan besar, kira-kira muat dimasuki tiga orang. Ya… meskipun harus duduk jongkok di dalam lemari pengap ini, bagiku bukan masalah. Terdengar suara langkah kaki, pasti itu tersangkanya! Urat sendi tanganku mengencang, rasanya ingin langsung kupukul babak belur pelakunya.
Kepalaku mengintip sedikit ke luar lemari. Kira-kira siapakah ia? Terdengar suara kunci dan pintu laci yang terbuka. Pasti ia sedang mencari kameraku, aku yakin! Aku terbelalak. Ini tak mungkin! Tidak mungkin! Jari-jari tanganku langsung melemas, semangatku luntur begitu saja, aku tak berdaya. Pernahkah Sherlock Holmes mengalami dilema seberat ini? Aku takkan pernah percaya apa yang mataku lihat. Ya, dia Farhan. Sedang mencoba melindas kameraku dengan kaki kursi.
“Farhan? Ah, mana mungkin!! Selama ini kukira Razak!” Gumamku. Setelah mengetahui ternyata ia Farhan, seakan aku melupakan segala-galanya. Apa rencanaku tadi? Menangkap basah? Jangankan menangkap basah, bernafas pun rasanya sesak! Urat-uratku seakan mati rasa. Tak pernah kuduga, Farhan?! Ia sahabatku. Lantas apa motifnya?
DUG…!! Ups! Kepalaku membentur dinding lemari.
“Siapa di sana…?” Seru Farhan. Gawat! Ayolah, Far, jangan memeriksa kemari! Ah, sial!! Pintu lemari terbuka perlahan. Kulihat ekspresi salah tingkah Farhan melihatku.
“Ar… Ardi? Ka…kau di sini?!” Farhan tergagap. Sengaja ataupun tidak, aku telah menangkap basah Farhan. Melihat posisiku, aku harus bersikap dewasa. Aku langsung beranjak ke luar dari lemari, menikmati wajah ketakutan Farhan.
“Aku tak percaya, kau…,” Farhan menundukkan kepalanya.
“Kau sama sekali tak mengerti aku!” Serunya sambil berlari ke luar kamar. Sungguh, aku benar-benar bingung. Lebih baik selamanya aku tak mengetahui hal ini, namun kenyataannya?
“Sudah tahu pelakunya, Jagoan?” Orang aneh itu lagi, datang secara tiba-tiba.
“Kau lagi…!”
“Nah, ada hal yang harus kau lakukan saat ini!”
“Mengadukan Farhan pada Pak Amri?”
“Bukan! Ini jauh lebih penting!” Orang aneh itu menepuk pundakku. Sesaat kemudian, ia meraih kameraku yang telah remuk di lantai. Memasukkannya kembali ke dalam laci dan menguncinya. Persis seakan tak pernah terjadi apa-apa.
“Apa yang kau lakukan?” Tanyaku.
“Bicaranya di tempat lain. Saat ini, kau yang satunya sedang menuju kemari!” Ucapnya. Aku mengangguk perlahan. Yah, apa salahnya menuruti nasehat orang itu. Meski aku pun yakin tak pernah mengenalinya.
Orang aneh itu mengajakku ke taman asrama. Taman agak sepi, hanya ada beberapa siswa sedang membaca di sini.
“Kau tahu apa yang sedang terjadi di kamarmu saat ini?” Tanyanya sambil melirik ke arahku.
“Iya. Pasti aku yang satunya sedang uring-uringan menyadari kamera kesayangannya rusak.” Ujarku sambil tersenyum malu.
“Senang menyadari kau sudah tahu pelakunya. Farhan, bukan?”
“I… iya. Satu lagi yang ingin kutanyakan…,” aku sengaja menggantungkan kalimat. Ia beralih menatapku lekat-lekat.
“Apa? Tanyakan saja!”
“Siapa kau? Apa pedulimu padaku? Apa tujuanmu? Mengapa menunjukkan semua ini padaku?” Kulontarkan sederet pertanyaan. Orang itu tersenyum tipis.
“Ternyata kau jauh lebih baik dari dugaanku.”
“Hah…?”
“Aku Razak dua tahun yang akan datang. Masa’ kau tak mengenalku?” Ia tertawa.
“Razak? Kau… kau Razak? Kau Razak teman sekamarku itu, kan?”
“Iya. Aku Razak, mantan teman sekamarmu.”
“Apa katamu, ‘mantan’?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya, setelah kau mengadukanku…!” Razak menatap mataku. Alis tebalnya hampir bersentuhan. Ya, itu tandanya memang ada hal serius yang harus kuketahui.
“Mengadukanmu? Pada siapa?! Masa’ aku mengadukanmu?”
“Ya! Semua terjadi begitu saja…! Tiba-tiba saja malam itu, Pak Haikal menjemputku ke kamar. Ia membawaku ke hadapan kantor kepala asrama. Setelah itu aku membencimu. Dan ternyata Farhan-lah pelakunya. Aku membawamu kesini agar kau tak mengadukanku!” Aku tak berkomentar apa-apa, menunggu kelanjutan ucapannya. Namun ternyata Razak menghentikan ceritanya. Menunggu reaksiku barangkali.
Aku menelan ludah. Ah, mana mungkin aku berbuat sekejam itu? Mungkinkah di sini Razak berbohong?
“Kau berkata jujur, kan? Aku tak percaya akan melakukan semua itu.”
“Itu semua benar, Di. Aku kesini untuk mencegah hal itu terjadi.”
“Langkah apa yang harus dilakukan? Mengadukan Farhan?” Tanyaku. Razak menggeleng.
“Farhan mengira kau sudah tahu bahwa ia pelakunya. Ia pasti sudah menduga bahwa kau pasti akan melaporkannya. Tetapi itu bukan langkah baik, tidak menyelesaikan masalah sama sekali.”
“Lalu apa akan kubiarkan pelaku itu bebas berkeliaran tanpa merasa telah bersalah?! Itu tidak adil, Zak!”
“Kau lupa?! Ia sahabatmu, kan…!?” Seru Razak. Aku kembali menelan ludah. Ya, saking panasnya pada Farhan, sampai-sampai aku lupa statusnya sekarang.
“Kau dari masa depan, kan? Berarti semua itu benar-benar sudah pernah terjadi. Kau yakin bisa mengubah takdir?” Tanyaku.
“Semoga saja, Di. Asal kau tak mengadukanku.”
“Kira-kira, apa ya… motif Farhan melakukan semua itu?”
“Kau tanyakan langsung saja pada orangnya.” Jawab Razak ringan sambil melirik jam tangannya.
“Bertanya langsung?!, kau gila, Zak!”
“Eh, waktunya sudah habis! Aku harus kembali…!” Ujar Razak. Sebuah lubang mirip black hole kembali muncul. Tiba-tiba ia mendorong tubuhku masuk ke lubang itu.
—
“Kau tak apa-apa, Di?!” Tanya seseorang. Aku menoleh. Entah mengapa tubuhku terasa sakit digerakkan. Silau lampu membuat mataku terasa berat dibuka.
“Hah, Dimas?!” Pekikku “Ini dimana?”
“Klinik! Kau tak ingat? Barusan kau terpleset di tangga!”
“Farhan?! Dimana Farhan…?”
“Farhan ke kantor Pak Haikal!” Jawab Dimas. Telingaku bagai tersetrum listrik mendengarnya. Aku punya firasat buruk.
“Aku harus menemui Farhan!” Seruku sambil mencoba menggerakkan tubuh. Tiba-tiba rasa perih menjalar ke ujung kaki. Urat-urat nadiku serasa putus. Aku mengerang kesakitan.
“Jangan bergerak dulu! Kakimu terkilir!” Kata Bu Ida. Sial! Kalau begini caranya…
Seminggu sudah berlalu. Bu Ida mengizinkanku ke luar dari klinik. Aku merasa bebas menikmati udara segar. Masih terbayang di benakku bau sangir obat-obatan klinik yang sangat mengganggu. Ah, yang penting aku sudah bebas! Merdeka! Eh, tunggu dulu. Rasanya ada yang masih mengganjal di hati. Tetapi apa, ya? Hei, itu Farhan!
“Farhan…!!” Panggilku.
“Oh, Ardi! Kau sudah sembuh?”
“Ya, begitulah.”
“Terima kasih tak mengadukanku. Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf.” Kata Farhan tiba-tiba.
“Maksudmu, Far?” Aku belum bisa mencerna perkataan Farhan. Mungkin bau obat-obatan klinik benar-benar merasuki otakku.
“Waktu aku memecahkan kameramu. Sebenarnya kau tahu, kan? Aku melihatmu bersembunyi di lemari saat itu. Ya, terima kasih kau tak mengadukanku!”
“Lalu, dimana Razak?”
“Aku mengadukannya pada Pak Amri bahwa ia yang merusak kameramu. Jadi Razak dikeluarkan!”
“Apa…!! Dikeluarkan?!” Kali ini kurasa telingaku benar-benar tersengat arus listrik.
“Kau membencinya, kan? Akhir-akhir ini kulihat kau tak akur dengan Razak. Makanya sebagai tanda terima kasih, aku mengadukannya. Kau senang, bukan? Maaf aku menghancurkan kameramu. Aku begitu iri, karena kau selalu lebih unggul dariku. Kau murid kesayangan Pak Haikal. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa…,” Farhan berceloteh banyak hal. Namun telingaku tak bisa menyerap semua ucapannya. Diriku terombang-ambing dalam berbagai ketentuan yang tak kuharapkan. Maaf, Razak. Aku tak bisa menepati janjiku. Semuanya terkuak sudah. Sehebat-hebatnya Sherlock Holmes, mungkinkah ia tahu?, bahwa takdir tak bisa diubah.
Karya: Arizqa Shafa Salsabila
No comments:
Post a Comment