CAMPUR ADUK

Friday, August 13, 2021

OLAHRAGA PAGI

Dono di halaman belakang sedang olahraga senam untuk kesehatan jantung sih, ya sambil mendengarkan musik dari Hp-nya dan juga ada hitungan gerakan senam gitu. Kasino dan Indro lari pagi, ya cuma ngiter kompleks perumahan saja.

"Kasino," kata Indro.

"Apa?' kata Kasino.

"Olaharaga tetap harus mengikuti prosedur. Protokol kesehatan," kata Indro.

"Jalanin aja itu protokol kesehatan dengan penuh keikhlasan. Jangan di tentang kaya orang-orang yang di beritakan di Tv," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus lari pagi dengan santai gitu. Lama-lama keringatan sih keduanya. 

"Kasino. Aturannya lari pagi bersama cewek-cewek jadi seru gitu!" kata Indro.

"Lari pagi sama cewek-cewek mah. Itu bukan lari pagi namanya. Pacaran!" kata Kasino.

"Pacaran kan. Obrolannya lebih seru. Gombalan gitu," kata Indro.

"Suasananya tidak baik untuk di lihat orang," kata Kasino.

"Aku paham sih Kasino!" kata Indro.

Indro dan Kasino terus lari pagi dengan baik keliling kompleks perumahan. Sampai mulai rasa capek, ya keduanya istirahatlah duduk di pinggir jalan.

"Banjir keringet," kata Indro.

"Iya," kata Kasino.

Tiba-tiba lewat dua cewek yang lari pagi.

"Pemandangan yang cantik," kata Indro.

"Emang cantik sih dan juga mahal," kata Kasino.

"Apa harus di deketin si cantik itu ya?!" kata Indro.

"Lebih baik dekat dengan si cantik itu!" kata Kasino.

"Ok bergerak!" kata Indro.

"Ok!" kata Kasino.

Kasino dan Indro beranjak dari duduknya, ya lari pagi lagi. Indro mengikuti cewek yang lari pagi, ya ingin lebih dekat lagi dengan cewek tersebut. Kasino malah belok dan berhenti tepat di depan mobil yang mewah banget. Indro mau berkenalan dengan cewek, tapi Kasino tidak ada.

"Kemana Kasino?" kata Indro.

Indro mencari Kasino dengan baik. 

"Kasino di sana!" kata Indro.

Indro menghampiri Kasino.

"Kasino seharusnya mendekati cewek!" kata Indro.

"Cewek itu nggak penting. Ini mobil mewah banget. Mahal lagi!" kata Kasino.

"Obrolan tadi bilang cantik, tapi tujuannya berbeda," kata hatinya Indro.

Indro dan Kasino terus melihat mobil yang bagus itu sampai puas. Lari pagi pun di lanjutin dengan baik keliling kompleks perumahan. Beberapa saat kemudian. Kasino dan Indro sampai di rumah. Dono telah selesai dari senam kesehatan jantung, ya istirahatlah dengan duduk santai di halaman belakang sambil menikmati minum susu dan juga makan keripik pisang. Kasino dan Indro duduk teras depan rumah, ya sambil minum aqua botol sih.

"Rasanya sehat," kata Indro.

"Iya," kata Kasino.

"Berbenah diri ah!" kata Indro.

"Aku juga!" kata Kasino.

Kasino dan Indro masuk rumah, langsung ke belakang untuk berbenah diri sih. Setelah itu. Kasino dan Indro duduk santai di halaman bekang bersama Dono, ya sambil menikmati minum susu dan juga makan keripik pisang yang enak. Tiba-tiba terdengar suara dari mesjid, ya pemberitahuan tentang orang yang meninggal.

"Inalilahi wainalilahi rojiun," kata Dono, Kasino dan Indro bersamaan.

Pemberitahuan dari mesjid tersebut, ya memberitahukan umur orang yang meninggal dunia.

"Umur yang meninggal itu umur muda," kata Indro.

"Sudah qodarnya," kata Dono.

"Suratan Takdir masing-masing," kata Kasino.

"Masa pandemi ini. Ya harus bisa menjaga diri dengan baik. Agar tetap hidup dengan baik dengan keadaan sehat. Menikmati keadaan dengan baik gitu," kata Indro.

"Omongan Indro benarlah," kata Dono menegaskan omongan Indro.

"Tetap saja. Kematian manusia di usia muda jadi pelajaran bagi kita kan?!" kata Kasino.

"Iya," kata Dono dan Indro bersamaan.

Dono, Kasino dan Indro, ya menikmati keadaan dengan baik sambil minum susu dan juga makan keripik pisang.

LATIHAN SILAT

Di halaman belakang. Dono dan Kasino sedang duduk santai sambil minum teh dan juga makan keripik kentang. Indro sedang latihan silat dengan baik.

"Indro..latihan silatnya penuh serius banget," kata Kasino.

"Kelihatannya begitu sih," kata Dono.

"Film-film laga selalu menampilkan jurus-jurus bela diri yang hebat banget," kata Kasino

Kasino mengambil cangkir berisi teh di meja dan segera di minum dengan baik.

"Film laga kan tujuannya menaikkan jenis bela diri. Jadi populer di kalangan masyarakat," kata Dono.

Dono mengambil keripik kentang di plastik, ya di makan dengan baik. Kasino menaruh cangkir berisi teh di meja.

"Film populer sepanjang masa tentang bela diri, ya The Karate Kid," kata Kasino.

"Film Kung Fu lebih banyak lagi yang populer," kata Dono.

"Ya...silat juga di populerkan dengan Film juga," kata Kasino.

Kasino mengambil keripik kentang di plastik, ya di makan dengan baik.

"Game juga populer dengan jenis bela diri...yang ini dan itu," kata Dono.

Dono mengambil cangkir berisi teh di meja dan segera di minum dengan baik.

"Kalau begitu aku latihan dulu Don!" kata Kasino.

Dono menaruh cangkir yang berisi teh di meja.

"Iya," kata Dono.

Dono mengambil keripik kentang di plastik, ya segera di makan dengan baik. Kasino latihan silat dengan baik banget. Indro letih dari latihan silatnya, ya istirahat lah duduk lah. Indro menuangkan tekok berisi teh ke cangkir dan segera di minum teh dengan baik.

"Emmmmm...enak teh ini," kata Indro.

Indro menaruh cangkir berisi di meja, ya begitu juga Dono.

"Don tidak silat?" kata Indro.

"Nanti silatnya," kata Dono.

"Oooo nanti," kata Indro.

Indro mengambil keripik kentang di plastik, ya segera di makan dengan baik. Dono juga sih mengambil keripik di plastik dan memakannya dengan baik.

"Setelah latihan silat dengan baik. Tubuhku sehat. Bugar gitu Don!" kata Indro.

"Tujuan latihan silat untuk kesehatan," kata Dono.

"Latihan silat di buat tik toknya bagus apa enggak ya Don?!" kata Indro.

"Bagus-bagus saja sih," kata Dono.

"Kebanyakan tik tok itu tarian dan juga lagu ya?!" kata Indro.

"Memang tujuannya viral kan tuh tarian dan juga lagu," kata Dono.

"Benar omongan Dono. Tujuannya viral kan tarian dan juga lagu," kata Indro menegaskan omongan Dono.

"Kalau begitu aku latihan dulu!" kata Dono.

"Iya," kata Indro.

Indro mengambil cangkir berisi teh di meja, ya segera di minum dengan baik. Dono latihan silat dengan gerakan yang penuh kesantaian tujuannya adalah kesehatan saja, ya tidak meningkatkan kecepatan dalam pola jurus-jurus silat dan juga kekuatan setiap jurusnya. Pokoknya silatnya Dono beda dengan silatnya Kasino dan Indro. Ya Indro menaruh cangkir berisi teh di meja.

"Main game ah!" kata Indro.

Indro main game di Hp-nya dengan penuh kesantaian banget. Selang beberapa saat Kasino selesai latihan silatnya. 

"Rasanya bugar tubuh ku. Sehat," kata Kasino.

Kasino duduk, ya istirahatlah sambil menikmati minum teh dan makan keripik. Dono akhirnya selesai juga latihan silatnya.

"Aku merasa enak tubuh ini. Sehat," kata Dono.

Dono duduk, ya istirahat sambil menikmati minum teh dan makan keripik lah.

BEROLAHRAGA

Indro di ruang tengah, ya sedang asik nonton Tv. Acara Tv yang di tonton Indro tentang olahraga sih...sepakbola gitu. Kasino selesai juga dari kerjaannya, ya keluar dari kamarnya.

"Nonton Tv....!" kata Kasino.

Kasino ke ruang tengah untuk nonton Tv. Memang di ruang tengah Indro lagi asik nonton Tv sih. Kasino sampai di ruang tengah, ya duduk di sebelah Indrolah.

"Sepak bola," kata Kasino.

"Acaranya lagi seru Kasino. Sepak bolanya bangus," kata Indro.

"Ooooo," kata Kasino.

Kasino menonton Tv yang acara sepak bola dengan baik. Sampai-sampai ketika bola masuk ke dalam gawang. Kasino dan Indro berkata dengan suara cukup keras "Goool".

"Main sepak bolanya bagus, ya Kasino," kata Indro.

"Iya," kata Kasino.

"Seharusnya kita ngomongnya jangang gool, ya Kasino?!" kata Indro.

"Maksudnya? Jebret gitu!" kata Kasino.

"Jebret gitu. Kaya pembawa acara sepak bola gitu!" kata Indro.

"Kadang kata jebret itu sering di gunakan ketika sedang ngadu ayam atau ngadu ikan cupang ya?!" kata Kasino.

"Kalau aku inget-inget. Ya juga ya. Jebret itu di gunakan ngadu ayam atau ngadu ikan cupang. Tidak perlu di bahas lebih jauh. Kaya lebih baik kata gool saja!" kata Indro.

"Emmmm," kata Kasino.

Kasino dan Indro terus nonton Tv acara sepak bola dengan baik banget.

"Oooo iya Indro. Dono mana?!" kata Kasino.

"Dono. Sedang main ke rumah Rara. Main bulu tangkislah. Olahraga gitu!" kata Indro.

"Ooooo begitu toh!" kata Kasino.

Kasino dan Indro terus nonton acara Tv dengan baik banget. Dono di rumah Rara, ya main bulu tangkis dengan baik banget di halaman depan rumah. Sampai acara Tv yang di tonton Kasino dan Indro selesai dan berganti keacara yang lain.

"Kasino. Olah raga yuk!" kata Indro.

"Olah raga apa?!" kata Kasino.

"Panjat tebing. Seperti juara panjat tebing di Tv gitu," kata Indro.

"Panjang tebing. Emangnya mau latihan di mana?!" kata Kasino.

"Di Universitas, ya ada panjat tebingnya!" kata Indro.

"Wah jauh amat olahraganya," kata Kasino.

"Jadi nggak Kasino?!" kata Indro.

"Enggak usahlah. Di rumah saja olahraga. Seni bela diri saja!" kata Kasino.

"Di pikir dengan baik, ya olahraga di rumah saja. Seni bela diri," kata Indro.

Indro dan Kasino telah sepakat untuk olahraga bela diri, ya Tv di matikan dengan baik. Setelah berganti pakaian Kasino dan Indro latihan bela diri di halaman belakang dengan baik, ya sampai latih tanding sih.

KIPAS AJAIB

Dasia Ghasmira sedang membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Dasia Ghasmira :

Siang itu matahari bersinar terik. Baek berjalan dengan gontai. Perutnya mulai berbunyi, minta diisi makanan. Kerongkongannya juga terasa kering kerontang. Ia belum minum seteguk air pun sejak pagi tadi. Padahal keringat sebesar jagung terus mengalir selama perjalanannya mencari derma dari orang-orang yang mau berbaik hati padanya. Namun hingga siang menjelang, belum ada yang memberikan sekeping won pun padanya. Tiba-tiba kakinya terantuk pada sebuah kantung plastik berwarna hitam. Baek mengamati kantong platik itu sesaat. Ia berharap kantong itu berisi makanan yang tercecer oleh pemiliknya. Baek pun membuka kantung itu dengan wajah berseri-seri. Namun wajahnya segera berubah. Kantong plastik itu bukan berisi makanan, tetapi berisi dua buah kipas. Dengan malas, ia mengeluarkan kipas-kipas itu dari dalam kantong plastik. Kedua kipas itu terbuat dari kertas. Panjangnya sekitar 20 cm. Kipas itu berwarna merah dan biru, serta tidak ada gambar apa pun yang terpampang di sana, polos. 

“Hem, aku kira makanan, ternyata hanya sepasang kipas.” 

Baek kemudian memasukkan kembali kipas itu ke dalam tas plastik. Dengan tangan kirinya, ia menenteng tas plastik itu sambil meneruskan perjalanan. Rasa letih, lapar, dan haus yang mendera, membuatnya berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan. Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal, memijat-mijatnya sebentar sambil memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. Udara siang semakin panas. Baek teringat pada kipas yang dia temukan. Dia pun mengeluarkan kipas berwarna merah dan mengibaskannya di depan wajah berkali-kali menggunakan tangan kanan. Tiba-tiba Baek terkejut. Ia merasa ada yang aneh di wajahnya. Apalagi ia dapat melihat ujung hidungnya dengan jelas. Baek memegangnya dengan perasaan aneh. 

“Hah! Ada apa dengan hidungku? Kenapa jadi panjang seperti ini?” baek berteriak histeris sendirian. 

Ia lalu bersembunyi di balik pohon, tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya. 

“Bagaimana ini?” tanya Baek pada dirinya sendiri. 

Baek khawatir kalau orang-orang akan menertawakan hidungnya yang panjang, sehingga dia menjadi tontonan banyak orang. Dengan gelisah tangan kirinya meraih kipas berwarna biru dan mengibaskan ke wajahnya. Ajaib! Hidung Baek tiba-tiba kembali seperti semula. Beak tertegun. Ia takjub dengan kejadian yang baru saja dia alami. Rasa khawatirnya berubah menjadi lega karena hidungnya tidak lagi panjang seperti hidung pinokio ketika berbohong. Baek mulai mengatur napasnya sembari bersandar di pohon. Perasaannya sedikit tenang. Ia memandangi kedua kipas yang tadi dia temukan. Meski bentuk dan warna kipas itu biasa saja, namun kipas-kipas itu adalah kipas ajaib yang bisa membuat hidung seseorang memanjang dan memendek dalam sekejap. Baek merasa lelah untuk melanjutkan pekerjaannya mencari derma. Ia ingin pulang dan memberitahukan kejadian ajaib yang dia alami kepada istrinya. Ia pun segera memasukkan kedua kipas itu ke dalam tas plastic. Ia mulai menyusuri jalan pulang dengan semangat tanpa menghiraukan rasa lapar, haus, dan letih. Sesampai di rumah, Baek segera menceritakan apa yang dialaminya. Sang istri mendengarkan cerita suaminya dengan penuh perhatian. 

“Benarkah begitu, Pak?” Yun, istri Baek, menatap wajah suaminya dengan rasa tidak percaya. 

Ia segera membuka kantong plastik yang dibawa suaminya dan membalikkannya. Dua buah kipas jatuh di pangkuannya. Ia pun membuka kipas berwarna merah dengan tidak sabar. 

“Seperti kipas-kipas yang dijual di pasar rakyat,” katanya sambil mengibaskan kipas itu di depan wajah sang suami.

Baek berteriak seketika. 

“Apa yang kau lakukan, Bu. Kenapa kau kipaskan di depan mukaku? Lihat, hidungku jadi seperti hidung pinokio,” gerutu Baek.

 Sementara itu, istri Baek justru tertawa kencang melihat hidung suaminya yang memanjang.

“Hahaha… Kau jadi seperti boneka pinokio yang di pajang di etalase toko, Pak.” Yun berkata sambil memegangi perutnya yang mulai sakit karena tertawa terpingkal-pingkal. 

Baek segera mengambil kipas berwarna biru dan mengibaskan ke wajahnya. Sesaat kemudian, hidungnya kembali seperti semula. Baek menarik napas lega. Tawa Yun pun terhenti. Ia menatap wajah suaminya dengan tatapan tidak percaya. Ia memencet hidung suaminya dan mengamati kipas di tangannya dengan bingung dan takjub. 

“Benar, Pak. Kipas ini benar-benar ajaib!” serunya sambil mengamati kipas di tangan suaminya.

“Pak, kita bisa menggunakan kipas ini untuk mencari uang.”

Yun berhenti sejenak, tampak berpikir keras. 

“Aku punya ide untuk mendapatkan uang dengan kipas ini, Pak.”

“Bagaimana caranya, Bu?” tanya Baek tidak mengerti.

“Kemarilah.” 

Baek mendekati istrinya. Yun membisikkan rencananya di telinga Baek. Baek tersenyum dan mengangguk tanda mengerti. 

“Kau benar-benar cerdik, Bu,” puji Baek yang disambut dengan senyum senang istrinya.

Jika rencana mereka berhasil, mereka pasti akan menjadi orang yang kaya raya. Baek dan Yun mulai mengkhayal menjadi orang kaya. Keesokan harinya, Baek segera menjalankan rencana mereka. Ia berjalan ke rumah salah seorang saudagar terkaya di kota itu. Namanya Ming. Ming adalah saudagar kaya raya yang terkenal sangat pelit. Ia jarang memberi santunan pada orang miskin seperti Baek. Setiap pengemis yang datang ke rumahnya selalu mendapat kata-kata yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan hari biasanya, hari ini adalah hari perayaan kelahiran Sang Budha. Saudagar Ming ingin berbuat kebaikan di hari ini. Ia pun membuka pintu rumahnya untuk para pengemis yang datang. Ia memberi mereka makanan dan angpau berisi beberapa keping won. Baek tidak mau ketinggalan. Ia datang ke rumah itu dengan dua kepentingan. 

Pertama, untuk mendapatkan derma. Kedua, untuk menjalankan rencana yang telah ia buat bersama istrinya. Sesampai di depan rumah saudagar Ming, Baek segera berbaris di belakang pengemis lain yang sudah antri sejak matahari belum terbit. Selangkah demi selangkah, Baek maju. Ia semakin dekat dengan saudagar Ming, yang berada di depan memberikan amplop berwarna cokelat kepada setiap pengemis. Setelah benar-benar berada di depan sang saudagar, Baek berpura-pura kepanasan dan mengibaskan kipas warna merahnya tepat di hadapan saudagar Ming. Saudagar Ming mulai merasakan sesuatu berjalan di hidungnya. Pandangannya mengarah pada  hidungnya yang memanjang dengan sendirinya. Saudagar Ming terperanjat. Ia segera memegang hidungnya yang semakin panjang. Ia panik. Wajahnya memerah karena malu. Ia menutup hidungnya dengan kedua tangan dan bergegas masuk ke dalam rumah. 

Sementara itu, Baek berusaha menahan senyumnya. Ia senang karena rencananya telah berhasil. Karena ia sudah menerima uang derma dari saudagar Ming, ia segera meninggalkan rumah mewah itu untuk pulang. Ia ingin memberitahu istrinya kalau rencana mereka telah berhasil dengan sempurna. Kini, mereka hanya tinggal menunggu untuk melaksanakan rencana selanjutnya. Berita tentang hidung saudagar Ming yang memanjang telah terdengar hingga ke pelosok desa. Cerita dari mulut ke mulut membuat berita itu cepat tersebar. Oleh karena itu, saudagar Ming tidak berani keluar rumah dan menutup perniagaannya untuk sementara. Beberapa hari kemudian, saudagar Ming membuat pengumuman. Barang siapa dapat membuat hidung saudagar Ming kembali seperti semula, mereka akan mendapat dua per tiga dari harta saudagar Ming. Berita itu segera disebarluaskan oleh anak buah saudagar Ming ke seluruh pelosok kota. 

Tak menunggu waktu lama, puluhan orang mendaftar. Mereka menggunakan berbagai cara untuk memenangkan sayembara itu. Ada yang menggunakan sihir, obat-obatan, maupun ramuan tradisional. Namun belum ada satu peserta pun yang berhasil. Baek dan istrinya, yang sudah memperkirakan hal tersebut, bergegas datang ke rumah saudagar Ming. Baek tidak lupa membawa ramuan palsu yang ia racik ala kadarnya. Sesuai dengan rencana istrinya, Baek akan meminta saudagar Ming untuk meminum ramuan yang ia bawa, meski ramuan itu, sebenarnya, tidak dapat menyembuhkan apa-apa. Pada saat yang bersamaan, Baek akan pura-pura kepanasan dan mengibaskan kipas birunya. Baek pun menjalankan rencananya. Dan semuanya berjalan sempurna. 

“Oh, hidungku… hidungku kembali seperti semula!” teriak saudagar Ming. 

Ia memegang hidungnya dengan gembira. 

“Terima kasih kisanak, ramuanmu benar-benar manjur,” katanya sambil menggenggam tangan Baek.

Baek tersenyum sambil menganggukkan kepala. 

“Sama-sama, Tuan,” ucapnya seraya menyimpan kembali kipas birunya. 

“Baiklah, aku akan memenuhi janjiku. Mulai hari ini, aku memberikan dua per tiga hartaku kepadamu,” kata saudagar Ming lantang. 

Peserta lain yang mengikuti sayembara itu kecewa. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan tangan hampa. Sedangkan Baek dan istrinya bersukacita. Mereka tidak menyangka jika rencana mereka dapat berjalan dengan lancar. Saudagar Ming benar-benar memenuhi janjinya untuk memberikan dua per tiga hartanya kepada Baek. Ketika saudagar Ming menyodorkan tumpukan uang ke hadapannya, Baek terpana. Ia mulai bingung, tidak tahu akan menggunakan uang sebanyak itu untuk apa. Setelah menerima uang itu dengan tangan gemetar, Baek berjalan tergopoh-gopoh menemui istrinya. 

“Kita bisa membeli rumah mewah seperti rumah saudagar Ming, Pak.” Yun memberikan usul. 

Baek menganggukkan kepalanya. 

“Kita juga tidak perlu menjadi pengemis lagi, Bu,” sambung Baek sambil tertawa riang, memperlihatkan gigi depannya yang menghitam. 

“Benar, Pak. Kita bisa hidup tanpa bekerja. Cukup ongkang-ongkang kaki saja, hahaha.” Yun menimpali. 

Baek dan Yun benar-benar hidup sebagai orang kaya raya. Namun kekayaan membuat mereka lupa akan kepahitan hidup yang pernah mereka rasakan. Mereka juga lupa jika mereka pernah hidup di jalanan, mengharapkan belas kasihan orang lain. Baek dan istrinya menjadi orang kaya yang pelit. Mereka tidak mau berderma kepada orang yang tidak mampu. Mereka justru pura-pura lupa kepada teman-teman sesama pengemis dan selalu mengusir para pengemis yang datang ke rumah mereka. Kesombongan sudah mulai menghinggapi suami istri itu. Hari demi hari berlalu. Mereka masih terhanyut dengan kemewahan yang mereka dapatkan. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dan membeli apa pun yang mereka inginkan. Tanpa perlu bekerja. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka mempermainkan kedua kipas yang mereka punya. Yun mengibaskan kipas merah ke wajah mereka berdua, hingga hidung mereka memanjang seketika. Mereka pun akan tertawa-tawa sambil mengejek hidung satu sama lain. 

“Kau tampak jelek sekali dengan hidung seperti itu, Bu,” kata Baek sambil tertawa riang. 

“Kau juga, Pak. Masih lebih bagus boneka pinokio daripada kamu,” jawab Yun sambil memencet ujung hidung suaminya. 

Yun merasa hidung Baek kurang panjang. Ia pun mengibaskan lagi kipas merah di depan muka Baek. Kali ini Baek tidak marah, malah tertawa lebar. 

“Hahaha… Bisa panjang sekali, Bu.” Baek masih terus tertawa. Hidungnya memanjang sampai hampir menyentuh lantai. Karena merasa berat, Baek mengibaskan kipas birunya. 

“Wuuusss...” Angin yang ditimbulkan menerpa wajah Baek. 

Perlahan, hidung Baek memendek, hingga kembali seperti semula. Namun Yun segera mengibaskan kipas merahnya kembali. 

“Hahaha… Hidungmu jadi panjang lagi kan?” kata Yun mengejek. 

Baek ikut tertawa. Mereka pun terus memainkan kipas merah dan biru bergantian hingga… “Coba kau gerakkan lebih keras, Pak,” kata Yun kepada suaminya. 

Baek mengibaskan kipas biru lebih keras. Mereka menunggu reaksinya. Satu detik, dua detik terlewati, hingga menit demi menit berlalu, tapi hidung mereka berdua masih panjang, tak mau memendek. 

“Sini, aku saja yang mengibaskan kipas itu,” kata Yun yang mulai jengkel.

“Wuuusss...” Yun mengibaskan kipas biru dengan sekuat tenaga. 

Embusan angin seolah menampar wajah keduanya. Terasa panas. Beberapa saat lamanya mereka menunggu perubahan di wajah mereka. Namun tidak ada yang berubah. 

“Bagaimana ini, Pak. Kipas ini sudah tidak berfungsi!” kata Yun histeris.

Ia mulai takut kalau hidung mereka tidak bisa kembali seperti semula lagi. Baek mencoba mengambil kipas biru dari tangan istrinya. Ia mencoba lagi ke wajahnya sendiri. 

“Wuuusss…” Angin yang terasa panas kembali menerpa wajah Baek. 

Dia menunggu lama. Tidak ada perubahan apa-apa. Baek semakin gusar. Ia tidak berhasil membuat hidungnya seperti semula. Ia terus berusaha, hingga kertas biru yang menempel di kipas itu koyak.

“Hah! Kipasnya sobek, Bu!” Baek berteriak panik.

Ia benar-benar khawatir jika kipas itu  rusak dan hidung mereka tetap panjang. 

“Apa yang tadi kau lakukan, Pak? Kenapa kipas itu bisa sampai sobek?” Yun melemparkan pertanyaan bertubi-tubi. 

Baek semakin gemetaran. Yun lalu merebut kipas itu dengan kasar. 

“Breeettt...” Kipas itu benar-benar robek menjadi beberapa bagian. 

Keduanya melongo. 

“Hah… Bagaimana ini, Pak? Hidung kita belum memendek, sementara kipas biru sudah tidak bisa digunakan lagi.” 

Yun mulai menangis. Ia meratapi hidungnya yang panjang dan melengkung ke bawah, tidak elok dipandang mata. Orang-orang pasti akan mengejeknya. 

“Hidungku…” keluh Baek putus asa. 

Tidak ada lagi canda tawa. Kini, semua berganti dengan air mata. 

“Bagaimana kalau kita mengadakan sayembara seperti yang pernah dilakukan oleh saudagar Ming, Bu?” Baek memberi usul pada istrinya. 

Mata Yun bersinar gembira seketika. 

“Setuju, Pak. Barangkali ada yang bisa mengembalikan hidung kita seperti semula, selain dengan kipas itu.” 

Sayembara pun dilaksanakan. Siapa pun yang berhasil membuat hidung Baek dan Yun kembali seperti semula, akan mendapatkan dua per tiga dari harta yang Baek miliki. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mau mendaftar sayembara itu. Dan belum ada yang berhasil membuat hidung keduanya kembali normal. 

“Bagaimana jika semua harta kita, kita berikan pada orang yang berhasil membuat hidung kita memendek, Bu? Orang-orang yang ikut pasti akan lebih banyak. Barangkali, salah satu di antara mereka ada yang bisa mengembalikan ukuran hidung kita seperti semula.” Yun cemberut. 

Sebenarnya ia tidak ingin kehilangan hartanya. Ia sudah terlanjur senang menjadi orang kaya. Namun dengan berat hati, ia menyetujui usul  suaminya. Ia rela menjadi pengemis lagi asal hidungnya kembali seperti sediakala. Peserta sayembara bertambah banyak. Mereka menggunakan segala macam cara. Namun, tetap saja, tidak ada seorang pun yang berhasil mengembalikan hidung keduanya seperti semula. Baek dan Yun semakin bersedih. Berita tentang hidung panjang Baek dan Yun segera menyebar dan diketahui semua orang. Baek dan Yun menyesal karena bermain-main dengan kipas ajaib yang telah membuat mereka jadi kaya raya. Kini, mereka harus menanggung akibat dari ulah mereka sendiri. Walaupun harta mereka melimpah, Baek dan Yun tidak dapat menikmati dengan hati senang, karena mereka menjadi bahan olok-olokan semua orang dan mendapat julukan, manusia ajaib berhidung panjang. 

***

Dasia Ghasmira selesai baca buku.

"Emmmmm...bagus sih cerita asal Korea Selatan," kata Dasia Ghasmira.

Dasia Ghasmira menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

GUJI KEMBAR AJAIB

Kitianna Majedah sedang asik baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Kitianna Majedah :

Yoo Bok adalah seorang petani miskin yang tinggal di lereng gunung. Setiap hari ia bekerja di sawah milik seorang petani kaya yang kikir bernama Eun Min. Selama bekerja bersama Eun Min, Yoo Bok mempunyai satu keinginan yaitu memiliki satu petak sawah. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Yoo Bok selalu bekerja dengan giat dan berusaha mengumpulkan uang hasil jerih payahnya. Ia bahkan rela mengurangi jatah makannya agar bisa menabung lebih banyak. Setelah menabung selama berbulan-bulan, Yoo Bok mendatangi Eun Min, petani kaya yang kikir itu. Ia bermaksud membeli sepetak tanah yang akan dijual oleh Eun Min.

“Hah! Kau tidak sedang bergurau, kan, Yoo Bok? Dari mana kau mempunyai uang untuk membayar tanah itu?” Eun Min tampak meragukan Yoo Bok.

Tanpa banyak bicara, Yoo Bok mengeluarkan sekantung besar uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit selama ini.

“Selama ini, saya menabung sedikit demi sedikit, Tuan. Silakan Anda hitung uang ini. Saya rasa uang dalam kantong itu lebih dari cukup untuk membayar satu petak tanah yang akan Anda jual.”

Eun Min menerima kantong yang disodorkan Yoo Bok. Uh, kantong ini berat sekali, pikir Eun Min saat menerima kantong uang Yoo Bok. Eun Min nyaris tidak percaya jika Yoo Bok memiliki uang sebanyak itu. Ia pun segera mengeluarkan seluruh isi kantong dan mulai menghitung dengan cekatan. 

Ketika ia menghitung koin terakhir, Eun Min menganggukkan kepalanya lalu berkata, “Baiklah, sepetak tanah di sebelah barat itu menjadi milikmu sekarang. Kau sudah tahu batas-batasnya, kan?”

Yoo Bok mengangguk, tanda mengerti. Ia sudah mengetahui batas-batas sawah Eun Min karena ia membantu menggarap tanah itu selama ini. “Jadi, mulai besok saya tidak lagi bekerja pada Anda, Tuan,” kata Yoo Bok berpamitan.

Eun Min sebenarnya merasa kehilangan Yoo Bok karena ia adalah salah seorang pekerjanya yang paling rajin. Selama Yoo Bok bekerja,  sawahnya selalu digarap dengan cepat dan menghasilkan padi yang banyak.

“Ya, terima kasih atas bantuanmu selama ini,” kata Eun Min.

“Sama-sama, Tuan. Karena bantuan Anda, cita-cita saya untuk mempunyai sawah sendiri akhirnya dapat terwujud.” Yoo Bok berkata sambil menjabat tangan Eun Min erat.

Setelah pulang dari rumah Eun Min, Yoo Bok kembali ke gubuk mungilnya yang terletak tidak jauh dari tanah yang ia beli. Yoo Bok sudah tidak sabar menunggu pagi tiba karena ingin segera mengolah tanahnya. Beberapa hari ini, ia sudah menyiapkan bibit padi dan sayuran yang akan dia tanam di lahannya.

“Hah, sudah pagi rupanya!” seru Yoo Bok terkejut karena baru bangun saat matahari sudah mulai naik.

Yoo Bok bergegas mengambil cangkul dan segera pergi ke sawahnya. Dengan penuh semangat, ia mulai mencangkul tanah garapannya. Tiba-tiba, mata cangkulnya membentur sesuatu. Yoo Bok lalu mencangkul tanah di sekitar benda itu. Dan, setelah agak dalam, ia melihat sebuah guci tertanam di sana. Ia segera mengambil guci itu dan mengangkatnya dengan hati-hati. Ia juga membersihkan guci itu di sungai kecil dekat sawahnya.

“Ehm, lumayan, guci ini bisa kupergunakan untuk menaruh barang-barangku di rumah,” kata Yoo Bok sambil memerhatikan guci yang ia temukan.

Ketika sore menjelang, Yoo Bok mengemasi barang-barangnya untuk dibawa pulang. Agar lebih mudah membawa barang-barangnya, Yoo Bok memasukkan cangkulnya ke dalam guci dan meletakkan guci itu di atas kepalanya. Sesampainya di rumah ia meletakkan guci itu di pojok ruangan. Keesokan harinya, saat Yoo Bok hendak berangkat ke sawah dan sedang mengambil cangkulnya, ia terheran-heran karena mendapati dua buah cangkul yang sama di dalam gucinya.

“Cangkul siapa ini, kok bisa ada di dalam guci ini?” Yoo Bok bergumam sendiri sambil memandangi kedua cangkul di hadapannya.

Yoo Bok mengambil kedua cangkul itu. Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, ia mengambil satu cangkul untuk menggarap sawah dan meletakkan satu cangkul yang lain di samping guci. Sebelum pergi ke sawah, ia juga meletakkan koin sisa tabungannya ke dalam guci. Sepanjang perjalanan ke sawahnya, Yoo Bok terus memikirkan cangkulnya yang tiba-tiba menjadi dua. Namun, begitu ia sampai di sawah, ia segera bekerja dengan giat dan melupakan kejadian aneh di rumahnya. Sepanjang hari itu, Yoo Bok mengerjakan sawahnya dengan perasaan riang hingga sore datang menjelang. Yoo Bok pun pulang ke rumah dan kembali teringat kepada gucinya dalam perjalanan pulang. Ia bergegas pulang karena ingin tahu apakah uangnya akan bertambah seperti cangkul yang dia letakkan di dalam guci.

“Wow! Guci ini ternyata guci ajaib!” seru Yoo Bok ketika ia sampai di rumah. Ia tak berkedip memandangi uang koin yang kini berlipat jumlahnya. “Guci ini bisa membuatku menjadi kaya raya!”

Yoo Bok menari-nari senang dan berlari keluar rumah untuk menceritakan keajaiban guci yang ia temukan itu kepada para tetangganya. Tetangga Yoo Bok pun penasaran dan ingin membuktikan keajaiban itu sendiri. Satu per satu tetangga Yoo Bok memasukkan benda yang mereka bawa ke dalam guci. Dan, seperti Yoo Bok, mereka pun terheran-heran karena guci itu memang benar-benar ajaib. Guci itu pun kemudian disebut dengan nama guci kembar ajaib karena dapat mengeluarkan benda yang sama persis dengan yang dimasukkan ke dalamnya. Tak menunggu lama, berita tentang guci kembar ajaib itu pun sampai ke telinga Eun Min. Petani kikir itu merasa bahwa guci yang ditemukan Yoo Bok adalah miliknya. Dengan berjalan tergopoh-gopoh, ia pun mendatangi rumah Yoo Bok.

“Yoo Bok, kembalikan guci itu. Guci itu milikku karena kau menemukannya di tanah yang dulu milikku!” seru Eun Min.

“Oh, tidak bisa, Tuan. Aku sudah membeli tanah itu, jadi seluruh isinya adalah milikku,” jawab Yoo Bok tak mau kalah.

“Tidak bisa begitu. Saya hanya menjual tanahnya saja, bukan guci itu.” Eun Min tetap kokoh dengan pendiriannya.

Eun Min dan Yoo Bok pun bertengkar. Masing-masing dari mereka beranggapan bahwa mereka adalah pemilik guci itu. Setelah bertengkar selama beberapa saat, para tetangga yang menyaksikan kejadian itu mulai bingung karena mereka tidak tahu pasti siapa pemilik sah guci itu.

“Saudara-saudara, bagaimana jika masalah ini kita bawa ke 

Hakim Desa. Ia pasti dapat memberikan keputusan yang adil,” saran seorang tetangga.

Yoo Bok dan Eun Min berhenti sejenak dan saling berpandangan. Mereka, akhirnya, menyetujui usul tersebut. Maka, dengan iringan beberapa tetangga, mereka berjalan menuju rumah Hakim Desa.

“Bukankah kau membeli tanahku, bukan guci Yoo Bok?” tanya Eun Min. mereka sudah sampai di rumah hakim desa dan berusaha menjelaskan perkara yang sedang mereka hadapi.

“Benar, saya membayar tanah milik Tuan Eun Min. Tapi, saya juga tidak tahu sama sekali kalau ada guci itu di sana.”

“Berarti guci itu bukan milikmu Yoo Bok!” kata sang Hakim dengan tegas.

“Nah, berarti guci itu milikku!” Eun Min dengan cepat menimpali. Ia benar-benar menginginkan guci ajaib itu untuk menambah harta kekayaannya.

“Apakah Anda punya bukti kalau guci itu milik Anda, Tuan Eun Min?” Sang Hakim balik bertanya kepada Eun Min.

Eun Min kebingungan. “Tidak, Tuan Hakim,” jawab Eun Min sambil menggeleng lemah.

“Kalau begitu, guci itu juga bukan milik Anda, Tuan Eun Min,” kata Hakim lagi, “jadi, karena belum ada yang dapat menunjukkan siapa pemilik sah guci ini, untuk sementara guci ini akan saya simpan sampai diketahui pemilik sahnya.”

Orang-orang yang hadir menyetujui keputusan Hakim Desa. Maka, guci itu pun dibawa ke rumah Hakim Desa sampai mereka mengetahui siapa pemilik sah dari guci ajaib itu. Malam itu, Hakim Desa dibuat penasaran dengan guci ajaib yang ditemukan oleh Yoo Bok. Dia ingin membuktikan sendiri apakah guci itu benar-benar ajaib atau tidak. Maka dia pun memasukkan sebuah palu ke dalam guci. Dan sesaat kemudian, ia dibuat takjub karena palu di dalam guci itu menjadi dua buah.

“Wah, luar biasa! Ternyata mereka tidak berbohong. Guci ini benar-benar guci ajaib,” gumam sang Hakim sendirian. Sifat tamak dalam dirinya mulai muncul dan ia ingin memiliki sendiri guci ajaib itu. Ia pun segera menyimpan guci kembar ajaib itu di dalam kamarnya agar tak ada orang yang tahu.

Malam itu, ia berbaring di tempat tidur sembari memandangi guci kembar ajaib. Ia mulai berkhayal, seandainya ia mempunyai sekeping emas, ia pasti akan memasukkan sekeping emas itu ke dalam guci agar muncul keping emas yang lain. Tapi, ia tidak mempunyai sekeping emas saat ini. Ehm, mungkin ibu mempunyai sekeping emas, pikirnya. Hakim desa itu pun segera keluar dari kamar dan menghampiri ibunya.

“Ibu, apakah ibu mempunyai sekeping emas?”

Perempuan berambut putih yang sedang merajut itu segera mengalihkan pandangannya. Keningnya tampak berkerut, heran.

“Kau tahu kalau ayahmu tak pernah mewariskan apa-apa. Tidak, ibu tidak memiliki emas sekeping pun.” Sang ibu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Jemari tangannya yang keriput kembali menari bersama jarum hakken dan benang sulam.

“Ehm, di mana kita bisa meminjam sekeping emas itu, Bu?” tanya Hakim Desa. Suaranya terdengar mengiba. “Aku janji akan segera mengembalikannya kalau kita bisa mendapat pinjaman, Bu,” lanjutnya.

Ibu  sang Hakim yang semula tekun merajut, mulai terusik oleh pertanyaan anaknya, “Untuk apa sekeping emas itu?”

Hakim desa itu terdiam. Ia tidak mau mengatakan niatnya untuk melipat gandakan emas dengan menggunakan guci kembar ajaib. Ia ingin membuat ibunya gembira dengan kejutan yang akan dia berikan. Walaupun ibunya sering cerewet dan galak, namun ia tahu jika itu adalah tanda sayang Ibu kepadanya.

“Ehm, kita bisa menjadi kaya dengan sekeping emas itu, Bu,” jawab sang Hakim singkat.

“Bagaimana caranya?” tanya sang Ibu.

“Kalau caranya, itu rahasia, Bu. Aku tidak bisa mengatakannya,” tolak Hakim Desa. Ia benar-benar tidak ingin memberi tahu ibunya.

“Jangankan sekeping emas, perak atau perunggu pun Ibu tidak punya!” komentar sang Ibu yang mulai jengkel dengan anaknya. “Ibu tidak tahu di mana kau bisa mendapatkan sekeping emas. Carilah sendiri,” lanjut sang Ibu.

Hakim Desa tahu jika ibunya mulai marah. Ia harus segera pergi jika tidak ingin dimarahi oleh ibunya. ia pun segera kembali ke kamar dan mencari cara lain untuk mendapatkan sekeping emas. Beberapa hari kemudian, ketika sang Hakim belum menemukan cara untuk mendapatkan emas, ibunya masuk ke dalam kamarnya dan mendapati sebuah guci di sudut ruangan. Rasa penasaran membuat ibunya menjulurkan tubuhnya ke dalam guci. Namun, ia terpeleset dan masuk ke dalam guci itu.

“Tolong… tooolong!” Sang Ibu berteriak kencang.

Sang Hakim yang mendengar teriakan ibunya, segera masuk ke dalam kamar dan kaget mendapati ibunya berada di dalam guci. “Ibu, kenapa Ibu bisa masuk ke dalam guci?”

“Kau tidak usah banyak bertanya, cepat keluarkan Ibu dari dalam guci ini!” seru sang Ibu panik. Ia kesal karena anaknya tidak segera menolongnya.

Dengan sekuat tenaga, sang Hakim menarik ibunya keluar dari dalam guci. Sesaat kemudian, ibunya berhasil keluar dari dalam guci. Namun beberapa saat kemudian, sebuah teriakan kembali terdengar dari dalam guci.

“Tolong, keluarkan aku!”

Sang Hakim terkejut karena suara itu terdengar seperti teriakan ibunya tadi. Ia semakin kebingungan karena ibunya sudah berada di sampingnya, duduk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Karena penasaran, sang Hakim pun melongokkan kepalanya ke dalam guci. Ia tampak kaget karena ibunya, kini, menjadi dua. Satu ibu berada di dalam guci, berteriak minta tolong, sedangkan satu ibu lagi sedang duduk mengatur napas.

“Oh… Guci ajaib ini juga bisa menyulap ibuku menjadi dua!” teriak Hakim Desa sambil memegangi kepalanya.

“Cepat keluarkan Ibu dari dalam guci ini!”

Teriakan itu membuat sang Hakim segera mengulurkan tangannya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha mengangkat tubuh ibu yang satu lagi. Dan, keluarlah Ibu Kedua yang sama persis dengan Ibu Pertama yang ia keluarkan dari dalam guci.

“Heh… Siapa kamu?” tanya ibu yang pertama keluar dari guci. Ia terheran-heran dan merasa tidak suka dengan kehadiran orang yang menyerupai dirinya.

“Heh… Aku ini ibu Hakim Desa. Kamu ini siapa? Bagaimana bisa kamu mirip aku?” tanya Ibu Kedua.

“Aku adalah ibu Hakim Desa. Kamu jangan mengaku jadi ibunya, ya!” jawab Ibu Pertama.

Hakim Desa berdiri kebingungan dalam diam. Dia benar-benar tidak tahu mana ibunya yang asli karena kedua wanita itu terlihat sama. Hingga tiba-tiba...

“Praaang!”

Guci ajaib itu pecah.

Wajah Hakim Desa seketika menjadi pucat pasi. Keinginannya untuk menjadi orang kaya kandas sudah. “Hah! Kenapa kalian memecahkan guci ajaib itu!”

“Siapa yang peduli dengan guci jelek itu!” seru salah seorang ibu.

“Guci itu dapat membuat kita menjadi orang kaya, Bu!”

Kedua orang ibu itu sontak berhenti berkelahi. Mereka saling pandang dalam kebingungan.

“Kalau kita memasukkan sebuah benda ke dalam guci itu,  benda itu akan menjadi kembar. Ibu contohnya,” jelas Hakim Desa.

Kedua wanita itu berpandangan lagi. Kemudian kembali bertengkar, saling menyalahkan.

“Karena ulahmu guci itu pecah!” tuduh Ibu Pertama.

“Enak saja, kakimu yang tadi mengenai guci itu!” balas Ibu Kedua.

“Itu karena aku menghindari pukulanmu,” elak Ibu Pertama tak mau kalah.

Kedua ibu itu tak henti menyalahkan satu sama lain. Hal itu membuat sang Hakim semakin pusing. Kini, keinginannya untuk menjadi kaya tidak mungkin terwujud karena guci kembar ajaib itu sudah pecah. Dan, ia pun harus berhadapan dngan dua orang ibu yang terus-menerus bertengkar.

“Seandainya aku tidak tamak, ingin memiliki guci itu sendiri, aku tidak akan mempunyai dua orang ibu yang galak dan cerewet,” sesal sang Hakim.

Hakim Desa sangat menyesali ketamakannya. Namun, ia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kini, ia harus menghadapi dua ibu yang galak dan cerewet akibat dari ketamakannya sendiri. 

***

Kitianna Majedah selesai membaca bukunya.

"Okkkkk...bagus cerita asal dari Korea Selatan," kata Kitianna Majedah.

Kitianna Majedah menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik.

GUNUNG KACHI-KACHI

Anggi selesai mengerjakan PR-nya, ya ceritanya kaya cerita kartun Sisuka anak cewek yang rajin pintar di sukai Nobita sih. Anggi melanjutkan dengan membaca buku yang ia pinjam di perpustakaan sekolah. Dengan santai, ya Anggi membaca buku cerita yang asal cerita dari Jepang dengan baik banget.

Isi buku yang di baca Anggi :

Dikisahkan bahwa pada suatu waktu di sebuah desa yang jauh di lereng gunung hiduplah seorang kakek dan nenek yang baik hati. Di gunung itu juga hidup seekor T anuki (luak/rubah) yang sangat nakal dan jahat. Tanuki sering mengolok-olok kakeknya saat bekerja di ladang. 

“Kakek punuk! Kakek bodoh! Sewa yang buruk! ” jadi kata Tanuki mengejek kakek. 

Ketika malam datang dan kakek telah kembali ke rumah, T anuki sering mencuri umbi di nya kakek lapangan . Kesal melihat kelakuan T anuki yang nakal , kakeknya memasang jebakan di lapangan untuk menangkap T anuki. Akhirnya, T anuki jatuh ke dalam jebakan kakek. Melihat T anuki terjebak dan tidak bisa melarikan diri, kakek sangat senang. Kemudian dia membawa pulang T anuki dan mengikatnya ke sebuah tambang besar di langit-langit rumahnya. 

"Nenek, tolong ingat pesanku. Jangan dengarkan semua pembicaraan T anuki ini! Dan, jangan pernah lepaskan! Karena dia sangat nakal dan jahat.” 

Setelah mengatakan itu, kakek saya segera kembali ke lapangan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Begitu kakek meninggal, T anuki mulai merayu nenek untuk melepaskannya. 

“Nenek yang baik. Tolong aku! Tolong lepaskan aku! Aku tidak seburuk yang kakek katakan. Jika nenek ingin melepaskanku. Aku akan memijat bahu nenekku nanti!” 

“Tidak, ah! Begitu saya melepaskannya, Anda pasti sudah melarikan diri. ”

“Tidak , tidak… aku tidak akan lari. Janji! Bantu saya, nenek? ”

"Pokoknya aku tidak mau! Inti nya! "

“Nenek, memangnya kenapa? Ya, lalu bagaimana jika sebagai imbalan atas kebaikan nenek saya, saya akan mengajari Anda resep rahasia cara membuat kue manjuu yang sangat enak?” pinta T anuki lagi.

"Apa? Resep rahasia membuat kue manjuu? Betulkah? "

"Iya. Jika nenek membuat kue manjuu menggunakan resep rahasia saya ini, kue itu akan terasa sangat enak nantinya. Dan siapa pun yang memakannya bisa hidup 10 tahun lebih lama. Aku yakin kakek akan sangat senang dan lebih mencintai nenek.” 

"Apa yang kamu katakan aku bisa percaya?" 

"Ya itu betul. Masak T anuki berbohong? ” 

“Wow, asyik ! Kakek bisa hidup 10 tahun lagi,” kata nenek dengan wajah berseri-seri. 

"Tapi tolong lepaskan aku dulu. Badanku sakit semua,” tanya T anuki.

"Ya ya. Tunggu sebentar, ya?” Nenek segera melepas ranjau besar yang mengikat tubuh T anuki ke langit-langit rumah. 

Setelah dibebaskan, T anuki diam - diam mengambil tongkat kayu yang ada di dekat pintu. Kemudian dia memukul kepala neneknya dengan sekuat tenaga sampai dia jatuh berlumuran darah dan meninggal.

 “Hu u hh h ! Anda nenek bodoh! Percaya saja pada omongan T anuki. Hehehe… Asyiiiikk…. aku bebas ! Kata T Sanuki sambil melompat kegirangan. Kemudian dia lari dari rumah neneknya ke belakang gunung. Ketika hari sudah malam, kakek saya kembali ke rumah. Betapa kagetnya kakek saya melihat nenek saya terbaring bersimbah darah dan tidak bernafas lagi. 

“Oh, istriku… Bangunkan nenek! Bangun n ! Mengapa ini terjadi? Mengapa Anda tidak mengikuti kata-kata saya? Hik s , hik s , hik s ... Hwaaa ... " kata kakek yang berduka atas kematian neneknya.

Mendengar suara tangisan kakek yang cukup keras, seekor kelinci yang baik hati datang ke rumah kakek. 

“Apa yang terjadi, k ek? Kenapa menangis seperti itu?” tanya kelinci. "Nenek meninggal. Ini semua yang dilakukan T anuki. Binatang jahat itu telah membunuh istriku. Hik s , hik s , hik s ... Hwaaa ... "

“Tanuki sialan! Beraninya dia melakukan itu pada nenek. Saya akan membalas dendam! ” kata kelinci dengan marah. 

Kelinci pun mulai memikirkan cara membunuh T anuki yang terkenal sangat licik. Dia juga mendapat ide bagus. Suatu hari dia datang ke rumah T anuki.

 "Tanuki, ayo bermain di gunung mencari kayu bakar. Nanti kita bisa membuat api unggun dari udara bersama-sama,” ajak kelinci. 

"Wow itu bagus. Kebetulan saya sudah tidak ada pekerjaan lagi. Ayo pergi sekarang! " jawab T anuki dengan gembira. 

Mereka segera pergi bermain di gunung bersama. Setelah mendapatkan banyak kayu bakar, mereka pulang. Nah, dalam perjalanan pulang itu adalah kelinci yang berjalan di belakang T Sanuki berarti kayu bakar luka bakar yang telah dilakukan T Sanuki di punggungnya. Kelinci-logika segera menyalakan dua batu api yang ada d tinju alami mengangkat tangannya ke suara keras 'kachi-kachi'. Mendengar suara itu, T anuki bertanya pada kelinci. “Hahh ? ! Apa itu? Kelinci, apakah kamu juga mendengar suara 'kachi-kachi'? Suara apa itu, ya?”

"Oh, itu suara gunung ini. Makanya diberi nama gunung kachi-kachi,” jawab kelinci. 

" O... egitu, ya?" Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. 

Tak lama kemudian, kayu bakar di punggung T anuki mulai terbakar, menimbulkan suara 'booboo'. Tanuki menatap kelinci itu lagi. 

“Hahh ? ! Apa lagi itu? Kelinci, apakah kamu juga mendengar suara 'booboo'? Kedengarannya seperti apa, ya?”

“Oh, kalau itu suara gunung yang satu ini. Itulah mengapa disebut Gunung Booboo.”

"Hmm... Benarkah, ya?" 

Sesaat kemudian, kayu bakar itu terbakar dengan api besar yang berkobar. 

"Apa ini? Ups panas!!! Panas…!!! Toloonnggg…!!!” teriak T anuki dengan panas saat punggungnya terbakar. 

Dia juga menderita luka bakar yang parah. Keesokan harinya kelinci mengunjungi T anuki di rumahnya. Dia membawa obat untuk luka bakar T anuki. Obatnya ia buat sendiri dari cabai rawit yang sudah dihaluskan menjadi salep. 

“Tanuki, bagaimana kabarmu? Ini saya bawakan obat untuk luka bakar.”

"Terima kasih kelinci. Anda memang teman yang baik. aku sembuh! Saya tidak ingin bermain di gunung kachi-kachi lagi. Gunung itu benar-benar mengerikan! Kelinci, cepat sembuhkan luka bakarku. Aku tidak tahan lagi. Tolong segera gunakan obatnya ! ” pinta T anuki.

"Baiklah, laki-laki." 

Kelinci itu segera mengoleskan salep cabai rawit buatannya ke seluruh punggung T anuki yang terbakar. 

“Wadauuwww… Panas! Pana s ! Ups, sakiiittt…!!! Apa obat ini? Mengapa itu sangat menyakitkan? Aduhhh…!!!” 

“Tenang, Bung! Sabar… Ini obat yang sangat manjur. Jadi wajar saja jika rasanya sangat sakit. Tunggu sebentar, ya?”

Setelah mengatakan bahwa, kelinci diterapkan lebih cabai rawit salep sebanyak mungkin di seluruh T anuki ini kembali . Tanuki berteriak sekeras yang dia bisa karena dia tidak tahan dengan rasa sakit dan panas yang menyengat . 

“Wadaauuuuwwwwww ………. !!!!!!!!!!!!!!” untuk T Sanuki itu sadar dibuat . 

Beberapa hari kemudian setelah luka bakar T anuki sembuh. Kelinci mengunjungi rumah T anuki lagi. Kali ini dia mengajak T anuki pergi memancing. 

“Tanuki, ayo memancing di laut! Saya sudah menyiapkan dua perahu." 

“Wah, menyenangkan! Tentu saja saya ingin. Ayo pergi! " 

Mereka segera pergi ke laut. Kelinci naik perahu kayu, sedangkan T anuki naik perahu yang terbuat dari lumpur kering. Setelah mendayung perahu sebentar, mereka sampai di tengah laut. 

“Tanuki, bagaimana perasaanmu? Menyenangkan, kan?”

"Ya, itu menyenangkan. Saya merasa sangat senang. Baru kali ini saya naik kapal. Terima kasih untuk perahunya, kelinci? Ayo pergi memancing segera!” 

Namun, karena perahu T anuki terbuat dari lumpur kering, ia terkena air laut dalam waktu yang lama dan perahu itu melunak dan larut ke dalam air laut. Tanuki sangat bingung dan takut. 

“Nah, ini kenapa? perahu saya? Mengapa perahu saya? Kelinci, tolong aku! Perahu saya mencair. Bantu aku, kelinci! Toloonnggg…!!!” teriak T anuki sambil melambaikan tangannya minta tolong. 

"Rasakan itu! Itulah hukuman bagimu karena membunuh nenekmu!”

“Kelinci, bagaimana ini? Saya tidak bisa berenang. Tolong aku! Toloonnggg…!!!” Akhirnya,  T anuki yang jahat tenggelam ke dasar laut. 

***

Anggi selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus ceritanya."

Anggi menutup bukunya dengan baik, ya di taruh di meja dengan baik bersama buku yang lainnya. Anggi keluar dari kamarnya. Johan teman Anggi, ya dateng ke rumah untuk mengajak Anggi main bersama di lapangan bersama teman-teman. Anggi setuju dengan ajakan Johan. Keduanya berangkat ke lapangan untuk bermain dengan teman-teman.

WANITA SALJU

Renata duduk di ruang tamu, ya sedang membaca buku cerita asal Jepang yang yang berjudul Wanita Salju. Buku itu Renata pinjam dari perpustakaan sekolah. 

Isi buku yang di baca Renata :

Dahulu kala di wilayah Jepang bagian utara ada dua orang laki-laki pencari kayu yang bernama Mosaku dan Minokichi. Mosaku sudah berusia renta, sedangkan Minokichi masih berumur belasan tahun. Suatu hari di musim dingin, berangkatlah mereka menuju hutan di pinggir desa untuk mencari kayu bakar. Mereka harus menyeberangi sungai besar yang memisahkan desa dengan hutan tersebut. Dulu pernah beberapa kali dibuat jembatan di atas sungai yang menghubungkan desa dengan hutan, tapi selalu saja jembatan itu rusak dan hanyut karena banjir. Maka mereka pun harus menyeberangi sungai dengan naik perahu. Begitu sampai di seberang sungai si tukang perahu pun berkata,”Aku akan berada disini sampai menjelang sore. Jadi kalian jangan terlalu lama mencari kayu di hutan. Udara sangat dingin. Bila sewaktu-waktu cuaca jadi buruk, aku akan pulang dan meninggalkan kalian disini.”

“Iya, kami mengerti. Jangan khawatir, tengah hari kami pasti sudah kembali kesini,” jawab Mosaku.

Lalu Mosaku dan Minokichi pun segera meninggalkan si tukang perahu. Mereka segera bergegas masuk hutan mencari kayu bakar. Sampai tengah hari mereka telah mengumpulkan banyak kayu bakar. Namun dalam perjalanan pulang salju mulai turun diiringi angin dingin yang berhembus kencang. Semakin lama salju turun semakin lebat, mantel yang mereka pakai terlihat memutih terselimuti butiran-butiran salju. Mosaku dan Minokichi pun terjebak dalam badai salju. Meskipun begitu mereka tetap memaksakan diri untuk terus pulang ke desa. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak yang sudah terselimuti salju tebal sambil memanggul kayu bakar. Begitu sampai di tepi sungai hari sudah mulai gelap, mereka melihat si tukang kayu sudah tidak ada di tempatnya. Dan melihat perahunya sudah tertambat di seberang sungai. 

“Yahhh... kita terlambat datang. Si tukang perahu sudah kembali ke desa,” kata Mosaku,”Tidak mungkin kita kembali ke desa dengan berenang di sungai  di saat cuaca seperti ini.”

“Iya, benar. Kita harus mencari tempat untuk menginap di malam ini,” jawab Minokichi. 

Beberapa saat mereka memandangi daerah sekelilingnya mencari tempat untuk berteduh. Akhirnya mereka melihat sebuah gubuk kecil tidak jauh dari tempat mereka berada dan segera bergegas menuju ke sana. 

“Lihat disana! Sepertinya itu gubuk tempat berteduh  si tukang perahu,” kata Mosaku. 

“Benar. Ayo kita kesana saja!” ajak Minokichi. 

Mereka segera masuk ke dalam gubuk dan meletakkan kayu bakar bawaannya. Sebuah gubuk kecil satu ruangan tanpa jendela dengan satu buah pintu di bagian depannya, dan hanya ada sebuah tatami (meja kecil) menghias di dalamnya. Minokichi segera menyalakan api membuat perapian untuk mengusir hawa dingin yang semakin menusuk tulang, sedangkan Mosaku menutup pintu agar angin dingin tidak masuk ke dalam gubuk. Mosaku segera merebahkan diri ke lantai dan beberapa saat kemudian tertidur pulas karena kecapekan. Minokichi pun merebahkan diri di dekat perapian, namun dia masih belum bisa tertidur walau sudah berusaha memejamkan matanya. Suara angin yang menderu kencang di luar sana membuat bulu kuduknya sedikit meremang. Sesekali angin menerpa pintu gubuk itu dengan cukup keras hingga pintu itu terdengar berderit-derit menahan terpaan angin dari luar. 

Suara gemericik air sungai yang deras terdengar bersekutu dengan deru angin menyenandungkan kidung malam yang terasa kian mencekam. Sesekali pula cahaya kilat terlihat menerangi dalam gubuk melalui celah-celah pintu. Lama kelamaan Minokichi pun akhirnya tertidur juga dalam dinginnya malam yang berselimut salju. Pada tengah malam tiba-tiba Minokichi terbangun karena merasakan ada hawa dingin menerpa wajahnya. Disapunya wajahnya dari butiran-butiran lembut salju putih. Dari daun pintu yang terbuka dia melihat kilau putih salju yang membentang luas di luar sana. Minokichi berpikir pastilah angin kencang yang telah membuat pintu gubuk itu terbuka lebar. 

Namun betapa terkejutnya dia ketika dilihatnya ada seorang wanita berbaju putih di dalam ruangan itu. Wanita berbaju putih itu terlihat sangat cantik dan anggun, tinggi semampai, rambutnya hitam lurus panjang sepinggang. Namun sorot matanya serasa dingin, wajahnya putih memucat dengan bibir yang terlihat hitam membiru. Wanita itu berdiri di dekat tubuh Mosaku. Lalu dia meniupkan nafas panjangnya ke arah tubuh Mosaku. Nafas itu terlihat bagai dengus kuda yang mengeluarkan asap putih. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang seiring wanita itu meniupkan nafasnya. Kemudian dia beralih berjalan mendekati Minokichi. 

Minokichi menggigil ketakutan, sedikit demi sedikit dia beringsut ke belakang hingga tubuhnya tersandar pada dinding gubuk. Ingin rasanya dia menangis atau menjerit sekeras-kerasnya meminta tolong, tetapi seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya hingga tak keluar satu patah kata pun dari mulutnya. Dan dia hanya bisa terdiam menggigil ketika wanita itu semakin mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahnya. 

“Hmm...” gumam wanita itu, tajam sorot matanya menatap Minokichi dengan pandangan yang sedingin salju. 

Dalam jarak sedekat itu paras wajahnya semakin terlihat jelas, begitu cantik dan anggun. Dengan terbata-bata Minokichi memberanikan diri berkata,”Apakah kau adalah... Kau... Kau si wanita salju itu?”

Wanita itu hanya tersenyum simpul sambil terus menatap Minokichi dengan sorot mata yang beku. Lalu dia pun berkata setengah berbisik pada Minokichi,”Kulihat kau agak berbeda dari lelaki lainnya, kau terlihat masih sangat muda dan tampan, Minokichi. Karena itu aku tak akan menyakitimu saat ini. Namun kuminta jangan sekali-kali kau ceritakan peristiwa ini kepada siapa pun juga walaupun itu adalah ibumu sendiri. Sekali kau ceritakan hal ini, maka aku akan datang untuk membunuhmu. Ingat  baik-baik apa yang telah kukatakan ini!” 

Setelah itu wanita berbaju putih itu pun lenyap dari pandangan Minokichi. Seperti tersentak dari lamunan, Minokichi segera bangkit dan mencoba mencari wanita tadi. Dia berteriak kesana-kemari memanggil-manggil si wanita salju. Namun dia tak mendapati apa pun selain hamparan salju yang memutih dimana-mana. Wanita itu telah menghilang entah kemana tanpa meninggalkan jejak. 

“Apakah aku telah bermimpi?” tanya Minokichi pada dirinya sendiri. 

Akhirnya dia pun kembali masuk ke dalam gubuk sambil memanggil-manggil Mosaku. Dia menutup pintu rapat-rapat, lalu mengganjalnya dengan kayu bakar agar tak terbuka lagi bila diterpa angin kencang. 

“Mosaku... Mosaku...” Namun, masih tak terdengar suara Mosaku menjawab panggilannya. 

Minokichi mulai merasa khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu pada diri Mosaku. Dia segera menghampiri Mosaku yang terlihat masih lelap tertidur. Dipandangnya tubuh tua itu, terlihat kaku dan pucat membeku. Ketika tangannya menyentuh wajah Mozaku, terasa wajah itu sudah membeku sedingin es. Air mata Minokichi pun tiba-tiba tumpah-ruah, dia menangis histeris di samping jasad tua yang telah dingin membeku itu. Mosaku telah meninggal dunia. Keesokan harinya ketika si tukang perahu kembali ke tempat itu, dia mendapati Minokichi terduduk lesu disamping jasad Mozaku yang dingin membeku. 

Minokichi terlihat begitu sedih dan merasa sangat terpukul dengan kejadian yang dialaminya semalam. Mereka pun segera kembali ke desa dan memakamkan Mosaku.  Minokichi berusaha mengembalikan keberanian dan semangat hidupnya lagi. Dan beberapa hari sesudahnya dia sudah terlihat kembali pada aktifitasnya semula. Setiap hari pergi ke hutan mencari kayu bakar lalu menjualnya di desa. Namun peristiwa malam itu dengan si wanita salju masih terus membekas dalam hatinya, dan dia terus menyimpan kisah itu rapat-rapat, tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun juga. Hari berganti hari. 

Musim pun datang silih berganti. Tahun demi tahun pun berlalu berganti jumlah bilangan. Kini Minokichi telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang gagah dan tampan. Suatu senja di musim dingin ketika Minokichi dalam perjalanan pulang setelah menjual kayu bakar di pasar, dia bertemu dengan seorang gadis di tengah perjalanannya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan anggun. Tinggi semampai dan langsing. Sedap dipandang mata. Gadis itu menyapa Minokichi. 

“Selamat sore.”

“Selamat sore,” jawab Minokici. 

“Maaf, tuan. Saya mau  numpang tanya apakah ada penginapan di desa ini? Saya mau menginap barang semalam saja.” 

“Oh, setahu saya tidak ada penginapan di desa ini. Maklumlah disini hanyalah desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Kalau boleh tahu, kemanakah tujuan nona?” Minokichi balik bertanya. 

“Aduh, gimana ya?” gadis itu terlihat cemas,”Saya mau pergi ke Edo ( Tokyo ) mencari famili yang tinggal disana. Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu, jadi sekarang saya sebatang kara tidak punya sanak saudara. Satu-satunya famili yang saya punya katanya tinggal di Edo. Meskipun saya juga tidak tahu pasti dimana alamat mereka tinggal, tapi saya yakin akan menemukan mereka disana. Saya harus pergi menemui mereka karena hanya merekalah keluarga yang saya punya,” suaranya terdengar sedih,”Hmm... Sebaiknya bagaimana, ya? Kalau saya lanjutkan perjalanan pasti akan kemalaman di jalan, dan tentunya akan sangat berbahaya bagi keselamatan saya,” lanjutnya lagi dan raut wajahnya mulai terlihat kebingungan. 

“Hmm... Kalau anda mau menginaplah di rumah saya,” kata Minokichi menawarkan tempat. 

“Benarkah?” kata gadis itu dengan wajah sumringah.

”Tapi keadaan rumah saya sangat sederhana tidaklah pantas untuk gadis secantik nona.”

“Tidak mengapa, diperbolehkan menumpang semalam saja saya sudah sangat bersyukur. Terima kasih, tuan,” kata gadis itu sambil membungkukkan badan,”Perkenalkan nama saya ‘Yuki’ ( salju ). Tuan siapa?”

“Minokichi,” jawab Minokichi dengan membungkukkan badan juga. 

Mereka pun berjalan menuju rumah Minokichi. Di sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap dengan akrabnya. Terlihat dari pandangan mata dan polah tingkahnya, mereka berdua saling menyukai satu dengan lainnya. Sesampai di rumah, Minokichi segera memperkenalkan gadis itu kepada ibunya. Ibunya pun menyambut kedatangan Yuki dengan senang hati. Begitu melihat paras wajah Yuki yang cantik jelita, si ibu langsung merasa senang dan tertarik pada Yuki. Dia pun berniat menjodohkan Minokichi dengan Yuki. 

“Hmm... Sepertinya mereka berdua terlihat saling menyukai dan  sangat serasi. Kurasa gadis itu sangatlah pantas menjadi istri Minokichi. Sebaiknya malam ini aku harus berusaha membujuknya untuk membatalkan niatnya pergi ke Edo. Coba nanti kuutarakan niatku pada mereka berdua,” gumam sang ibu dalam hati. 

Sewaktu makan malam bersama si ibu pun membujuk Yuki untuk membatalkan niatnya pergi ke Edo, dan menyatakan niatnya melamar Yuki untuk dinikahkan dengan Minokichi. Ternyata keinginan si ibu tidak bertepuk sebelah tangan. Baik Yuki ataupun Minokichi menyambut baik keinginan sang ibu. Lalu keesokan harinya pun Minokichi dan Yuki melangsungkan pernikahan dengan sederhana. Beberapa tahun pun berlalu, Minokichi dan Yuki telah dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki dan perempuan.  Mereka semua tumbuh sehat,  terlihat sangat cantik dan tampan seperti orang tua mereka. Mereka sekeluarga terlihat begitu harmonis, saling mengasihi dan menyayangi. 

Setelah ibu mertuanya meninggal dunia, Yuki harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seorang diri. Mencuci, memasak, membersihkan rumah dan  juga mengurus anak-anaknya dia lakukan sendiri dengan senang hati. Yuki adalah seorang istri dan ibu yang baik. Namun ada satu hal yang terasa aneh pada diri Yuki yang membedakannya dengan wanita lainnya. Meskipun usianya bertambah tua namun anehnya Yuki terlihat tetap muda dan cantik jelita seperti ketika pertama kali dia menginjakkan kakinya di desa ini dahulu. Hingga suatu malam di musim dingin ketika anak-anak mereka sudah tidur terlelap semuanya. Minokichi memandang Yuki yang sedang menyulam baju dengan penerangan lampu lampion. 

“Memandangmu menyulam disitu dengan cahaya lampu yang menyinari wajah ayumu, mengingatkanku pada sebuah peristiwa mengerikan yang pernah kualami ketika usiaku masih belasan tahun lalu. Waktu itu aku melihat seorang wanita berbaju putih yang sangat cantik, dan wajahnya benar-benar mirip dengan wajahmu. Ah, bukan mirip tetapi sama persis dirimu.” 

“Lalu?” tanya Yuki tanpa mengalihkan pandangannya dari baju yang disulamnya,”Apakah kau melihatnya dengan jelas? Tolong ceritakan tentang wanita itu.” 

Minokichi pun mulai menceritakan malam yang mengerikan yang pernah dialaminya di gubuk tukang perahu beberapa puluh tahun yang lalu. Tentang wanita berbaju putih yang cantik jelita, yang berdiri tepat di depannya, tersenyum dan berbisik kepadanya. Juga tentang kematian si tua Mosaku yang membeku menjadi es. 

“Entah dalam keadaan terjaga atau tidur, hingga kini bayang-bayang wanita itu selalu mengusikku. Dan aku merasa wajahnya benar-benar sama persis dengan dirimu. Tentu bedanya adalah dia bukan manusia sepertimu, dia adalah hantu atau apalah... Hingga kini pun aku sendiri tak tahu siapa dia?  Aku sendiri masih tidak yakin apakah yang kualami hanyalah mimpi buruk ataukah aku benar-benar telah bertemu dengan si wanita salju? Sungguh! Aku benar-benar takut pada dirinya!”

“Apa? Wanita salju?” kata Yuki sambil melempar baju sulamannya. 

Dia lalu bangkit menghampiri tempat Minokichi duduk. Yuki pun membungkukkan badan dan melekatkan wajahnya tepat di hadapan Minokichi. 

“Apakah seperti ini wajah wanita itu? Pandang baik-baik suamiku! Pandang diriku baik-baik!” ucapnya dengan suara berbisik.

Tiba-tiba wajah Yuki berubah semakin putih, tatapan matanya sedingin salju dan bibirnya mulai hitam membiru. Tiba-tiba angin sedingin salju berhembus masuk ke dalam kamar Minokichi menerbarkan aroma khas musim dingin, kini Yuki telah kembali ke wujud aslinya sebagai wanita salju dengan pakaian serba putih. 

“Oh, kau... Kau...” pekik Minokichi tertahan, terasa seperti ada batu besar yang menyumbat tenggorokannya. 

“Inilah diriku yang sesungguhnya! Inilah wujudku! Akulah Yuki si wanita salju itu. Kau telah melanggar  janjimu, Minokichi!  Bukankah dulu aku sudah berkata bila kau ceritakan kisah itu pada seseorang maka aku akan datang untuk membunuhmu.Sudah terlalu lama aku menantikan saat ini, Minokichi. Dan malam ini aku akan benar-benar membunuhmu!”  kata Yuki lirih setengah berbisik, tangannya yang putih dan sedingin salju telah mencengkeram leher Minokichi dan siap untuk mencekiknya, dia tatap wajah Minokichi dalam-dalam. 

“Yuki... Jangan lakukan! Yuki...” kata Minokichi tersendat-sendat ketakutan,”Yuki... Sadarlah! Aku ini suamimu... Bapak dari anak-anakmu...” 

Tiba-tiba wajah Yuki terlihat sayu. Dia pun berujar lirih dengan suara serak tersendat,”Sungguh! Saat ini... Saat ini aku benar-benar tak sanggup melakukannya! Aku tak sanggup membunuhmu, suamiku...” butiran-butiran bening air mata mulai jatuh membasahi pipi Yuki,”Selama ini kau telah menjadi suami yang baik dan sangat menyayangiku. Kau juga telah memberiku sepuluh orang anak yang tampan dan cantik. Bagaimana mungkin aku sanggup membunuhmu? Inilah waktu perpisahan kita, Minokichi. Tolong jaga dan rawat anak-anak kita dengan baik.”

“Yuki... Yuki...” teriak Minokichi,”Jangan pergi!” 

Yuki terlihat semakin pucat dan memutih. Tubuhnya membeku seperti es, lalu perlahan-lahan mulai melebur dalam kabut bercahaya putih dan lenyap dari hadapan Minokichi. Sejak saat itu Yuki si wanita salju tidak pernah terlihat lagi. 

***

Renata selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus ceritanya."

Renata menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik. 

SUN JI DAN PUTRI TERTAWA

Damini duduk santai dan membuka bukunya dengan baik, ya di baca buku ceritanya dengan baik.

Isi buku yang di baca Damini :

Seorang anak lelaki tampak menyusuri sungai dengan berlari-lari kecil. Kakinya melompat lincah di antara bebatuan, sehingga percikan-percikan air sesekali mengenai kaki mungilnya. Wajahnya tampak berseri-seri. Hari ini dia mendapat sekeping uang logam, imbalan atas hasil jerih payahnya karena membantu salah seorang teman ayahnya mencari rumput untuk makanan ternak mereka.

Namun tiba-tiba, ia dikejutkan oleh suara logam yang beradu dengan bebatuan. Ia tersentak, kaget. Bukan oleh suara yang ia dengar, tetapi ia merasakan sesuatu terlepas dari genggamannya. Anak itu berhenti sesaat dan membuka telapak tangan yang tadi berisi uang logam secara perlahan. Wajahnya berubah seketika. Uang logam itu sudah lenyap dari tangannya.

Mata sipit anak itu segera menyusuri dasar sungai, berusaha mencari uang logamnya. Air sungai yang jernih membantunya melihat bebatuan yang ada di dasar sungai dengan lebih jelas. Pandangan matanya terus berputar dan tak henti mengamati dasar sungai. Namun, uang logam itu tak kunjung ia temukan.

Oleh karena tidak puas mengamati, anak itu pun membenamkan kakinya ke dalam air. Air sungai, yang terasa hangat karena sinar matahari sejak siang, menyentuh kulitnya. Ia membungkukkan tubuhnya dan mengedarkan pandangannya perlahan-lahan. Dasar sungai itu terlihat semakin jelas, tapi ia tetap tidak menemukan uang logam itu. Anak itu tampak sedih dan putus asa. Ia pun melanjutkan perjalanan pulang dengan terisak-isak.

Jarak rumahnya dengan rumah Tuan Ho Chu, teman ayahnya, lumayan jauh. Ia harus menyeberangi sungai yang baru saja menelan uang logamnya itu dan berjalan menyusuri jalanan yang penuh dengan pepohonan di kanan dan kirinya agar dapat sampai di rumahnya. Setelah berjalan cukup lama, anak itu pun hampir sampai di rumahnya. Dari kejauhan, ayahnya sudah terlihat menunggu anak semata wayangnya itu. Namun, melihat anak lelakinya mengusap kedua matanya, ia pun menjadi khawatir.

“Sun Ji, ada apa denganmu? Apakah teman-temanmu mengolok-olokmu lagi?” tanya sang Ayah ingin tahu.

Ini bukan pertama kalinya, Sun Ji pulang sambil menangis karena diolok-olok oleh teman-temannya dengan sebutan anak dungu. Walaupun sang Ayah menyadari kalau anaknya memang sedikit dungu, namun ia tidak suka dengan sebutan itu karena ia tahu jika Sun Ji adalah anak yang baik hati dan selalu patuh.

Mendengar pertanyaan ayahnya, tangis Sun Ji pun pecah. “Huu… huhuu… uang logam pemberian Tuan Ho Chu jatuh ke sungai, Ayah.”

Sang Ayah memandang Sun Ji sambil mengelus kepala buah hatinya itu. Ia dapat memahami perasaan anaknya.

“Sudahlah, Nak. Lain kali jika engkau mendapatkan uang logam, simpan uang itu di sakumu. Kalau kau memegangnya di tangan, uang itu akan mudah terlepas. Sudah, jangan menangis lagi. Ayah tidak marah, kok. Sekarang, lebih baik kau mandi dan kita makan bersama,” hibur sang Ayah.

Sun Ji terdiam mendengar perkataan ayahnya. Sebenarnya, ia bermaksud memberikan uang hasil jerih payahnya itu kepada orangtuanya. Namun, uang itu malah hilang, sehingga membuatnya merasa bersalah.

“Maafkan aku, Yah,” kata Sun Ji pelan, “lain kali, jika seseorang memberikan sesuatu kepadaku, aku akan menyimpannya di sakuku.”

Ayah Sun Ji tersenyum mendengar perkataan anaknya. Ia merasa senang akrena Sun Ji mengerti apa yang dia perintahkan.

Keesokan harinya, Sun Ji kembali membantu Tuan Ho Chun. Seperti hari sebelumnya, sesampai di rumah Tuan Ho Chun, Sun Ji segera mengambil karung untuk tempat rumput. Dengan riang, ia bergegas menuju padang rumput. Sun Ji mulai memotong rumput-rumput hijau dengan sabit dan memasukannya ke dalam karung sedikit demi sedikit. Setelah penuh, ia segera membawa karung itu ke kandang sapi yang terletak di belakang rumah Tuan Ho Chun dan memberi makan sapi-sapinya dengan telaten. Setelah Sun Ji menyelesaikan pekerjaannya, ia pun berpamitan kepada Tuan Ho Chun.

“Tunggu sebentar, Sun Ji. Aku akan mengambil sesuatu untuk kau bawa pulang.” Tuan Ho Chun masuk ke dalam rumahnya dan mengambil satu botol susu segar. Ia lalu memberikan botol itu kepada Sun Ji. “Ini untuk upahmu hari ini.”

Sun Ji menerima botol susu pemberian Tuan Ho Chun dengan wajah cerah. Ia menimang botol itu sesaat. Air liurnya mulai keluar membayangkan minum susu segar pemberikan Tuan Ho Chun. Dengan sedikit membungkukkan badannya, ia mengucapkan terima kasih dan segera melangkah pulang.

“Hati-hati, ya, membawanya. Botol susu itu tidak ada tutupnya,” pesan Tuan Ho mengingatkan.

Sun Ji mengangguk, mengerti. Namun sesaat kemudian, ia teringat pesan ayahnya untuk menyimpan segala sesuatu yang ia dapatkan di sakunya. Sun Ji pun memasukkan botol susu itu ke saku bajunya yang berukuran kecil. Meski botol itu berukuran lebih besar daripada saku Sun Ji, ia tetap memaksakan botol itu masuk ke dalam sakunya, hingga saku itu sobek. Sun Ji tidak memedulikannya. Ia hanya ingin mematuhi pesan ayahnya untuk memasukkan botol susu itu ke dalam saku agar botol itu selamat sampai di rumah. Dengan berlari-lari kecil, Sun Ji menyusuri jalan pulang dengan menyeberangi sungai. Sang Ayah sudah menunggunya di depan rumah sambil membelah kayu bakar.

“Kenapa bajumu basah seperti itu, Nak?” tanya sang Ayah keheranan. Ia melihat sesuatu menyembul dari saku baju Sun Ji yang sobek. Botol apa yang dia bawa? Sang Ayah bertanya dalam hati.

Sun Ji terkejut mendengar pertanyaan ayahnya. Ia segera mengintip botol susu di dalam sakunya. Sesaat kemudian, ia baru menyadari kalau botol susu yang dia bawa nyaris kosong karena isinya tumpah bersamaan dengan laju larinya. Sun Ji menatap ayahnya dengan wajah bersalah.

“Lain kali, kalau kau mendapatkan benda seperti itu, pegang di bagian lehernya, jangan memasukkannya ke dalam saku.” Sang Ayah mencoba menasihati.

Sun Ji menganggukkan kepalanya dengan lemah. Ia merasa sedih karena keinginannya untuk menikmati susu bersama kedua orang tuanya tidak terwujud. Kini, yang tertinggal hanyalah badan dan bajunya yang lengket karena susu.

“Maafkan aku, Ayah. Lain kali, aku akan memegang bagian lehernya.” Sun Ji berkata dengan mata berbinar. Akhirnya, ia mendapatkan cara agar susu di dalam botol tersebut tidak tumpah.

Hari berikutnya, Sun Ji masih melakukan pekerjaan yang sama. Ia mencari rumput dan memberi makan sapi-sapi Tuan Ho Chun. Tuan Ho Chun pun memberikan upah seekor ayam jantan berwarna kemerahan untuk Sun Ji.

“Ambillah sendiri sekor ayam jantan yang berwarna kemerahan di kandang belakang,” perintah Tuan Ho Chun.

“Baik, Tuan.”

Sun Ji bergegas ke belakang rumah Tuan Ho Chun dan masuk ke dalam kandang ayam. Di sana ada banyak ayam jantan dan betina. Sun Ji segera menangkap seekor ayam jantan untuk dibawa pulang. Namun, sebelum berjalan pulang, Sun Ji teringat pesan ayahnya untuk membawa benda pemberian Tuan Ho Chun dengan memegang bagian lehernya. Sun Ji pun memegang leher ayam itu erat-erat, meski ayam jantan itu meronta-ronta dan berusaha melukai tangan Sun Ji dengan cakarnya yang tajam.

“Sreet!”

Cakar ayam itu akhirnya melukai punggung tangan Sun Ji dan membuatnya meringis kesakitan. Darah mulai keluar dari punggung tangannya secara perlahan, tapi Sun Ji tidak mau melepaskan pegangannya. Ia justru memegang leher ayam itu lebih erat lagi agar ayam itu tidak lepas.

Sun Ji tidak memedulikan ayam jantan dalam genggamannya yang terus meronta-ronta. Ketika ayam itu mengepakkan kedua sayapnya dengan sekuat tenaga, Sun Ji justru berlari lebih cepat. Ia ingin segera sampai di rumah dan memamerkan hasil jerih payahnya hari ini kepada orang tuanya. Beberapa saat kemudian, ayam jantan dalam genggaman tangannya tidak lagi mencakar dan mengepakkan sayap. Sun Ji pun menjadi lebih mudah membawanya. Ia tidak menyadari jika ayam itu sudah kehabisan napas.

Ayah Sun Ji hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat anaknya memegangi leher ayam dari kejauhan. Sementara itu, Sun Ji justru tersenyum riang dan dengan bangga mengacungkan ayam jantan itu kepada ayahnya.

“Ayah, aku mendapatkan ini dari Tuan Hon Chun.” Sun Ji menunjukkan ayam jantan di tangannya yang sudah terkulai lemas.

“Sun Ji, seharusnya kamu mengikat kaki ayam ini dengan tali. Jika kamu memegang erat lehernya seperti itu, ayam itu bisa mati.”

Ayah Sun Ji mencoba memberikan penjelasan kepada Sun Ji sembari mengambil dan memeriksa ayam dalam genggamannya. “Lihatlah, ayam ini sudah mati!” sambung sang Ayah lagi. Ia menunjukkan ayam jantan yang sudah kehabisan napas itu kepada Sun Ji.

Sun Ji tertunduk lemas. Ia merasa sedih sekaligus bersalah kepada ayahnya. “Maafkan aku, Ayah,” ucap Sun Ji lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia sama sekali tidak tahu jika perbuatannya itu dapat menyebabkan ayam pemberian Tuan Ho Chun mati.

“Sudahlah, tidak apa-apa. Lain kali kamu harus mengikat kakinya dengan tali,” nasihat sang Ayah.

“Baik, Ayah. Aku akan ingat nasihat Ayah.”

Sun Ji pun berusaha mengingat nasihat ayahnya dengan baik. Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya lagi. Maka, ketika Tuan Ho Chun memberikan kaki kambing keesokan harinya, ia langsung mengikat dan menarik kaki kambing itu dengan tali. Jalan bebatuan yang dia lewati, sedikit demi sedikit mengikis daging yang ada di kaki kambing itu. Sun Ji sama sekali tidak menyadari hal itu dan terus berjalan pulang dengan riang dan bernyanyi senang. Pun ketika dia menyeberangi sungai, sisa-sisa daging yang terkikis bebatuan akhirnya hanyut terbawa arus air.

“Ayah, aku membawa kaki kambing!” seru Sun Ji nyaring pada ayahnya yang sedang membelah kayu di depan rumah.

Ayah Sun Ji terbeliak melihat Sun Ji. Ia sudah mulai kesal dengan kedunguan anaknya itu. “ Nak, kalau kau mendapat seperti ini, seharusnya kau memanggulnya agar dagingnya tidak habis terkikis oleh bebatuan di jalan.”

Sun Ji memerhatikan kaki kambing yang dibawanya, kemudian berpikir sejenak. Ayahnya benar. Daging di kaki kambing itu telah habis terkikis bebatuan, sehingga hanya tulangnya yang berwarna putih saja yang tersisa. Mengapa ia sama sekali tidak memikirkan hal itu? katanya dalam hati.

Kini, kaki kambing itu hanya menyisakan tulang, sehingga tidak bisa diolah menjadi masakan lezat yang ia inginkan. Padahal, Sun Ji sudah lama ingin makan daging kambing yang dimasak oleh koki nomor satu di desanya, ibunya. Sekarang, ia pun hanya bisa menelan ludah.

“Baiklah Ayah, aku akan menuruti nasihat Ayah. Besok, jika Tuan Ho Chun memberikan sesuatu lagi, aku akan memanggulnya.”

“Nak, apakah kau membawa sesuatu untuk ibu masak?” tanya ibu Sun Ji sambil menghampiri Sun Ji dan suaminya. Persediaan makanan mereka memang sudah habis. Oleh karena itu, ibu Sun Ji sangat berharap jika anaknya pulang membawa bahan makanan.

“Maafkan aku, Ibu. Kaki kambing yang kubawa hanya tinggal tulang saja, dagingnya telah hilang terkikis oleh bebatuan di jalan.”

“Oh, sayang sekali.” Ibu Sun Ji terdiam memandangi tulang yang disodorkan Sun Ji. “Tapi tak mengapa, mungkin masih ada yang bisa ibu olah,” kata ibunya lagi dengan bijak.

Ibu Sun Ji tidak ingin menambah rasa bersalah di hati anaknya. Ia menyadari kekurangan anaknya yang dungu. Meskipun demikian, anaknya itu adalah anak yang baik dan tak pernah membantah perintahnya maupun suaminya.

Ibu Sun Ji kemudian membawa tulang kaki kambing itu ke dapur. “Bersihkan badanmu dan beristirahatlah, kau pasti lelah bekerja seharian,” perintah ibu Sun Ji saat melihat anaknya mengikuti dia ke dapur.

Sun Ji menganggukkan kepala dan segera pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan badan, ia merebahkan tubuhnya di dipan kayu untuk beristirahat sejenak. Namun, ia ternyata tertidur hingga pagi menjelang. Ketika bangun, Sun Ji sudah melupakan masakan tulang kambing yang diolah oleh ibunya. Setelah selesai bersiap-siap, ia segera berpamitan kepada ibunya untuk pergi bekerja.

“Makanlah sup ini dulu, Nak, agar kamu memiliki tenaga untuk bekerja,” saran ibunya. Ia menyerahkan semangkuk sup tulang kaki kambing kepada Sun Ji.

Sun Ji mulai menyendok sup itu sampai ke dasar mangkuk, berharap menemukan sesuatu selain tulang dan air, namun ia tidak menemukannya. Tanpa banyak bicara, ia pun segera menghabiskan sup itu dan pergi bekerja. Sepanjang hari itu, Sun Ji terus teringat nasihat ayahnya. Dan, ketika Tuan Ho Chun memberikan hadiah atas pekerjaan yang ia lakukan selama ini, Sun Ji pun mematuhi nasihat ayahnya. Ia pulang ke rumah dengan memanggul seekor kambing pemberian Tuan Ho Chun. Ukuran kambing yang jauh lebih besar dari tubuh Sun Ji membuat anak itu kepayahan. Ia pun berniat mencari jalan pintas agar lebih cepat sampai ke rumah. Namun, Sun Ji malah salah jalan, sehingga ia harus berputar-putar untuk dapat menemukan jalan pulang.

Dari sebuah rumah, seorang putri merasa aneh melihat seekor kambing yang bergoyang-goyang di atas bahu seseorang. Rupanya, ada seorang anak yang memanggul kambing itu. Ketika sang Putri melihat raut muka dan cara jalan anak pemanggul kambing itu, ia pun tertawa terbahak-bahak. Suara tawa sang Putri membuat para dayang terkejut. Mereka pun segera menghampiri sang Putri.

“Tuan putri kita sudah sembuh dari sakitnya!” seru salah seorang dayang.

Putri Yeong memang menderita penyakit aneh, yang hanya bisa sembuh jika Tuan Putri tertawa. Badut-badut di negeri itu sudah diundang oleh Raja untuk membuat sang Putri tertawa. Puluhan tabib juga sudah didatangkan untuk menyembuhkan penyakit aneh sang Putri. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Hal itu membuat Raja gundah gulana. Ia pun akhirnya membuat sayembara, barang siapa berhasil menyembuhkan penyakit putrinya akan diberi sebagian kekayaan kerajaan.

Selama ini agar Putri Yeong dapat beristirahat dengan tenang, Raja membangun sebuah tempat peristirahatan untuk putri kesayangannya itu. Dan selama Putri tinggal di tempat itu, ia belum pernah tertawa sama sekali. Namun kali ini, seorang lelaki kecil yang memanggul seekor kambing berhasil membuat sang Putri tertawa. Dayang suri pun segera mengirim utusan untuk memberitahukan berita gembira tersebut kepada sang Raja.

Sang Raja menyambut gembira kabar kesembuhan putrinya. Ia segera menyiapkan sebuah pesta dan mengizinkan seluruh rakyat datang untuk menikmati hidangan spesial ala kerajaan. Raja pun tidak lupa mengundang Sun Ji dan keluarganya. Sesampai di istana, Sun Ji tak henti-hentinya berdecak kagum. Ia memang belum pernah menginjakkan kaki di istana sebelumnya. Ia kemudian berjalan kikuk menghadap sang Raja dan membungkuk penuh hormat ketika sampai di hadapan sang Raja.

“Jadi, kau yang memanggul kambing itu, Anak Muda?” tanya sang Raja ingin tahu. Sun Ji tidak mampu berkata-kata, sehingga ia hanya menganggukkan kepala dengan hikmat.

“Mengapa kau memanggul kambing yang lebih besar dari tubuhmu itu? Bukankah kau bisa mengikat lehernya dengan tali dan menariknya?” tanya Raja penasaran.

“Karena Ayah menyuruh saya melakukannya, Paduka Raja.” Sun Ji menjawab dengan terbata-bata. Tubuhnya mulai gemetar karena berhadapan dengan Raja secara langsung.

Ayah Sun Ji kemudian menceritakan semuanya kepada sang Raja, mulai dari pekerjaan Sun Ji sebagai pencari rumput maupun hadiah dari Tuan Ho Chun. Sang Ayah juga menceritakan ejekan yang sering diterima Sun Ji sebagai anak yang dungu dan sifat Sun Ji yang selalu patuh dan tidak pernah membantah perintah kedua orang tuanya.

Mendengar cerita ayah Sun Ji, Raja mengangguk mengerti. Ia kemudian berkata, “Saya sebagai raja dan ayah dari Putri Yeong mengucapkan terima kasih yang tak terhingga karena kamu telah menyembuhkan sang Putri. Kamu adalah anak yang baik dan sangat saat kepada kedua orang tuamu. Oleh karena itu, saya akan memberikan sebagian kekayaan kerajaan kepadamu.”

Sun Ji dan kedua orang tuanya merasa sangat senang mendengar perkataaan sang Raja. Mereka terus-menerus mengucap syukur atas anugerah yang mereka terima. Namun, satu hal yang paling membuat mereka bangga adalah karena mereka mempunyai seorang anak yang patuh. Keluarga kecil yang semula hidup sederhana itu pun menjadi kaya raya. Raja juga memperbolehkan mereka tinggal di istana jika mereka mau. Namun, Sun Ji dan kedua orang tuanya memilih untuk tetap tinggal di desa dan mereka pun hidup bahagia. 

***

Damini selesai membaca bukunya.

"Ya..ya..ya bagus cerita asal dari Korea Selatan," kata Damini.

Damini menutup bukunya dan menaruh buku di meja.

GOSIP SAJA!

Selesai mengerjakan kerjaan, ya Kasino keluar dari kamarnya.

"Nonton Tv apa main gitar, ya menyanyi gitu?" kata Kasino berpikir dengan baik.

Sampai di ruang tengah.

"Kayanya lebih baik aku main gitar dan bernyanyi saja, ya menghibur diri gitu!" kata Kasino.

Kasino bergerak ke ruang tamu. Duduk Kasino di sofa, ya mengambil gitar di meja dan segera menyanyikan lagu dangdut yang berjudul Bidadari Cinta. Indro selesai mengerjakan kerjaannya, ya ke ruang tamu untuk main gitar gitu.

Lirik lagu yang dinyanyikan Kasino :

Bersyukur kepada Allah
'Ku telah dipertemukan
Kekasih baik hati sepertimu
Apa pun adanya engkau
Kurela dan menerima
Segenap jiwa ragaku untukmu
Sampai ajal menjemputku
'Ku selalu mencintamu
Menyayangmu
Engkau tulang rusukku
Hingga di syurga-Nya Allah
Kuingin bersamamu
Dan menjadi bidadari cintamu
Apa pun adanya engkau
Kurela dan menerima
Segenap jiwa ragaku untukmu
Sampai ajal menjemputku
'Ku selalu mencintamu
Menyayangmu
Engkau tulang rusukku
Hingga di syurga-Nya Allah
Kuingin bersamamu
Dan menjadi bidadari cintamu
Sampai ajal menjemputku
'Ku selalu mencintamu
Menyayangmu
Engkau tulang rusukku
Hingga di syurga-Nya Allah
Kuingin bersamamu
Dan menjadi bidadari cintamu
Dan menjadi bidadari cintaku
Dan menjadi bidadari cintamu

***

Kasino selesai menyanyikan lagunya dan main gitarnya. Indro, ya duduk di sofa dan berkata "Bagus Kasino menyanyinya."

"Terima kasih atas pujiannya. Tapi masih banyak yang lebih baik dari aku, menyanyi gitu. Contohnya : artis dan para peserta dalam perlombaan menyanyi gitu," kata Kasino.

"Aku mengerti omongan Kasino," kata Indro.

"Indro mau main gitar dan juga menyanyi?" tanya Kasino.

"Ya mau sih. Tapi. Nanti dulu. Kenapa Kasino menyanyikan lagu Bidadari Cinta. Apa ada kaitan dengan artis Selfi yang menyanyikan dengan peserta LIDA yang ganteng dan keren gitu?" kata Indro.

"Kebiasaan Indro. Selalu di kaitkan dengan artis Selfi. Sekedar menyanyi saja!" kata Kasino.

"Ya artis Selfi itu cantik. Kalau di idamkan bagaikan Bidadari kan tidak masalah," kata Indro.

"Memang artis Selfi itu cantik. Siapa sih yang tidak mau bersama dengannya?!" kata Kasino yang mengikuti maunya Indro dalam pola pembicaraan gitu.

"Kasino mulai kelain hati. Gimana dengan kekasih hati Kasino?!" kata Indro.

"Jadi obrolannya menjebak toh!" kata Kasino dengan tegas.

"Sekedar orbrolan saja. Lagian ke kasih hati Kasino kan tidak tahu. Urusan cowok gitu!" kata Indro.

"Sudahlah Indro tidak perlu di perpanjang omongan itu. Bisa jadi gosip ini dan itu!" kata Kasino.

"Gosip itu menariklah. Obrolan di Tv, ya banyak gosip ini dan itu," kata Indro.

"Lama-lama kaya cewek. Ngobrolin gosip," kata Kasino.

"Ok. Tidak gosip lagi. Sini gitarnya!" kata Indro.

"Nie...gitarnya," kata Kasino memberikan gitar ke Indro.

Indro mengambil gitar dan segera memainkan gitar dengan baik dan menyanyikan lagu dengan judul Arjun. Kasino ikut bernyanyi juga sih.

Lirik yang dinyanyikan Indro dan Kasino :

Mengapa dalam perjalanan cintaku
Selalu ada yang merintangi
Pada diriku yang hina
Takkan lagi ada satu
Runcingnya bambu menusuk hatimu
Karena aku tak terima engkau dihina
Oo manis, biarkanlah aku
Aku ini orang kecil
Harus hitung-hitung kecil
Pagi sore aku selalu menimbang diri
Memang tak pantas bersanding denganmu
Kucinta padamu kasih
Pria idaman kucari
Jangan pergi tinggalkanku sendiri
Sekuat apa pun tulang di punggungmu
Tak mungkin mampu membuntutiku
Kita tak berdaya walau saling cinta
Berpisah itu jalan yang utama
Jubah hitam ini tongkat panjang ini
Menjadi teman sependeritaanku
Kerudungmu yang cantik bersulam bermanik
Tak mungkin bersatu dalam koperku
Hai lelaki pengembara
Biarkan kuikut serta
Mati pun aku rela bagai Rama dan Shinta
Seiya dan sekata
Takkan lagi ada satu
Runcingnya bambu menusuk hatimu
Karena aku tak terima engkau dihina
Sekuat apa pun tulang di punggungmu
Tak mungkin mampu membuntutiku
Kita tak berdaya walau saling cinta
Berpisah itu jalan yang utama

*** 

Indro selesai menyanyikan lagu dan main gitarnya, ya Kasino berhenti menyanyi juga.

"Indro kenapa menyanyikan lagu Arjun?" tanya Kasino.

"Pinginnya menyanyikan lagu Arjun!" kata Indro yang tegas.

"Ooooo begitu. Atau ada kaitannya dengan peserta LIDA yang menyanyikan lagu Arjun bersama artis yang nama terkenalnya Rara, ya nama aslinya Tiara Rahmadani?!" kata Kasino.

"Kasino. Cuma sekedar menyanyi saja!" kata Indro yang tegas.

"Ok aku paham. Padahal artis Rara itu pesona kecantikan luar biasa," kata Kasino.

"Kalau cowok menilai cewek sih, ya hal biasa sih. Pesona kecantikan artis Rara itu luar biasa," kata Indro.

"Ada yang marah apa enggak ya?!" kata Kasino.

"Ceritanya kan artis Rara, ya dekat dengan artis Gunawan gitu. Pasti marah gitu. Ada yang suka sama artis Rara, ya bisa di bilang artis Gunawan cemburu gitu," kata Indro mengikuti permainan Kasino.

"Hal seperti itu bisa terjadi sih. Cemburu tanda cinta gitu!" kata Indro.

"Gosip yang seru!" kata Kasino.

"Kaya acara Tv yang ngomongin urusan cinta para artis yang ini dan itu. Antara benar atau tidak. Seru sih!" kata Indro.

"Ya sudahlah tidak perlu di bahas lebih jauh. Aku mau nonton Tv saja!" kata Kasino.

"Ok. Aku juga ingin main game di Hp-ku!" kata Indro.

Indro menaruh gitar di meja dan segera main game di Hp-nya dengan baik. Kasino ke ruang tengah. Dono selesai urusan kerjaannya, ya ke ruang tengah dan telah menghidupkan Tv dengan baik. Kasino duduk si sebelah Dono. Keduanya menonton acara Tv yang bagus gitu, ya berita seputar ini dan itu. 

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK