Dahulu kala di wilayah Jepang bagian utara ada dua orang laki-laki pencari kayu yang bernama Mosaku dan Minokichi. Mosaku sudah berusia renta, sedangkan Minokichi masih berumur belasan tahun. Suatu hari di musim dingin, berangkatlah mereka menuju hutan di pinggir desa untuk mencari kayu bakar. Mereka harus menyeberangi sungai besar yang memisahkan desa dengan hutan tersebut. Dulu pernah beberapa kali dibuat jembatan di atas sungai yang menghubungkan desa dengan hutan, tapi selalu saja jembatan itu rusak dan hanyut karena banjir. Maka mereka pun harus menyeberangi sungai dengan naik perahu. Begitu sampai di seberang sungai si tukang perahu pun berkata,”Aku akan berada disini sampai menjelang sore. Jadi kalian jangan terlalu lama mencari kayu di hutan. Udara sangat dingin. Bila sewaktu-waktu cuaca jadi buruk, aku akan pulang dan meninggalkan kalian disini.”
“Iya, kami mengerti. Jangan khawatir, tengah hari kami pasti sudah kembali kesini,” jawab Mosaku.
Lalu Mosaku dan Minokichi pun segera meninggalkan si tukang perahu. Mereka segera bergegas masuk hutan mencari kayu bakar. Sampai tengah hari mereka telah mengumpulkan banyak kayu bakar. Namun dalam perjalanan pulang salju mulai turun diiringi angin dingin yang berhembus kencang. Semakin lama salju turun semakin lebat, mantel yang mereka pakai terlihat memutih terselimuti butiran-butiran salju. Mosaku dan Minokichi pun terjebak dalam badai salju. Meskipun begitu mereka tetap memaksakan diri untuk terus pulang ke desa. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak yang sudah terselimuti salju tebal sambil memanggul kayu bakar. Begitu sampai di tepi sungai hari sudah mulai gelap, mereka melihat si tukang kayu sudah tidak ada di tempatnya. Dan melihat perahunya sudah tertambat di seberang sungai.
“Yahhh... kita terlambat datang. Si tukang perahu sudah kembali ke desa,” kata Mosaku,”Tidak mungkin kita kembali ke desa dengan berenang di sungai di saat cuaca seperti ini.”
“Iya, benar. Kita harus mencari tempat untuk menginap di malam ini,” jawab Minokichi.
Beberapa saat mereka memandangi daerah sekelilingnya mencari tempat untuk berteduh. Akhirnya mereka melihat sebuah gubuk kecil tidak jauh dari tempat mereka berada dan segera bergegas menuju ke sana.
“Lihat disana! Sepertinya itu gubuk tempat berteduh si tukang perahu,” kata Mosaku.
“Benar. Ayo kita kesana saja!” ajak Minokichi.
Mereka segera masuk ke dalam gubuk dan meletakkan kayu bakar bawaannya. Sebuah gubuk kecil satu ruangan tanpa jendela dengan satu buah pintu di bagian depannya, dan hanya ada sebuah tatami (meja kecil) menghias di dalamnya. Minokichi segera menyalakan api membuat perapian untuk mengusir hawa dingin yang semakin menusuk tulang, sedangkan Mosaku menutup pintu agar angin dingin tidak masuk ke dalam gubuk. Mosaku segera merebahkan diri ke lantai dan beberapa saat kemudian tertidur pulas karena kecapekan. Minokichi pun merebahkan diri di dekat perapian, namun dia masih belum bisa tertidur walau sudah berusaha memejamkan matanya. Suara angin yang menderu kencang di luar sana membuat bulu kuduknya sedikit meremang. Sesekali angin menerpa pintu gubuk itu dengan cukup keras hingga pintu itu terdengar berderit-derit menahan terpaan angin dari luar.
Suara gemericik air sungai yang deras terdengar bersekutu dengan deru angin menyenandungkan kidung malam yang terasa kian mencekam. Sesekali pula cahaya kilat terlihat menerangi dalam gubuk melalui celah-celah pintu. Lama kelamaan Minokichi pun akhirnya tertidur juga dalam dinginnya malam yang berselimut salju. Pada tengah malam tiba-tiba Minokichi terbangun karena merasakan ada hawa dingin menerpa wajahnya. Disapunya wajahnya dari butiran-butiran lembut salju putih. Dari daun pintu yang terbuka dia melihat kilau putih salju yang membentang luas di luar sana. Minokichi berpikir pastilah angin kencang yang telah membuat pintu gubuk itu terbuka lebar.
Namun betapa terkejutnya dia ketika dilihatnya ada seorang wanita berbaju putih di dalam ruangan itu. Wanita berbaju putih itu terlihat sangat cantik dan anggun, tinggi semampai, rambutnya hitam lurus panjang sepinggang. Namun sorot matanya serasa dingin, wajahnya putih memucat dengan bibir yang terlihat hitam membiru. Wanita itu berdiri di dekat tubuh Mosaku. Lalu dia meniupkan nafas panjangnya ke arah tubuh Mosaku. Nafas itu terlihat bagai dengus kuda yang mengeluarkan asap putih. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang seiring wanita itu meniupkan nafasnya. Kemudian dia beralih berjalan mendekati Minokichi.
Minokichi menggigil ketakutan, sedikit demi sedikit dia beringsut ke belakang hingga tubuhnya tersandar pada dinding gubuk. Ingin rasanya dia menangis atau menjerit sekeras-kerasnya meminta tolong, tetapi seakan-akan ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya hingga tak keluar satu patah kata pun dari mulutnya. Dan dia hanya bisa terdiam menggigil ketika wanita itu semakin mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahnya.
“Hmm...” gumam wanita itu, tajam sorot matanya menatap Minokichi dengan pandangan yang sedingin salju.
Dalam jarak sedekat itu paras wajahnya semakin terlihat jelas, begitu cantik dan anggun. Dengan terbata-bata Minokichi memberanikan diri berkata,”Apakah kau adalah... Kau... Kau si wanita salju itu?”
Wanita itu hanya tersenyum simpul sambil terus menatap Minokichi dengan sorot mata yang beku. Lalu dia pun berkata setengah berbisik pada Minokichi,”Kulihat kau agak berbeda dari lelaki lainnya, kau terlihat masih sangat muda dan tampan, Minokichi. Karena itu aku tak akan menyakitimu saat ini. Namun kuminta jangan sekali-kali kau ceritakan peristiwa ini kepada siapa pun juga walaupun itu adalah ibumu sendiri. Sekali kau ceritakan hal ini, maka aku akan datang untuk membunuhmu. Ingat baik-baik apa yang telah kukatakan ini!”
Setelah itu wanita berbaju putih itu pun lenyap dari pandangan Minokichi. Seperti tersentak dari lamunan, Minokichi segera bangkit dan mencoba mencari wanita tadi. Dia berteriak kesana-kemari memanggil-manggil si wanita salju. Namun dia tak mendapati apa pun selain hamparan salju yang memutih dimana-mana. Wanita itu telah menghilang entah kemana tanpa meninggalkan jejak.
“Apakah aku telah bermimpi?” tanya Minokichi pada dirinya sendiri.
Akhirnya dia pun kembali masuk ke dalam gubuk sambil memanggil-manggil Mosaku. Dia menutup pintu rapat-rapat, lalu mengganjalnya dengan kayu bakar agar tak terbuka lagi bila diterpa angin kencang.
“Mosaku... Mosaku...” Namun, masih tak terdengar suara Mosaku menjawab panggilannya.
Minokichi mulai merasa khawatir jangan-jangan terjadi sesuatu pada diri Mosaku. Dia segera menghampiri Mosaku yang terlihat masih lelap tertidur. Dipandangnya tubuh tua itu, terlihat kaku dan pucat membeku. Ketika tangannya menyentuh wajah Mozaku, terasa wajah itu sudah membeku sedingin es. Air mata Minokichi pun tiba-tiba tumpah-ruah, dia menangis histeris di samping jasad tua yang telah dingin membeku itu. Mosaku telah meninggal dunia. Keesokan harinya ketika si tukang perahu kembali ke tempat itu, dia mendapati Minokichi terduduk lesu disamping jasad Mozaku yang dingin membeku.
Minokichi terlihat begitu sedih dan merasa sangat terpukul dengan kejadian yang dialaminya semalam. Mereka pun segera kembali ke desa dan memakamkan Mosaku. Minokichi berusaha mengembalikan keberanian dan semangat hidupnya lagi. Dan beberapa hari sesudahnya dia sudah terlihat kembali pada aktifitasnya semula. Setiap hari pergi ke hutan mencari kayu bakar lalu menjualnya di desa. Namun peristiwa malam itu dengan si wanita salju masih terus membekas dalam hatinya, dan dia terus menyimpan kisah itu rapat-rapat, tidak pernah menceritakan hal itu pada siapa pun juga. Hari berganti hari.
Musim pun datang silih berganti. Tahun demi tahun pun berlalu berganti jumlah bilangan. Kini Minokichi telah tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa yang gagah dan tampan. Suatu senja di musim dingin ketika Minokichi dalam perjalanan pulang setelah menjual kayu bakar di pasar, dia bertemu dengan seorang gadis di tengah perjalanannya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan anggun. Tinggi semampai dan langsing. Sedap dipandang mata. Gadis itu menyapa Minokichi.
“Selamat sore.”
“Selamat sore,” jawab Minokici.
“Maaf, tuan. Saya mau numpang tanya apakah ada penginapan di desa ini? Saya mau menginap barang semalam saja.”
“Oh, setahu saya tidak ada penginapan di desa ini. Maklumlah disini hanyalah desa kecil yang jauh dari keramaian kota. Kalau boleh tahu, kemanakah tujuan nona?” Minokichi balik bertanya.
“Aduh, gimana ya?” gadis itu terlihat cemas,”Saya mau pergi ke Edo ( Tokyo ) mencari famili yang tinggal disana. Kedua orang tua saya sudah meninggal dunia beberapa waktu lalu, jadi sekarang saya sebatang kara tidak punya sanak saudara. Satu-satunya famili yang saya punya katanya tinggal di Edo. Meskipun saya juga tidak tahu pasti dimana alamat mereka tinggal, tapi saya yakin akan menemukan mereka disana. Saya harus pergi menemui mereka karena hanya merekalah keluarga yang saya punya,” suaranya terdengar sedih,”Hmm... Sebaiknya bagaimana, ya? Kalau saya lanjutkan perjalanan pasti akan kemalaman di jalan, dan tentunya akan sangat berbahaya bagi keselamatan saya,” lanjutnya lagi dan raut wajahnya mulai terlihat kebingungan.
“Hmm... Kalau anda mau menginaplah di rumah saya,” kata Minokichi menawarkan tempat.
“Benarkah?” kata gadis itu dengan wajah sumringah.
”Tapi keadaan rumah saya sangat sederhana tidaklah pantas untuk gadis secantik nona.”
“Tidak mengapa, diperbolehkan menumpang semalam saja saya sudah sangat bersyukur. Terima kasih, tuan,” kata gadis itu sambil membungkukkan badan,”Perkenalkan nama saya ‘Yuki’ ( salju ). Tuan siapa?”
“Minokichi,” jawab Minokichi dengan membungkukkan badan juga.
Mereka pun berjalan menuju rumah Minokichi. Di sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap dengan akrabnya. Terlihat dari pandangan mata dan polah tingkahnya, mereka berdua saling menyukai satu dengan lainnya. Sesampai di rumah, Minokichi segera memperkenalkan gadis itu kepada ibunya. Ibunya pun menyambut kedatangan Yuki dengan senang hati. Begitu melihat paras wajah Yuki yang cantik jelita, si ibu langsung merasa senang dan tertarik pada Yuki. Dia pun berniat menjodohkan Minokichi dengan Yuki.
“Hmm... Sepertinya mereka berdua terlihat saling menyukai dan sangat serasi. Kurasa gadis itu sangatlah pantas menjadi istri Minokichi. Sebaiknya malam ini aku harus berusaha membujuknya untuk membatalkan niatnya pergi ke Edo. Coba nanti kuutarakan niatku pada mereka berdua,” gumam sang ibu dalam hati.
Sewaktu makan malam bersama si ibu pun membujuk Yuki untuk membatalkan niatnya pergi ke Edo, dan menyatakan niatnya melamar Yuki untuk dinikahkan dengan Minokichi. Ternyata keinginan si ibu tidak bertepuk sebelah tangan. Baik Yuki ataupun Minokichi menyambut baik keinginan sang ibu. Lalu keesokan harinya pun Minokichi dan Yuki melangsungkan pernikahan dengan sederhana. Beberapa tahun pun berlalu, Minokichi dan Yuki telah dikaruniai sepuluh orang anak laki-laki dan perempuan. Mereka semua tumbuh sehat, terlihat sangat cantik dan tampan seperti orang tua mereka. Mereka sekeluarga terlihat begitu harmonis, saling mengasihi dan menyayangi.
Setelah ibu mertuanya meninggal dunia, Yuki harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga seorang diri. Mencuci, memasak, membersihkan rumah dan juga mengurus anak-anaknya dia lakukan sendiri dengan senang hati. Yuki adalah seorang istri dan ibu yang baik. Namun ada satu hal yang terasa aneh pada diri Yuki yang membedakannya dengan wanita lainnya. Meskipun usianya bertambah tua namun anehnya Yuki terlihat tetap muda dan cantik jelita seperti ketika pertama kali dia menginjakkan kakinya di desa ini dahulu. Hingga suatu malam di musim dingin ketika anak-anak mereka sudah tidur terlelap semuanya. Minokichi memandang Yuki yang sedang menyulam baju dengan penerangan lampu lampion.
“Memandangmu menyulam disitu dengan cahaya lampu yang menyinari wajah ayumu, mengingatkanku pada sebuah peristiwa mengerikan yang pernah kualami ketika usiaku masih belasan tahun lalu. Waktu itu aku melihat seorang wanita berbaju putih yang sangat cantik, dan wajahnya benar-benar mirip dengan wajahmu. Ah, bukan mirip tetapi sama persis dirimu.”
“Lalu?” tanya Yuki tanpa mengalihkan pandangannya dari baju yang disulamnya,”Apakah kau melihatnya dengan jelas? Tolong ceritakan tentang wanita itu.”
Minokichi pun mulai menceritakan malam yang mengerikan yang pernah dialaminya di gubuk tukang perahu beberapa puluh tahun yang lalu. Tentang wanita berbaju putih yang cantik jelita, yang berdiri tepat di depannya, tersenyum dan berbisik kepadanya. Juga tentang kematian si tua Mosaku yang membeku menjadi es.
“Entah dalam keadaan terjaga atau tidur, hingga kini bayang-bayang wanita itu selalu mengusikku. Dan aku merasa wajahnya benar-benar sama persis dengan dirimu. Tentu bedanya adalah dia bukan manusia sepertimu, dia adalah hantu atau apalah... Hingga kini pun aku sendiri tak tahu siapa dia? Aku sendiri masih tidak yakin apakah yang kualami hanyalah mimpi buruk ataukah aku benar-benar telah bertemu dengan si wanita salju? Sungguh! Aku benar-benar takut pada dirinya!”
“Apa? Wanita salju?” kata Yuki sambil melempar baju sulamannya.
Dia lalu bangkit menghampiri tempat Minokichi duduk. Yuki pun membungkukkan badan dan melekatkan wajahnya tepat di hadapan Minokichi.
“Apakah seperti ini wajah wanita itu? Pandang baik-baik suamiku! Pandang diriku baik-baik!” ucapnya dengan suara berbisik.
Tiba-tiba wajah Yuki berubah semakin putih, tatapan matanya sedingin salju dan bibirnya mulai hitam membiru. Tiba-tiba angin sedingin salju berhembus masuk ke dalam kamar Minokichi menerbarkan aroma khas musim dingin, kini Yuki telah kembali ke wujud aslinya sebagai wanita salju dengan pakaian serba putih.
“Oh, kau... Kau...” pekik Minokichi tertahan, terasa seperti ada batu besar yang menyumbat tenggorokannya.
“Inilah diriku yang sesungguhnya! Inilah wujudku! Akulah Yuki si wanita salju itu. Kau telah melanggar janjimu, Minokichi! Bukankah dulu aku sudah berkata bila kau ceritakan kisah itu pada seseorang maka aku akan datang untuk membunuhmu.Sudah terlalu lama aku menantikan saat ini, Minokichi. Dan malam ini aku akan benar-benar membunuhmu!” kata Yuki lirih setengah berbisik, tangannya yang putih dan sedingin salju telah mencengkeram leher Minokichi dan siap untuk mencekiknya, dia tatap wajah Minokichi dalam-dalam.
“Yuki... Jangan lakukan! Yuki...” kata Minokichi tersendat-sendat ketakutan,”Yuki... Sadarlah! Aku ini suamimu... Bapak dari anak-anakmu...”
Tiba-tiba wajah Yuki terlihat sayu. Dia pun berujar lirih dengan suara serak tersendat,”Sungguh! Saat ini... Saat ini aku benar-benar tak sanggup melakukannya! Aku tak sanggup membunuhmu, suamiku...” butiran-butiran bening air mata mulai jatuh membasahi pipi Yuki,”Selama ini kau telah menjadi suami yang baik dan sangat menyayangiku. Kau juga telah memberiku sepuluh orang anak yang tampan dan cantik. Bagaimana mungkin aku sanggup membunuhmu? Inilah waktu perpisahan kita, Minokichi. Tolong jaga dan rawat anak-anak kita dengan baik.”
“Yuki... Yuki...” teriak Minokichi,”Jangan pergi!”
Yuki terlihat semakin pucat dan memutih. Tubuhnya membeku seperti es, lalu perlahan-lahan mulai melebur dalam kabut bercahaya putih dan lenyap dari hadapan Minokichi. Sejak saat itu Yuki si wanita salju tidak pernah terlihat lagi.
***
Renata selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus ceritanya."
Renata menutup bukunya dan menaruh buku di meja dengan baik.
No comments:
Post a Comment