Siang itu matahari bersinar terik. Baek berjalan dengan gontai. Perutnya mulai berbunyi, minta diisi makanan. Kerongkongannya juga terasa kering kerontang. Ia belum minum seteguk air pun sejak pagi tadi. Padahal keringat sebesar jagung terus mengalir selama perjalanannya mencari derma dari orang-orang yang mau berbaik hati padanya. Namun hingga siang menjelang, belum ada yang memberikan sekeping won pun padanya. Tiba-tiba kakinya terantuk pada sebuah kantung plastik berwarna hitam. Baek mengamati kantong platik itu sesaat. Ia berharap kantong itu berisi makanan yang tercecer oleh pemiliknya. Baek pun membuka kantung itu dengan wajah berseri-seri. Namun wajahnya segera berubah. Kantong plastik itu bukan berisi makanan, tetapi berisi dua buah kipas. Dengan malas, ia mengeluarkan kipas-kipas itu dari dalam kantong plastik. Kedua kipas itu terbuat dari kertas. Panjangnya sekitar 20 cm. Kipas itu berwarna merah dan biru, serta tidak ada gambar apa pun yang terpampang di sana, polos.
“Hem, aku kira makanan, ternyata hanya sepasang kipas.”
Baek kemudian memasukkan kembali kipas itu ke dalam tas plastik. Dengan tangan kirinya, ia menenteng tas plastik itu sambil meneruskan perjalanan. Rasa letih, lapar, dan haus yang mendera, membuatnya berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan. Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal, memijat-mijatnya sebentar sambil memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. Udara siang semakin panas. Baek teringat pada kipas yang dia temukan. Dia pun mengeluarkan kipas berwarna merah dan mengibaskannya di depan wajah berkali-kali menggunakan tangan kanan. Tiba-tiba Baek terkejut. Ia merasa ada yang aneh di wajahnya. Apalagi ia dapat melihat ujung hidungnya dengan jelas. Baek memegangnya dengan perasaan aneh.
“Hah! Ada apa dengan hidungku? Kenapa jadi panjang seperti ini?” baek berteriak histeris sendirian.
Ia lalu bersembunyi di balik pohon, tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya.
“Bagaimana ini?” tanya Baek pada dirinya sendiri.
Baek khawatir kalau orang-orang akan menertawakan hidungnya yang panjang, sehingga dia menjadi tontonan banyak orang. Dengan gelisah tangan kirinya meraih kipas berwarna biru dan mengibaskan ke wajahnya. Ajaib! Hidung Baek tiba-tiba kembali seperti semula. Beak tertegun. Ia takjub dengan kejadian yang baru saja dia alami. Rasa khawatirnya berubah menjadi lega karena hidungnya tidak lagi panjang seperti hidung pinokio ketika berbohong. Baek mulai mengatur napasnya sembari bersandar di pohon. Perasaannya sedikit tenang. Ia memandangi kedua kipas yang tadi dia temukan. Meski bentuk dan warna kipas itu biasa saja, namun kipas-kipas itu adalah kipas ajaib yang bisa membuat hidung seseorang memanjang dan memendek dalam sekejap. Baek merasa lelah untuk melanjutkan pekerjaannya mencari derma. Ia ingin pulang dan memberitahukan kejadian ajaib yang dia alami kepada istrinya. Ia pun segera memasukkan kedua kipas itu ke dalam tas plastic. Ia mulai menyusuri jalan pulang dengan semangat tanpa menghiraukan rasa lapar, haus, dan letih. Sesampai di rumah, Baek segera menceritakan apa yang dialaminya. Sang istri mendengarkan cerita suaminya dengan penuh perhatian.
“Benarkah begitu, Pak?” Yun, istri Baek, menatap wajah suaminya dengan rasa tidak percaya.
Ia segera membuka kantong plastik yang dibawa suaminya dan membalikkannya. Dua buah kipas jatuh di pangkuannya. Ia pun membuka kipas berwarna merah dengan tidak sabar.
“Seperti kipas-kipas yang dijual di pasar rakyat,” katanya sambil mengibaskan kipas itu di depan wajah sang suami.
Baek berteriak seketika.
“Apa yang kau lakukan, Bu. Kenapa kau kipaskan di depan mukaku? Lihat, hidungku jadi seperti hidung pinokio,” gerutu Baek.
Sementara itu, istri Baek justru tertawa kencang melihat hidung suaminya yang memanjang.
“Hahaha… Kau jadi seperti boneka pinokio yang di pajang di etalase toko, Pak.” Yun berkata sambil memegangi perutnya yang mulai sakit karena tertawa terpingkal-pingkal.
Baek segera mengambil kipas berwarna biru dan mengibaskan ke wajahnya. Sesaat kemudian, hidungnya kembali seperti semula. Baek menarik napas lega. Tawa Yun pun terhenti. Ia menatap wajah suaminya dengan tatapan tidak percaya. Ia memencet hidung suaminya dan mengamati kipas di tangannya dengan bingung dan takjub.
“Benar, Pak. Kipas ini benar-benar ajaib!” serunya sambil mengamati kipas di tangan suaminya.
“Pak, kita bisa menggunakan kipas ini untuk mencari uang.”
Yun berhenti sejenak, tampak berpikir keras.
“Aku punya ide untuk mendapatkan uang dengan kipas ini, Pak.”
“Bagaimana caranya, Bu?” tanya Baek tidak mengerti.
“Kemarilah.”
Baek mendekati istrinya. Yun membisikkan rencananya di telinga Baek. Baek tersenyum dan mengangguk tanda mengerti.
“Kau benar-benar cerdik, Bu,” puji Baek yang disambut dengan senyum senang istrinya.
Jika rencana mereka berhasil, mereka pasti akan menjadi orang yang kaya raya. Baek dan Yun mulai mengkhayal menjadi orang kaya. Keesokan harinya, Baek segera menjalankan rencana mereka. Ia berjalan ke rumah salah seorang saudagar terkaya di kota itu. Namanya Ming. Ming adalah saudagar kaya raya yang terkenal sangat pelit. Ia jarang memberi santunan pada orang miskin seperti Baek. Setiap pengemis yang datang ke rumahnya selalu mendapat kata-kata yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan hari biasanya, hari ini adalah hari perayaan kelahiran Sang Budha. Saudagar Ming ingin berbuat kebaikan di hari ini. Ia pun membuka pintu rumahnya untuk para pengemis yang datang. Ia memberi mereka makanan dan angpau berisi beberapa keping won. Baek tidak mau ketinggalan. Ia datang ke rumah itu dengan dua kepentingan.
Pertama, untuk mendapatkan derma. Kedua, untuk menjalankan rencana yang telah ia buat bersama istrinya. Sesampai di depan rumah saudagar Ming, Baek segera berbaris di belakang pengemis lain yang sudah antri sejak matahari belum terbit. Selangkah demi selangkah, Baek maju. Ia semakin dekat dengan saudagar Ming, yang berada di depan memberikan amplop berwarna cokelat kepada setiap pengemis. Setelah benar-benar berada di depan sang saudagar, Baek berpura-pura kepanasan dan mengibaskan kipas warna merahnya tepat di hadapan saudagar Ming. Saudagar Ming mulai merasakan sesuatu berjalan di hidungnya. Pandangannya mengarah pada hidungnya yang memanjang dengan sendirinya. Saudagar Ming terperanjat. Ia segera memegang hidungnya yang semakin panjang. Ia panik. Wajahnya memerah karena malu. Ia menutup hidungnya dengan kedua tangan dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Baek berusaha menahan senyumnya. Ia senang karena rencananya telah berhasil. Karena ia sudah menerima uang derma dari saudagar Ming, ia segera meninggalkan rumah mewah itu untuk pulang. Ia ingin memberitahu istrinya kalau rencana mereka telah berhasil dengan sempurna. Kini, mereka hanya tinggal menunggu untuk melaksanakan rencana selanjutnya. Berita tentang hidung saudagar Ming yang memanjang telah terdengar hingga ke pelosok desa. Cerita dari mulut ke mulut membuat berita itu cepat tersebar. Oleh karena itu, saudagar Ming tidak berani keluar rumah dan menutup perniagaannya untuk sementara. Beberapa hari kemudian, saudagar Ming membuat pengumuman. Barang siapa dapat membuat hidung saudagar Ming kembali seperti semula, mereka akan mendapat dua per tiga dari harta saudagar Ming. Berita itu segera disebarluaskan oleh anak buah saudagar Ming ke seluruh pelosok kota.
Tak menunggu waktu lama, puluhan orang mendaftar. Mereka menggunakan berbagai cara untuk memenangkan sayembara itu. Ada yang menggunakan sihir, obat-obatan, maupun ramuan tradisional. Namun belum ada satu peserta pun yang berhasil. Baek dan istrinya, yang sudah memperkirakan hal tersebut, bergegas datang ke rumah saudagar Ming. Baek tidak lupa membawa ramuan palsu yang ia racik ala kadarnya. Sesuai dengan rencana istrinya, Baek akan meminta saudagar Ming untuk meminum ramuan yang ia bawa, meski ramuan itu, sebenarnya, tidak dapat menyembuhkan apa-apa. Pada saat yang bersamaan, Baek akan pura-pura kepanasan dan mengibaskan kipas birunya. Baek pun menjalankan rencananya. Dan semuanya berjalan sempurna.
“Oh, hidungku… hidungku kembali seperti semula!” teriak saudagar Ming.
Ia memegang hidungnya dengan gembira.
“Terima kasih kisanak, ramuanmu benar-benar manjur,” katanya sambil menggenggam tangan Baek.
Baek tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Sama-sama, Tuan,” ucapnya seraya menyimpan kembali kipas birunya.
“Baiklah, aku akan memenuhi janjiku. Mulai hari ini, aku memberikan dua per tiga hartaku kepadamu,” kata saudagar Ming lantang.
Peserta lain yang mengikuti sayembara itu kecewa. Mereka pulang ke rumah masing-masing dengan tangan hampa. Sedangkan Baek dan istrinya bersukacita. Mereka tidak menyangka jika rencana mereka dapat berjalan dengan lancar. Saudagar Ming benar-benar memenuhi janjinya untuk memberikan dua per tiga hartanya kepada Baek. Ketika saudagar Ming menyodorkan tumpukan uang ke hadapannya, Baek terpana. Ia mulai bingung, tidak tahu akan menggunakan uang sebanyak itu untuk apa. Setelah menerima uang itu dengan tangan gemetar, Baek berjalan tergopoh-gopoh menemui istrinya.
“Kita bisa membeli rumah mewah seperti rumah saudagar Ming, Pak.” Yun memberikan usul.
Baek menganggukkan kepalanya.
“Kita juga tidak perlu menjadi pengemis lagi, Bu,” sambung Baek sambil tertawa riang, memperlihatkan gigi depannya yang menghitam.
“Benar, Pak. Kita bisa hidup tanpa bekerja. Cukup ongkang-ongkang kaki saja, hahaha.” Yun menimpali.
Baek dan Yun benar-benar hidup sebagai orang kaya raya. Namun kekayaan membuat mereka lupa akan kepahitan hidup yang pernah mereka rasakan. Mereka juga lupa jika mereka pernah hidup di jalanan, mengharapkan belas kasihan orang lain. Baek dan istrinya menjadi orang kaya yang pelit. Mereka tidak mau berderma kepada orang yang tidak mampu. Mereka justru pura-pura lupa kepada teman-teman sesama pengemis dan selalu mengusir para pengemis yang datang ke rumah mereka. Kesombongan sudah mulai menghinggapi suami istri itu. Hari demi hari berlalu. Mereka masih terhanyut dengan kemewahan yang mereka dapatkan. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang dan membeli apa pun yang mereka inginkan. Tanpa perlu bekerja. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka mempermainkan kedua kipas yang mereka punya. Yun mengibaskan kipas merah ke wajah mereka berdua, hingga hidung mereka memanjang seketika. Mereka pun akan tertawa-tawa sambil mengejek hidung satu sama lain.
“Kau tampak jelek sekali dengan hidung seperti itu, Bu,” kata Baek sambil tertawa riang.
“Kau juga, Pak. Masih lebih bagus boneka pinokio daripada kamu,” jawab Yun sambil memencet ujung hidung suaminya.
Yun merasa hidung Baek kurang panjang. Ia pun mengibaskan lagi kipas merah di depan muka Baek. Kali ini Baek tidak marah, malah tertawa lebar.
“Hahaha… Bisa panjang sekali, Bu.” Baek masih terus tertawa. Hidungnya memanjang sampai hampir menyentuh lantai. Karena merasa berat, Baek mengibaskan kipas birunya.
“Wuuusss...” Angin yang ditimbulkan menerpa wajah Baek.
Perlahan, hidung Baek memendek, hingga kembali seperti semula. Namun Yun segera mengibaskan kipas merahnya kembali.
“Hahaha… Hidungmu jadi panjang lagi kan?” kata Yun mengejek.
Baek ikut tertawa. Mereka pun terus memainkan kipas merah dan biru bergantian hingga… “Coba kau gerakkan lebih keras, Pak,” kata Yun kepada suaminya.
Baek mengibaskan kipas biru lebih keras. Mereka menunggu reaksinya. Satu detik, dua detik terlewati, hingga menit demi menit berlalu, tapi hidung mereka berdua masih panjang, tak mau memendek.
“Sini, aku saja yang mengibaskan kipas itu,” kata Yun yang mulai jengkel.
“Wuuusss...” Yun mengibaskan kipas biru dengan sekuat tenaga.
Embusan angin seolah menampar wajah keduanya. Terasa panas. Beberapa saat lamanya mereka menunggu perubahan di wajah mereka. Namun tidak ada yang berubah.
“Bagaimana ini, Pak. Kipas ini sudah tidak berfungsi!” kata Yun histeris.
Ia mulai takut kalau hidung mereka tidak bisa kembali seperti semula lagi. Baek mencoba mengambil kipas biru dari tangan istrinya. Ia mencoba lagi ke wajahnya sendiri.
“Wuuusss…” Angin yang terasa panas kembali menerpa wajah Baek.
Dia menunggu lama. Tidak ada perubahan apa-apa. Baek semakin gusar. Ia tidak berhasil membuat hidungnya seperti semula. Ia terus berusaha, hingga kertas biru yang menempel di kipas itu koyak.
“Hah! Kipasnya sobek, Bu!” Baek berteriak panik.
Ia benar-benar khawatir jika kipas itu rusak dan hidung mereka tetap panjang.
“Apa yang tadi kau lakukan, Pak? Kenapa kipas itu bisa sampai sobek?” Yun melemparkan pertanyaan bertubi-tubi.
Baek semakin gemetaran. Yun lalu merebut kipas itu dengan kasar.
“Breeettt...” Kipas itu benar-benar robek menjadi beberapa bagian.
Keduanya melongo.
“Hah… Bagaimana ini, Pak? Hidung kita belum memendek, sementara kipas biru sudah tidak bisa digunakan lagi.”
Yun mulai menangis. Ia meratapi hidungnya yang panjang dan melengkung ke bawah, tidak elok dipandang mata. Orang-orang pasti akan mengejeknya.
“Hidungku…” keluh Baek putus asa.
Tidak ada lagi canda tawa. Kini, semua berganti dengan air mata.
“Bagaimana kalau kita mengadakan sayembara seperti yang pernah dilakukan oleh saudagar Ming, Bu?” Baek memberi usul pada istrinya.
Mata Yun bersinar gembira seketika.
“Setuju, Pak. Barangkali ada yang bisa mengembalikan hidung kita seperti semula, selain dengan kipas itu.”
Sayembara pun dilaksanakan. Siapa pun yang berhasil membuat hidung Baek dan Yun kembali seperti semula, akan mendapatkan dua per tiga dari harta yang Baek miliki. Akan tetapi, hanya sedikit orang yang mau mendaftar sayembara itu. Dan belum ada yang berhasil membuat hidung keduanya kembali normal.
“Bagaimana jika semua harta kita, kita berikan pada orang yang berhasil membuat hidung kita memendek, Bu? Orang-orang yang ikut pasti akan lebih banyak. Barangkali, salah satu di antara mereka ada yang bisa mengembalikan ukuran hidung kita seperti semula.” Yun cemberut.
Sebenarnya ia tidak ingin kehilangan hartanya. Ia sudah terlanjur senang menjadi orang kaya. Namun dengan berat hati, ia menyetujui usul suaminya. Ia rela menjadi pengemis lagi asal hidungnya kembali seperti sediakala. Peserta sayembara bertambah banyak. Mereka menggunakan segala macam cara. Namun, tetap saja, tidak ada seorang pun yang berhasil mengembalikan hidung keduanya seperti semula. Baek dan Yun semakin bersedih. Berita tentang hidung panjang Baek dan Yun segera menyebar dan diketahui semua orang. Baek dan Yun menyesal karena bermain-main dengan kipas ajaib yang telah membuat mereka jadi kaya raya. Kini, mereka harus menanggung akibat dari ulah mereka sendiri. Walaupun harta mereka melimpah, Baek dan Yun tidak dapat menikmati dengan hati senang, karena mereka menjadi bahan olok-olokan semua orang dan mendapat julukan, manusia ajaib berhidung panjang.
***
Dasia Ghasmira selesai baca buku.
"Emmmmm...bagus sih cerita asal Korea Selatan," kata Dasia Ghasmira.
Dasia Ghasmira menutup bukunya dan buku di taruh di meja.
No comments:
Post a Comment