"Alibaba dan gerombolan perampok. Judul buku ini," kata Indro.
Indro mulai membuka buku tersebut dan membacanya dengan baik banget.
Isi buku yang di baca Indro :
Dahulu kala, hiduplah dua bersaudara di sebuah kerajaan di negeri Arab. Mereka adalah Kassim dan Alibaba. Kassim sehari-hari berdagang di pasar. Sedangkan adiknya, Alibaba, adalah seorang penebang kayu. Suatu hari, seperti biasanya Alibaba memotong kayu di hutan. Saat sedang mengayunkan kapaknya, Alibaba mendengar suara tanah yang berdebam karena kaki kuda. Alibaba berhenti sejenak untuk melihat siapa yang datang. Ia sangat terkejut ketika melihat puluhan orang berkuda mendekat ke arahnya. Alibaba segera berbalik dan mencari tempat sembunyi. Sayangnya, ia tak menemukan tempat yang cukup aman. Tanpa pikir panjang Alibaba segera memanjat pohon. Dahan dan daun menutupi tubuhnya sehingga tak terlihat dari kejauhan. Dari atas pohon, Alibaba mengamati orang-orang yang datang. Tak jauh dari pohon tempat Alibaba bersembunyi, orang-orang itu menambatkan kuda-kudanya. Mereka turun dari kuda. Masing-masing memanggul kantong yang besar, kecuali seorang pria bertubuh tinggi besar.
“Hei! Cepat berkumpul di sini!” panggil pria tinggi besar itu.
“Orang itu mungkin pemimpin kawanan ini,” gumam Alibaba dari atas pohon.
Pria-pria lain langsung mendekat dan mengerumuninya. Dugaan Alibaba memang benar. Alibaba terus mengawasi mereka karena penasaran. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan.
“Buah kurma buah ara, pintu gua cepat buka!” Pria tinggi besar itu berteriak lantang.
Dalam sekejap, pintu gua terbuka. Rupanya pria itu telah memantrai batu-batu yang menutupi gua sehingga terbuka dengan sendirinya. Alibaba berusaha mengingat-ingat mantra yang diteriakkan pemimpin kawanan itu. Alibaba merasa pegal terus berada di atas pohon. Kawanan pria yang diintainya sudah cukup lama masuk ke dalam gua. Kaki dan tangan Alibaba mulai gemetar. Ia berniat turun dari pohon. Namun, tiba-tiba kawanan pria yang masuk ke gua satu per satu mulai keluar. Alibaba mengurungkan niatnya. Dia bertahan di atas dahan. Kawanan itu keluar sambil tertawa-tawa puas. Kantong-kantong yang mereka panggul sudah tak ada lagi. Mereka keluar dengan tangan kosong.
“Kita bisa berpesta malam ini!” ujar salah seorang di antaranya.
“Ya. Hasil yang kita dapatkan cukup banyak. Kita bisa beristirahat barang sebulan,” kata pria lain.
“Kalian benar. Ayo, kita rayakan! Kaki unta tak berkatup, pintu gua cepat tutup!” Pria tinggi besar itu meneriakkan sebuah mantra lagi.
Batu-batu yang menutup gua bergerak sendiri kembali ke tempatnya. Anak buahnya segera menutupi pintu gua dengan daun kering dan semak-semak. Mereka kembali naik ke kudanya. Satu per satu kuda dipacu pergi meninggalkan gua di tengah hutan itu. Alibaba memastikan semua anggota kawanan itu sudah pergi meninggalkan gua. Perlahan-lahan ia turun dari tempat persembunyiannya. Alibaba mendekati pintu gua. Ia menyingkirkan semak dan dedaunan yang menutupinya. Pintu gua tertutup rapat. Batu-batu menutupinya hingga tanpa celah. Tak ada yang mengira bahwa di balik batu itu ada sebuah gua. Alibaba ingin mencoba masuk ke dalam gua. Ia memastikan tak ada orang lain di sana. Alibaba berusaha mengingat-ingat mantra untuk membuka pintu gua. Beberapa kali ia salah mengucapkannya. Pintu gua tak mau terbuka.
“Buah kurma kaki unta, pintu gua cepat buka!” ujar Alibaba.
Ia menunggu-nunggu pintu gua terbuka.
“Ah, salah lagi. Pintunya masih tertutup juga. Apa, ya, tadi mantranya? Kalau terlalu lama di sini aku bisa ketahuan,” gumam Alibaba cemas.
“Akan kucoba sekali lagi. Kalau tak berhasil, lebih baik aku pulang saja sebelum orang-orang itu kembali.”
Alibaba maju semakin dekat ke pintu gua.
“Buah kurma buah ara, pintu gua cepat buka!” ucapnya perlahan.
Kali ini mantra Alibaba benar. Pintu gua mulai terbuka. Batu-batu yang menutup pintu gua satu per satu bergeser ke tepi. Alibaba tersenyum senang. Ia segera masuk ke dalam gua. Gua itu begitu gelap. Alibaba menyalakan salah satu obor yang tergantung di dinding gua. Agar aman, Alibaba memutuskan membaca mantra untuk menutup pintu gua.
“Kaki unta tak berkatup, pintu gua cepat tutup!” Pintu gua pun kembali tertutup oleh bebatuan.
Alibaba masuk semakin jauh ke dalam gua. Ia menyusuri lorong gua yang sempit, gelap, dan pengap. Hampir saja Alibaba membatalkan niatnya untuk melihat isi gua. Namun, Alibaba diliputi rasa penasaran yang besar.
“Apa, ya, yang mereka simpan di dalam gua ini? Semoga bukan sesuatu yang menakutkan atau berbahaya,” gumam Alibaba dalam hati.
Saat tiba di ujung gua, Alibaba terperangah. Ia kini berada dalam ruangan gua yang jauh lebih luas daripada lorong yang ia lewati sebelumnya. Yang lebih membuatnya takjub adalah barang-barang yang terkumpul di sana. Sinar obor yang dibawa Alibaba memantul dan membuat benda-benda berharga di hadapan Alibaba tampak berkilauan. Perhiasan-perhiasan emas, tumpukan koin dinar, pedang berlapis emas, permata-permata yang mahal, dan sutra-sutra yang indah terhampar di depannya. Alibaba hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Orang-orang itu sepertinya para perampok dan semua barang berharga ini pasti hasil curian mereka. Akan berbahaya bila aku berlama-lama di sini. Lebih baik aku segera pergi,” kata Alibaba pada dirinya sendiri.
Namun sebelum meninggalkan gua itu, Alibaba memenuhi kantong-kantong bajunya dengan beberapa perhiasan. Ia segera kembali ke rumah. Alibaba berlari sekencangnya sampai hampir kehabisan napas.
“Ada apa denganmu, Suamiku?” tanya istri Alibaba.
Ia terkejut melihat suaminya datang sambil berlari.
“Minumlah dulu, tenangkan dirimu.”
Alibaba menghabiskan air minum yang dibawakan istrinya. Ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Apa kau dikejar binatang buas?” tanya istri Alibaba. Alibaba menggeleng.
“Apa kau bertemu orang jahat?” tanya istrinya lagi.
Kali ini Alibaba tak menjawab.
“Lalu apa yang membuatmu terengah-engah seperti ini?” Sang istri semakin penasaran dengan tingkah suaminya.
“Aku melihat sekawanan perampok saat menebang kayu di hutan,” jawab Alibaba.
“Ha? Lalu apa yang mereka lakukan? Apa mereka melukaimu?” istri Alibaba tampak khawatir.
“Tidak. Mereka tidak melihatku. Aku bersembunyi.”
“Oh, syukurlah kalau begitu,” ujar istri Alibaba lega.
Alibaba bangkit dari duduknya. Ia menutup semua pintu dan jendela rumahnya. Sang istri heran melihatnya. Alibaba lalu mulai merogoh kantong-kantong bajunya dan mengeluarkan perhiasan yang dibawanya. Sang istri terperangah.
“Dari mana kau dapatkan semua perhiasan ini?” Alibaba pun menceritakan kisahnya.
Perhiasan yang ia ambil dari gua sebenarnya tak banyak dibandingkan jumlah perhiasan yang ada di sana. Namun kehidupan sederhana yang ia jalani bersama istrinya selama ini membuat apa yang ada di hadapan mereka tampak luar biasa banyak.
“Lalu, mau kita apakan perhiasan-perhiasan ini? Aku tak mungkin memakainya. Orang akan curiga melihat perhiasan seindah ini melekat di tubuhku.”
“Ya, kau benar. Percuma juga kita berlama-lama menyimpannya. Tak akan memberikan manfaat apa pun untuk kita.”
“Bagaimana kalau kita jual saja? Kita bisa mendapatkan uang. Kita pakai uang itu untuk modal berdagang. Dengan begitu kau tak perlu bersusah payah lagi menebang kayu di hutan,” usul istri Alibaba.
“Aku setuju dengan usulmu.”
“Tapi, Suamiku, perhiasan ini barang curian, bukan?” Alibaba mengangguk.
“Dan kau mengambilnya dari para perampok. Bukankah sama saja kita mencuri?” Istri Alibaba tersadar barang-barang itu bukan hak mereka.
“Kau betul. Kalau begitu begini saja. Anggap kita meminjam perhiasan curian ini. Kita jual. Uangnya kita pakai untuk modal. Setelah kita mendapatkan untung dan bisa menjalankan usaha kita sendiri, kita kembalikan uang ini kepada yang berhak.”
“Siapa yang berhak? Kita tak tahu perampok itu mencuri dari mana.”
Alibaba pun bingung.
“Kita kembalikan ke baitul mal saja. Kita katakan yang sebenarnya pada bendahara kota nanti bila usaha kita sudah berjalan baik. Kurasa itu pilihan paling masuk akal.”
Istrinya akhirnya setuju.
“Kalau begitu, lebih baik kita timbang dulu emas-emas ini,” tambah Alibaba.
“Kita tak punya timbangan. Aku akan pergi ke rumah Kassim dan meminjam timbangannya,” balas istrinya.
“Pergilah. Tapi ingat, rahasiakan semua ini dari siapa pun termasuk Kassim dan istrinya,” pesan Alibaba.
Istrinya mengangguk. Istri Alibaba segera pergi ke rumah iparnya. Kassim berdagang gandum. Ia memiliki beberapa timbangan di tokonya. Ia pasti tak keberatan meminjamkan salah satu timbangannya. Namun, Kassim tak ada di toko saat istri Alibaba tiba di sana. Istri Kassim yang sedang berjualan di toko.
“Kakak, bolehkah aku meminjam salah satu timbanganmu?”
“Untuk apa?” tanya istri Kassim.
“Ada beberapa barang yang ingin kutimbang.”
Istri Kassim curiga. Ia lalu berkata, “Baiklah. Sebentar aku ambilkan. Segera kembalikan setelah kau selesai memakainya. Kami juga membutuhkannya.”
Istri Kassim mengambil salah satu timbangannya. Namun, sebelum ia menyerahkan timbangan itu pada istri Alibaba, ia telah mengoles lem pada timbangan itu. Ia ingin tahu apa yang ditimbang oleh adik iparnya. Setelah istrinya tiba, Alibaba segera menimbang emas-emas yang dia dapatkan.
“Aku akan menjual sebagian emas ini. Sisanya simpanlah dulu,” ujar Alibaba pada istrinya.
“Kenapa begitu?”
“Untuk berjaga-jaga bila ternyata usaha kita nanti kurang lancar. Setidaknya kita punya cadangan untuk modal berikutnya. Selain itu, orang pasti akan curiga kalau aku menjual emas sebanyak ini.”
Istrinya mengangguk setuju. Ketika Alibaba pergi menjual perhiasan emas, istrinya pergi mengembalikan timbangan yang ia pinjam. Ia sama sekali tak menyadari ada serpihan emas yang menempel di timbangan.
“Terima kasih, Kak. Aku kembalikan timbanganmu.”
“Ya, taruh saja di situ,” ujar istri Kassim sambil melayani pembeli.
Saat toko sedang sepi, istri Kassim buru-buru memeriksa timbangan yang dipinjam istri Alibaba.
“Pasti ada yang menempel di sini. Tadi aku sudah mengoleskan lem yang kuat,” gumamnya.
Istri Kassim sangat terkejut menemukan serpihan emas menempel di timbangannya. Ia bertanya-tanya dari mana adik iparnya yang miskin itu mendapatkan emas, apalagi sampai perlu ditimbang. Istri Kassim menyimpan rasa ingin tahunya. Ia menunggu suaminya pulang untuk memberitahukan kabar itu.
“Suamiku, aku punya kabar yang menarik untukmu,” kata istri Kassim tak sabar saat suaminya baru saja tiba.
“Kabar apa?” Kassim meletakkan barang-barang yang ia bawa dari kota untuk dijual di tokonya.
“Masuklah dulu, akan kuceritakan kepadamu.”
Istri Kassim menarik lengan suaminya. Mereka masuk ke dalam rumah. Ia lalu menceritakan tentang emas yang menempel di timbangan yang dipinjam istri Alibaba.
“Emas? Mana mungkin Alibaba punya emas? Hidupnya saja susah. Tak tentu makan setiap hari,” ujar Kassim tak percaya.
“Tapi ini buktinya!” Istri Kassim masih bersikukuh dengan pendapatnya.
“Adikmu itu memang miskin. Tak mungkin punya emas yang sampai harus ditimbang dengan timbangan sebesar ini. Tapi siapa tahu dia baru saja menemukan harta karun,” lanjut istri Kassim.
“Atau merampok?” kata Kassim dengan nada mengejek.
“Tak mungkin itu. Dia bukan orang seperti itu,” sangkal istri Kassim.
“Ayolah, pergi dan tanyakan padanya! Siapa tahu kita bisa mendapatkan bagian emas seperti mereka,” bujuk istri Kassim.
Kassim berpikir-pikir. Tak ada salahnya juga bertanya. Kalaupun Alibaba ternyata tak memiliki emas-emas itu, Kassim pun tak rugi apa-apa. Keesokan harinya Kassim pergi ke rumah Alibaba. Alibaba baru saja akan pergi ke kota untuk membeli barang-barang yang akan dijual lagi di pasar.
“Kakak? Ada perlu denganku?” tanya Alibaba setelah mempersilakan kakaknya masuk ke rumahnya yang reyot.
Tanpa basa-basi Kassim pun mengutarakan maksudnya. Ia menanyakan pada Alibaba tentang emas yang tertinggal di timbangan yang dipinjamnya. Tentu saja Kassim tidak bilang kalau timbangan itu sudah diberi lem oleh istrinya. Awalnya, Alibaba menolak memberi tahu Kassim. Alibaba saja tak berani mendekat ke gua itu lagi. Terlalu berbahaya jika sampai ketahuan para perampok yang menyimpan curiannya di sana. Tapi Kassim terus mendesaknya. Alibaba pun menyerah. Alibaba menceritakan semua yang dialaminya di hutan pada kakaknya, juga tentang gua dengan pintu bermantra dan barang curian yang ada di dalamnya.
“Apa isinya hanya perhiasan emas?” tanya Kassim antusias.
“Tidak. Ada sutra, barang-barang antik, dan benda berharga lainnya.”
“Kalau begitu aku harus ke sana. Benda-benda itu seperti harta karun saja. Ayo, kau antar aku gua itu!” pinta Kassim.
“Tidak! Aku tak mau ke sana. Para perampok bisa datang kapan saja. Mereka terlihat sangat bengis. Bisa-bisa kita tak pulang kalau sampai kepergok mereka.”
“Kita intai saja dulu. Paling tidak tunjukkan saja gua itu padaku. Biar aku yang masuk sendiri.”
Kassim lebih senang jika ia masuk ke gua itu sendiri. Dengan begitu ia tak perlu membagi harta di gua itu dengan Alibaba. Ia bisa memilikinya sendiri. Kassim memang seorang yang tamak. Alibaba akhirnya mau memenuhi permintaan Kassim. Ia mengantar Kassim sampai ke dekat gua. Mereka bersembunyi di semak-semak. Alibaba memberitahukan mantra untuk membuka dan menutup pintu gua pada kakaknya.
“Ingat baik-baik. Jangan sampai salah!” pesan Alibaba.
“Ya, ya, gampang sekali mantranya. Aku pasti ingat. Sekarang pergilah. Kembali pulang. Aku bisa sendiri.”
Kassim mengusir Alibaba pulang. Ia tak sabar ingin memasuki gua penuh harta itu. Gua terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda kehadiran para perampok di sana. Kassim berhasil mengucapkan mantra untuk membuka pintu gua. Namun, ia tidak berpikiran untuk menutup pintu gua itu selagi dia ada di dalam. Kassim membiarkan pintu gua terbuka. Ia berjalan masuk ke dalam gua sampai ke ujungnya. Kassim terkesima melihat barang-barang berharga terhampar di hadapannya.
“Dengan harta sebanyak ini, aku tak perlu lagi bersusah payah bekerja. Semua ini tak akan habis dimakan sampai tujuh turunan,” ucapnya sambil terkekeh.
Kassim pun mengemasi harta para perampok ke dalam karung. Saking banyaknya, karung yang dibawa Kassim tak cukup untuk menampungnya. Kassim merasa sayang meninggalkan harta yang tersisa. Ia membongkar lagi karungnya dan menata ulang agar harta-harta itu bisa masuk semua di dalamnya. Ketamakan mengalahkan kewaspadaannya. Kassim begitu asyik dengan harta-harta itu. Ia tak menyadari ada suara gaduh di luar sana. Di luar, ternyata kawanan perampok baru saja tiba. Pemimpin mereka terkejut melihat pintu gua terbuka.
“Siapa yang telah berkhianat? Pintu gua ini telah kuberi mantra. Tak ada yang tahu selain kawanan kita!” ujarnya marah.
Pemimpin perampok memeriksa satu per satu anak buahnya. Tak satu pun yang absen. Mereka semua lengkap ada di sana.
“Ini tidak mungkin. Siapa orang yang telah berusaha masuk untuk mencuri harta kita? Cepat periksa!” perintahnya.
Dua orang anak buahnya yang bertubuh besar masuk ke dalam gua. Mereka berjalan mengendap-endap agar sasaran mereka tak menyadari kehadirannya. Mereka menemukan Kassim sedang memasukkan harta curian mereka ke dalam karungnya. Dengan mudah kedua anak buah perampok itu meringkus Kassim. Kassim sangat terkejut. Ia ketakutan melihat kawanan perampok yang bengis dan mengerikan. Badan mereka besar. Mereka pun membawa senjata tajam. Ada pedang, golok, dan belati yang tajam.
“Habislah aku,” ratap Kassim.
Ia menyesal berlama-lama di dalam gua. Seharusnya dia tadi tak membongkar lagi karungnya tapi segera membawa harta itu pergi. Tapi sesal tak ada artinya lagi sekarang. Anak buah perampok menyeret Kassim menghadap pemimpinnya. Pemimpin kawanan perampok itu sangat marah. Ia tak mau ada orang lain yang tahu tempat persembunyian mereka. Ia pun memerintahkan anak buahnya menghukum Kassim. Sementara itu, istri Kassim sangat cemas di rumahnya. Sudah tiga hari Kassim tidak pulang. Ia pun menemui Alibaba dan menanyakannya. Alibaba mengatakan Kassim telah pergi ke gua untuk mengambil harta para perampok.
“Tolonglah, Alibaba, cari kakakmu itu!” ucap istri Kassim sambil menangis.
Alibaba menjadi iba. Ia pun pergi ke hutan mencari Kassim. Alibaba mengintai gua dari kejauhan. Ketika dirasa aman, ia mendekat ke gua itu. Alibaba terkejut menemukan Kassim tersungkur tak jauh dari pintu gua. Tubuhnya penuh luka. Ketika memeriksanya, ternyata Kassim sudah tak bernyawa. Para perampok pasti telah memergoki kakaknya. Alibaba sangat bersedih. Ia menyesal telah menceritakan tentang gua penuh harta itu pada Kassim. Tapi sekali lagi, sesal sekarang tak ada artinya. Alibaba pun menggendong kakaknya pulang ke rumah untuk dimakamkan.
***
Indro selesai baca bukunya.
"Ceritanya bangus banget. Kalau tidak salah pernah di angkat film atau sinetron atau kartun ya?!" kata Indro.
Indro menaruh buku di meja. Indro tidak jadi main game di Hp-nya, ya pindah deh duduknya dari ruang tamu ke ruang tengah. Duduklah Indro di sebelah Kasino. Keduanya asik nonton Tv yang acaranya bagus banget gitu.
"Kasino," kata Indro.
"Apa?" kata Kasino.
"Ada orang yang beragama Islam kerja dengan orang China beragama Konghucu. Orang Islam itu mau ibadah, tapi ternyata tidak di bolehkan sama orang China yang agama Konghucu itu...gimana pendapat Kasino?!" kata Indro.
"Orang China yang agama Konghucu itu....ibadah atau tidak?!" kata Kasino.
"Orang China itu...ibadah sesuai dengan keyakinannya sih agama Konghucu," kata Indro.
"Melarang orang ibadah sesuai dengan keyakinannya. Padahal dirinya orang China itu ibadah sesuai dengan keyakinannya, tetap bodoh juga. Berarti...hukumannya di buat sama aja tidak boleh ibadah juga...orang China itu!" kata Kasino.
"Bodoh toh!," kata Indro.
"Cerita Indro itu pernah di angkat ke film, tapi cerita berbeda. Orang China beragama Kristen bekerja dengan orang China beragama Konghucu. Orang China beragama Kristen ingin ibadah, tapi di larang sama Orang China beragama Konghucu," kata Kasino.
"Melarang orang ibadah sesuai dengan keyakinannya. Padahal dirinya orang China itu ibadah sesuai dengan keyakinannya, tetap bodoh juga. Berarti bener omongan Kasino. Hukumannya tetap sama tidak boleh ibadah juga!" kata Indro.
"Semua itu persoalan kecil di masyarakat. Kurangnya pemahaman ilmu agama yang di pelajari atau di yakini dengan baik. Maka itu hal yang di takukin bisa berkembang menjadi besar. Timbullah konflik...berkepanjang. Perang pendapat, mungkin bisa lebih perang tindakan," kata Kasino.
"Ini semua cuma sekedar cerita saja dan ada ceritanya di masyarakat yang pernah merasakannya," kata Indro.
"Ya sudahlah tidak perlu di bahas lebih jauh lagi!" kata Kasino.
"Iya," kata Indro.
Indro dan Kasino, ya fokus nonton Tv karena memang acaranya bagus banget gitu.