“Corcoran, aku mau menyewa kudamu untuk mengangkut kentang yang baru kubeli di kebun,” kata Saudagar kaya itu.
“Oh iya, Tuan. Mari, saya antar ke kandang kuda saya. Tuan bisa memilih kuda yang Tuan suka,” ajak Corcoran, ramah.
Mereka berdua berjalan beriringan ke kandang kuda Corcoran. Saudagar itu menyewa dua ekor kuda hitam yang gagah. Corcoran membantu memasang pedati untuk dihubungkan dengan kuda hitamnya dengan cekatan. Setelah membayar uang sewa, Saudagar itu membawa kuda Corcoran pergi bersamanya.
Tiga ekor kuda Corcoran yang lain masih disewa oleh tiga orang yang berbeda, dan belum kembali. Mereka menggunakan kuda-kuda Corcoran untuk menarik kereta penumpang. Sesuai perjanjian, mereka akan mengembalikan kuda-kuda itu siang nanti, kecuali mereka mau memperpanjang masa sewa.
“Selamat siang, Corcoran. Aku mau menukar kuda yang kusewa. Kuda ini tidak bisa berlari kencang. Sepertinya, dia sedang sakit.” Seorang laki-laki bertubuh kurus, tinggi, datang membawa kuda berwarna coklat. Kuda itu berjalan pincang, dengan satu kaki sedikit terangkat. Corcoran memerhatikan kudanya dengan teliti. Beberapa hari sebelum disewa orang tersebut, kuda Corcoran gemuk dan sehat. Tapi, kuda yang ada di hadapannya kini, adalah seekor kuda yang kurus seperti kekurangan makanan.
“Apakah Paman memberikan makanan yang cukup padanya?” tanya Corcoran, hati-hati.
“Tentu saja, aku membawanya ke padang rumput sebelum kami pulang.”
Corcoran mendekati kuda coklat itu. Orang itu mungkin sudah memberi makan, namun kuda itu mungkin belum cukup kenyang ketika orang itu membawanya pulang ke rumah.
“Paman, kemana tapal kuda yang satu ini?” Corcoran bertanya setelah memeriksa kaki kudanya.
“Saya juga tidak tahu. Saya tidak pernah melihatnya,” kata lelaki itu sambil ikut berjongkok di dekat Corcoran.
“Kaki kuda harus diberi tapal kuda, Paman. Kegunaan tapal itu sama dengan sepatu yang kita pakai. Kalau dia lari tanpa sepatu, kakinya gampang lecet, dan itu pasti menyakitkan buat kuda itu sendiri, Paman,” Corcoran menjelaskan panjang lebar.
“Oh, kaki kuda ini sakit rupanya, pantas saja kalau dia tidak mau lari kencang,” lelaki kurus itu berkata, sembari ikut memerhatikan apa yang dilakukan Corcoran. Corcoran mengangguk, maklum terhadap ketidaktahuan lelaki yang baru pertama kali menyewa kudanya.
“Saya akan mengobatinya dulu, Paman. Paman bisa memilih kuda yang lain sebagai gantinya. Tapi, tolong kesehatannya lebih diperhatikan ya, Paman,” Corcoran berusaha mengingatkan. Lelaki itu lantas mengangguk, mengiyakan.
Sementara lelaki itu memilih kuda pengganti, Corcoran mengobati kaki kuda itu. Corcoran juga membawakan rumput untuk kuda itu. Kuda itu segera menghabiskan rumput yang dibawa Corcoran dengan lahap. Setelah selesai mengurusi kudanya, Corcoran menghampiri lelaki bertubuh kurus yang sedang mencari kuda pengganti.
Corcoran melihat kebingungan di raut wajah lelaki itu, maka dia mengusulkan, “Bagaimana kalau yang ini, Paman. Kuda ini memang kecil, tapi dia pelari yang tangguh.” Corcoran menawarkan seekor kuda kecil berwarna coklat berbintik putih.
“Oh, boleh juga, yang penting kuda ini bisa lari kencang, Corcoran.”
“Jangan lupa memberi makan yang cukup untuknya ya, Paman,” Corcoran kembali mengingatkan, “kuda ini bisa sakit kalau terus bekerja tanpa diberi makan,” lanjut Corcoran lagi.
“Tentu saja. Aku selalu memberi makanan yang cukup untuk kuda-kuda yang kusewa.” Lelaki itu tersenyum, berusaha meyakinkan Corcoran. Setelah mendapatkan kuda yang diinginkan, lelaki itu pergi membawa kuda kecil milik Corcoran.
Corcoran kembali ke kandang kudanya. Dia memastikan kuda yang sakit itu sudah beristirahat dan berkeliling kandang untuk memberi makan kuda-kuda yang lain. Corcoran sangat memerhatikan kesehatan kuda-kudanya. Dia selalu memberi makanan yang cukup, memandikan, dan merawat kuda-kuda itu dengan baik. Kuda-kuda itu pun terlihat gagah dan bersih.
Beberapa saat kemudian, seorang berambut kuning keemasan datang membawa kereta kuda yang sudah usang. Orang itu sudah lama menjadi pelanggan tetap kuda sewaannya. Orangnya pendiam. Dia selalu menyerahkan beberapa lembar uang kepada Corcoran tanpa mengucapkan sepatah kata. Tapi, Corcoran sudah tahu jika uang itu adalah uang sewa kuda-kudanya. Corcoran memang memberikan keringanan kepada orang ini. Bapak ini boleh membayar uang sewa setelah ia mendapatkan uang hasil menarik kereta kuda. Corcoran melakukan hal itu sebagai ucapan terima kasih karena kudanya sudah dirawat dengan baik. Kuda-kuda yang dia sewa selalu pulang dalam keadaan sehat. Selain itu, Corcoran merasa kasihan karena bapak ini memiliki lima orang anak yang masih kecil.
“Terima kasih, Pak,” kata Corcoran, ketika menerima uang dari bapak itu. Lelaki itu mengangguk, tersenyum, lalu berjalan menuju kereta kudanya. Perlahan, dia menghela kuda-kuda itu pergi dari rumah Corcoran.
Tak lama berselang, tiga orang berpakaian prajurit kerajaan, lengkap dengan senjata yang tergantung di pinggang mereka, datang ke arah Corcoran. Corcoran menyambut mereka dengan tergopoh-gopoh.
“Selamat sore, Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu?”
Prajurit gagah itu turun dari kudanya. Setelah menambatkan kuda-kudanya, mereka menghampiri Corcoran.
“Kami diutus Panglima kerajaan untuk menyewa kuda-kudamu, Corcoran. Beberapa kuda kerajaan tidak bisa digunakan karena sudah tua dan beberapa kuda sedang sakit. Berapa kuda yang kamu miliki, Corcoran?”
“Saat ini, kuda yang tersisa hanya tiga, Tuan. Tapi, salah satu kuda sedang sakit, sehingga hanya dua ekor kuda yang bisa saya sewakan kepada Anda.”
“Baiklah, tidak apa-apa. Kami akan menyewa dua ekor kudamu. Ini uang sewanya.” Prajurit itu menyerahkan kantong berisi uang logam kepada Corcoran.
Sebelum menerima kantong tersebut, Corcoran berkata, “Tuan, kalau kuda ini dipakai berperang dan dia menjadi cacat karena pertempuran, maka Tuan harus membelinya dengan harga yang pantas.” Corcoran memberitahukan peraturan sewa-menyewa. “Tuan juga harus memberinya makan dan merawatnya dengan baik selama penyewaan,” lanjut Corcoran lagi.
“Baiklah, kami akan melakukannya.” Prajurit itu mengangguk, setuju. Corcoran tersenyum senang karena usahanya berjalan lancar hari ini. Dia segera mengambil dua ekor kuda di kandang dan menyerahkan kuda-kuda itu kepada prajurit kerajaan.
“Baiklah Corcoran, kami pergi dulu,” pamit sang Prajurit.
“Ya, terima kasih, Tuan,” Corcoran menjawab, sambil menunduk hormat.
Bunyi kaki kuda yang dipacu semakin jauh, meninggalkan debu tipis di depan Corcoran. Musim kering hampir tiba. Tanah sudah mulai mengering dan menebarkan debu. Corcoran beranjak dari tempatnya berdiri, menengok kudanya sesaat, lalu kembali ke dalam rumah, beristirahat sejenak.
Hari demi hari berlalu, cuaca semakin panas karena sudah beberapa bulan hujan tidak juga turun. Debu semakin banyak beterbangan membuat sesak napas. Satu per satu, kuda-kuda Corcoran mulai dikembalikan. Bapak berambut kuning keemasan adalah orang pertama yang mengembalikan kudanya.
“Maafkan saya, Corcoran. Beberapa waktu ke depan, saya tidak akan menyewa kudamu. Saya tidak bisa menyediakan makanan yang cukup untuknya. Saya kesulitan mendapatkan rumput segar. Lagi pula, saya mendapat pekerjaan baru untuk mengangkat barang-barang di pasar,” kata bapak itu, tersendat. Corcoran takjub. Baru kali ini dia mendengar bapak itu berbicara panjang lebar.
“Tidak apa-apa, Pak. Semoga nanti ada penyewa lain yang datang.”
Bapak tua itu mengangguk lalu berpamitan pulang. Kedatangan bapak itu disusul oleh penyewa-penyewa kuda yang lain. Mereka datang untuk mengembalikan kuda-kuda Corcoran.
“Musim kering sudah datang. Kebun-kebun sudah tidak menghasilkan kentang dan tanaman lainnya, sehingga saya tidak memerlukan kuda ini lagi. Jadi, saya ingin mengembalikannya, Corcoran,” kata sang Saudagar. Dia membawa dua ekor kuda hitam yang dulu disewanya. Kuda itu terlihat sedikit kurus.
“Baiklah, Tuan. Semoga nanti ada penyewa lain yang datang.” Corcoran masih tetap berharap, nanti ada orang yang mau menyewa kuda-kudanya.
Beberapa hari setelah sang Saudagar mengembalikan kudanya. Para prajurit datang untuk melakukan hal yang sama.
“Panglima kami sudah membeli kuda-kuda baru yang masih muda dan gagah. Kami tidak memerlukan kudamu lagi, Corcoran.”
“Ya, Prajurit. Terima kasih sudah memakai kuda-kuda saya,” kata Corcoran mengerti.
Sekarang, semua kuda Corcoran sudah kembali. Corcoran masih berharap ada orang yang membutuhkan jasa kuda-kudanya, sehingga dia bisa membeli makanan untuk kuda-kudanya. Namun, harapannya tidak juga terlaksana. Tidak ada orang yang datang untuk menyewa kuda-kudanya.
Situasi itu tidak membuat Corcoran patah semangat, dia tetap rajin merawat kuda-kudanya. Akan tetapi, dia mulai kesulitan mencari rumput untuk makan kuda-kudanya. Musim kering membuat rumput-rumput menguning dan mati. Corcoran juga hampir kehabisan uang karena tabungannya habis untuk membeli keperluan kuda-kudanya. Kadangkala dia berpuasa agar uang yang tersisa bisa digunakan untuk membeli makanan kuda-kudanya.
Rupanya musim kering lebih panjang dari biasanya. Seluruh tabungan Corcoran sudah habis. Corcoran mulai kurus karena kurang makan. Kuda-kudanya pun sudah jarang diberi makan. Akhirnya Corcoran memutuskan untuk menyembelih salah satu kudanya, hingga satu per satu kuda itu menjadi santapan Corcoran. Hal itu dia lakukan untuk bertahan hidup dan supaya kudanya tidak kelaparan terus-menerus. Semakin lama kuda Corcoran habis. Dia menyisakan seekor kuda untuk mengantarnya pergi apabila ada keperluan.
Suatu malam, seorang laki-laki datang ke gubuk Corcoran. Orang itu mengetuk pintu dengan suara yang lemah. Corcoran membuka pintu dan mendapati seorang laki-laki berpakaian kumal berdiri di sana. Kepalanya mengenakan caping, yang ikut menutupi sebagian wajahnya.
“Tuan, tolonglah saya. Saya sudah berjalan cukup jauh. Saya kelaparan dan memerlukan sedikit makanan. Maukah Tuan memberi makanan untuk saya?” lelaki itu memohon dengan memelas.
“Maaf, Tuan. Saya tidak punya persediaan makanan sedikit pun. Saya juga belum makan apa-apa selama beberapa hari ini,” Corcoran menolak dengan sopan. Ia merasa iba melihat laki-laki itu. Tapi, dia tidak dapat berbuat banyak, karena dia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan pada orang itu.
“Tuan, saya melihat Tuan memiliki kuda di samping rumah.”
“ Ya, benar Tuan. Kuda itu adalah satu-satunya harta yang saya miliki saat ini.”
“Saya membutuhkan kuda Anda untuk melanjutkan perjalanan saya, Tuan. Bolehkah kuda itu saya bawa?”
Corcoran berpikir sejenak. Dia memerhatikan tamunya dengan saksama. Hatinya terketuk. Dia tidak sampai hati membiarkan orang itu menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Corcoran pun mengganggukkan kepalanya.
“Kalau kuda itu dapat membantu meringankan perjalanan Anda, silakan Tuan membawa kuda saya,” tutur Corcoran sembari tersenyum. Dia lalu berjalan ke samping rumah, mengambilkan kuda terakhirnya. Lelaki itu mengucap terima kasih, kemudian membawa kuda itu pergi.
Beberapa hari kemudian, serombongan pasukan mendatangi rumah Corcoran. Corcoran terkejut melihat begitu banyak orang berdiri di depan rumahnya.
“Tuan, apakah Anda memiliki makanan untuk kau makan hari ini?” tanya orang tersebut.
“Maaf, Tuan. Persediaan makanan saya sudah habis beberapa hari yang lalu. Sudah beberapa hari ini perut saya tidak diisi apa-apa.”
“Terimalah makanan ini, Tuan.”
“Hah, makanan ini dari mana, Tuan?” Corcoran terkejut bercampur senang.
Rombongan itu meletakkan berpiring-piring makanan lezat di meja makan Corcoran. Corcoran sungguh takjub melihat semuanya.
“Beberapa hari yang lalu, apakah Anda kedatangan seorang tamu di malam hari?” tanya kepala rombongan.
Corcoran berusaha mengingat-ingat, “Ya, Tuan.”
“Tuan, tamu yang datang malam itu adalah sang Pangeran. Beliau sengaja mengunjungi rakyatnya sampai ke pelosok negeri. Beliau ingin tahu keadaan rakyatnya secara langsung.”
“Oh, maafkanlah hamba, Tuan. Hamba benar-benar tidak tahu kalau tamu itu adalah sang Pangeran,” kata Corcoran dengan rasa bersalah yang sangat. Dia sama sekali tidak menduga sang Pangeran mengunjunginya.
“Tidak apa-apa, Tuan. Sang Pangeran juga berterima kasih kepada anda karena sudah memberi beliau seekor kuda. Sebagai balas jasa, sang Pangeran mengutus kami membawakan makanan ini untuk Anda.”
Mata Corcoran berbinar senang melihat makanan-makanan lezat yang terhidang di mejanya. Perutnya terasa semakin lapar. Corcoran pun makan dengan lahap. Dia belum pernah menyantap hidangan yang begitu lengkap dan lezat.
“Saya sangat berterima kasih untuk semua hidangan yang lezat ini, Tuan,” kata Corcoran, setelah selesai menyantap hidangan yang disediakan.
“Sang Pangeran juga meminta anda datang ke istana, Tuan,” kata prajurit itu lagi. Corcoran tidak tahu mengapa sang Pangeran memintanya datang ke istana, namun dia bersedia untuk memenuhi panggilan sang Pangeran. Dia ingin mencari pekerjaan di sekitar istana karena dia sudah tidak punya apa-apa lagi di gubuk kecilnya. Corcoran pun ikut dengan prajurit itu ke istana.
Sesampai di istana sang Pangeran langsung memanggil Corcoran untuk mengadap.
“Ampunkan hamba jika apa yang sudah hamba lakukan kurang berkenan di hati Pangeran,” kata Corcoran setelah berhadapan dengan sang Pangeran.
Pangeran tersenyum mendengar perkataan tulus Corcoran, “Saya justru berterima kasih karena Anda telah memberikan seekor kuda pada saya.”
Corcoran terus menundukkan wajahnya. Dia tidak berani menatap wajah pangeran yang baik hati itu. “Terima kasih untuk hidangan yang Tuanku berikan pada hamba,” Corcoran berkata, mengungkapkan isi hatinya.
Pangeran melihat ketulusan pada diri Corcoran, maka dia berkata, “Istana sedang membutuhkan seorang tukang kuda untuk merawat kuda-kuda yang ada. Jika engkau berkenan, kau boleh bekerja di sana,” kata sang Pangeran, sambil tersenyum bijak.
“Oh, benarkah, Tuanku. Hamba sangat senang jika bisa bekerja di sana.” Wajah Corcoran berbinar, riang. Sang Pangeran mengangguk.
Sejak hari itu, Corcoran resmi menjadi tukang kuda istana. Corcoran mengerjakan semua pekerjaannya dengan hati riang. Keahliannya dalam merawat kuda membuatnya mampu melakukan semua pekerjaan dengan baik. Corcoran bertugas merawat kuda-kuda itu agar menjadi kuda-kuda gagah dan bersih, sehingga siap digunakan untuk bertarung di medan pertempuran, tanpa perlu memikirkan bagaimana mendapatkan makanan untuk kuda-kuda tersebut.
***
Cinta selesai baca bukunya, ya buku di tutup dan di taruh di meja. Cinta mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Acara yang di tonton Cinta acara musik sih, yang ada artis Cinta Laura.
"Lagu yang di nyanyikan Cinta Laura...bagus," kata pujian Cinta.
Cinta terus menonton acara Tv yang bagus itu.