CAMPUR ADUK

Tuesday, July 27, 2021

CORCORAN SI TUKANG KUDA

Cinta selesai dengan kerjaanya. Cinta duduk dengan santai di ruang tengah.

"Nonton Tv apa baca buku ya?" kata Cinta berpikir dengan baik.

Cinta memutuskan dengan baik "Baca buku dulu setelah itu nonton Tv!"

Cinta mengambil buku di meja dan membaca judul buku "Corcoran Si Tukang Kuda. Cerita asalnya dari Irlandia."

Cinta membuka buku dan segera membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Cinta :
Di pinggir hutan Jenkinstown, tinggallah seorang pemuda bernama Corcoran. Dia hidup seorang diri di sebuah gubuk sederhana. Di samping gubuknya, ada sebuah bangunan yang dipergunakan sebagai tempat tinggal kuda-kudanya. Corcoran mempunyai beberapa ekor kuda untuk disewakan. Suatu siang, seorang saudagar kaya mendatangi gubuknya.

“Corcoran, aku mau menyewa kudamu untuk mengangkut kentang yang baru kubeli di kebun,” kata Saudagar kaya itu.

“Oh iya, Tuan. Mari, saya antar ke kandang kuda saya. Tuan bisa memilih kuda yang Tuan suka,” ajak Corcoran, ramah.

Mereka berdua berjalan beriringan ke kandang kuda Corcoran. Saudagar itu menyewa dua ekor kuda hitam yang gagah. Corcoran membantu memasang pedati untuk dihubungkan dengan kuda hitamnya dengan cekatan. Setelah membayar uang sewa, Saudagar itu membawa kuda Corcoran pergi bersamanya.

Tiga ekor kuda Corcoran yang lain masih disewa oleh tiga orang yang berbeda, dan belum kembali. Mereka menggunakan kuda-kuda Corcoran untuk menarik kereta penumpang. Sesuai perjanjian, mereka akan mengembalikan kuda-kuda itu siang nanti, kecuali mereka mau memperpanjang masa sewa.

“Selamat siang, Corcoran. Aku mau menukar kuda yang kusewa. Kuda ini tidak bisa berlari kencang. Sepertinya, dia sedang sakit.” Seorang laki-laki bertubuh kurus, tinggi, datang membawa kuda berwarna coklat. Kuda itu berjalan pincang, dengan satu kaki sedikit terangkat. Corcoran memerhatikan kudanya dengan teliti. Beberapa hari sebelum disewa orang tersebut, kuda Corcoran gemuk dan sehat. Tapi, kuda yang ada di hadapannya kini, adalah seekor kuda yang kurus seperti kekurangan makanan.

“Apakah Paman memberikan makanan yang cukup padanya?” tanya Corcoran, hati-hati.

“Tentu saja, aku membawanya ke padang rumput sebelum kami pulang.”

Corcoran mendekati kuda coklat itu. Orang itu mungkin sudah memberi makan, namun kuda itu mungkin belum cukup kenyang ketika orang itu membawanya pulang ke rumah.

“Paman, kemana tapal kuda yang satu ini?” Corcoran bertanya setelah memeriksa kaki kudanya.

“Saya juga tidak tahu. Saya tidak pernah melihatnya,” kata lelaki itu sambil ikut berjongkok di dekat Corcoran.

“Kaki kuda harus diberi tapal kuda, Paman. Kegunaan tapal itu sama dengan sepatu yang kita pakai. Kalau dia lari tanpa sepatu, kakinya gampang lecet, dan itu pasti menyakitkan buat kuda itu sendiri, Paman,” Corcoran menjelaskan panjang lebar.

“Oh, kaki kuda ini sakit rupanya, pantas saja kalau dia tidak mau lari kencang,” lelaki kurus itu berkata, sembari ikut memerhatikan apa yang dilakukan Corcoran. Corcoran mengangguk, maklum terhadap ketidaktahuan lelaki yang baru pertama kali menyewa kudanya.

“Saya akan mengobatinya dulu, Paman. Paman bisa memilih kuda yang lain sebagai gantinya. Tapi, tolong kesehatannya lebih diperhatikan ya, Paman,” Corcoran berusaha mengingatkan. Lelaki itu lantas mengangguk, mengiyakan.

Sementara lelaki itu memilih kuda pengganti, Corcoran mengobati kaki kuda itu. Corcoran juga membawakan rumput untuk kuda itu. Kuda itu segera menghabiskan rumput yang dibawa Corcoran dengan lahap. Setelah selesai mengurusi kudanya, Corcoran menghampiri lelaki bertubuh kurus yang sedang mencari kuda pengganti.

Corcoran melihat kebingungan di raut wajah lelaki itu, maka dia mengusulkan, “Bagaimana kalau yang ini, Paman. Kuda ini memang kecil, tapi dia pelari yang tangguh.” Corcoran menawarkan seekor kuda kecil berwarna coklat berbintik putih.

“Oh, boleh juga, yang penting kuda ini bisa lari kencang, Corcoran.”

“Jangan lupa memberi makan yang cukup untuknya ya, Paman,” Corcoran kembali mengingatkan, “kuda ini bisa sakit kalau terus bekerja tanpa diberi makan,” lanjut Corcoran lagi.

“Tentu saja. Aku selalu memberi makanan yang cukup untuk kuda-kuda yang kusewa.” Lelaki itu tersenyum, berusaha meyakinkan Corcoran. Setelah mendapatkan kuda yang diinginkan, lelaki itu pergi membawa kuda kecil milik Corcoran.

Corcoran kembali ke kandang kudanya. Dia memastikan kuda yang sakit itu sudah beristirahat dan berkeliling kandang untuk memberi makan kuda-kuda yang lain. Corcoran sangat memerhatikan kesehatan kuda-kudanya. Dia selalu memberi makanan yang cukup, memandikan, dan merawat kuda-kuda itu dengan baik. Kuda-kuda itu pun terlihat gagah dan bersih.

Beberapa saat kemudian, seorang berambut kuning keemasan datang membawa kereta kuda yang sudah usang. Orang itu sudah lama menjadi pelanggan tetap kuda sewaannya. Orangnya pendiam. Dia selalu menyerahkan beberapa lembar uang kepada Corcoran tanpa mengucapkan sepatah kata. Tapi, Corcoran sudah tahu jika uang itu adalah uang sewa kuda-kudanya. Corcoran memang memberikan keringanan kepada orang ini. Bapak ini boleh membayar uang sewa setelah ia mendapatkan uang hasil menarik kereta kuda. Corcoran melakukan hal itu sebagai ucapan terima kasih karena kudanya sudah dirawat dengan baik. Kuda-kuda yang dia sewa selalu pulang dalam keadaan sehat. Selain itu, Corcoran merasa kasihan karena bapak ini memiliki lima orang anak yang masih kecil.

“Terima kasih, Pak,” kata Corcoran, ketika menerima uang dari bapak itu. Lelaki itu mengangguk, tersenyum, lalu berjalan menuju kereta kudanya. Perlahan, dia menghela kuda-kuda itu pergi dari rumah Corcoran.

Tak lama berselang, tiga orang berpakaian prajurit kerajaan, lengkap dengan senjata yang tergantung di pinggang mereka, datang ke arah Corcoran. Corcoran menyambut mereka dengan tergopoh-gopoh.

“Selamat sore, Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu?”

Prajurit gagah itu turun dari kudanya. Setelah menambatkan kuda-kudanya, mereka menghampiri Corcoran.

“Kami diutus Panglima kerajaan untuk menyewa kuda-kudamu, Corcoran. Beberapa kuda kerajaan tidak bisa digunakan karena sudah tua dan beberapa kuda sedang sakit. Berapa kuda yang kamu miliki, Corcoran?”

“Saat ini, kuda yang tersisa hanya tiga, Tuan. Tapi, salah satu kuda sedang sakit, sehingga hanya dua ekor kuda yang bisa saya sewakan kepada Anda.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Kami akan menyewa dua ekor kudamu. Ini uang sewanya.” Prajurit itu menyerahkan kantong berisi uang logam kepada Corcoran.

Sebelum menerima kantong tersebut, Corcoran berkata, “Tuan, kalau kuda ini dipakai berperang dan dia menjadi cacat karena pertempuran, maka Tuan harus membelinya dengan harga yang pantas.” Corcoran memberitahukan peraturan sewa-menyewa. “Tuan juga harus memberinya makan dan merawatnya dengan baik selama penyewaan,” lanjut Corcoran lagi.

“Baiklah, kami akan melakukannya.” Prajurit itu mengangguk, setuju. Corcoran tersenyum senang karena usahanya berjalan lancar hari ini. Dia segera mengambil dua ekor kuda di kandang dan menyerahkan kuda-kuda itu kepada prajurit kerajaan.

“Baiklah Corcoran, kami pergi dulu,” pamit sang Prajurit.

“Ya, terima kasih, Tuan,” Corcoran menjawab, sambil menunduk hormat.

Bunyi kaki kuda yang dipacu semakin jauh, meninggalkan debu tipis di depan Corcoran. Musim kering hampir tiba. Tanah sudah mulai mengering dan menebarkan debu. Corcoran beranjak dari tempatnya berdiri, menengok kudanya sesaat, lalu kembali ke dalam rumah, beristirahat sejenak.

Hari demi hari berlalu, cuaca semakin panas karena sudah beberapa bulan hujan tidak juga turun. Debu semakin banyak beterbangan membuat sesak napas. Satu per satu, kuda-kuda Corcoran mulai dikembalikan. Bapak berambut kuning keemasan adalah orang pertama yang mengembalikan kudanya.

“Maafkan saya, Corcoran. Beberapa waktu ke depan, saya tidak akan menyewa kudamu. Saya tidak bisa menyediakan makanan yang cukup untuknya. Saya kesulitan mendapatkan rumput segar. Lagi pula, saya mendapat pekerjaan baru untuk mengangkat barang-barang di pasar,” kata bapak itu, tersendat. Corcoran takjub. Baru kali ini dia mendengar bapak itu berbicara panjang lebar.

“Tidak apa-apa, Pak. Semoga nanti ada penyewa lain yang datang.”

Bapak tua itu mengangguk lalu berpamitan pulang. Kedatangan bapak itu disusul oleh penyewa-penyewa kuda yang lain. Mereka datang untuk mengembalikan kuda-kuda Corcoran.

“Musim kering sudah datang. Kebun-kebun sudah tidak menghasilkan kentang dan tanaman lainnya, sehingga saya tidak memerlukan kuda ini lagi. Jadi, saya ingin mengembalikannya, Corcoran,” kata sang Saudagar. Dia membawa dua ekor kuda hitam yang dulu disewanya. Kuda itu terlihat sedikit kurus.

“Baiklah, Tuan. Semoga nanti ada penyewa lain yang datang.” Corcoran masih tetap berharap, nanti ada orang yang mau menyewa kuda-kudanya.

Beberapa hari setelah sang Saudagar mengembalikan kudanya. Para prajurit datang untuk melakukan hal yang sama.

“Panglima kami sudah membeli kuda-kuda baru yang masih muda dan gagah. Kami tidak memerlukan kudamu lagi, Corcoran.”

“Ya, Prajurit. Terima kasih sudah memakai kuda-kuda saya,” kata Corcoran mengerti.

Sekarang, semua kuda Corcoran sudah kembali. Corcoran masih berharap ada orang yang membutuhkan jasa kuda-kudanya, sehingga dia bisa membeli makanan untuk kuda-kudanya. Namun, harapannya tidak juga terlaksana. Tidak ada orang yang datang untuk menyewa kuda-kudanya.

Situasi itu tidak membuat Corcoran patah semangat, dia tetap rajin merawat kuda-kudanya. Akan tetapi, dia mulai kesulitan mencari rumput untuk makan kuda-kudanya. Musim kering membuat rumput-rumput menguning dan mati. Corcoran juga hampir kehabisan uang karena tabungannya habis untuk membeli keperluan kuda-kudanya. Kadangkala dia berpuasa agar uang yang tersisa bisa digunakan untuk membeli makanan kuda-kudanya.

Rupanya musim kering lebih panjang dari biasanya. Seluruh tabungan Corcoran sudah habis. Corcoran mulai kurus karena kurang makan. Kuda-kudanya pun sudah jarang diberi makan. Akhirnya Corcoran memutuskan untuk menyembelih salah satu kudanya, hingga satu per satu kuda itu menjadi santapan Corcoran. Hal itu dia lakukan untuk bertahan hidup dan supaya kudanya tidak kelaparan terus-menerus. Semakin lama kuda Corcoran habis. Dia menyisakan seekor kuda untuk mengantarnya pergi apabila ada keperluan.

Suatu malam, seorang laki-laki datang ke gubuk Corcoran. Orang itu mengetuk pintu dengan suara yang lemah. Corcoran membuka pintu dan mendapati seorang laki-laki berpakaian kumal berdiri di sana. Kepalanya mengenakan caping, yang ikut menutupi sebagian wajahnya.

“Tuan, tolonglah saya. Saya sudah berjalan cukup jauh. Saya kelaparan dan memerlukan sedikit makanan. Maukah Tuan memberi makanan untuk saya?” lelaki itu memohon dengan memelas.

“Maaf, Tuan. Saya tidak punya persediaan makanan sedikit pun. Saya juga belum makan apa-apa selama beberapa hari ini,” Corcoran menolak dengan sopan. Ia merasa iba melihat laki-laki itu. Tapi, dia tidak dapat berbuat banyak, karena dia tidak memiliki apa-apa untuk diberikan pada orang itu.

“Tuan, saya melihat Tuan memiliki kuda di samping rumah.”

“ Ya, benar Tuan. Kuda itu adalah satu-satunya harta yang saya miliki saat ini.”

“Saya membutuhkan kuda Anda untuk melanjutkan perjalanan saya, Tuan. Bolehkah kuda itu saya bawa?”

Corcoran berpikir sejenak. Dia memerhatikan tamunya dengan saksama. Hatinya terketuk. Dia tidak sampai hati membiarkan orang itu menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Corcoran pun mengganggukkan kepalanya.

“Kalau kuda itu dapat membantu meringankan perjalanan Anda, silakan Tuan membawa kuda saya,” tutur Corcoran sembari tersenyum. Dia lalu berjalan ke samping rumah, mengambilkan kuda terakhirnya. Lelaki itu mengucap terima kasih, kemudian membawa kuda itu pergi.

Beberapa hari kemudian, serombongan pasukan mendatangi rumah Corcoran. Corcoran terkejut melihat begitu banyak orang berdiri di depan rumahnya.

“Tuan, apakah Anda memiliki makanan untuk kau makan hari ini?” tanya orang tersebut.

“Maaf, Tuan. Persediaan makanan saya sudah habis beberapa hari yang lalu. Sudah beberapa hari ini perut saya tidak diisi apa-apa.”

“Terimalah makanan ini, Tuan.”

“Hah, makanan ini dari mana, Tuan?” Corcoran terkejut bercampur senang.

Rombongan itu meletakkan berpiring-piring makanan lezat di meja makan Corcoran. Corcoran sungguh takjub melihat semuanya.

“Beberapa hari yang lalu, apakah Anda kedatangan seorang tamu di malam hari?” tanya kepala rombongan.

Corcoran berusaha mengingat-ingat, “Ya, Tuan.”

“Tuan, tamu yang datang malam itu adalah sang Pangeran. Beliau sengaja mengunjungi rakyatnya sampai ke pelosok negeri. Beliau ingin tahu keadaan rakyatnya secara langsung.”

“Oh, maafkanlah hamba, Tuan. Hamba benar-benar tidak tahu kalau tamu itu adalah sang Pangeran,” kata Corcoran dengan rasa bersalah yang sangat. Dia sama sekali tidak menduga sang Pangeran mengunjunginya.

“Tidak apa-apa, Tuan. Sang Pangeran juga berterima kasih kepada anda karena sudah memberi beliau seekor kuda. Sebagai balas jasa, sang Pangeran mengutus kami membawakan makanan ini untuk Anda.”

Mata Corcoran berbinar senang melihat makanan-makanan lezat yang terhidang di mejanya. Perutnya terasa semakin lapar. Corcoran pun makan dengan lahap. Dia belum pernah menyantap hidangan yang begitu lengkap dan lezat.

“Saya sangat berterima kasih untuk semua hidangan yang lezat ini, Tuan,” kata Corcoran, setelah selesai menyantap hidangan yang disediakan.

“Sang Pangeran juga meminta anda datang ke istana, Tuan,” kata prajurit itu lagi. Corcoran tidak tahu mengapa sang Pangeran memintanya datang ke istana, namun dia bersedia untuk memenuhi panggilan sang Pangeran. Dia ingin mencari pekerjaan di sekitar istana karena dia sudah tidak punya apa-apa lagi di gubuk kecilnya. Corcoran pun ikut dengan prajurit itu ke istana.

Sesampai di istana sang Pangeran langsung memanggil Corcoran untuk mengadap.

“Ampunkan hamba jika apa yang sudah hamba lakukan kurang berkenan di hati Pangeran,” kata Corcoran setelah berhadapan dengan sang Pangeran.

Pangeran tersenyum mendengar perkataan tulus Corcoran, “Saya justru berterima kasih karena Anda telah memberikan seekor kuda pada saya.”

Corcoran terus menundukkan wajahnya. Dia tidak berani menatap wajah pangeran yang baik hati itu. “Terima kasih untuk hidangan yang Tuanku berikan pada hamba,” Corcoran berkata, mengungkapkan isi hatinya.

Pangeran melihat ketulusan pada diri Corcoran, maka dia berkata, “Istana sedang membutuhkan seorang tukang kuda untuk merawat kuda-kuda yang ada. Jika engkau berkenan, kau boleh bekerja di sana,” kata sang Pangeran, sambil tersenyum bijak.

“Oh, benarkah, Tuanku. Hamba sangat senang jika bisa bekerja di sana.” Wajah Corcoran berbinar, riang. Sang Pangeran mengangguk.

Sejak hari itu, Corcoran resmi menjadi tukang kuda istana. Corcoran mengerjakan semua pekerjaannya dengan hati riang. Keahliannya dalam merawat kuda membuatnya mampu melakukan semua pekerjaan dengan baik. Corcoran bertugas merawat kuda-kuda itu agar menjadi kuda-kuda gagah dan bersih, sehingga siap digunakan untuk bertarung di medan pertempuran, tanpa perlu memikirkan bagaimana mendapatkan makanan untuk kuda-kuda tersebut.

***

Cinta selesai baca bukunya, ya buku di tutup dan di taruh di meja. Cinta mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv. Acara yang di tonton Cinta acara musik sih, yang ada artis Cinta Laura.

"Lagu yang di nyanyikan Cinta Laura...bagus," kata pujian Cinta.

Cinta terus menonton acara Tv yang bagus itu.

JACK O'LANTERN

Kris selesai main dengan teman-teman, ya main layang-layang di lapangan. Kris duduk di santai di ruang tengah, ya sambil menikmati makan keripik pisang dan segelas sirup rasa jeruk. Kris mengambil buku di meja dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Kris :

Shine sedang mengintip dari jendela kamarnya. Cahaya bulan yang bersinar separuh tidak berhasil memberi penerangan yang cukup baginya untuk melihat sosok itu dengan jelas. Shine memaksa pupil matanya untuk melebar. Dia sungguh penasaran dengan sosok  yang selalu lewat di depan rumahnya saat tengah malam. Dia sedikit menyibak tirai  kamarnya. Sosok itu tampak memakai mantel berwarna gelap, memakai topi yang menutupi wajahnya, dan berperawakan tinggi menjulang. Meskipun Shine bisa melihat pakaian yang dikenakan sosok itu, tapi dia tidak bisa memastikan apakah sosok itu seorang laki-laki atau perempuan.

Sosok itu berjalan sedikit membungkuk, seperti sedang mencari sesuatu. Dia membawa sebuah lentera yang tak berbentuk bulat penuh di tangan kiri. Cahaya dari lentera yang dibawanya, bekerlip tertiup angin malam. Shine berusaha mengamati dengan teliti, namun tiba-tiba sosok itu menoleh ke arahnya. Serta merta Shine melepaskan tirai yang sedang dipegangnya. Jantungnya berdegup kencang. Apakah orang itu tahu kalau sedang kuamati? tanya Shine dalam hati.

Setelah detak jantungnya berdetak normal, Shine kembali memicingkan sebelah matanya di jendela kamar. Kali ini dia hanya menyingkap tirai untuk sebelah matanya saja, karena dia harus lebih berhati-hati. Dia tidak ingin pengamatannya diketahui oleh orang itu. Shine melihat punggung orang itu sudah menjauh dari depan rumahnya, melanjutkan perjalanannya kembali.

Shine kembali ke tempat tidurnya. Dia sedang memikirkan keanehan tempat tinggal barunya. Matanya terus-menerus mengerjap dari tadi. Shine tidak bisa tidur. Dia menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuhnya. Malam kian larut, namun matanya belum mau terpejam. Dia masih penasaran dengan sosok pembawa lentera itu. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa-apa malam ini selain tidur. Shine menghitung mundur dari seratus. Itu salah satu cara yang dia pergunakan untuk mengundang kantuk. Pada hitungan ke tiga puluh tiga, dia tidak ingat apa-apa lagi. Shine sudah terbang menuju alam mimpi.

Tiba-tiba Shine melihat sosok itu lagi. Sosok itu berjalan menunduk, membawa lentera yang ternyata terbuat dari labu berukir menyerupai wajah manusia. Ada dua buah lubang berbentuk seperti daun yang diukir sedikit condong ke atas, tampak seperti sepasang mata yang menyala. Di bawahnya ukiran gerigi berbentuk lengkung, seperti orang yang sedang menyeringai. Di bagian atas ada sebuah lubang untuk memasukkan bara api. Dari sisi-sisi lubang itulah cahaya kecil memancar. Cahaya itu digunakan sebagai penerang jalan.

Shine mengikuti langkah sosok itu dengan mengendap-endap. Sosok itu berjalan  tertatih, tangannya gemetar memegang lentera labu. Di sebuah bangku, dia berhenti dan duduk. Shine menghentikan langkahnya, namun dia tetap menggerak-gerakkan tubuhnya. Udara malam yang dingin membuatnya menggigil. Dia lalu menarik topi di jaketnya, sehingga hanya wajahnya yang pucat terkena bias cahaya bulan separuh, yang kini tampak. Shine sudah berdiri cukup lama, tapi sosok itu belum juga bergerak.

“Hem … Kenapa dia hanya diam saja di sana.” Shine berkata, sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Uap putih keluar dari hidungnya. Udara malam yang dingin seakan ingin membekukan dirinya. Seharusnya dia tadi mengajak Audrey untuk menemaninya. Tapi lupakan saja. Audrey lebih tertarik dengan shopping dan nonton dari pada menguntit seseorang. Dia sama sekali tidak cocok menjadi detektif. Shine sedang asyik berpikir sendiri ketika tiba-tiba orang itu berdiri dan berjalan ke arahnya. Shine mulai beringsut di tempat persembunyiannya. Apakah orang itu tahu kalau dia sedang diikuti? pikir Shine. Shine semakin menyembunyikan dirinya.

Setelah sampai di tempatnya bersembunyi, sosok itu mengangkat lenteranya setinggi pinggang. Tempat persembunyian Shine segera penuh cahaya pendar. Orang itu lalu membetulkan letak topinya dengan menggunakan tangan kanan. Shine dapat melihat wajahnya dengan jelas dari tempatnya bersembunyi. Shine mulai mengerjap-ngerjapkan mata karena silau cahaya lentera yang didekatkan ke wajahnya. Shine mencermati wajah orang itu. Hidungnya panjang. Mulutnya melengkung ke atas, seperti membentuk senyuman. Wajahnya yang lancip dan tirus penuh dengan keriput.

“Siapa yang ada di situ?” tanya orang itu. Suaranya terdengar aneh di telinga Shine. Terdengar serak, seperti bergema. Shine kebingungan di tempatnya. Dia masih berpikir untuk keluar dari persembunyiannya atau diam di tempat ketika tanpa dia duga, lelaki tua itu memajukan lentera, mendekatinya, tepat di atas kepala Shine.

“Sedang apa kau di situ, Nak?” orang itu sudah berdiri di hadapan Shine, sambil melongokkan kepala ke arahnya. Shine tidak dapat mengelak, dia sudah tertangkap basah.

“Eemmm … tidak apa-apa, Tuan,” jawab Shine, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba Shine teringat pada Kitty, kucing kesayangannya.  “Saya hanya mencari kucing saya yang pergi dari rumah,” Shine melanjutkan.

“Oh … Sekarang sudah larut malam, Nak. Besok kau bisa melanjutkan pencarianmu. Sebaiknya kau pulang sekarang. Di mana rumahmu?” tanya orang itu. Suaranya bergetar, sepertinya karena udara dingin.

“Di ujung jalan, Tuan.” Shine menunjuk sebuah rumah besar di ujung jalan.

“Ayo, aku antar kau pulang.” Lelaki tua itu bergeser dari tempatnya berdiri. Dia mulai berjalan membelakangi Shine. Shine kebingungan. Jika dia pulang, rasa penasarannya tidak akan terpuaskan. Shine berjalan pelan di belakang lelaki tua itu. Rasa penasarannya tidak dapat dia bendung lagi.

“Tuan, Anda sebenarnya siapa?” Shine memberanikan diri bertanya, ragu. Langkah tertatih lelaki bermantel gelap itu terhenti. Dia berbalik, mengernyitkan dahi, namun garis lengkung di bibirnya masih membentuk senyum ramah.

“Apakah kau perlu tahu, Nak?” Senyum itu kian melebar. Shine mengangkat bahunya.

“Tentu saja, jika Anda tidak keberatan.” Shine dapat menguasai dirinya, kini. Dia menatap lelaki itu. Lelaki tua ini tidak menyeramkan seperti bayanganku, batinnya.

“Aku adalah Jack O’Lantern.” Suara serak itu bergema.

Bulu kuduk Shine meremang, rasa takut mulai merayapinya. Penilaiannya terhadap lelaki tua itu berubah seketika. Shine terpaku di tempatnya berdiri. Jack O’Lantern, benarkah lelaki tua di hadapannya ini adalah Jack O’Lantern yang sering diceritakan orang. Shine menatap mata lelaki bermantel itu. Bola matanya yang sayu membuat Shine iba. Sebenarnya, tidak ada yang menyeramkan dari wajahnya. Tapi, nama itu mengingatkan Shine pada cerita seram tentang Jack O’Lantern, arwah gentayangan yang mencari tempat peristirahatan di dunia.

“Sepertinya, kau takut, Nak?” kata lelaki itu sambil mengangkat lentera labunya. Seperti dapat merasakan ketakutan Shine, dia semakin melebarkan senyumnya. “Kau tak perlu takut. Aku bukan roh gentayangan seperti legenda Jack O’Lantern. Aku manusia sepertimu,” lanjut lelaki bermantel itu, sambil meneruskan langkahnya.

Shine memerhatikan cara jalan lelaki itu, yang sedikit membungkuk. Kakinya pun menginjak tanah. Lelaki ini bukan hantu. Shine tidak perlu merasa takut lagi. Dia segera menyusul lelaki bermantel itu, sehingga mereka berjalan beriringan.

“Anak-anak sepertimu selalu ingin tahu. Hal itu bagus, karena berarti kalian adalah anak-anak yang cerdas,” lelaki itu tiba-tiba berkata.

“Apakah nama Anda benar-benar Jack?” Shine kembali bertanya, tanpa mengomentari perkataan Jack barusan.

“Ya, tentu saja itu nama asliku. Aku tidak menyesal diberi nama itu oleh orang tuaku. Walaupun pada akhirnya, perjalanan hidupku tidak jauh berbeda dengan Jack O’Lantern.”

“Apa maksud Anda, Tuan?” tanya Shine ingin tahu.

“Kau tahu kisah Jack O’Lantern?” Jack balik bertanya.

Shine mengangguk kecil. “Jack adalah seorang petani malas. Dia menipu setan, sehingga setan berjanji untuk tidak memasukkan Jack ke neraka. Akan tetapi, ketika Jack meninggal, dia tidak boleh masuk ke surga karena telah banyak berbuat dosa. 

Dia juga tidak dapat masuk ke neraka karena setan menghalanginya. Jack kemudian membuat lentera dari labu, seperti yang anda bawa ini, Tuan. Dia lalu meminta api dari neraka sebagai sumber cahayanya. Konon, dia masih ada hingga kini. Dia berkeliling membawa lentera, mencari tempat peristirahatan di dunia. Bagaimana cerita Anda, Tuan Jack?” Shine mengakhiri ceritanya dengan mengajukan pertanyaan untuk teman barunya ini. Sepintas, Shine melirik lelaki di sebelahnya. Dia sangat mirip dengan Jack O’Lantern yang ada dalam cerita, gumam Shine dalam hati.

“Ya, hampir mirip seperti itu. Masa laluku sungguh buruk. Sebenarnya, aku merasa malu menceritakannya padamu. Itu bukan contoh yang baik untuk kalian.” Jack menundukkan kepalanya dalam.

Sesaat hening mengelilingi mereka. Jack kemudian mulai bercerita, “Aku lahir dari keluarga sederhana di pinggir kota. Aku lantas pergi merantau. Di perantauan, aku hidup menggelandang karena tidak punya pekerjaan. Masa mudaku sungguh suram. Sama sekali tidak pantas untuk dijadikan teladan. Aku memiliki kebiasaan minum-minum, yang tidak bisa kutinggalkan. Suatu hari, aku bertemu dengan Devil. Dia mentraktirku minum. Ternyata, setelah selesai minum, dia memintaku membayar semuanya. Aku tidak punya uang. Devil pun demikian. Aku pun meminta Devil mengubah dirinya menjadi sekeping uang koin. Dia mau melakukannya. Dia menjelma menjadi sekeping koin emas. Aku kemudian memasukkan koin itu ke dalam dompetku. Koin itu kuletakkan di samping sebuah salib yang terbuat dari perak putih agar dia tidak bisa mengubah dirinya kembali. Pada saat itu, aku sangat takut jika masuk ke dalam neraka karena ulahku, maka aku meminta Devil berjanji untuk tidak membawaku ke neraka. Devil menyanggupinya. Satu tahun kemudian, aku kembali bertemu dengan Devil. Aku menyuruhnya memanjat sebuah pohon untuk mengambil buah. Setelah sampai di puncak pohon, aku  menggoreskan salib di bawahnya, sehingga Devil tidak dapat turun dan menggangguku hingga sepuluh tahun lebih.” Lelaki tua menghela napas, menghentikan ceritanya.

Shine yang mendengarkan cerita itu dari tadi, mencoba memahami semuanya, meski dia semakin tidak mengerti. Apakah yang dimaksud dengan Devil itu adalah iblis atau setan? Shine merasa cerita Jack tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Jack bisa mengubah Devil menjadi sebuah koin emas? Atau usia tuanya membuat dia mengigau, sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar-benar terjadi dan mana yang tidak?

“Tuan Jack, apakah anda baik-baik saja?” Shine mencoba bersimpati.

“Yah … Aku baik-baik saja,” jawab Jack, sambil terus berjalan.

“Siapakah Devil yang Anda maksud, Tuan?” Shine bertanya, hati-hati. Shine mulai berpikir kalau Jack mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya karena pikun atau dia hanya orang gila yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.

Shine masih menunggu jawaban Jack, ketika mereka berhenti dan Jack menunjuk sebuah rumah, “Apakah itu rumahmu, Nak?” tanya Jack.

“Ya,” jawab Shine singkat. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket agar tetap hangat.

Tiba-tiba muncul seekor kucing berwarna coklat berbintik putih dari arah depan. Dia berdiri dengan posisi berjinjit sembari melengkungkan tubuhnya. Bulu lebatnya tampak berdiri tegak.

“Kitty!” Spontan Shine berlari ke arah kucing kesayangannya. Dia mengangkat kucing berbulu coklat itu.

“Miaoau … Miaouuu …” Kitty enggan diangkat. Tubuhnya kaku dengan posisi melengkung, seolah bersiaga terhadap sesuatu. Dia menggeram, “Ggrrr…” Shine mulai bingung terhadap tingkah Kitty. Ada apa dengan kucingnya ini? pikirnya. Tanpa berpikir panjang, Shine memeluk kucing itu erat-erat. Kitty menyadari hal itu, dan segera melemaskan tubuhnya, mulai bersikap biasa. Kitty bahkan menjilati pipi Shine, sehingga membuatnya menggeliat, geli. Shine merasakan kehangatan di wajahnya, lalu membuka matanya perlahan. Kitty tampak duduk di samping tempat tidurnya. Shine segera bangun dan menyibak tirai jendela. Matahari sudah mulai menampakkan cahayanya.

“Emmm … Rupanya hanya mimpi,” gumam Shine seorang diri.

Dari tempatnya berdiri, pandangan Shine tertumbuk pada sekumpulan orang, yang berkerumun di depan rumahnya. Shine penasaran. Dia bergegas turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Kitty mengikutinya dari belakang. Sesampai di bawah, dia mendekati kerumunan itu dan mulai mendesak ke dalam. Shine terkesiap. Ya, Tuhan. Bukankah orang ini yang ada dalam mimpinya tadi malam? Tuan Jack O’Lantern.

Shine termangu. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Bukankah kejadian yang dia alami bersama lelaki tua itu hanya terjadi di alam mimpi? Tapi, mengapa orang ini ada di sini, seolah kejadian tadi malam benar-benar terjadi?

“Apa yang terjadi, Ayah?” Shine mendekati Ayahnya, yang sudah berada di tempat itu sejak tadi.

“Tuan Jack O’Lantern, penjaga keamanan kita meninggal dunia,” kata Ayah. Dia segera beranjak, membantu petugas dinas sosial memasukkan mayat Jack ke dalam mobil jenazah.

“Mengapa Tuan Jack meninggal, Ayah?” tanya Shine, setelah mobil jenazah itu pergi. Ayah mengangkatnya saat melewati parit kecil di depan rumah mereka.

“Sepertinya dia kedinginan. Jack sudah tua, tubuhnya tidak tahan dengan udara malam yang dingin.”

“Apakah dia benar-benar Jack O’Lantern, arwah gentayangan yang mencari tempat peristirahatan di dunia, Ayah?”

“Tentu saja, bukan. Stalky Jack hanya legenda perayaan Halloween. Kau bisa mencoba membuatnya saat perayaan itu tiba,” Ayah menjelaskan, sambil tersenyum.

“Ya, aku pasti akan mencobanya,” Shine berkata mantap. “Ayah, mengapa orang tua tadi disebut Jack O’Lantern?” tanya Shine lagi.

“Ayah kurang tahu, mungkin karena dia selalu membawa lentera yang terbuat dari labu saat berkeliling rumah, seperti Jack O’Lantern. Sehingga, orang lebih mudah mengenalinya sebagai Jack O’Lantern.”

“Tapi, namanya memang Jack, Ayah.”

“Dari mana kau tahu?”

“Tadi malam, aku mimpi berbicara dengannya, Ayah.” Shine terdiam sejenak. “Dia menceritakan asal usulnya kepadaku. Ceritanya mirip dengan cerita Ayah tentang Jack O’Lantern.” Shine mulai menceritakan mimpinya tadi malam.

Ayahnya tersenyum. “Itu hanya mimpi, Sayang. Mimpi hanyalah bunga tidur.”

“Tapi, sepertinya itu bukan mimpi biasa, Ayah. Mengapa Jack bisa meninggal di dekat rumah kita? Di tempat yang sama ketika aku terbangun dari mimpi?”

“Emmm … Mungkin itu hanya kebetulan saja.”

“Apakah Ayah percaya bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan?”

“Tentu saja. Jika kita gigih, pantang menyerah, dan tidak lupa berdoa agar mimpi kita bisa menjadi kenyataan, maka mimpi-mimpi itu bisa menjadi kenyataan,” kata Ayah menjelaskan. Wajah Shine berubah cerah. Dia tersenyum. Sepertinya mimpinya itu adalah sebuah kenyataan karena sebelum tidur dia selalu berdoa terlebih dahulu.

Hari berjalan dengan cepat. Udara siang yang panas sudah berganti dengan malam yang dingin. Shine sedang berada di kamarnya, bermain dengan Kitty. Tapi, rasa kantuk yang menyergap sejak tadi, membuat Shine tidak semangat menemani Kitty bermain. Dia memutuskan untuk segera tidur. Sebelum beranjak ke tempat tidur, Shine menyempatkan diri berdiri di depan jendela kamarnya. Kali ini dia tidak melihat apa-apa. Petugas jaga keliling itu sudah tiada. Shine memejamkan matanya, berdoa untuk ketenangan arwah Jack. Dia lalu naik ke tempat tidur dan menarik selimutnya seperti biasa. Kali ini, dia tidak perlu berhitung lagi. Tak berapa lama, dia sudah terbang ke alam mimpi.

“Terima kasih untuk doa yang kau panjatkan untukku, Nak.” 

Tiba-tiba Shine sudah bersama Jack di dekat rumahnya. Shine agak takut. Dia melihat dengan jelas jika orang ini sudah meninggal dunia tadi pagi. Shine hanya mampu terdiam, tak bersuara.

“Tuhan tidak menerima arwahku karena aku telah banyak berbuat kejahatan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk manusia-manusia yang lain, agar tidak berbuat jahat. Aku juga tidak bisa ke neraka karena Devil sudah berjanji, tidak akan mengijinkanku masuk ke sana.” Wajah Jack terlihat sangat sedih. Shine tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga dia hanya mendengarkan saja.

“Kini, aku hanya dapat berkeliling, mencari tempat untuk beristirahat. Aku sudah sangat lelah.”

Shine masih tidak dapat bersuara. Dia menatap wajah tua yang pucat itu penuh simpati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa.

“Terima kasih sudah menjadi temanku. Aku harus melanjutkan perjalananku lagi.” Lelaki bermantel gelap itu beranjak, melanjutkan langkahnya yang terseok sambil membawa lentera buah labunya. Shine tersentak, kaget. Dia ingin mengejarnya, namun tiba-tiba dia bangun dari tidurnya. Shine segera berlari ke jendela kamarnya, menyibak tirai jendela itu. Di luar sana, dia melihat lelaki bermantel gelap itu berjalan terseok, sambil membawa lentera labunya. Tiba-tiba dia berhenti, menoleh ke arah Shine. Bibirnya yang berkerut membentuk senyum lebar ke arah Shine. Perlahan, rasa takut merayapi Shine. Dia berteriak sekuat tenaga, “Aaaa!!!” 

***

Kris selesai membaca bukunya.

"Bagus cerita.....buku dari Irlandia," kata Kris.

Kris pun menutup bukunya dan di taruh di meja.

"Ngapain lagi ya?!" kata Kris berpikir panjang.

Kris memikirkan tentang cita-citanya ingin menjadi orang sukses saat dirinya menjadi dewasa.

"Belajar. Kata Ayah dan Ibu dengan belajar menjadi pintar, ya bisa menjadi orang sukses di masa depan. buah dari hasil kerja keras," kata Kris.

Kris mengambil tas sekolahnya di kamarnya, ya di bawa ke ruang tengah. Kris mengeluarkan buku pelajarannya dari tasnya, belajar dengan baik agar menjadi pintar.

TANAH PERTANIAN ARMADILLO

Melany selesai mengerjakan tugas kuliah. Keluarlah Melany dari kamarnya ke ruang tengah. Duduklah Melany ruang tengah dengan santai banget. Ada buku di meja, ya di ambillah sama Melany.

"Buku siapa ya?" kata Melany.

Melany membaca sebuah nama tertulis di  sampul buku "Bonar."

Bonar, ya adiknya Melany. 

"Aku baca ah buku ini!" kata Melany.

Melany membuka buku tersebut dan di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Melany :

Dahulu kala, hiduplah seekor rubah pemalas. Ia memiliki tanah pertanian yang luas di daerah pampas, dataran subur yang bisa ditanami beberapa tumbuhan secara bergiliran. Sinar matahari yang cukup dan pengairan yang baik membuat tanah pertanian itu sangat subur. Tumbuhan apa pun yang ditanam di atasnya selalu tumbuh dengan baik. Namun rubah itu lebih senang bermalas-malasan daripada mengurus tanah pertaniannya. Ia tidak suka dengan sinar matahari yang panas. Rubah itu sering menghabiskan waktunya dengan duduk melamun, bahkan tidur-tiduran di bawah pohon sambil melihat awan berarak. Tidak jauh dari tanah pertanian rubah pemalas itu, hiduplah seekor armadillo. Ia memiliki tanah pertanian kecil di tanah yang padas. 

Armadillo itu bekerja keras setiap hari untuk mengolah tanah pertaniannya. Ia menyingkirkan batu-batuan, membajak tanah, membuat saluran air, dan menabur benih. Sinar matahari yang terik tidak membuat Armadillo itu bermalas-malasan. Suatu hari rubah itu berjalan-jalan di sekitar pampas. Ia kemudian melihat armadillo sedang bekerja mengolah tanah pertaniannya. Rubah itu berhenti sejenak dan terlintas suatu ide di pikirannya. “Armadillo, kemari sebentar,” pinta rubah itu. 

Armadillo itu berhenti bekerja dan berjalan mendekati rubah “Ada apa, Rubah?” tanya armadillo.

“Bisakah kamu nanti sore datang ke rumahku? Ada urusan yang perlu kubicarakan denganmu,” kata rubah itu. 

“Apa tidak bisa dibicarakan sekarang?” tanya armadillo.

“Tidak bisa, Armadillo! Aku tidak mau mengganggu pekerjaanmu,” jawab rubah itu. 

“Aku juga tidak mau terlalu lama berpanas-panasan di sini.”

“Baiklah, aku akan datang ke rumahmu nanti sore,” kata armadillo. 

Sore harinya, Armadillo itu datang ke rumah Rubah. Ia disambut dengan gembira oleh Rubah. Ia kemudian disuguhi mate, teh pahit dalam cangkir labu berukir lengkap dengan bombilla, sedotan perak oleh Rubah. 

“Sungguh baik sekali Rubah ini. Ia menjamuku layaknya seorang tamu agung,” kata Armadillo dalam hati. 

“Armadillo, bagaimana hasil panenmu kali ini?” tanya Rubah memulai pembicaraan. 

“Cukup baik, Rubah! Aku menanam kentang serta lobak dan hanya separuh yang bisa kupanen,” kata Armadillo sambil tersenyum. 

“Aku kagum dengan kerja kerasmu, Armadillo,” kata Rubah sambil mengacungkan jempolnya. 

“Tiap hari kau bekerja keras mengolah ladangmu yang kecil, membajak, menebar benih, dan memberi air. Tetapi aku sangat terkejut ketika tahu hasil panenmu sangat sedikit. Seharusnya engkau mendapatkan hasil panen yang lebih baik dari itu,” lanjut Rubah.

“Tidak apa-apa, Rubah! Aku merasa sudah cukup dengan hasil panenku itu,” kata Armadillo.

“Armadillo, bagaimana kalau kau mengerjakan tanah pertanianku yang luas dan subur? Aku yakin kerja kerasmu akan membuat tanah pertanianku memberikan panen yang berlipat ganda. Hasil panen itu kita bagi dua dan aku yakin bagianmu akan lebih banyak dari hasil panenmu yang sekarang,” kata Rubah.

Armadillo terdiam memikirkan penawaran Rubah itu. “Penawaran yang menarik. Tanah Rubah itu cukup subur dan luas. Hasil panennya pasti akan melimpah,” kata Armadillo dalam hati. 

“Aku tertarik dengan penawaranmu, Rubah. Aku akan senang bisa bekerja di tanah yang subur dan luas seperti milikmu, tetapi bagaimana kau membagi hasil panennya denganku? Apakah hasil panen itu dibagi menjadi dua? Satu untukmu dan satu lagi untukku?” tanya Armadillo. 

Rubah itu menggelengkan kepalanya. Ia menganggap bahwa Armadillo itu adalah binatang yang kuat tetapi bodoh. Rubah itu mencari akal bagaimana ia bisa memanfaatkan tenaga Armadillo tanpa perlu membayarnya. Ia kemudian teringat perkataan Armadillo tentang kentang dan lobak. “Aku punya ide yang lebih baik, Armadillo! Hasil panen tetap kita bagi dua, tetapi dengan cara yang berbeda. Jika panen tiba, kau boleh mengambil bagian atas tanaman. Aku akan mengambil bagian bawah tanaman, yang berada di dalam tanah. Aku kasihan jika melihatmu harus menggali tanah lagi untuk mengambil hasil panen,” kata Rubah sambil tersenyum licik. 

Ia membayangkan hasil panen kentang dan lobak yang sangat melimpah. Armadillo sadar bahwa rubah itu berusaha menipunya. “Aku tidak keberatan jika ia hanya membagi sepertiga hasil panennya, tetapi membagi hasil panen berdasarkan bagian tanaman? Bagian atas tanaman untukku dan bagian bawah tanaman untuk Rubah? Rubah itu benar-benar menganggapku seperti orang bodoh. Aku tidak akan menanam lobak dan kentang di tanah itu. Aku akan menanam gandum dan kedelai,” kata Armadillo di dalam hati.

“Baiklah, aku setuju dengan cara pembagianmu. Kapan aku mulai bisa bekerja?” tanya Armadillo.

Rubah itu kegirangan mendengar jawaban Armadillo. Ia lalu berkata, “Kamu bisa bekerja di tanah pertanianku kapan pun yang engkau mau.” 

Mereka kemudian berjabat tangan sebagai tanda setuju dengan perjanjian tersebut. Keesokan harinya Armadillo mulai bekerja di tanah pertanian milik rubah. Ia mulai dari membersihkan tanah pertanian itu dari rumput-rumput liar. Armadillo itu kemudian membajak tanah dengan cangkul, menghilangkan racun-racun yang ada di dalam tanah. Ia juga memperbaiki saluran air yang ada sehingga tanah pertanian itu tidak kekeringan. Rubah sangat senang melihat pekerjaan Armadillo. Tanah pertaniannya yang dulu penuh dengan rumput sekarang nampak lapang dan penuh dengan bedengan-bedengan rapi yang siap tanam. Armadillo bahkan membuatkan pagar mengelilingi tanah pertanian milik rubah itu. Ketika musim panen akan tiba, Rubah merasa malas untuk mengambil hasil panen dari tanah pertaniannya. Ia berencana pergi ke kota agar Armadillo bekerja sendiri mengambil hasil panen.

“Armadillo, aku akan pergi mengunjungi beberapa temanku di kota,” kata Rubah. 

“Berapa lama kau akan berada di kota?” tanya Armadillo. 

“Aku tidak yakin, mungkin 1 atau 2 minggu. Ada beberapa temanku yang mengundangku untuk bermalam di rumahnya,” jawab Rubah. 

“Bagaimana dengan tanah pertanian ini? Sebentar lagi semuanya siap dipanen. Apa aku harus menunggumu kepulanganmu untuk memanen semuanya?” tanya Armadillo lagi. 

“Tidak perlu. Kau bisa memanen semuanya tanpa perlu menungguku. Tapi ingat, akar tanaman adalah milikku dan batangnya adalah milikmu. Jangan sampai keliru!” kata Rubah. 

“Iya, tenang saja, Rubah! Aku tidak akan keliru memanen,” jawab Armadillo sambil tersenyum simpul.

Beberapa hari kemudian tibalah waktunya memanen gandum dan kedelai. Kerja keras Armadillo selama ini ternyata memberikan hasil. Armadillo memanen banyak sekali gandum dan kedelai. Ia juga tidak menemukan bulir kosong di dalam gandum dan kedelai hasil panennya. Armadillo kemudian mengumpulkan hasil panennya dan membawanya pulang. Ia sama sekali tidak menyentuh bagian bawah tanaman, akar tanaman. Satu minggu kemudian Rubah pulang dari kota. Ia sangat terkejut ketika melihat tanah pertaniannya. Banyak sekali sisa-sisa batang gandum berserakan di atasnya. Rubah itu mulai menggali tanah pertanian dan ia hanya mendapati akar-akar gandum dan kedelai yang telah mengering. Ia benar-benar kecewa. Rubah kemudian pergi ke rumah Armadillo. 

“Armadillo, kau mencoba membohongiku, ya? Kenapa tidak ada kentang dan bawang di dalam tanahku? Aku hanya menemukan akar-akar kering seperti ini!” kata Rubah sambil melemparkan akar-akar gandum itu ke pintu rumah Armadillo. 

Armadillo keluar dari rumah. Ia lalu berkata, “Rubah, kenapa kau marah-marah seperti itu? Ayo, masuk ke dalam rumah. Kita bisa membicarakan hal ini secara baik-baik.”

Rubah menuruti perkataan Armadillo. Ia masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Armadillo kemudian menyuguhi Rubah sepotong roti gandum yang besar dan hangat, hasil dari tanah pertanian Rubah.

“Armadillo, apa yang kau tanam di tanah pertanianku? Kenapa aku tidak menemukan kentang dan bawang?” tanya Rubah. 

“Rubah, aku tidak menemukan bibit kentang dan bawang di lumbungmu atau lumbungku. Aku hanya menemukan bibit gandum dan kedelai. Aku akhirnya menanam bibit-bibit itu di ladangmu,” jawab Armadillo. 

“Tetapi kenapa aku tidak mendapatkan gandum dan kedelai itu?” sergah Rubah. 

“Aku mencoba menepati perjanjian kita, Rubah. Hasil panen dibagi dua, bagian atas tanaman untukku dan bagian bawah tanaman, akar tanaman, untukmu,” jelas Armadillo. 

“Baik, baik, aku rasa itu sudah adil, Armadillo!” kata Rubah dengan kesal.

“Tapi untuk panen yang berikutnya, aku mau bagian atas tanaman untukku dan bagian bawah tanaman untukmu,” lanjutnya. 

“Aku setuju,” jawab Armadillo. 

Mereka kemudian berjabat tangan sebagai tanda setuju dengan perjanjian tersebut. Rubah senang dengan perjanjian yang dibuatnya. Ia merasa semua akan berjalan dengan baik. Rubah itu kembali bermalas-malasan di dalam rumahnya. Ia tidak pernah lagi mengunjungi tanah pertaniannya dan tidak tahu tanaman apa yang disemai Armadillo di tanah pertaniannya. Waktu panen tiba. Rubah pergi ke tanah pertaniannya. Ia melihat Armadillo sedang mengangkuti kentang dan bawang. 

“Armadillo, apa yang kau tanam di tanahku sekarang?” tanya Rubah sambil menggaruk-garuk kepalanya. 

“Aku menanam kentang dan bawang,” jawab Armadillo.

“Kenapa kau tidak menanam gandum dan kedelai?” tanya Rubah lagi. 

“Ini bukan waktu yang baik untuk menanam gandum dan kedelai. Bulir-bulirnya akan banyak yang kosong. Ini musim yang baik untuk menanam kentang dan bawang,” jelas Armadillo. 

“Aku hanya mengambil panen bagianku, tanaman bagian bawah, Rubah! Aku juga telah membantumu mengambil panen bagianmu. Aku telah menatanya di sana,” lanjut Armadillo sambil menunjuk tumpukan daun kentang dan bawang. 

Rubah terdiam mendengar penjelasan Armadillo. “Armadillo yang cerdas! Aku mencoba menipunya, ia malah menipuku dua kali! Aku harus berpikir lebih keras untuk menipunya,” kata Rubah dalam hati.

Tiba-tiba terlintas pikiran jahat di kepala Rubah. 

“Armadillo, pembagian hasil panen kali ini sudah cukup adil. Hanya saja lumbungku belum terisi penuh. Bagaimana kalau mengerjakan tanah pertanianku sekali lagi?” pinta Rubah.

“Baik, aku akan mengerjakan tanah pertanianmu sekali lagi. Lumbungku juga belum penuh,” jawab Armadillo. 

“Tapi ada syaratnya!” kata Rubah. 

“Syarat apa, Rubah?” tanya Armadillo. 

“Bagian atas dan bawah dari tanaman hasil panen adalah milikku. Kau boleh mengambil apa saja yang ada di bagian tengah tanaman. Bagaimana?” kata Rubah sambil tersenyum licik.

“Aku setuju,” jawab Armadillo. 

Mereka kemudian berjabat tangan sebagai tanda setuju dengan perjanjian tersebut. Keesokan harinya, Armadillo mulai bekerja mengolah tanah pertanian milik Rubah. Ia membersihkan sisa-sisa hasil panen, membajak tanah, dan mulai menabur benih. Sementara itu, Rubah tetap saja bermalas-malasan. Ia merasa bahwa perjanjian yang dibuatnya dengan Armadillo akan sangat menguntungkan dirinya.

“Bagian atas dan bawah tanaman adalah bagianku. Jika Armadillo menanam gandum, aku akan mengambil semuanya! Jika Armadillo menanam kentang, aku juga akan mengambil semuanya! Armadillo yang malang!” kata Rubah dalam hati. 

Tiga bulan berlalu dari perjanjian terakhir antara Rubah dan Armadillo. Tibalah waktu untuk panen. Rubah berjalan dengan riang ke arah tanah pertaniannya. Ia membayangkan akan membawa berkarung-karung gandum atau kentang. Lamunan Rubah itu buyar ketika melihat Armadillo sedang memanen jagung di tanah pertaniannya. Seperti yang kita tahu, jagung tidak tumbuh di bagian atas tanaman dan juga di bagian bawah tanaman, melainkan di tengah-tengah tanaman/batang tanaman. Armadillo tersenyum ketika melihat kedatangan Rubah. Ia lalu menghampiri rubah itu dan berkata, “Seandainya kau tidak berusaha menipuku, aku tidak berkeberatan untuk membagi semua hasil panenan ini. Kau sendiri yang membuat keadaan menjadi rumit.”

“Kau sungguh beruntung memiliki tanah pertanian yang luas dan subur, tetapi semua akan menjadi sia-sia jika kau tidak mau bekerja keras mengolahnya,” lanjut Armadillo. 

Rubah itu terdiam mendengar nasihat Armadillo. Ia menunduk dan ketika akan berkata sesuatu, Armadillo itu memotongnya, “Saat ini aku merasa sangat lelah sekali. Aku akan pulang, beristirahat sambil memakan jagung di rumah.” 

Armadillo kemudian berjalan pulang ke rumah sambil membawa gerobak yang penuh dengan berkarung-karung jagung. 

***
Melany selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Argentina," kata Melany.

Melany menaruh buku di meja. Melany mengambil remot di meja, ya segera menghidupkan Tv lah. di pilihlah chenel Tv yang menarik, acara Kopi Viral yang ada Melaney Ricardo dan kawan-kawan.

"Kopi Viral..bagus seperti biasanya," kata Melany memuji.

Melany terus menonton Tv dengan baiklah.

PENYIHIR DAN BURUNG BULBUL

Mely selesai mengerjakan PR-nya, ya keluar dari kamarnya. Mely pun  ke ruang tengah. Vicky, ya adiknya Mely. Vicky yang belum sekolah, ya belum memahami isi buku cerita di pegangnya. Vicky memberikan buku kepada Mbaknya Mely dan berkata Vicky "Mbak bacain buku cerita ini!"

"Iya," kata Mely sambil mengambil buku dari tangannya Vicky.

Mely dan Vicky duduk di karpet dengan baik. Mely membuka buku membaca judul buku tersebut " Penyihir dan Burung Bulbul.....asal cerita dari Jerman."

Andy menganguk saja mendengarkan omongan Mbaknya yang mulai bercerita. Mely terus membacakan dengan baik cerita yang ada di buku.

Isi buku yang di baca Mely ke Vicky :

Di dalam hutan ada sebuah kastil tua. Kastil itu ditinggali oleh seorang penyihir jahat. Pada siang hari, penyihir itu mengubah dirinya menjadi seekor burung hantu. Penyihir itu sangat pandai memanggil para binatang. Binatang-binatang akan datang ke kastilnya saat penyihir itu membuat suara-suara indah seperti nyanyian burung. Binatang yang datang ke kastilnya tidak akan pernah bisa kembali lagi. Binatang-binatang itu dijadikan makanan oleh penyihir jahat tersebut.

Saat ada orang yang mendekat ke kastilnya, orang itu tidak akan pernah bisa kembali lagi. Penyihir itu akan menyihirnya menjadi seekor burung bul-bul. Sudah ada ribuan burung bul-bul yang ada di dalam kastil penyihir itu. Burung-burung itu dikurung di dalam sangkar. Suatu hari, seorang gadis dan tunangannya sedang berjalan-jalan di dalam hutan. Tunangannya mengingatkan gadis itu agar jangan mendekat ke kastil si penyihir. Namun, ada suara indah yang terdengar dari sana. Gadis dan tunangannya itu tak sadar telah berada di depan kastil si penyihir.

“Kenapa kita ada di depan kastil penyihir? Rupanya penyihir itu telah membuat kita datang ke sini,” ucap tunangan gadis itu.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya sang gadis.

Mereka sama sekali tak bisa bergerak. Saat itulah seekor burung hantu tiba di tempat mereka berada. Burung hantu itu adalah penyihir jahat. Ia langsung mengubah dirinya menjadi seorang penyihir. Penyihir itu sangat suka dengan si gadis. “Kau gadis yang sangat cantik,” ujarnya.”Kau akan aku ubah menjadi burung bul-bul yang cantik.”

Tunangan gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia menyaksikan sendiri gadis itu berubah menjadi burung  bul-bul. Penyihir langsung memasukkan burung bul-bul tersebut ke dalam sangkar.

“Lepaskan gadis itul” seru tunangan sang ladis.

Penyihir itu hanya terkekeh. Ia amat senang nemiliki burung bul-bul yang cantik. Ia akan menaruh burung bul-bul itu di dalam kastilnya.

“Burung ini akan menemaniku. Lebih baik kau pergilah, daripada mati di sini,” ancam si Penyihir.

Penyihir itu lalu mengucapkan mantra, dan sejurus kemudian si pemuda bisa bergerak kembali. Si Penyihir mengusir pemuda itu dari kastilnya. Pemuda itu sangat sedih. Ia tak bisa berbuat apa-apa saat gadis tunangannya dibawa oleh penyihir jahat itu.

Pemuda itu lalu pergi meninggalkan kastil. Ia akan mencari cara untuk membebaskan tunangannya dari cengkeraman penyihir. Ia kembali ke desanya. Kembali menggembalakan domba-domba miliknya seperti biasanya. Setiap hari pemuda itu selalu memikirkan gadis yang sudah disihir menjadi burung bul-bul. Ia melihat dari kejauhan kastil penyihir itu.

“Aku pasti bisa menemukan cara untuk mengalahkan penyihir itu,” gumam pemuda tersebut.

Pemuda itu terus saja memandangi kastil penyihir jahat. Ingin sekali ia pergi ke sana, lalu membebaskan tunangannya. Tapi, sampai saat ini ia belum menemukan caranya.

Saat sedang menggembalakan domba-dombanya, pemuda itu tertidur. Ia bermimpi menemukan sekuntum mawar yang berwarna merah darah. Di tengah kelopak mawar, terdapat mutiara besar yang indah.

“Bunga mawar berwarna darah inilah yang akan mengalahkan penyihir itu.” ucap sebuah suara.

Pemuda itu seketika terbangun dari tidurnya. Ia amat bahagia, meskipun mimpi itu belum tentu menunjukkan kebenaran.

“Aku harus mencari bunga mawar itu,” ucap si pemuda. Kemudian ia pergi ke dalam hutan. Mencari bunga mawar berwarna merah darah. Namun, tak jua ia menemukannya. Meskipun begitu, ia tak putus asa. Sebab hanya itulah satu-satunya harapan yang ia punya.

Pada hari ke sembilan, pemuda itu berhasil mendapatkan apa yang ia cari. Betapa bahagianya ia. Setelah bersusah payah, bunga berwarna merah darah berhasil ditemukannya. Di tengah kelopak bunga itu ada air yang membentuk seperti mutiara.

“Sepertinya inilah bunga yang aku cari,” ucap pemuda itu. Ia pun Iangsung memetiknya. Ia ingin segera membawanya ke kastil penyihir jahat.

Usai memetik bunga berwarna merah darah itu, si pemuda langsung menuju ke kastil penyihir. Ajaib, sesampainya di depan kastil, pemuda itu tetap bisa berjalan.Tak seperti dulu saat ia berada di sana bersama tunangannya. Pemuda itu segera masuk ke dalam kastil penyihir. Olala… sungguh kaget pemuda itu. Rupanya ada ribuan burung bul-bul di dalam kastil tersebut. Burung-burung itu adalah jelmaan manusia yang disihir oleh penyihir jahat. Penyihir itu sedang asyik memberi makan burung-burung tersebut. Ia sangat kaget saat mengetahui pemuda itu sudah berada di dalam kastilnya.

Pemuda itu memperhatikan setiap burung bul-bul. Ia jadi bingung, burung mana yang merupakan jelmaan gadis tunangannya. Tiba-tiba, si penyihir mengambil sebuah sangkar berisi burung bul-bul. Si Pemuda menduga kuat burung di dalam sangkar itulah yang merupakan jelmaan tunangannya. Si Penyihir mencoba menyihir pemuda tersebut. Namun, sihirnya sama sekali tak mempan. Malah penyihir itu yang tiba-tiba menghilang. Rupanya, bunga mawar itu telah membuat penyihir lenyap tak berbekas.

Alangkah senang hati pemuda itu. Ia langsung menempelkan bunga mawar itu pada sangkar gadis tunangannya. Seketika gadis itu berubah menjadi manusia kembali. Setelah itu, ia menyentuhkan bunga mawar itu ke setiap sangkar. Ajaib! Burung-burung itu kembali berubah menjadi manusia. Ada ribuan manusia di sana. Mereka mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu. Sebab berkat jasanya, mereka bisa berubah kembali menjadi manusia. Setelah itu pemuda tersebut membawa gadis tunangannya kembali. Akhirnya mereka hidup bahagia di kampung halaman mereka.

***

Mely terus membaca buku sampai menjelaskan pesan moralnya "Tak ada usaha yang sia-sia. Jika berusaha keras melakukannya, pasti akan ada hasil yang bisa diraih. Bantulah teman saat sedang mengalami kesulitan. Meskipun kau harus bekerja keras untuk mencari caranya."

Andy memahami cerita yang bacakan dengan baik sama Mbak Mely. Ya Mely selesai membaca bukunya dan buku di tutup. Mely menaruh buku di meja dan mengambil buku tulis dan juga pensil.

"Andy waktu belajar matematika," kata Mely.

"Iya...Mbak," kata Andy.

Mely memberikan buku tulis dan pensil ke pada Andy. Ya Andy mengambil buku tulis dan pensil dari tangan Mbaknya Mely. Mulailah Mely mengajarkan matematika, ya hitunganlah kepada Andy.

JACK SI PEMALAS

Windy duduk bersama adiknya Andi di ruang tengah. Windy mengambil buku di meja.

"Mbak akan membacakan cerita dari asalnya Inggris yang Jack Si Pemalas," kata Windy.

"Iya Mbak," kata Andy.

Windy membaca buku cerita pada adiknya Andy belum sekolahlah. Dengan seksama Andy mendengarkan cerita Windy.

Isi cerita yang ceritakan sama Windy ke Andy :

Ada seorang anak laki-laki yang tinggal bersama ibunya. Anak laki-laki itu bernama Jack. Setiap hari, ibunya selalu bekerja untuk mencukupi kebutuhan mereka. Sementara Jack hanya duduk bermalas-malasan di rumahnya. Melihat hal itu, ibunya menjadi kesal. Jack sudah dewasa, jadi sudah waktunya ia mencari pekerjaan dan menghidupi dirinya sendiri.

“Carilah pekerjaan, jangan malas seperti itu,” ucap ibunya.

Hari itu ibunya memarahi Jack. Setelah itu Jack pun bangkit dari tempat duduknya, lalu langsung keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Jack mendatangi rumah pak tani. Di sana ia membantu petani di ladang. Petani itu memberikan upah pada Jack. Sungguh senang hati Jack. Namun karena tak berhati-hati, uang pemberian petani itu jatuh di jalan. Terpaksa Jack pulang tanpa membawa apa pun. Sesampainya di rumah, Jack bercerita kepada ibunya bahwa uang miliknya hilang.

“Harusnya kau menaruh uang itu di saku bajumu,” seru ibunya.

“Lain kali aku akan melakukan itu, Bu,” jawab Jack.

Keesokan harinya, Jack kembali bermalas-malasan. Ibunya kembali menyuruh Jack untuk mencari pekerjaan. Jack lalu pergi keluar untuk mencari pekerjaan. Ia bertemu dengan penjual roti. Jack membantu si penjual roti untuk menjajakan roti-roti itu. Penjual roti memberikan kucing miliknya sebagai imbalan untuk Jack. Jack menggendong kucing itu. Namun, kucing itu terlihat galak. Saat Jack memeluknya, kucing itu malah mencakar tangan Jack. Jack buru-buru melepaskan kucing itu. Kemudian kucing itu lari entah ke mana. Akhirnya lagi-lagi Jack pulang tanpa membawa apa pun.

“Ibuku pasti akan memarahiku,”  gumam Jack, sedih.

Jack kembali berjalan ke rumahnya. Wajahnya terlihat kusut. Tentu saja, sebab seharusnya ia membawa seekor kucing untuk ibunya. Tetapi, ia tak bisa menjaga kucing itu sehingga kucing itu kabur. Setibanya di rumah, Jack menceritakan hal tersebut kepada ibunya. Ibunya hanya menggeleng-geleng. Ia merasa anaknya sungguh bodoh.

“Harusnya kau mengikat kucing itu dengan tali. Lalu, kau menuntunnya. Pasti kucing itu tidak akan kabur dan tidak akan mencakarmu,” ucap ibunya.

“Lain waktu aku akan melakukan hal itu, Bu,” jawab Jack. Kemudian ia pergi ke kamarnya. Ia berniat untuk pergi bekerja lagi besok, dan akan mendengarkan perkataan ibunya.

Keesokan harinya, ibunya tak memarahi Jack. Jack sudah siap pergi bekerja. Setelah sarapan, ia pun Iangsung berangkat. Hari ini Jack bekerja pada seorang penjual daging. Ia membantu penjual daging memotong hewan. Penjual daging sangat senang. Jack terlihat sangat rajin bekerja. Penjual daging lalu memberikan upah kepada Jack berupa sepotong daging sapi yang besar. Jack sangat senang. Ia teringat dengan perkataan ibunya saat Jack kehilangan kucingnya. Jack mengikat daging itu seperti seekor kucing. Ia lalu menariknya sampai ke rumahnya. Sesampainya di rumah, daging itu sudah hancur. Ibunya menjadi semakin sedih melihat itu.

“Harusnya kau membawa daging itu, bukan menariknya,” keluh ibunya.

“Lain kali akan aku lakukan itu, Bu.” ucap Jack.

Jack belum bisa membahagiakan ibunya dengan pekerjaannya. Ia selalu gagal mendapatkan sesuatu. Esok ia berharap tidak akan gagal lagi. Hari ini ibunya mengharuskan Jack memanggul apa pun yang dia dapatkan. Jack hanya mengangguk setuju. Ia akan melakukannya hari ini. Jack kembali pergi bekerja. Ia bekerja pada seorang peternak keledai. Ia harus memberi makan banyak keledai. Melihat Jack yang bekerja dengan rajin, si peternak memberikan Jack imbalan seekor keledai.

Jack teringat perkataan ibunya. Ia akan memanggul apa yang ia peroleh hari ini. Jack pun memanggul keledai itu. Keledai itu terus saja meringkik dan menendang-nendang pundak Jack. Namun, Jack tak peduli. Ia akan memberikan keledai itu kepada ibunya. Jalan yang harus dilewati Jack cukup jauh. Ia melewati rumah seorang gadis yang selalu bersedih. Gadis itu tak pernah mau tertawa dan berbicara. Hingga orangtuanya jadi sangat sedih. Selama ini tak ada yang mampu membuat gadis itu tertawa.

Gadis itu sedang duduk di kamarnya. Ia melihat ke arah jendela. Olala… ia melihat Jack yang sedang memanggul seekor keledai. Hal itu terlihat sangat konyol. Keledai itu terus saja menendang-nendang Jack. Namun, Jack sama sekali tak peduli. Tanpa sadar, gadis itu tertawa. Olala… melihat hal itu, orangtua si gadis sangat senang. Bahkan, gadis itu mau berbicara dan meminta agar Jack dipanggil ke rumahnya. Jack pun segera dipanggil ke rumah gadis itu. Orangtua gadis itu kemudian meminta Jack untuk menikahi gadis tersebut. Jack sangat terkejut. Tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa ia akan menikahi gadis yang kaya raya.

Jack lalu pulang ke rumahnya dengan memanggul seekor keledai. Ibunya juga tertawa melihat tingkah Jack. Jack menceritakan semuanya kepada ibunya. Alangkah senang hati sang ibu. Itu artinya Jack akan menjadi orang yang kaya raya. Jadi Jack tak perlu bekerja pada orang lain lagi. Akhirnya Jack pun menikah dengan gadis itu. Kini hidupnya tak miskin lagi. Jack selalu bisa membuat gadis itu tertawa dengan tingkahnya. Jack juga membawa ibunya ke rumah barunya. Akhirnya mereka pun hidup bahagia.

***

Windy pun menjelaskan dengan baik pesan moral dari cerita "Bekerja keraslah untuk kehidupan yang lebih baik. Jangan malas bersekolah biar kamu bisa menjadi anak yang pintar."

Andy senang mendengarkan cerita dari Windy. Karena cerita telah selesai, ya Windy menutup bukunya dan buku di taruh di meja. Windy mengajak adiknya Andy, ya keluar dari ruang tamu untuk main di halaman, ya main sepedah.

BROTHER AND SISTER

Alfian dan Diana sedang latihan silat halaman samping rumah. Ayah membimbing dengan baik Alfian dan Diana sampai keduanya benar-benar menguasai jurus-jurus dari ilmu silat. Sekitar satu jam berlalu. Latihan silat pun selesai. Diana, ya beres-beres dirilah di kamarnya. Ayah juga beres-beres diri di kamar Sedang Alfian duduk santai, ya sambil baca buku.

Isi buku yang di baca Alfian :

Pada zaman dahulu kala di satu daerah di negara Jerman. Hiduplah seorang anak laki-laki dan anak perempuan yang tinggal dengan ibu tiri mereka yang jahat. Selain jahat ibu tiri mereka adalah seorang penyihir. Karena merasa tersiksa hidup dengan ibu tirinya mereka memutuskan untuk melarikan diri dari rumah. Mereka berkeliaran dari satu desa ke desa lain dan bermalam di hutan. Pada suatu hari anak laki-laki itu haus, sehingga mereka pergi mencari sumber air yang jernih. Tetapi ibu tiri mereka telah mengetahui keberadaan mereka, dan telah menyihir semua mata air di hutan.

Anak laki-laki itu bersiap untuk minum di satu mata air, namun saudara perempuannya mendengar bagaimana suara desahan mata air berkata “Siapa pun yang minum dari saya akan menjadi harimau”.

Segera, gadis itu meminta kakaknya untuk tidak minum dari mata air, jangan sampai dia berubah menjadi harimau dan merobeknya berkeping-keping. Jadi mereka melanjutkan perjalanan, tetapi ketika mereka datang ke mata air kedua, gadis itu kembali mendengar mata air berkata, “Siapa pun yang minum dari saya akan menjadi serigala”.

Sekali lagi, dia berusaha keras untuk mencegah kakaknya minum dari mata itu. Dengan enggan sang kakak akhirnya menyetujui permintaan adiknya namun dengan syarat bahwa dia akan minum dari mata air berikutnya yang mereka temui.

Merekapun tiba di mata air ketiga, dan gadis itu tidak sengaja mendengar teriakan dari mata air, “Siapa pun yang minum dari saya akan menjadi rusa”. Tapi itu sudah terlambat, karena kakaknya mulai berubah menjadi rusa.

Ketika perasaan putus asa sudah mulai hilang, mereka memutuskan untuk tinggal di hutan selamanya. Gadis itu akan merawat kakaknya, dan mengikat rantai emasnya di leher kakaknya. Mereka pun tinggal di sebuah rumah kecil jauh di dalam hutan dan tinggal di sana dengan bahagia selama beberapa tahun, sampai mereka satu hari tergangu oleh pesta berburu Raja.

Di dlam hutan tersebut Raja bertemu dengan si gadis yang cantik. Setelah melihat gadis cantik itu, Sang Raja segera memintanya untuk menikah dengannya, dan si gadis menerimanya dengan syarat dia akan membawa kakaknya. Jadi dia menjadi ratu dan mereka semua hidup bahagia di istana raja. Waktu berlalu dan ratu melahirkan seorang putra.

Ibu tiri mereka si penyihir, khirnya mengetahui  bahwa mereka masih hidup. Dia berencana akan membunuh ratu. Suatu malam, si penyihir memantrai roh ratu dan menggantikannya dengan anak perempuannya yang cacat, yang telah dia ubah mirip dengan sang ratu. Ketika roh ratu diam-diam mengunjungi tempat tidur bayinya selama tiga malam berturut-turut, raja bertemu dengannya dan rencana jahat ibu tiri sng ratu terungkap.

Sang ratu kembali hidup dan keluarga tirinya dihukum atas kejahatan mereka. Anak perempuan itu dibuang ke hutan, di mana ia diterkam oleh binatang buas, dan ibu tiri dibakar di tiang pancang. Tepat pada saat kematiannya, anak laki-laki itu menjadi manusia lagi, dan akhirnya keluarga itu bersatu kembali. Mereka semua hidup bahagia selamanya.

***

Alfian terus membaca bukunya sampai pesan moralnya "Harus saling sayang menyayangi dengan saudara kandung, karena merekalah yang akan membantu kita disaat kesusahan."

Alfian memahami apa yang ia baca dan buku di tutup.

"Cerita yang bagus asal dari Jerman," kata Alfian.

Alfian beranjak dari duduknya, ya masuk ke dalam rumah sambil membawa buku. Sampai di ruang tengah, ya buku di taruh di rak buku sama Alfian.

"Beres-beres diri ah!" kata Alfian.

Alfian ke kamarnya untuk beres-beres diri, setelah latihan silat lah.

POOKA

Sonya selesai membantu ayah dan ibu, ya berjualan seharian. Sonya duduk santai di ruang tamu. Ada buku di meja, ya Sonya ambil dan segera di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Sonya :

Senja telah tiba. Ini menjadi waktu yang sangat ditakuti warga desa. Saat seperti ini menjadi waktu bagi Pooka untuk berkeliaran menampakkan diri. Pooka adalah sejenis peri bungkuk yang bisa berubah menjadi binatang. Dia bisa berupa kuda dengan mata bersinar terang, berupa kelinci yang memakan hasil bumi, atau berupa sapi yang menghancurkan ladang pertanian. Dia meresahkan semua orang.

“Jika ada suara yang memanggil namamu, jangan didengarkan,” kata Pak Moore menasihati anaknya.

“Apakah dia berbahaya untuk keselamatan kita, Pak?”

“Ya, mereka yang dibawa pooka tidak bisa kembali ke desa lagi. Itu yang biasanya terjadi,” tutur Pak Moore, sedih.

“Lalu orang-orang yang dibawa oleh mereka itu diapakan, Pak?” Anak lelaki itu menatap Bapaknya, penuh rasa ingin tahu.

“Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pernah bercerita tentang itu.” Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya, seolah ingin menghapus kenangan lama.

Apabila mengintip dari pagar rumahnya, malam ini akan menjadi malam yang indah. Bulan mulai muncul dengan sinarnya yang terang. Bintang juga sudah menampakkan diri satu per satu. Namun, kehadiran Pooka membuat malam ini menjadi malam yang meresahkan.

“Phadraig…” Sebuah suara lembut, terdengar memanggil nama seseorang.

“Menjauhlah dari pagar itu, Nak. Tutup telingamu rapat-rapat,” Pak Moore berkata, tegas. Ia tidak ingin anak lelakinya dipengaruhi oleh suara-suara Pooka yang halus terdengar. Phadraig menuruti perkataan Bapaknya. Dia menutup telinganya rapat-rapat.

“Apakah mereka tahu kalau aku tadi mengintip dari balik lubang di pagar?” Phadraig mendekati Bapaknya, berbisik di telinganya.

“Mungkin juga,” Pak Moore tersenyum untuk menenangkan anaknya “dia juga bisa mendengar apa yang baru saja kamu katakan.” Pak Moore tersenyum lebih lebar. Dia tidak ingin anak lelakinya menjadi penakut. Phadraig ikut tersenyum ketika melihat Bapaknya mulai bergurau.

“Aku masih penasaran, Pak. Makhluk itu bentuknya seperti apa,” gumam Phadraig lagi. Dia kembali mendekati pagar rumahnya. Dari celah lubang, dia melihat seekor kuda berwarna coklat kehitaman. Tubuhnya tinggi dan besar. Terlihat gagah dengan matanya yang bersinar terang.

“Wow … Aku ingin punya kuda seperti itu, Pak.” Phadraig menoleh kepada Bapaknya. Ia berharap Bapaknya juga mau melihat kuda gagah itu melalui lubang di pagar rumahnya, seperti yang dia lakukan.

“Phadraig…” Suara itu terdengar kembali. Phadraig tersentak kaget. Kali ini suara itu seolah-olah sangat dekat dengan telinganya. Setengah berlari, dia kembali mendekati Bapaknya.

“Jangan kau dengarkan! ” kata Bapaknya lagi. Phadraig menutup telinganya dengan kedua tangan. Pooka seperti berada di luar dinding rumah mereka. Langkahnya terdengar jelas. Berjalan bolak-balik di sekitar rumah mereka. Pak Moore dan Phadraig mendengarkan dalam diam. Setelah beberapa saat, suara itu berjalan menjauh. Meninggalkan rumah mereka.

“Kalau kita dengarkan suara mereka, apa yang akan terjadi, Pak?”

“Kita bisa terpengaruh dan mengikuti ajakan mereka. Kalau sudah begitu, dia akan membawa kita dengan mudah.”

Phadraig terdiam. Dibawa pergi dari kampung dan tidak kembali. Dia sama sekali tidak menginginkannya. Dia tidak mau jauh dari Bapaknya. Kalau tidak ada dirinya, siapa lagi yang akan membantu pekerjaan Bapaknya di ladang. Lagi pula, kalau diajak pergi untuk bertamasya, tentu menyenangkan, tapi Pooka membawa orang-orang untuk menjadi korbannya. Iiih…sungguh mengerikan. Phadraig bergidik.

Malam itu mereka habiskan dengan bercengkrama, hingga bapak dan anak itu lelah bercerita dan terlelap dengan mimpi masing-masing. Di luar, bulan bersinar indah. Hawa seram sudah hilang terbawa angin malam.

Pagi itu, kampung mereka dihebohkan oleh kabar rusaknya kebun milik Pak Ruben. Tanaman gandumnya hancur. Pak Ruben tampak sedih, memandangi ladangnya. Jerih payahnya selama ini sia-sia. Keluarga mereka tidak akan panen gandum tahun ini, yang artinya keluarga mereka tidak punya persediaan makanan lagi. Pak Moore berusaha menghibur Pak Ruben. Dia dan Phadraig membantu mengambil biji gandum yang masih ada, walaupun belum cukup waktu untuk dipanen. Warga desa juga semakin khawatir. Mereka takut ladang mereka akan menjadi sasaran pada malam berikutnya.

Suatu sore Phadraig baru pulang dari ladangnya. Bapaknya sudah lebih dulu pulang. Dia tadi pamit untuk bermain-main sebentar dengan kawan-kawannya. Namun, dia lupa waktu. Matahari sudah tergelincir dan dia baru menyadarinya. Kawan-kawannya hanya tinggal beberapa. Rumah Phadraig yang paling jauh dari sungai, tempat dia dan kawan-kawannya bermain. Dia harus menyusuri beberapa ladang milik warga seorang diri. Senja nyaris tiba, dia merasa sangat khawatir. Apalagi waktu yang berbahaya hampir tiba.

Dari kejauhan Phadraig melihat seekor binatang mendekat ke arahnya. Sepertinya seekor kuda. Phadraig segera bersembunyi. Senja adalah saat di mana pooka mulai mencari mangsa. Dia semakin khawatir ketika tetesan air dari langit satu per satu jatuh mengenai tubuhnya. Hujan datang. Dia pun bergerak mencari persembunyian yang lebih aman. Aman dari air hujan juga aman dari Pooka.

Dari tempatnya bersembunyi, Phadraig berharap kuda itu cepat melewatinya, sehingga dia bisa berlari pulang ke rumah tanpa diketahui Pooka. Bapaknya pasti gelisah menanti kepulangannya. Namun, tiba-tiba kuda itu jatuh tersungkur di depannya. Phadraig terkejut. Kuda itu tergeletak tak berdaya. Phadraig kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Lari atau menolong kuda itu. Jika dia lari, maka dia akan terhindar dari bahaya. Tapi, dia merasa kasihan melihat kuda itu tak berdaya. Lama Phadraig berpikir, apakah ini salah satu cara Pooka untuk menjebak manusia. Phadraig bergidik takut. Dia harus lari, itu keputusannya. Namun, kakinya tidak bisa bergerak sama sekali, seakan tertancap kuat di bumi. Phadraig semakin ketakutan.

“Tolong ... aku,” Kuda itu tiba-tiba berseru.

Phadraig terperanjat. Jantungnya hampir copot. Dia tidak menyangka jika kuda itu berbicara kepadanya. Walaupun dia pernah mendengar suaranya tempo hari, namun itu hanya samar-samar. Tiba-tiba, sesosok bayangan berdiri di samping Phadraig.  Phadraig kembali tersentak. Dia spontan memejamkan matanya kuat-kuat. Habis sudah umurnya, kini. Pooka benar-benar datang untuk mengambilnya.

“Kamu tidak apa-apa, Nak?” Sebuah suara yang dia kenal, terdengar jelas di telinganya. Ya, itu suara Bapaknya. Dia merasa lega Bapaknya ada di sini.

“Bapak khawatir denganmu, Nak,” lanjut Pak Moore.

“Tolongah aku, Tuan,” si Kuda kembali bersuara.

Tanpa menghiraukan rintihan sang Kuda, Pak Moore bergegas mengajak Phadraig pergi dari tempat itu. Namun, langkah kedua orang itu seperti dibebani beban yang berat. Kaki mereka tidak bisa melangkah. Apakah ini pengaruh kekuatan Kuda Pooka itu, Pak Moore bertanya dalam hati. Ya, Tuhan. Tolonglah kami, batin Pak Moore memohon. Jangan-jangan ini hanya cara Kuda Pooka untuk menjebak kami, Pak Moore masih berbicara pada dirinya sendiri. Namun, setelah berpikir sejenak, Pak Moore merasa tidak punya pilihan lain. Akhirnya dia memilih untuk menolong si Kuda Pooka itu.

Bersama Phadraig, Pak Moore memeriksa sang Kuda. Dia mendapati kaki Kuda itu berdarah. Pak Moore tidak tahu mengapa dan tidak ingin bertanya. Keinginannya hanya ingin segera menolong Kuda itu dan pulang ke rumah. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi dengan mereka berdua. Saat membantu bapaknya memeriksa sang Kuda, Phadraig  dapat melihat dengan jelas jika Kuda itu tidak berwarna coklat kehitaman seperti yang dia intip dari balik pagar tempo hari. Kuda ini berwarna hitam. Hitam yang legam. Rambut di atas lehernya juga hitam. Terlihat mengkilat diterpa temaram cahaya bulan. Dengan sekuat tenaga, Phadraig dan Pak Moore berusaha membawa Kuda hitam ke gubuk kecil yang ada di dekat tempat itu. Namun, tenaga yang mereka miliki tidak berarti apa-apa. Kuda besar itu tidak bergeser sedikit pun dari tempatnya.

“Carilah daun shamrock yang tumbuh di dekat sungai. Hanya daun itu yang bisa menyembuhkan kakiku,” Kuda hitam itu kembali berbicara. Matanya yang berkilat, kini tanpak redup. Phadraig merasa kasihan.

“Aku saja yang mencari daun itu, Pak. Aku tadi memetiknya beberapa, tapi aku sudah membuangnya dijalan.” Phadraig segera mencari daun yang tadi dibuangnya. Sementara itu Pak Moore membersihkan luka dan membalutnya dengan sobekan bajunya.

“Mengapa kalian begitu takut kepada kami,” si Kuda hitam membuka pembicaraan.

“Ya, kalian adalah makhluk pengganggu manusia. Kalian menghancurkan ladang, memangsa ternak, memorak-porandakan desa. Sungguh, kami tidak ingin melihat kalian ada di desa kami lagi,” Pak Moore berkata dengan berapi-api. Dia teringat keluarga Pak Ruben yang ladangnya hancur karena ulah Pooka. Dia juga teringat istrinya.

“Tidak semua dari kami seperti yang anda katakan, Tuan,” kata Kuda hitam itu, sambil merintih.

“Pak, aku mendapatkannya.” Phadraig datang tergopoh-gopoh membawa tiga lembar daun shamrock di tangannya.

Pak Moore segera meremas-remas daun berbentuk tiga hati itu, lalu menempelkannya di kaki sang Kuda hitam. Ajaib, dalam sekejap luka di kakinya sembuh. Kuda itu mencoba berdiri. Ia mulai berjalan ke kanan dan ke kiri seperti tidak merasakan sakit lagi.

“Terima kasih banyak. Kalian berdua telah menolongku. Sekarang, bolehkah aku ikut dengan kalian?” tanya sang Kuda, riang.

“Tidak!” Spontan Pak Moore menolak permintaan si Kuda hitam. “Eeemmm, maksudku, rumah kami tidak memiliki tempat untukmu menginap. Rumah kami sangat kecil, hanya cukup untuk kami berdua saja.”

“Aku bisa tinggal di lumbung gandummu, Tuan yang baik hati,” sang Kuda berusaha membujuk Pak Moore. “Aku tidak seperti peri-peri yang lain, Tuan. Percayalah padaku,” lanjut Kuda hitam itu lagi.

Pak Moore berpikir sejenak. Dia juga tidak mempunyai persediaan gandum yang banyak. Jadi, ada ruang untuk Kuda hitam ini. Pak Moore menoleh ke arah Phadraig . Anak laki-lakinya tampak setuju jika Kuda hitam itu ikut pulang ke rumah.  Akhirnya, Pak Moore mengizinkan Kuda hitam itu ikut bersama mereka. Phadraig senang sekali. Selama ini dia ingin punya seekor kuda untuk membantu pekerjaan mereka di ladang, maupun di lumbung gandum mereka. Tapi, dia menginginkan kuda yang sesungguhnya, bukan Kuda Pooka.

Sesampai di rumah, Pak Moore membawa sang Kuda hitam ke lumbung gandumnya. Dia meninggalkan Kuda itu tanpa mengunci pintu lumbung kembali. Dia berharap, sebelum matahari terbit Kuda itu sudah pergi dari lumbung gandumnya. Namun, keesokan harinya, sebelum berangkat ke ladang bersama Phadraig, dia menengok lumbung gandumnya. Dia melihat Kuda hitam itu masih tidur lelap. Dia tidak tega membangunkan Kuda itu. Maka, selama perjalanan ke ladang, Pak Moore menasihati Phadraig untuk tidak bercerita apapun kepada orang lain.

“Phadraig, kau jangan berkata apa-apa pada orang lain, kalau ada Pooka di rumah kita. Mereka bisa membakar lumbung gandum kita. Hanya itu persediaan makanan yang kita punya. Kalau lumbung itu sampai dibakar, kita tidak akan punya apa-apa.” Phadraig mengangguk mengerti.

Dalam hati, dia sebenarnya ingin bercerita pada kawan-kawannya, kalau kemarin senja ada seekor Pooka yang diselamatkannya, dan sekarang berada di lumbung gandum mereka. Dia ingin menunjukkan kepada kawan-kawannya bentuk Pooka yang sesungguhnya. Pooka yang selama ini ditakuti banyak orang, ternyata tidak menyeramkan seperti cerita orang-orang. Namun, Phadraig bersedia diam demi keselamatan mereka berdua.

Mereka bekerja dengan giat di ladang seharian. Sesekali mereka beristirahat sambil menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah. Phadraig sudah tidak sabar untuk kembali ke rumah dan menengok lumbung gandumnya. Dia penasaran, apa saja yang Kuda hitam itu lakukan seharian.

“Apa yang dilakukan Pooka itu seharian di lumbung kita, Pak?” Phadraig berharap Bapak punya jawabannya.

“Bapak berharap peri itu sudah pergi dari lumbung padi kita, Nak. Bapak sengaja tidak mengunci pintunya agar dia bisa keluar dan pergi dari desa kita ini.”

Phadraig memerhatikan raut wajah Bapaknya. Dia tahu jika Bapaknya tidak menyukai Pooka, Kuda hitam itu sama sekali.

Banyak pertanyaan yang ada dipikiran Phadraig. Tapi, belum sempat dia bertanya, Bapaknya tiba-tiba berkata. “Tidak hanya kerusakan yang sudah ditimbulkan Pooka. Tapi, tahukah kau, Nak. Ibumu meninggal karena dibawa oleh Pooka.” Raut wajah Bapak dirundung kesedihan yang dalam. Suaranya pun bergetar ketika menceritakan kejadian itu. Phadraig terkejut, dia sama sekali tidak mengetahui cerita itu. Bapaknya tidak pernah bercerita tentang kepergian ibunya.

“Kejadian itu sudah lama terjadi. Bapak sudah mencoba untuk menerimanya. Kamu tak perlu menyimpan amarah, apalagi dendam di hati,” Pak Moore berkata, bijak.

Kini, Phadraig mengerti, mengapa bapak tidak ingin melihat si Pooka lagi. Hingga sore tiba, mereka tidak banyak bicara lagi. Phadraig melupakan keinginannya untuk segera menemui sang Kuda hitam. Ia justru ingin menghabiskan sore bersama dengan kawan-kawannya.

“Aku ingin bermain dengan kawan-kawanku, Pak. Bapak pulang dulu saja.”

“Eeemmm, hari ini kita pulang bersama saja. Besok kau tidak perlu membantu bapak di ladang. Bapak bisa mengerjakan semua sendiri, jadi kau bebas bermain seharian.”  Phadraig mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan, kembali ke rumah.

Sesampai di rumah, Phadraig segera membersihkan diri dan membantu Bapaknya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua.

“Rupanya, persediaan gandum kita hanya cukup untuk makan malam ini saja, Nak. Kita harus ke penggilingan Pak Ruben besok pagi. Penggilingan kita yang rusak, entah kapan bisa bapak perbaiki. Kita belum punya cukup uang untuk itu,” kata Pak Moore sambil menata makanan di meja. Phadrig mengangguk, mengerti.

Mereka berdua makan dengan lahap. Setelah itu, mereka beristirahat sebentar. Pak Moore tidak mau tinggal diam, dia masih menyiapkan perlengkapan untuk bekerja besok pagi. Mereka berdua akhirnya terlelap karena lelah bekerja seharian. Di lumbung padi belakang rumah, tempat si Capall Dorcha, sang Kuda hitam tinggal untuk beberapa waktu, terdengar suara seseorang yang sedang bekerja. Tak seorang pun mengetahuinya, termasuk Pak Moore dan Phadraig yang telah lelap dalam mimpi-mimpi mereka.

Keesokan harinya, Pak Moore bangun pagi-pagi. Dia harus segera pergi ke penggilingan Pak Ruben. Gandum-gandum itu harus digiling sebelum diolah menjadi makanan. Pak Moore bergegas ke lumbung gandum karena persediaan gandum di rumah telah habis. Perlahan, Pak Moore membuka lumbung gandumnya yang tidak dikunci. Dia terkejut mendapati lumbung gandumnya berantakan. Remah-remah kulit gandum berserakan. Dia pikir ada pencuri yang masuk ke lumbungnya, karena lumbung itu tidak di kunci, dua hari ini. Dia lalu mencari sang Capall Dorcha hingga ke sudut ruangan. Namun, sia-sia. Dia tidak mendapatinya di sudut manapun. Dia segera memeriksa persediaan gandum dan anggurnya. Tiba-tiba Pak Moore duduk tercenung, pandangannya tertumpu pada onggokan gandum yang telah digiling dan anggur-anggur yang telah diolah, semuanya berjejer rapi. Pak Moore tidak tahu siapa yang telah melakukan ini. Dia sangat ingat jika tadi malam dia tertidur lelap, bahkan sampai bermimpi.

Perlahan, dia mendengar suara-suara mencurigakan dari arah penggilingan gandumnya. Dengan berjalan mengendap-endap, dia mengintip ke dalam. Dia terkejut mendapati sang Kuda hitam sedang menggiling gandum-gandumnya dengan penggilingan miliknya. Kali ini, penggilingan itu tidak rusak. Penggilingan itu berfungsi dengan baik. Setelah selesai, Kuda hitam itu mulai memeras anggur-anggurnya. Mata Pak Moore kian terbeliak ketika Kuda hitam itu mendekat ke arahnya. Dari lubang yang sama, Pooka Capall Dorcha, sang Kuda hitam itu menempelkan matanya yang hitam, lalu dia berkata, “Terima kasih banyak atas pertolongan Anda, Tuan. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan hati Tuan dan Anak Tuan.”

Pak Moore kaget, seketika itu juga dia bangun dari tidurnya. Fajar sudah tiba, Pak Moore kebingungan di dalam lumbung gandumnya. Pak Moore tidak dapat membedakan, apakah semua yang dialaminya adalah sebuah mimpi atau kenyataan. 

***

Sonya selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus....asal dari Irlandia," kata Sonya.

Sonya menutup bukunya dan di taruh di meja. Sonya di panggil ibunya untuk memasak di dapur. Sonya melanksanakan perintah ibunya dengan baik, ya memasak di dapur lah.

THE FAIRY GLASS

Arafa selesai bermain dengan teman-teman. Arafah duduk di ruang tengah, ya baca buku sih.

Isi buku yang di baca Arafah :

Rumput kering itu bergoyang. Angin yang lembut menggerakkannya perlahan. Seekor anjing Doberman berdiri di depannya sambil terus menyalak.

“Grrr … aung … aung … aung…!” Anjing itu menyalak, keras.

“Bonnie, ada apa?” Kyle pemilik anjing hitam itu memerhatikan Bonnie yang  berdiri di dekat rerumputan. Telinga dan ekornya berdiri tegak.

Mr. Kermit datang membawa perbekalan. Perjalanan yang jauh ke danau Caraigh ini membuat tubuhnya lelah. Ia segera menjatuhkan tubuhnya di atas rumput kering itu. Doberman berbulu hitam legam itu kembali menyalak.

“Grrr … aung … aung … aung…” Matanya tajam menatap rumput yang diduduki Mr. Kermit, sambil terus menyalak.

“Kemari, Bonnie.” Mr. Kermit melambaikan tangannya ke arah Bonnie. Namun, anjing berkaki coklat itu tetap berdiri siaga di tempatnya. Dia sama sekali tidak mau mendekat. Dia berjalan hilir mudik dan kembali menatap Mr. Kermit sambil terus menyalak. Melihat gelagat anjingnya, Mr. Kermit bangkit dari duduknya. Dia mendekati Bonnie dan mengelus tubuhnya, pelan.

“Tempat ini terlalu gersang, Ayah. Di sebelah sana mungkin lebih nyaman,” saran Kyle, yang sedari tadi melihat keadaan. Dia menunjuk sebuah pohon yang rindang.

“Baiklah, mari kita ke sana,” ajak Mr. Kermit. Dia segera membereskan barang bawaannya. Mereka berjalan menuju pohon yang ditunjuk Kyle. Bonnie berjalan di sisi Kyle sambil mengibaskan ekornya. Sesekali dia menoleh ke arah rumput kering itu dan menyalak garang. Sesampai di bawah pohon, mereka segera duduk, beristirahat.

“Eeemmm, pemandangannya indah, tapi ayah sudah lapar sekali. Kita makan saja bekalnya sekarang.”

“Aku nanti saja, Ayah. Aku mau bermain dengan Bonnie sebentar.”

Kyle bangkit dan berlari-lari kecil, diikuti Bonnie yang melompat lincah. Mr. Kermit segera membuka bekal yang dibuat istrinya, lalu melahapnya dengan nikmat. Sambil menikmati udara siang yang cerah, Mr. Kermit memerhatikan Kyle dan Bonnie yang bermain tak jauh darinya. Tidak lama kemudian Kyle mendekat. Dia melihat Ayahnya sedang memakan bekal yang dibawakan Ibu untuknya.

“Bolehkah ayah minta bekalmu. Perut ayah masih lapar?” bujuk Mr. Kermit.

“Bukankah Ayah tadi juga dibawakan bekal oleh Ibu?”

“Ya. Bekal ayah sudah habis, tapi perut ayah seperti tidak diisi makanan sama sekali.”

Kyle menatap ayahnya, kemudian berkata, “Baiklah, Ayah habiskan saja bekalku.Aku masih punya coklat dan permen,” kata Kyle sambil mengeluarkan coklat dari dalam kantongnya. Tanpa menunggu lagi, Mr. Kermit menghabiskan bekal Kyle dengan lahap. Dia juga menghabiskan minuman di botol kaleng dalam sekejap.

Setelah lelah bermain, Kyle mengajak ayahnya pulang. Bekal makanan mereka juga sudah habis, tapi Mr. Kermit masih merasa lapar. Ia berharap istrinya punya persediaan makanan yang banyak. Sepanjang perjalanan pulang, Kyle terheran-heran ketika ayahnya mengatakan perutnya terasa lapar.

“Apakah coklat di sakumu masih ada, Nak?” tanya Mr. Kermit.

Kyle tercengang, namun segera merogoh kantong celananya. “Ayah ini kenapa? Bukankah Ayah sudah menghabiskan seluruh bekal kita, mengapa Ayah masih lapar?” kata Kyle, sambil menyerahkan coklat terakhir di kantongnya.

“Ayah juga heran, tidak seperti biasanya ayah makan sebanyak ini. Ayah juga tidak merasa kenyang sama sekali. Mengherankan, bukan?” Mr. Kermit geleng-geleng kepala sendiri, pertanda heran.

Kyle mengendikkan bahu, menjawab keganjilan sikap ayahnya hari ini. Mereka terus melanjutkan perjalanan dalam hening, ditemani Bonnie yang menyalak sesekali.

Mrs. Kermit menyambut kedatangan mereka dari balik pintu ketika mereka sampai di rumah.“Kalian sudah pulang, rupanya. Kenapa wajahmu seperti itu Kyle?” dahi Mrs. Kermit berkerut, melihat raut muka Kyle.

“Aku lapar, Bu,” Kyle berkata, memelas.

Mrs. Kermit kaget. “Bukankah ibu sudah membawakan bekal untuk kalian. Bagaimana mungkin kalian bisa kelaparan?” tanya Mrs. Kermit, sambil berjalan ke arah meja makan dan mulai menyiapkan makanan untuk Kyle. Mr. Kermit datang dan langsung membuka lemari es dengan cepat. Matanya berbinar mendapati banyak makanan di sana. Dia mengambil beberapa makanan dan ikut duduk bersama Kyle, yang sedang menikmati makanannya.

“Kalian apakan bekal yang ibu bawakan?” Mrs. Kermit menatap Kyle, ingin tahu.

“Ayah yang menghabiskannya,” jawab Kyle singkat. Dia segera menghabiskan makanannya dengan lahap dan langsung pergi dari meja makan, mencari Bonnie.

Mrs. Kermit duduk menunggui suaminya. Dia heran mendapati suaminya mengambil makanan lagi di lemari es. Beberapa menit berlalu, Mrs. Kermit dengan sabar menunggu suaminya selesai makan. Namun, Mr. Kermit masih mengambil makanan lain.

“Kermit, jaga kesehatanmu. Kau sudah makan terlalu banyak,” kata Mrs. Kermit, berusaha mengingatkan suaminya.

Mr. Kermit menatap istrinya sejenak, kemudian berkata, “Ya, tapi perutku masih lapar. Bisakah kau membuat sesuatu untuk kumakan lagi?”

Mrs. Kermit mengerutkan kening. Dia menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya. Mengapa dia bisa rakus seperti ini. Padahal selama ini dia selalu menjaga makanan yang masuk ke tubuhnya agar tetap sehat, batin Mrs. Kermit. Dia terdiam sesaat lalu menyiapkan daging yang bisa dimakan dengan kentang dan kubis rebus. Dia terus memerhatikan suaminya yang makan dengan lahap. Ia merasa ada sesuatu yang aneh.

Mrs. Kermit memutuskan untuk meninggalkan meja makan dan mencari Kyle. Bocah berusia lima tahun itu sedang bergulingan dengan Bonnie di kamarnya. Mrs. Kermit mendekatinya pelan-pelan.

“Kyle, ibu mau bertanya. Apa yang terjadi pada Ayahmu, hingga dia bisa berubah rakus seperti itu?”

Kyle menggelengkan kepala. Dia juga tidak tahu mengapa ayahnya tiba-tiba seperti itu. “Aku juga tidak tahu, Bu,” jawab Kyle, sambil memainkan ekor Bonnie.

Mrs. Kermit terlihat tidak puas. Ia bertanya lagi, “Hari ini kalian pergi ke mana saja?”

Kyle berpikir sejenak, “Hanya mengunjungi danau Caraigh.”

Kyle kemudian menceritakan kejadian siang itu. Ayah duduk di rumput kering dan Bonnie menyalak berkali-kali. Mereka lantas berpindah tempat, dan ayah mulai makan dengan rakus.

Mrs. Kermit merasa tidak ada yang aneh dari cerita Kyle, kecuali sikap suaminya yang tiba-tiba selalu kelaparan dan makan dengan rakus. Ayah duduk di atas rumput kering dan Bonnie menyalak berkali-kali. Mrs Kermit berusaha mencari arti kejadian itu, namun dia belum bisa menemukannya.

Hari terus berlalu. Selera makan Mr. Kermit semakin menjadi-jadi. Tapi, tidak seperti kebanyakan orang yang menjadi gendut karena suka makan, tubuh Mr. Kermit justru semakin menyusut.

“Ayah, ayo, kita ke Dokter sekarang,” ajak Kyle. Dia dan ibunya sudah siap mengantarkan ayahnya pergi ke Dokter. Mr. Kermit tampak bersemangat bertemu dengan Dokter. Dia ingin penyakitnya segera disembuhkan.

Sesampai di rumah sakit, Dokter memeriksa kondisi Mr. Kermit dengan teliti.

“Sebenarnya suami ibu tidak terkena penyakit apa-apa. Dia hanya kurang gizi saja. Berilah makanan yang bergizi untuk suami ibu,” kata Dokter, setelah selesai memeriksa Mr. Kermit.

“Tapi, suami saya makan terus sepanjang hari, Dok. Selama ini saya pun sudah memberikan makanan yang bergizi tinggi.”

Sang Dokter menatap Mrs. Kermit dari balik kaca matanya yang sedikit melorot. Dia tampak tidak percaya dengan penjelasan Mrs. Kermit. Pasiennya, Mr. Kermit sangat kurus, seperti orang yang tidak diberi makan. Hasil pemeriksaannya juga menyatakan tidak ada penyakit berbahaya atau penyakit aneh yang bisa membuat keadaan pasiennya menjadi seperti ini. Kesimpulan yang bisa dia ambil hanyalah bahwa pasiennya itu kekurangan gizi. Sang Dokter lalu menuliskan resep untuk ditebus Mrs. Kermit.

“Ibu, belilah obat ini. Mudah-mudahan keadaan Mr. Kermit lekas membaik,” kata sang Dokter, sambil menyerahkan selembar resep kepada Mrs. Kermit.

Mrs. Kermit membaca resep yang ditulis sang Dokter. Dia tidak paham tulisan apa yang ada di sana. Namun, dia bergegas membelinya di apotek rumah sakit dan mereka bertiga pulang ke rumah.

“Minumlah obat dari Dokter ini, Kermit. Mudah-mudahan kau lekas sembuh,” kata Mrs. Kermit lembut, sambil memberikan obat yang dibelinya tadi. Mr. Kermit segera menelannya, lalu minum satu botol air putih yang disodorkan istrinya.

Hari demi hari berganti, obat dari Dokter sudah diminum Mr. Kermit sampai habis. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh. Tubuhnya pun kian habis, sementara nafsu makannya semakin meningkat. Mrs. Kermit berusaha mencari Dokter lain untuk menyembuhkan suaminya. Mereka sudah mengunjungi banyak Dokter, namun penyakit Mr. Kermit tak berkurang sedikit pun.

“Bu, apa yang sebenarnya terjadi denganku?” Suara pelan Mr. Kermit terdengar putus asa.  Mrs. Kermit memandang suaminya, prihatin.

Sejak Mr. Kermit sakit, ia tidak bisa bekerja lagi. Maka, Mrs. Kermit yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka bertiga. Kyle yang masih kecil bertugas membantu mengurus ayahnya ketika ibunya bekerja.

Suatu malam, Kyle menatap wajah ibunya yang kelelahan. Mrs. Kermit sedang tidak enak badan.  Namun, tidak ada lagi yang bisa menggantikannya bekerja. Suami, anak, dan dirinya sendiri butuh makan. Akan tetapi, beberapa hari mengerjakan pekerjaan berat membuat Mrs. Kermit butuh istirahat.

Kyle mengusap tangannya lembut. “Ibu, apakah ibu pernah mendengar tentang fairy grass?”

Mrs. Kermit bergeming. Dia tampak tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Kyle.

“Dia adalah rumput kering. Kata Mrs. Dought, yang rumahnya di ujung jalan, rumput itu bisa membuat orang kelaparan seumur hidup,” kata Kyle lagi.

Mrs. Kermit seolah sadar dari lamunannya. Dia menatap bola mata Kyle yang cekung. Kyle pun semakin kurus, batinnya.

Kyle menjelaskan, pelan, “Mungkin, rumput kering yang dulu Ayah duduki adalah fairy grass. Bonnie pun tahu. Dia menyalak garang ketika Ayah duduk di rumput kering itu.”

“Apa yang Mrs. Dought katakan tentang fairy grass?” tanya Mrs Kermit, ingin tahu. Dia  ingin bangkit dari tempat tidurnya, namun tidak punya tenaga lagi.

Kyle tampak berat mengatakannya. Tapi, dia kemudian berkata, “Rumput kering itu merupakan arwah jahat dari orang-orang yang sudah mati. Dia bisa membuat orang selalu merasa lapar seumur hidupnya, walaupun sudah makan banyak. Bukankah itu juga yang terjadi pada Ayah?” Kyle menitikkan air mata.

“Apa lagi yang dikatakan oleh Mrs. Dought?”

“Hanya itu.” Kyle tertunduk.

“Besok pagi kita temui Mrs. Dought di rumahnya. Mungkin, dia tahu bagaimana cara menyembuhkan Ayahmu,” kata Mrs. Kermit. Harapan tentang kesembuhan suaminya mulai bersemi. Suaminya harus bisa disembuhkan.

Keesokan harinya, Mrs. Kermit dan Kyle berkunjung ke sebuah rumah tua, di ujung jalan. Rumah itu seperti tidak berpenghuni. Tanaman perdu tumbuh di sisi kanan dan kiri rumah itu. Sebuah pohon besar tumbuh di sebelah kanan halaman. Selebihnya hanya rumput hijau yang menghampar, terbelah jalan setapak lurus menuju rumah. Rumah itu ditinggali oleh seorang wanita tua yang sudah bungkuk. Usianya hampir delapan puluh tahun. Mrs. Dought namanya. Dia tinggal seorang diri di rumah besar itu. Hanya sesekali keluarganya datang untuk melihat keadaannya.

Kyle membunyikan bel pintu. Mereka menunggu di depan pintu dengan sabar. Sementara di dalam rumah Mrs. Dought berjalan tertatih dengan menggunakan tongkat kecilnya. Dia membukakan pintu dengan tangan gemetar.

“Mrs. Dought, maafkan jika kami menggangu anda, tapi bolehkah kami masuk?” tanya Mrs. Kermit, sopan.

Mrs. Dought mempersilakan ibu dan anak itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah itu terasa dingin. Perabotan yang ada di rumah itu sudah usang. Mrs. Dought mempersilakan tamunya duduk.

“Mrs. Dought, saya ingin anda menceritakan tentang fairy grass,” pinta Mrs. Kermit tanpa basa-basi.

Mrs. Dought menatap Kyle yang duduk di sebelah ibunya. “Kyle sudah tahu,” jawab Mrs. Dought singkat. “Tidak ada yang bisa melawannya.” Suara Mrs. Dought bergetar. “Suami dan anakku adalah korban dari rumput kelaparan itu,” pelan, Mrs Dought berkata.

Mrs. Kermit memandang Mrs. Dought, penuh harap, “Adakah cara untuk  melepaskan diri dari rumput kelaparan itu, Mrs. Dought?”

Wajah tua itu tanpa ekspesi. “Tak ada yang bisa melawannya,” jawab Mrs. Dought datar.

Mrs. Kermit tertunduk lesu. Ternyata Mrs. Dought juga tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya. Mrs. Kermit pun memutuskan untuk berpamitan dan kembali ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Mrs. Kermit melihat keadaan suaminya. Dia memegang tangan suaminya yang terasa dingin seperti es. Mrs. Kermit lalu mencari nadi di tangan suaminya. Tidak ada detakan. Dia mencoba meletakkan jari telunjuknya di bawah hidung suaminya. Tidak ada hawa hangat yang keluar dari sana. Dia kemudian memegang dada suaminya, dengan sedikit panik. Tidak ada detak jantung yang teraba olehnya. Air mata Mrs. Kermit meluruh satu per satu. Dia menangis pilu di samping jasad suaminya. Kyle yang melihat keadaan itu turut menangis di pelukan ibunya. Bonnie turut berbaring diam di bawah ranjang majikannya. Mereka semua berduka.

Pemakaman telah selesai. Ucapan duka cita datang dari para tetangga Mrs. Kermit. Mereka sulit percaya ketika mendengar cerita yang beredar dari mulut ke mulut, tentang apa yang terjadi pada Mr. Kermit. Bagaimana mungkin rumput bisa membuat orang terkena penyakit aneh seperti itu, pikir mereka. Setelah kematian suaminya, kondisi Mrs. Kermit semakin memburuk. Pekerjaan yang menguras banyak tenaga membuat Mrs. Kermit harus terbaring lemah. Kyle berusaha merawat ibunya sebaik mungkin. Dia sudah kehilangan ayahnya dan tidak ingin ibunya ikut pergi meninggalkannya.

Sejak ayahnya sakit, ibunya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun, hal itu tidak cukup. Pengobatan Mr. Kermit telah menghabiskan harta keluarga mereka. Sedikit demi sedikit barang-barang berharga mereka dijual. Kini, mereka menjadi miskin. Kyle belum juga masuk sekolah. Mrs. Kermit tidak punya uang untuk membayar sekolah anaknya. Selain itu, kondisi kesehatannya pun semakin buruk. Dia membutuhkan obat dan makanan yang cukup agar tubuhnya sehat kembali.

“Ibu, makanlah ini. Aku membuatkan bubur untuk Ibu,” kata Kyle, sambil menyuapkan sesendok bubur ke mulut Ibunya.

Mrs. Kermit langsung menelan bubur itu. Perutnya terasa hangat. Mrs. Kermit tersenyum pada Kyle. Dia berterima kasih karena Kyle sudah bersusah payah merawatnya. Mrs. Kermit sudah berbaring berhari-hari di ranjangnya tanpa perubahan. Bonnie dengan setia menunggui majikannya di samping tempat tidur. Keadaan itu membuat Kyle semakin tak terurus. Wajahnya cekung. Tubuhnya kurus kering.

Suatu hari, Kyle baru saja pulang dari mengantar pesanan ibunya. Kyle masuk ke dalam rumahnya. Dia sangat terkejut ketika mendapati ibunya tergeletak di bawah tempat mencuci piring. Kyle langsung mendekat. Dia membalik tubuh ibunya yang tengkurap dengan susah payah. Tiba-tiba, Kyle menjerit saat mendapati darah segar keluar dari mulut ibunya. Kyle panik. Dia berlari keluar rumah meminta pertolongan tetangganya. Mr. Phelan, tetangga mereka, segera datang dan menolong ibu Kyle. Namun, Mrs. Kermit telah tiada. Kyle menangis histeris. Mrs. Phelan memeluknya, menguatkan hati Kyle semampunya.

Kini, Kyle yatim piatu. Ia tidak mempunyai orang tua yang akan mengurusnya atau saudara yang menemaninya. Orang tuanya meninggalkannya dalam keadaan miskin, tak punya apa-apa. Seluruh harta mereka sudah habis untuk pengobatan ayahnya. Kyle sangat sedih menyadari kenyataan itu.

Mr. Phelan tidak tega melihat keadaan Kyle. Dia segera melaporkan kondisinya ke dinas sosial di kota. Akhirnya dinas sosial membawa Kyle karena tidak ada lagi yang mengurusnya. Mereka akan mencarikan orang tua angkat untuknya.

“Saya bersedia ikut, tapi jangan pisahkan Bonnie dariku,” kata Kyle, memohon ketika hendak dibawa pergi. Petugas dinas sosial menyetujui permintaan Kyle dan membawanya ke tempat penampungan, menunggu keluarga yang mau mengadopsinya.

***

Arafah selesai baca bukunya dan buku di taruh di meja.

"Bagus cerita yang baru aku baca. Asal cerita dari Irlandia," kata Arafah.

Arafah ke kamar mau mengerjakan PR Bahasa Indonesia, ya mengaranglah.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK