Sosok itu berjalan sedikit membungkuk, seperti sedang mencari sesuatu. Dia membawa sebuah lentera yang tak berbentuk bulat penuh di tangan kiri. Cahaya dari lentera yang dibawanya, bekerlip tertiup angin malam. Shine berusaha mengamati dengan teliti, namun tiba-tiba sosok itu menoleh ke arahnya. Serta merta Shine melepaskan tirai yang sedang dipegangnya. Jantungnya berdegup kencang. Apakah orang itu tahu kalau sedang kuamati? tanya Shine dalam hati.
Setelah detak jantungnya berdetak normal, Shine kembali memicingkan sebelah matanya di jendela kamar. Kali ini dia hanya menyingkap tirai untuk sebelah matanya saja, karena dia harus lebih berhati-hati. Dia tidak ingin pengamatannya diketahui oleh orang itu. Shine melihat punggung orang itu sudah menjauh dari depan rumahnya, melanjutkan perjalanannya kembali.
Shine kembali ke tempat tidurnya. Dia sedang memikirkan keanehan tempat tinggal barunya. Matanya terus-menerus mengerjap dari tadi. Shine tidak bisa tidur. Dia menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuhnya. Malam kian larut, namun matanya belum mau terpejam. Dia masih penasaran dengan sosok pembawa lentera itu. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa-apa malam ini selain tidur. Shine menghitung mundur dari seratus. Itu salah satu cara yang dia pergunakan untuk mengundang kantuk. Pada hitungan ke tiga puluh tiga, dia tidak ingat apa-apa lagi. Shine sudah terbang menuju alam mimpi.
Tiba-tiba Shine melihat sosok itu lagi. Sosok itu berjalan menunduk, membawa lentera yang ternyata terbuat dari labu berukir menyerupai wajah manusia. Ada dua buah lubang berbentuk seperti daun yang diukir sedikit condong ke atas, tampak seperti sepasang mata yang menyala. Di bawahnya ukiran gerigi berbentuk lengkung, seperti orang yang sedang menyeringai. Di bagian atas ada sebuah lubang untuk memasukkan bara api. Dari sisi-sisi lubang itulah cahaya kecil memancar. Cahaya itu digunakan sebagai penerang jalan.
Shine mengikuti langkah sosok itu dengan mengendap-endap. Sosok itu berjalan tertatih, tangannya gemetar memegang lentera labu. Di sebuah bangku, dia berhenti dan duduk. Shine menghentikan langkahnya, namun dia tetap menggerak-gerakkan tubuhnya. Udara malam yang dingin membuatnya menggigil. Dia lalu menarik topi di jaketnya, sehingga hanya wajahnya yang pucat terkena bias cahaya bulan separuh, yang kini tampak. Shine sudah berdiri cukup lama, tapi sosok itu belum juga bergerak.
“Hem … Kenapa dia hanya diam saja di sana.” Shine berkata, sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Uap putih keluar dari hidungnya. Udara malam yang dingin seakan ingin membekukan dirinya. Seharusnya dia tadi mengajak Audrey untuk menemaninya. Tapi lupakan saja. Audrey lebih tertarik dengan shopping dan nonton dari pada menguntit seseorang. Dia sama sekali tidak cocok menjadi detektif. Shine sedang asyik berpikir sendiri ketika tiba-tiba orang itu berdiri dan berjalan ke arahnya. Shine mulai beringsut di tempat persembunyiannya. Apakah orang itu tahu kalau dia sedang diikuti? pikir Shine. Shine semakin menyembunyikan dirinya.
Setelah sampai di tempatnya bersembunyi, sosok itu mengangkat lenteranya setinggi pinggang. Tempat persembunyian Shine segera penuh cahaya pendar. Orang itu lalu membetulkan letak topinya dengan menggunakan tangan kanan. Shine dapat melihat wajahnya dengan jelas dari tempatnya bersembunyi. Shine mulai mengerjap-ngerjapkan mata karena silau cahaya lentera yang didekatkan ke wajahnya. Shine mencermati wajah orang itu. Hidungnya panjang. Mulutnya melengkung ke atas, seperti membentuk senyuman. Wajahnya yang lancip dan tirus penuh dengan keriput.
“Siapa yang ada di situ?” tanya orang itu. Suaranya terdengar aneh di telinga Shine. Terdengar serak, seperti bergema. Shine kebingungan di tempatnya. Dia masih berpikir untuk keluar dari persembunyiannya atau diam di tempat ketika tanpa dia duga, lelaki tua itu memajukan lentera, mendekatinya, tepat di atas kepala Shine.
“Sedang apa kau di situ, Nak?” orang itu sudah berdiri di hadapan Shine, sambil melongokkan kepala ke arahnya. Shine tidak dapat mengelak, dia sudah tertangkap basah.
“Eemmm … tidak apa-apa, Tuan,” jawab Shine, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba Shine teringat pada Kitty, kucing kesayangannya. “Saya hanya mencari kucing saya yang pergi dari rumah,” Shine melanjutkan.
“Oh … Sekarang sudah larut malam, Nak. Besok kau bisa melanjutkan pencarianmu. Sebaiknya kau pulang sekarang. Di mana rumahmu?” tanya orang itu. Suaranya bergetar, sepertinya karena udara dingin.
“Di ujung jalan, Tuan.” Shine menunjuk sebuah rumah besar di ujung jalan.
“Ayo, aku antar kau pulang.” Lelaki tua itu bergeser dari tempatnya berdiri. Dia mulai berjalan membelakangi Shine. Shine kebingungan. Jika dia pulang, rasa penasarannya tidak akan terpuaskan. Shine berjalan pelan di belakang lelaki tua itu. Rasa penasarannya tidak dapat dia bendung lagi.
“Tuan, Anda sebenarnya siapa?” Shine memberanikan diri bertanya, ragu. Langkah tertatih lelaki bermantel gelap itu terhenti. Dia berbalik, mengernyitkan dahi, namun garis lengkung di bibirnya masih membentuk senyum ramah.
“Apakah kau perlu tahu, Nak?” Senyum itu kian melebar. Shine mengangkat bahunya.
“Tentu saja, jika Anda tidak keberatan.” Shine dapat menguasai dirinya, kini. Dia menatap lelaki itu. Lelaki tua ini tidak menyeramkan seperti bayanganku, batinnya.
“Aku adalah Jack O’Lantern.” Suara serak itu bergema.
Bulu kuduk Shine meremang, rasa takut mulai merayapinya. Penilaiannya terhadap lelaki tua itu berubah seketika. Shine terpaku di tempatnya berdiri. Jack O’Lantern, benarkah lelaki tua di hadapannya ini adalah Jack O’Lantern yang sering diceritakan orang. Shine menatap mata lelaki bermantel itu. Bola matanya yang sayu membuat Shine iba. Sebenarnya, tidak ada yang menyeramkan dari wajahnya. Tapi, nama itu mengingatkan Shine pada cerita seram tentang Jack O’Lantern, arwah gentayangan yang mencari tempat peristirahatan di dunia.
“Sepertinya, kau takut, Nak?” kata lelaki itu sambil mengangkat lentera labunya. Seperti dapat merasakan ketakutan Shine, dia semakin melebarkan senyumnya. “Kau tak perlu takut. Aku bukan roh gentayangan seperti legenda Jack O’Lantern. Aku manusia sepertimu,” lanjut lelaki bermantel itu, sambil meneruskan langkahnya.
Shine memerhatikan cara jalan lelaki itu, yang sedikit membungkuk. Kakinya pun menginjak tanah. Lelaki ini bukan hantu. Shine tidak perlu merasa takut lagi. Dia segera menyusul lelaki bermantel itu, sehingga mereka berjalan beriringan.
“Anak-anak sepertimu selalu ingin tahu. Hal itu bagus, karena berarti kalian adalah anak-anak yang cerdas,” lelaki itu tiba-tiba berkata.
“Apakah nama Anda benar-benar Jack?” Shine kembali bertanya, tanpa mengomentari perkataan Jack barusan.
“Ya, tentu saja itu nama asliku. Aku tidak menyesal diberi nama itu oleh orang tuaku. Walaupun pada akhirnya, perjalanan hidupku tidak jauh berbeda dengan Jack O’Lantern.”
“Apa maksud Anda, Tuan?” tanya Shine ingin tahu.
“Kau tahu kisah Jack O’Lantern?” Jack balik bertanya.
Shine mengangguk kecil. “Jack adalah seorang petani malas. Dia menipu setan, sehingga setan berjanji untuk tidak memasukkan Jack ke neraka. Akan tetapi, ketika Jack meninggal, dia tidak boleh masuk ke surga karena telah banyak berbuat dosa.
Dia juga tidak dapat masuk ke neraka karena setan menghalanginya. Jack kemudian membuat lentera dari labu, seperti yang anda bawa ini, Tuan. Dia lalu meminta api dari neraka sebagai sumber cahayanya. Konon, dia masih ada hingga kini. Dia berkeliling membawa lentera, mencari tempat peristirahatan di dunia. Bagaimana cerita Anda, Tuan Jack?” Shine mengakhiri ceritanya dengan mengajukan pertanyaan untuk teman barunya ini. Sepintas, Shine melirik lelaki di sebelahnya. Dia sangat mirip dengan Jack O’Lantern yang ada dalam cerita, gumam Shine dalam hati.
“Ya, hampir mirip seperti itu. Masa laluku sungguh buruk. Sebenarnya, aku merasa malu menceritakannya padamu. Itu bukan contoh yang baik untuk kalian.” Jack menundukkan kepalanya dalam.
Sesaat hening mengelilingi mereka. Jack kemudian mulai bercerita, “Aku lahir dari keluarga sederhana di pinggir kota. Aku lantas pergi merantau. Di perantauan, aku hidup menggelandang karena tidak punya pekerjaan. Masa mudaku sungguh suram. Sama sekali tidak pantas untuk dijadikan teladan. Aku memiliki kebiasaan minum-minum, yang tidak bisa kutinggalkan. Suatu hari, aku bertemu dengan Devil. Dia mentraktirku minum. Ternyata, setelah selesai minum, dia memintaku membayar semuanya. Aku tidak punya uang. Devil pun demikian. Aku pun meminta Devil mengubah dirinya menjadi sekeping uang koin. Dia mau melakukannya. Dia menjelma menjadi sekeping koin emas. Aku kemudian memasukkan koin itu ke dalam dompetku. Koin itu kuletakkan di samping sebuah salib yang terbuat dari perak putih agar dia tidak bisa mengubah dirinya kembali. Pada saat itu, aku sangat takut jika masuk ke dalam neraka karena ulahku, maka aku meminta Devil berjanji untuk tidak membawaku ke neraka. Devil menyanggupinya. Satu tahun kemudian, aku kembali bertemu dengan Devil. Aku menyuruhnya memanjat sebuah pohon untuk mengambil buah. Setelah sampai di puncak pohon, aku menggoreskan salib di bawahnya, sehingga Devil tidak dapat turun dan menggangguku hingga sepuluh tahun lebih.” Lelaki tua menghela napas, menghentikan ceritanya.
Shine yang mendengarkan cerita itu dari tadi, mencoba memahami semuanya, meski dia semakin tidak mengerti. Apakah yang dimaksud dengan Devil itu adalah iblis atau setan? Shine merasa cerita Jack tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Jack bisa mengubah Devil menjadi sebuah koin emas? Atau usia tuanya membuat dia mengigau, sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar-benar terjadi dan mana yang tidak?
“Tuan Jack, apakah anda baik-baik saja?” Shine mencoba bersimpati.
“Yah … Aku baik-baik saja,” jawab Jack, sambil terus berjalan.
“Siapakah Devil yang Anda maksud, Tuan?” Shine bertanya, hati-hati. Shine mulai berpikir kalau Jack mungkin tidak bisa dipercaya sepenuhnya karena pikun atau dia hanya orang gila yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya.
Shine masih menunggu jawaban Jack, ketika mereka berhenti dan Jack menunjuk sebuah rumah, “Apakah itu rumahmu, Nak?” tanya Jack.
“Ya,” jawab Shine singkat. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku jaket agar tetap hangat.
Tiba-tiba muncul seekor kucing berwarna coklat berbintik putih dari arah depan. Dia berdiri dengan posisi berjinjit sembari melengkungkan tubuhnya. Bulu lebatnya tampak berdiri tegak.
“Kitty!” Spontan Shine berlari ke arah kucing kesayangannya. Dia mengangkat kucing berbulu coklat itu.
“Miaoau … Miaouuu …” Kitty enggan diangkat. Tubuhnya kaku dengan posisi melengkung, seolah bersiaga terhadap sesuatu. Dia menggeram, “Ggrrr…” Shine mulai bingung terhadap tingkah Kitty. Ada apa dengan kucingnya ini? pikirnya. Tanpa berpikir panjang, Shine memeluk kucing itu erat-erat. Kitty menyadari hal itu, dan segera melemaskan tubuhnya, mulai bersikap biasa. Kitty bahkan menjilati pipi Shine, sehingga membuatnya menggeliat, geli. Shine merasakan kehangatan di wajahnya, lalu membuka matanya perlahan. Kitty tampak duduk di samping tempat tidurnya. Shine segera bangun dan menyibak tirai jendela. Matahari sudah mulai menampakkan cahayanya.
“Emmm … Rupanya hanya mimpi,” gumam Shine seorang diri.
Dari tempatnya berdiri, pandangan Shine tertumbuk pada sekumpulan orang, yang berkerumun di depan rumahnya. Shine penasaran. Dia bergegas turun dari kamarnya yang terletak di lantai dua. Kitty mengikutinya dari belakang. Sesampai di bawah, dia mendekati kerumunan itu dan mulai mendesak ke dalam. Shine terkesiap. Ya, Tuhan. Bukankah orang ini yang ada dalam mimpinya tadi malam? Tuan Jack O’Lantern.
Shine termangu. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Bukankah kejadian yang dia alami bersama lelaki tua itu hanya terjadi di alam mimpi? Tapi, mengapa orang ini ada di sini, seolah kejadian tadi malam benar-benar terjadi?
“Apa yang terjadi, Ayah?” Shine mendekati Ayahnya, yang sudah berada di tempat itu sejak tadi.
“Tuan Jack O’Lantern, penjaga keamanan kita meninggal dunia,” kata Ayah. Dia segera beranjak, membantu petugas dinas sosial memasukkan mayat Jack ke dalam mobil jenazah.
“Mengapa Tuan Jack meninggal, Ayah?” tanya Shine, setelah mobil jenazah itu pergi. Ayah mengangkatnya saat melewati parit kecil di depan rumah mereka.
“Sepertinya dia kedinginan. Jack sudah tua, tubuhnya tidak tahan dengan udara malam yang dingin.”
“Apakah dia benar-benar Jack O’Lantern, arwah gentayangan yang mencari tempat peristirahatan di dunia, Ayah?”
“Tentu saja, bukan. Stalky Jack hanya legenda perayaan Halloween. Kau bisa mencoba membuatnya saat perayaan itu tiba,” Ayah menjelaskan, sambil tersenyum.
“Ya, aku pasti akan mencobanya,” Shine berkata mantap. “Ayah, mengapa orang tua tadi disebut Jack O’Lantern?” tanya Shine lagi.
“Ayah kurang tahu, mungkin karena dia selalu membawa lentera yang terbuat dari labu saat berkeliling rumah, seperti Jack O’Lantern. Sehingga, orang lebih mudah mengenalinya sebagai Jack O’Lantern.”
“Tapi, namanya memang Jack, Ayah.”
“Dari mana kau tahu?”
“Tadi malam, aku mimpi berbicara dengannya, Ayah.” Shine terdiam sejenak. “Dia menceritakan asal usulnya kepadaku. Ceritanya mirip dengan cerita Ayah tentang Jack O’Lantern.” Shine mulai menceritakan mimpinya tadi malam.
Ayahnya tersenyum. “Itu hanya mimpi, Sayang. Mimpi hanyalah bunga tidur.”
“Tapi, sepertinya itu bukan mimpi biasa, Ayah. Mengapa Jack bisa meninggal di dekat rumah kita? Di tempat yang sama ketika aku terbangun dari mimpi?”
“Emmm … Mungkin itu hanya kebetulan saja.”
“Apakah Ayah percaya bahwa mimpi bisa menjadi kenyataan?”
“Tentu saja. Jika kita gigih, pantang menyerah, dan tidak lupa berdoa agar mimpi kita bisa menjadi kenyataan, maka mimpi-mimpi itu bisa menjadi kenyataan,” kata Ayah menjelaskan. Wajah Shine berubah cerah. Dia tersenyum. Sepertinya mimpinya itu adalah sebuah kenyataan karena sebelum tidur dia selalu berdoa terlebih dahulu.
Hari berjalan dengan cepat. Udara siang yang panas sudah berganti dengan malam yang dingin. Shine sedang berada di kamarnya, bermain dengan Kitty. Tapi, rasa kantuk yang menyergap sejak tadi, membuat Shine tidak semangat menemani Kitty bermain. Dia memutuskan untuk segera tidur. Sebelum beranjak ke tempat tidur, Shine menyempatkan diri berdiri di depan jendela kamarnya. Kali ini dia tidak melihat apa-apa. Petugas jaga keliling itu sudah tiada. Shine memejamkan matanya, berdoa untuk ketenangan arwah Jack. Dia lalu naik ke tempat tidur dan menarik selimutnya seperti biasa. Kali ini, dia tidak perlu berhitung lagi. Tak berapa lama, dia sudah terbang ke alam mimpi.
“Terima kasih untuk doa yang kau panjatkan untukku, Nak.”
Tiba-tiba Shine sudah bersama Jack di dekat rumahnya. Shine agak takut. Dia melihat dengan jelas jika orang ini sudah meninggal dunia tadi pagi. Shine hanya mampu terdiam, tak bersuara.
“Tuhan tidak menerima arwahku karena aku telah banyak berbuat kejahatan. Semoga ini bisa menjadi pelajaran untuk manusia-manusia yang lain, agar tidak berbuat jahat. Aku juga tidak bisa ke neraka karena Devil sudah berjanji, tidak akan mengijinkanku masuk ke sana.” Wajah Jack terlihat sangat sedih. Shine tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga dia hanya mendengarkan saja.
“Kini, aku hanya dapat berkeliling, mencari tempat untuk beristirahat. Aku sudah sangat lelah.”
Shine masih tidak dapat bersuara. Dia menatap wajah tua yang pucat itu penuh simpati. Dia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Terima kasih sudah menjadi temanku. Aku harus melanjutkan perjalananku lagi.” Lelaki bermantel gelap itu beranjak, melanjutkan langkahnya yang terseok sambil membawa lentera buah labunya. Shine tersentak, kaget. Dia ingin mengejarnya, namun tiba-tiba dia bangun dari tidurnya. Shine segera berlari ke jendela kamarnya, menyibak tirai jendela itu. Di luar sana, dia melihat lelaki bermantel gelap itu berjalan terseok, sambil membawa lentera labunya. Tiba-tiba dia berhenti, menoleh ke arah Shine. Bibirnya yang berkerut membentuk senyum lebar ke arah Shine. Perlahan, rasa takut merayapi Shine. Dia berteriak sekuat tenaga, “Aaaa!!!”
***
Kris selesai membaca bukunya.
"Bagus cerita.....buku dari Irlandia," kata Kris.
Kris pun menutup bukunya dan di taruh di meja.
"Ngapain lagi ya?!" kata Kris berpikir panjang.
Kris memikirkan tentang cita-citanya ingin menjadi orang sukses saat dirinya menjadi dewasa.
"Belajar. Kata Ayah dan Ibu dengan belajar menjadi pintar, ya bisa menjadi orang sukses di masa depan. buah dari hasil kerja keras," kata Kris.
Kris mengambil tas sekolahnya di kamarnya, ya di bawa ke ruang tengah. Kris mengeluarkan buku pelajarannya dari tasnya, belajar dengan baik agar menjadi pintar.
No comments:
Post a Comment