CAMPUR ADUK

Tuesday, July 27, 2021

RAJA PARA BURUNG

Rimar selesai latihan menyanyi dengan ibu di ruang tengah, ya karokean saja sih. Rimar ke ruang tamu, ya duduk santai. Ada buku di meja, ya Rimar ambil dan di baca dengan baik.

Isi buku yang di baca Rimar :

Suku Maya di Meksiko percaya bahwa dahulu, kehidupan diatur oleh Dewa Halach Uinic. Ia adalah dewa pelindung bagi suku Maya. Bahkan, sebelum suku Maya mendiami tanah pemberian Dewa Halach Uinic, para hewan dan tumbuhan telah hidup di sana.

Suatu ketika, Dewa Halach Uinic marah karena burung-burung yang mendiami tanah leluhur suku Maya terus bertikai. Mereka saling berebut wilayah dan makanan. Dewa Halach Uinic kemudian mengumpulkan seluruh burung. Dewa ingin mencari cara agar para burung berhenti bertengkar.

Bagi penghuni tanah leluhur suku Maya, kehendak Dewa Halach Uinic adalah hukum. Tak ada satu pun dari mereka yang berani membantahnya. Oleh karena itu, semua burung segera berkumpul di tengah hutan untuk mendengarkan sabda sang dewa.

“Aku ingin kalian berhenti bertikai. Apakah kalian tidak bisa hidup dalam damai?” suara Dewa Halach Uinic membahana.

“Aku akan mengangkat salah satu dari kalian untuk menjadi seorang raja. Kelak, dia bertugas untuk menjaga perdamaian di antara kalian,” lanjut Dewa Halach Uinic. Burung-burung yang tadinya diam langsung berkasak-kusuk, berbicara dengan burung di sebelahnya.

“Oleh karena itu, bagi siapa saja yang ingin mencalonkan diri, datanglah lagi esok hari. Persiapkan diri kalian baik-baik.” Dewa Halach Uinic lalu menghilang.

Suasana di hutan langsung berubah gaduh. Beberapa burung penasaran, siapa yang memiliki kemampuan untuk menyatukan mereka semua. Sementara beberapa burung yang lain justru sudah bersiap-siap mengajukan diri.

“Apa kau akan mencalonkan diri, Col-pol-che?” tanya seekor burung kepodang pada burung kardinal yang bertengger di sampingnya. Burung kardinal tak menjawab. Ia malah terbang ke tengah kerumunan para burung.

“Hai, pastilah aku yang akan menjadi raja. Lihatlah, tak ada yang memiliki bulu seindah aku. Buluku merah menyala, jambulku cantik memesona. Siapa yang tak mengagumi keelokanku ini? Aku pasti akan menjadi raja kalian. Dewa akan memilihku,” Col-pol-che berseru lantang dan percaya diri.

Beberapa burung tampak mengangguk terkagum-kagum. Sedangkan yang lain terlihat mencibir, menganggap Col-pol-che burung yang sombong. Col-pol-che tak peduli akan sorak-sorai dari burung-burung lain. Dia justru memamerkan kemolekkan bulunya, sambil terbang  mengayun-ayunkan sayap dengan pongah. Tiba-tiba terdengar kicauan yang sangat merdu.

“Hei, itu pasti X-col-col-chek!” seru seekor burung berbulu biru.

Semua menoleh ke arah X-col-col-chek. Burung mimus itu bernyanyi dengan indah. Ia kemudian menghentikan nyanyiannya.

“Kalian pasti menyukai nyanyianku yang merdu, bukan? Jika aku menjadi raja, aku akan menghibur kalian sepanjang hari dengan suara merduku ini. Kalian tahu, aku adalah satu-satunya burung bersuara indah di antara kalian,” seru X-col-col-chek.

Para burung tak memungkiri jika suara X-col-col-chek memang sangat indah. Selain itu, X-col-col-chek juga pandai menirukan suara burung lain. Bahkan, suara beberapa serangga dan katak pun bisa ia tirukan. X-col-col-chek pandai memainkan melodi suaranya. Namun, bulu X-col-col-chek tak seindah Col-pol-che. Burung mimus itu hanya memiliki bulu berwarna coklat abu-abu di punggung dan sayapnya, sementara bulu dada dan perutnya berwarna putih. Meski begitu, sebagian burung terpengaruh juga. Mereka beranggapan jika X-col-col-chek pantas menjadi raja para burung. Burung-burung yang menyukai X-col-col-chek pun mulai mengajak burung-burung lain untuk mendukung X-col-col-chek menjadi raja mereka.

Ternyata, tak hanya burung kardinal dan burung mimus yang ingin menjadi raja. Seekor kalkun liar bernama Cutz juga berambisi menjadi raja. Ia tiba-tiba berlari ke tengah kerumunan burung yang masih berkumpul di sana.

“Akulah yang pantas menjadi raja kalian,” ujar Cutz dengan suara parau. Burung-burung langsung menoleh ke arahnya.

“Aku adalah burung terbesar dan terkuat di antara kalian. Dengan ukuran dan kekuatanku, aku sanggup menghentikan perkelahian. Aku akan melindungi dan membela para burung. Kalian membutuhkan sosok raja sepertiku,” lanjut Cutz.

Cutz, memang burung yang besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai satu setengah meter. Berat kalkun dewasa bisa sampai delapan kilogram, bahkan lebih. Postur tubuhnya tinggi besar dengan bulu yang cukup menawan. Kalkun jantan mempunyai ekor seperti kipas saat terbuka.

“Tapi, kau tak pandai terbang. Bagaimana kau bila melerai pertempuran para burung di udara?” tanya seekor burung kolibri. Cutz terdiam sejenak. Para burung lalu berteriak menyorakinya.

“Kalau aku sudah menjadi raja, kalian kan harus patuh padaku. Di mana pun kalian berkelahi, aku tetap bisa menyuruh kalian berhenti,” kilah Cutz.

Burung-burung semakin bingung. Ada beberapa burung yang memenuhi syarat untuk menjadi raja mereka. Akan tetapi, meski mereka bisa mengusulkan pada Dewa Halach Uinic, dewalah yang akan menentukan hasil akhirnya.

Kini, setiap burung yang ingin mencalonkan diri menjadi raja, sudah mempunyai pendukungnya masing-masing. Mereka mengajak burung-burung yang lain untuk ikut mendukung dan mengusulkannya kepada Dewa Halach Uinic. Namun, di antara kehebohan burung-burung itu, ada seekor burung yang hanya diam, memerhatikan. Dia adalah burung yang ambisius, hebat, dan pintar. Ia juga selalu berhati-hati. Tubuh dan sikapnya nampak anggun, tapi warna bulunya buruk. Dia adalah Kukul, si burung Quetzal.

Kukul sebenarnya ingin mencalonkan diri menjadi raja, tapi ia merasa ragu. Dewa tak akan memilihnya menjadi raja karena penampilan bulunya begitu buruk. Meskipun diselimuti keraguan, Kukul tak habis akal. Dia ingin mencoba, mengajukan diri menjadi raja.

Kukul kemudian teringat pada Xtuntun-Kinil. Burung itu tak tampak di antara kerumunan burung. Ia pasti sedang pergi mengirimkan pesan dewa tadi. Kukul memutuskan untuk mencari Xtuntun-Kinil. Perkiraannya benar. Kukul melihat Xtuntun-Kinil sedang melintas di dekat gurun pasir. Kukul mulai terbang rendah, menghampiri Xtuntun-Kinil.

“Xtuntun, tunggu!” panggil Kukul. Xtuntun-Kinil tak mendengar teriakannya. Kukul langsung memanggilnya lebih keras. Xtuntun-Kinil mulai memperlambat laju terbangnya. Kukul terbang di dekatnya, mengimbangi kecepatan Xtuntun-Kinil.

“Bisakah kau berhenti sebentar?” tanya Kukul.

“Aku sedang buru-buru. Ada pesan yang harus kuantar,” tolak Xtuntun-Kinil.

Xtuntun-Kinil adalah seekor burung roadrunner. Burung roadrunner memang pelari yang hebat. Dia bisa berlari dengan kecepatan sampai 42 kilometer per jam. Karena itu, ia dipercaya sebagai burung pengirim pesan. Ia menggunakan sayapnya yang pendek untuk mengatur keseimbangan. Ekornya yang panjang dipakai sebagai kemudi untuk berbelok dan memutar. Dahulu, burung itu tak punya nama. Ia suka berlari di sepanjang jalur gurun pasir, mengikuti iring-iringan kereta kuda. Tujuannya adalah untuk menangkap serangga yang terpelanting oleh laju kereta dan sepatu kuda. Oleh karena itu, burung-burung memberinya nama roadrunner atau pelari jalanan. Xtuntun-Kinil, si burung roadrunner, masih terus berlari. Ia tak begitu memedulikan permintaan Kukul. Kukul berusaha membujuknya.

“Tolonglah, Xtuntun. Ini penting sekali. Aku harus bicara secepatnya denganmu.”

Xtuntun-Kinil akhirnya berhenti. Mereka berlindung dari panas matahari di dekat kaktus saguaro raksasa.

“Ada apa Kukul?”

“Aku ingin memberi penawaran padamu, Xtuntun,” ujar Kukul. Dia diam sebentar. “Maukah kau meminjamkan bulumu padaku?” lanjut Kukul. Xtuntun-Kinil terkejut.

“Untuk apa? Kau sudah memiliki bulumu sendiri,” balas Xtuntun-Kinil. Ia tampak keberatan. Kukul menarik napas dalam. Ia mempersiapkan diri untuk menjelaskan niatnya pada Xtuntun-Kinil.

“Begini, Xtuntun. Menurutku, di antara para burung di tanah leluhur Maya, bulumu adalah bulu yang paling indah. Kau pasti bisa menjadi raja, andai kau mau mencalonkan diri. Tapi kurasa, tugasmu sebagai pengirim pesan sudah membuatmu sibuk dan kerepotan. Kau pun tampaknya kurang memiliki bakat dan kemampuan memimpin.”

“Lalu?” potong Xtuntun-Kinil, tak sabar.

“Aku bisa saja meminjamkan bakat memimpinku padamu. Tapi, sepertinya kau sudah sangat kerepotan untuk menjadi seorang raja. Bagaimana kalau kau yang meminjamkan bulumu? Nanti, dengan bulumu yang indah dan kemampuan memimpinku, aku pasti akan menjadi raja.” Xtuntun-Kinil masih tampak ragu.

“Jika aku menjadi raja, aku akan berbagi kekayaan dan kehormatan denganmu. Aku janji,” bujuk Kukul lagi.

Xtuntun-Kinil berpikir lama. Ia sangat menyukai bulunya. Meski tawaran Kukul sangat menarik, ia tak rela berpisah dengan bulunya.

“Kurasa tidak, Kukul. Aku tak mau berpisah dengan bulu-buluku ini,” Xtuntun-Kinil memutuskan. Kukul kecewa mendengar keputusan Xtuntun-Kinil, tapi ia belum mau menyerah.

“Ayolah, Xtuntun, pikirkanlah baik-baik. Kau bisa mendapatkan kesejahteraan hidup. Bila perlu, kau tak perlu jadi pengirim pesan lagi. Aku akan menjamin makanan dan tempat tinggalmu,” Kukul terus merayu Xtuntun-Kinil.

Xtuntun-Kinil berpikir ulang. Janji Kukul sangat menggiurkan. Ia tak perlu bersusah payah lagi mencari makan. Semua akan terhidang dan ia tinggal melahapnya.

“Kau akan menepati janjimu, kan?” tanya Xtuntun-Kinil, mencari kepastian.

“Tentu, kawan.” Kukul tersenyum. Rayuannya mulai membuahkan hasil.

“Tapi …” Xtuntun-Kinil masih ragu.

“Tapi, apa lagi? Kita tak punya banyak waktu, Xtuntun. Besok, Dewa akan memilih raja para burung. Lagipula, aku hanya ingin meminjam bulumu. Aku pasti akan mengembalikannya kepadamu, setelah aku terpilih menjadi raja.”

Xtuntun-Kinil akhirnya menyerah begitu mendengar penjelasan Kukul. Kukul hanya akan meminjam bulunya. Itu berarti ia tak perlu berpisah selamanya dengan bulu indahnya.Tak berapa lama, satu demi satu bulu Xtuntun-Kinil berpindah ke tubuh Kukul. Kukul mengaturnya, memasang bulu-bulu Xtuntun-Kinil yang cantik ke tubuhnya. Beberapa saat kemudian, penampilan Kukul berubah drastis. Bulu Xtuntun-Kinil yang menempel di tubuhnya membuatnya semakin gagah.  Ekor Kukul menggantung panjang berwarna hijau lumut. Kepala, leher, punggung, dan sayapnya berwarna hijau keemasan. Sementara dada dan perutnya berwarna merah cerah. Paruhnya yang pendek berwarna kuning jagung. Perpaduan warna bulu Kukul, kini tampak bagaikan indahnya langit senja dan hutan tropis Maya. Semua yang melihatnya pasti akan kagum.

Xtuntun-Kinil pun merasa takjub melihat bulu-bulunya, yang tampak begitu menawan di tubuh Kukul. Ada perasaan tak rela muncul dalam hatinya, tapi bulu itu sudah telanjur ia pinjamkan kepada Kukul. Ia berjanji jika Kukul mengembalikan bulunya, ia tak akan meminjamkannya pada siapa pun lagi. Keesokan harinya, para burung berkumpul lagi di tengah hutan Maya. Mereka terlihat resah menanti kedatangan Dewa Halach Uinic. Mereka penasaran, siapa yang akan menjadi raja mereka. Ketika dewa datang, suasana berubah menjadi sunyi.

“Baiklah, hari ini aku akan memilih raja para burung. Siapa yang ingin mencalonkan diri, majulah ke hadapanku!” seru Dewa Halach Uinic lantang.

Satu per satu burung yang ingin menjadi raja, maju menghadap dewa. Setiap burung yang maju, selalu diiringi oleh sorak-sorai pendukungnya. Pertama, Col-pol-che terbang ke tengah kerumunan burung, menghadap Dewa Halach Uinic. Burung kardinal itu mempertontonkan keindahan warna bulunya. Namun, dewa tak berkata apa-apa. Col-pol-che kembali ke kelompoknya dengan kecewa. Pendukung col-pol-che juga bersuit-suit tak terima.

Cutz, si kalkun liar, berlari menerobos kerumunan. Ia menunjukkan kekuatannya di depan dewa. Ia berusaha meyakinkan dewa bahwa ia sanggup melindungi para burung di hutan Maya. Sayangnya, dewa tampak tak terkesan. Cutz berjalan ke pinggir dengan gontai. Selanjutnya, X-col-col-chek menghadap raja. Ia sudah menyiapkan lagu terindah untuk memikat hati dewa. Ia pun menirukan suara bermacam burung, menandakan ia mampu bergabung dengan semua jenis burung untuk menyatukan mereka. Dewa Halach Uinic tersenyum. Ia menyukai kemampuan X-col-col-chek meski penampilannya sederhana.

Para burung mengira calon raja sudah habis. Mereka pun berpikir jika X-col-col-chek, si burung mimus, yang akan terpilih menjadi raja. Namun, setelah X-col-col-chek terbang menepi, Kukul meluncur ke hadapan dewa dan bertengger di akar gantung sebuah pohon besar. Para burung kagum sekaligus heran melihat perubahan Kukul. Dewa pun menatapnya tak percaya.

“Apa kau burung quetzal?” tanya Dewa Halach Uinic.

“Benar, Dewa.” Kukul mengayunkan bulu ekornya yang menjuntai.

Selama ini, semua menganggap Kukul adalah burung yang pendiam. Kini, semuanya terdiam mendengarkan Kukul bicara panjang lebar tentang kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan para burung. Mereka membenarkan semua perkataan Kukul. Dewa Halach Uinic pun manggut-manggut mendengarnya. Setelah Kukul menyelesaikan kalimat terakhirnya, Kukul disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Sorak sorai membahana sampai di sudut-sudut hutan. Semua beralih mendukung Kukul untuk menjadi raja.

Dewa pun tampaknya berpendapat serupa. Dewa kagum dengan perubahan penampilan Kukul. Selain itu, dewa pun menyukai perkataan Kukul. Dewa menganggap Kukul punya kemampuan memimpin para burung, sehingga mereka bisa hidup rukun dan damai.

“Aku sudah menentukan siapa yang akan menjadi raja kalian. Semoga ini menjadi keputusan yang terbaik. Aku mengangkat Kukul si burung quetzal menjadi raja para burung.”

Tepuk tangan para burung bergemuruh menyambut Kukul, raja mereka. Para burung mulai berebut mendekati Kukul, memberikan selamat. Col-pol-che, Cutz, dan X-col-col-chek merasa kecewa. Namun, mereka menerima keputusan dewa dengan lapang dada. Setelah dinobatkan menjadi raja para burung, Kukul mulai menjalani tugas barunya sebagai raja. Dia sangat sibuk dengan urusan para burung. Kukul pun melupakan janjinya pada Xtuntun-Kinil. Kekayaan, kesejahteraan, dan kehormatan yang dulu pernah dijanjikan, tak pernah diterima oleh Xtuntun-Kinil. Bahkan, Kukul juga lupa mengembalikan bulu milik Xtuntun-Kinil.

Suatu hari, burung kepodang mencari Xtuntun-Kinil. Ia ingin meminta Xtuntun-Kinil mengirim pesan ke tempat yang jauh. Sudah seharian ia mencari Xtuntun-Kinil, tetapi belum juga menemukannya. Ia pikir Xtuntun-Kinil sedang mengirim pesan ke suatu tempat. Maka, ia pun memilih untuk kembali pulang. Beberapa hari kemudian, burung kepodang itu datang lagi ke tempat di mana Xtuntun-Kinil biasa tinggal. Namun, Xtuntun-Kinil tak juga tampak. Kepodang itu memutuskan untuk bertanya pada burung-burung lain, tapi mereka juga tak tahu di mana Xtuntun-Kinil.

“Sebaiknya kita cari saja. Siapa tahu dia sedang memiliki masalah dan membutuhkan bantuan kita,” usul burung kolibri.

“Kenapa kita tak lapor saja pada Raja Kukul? Kita kan tak perlu repot mencarinya” usul burung berbulu biru.

“Raja sepertinya sedang sibuk, jadi kita cari sendiri dulu saja. Kita akan melaporkannya kalau Xtuntun-Kinil belum ketemu juga,” saran burung kepodang.

Burung-burung yang lain setuju. Mereka membantu burung kepodang mencari Xtuntun-Kinil. Mereka berpencar ke dalam hutan, menyisir tepi hutan, hingga ke dekat gurun.

“Hei, apa itu yang bergerak-gerak di semak-semak? Apakah ular?” bisik burung kolibri.

“Ayo, kita lihat saja.” Burung kepodang mendekat, perlahan. Ia mendengar kicauan lemah dari balik semak belukar.

“Xtuntun!” seru burung kepodang. “Aku menemukan Xtuntun!” teriaknya.

Burung-burung yang berada di situ langsung terbang mendekat. Mereka terkejut melihat keadaan Xtuntun-Kinil. Ia gemetar kedinginan karena tak berbulu dan hampir mati kelaparan. Burung-burung menutupi tubuh Xtuntun-Kinil dengan dedaunan agar lebih hangat.

Setelah Xtuntun-Kinil mulai bertenaga, ia menceritakan semuanya. Sekarang, ia tak berbulu sehingga menggigil kedinginan. Hal itu terjadi karena Kukul mengingkari janji untuk mengembalikan bulunya. Ia merasa malu sehingga pergi menyendiri di dalam hutan. Namun, ia pun tak dapat mencari makanan dengan tubuh yang gemetar. Xtuntun-Kinil merasa marah pada Kukul. Dalam kesadaran yang belum pulih betul, Xtuntun-Kinil terus berkata, “Puhuy? Puhuy?” yang dalam bahasa suku Maya berarti, “Di mana dia? Di mana  dia?”

Sahabat-sahabat Xtuntun-Kinil merasa kasihan padanya. Mereka pun menyumbangkan beberapa helai bulu mereka untuk menutupi tubuh Xtuntun-Kinil. Xtuntun-Kinil pun mempunyai bulu baru sebagai pakaian. Sementara burung quetzal, dihukum oleh Dewa Halach Uinic karena kesalahan yang dia buat. Sayangnya, dewa tidak bisa menukar bulu kedua burung itu seperti sedia kala.

Kini, variasi warna dan pola bulu burung roadrunner berselang-selang tak karuan. Oleh karena itu, warna bulu burung roadrunner tak berpola indah seperti dulu. Xtuntun-Kinil telah menurunkan warna bulu berselang-selang kepada keturunannya. Burung-burung roadrunner keturunan Xtuntun-Kinil juga selalu berkicau, “Puhuy? Puhuy?” Dan, mereka masih terus mencari burung quetzal yang membawa kabur bulu moyangnya. 

***

Rimar selesai baca bukunya.

"Cerita yang bagus berasal dari Mesiko," kata Rimar.

Rimar menutup bukunya dan menaruh buku di meja. Rimar ke kamarnya untuk belajarlah, ya mengulas pelajaran yang di berikan sama guru di bangku sekolah.....agar Rimar menjadi anak pintar yang di banggakan kedua orang tua.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK