“Ayah, apakah suaraku merdu?” tanya Mimus kecil pada ayahnya, yang sedang sibuk memperbaiki pondok mereka.
Ayahnya tersenyum, “Ya, Sayang. Suaramu indah sekali. Bernyanyilah untuk ayah,” pinta ayahnya. Mimus lalu mulai bersiul, menyanyikan lagu kesukaan ayahnya. Ia bersemangat sekali.
“Ayah, aku ingin ikut kursus menyanyi. Aku ingin belajar agar nyanyianku terdengar lebih indah. Bolehkah?” ujar Mimus setelah menyelesaikan lagunya.
“Mimus, ayah tak punya cukup uang untuk membayar kursus menyanyi. Lagi pula, suaramu sudah merdu. Nyanyianmu juga indah. Untuk apa kau belajar lagi?”
Mimus terdiam mendengar penjelasan ayahnya. Sebenarnya ia kecewa, namun ia menyadari keadaan keluarganya. Jangankan untuk kursus, pakaian yang mereka punya saja hanya seadanya. Mimus menatap bulu-bulunya yang tampak suram. Ia lantas memendam keinginannya itu dalam-dalam.
Saat Mimus beranjak remaja, ia bekerja sebagai salah satu pelayan di rumah keluarga Kardinal. Burung kardinal adalah keluarga yang kaya dan terpandang. Tuan Kardinal mempunyai putri bernama Pol Che. Pol Che adalah seekor burung yang cantik. Dia suka bersolek dan memakai gaun yang indah.
Suatu hari, seekor burung penyanyi datang ke semenanjung Yukatan. Dia adalah Xcau si burung Turdus. Xcau sangat terkenal karena suara dan nyanyiannya. Tak ada yang menyangka Xcau bersuara merdu karena penampilannya yang sangat biasa. Sekujur tubuhnya tertutup bulu berwarna hitam. Hanya paruh dan lingkar matanya saja yang berwarna kuning tua.
Ketika mendengar kedatangan Xcau, keluarga Kardinal langsung mengundang Xcau ke rumahnya. Mereka menjamu Xcau dengan makanan kesukaan Xcau, yaitu buah beri. Sebenarnya, Tuan Kardinal memiliki tujuan tertentu dengan mengundang Xcau ke rumahnya.
“Tuan Xcau, apakah kau bersedia tinggal beberapa lama di sini?” tanya Tuan Kardinal.
“Untuk apa, Tuan? Saya hanya sekedar singgah di sini,” jawab Xcau.
“Saya ingin Tuan mengajari putri saya bernyanyi. Dia putri yang cantik. Dia akan semakin sempurna bila dia bisa menyanyi dengan merdu seperti Anda. Bagaimana, Tuan?” tawar Tuan Kardinal. Xcau tampak berpikir.
“Saya bersedia memberi bayaran mahal. Berapa pun yang Anda minta, saya akan memberikannya,” lanjut Tuan Kardinal, berusaha membujuk Xcau.
Setelah berpikir cukup lama, Xcau tersenyum, tanda setuju. Namun, Pol Che, sang putri berbeda pendapat dengan ayahnya. Ia tak begitu suka dengan rencana ayahnya.
“Aku tak suka belajar menyanyi, Ayah,” ujar Pol Che, menolak permintaan ayahnya.
“Putriku, kau cantik. Kau akan sempurna bila bisa menyanyi dengan indah. Semua burung akan semakin hormat dan kagum padamu,” bujuk Kardinal. Pol Che masih berat hati. Ia sangat suka dihormati dan dikagumi, tapi ia malas kalau harus belajar menyanyi.
“Baiklah. Kalau kau mau belajar menyanyi pada Tuan Xcau, ayah akan memberikan apapun yang kau suka,” ujar Tuan Kardinal, terus membujuk putrinya. Ia ingin melihat putrinya menjadi seorang penyanyi terkenal. Ia menjanjikan bermacam hadiah bila Pol Che mau belajar menyanyi.
Pol Che menimbang-nimbang tawaran ayahnya. Saat ini, dia memang sedang menginginkan beberapa barang. Akhirnya, Pol Che mengiyakan. Mereka pun segera memulai kelas menyanyi di tempat yang ditentukan oleh Xcau.
Pada hari yang ditentukan, Xcau meminta Pol Che datang ke tengah hutan. Di sana suasananya lebih tenang, sehingga mereka bisa berlatih tanpa gangguan. Mimus diam-diam mengikuti kemana Pol Che pergi. Mimus dan seluruh pelayan keluarga Kardinal mengetahui rencana Tuan Kardinal, yang ingin menjadikan anaknya penyanyi terkenal. Mimus bermaksud ikut belajar, meskipun harus sembunyi-sembunyi.
Mimus mendengarkan pelajaran menyanyi dari Xcau di balik semak-semak. Ia mendengar setiap penjelasan Xcau dengan baik. Setelah itu, ia berlatih sendiri di pondoknya. Mimus bahkan berusaha menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Xcau pada Pol Che, meski ia tak pernah menyerahkan tugasnya pada sang guru.
“Mimus, kau ke mana saja? Kau sering menghilang sekarang. Kau menyelinap pergi ya?” tanya kawan Mimus, curiga.
“Tidak. Aku menjalankan tugas dari Nona Pol Che,” kilah Mimus. Ia takut kalau kawannya mengadukan dia kepada Tuan Kardinal, sehingga ia dipecat.
“Tenang saja. Aku tetap akan menyelesaikan tugas-tugasku di sini walaupun harus pulang terlambat. Aku pastikan semua akan beres,” ujar Mimus, berusaha meyakinkan kawannya.
Selama berminggu-minggu Mimus sering pulang terlambat karena mengikuti kelas menyanyi Pol Che dan Tuan Xcau. Selama itu pula, Tuan Xcau melatih Pol Che tanpa ada kemajuan yang berarti. Xcau mulai menyadari kalau putri Tuan Kardinal kurang berbakat menyanyi. Selain itu, Pol Che juga tak pernah sungguh-sungguh mengikuti kelas menyanyinya.
Xcau tak berani mengatakan semua itu pada Tuan Kardinal. Ia takut karena tak kunjung berhasil mengajari Pol Che bernyanyi dengan merdu. Padahal, ia sudah menerima banyak upah dari Tuan Kardinal. Xcau akhirnya memutuskan pergi, melanjutkan perjalanannya tanpa berpamitan pada Tuan Kardinal.
“Pol Che, kurasa ini adalah pertemuan terakhir kita. Semua hal tentang menyanyi yang aku ketahui, sudah kuajarkan padamu. Tolong sampaikan pada ayahmu, aku harus pergi melanjutkan perjalananku,” pesan Xcau. Pol Che tersenyum senang karena hari-hari beratnya akhirnya berlalu juga.
“Tentu, Tuan Xcau. Aku akan menyampaikan pesan Anda pada ayah.”
Xcau dan Pol Che pun berpisah. Pol che kembali melanjutkan hari-harinya dengan gembira. Dia juga merasa bahagia karena tak perlu belajar menyanyi lagi. Berbeda dengan Pol Che, Mimus justru merasa sedih karena kelas menyanyi itu telah usai. Namun, ia berjanji akan tetap berlatih menyanyi sendiri di pondoknya.
“Baiklah, Pol Che. Kau sudah mendapatkan pelajaran menyanyi dari Tuan Xcau. Sekarang, saatnya kita pamerkan kemampuanmu pada burung-burung hutan, di semenanjung Yukatan,” kata Tuan Kardinal suatu hari.
“Tapi, ayah ….” Pol Che tampak terkejut dengan ucapan ayahnya.
“Kau tak usah khawatir, Nak. Ayah sudah menyiapkan sebuah konser untukmu. Ayah juga sudah menyiapkan gaun indah yang akan kau kenakan nanti,” potong Tuan Kardinal.
“Tapi, ayah ….” Pol Che berusaha menjelaskan.
“Tapi, apa lagi? Hadiah untukmu? Tenang saja. Kau akan mendapatkan semuanya setelah konsermu selesai. Sekarang, teruslah berlatih untuk konser itu,” pungkas Tuan Kardinal. Ia lalu terbang meninggalkan putrinya.
Pol Che terduduk, lemas. Ia memikirkan konser yang akan diadakan ayahnya. Bagaimana ia akan bernyanyi di konser itu? Nyanyiannya tak ada kemajuan sedikit pun. Masih sama seperti dulu, sebelum mengikuti kelas Tuan Xcau. Kalau ia terus bernyanyi, ia pasti akan membuat ayahnya malu. Pol Che kebingungan mencari jalan keluar.
“Bagaimana ini?” keluh Pol Che di kamarnya.
“Ada apa, Nona? Kau gelisah sekali,” tanya Xchol, pelayannya.
“Ayah akan membuatkan konser untukku. Padahal nyanyianku buruk sekali.”
“Bukankah Nona sudah belajar pada Tuan Xcau?”
“Ya. Tapi, aku tak bisa menyanyi seindah Tuan Xcau.”
Xchol tersenyum, “Itu hanya perasaan Nona saja.” Ia berusaha menenangkan Pol Che. “Cobalah menyanyi, Nona. Nyanyianmu pasti merdu dan indah sekali,” dukung Xchol.
“Kau pasti akan menertawakanku,” tolak Pol Che.
“Tidak. Bagaimanapun suara Nona, saya tidak akan tertawa,” burung paruh baya itu menyakinkan putri tuannya.
Xchol sudah merawat Pol Che sejak kecil, sehingga ia cukup dekat dengannya. Pol Che mulai bernyanyi. Suaranya cukup merdu, tapi Pol Che tak bisa menyanyi dengan baik. Melodi yang ia lagukan terdengar sumbang.
“Bagaimana, Xchol?” tanya Pol Che.
“Nona ingin jawaban jujur atau tidak?” Xchol balik bertanya.
“Tentu saja jawaban jujur,” balas Pol Che.
“Baiklah. Tapi jangan marah, ya. Memang masih ada yang kurang, Nona.”
“Nah, kan?” Pol Che cemberut.
“Nona masih punya waktu. Anda bisa terus berlatih sendiri sampai nyanyian Anda benar-benar membuat orang takjub,” hibur Xchol. Pol Che terlihat cemberut. Ia tak suka mendengar kata berlatih lagi. Ia sudah berlatih selama berminggu-minggu. Pol Che sudah bosan dan malas berlatih lagi. Namun, ia juga takut memberitahu ayahnya kalau ia belum bisa menyanyi dengan baik.
Suatu pagi saat Pol Che bangun tidur, ia mendengar suara yang merdu. Ia mencari-cari dari mana datangnya suara itu. Ia menemukan Mimus sedang membersihkan jendela kamarnya sambil bersenandung. Mimus terkejut saat Pol Che memergokinya bersenandung. Ia takut Pol Che akan marah padanya, karena mengira ia mengejek Pol Che. Pol Che segera menarik Mimus masuk ke kamarnya, lalu menutup pintu dan jendela. Pol Che memastikan keadaan aman. Ia mendapatkan ide bagus untuk konsernya nanti.
“Siapa namamu, Burung Kecil?” tanya Pol Che.
“Mimus, Nona,” jawab Mimus, takut-takut.
“Kau tak perlu takut, Mimus. Kau tak bersalah,” ujar Pol Che seakan bisa membaca apa yang dirasakan Mimus.
“Aku butuh bantuanmu, Mimus,” lanjut Pol Che.
“Apakah Nona ingin saya membersihkan kamar ini?” tanya Mimus, lugu. Setiap hari ia memang bertugas membersihkan ruangan-ruangan di rumah keluarga Kardinal.
“Tidak, Mimus. Ada yang lebih penting dari itu.” Mimus diam menunggu Pol Che menjelaskan maksudnya.
“Suaramu indah sekali, Mimus,” puji Pol Che.
“Terima kasih, Nona,” jawab Mimus, malu-malu.
“Kau tahu ayahku akan membuat konser?” tanya Pol Che. Mimus mengangguk bersemangat. Ia mengira Pol Che akan mengajaknya tampil bersama di konser itu.
“Kau, bernyanyilah untukku,” pinta Pol Che.
“Maksud, Nona?” Mimus bertanya, bingung.
“Kau menyanyi di tempat yang tersembunyi saat aku tampil di panggung. Nanti, orang akan mengira suaraku begitu indah. Konser ini sangat penting bagi ayahku, Mimus. Ia akan kehilangan kehormatannya di hadapan para tamu kalau aku menyanyi dengan buruk.” Mimus terdiam mendengar permintaan Pol Che. Ia kecewa.
“Aku akan memberimu imbalan. Apapun yang kau mau,” rayu Pol Che.
Mimus menggeleng, tanda menolak. “Tidak, Nona. Aku tak ingin imbalan apapun darimu.”
“Jadi kau tak mau membantuku?”
“Bukan. Bukan begitu. Aku akan membantumu. Aku akan bernyanyi untukmu, tapi aku tak meminta imbalan apapun darimu,” tutur Mimus. Perkataannya membuat Pol Che heran.
“Kenapa, Mimus? Apa tak ada sesuatu pun yang kau inginkan?”
“Tentu saja ada. Tapi, saya menyanyi karena menyukainya. Saya menyanyi karena saya ingin menyanyi. Jadi, saya tak pantas mendapat imbalan apapun. Bagi saya bisa menyanyi sudah menjadi imbalan yang besar, Nona,” jawab Mimus.
Pol Che terkesima mendengar jawaban jujur Mimus. Mimus begitu baik. Ia merasa bersalah karena memanfaatkan Mimus untuk kepentingannya. Tapi, ia juga tak ingin merusak acara ayahnya. Tuan Kardinal telah mengundang burung-burung dari kelas bangsawan dan musisi untuk hadir di konser Pol Che. Panggung megah sudah disiapkan di halaman rumah mereka yang luas. Sebuah dahan yang dihiasi bunga indah telah diletakkan di tengah panggung. Di dahan itu nanti Pol Che akan menyanyi.
Setelah mendapat bantuan dari Mimus, Pol Che segera meminta bantuan pada Colote, si burung pelatuk. Ia adalah tukang kayu kepercayaan ayahnya. Pol Che menemui Colote diam-diam.
“Colote, aku butuh bantuanmu untuk merubah panggung konserku,” pinta Pol Che.
“Apa yang harus diubah, Nona? Aku telah membuat panggung itu dengan sempurna.”
“Ya, Colote. Panggung itu memang indah sekali. Tapi, ada kejutan yang ingin kubuat di konser nanti. Jadi aku ingin membuat sedikit perubahan.”
“Baiklah. Bagian mana yang harus diubah?” tanya Colote.
“Aku ingin kau membuat lubang kecil di dahan yang ada di tengah panggung. Lubang itu harus cukup untuk berdiam seekor burung kecil. Lalu, tutupilah permukaannya dengan bunga-bunga. Hiaslah sedemikian rupa supaya lubang itu tak tampak jelas. Aku ingin mengeluarkan kejutanku dari situ,” Pol Che menjelaskan panjang lebar.
“Hmmm, ya. Aku mengerti, Nona. Aku akan segera membuatnya.” Pol Che tersenyum senang. Ia sangat yakin jika rencananya bisa berjalan dengan lancar. Pol che membuat lubang itu untuk Mimus. Mimus akan bernyanyi di sana. Sehingga semua tamu akan berpikir jika Pol Che yang menyanyi.
Hari yang menegangkan itu pun tiba. Pol Che tampak cantik dengan gaun barunya. Gaun itu berwarna merah menyala. Ia juga mengenakan mahkota dari untaian bunga-bunga hutan. Penampilannya sangat menawan. Pol che sudah memastikan jika Colote telah membuat lubang di dahan dengan benar. Sebelum matahari meninggi, ia sudah menyuruh Mimus berdiam di sana.
“Mimus, nanti kalau kau mendengar ketukan kakiku di dekat lubang itu. Kau harus mulai menyanyi,” perintah Pol Che.
“Baik, Nona.”
“Kau sudah hafal melodi lagunya?” tanya Pol Che memastikan. Mimus mengangguk.
“Kau sudah hafal urutan lagu yang harus kunyanyikan?” Pol Che bertanya lagi. Mimus mengangguk untuk kedua kali. Pol Che tersenyum puas.
Saat Pol Che maju ke panggung dan hinggap di dahan yang dihiasi bunga-bunga anyelir, para tamu bertepuk tangan untuknya. Ia membungkuk memberikan hormat pada tamu-tamu ayahnya dan mulai membuka paruhnya. Kakinya mengetuk kayu di dekat lubang persembunyian Mimus. Lalu, keluarlah suara merdu yang membuat hadirin terpesona. Beberapa di antara tamu yang datang sampai meneteskan air mata karena tersentuh hatinya. Di setiap akhir lagu, mereka bertepuk tangan. Pol Che melakukan perannya dengan baik, bercuap-cuap seolah dia yang menyanyi dengan suara emas itu. Namun, ayah Pol Che justru tak tampak bangga. Dia hanya terdiam sampai konser Pol Che usai. Tepuk tangan meriah yang mengakhiri penampilan Pol Che juga tak membuatnya puas.
Rupanya, Tuan Kardinal mengetahui siasat putrinya. Pagi tadi ia bangun dan memeriksa panggung konser anaknya. Ia kemudian mendengar percakapan di antara Pol Che dan Mimus. Ia pun melihat saat Mimus merangkak masuk ke lubang kecil di dahan, tempat Pol Che hinggap saat ini.
Saat tepuk tangan masih bergemuruh, Tuan Kardinal terbang dan hinggap di samping anaknya. Pol Che merasa yakin jika ia telah membuat ayahnya senang. Setelah hadirin kembali tenang, Tuan Kardinal mulai bersuara.
“Hadirin yang terhormat. Aku meminta maaf atas tindakan anakku. Aku telah mempersiapkan konser yang megah ini untuknya. Tetapi, burung yang tadi bernyanyi bukanlah dia.”
Suasana menjadi gaduh. Para tamu dan Pol Che terkejut. Wajah Pol Che menjadi pucat pasi. Ia tak menyangka jika ayahnya sudah mengetahui siasatnya. Pol Che mengira Colote yang telah melapor kepada ayahnya.
“Burung kecil, keluarlah dari persembunyianmu!” perintah Tuan Kardinal. Mimus gemetar ketakutan.
“Tak apa. Kau tak perlu takut. Ayo, keluarlah,” perintah Tuan Kardinal lagi.
Mimus tak juga beranjak dari lubang sempit itu. Tuan Kardinal kemudian terbang menghampirinya dan menarik sayap Mimus pelan-pelan, agar keluar dari lubang. Dengan lembut, Tuan Kardinal membawa Mimus bertengger di sebelah Pol Che, di depan seluruh tamunya.
“Burung kecil inilah yang sedari tadi menyanyi dengan suara emasnya, bukan putriku,” Tuan Kardinal mengumumkan. Mimus terlihat malu-malu mendengar pujian Tuan Kardinal. Ia berpikir bahwa Tuan Kardinal akan marah kepadanya.
“Pol Che, ayah minta maaf padamu. Ayah telah memaksamu melakukan hal yang tak kau sukai. Ayah mendengar percakapanmu dengan burung kecil ini dini hari tadi. Kau mau memaafkan Ayah, Nak?”
Pol Che yang sedari tadi terdiam, mendekati ayahnya, “Maafkan aku juga, Ayah.” Ayah dan anak itu lalu berpelukan.
Sementara itu para tamu masih tak percaya. Burung kecil dengan penampilkan sederhana itu punya suara yang begitu indah.
“Sungguh kau yang menyanyi, Burung Kecil?” tanya seorang tamu.
“Ya, Tuan,” jawab Mimus.
“Kalau begitu, nyanyikanlah sebuah lagu lagi untuk kami,” pinta sang tamu.
“Dengan senang hati.” Mimus kemudian bernyanyi, menghibur para tamu. Ia menyanyi dengan sepenuh hati. Suaranya menggema ke penjuru hutan. Baru kali ini ia bisa menyanyi di depan banyak pendengar tanpa rasa was-was.
Sejak itu, keturunan Mimus dari keluarga Mockingbird mewarisi suara merdunya. Mereka juga mewarisi kemampuan Mimus menirukan berbagai macam kicauan burung lain. Sedangkan keturunan Pol Che, mewarisi penampilannya yang selalu cantik dan menawan.
***
Alfonso selesai membaca bukunya.
"Cerita yang bagus berasal dari....Mesiko," kata Alfonso.
Alfonso menutup buku dan buku di taruh di meja.
"Makan ah," kata Alfonso.
Alfonso yang lapar, ya beranjak dari duduknya di teras depan rumah ke ruang makan untuk makanlah.
(sumber cerita: Seri Cerita Rakyat Dunia: Cerita Rakyat Meksiko, Dian Sukma K, Andi Offset)
No comments:
Post a Comment