Seekor tupai kecil yang melihat kesedihan Ainsley, gadis cantik berambut ikal itu, segera merayap ke punggungnya, “Apa yang terjadi denganmu, Sayang?” bisiknya di telinga gadis kecil itu.
Sekuntum bunga cantik berwarna ungu, bermahkota bulat, dan berwarna kuning pun tidak mau ketinggalan. Dia berusaha menebarkan baunya yang semerbak agar gadis kecil itu merasa nyaman. “Gadis kecil yang cantik, mengapa engkau menangis?” bunga itu bertanya, lembut.
Ainsley mendongakkan kepalanya, memandang sesaat ke arah burung bul-bul yang berwarna coklat zaitun. Tangannya mulai terulur, membelai bulu halus seekor tupai yang kini ada di pangkuannya. Semerbak wangi bunga memenuhi rongga dadanya. Perasaannya lebih tenang kini. Ada sahabat-sahabatnya yang setia menemaninya di kala senang dan sedih, sehingga dia tidak merasa sendiri.
“Sakit Ayah kian parah, aku ingin sekali mencari obat untuknya. Tapi, tidakkah kau melihat keadaanku ini?” Ainsley menoleh ke arah Aster, si bunga cantik berwarna ungu.
“Aku tidak mungkin melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan obat itu, Iora.” Ainsley berbisik sambil mendekatkan mulutnya ke arah tupai.
Sejenak, Ainsley memandang burung bul-bul yang masih bertengger di dahan pohon ek. Ia kemudian berseru, “Aku ingin ayahku sehat seperti sedia kala, Nightingales.”
Nightingales, yang berbadan ramping itu menggerak-gerakkan jambulnya. Dia paham benar perasaan Ainsley. Sekian lama tinggal di pohon ek yang berdekatan dengan rumah Ainsley, di tepi hutan, membuatnya tahu benar kehidupan Ainsley dan ayahnya.
Sejak kecil Ainsley telah ditinggal ibunya. Ibunya meninggal beberapa saat setelah Ainsley lahir ke dunia. Kini, ia hidup bersama ayahnya di sebuah rumah kayu, sederhana, di pinggir hutan. Setiap hari, ayahnya bekerja di hutan, mencari kayu bakar dan buah-buahan yang bisa dimakan. Sekali waktu ia juga berburu binatang untuk dimasak.
Suatu hari, ketika ayah Ainsley berburu di tengah hutan, ia terpeleset dan jatuh ke jurang. Ayah Ainsley berusaha keluar dari jurang dengan sekuat tenaga, tapi tubuhnya penuh dengan luka. Semakin hari, luka itu semakin parah. Ainsley kecil berusaha membuat obat-obatan yang diramunya sendiri dari daun-daunan yang ada di pinggir hutan. Keadaan Ainsley tidak memungkinkannya untuk masuk ke hutan terlalu dalam. Namun, semua ramuan yang dibuat Ainsley tidak kunjung menyembuhkan luka ayahnya.
“Jangan sedih, Ainsley, Sayang. Aku akan menyanyikan sebuah lagu agar gundah di hatimu sirna.” Nightingales mengembangkan kedua sayapnya, menarik udara sore yang wangi, dan ia mulai memperdengarkan suaranya yang merdu.
Cit .. Cit .. Cicicuit .. Cicicuit .. Cicicuit ..
Sore yang indah, mari kita bernyanyi dan menari
“Mengantar sang mentari, tidur di peraduannya.
Namun, ini sore yang indah
Mari, kawan semua kita bernyanyi
Hilangkan sedih, hilangkan gundah
Kami ada di sini, wahai kawan kecilku.
Ayo, kawan yang cantik, hapus air matamu.
Kami ada di sini untuk menghiburmu
Mari, menyanyi, menari .. hilangkan sedih ..”
Senyum Ainsley mulai terbit begitu mendengar kicauan Nightingales. Senyumnya semakin lebar saat mendapati Iora menari, lucu, bersama Aster yang menggoyang-goyangkan daunnya. Ainsley merasa kesedihan di hatinya sedikit berkurang, ia pun ikut berdendang. Setelah lelah bernyanyi dan menari, mereka pun beristirahat sejenak. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu berwarna biru hinggap di mahkota Aster.
“Mengapa kalian tidak memanggilku untuk bernyanyi bersama?” Kupu-kupu itu bertanya, dengan nada merajuk.
“Kami sedang menghibur Ainsley yang sedang bersedih,” jawab Iora.
Wajah Ainsley terlihat murung kembali. Kupu-kupu yang melihat perubahan itu, merasa bersalah. Sembari berputar di sekitar Ainsley, ia pun bertanya, “Apa yang membuatmu bersedih, Ainsley?” Ainsley lalu membuka telapak tangannya, hingga kupu-kupu itu dapat hinggap di sana.
“Luka-luka di tubuh Ayah semakin parah. Obat yang aku dapat di hutan tidak bisa lagi mengobati luka-lukanya.” Sesaat, Ainsley terdiam. Sebelah tangannya menyeka air mata yang menitik dari kelopak matanya yang indah.
“Ayah mengatakan jika ada obat yang bisa menyembuhkan lukanya. Tapi, aku tidak mungkin mendapatkannya,” seru Ainsley. Ia tertunduk sedih.
“Obat apakah itu?” tanya kupu-kupu ingin tahu.
Ainsley menjawab, pelan, “Sekuntum bunga, Failea.” Failea, si kupu kupu bersayap biru itu kembali terbang berputar.
“Bunga seperti dirikukah, Sayang?” tanya Aster, menggoyangkan daunnya.
“Bukan, Aster,” Ainsley menggeleng lemah.
“Bunga apakah itu?” Nightingales pun merasa ingin tahu.
Ainsley menatap Nigtingales, terlihat putus asa, “Bunga itu adalah bunga mawar merah, Sahabatku.”
Suasana menjadi hening. Semuanya terdiam, berpikir keras. Mereka tidak tahu bagaimana cara mendapatkan bunga mawar merah itu. Lagipula, mereka juga tidak tahu di mana bunga mawar merah itu tumbuh.
“Failea, bukankah kamu selalu terbang mencari bunga-bunga. Apakah kamu tahu di mana bunga mawar merah itu berada?” Iora, si tupai mulai membuka suara.
“Aku juga tidak tahu, Iora. Sejak sayapku patah satu, aku tidak bisa terbang jauh. Aku hanya berkeliling di tepi hutan ini saja,” jawab Failea. Ia merasa sedih karena tidak bisa memberikan informasi yang dibutuhkan kawan-kawannya.
“Tidak apa-apa, teman. Aku yang akan mencarinya sendiri,” seru Ainsley, mencoba meredam kegelisahan teman-temannya.
“Tapi, bagaimana kau bisa sampai di tempat bunga mawar merah, sedangkan kakimu seperti itu, Sayang?” Aster bertanya hati-hati. Ia nampak tidak tega melihat keadaan Ainsley.
Ainsley memandang teman-temannya satu per satu, ia kemudian berkata dengan mantap, “Tongkatku ini masih berfungsi dengan baik. Aku pasti bisa menempuh perjalanan itu. Walaupun sulit, aku akan tetap berusaha. Kalian tahu, aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain Ayahku. Aku harus mendapatkan mawar merah itu.”
Pada mulanya, Ainsley memang merasa ragu dengan dirinya sendiri. Kaki kirinya cacat, tidak bisa digunakan untuk berjalan. Jadi, ia memerlukan tongkat untuk dapat berjalan dengan normal. Selama ini, ia belum pernah menempuh perjalanan jauh. Tetapi, semangatnya yang membara dan keinginannya yang kuat untuk menyembuhkan ayahnya, membuat ia yakin jika ia dapat menempuh perjalanan sejauh apapun.
“Aku akan menemanimu, Ainsley.” Suara merdu Nightingales membuat Ainsley semakin bersemangat.
Failea juga merasa tergerak melihat semangat Ainsley, dengan penuh haru dia berkata, “Seperti dirimu yang hanya mempunyai satu kaki, sayapku yang patah satu seharusnya tidak menghalangiku untuk membantumu, Ainsley. Aku akan ikut dengan kalian.”
“ Bagus, Failea, penciumanmu yang tajam akan sangat membantu Ainsley dan Nightingales menemukan mawar merah itu,” dukung Aster. Faliea tersenyum senang mendengar dukungan dari Aster.
Iora yang sedari tadi terdiam, merasa harus ikut melakukan sesuatu untuk membantu sahabatnya. Ia pun lantas berseru, “Ainsley, aku dan Aster akan menjaga Ayahmu selama kau pergi. Kamu tidak perlu khawatir, aku yang akan mencari makanan untuknya.”
Ainsley tersenyum senang. Ia begitu bahagia karena sahabat-sahabatnya begitu ringan tangan dan mau bergotong-royong membantu dirinya.
“Baiklah, Sahabatku. Besok pagi, aku, Nightingales, dan Failea akan berangkat. Aster, Iora, terima kasih karena kalian mau menjaga Ayah selama aku pergi. Kalian semua memang sahabatku yang baik. Aku sayang kalian semua,” tutur Ainsley, tulus.
Keesokan harinya, Ainsley, Nightingales, dan Failea sudah siap untuk melakukan perjalanan panjang mereka. Di tempat mereka berkumpul kemarin, Iora dan Aster mengantar kepergian sahabat-sahabat mereka dengan doa. Mereka berharap Ainsley dan kedua sahabatnya dapat menemukan mawar merah dengan segera, sehingga mereka dapat pulang kembali dengan selamat dan ayah Ainsley dapat disembuhkan.
“Aster, Iora, aku titipkan Ayah pada kalian berdua. Tolong, jaga dia baik-baik, ya!” kata Ainsley, mencoba menguatkan hatinya. Sebenarnya, ia tidak tega, namun ia tahu, ayahnya akan lebih menderita jika ia tidak dapat menemukan obat untuk menyembuhkannya. Iora lalu mengibaskan ekornya yang lebat. Aster pun menundukkan kelopak bunganya. Mereka berdua berjanji pada Ainsley akan menjaga ayahnya dengan baik.
Ainsley cukup lega melihat ketulusan Aster dan Iora. Ia pun merasa lebih siap, “Ayo, Nightingale, Failea, kita berangkat.”
Ainsley sudah mempersiapkan tongkatnya untuk perjalanan jauh. Dengan langkah terseok, Ainsley berjalan diikuti oleh Nightingales yang meluncur ke angkasa mencari jalan yang aman untuk dilalui. Failea mengepakkan sayap birunya di sekitar Ainsley. Mereka mencari taman bunga di mana bunga mawar merah mungkin tumbuh. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah mereka di sebuah taman bunga yang luas. Ainsley terpesona, ia belum pernah melihat bunga-bunga cantik berkumpul menjadi satu. Ada bunga berwarna putih yang bentuknya seperti terompet, kelopaknya berjumlah enam buah, dan bagian pangkalnya menyatu. Putik bunga itu berwarna kuning, daunnya hijau memanjang. Bunga lili. Selain warna putih, ada juga yang berwarna ungu dengan putik berwarna putih kehijauan. Oh .. indahnya. Selain bunga lili, ada juga bunga daisy yang sedang bermekaran,berwarna kuning cerah. Di sisi lain, bunga daffodil sedang menaburkan kelopaknya yang putih bersih, digoyang angin yang bertiup semilir, pelan.
Tidak jauh dari tempat Ainsley berdiri, Failea menyibukkan diri, dengan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Rupanya, tidak hanya Ainsley yang merasa senang berada di tempat ini. Failea juga merasa sangat senang. Nightingales kemudian berinisiatif untuk berputar mengelilingi taman, guna menghemat waktu dan tenaga yang mereka miliki. Udara akan mempermudah mereka menemukan bunga yang mereka cari. Namun, ternyata ia kalah gesit dari Failea. Failea tiba-tiba berteriak dengan lantang, “Hai, teman-teman, di sini ada bunga mawar!”
Failea sudah terbiasa menyerbukkan bunga-bunga. Hal itu membuatnya lebih mudah mendapatkan bunga mawar yang mereka cari. Ainsley dan Nightingales segera mendekat begitu mendengar teriakan Failea.
Ainsley dengan lembut berkata, “Mawar, aku memerlukan sekuntum mawar merah sebagai obat untuk Ayahku. Maukah kau memberikannya kepadaku?”
“Aku hanya memiliki bunga berwarna putih, wahai gadis cantik. Jika engkau menginginkan mawar merah, cobalah kalian pergi ke arah bintang timur. Semoga saja kalian bisa mendapatkannya,” kata mawar.
Ainsley tampak kecewa, tapi dia tidak mau putus asa. Nigtingales melihat kekecewaan Ainsley, ia pun berusaha membujuk bunga mawar, “Apakah kau tidak bisa mengeluarkan mawarmu yang berwarna merah? Aku akan menyanyikan sebuah lagu yang paling merdu untukmu, Mawar.”
Mawar tersenyum, lalu berkata, lembut, “Tidak bisa Burung Bul-Bul, mawarku hanya berwarna putih. Pergilah ke arah bintang timur. Aku akan berdoa semoga kalian berhasil mendapatkan mawar merah yang kalian cari.”
Setelah mendengar penjelasan mawar, Nightingales segera melihat ke sekeliling. “Ayo, kita segera ke sana. Arah bintang timur menuju sebuah bukit kecil,” Nightingales berkata, penuh semangat. Ia segera menjadi petunjuk jalan, karena ia yang menguasai medan perjalanan.
Failea yang tadi hinggap di ranting mawar, segera mengikuti langkah Ainsley dan kepak Nightingales yang segera terbang menuju ke bukit. Namun, sebelum pergi, ia berseru kepada mawar, “Terima kasih, Mawar.” Mawar menggoyangkan dahannya, mengangguk perlahan.
Perjalanan kali ini cukup melelahkan untuk Ainsley. Ia berhenti sejenak, memeriksa tongkat kayu buatan ayahnya. Tongkat itu masih cukup kuat untuk menopang langkahnya hingga berkilo-kilo meter lagi.
“Ayo, Ainsley. Kamu tidak boleh patah semangat.” Nightingales berusaha mengobarkan semangat Ainsley. Sambil mencari jalan, ia menyanyikan lagu–lagu riang. Cericit Nightingales sedikit banyak menghilangkan rasa lelah yang mulai dirasakan oleh Ainsley dan Failea.
Setelah sekian lama berjalan menyusuri jalur menuju bukit, akhirnya Failea mendapati segerombolan mawar liar. Ainsley pun segera mendekati mawar itu.
“Mawar yang indah, maukah kau menolongku? Berikanlah setangkai mawar merah untukku sebagai obat bagi kesembuhan Ayahku,” kata Ainsley, memohon.
“Wahai gadis kecil yang cantik, aku tidak menghasilkan bunga mawar berwarna merah, mawarku hanya berwarna kuning,” ujar Mawar menjelaskan.
“Mawar, tidak bisakah kau mengeluarkan bunga berwarna merah. Aku bisa menyanyikan lagu yang indah untukmu,” Nightingales menambahkan. Dia tidak ingin melihat kekecewaan yang lebih dalam di paras cantik Ainsley.
“Aku tidak bisa, wahai Burung Bul-Bul. Jika kalian ingin mawar merah, kalian bisa mencarinya ke arah petala salju. Semoga kalian dapat menemukannya di sana.” Mawar kuning berbaik hati menunjukkan tempat mawar merah tumbuh.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan, melangkah menuju arah yang ditunjukkan oleh mawar kuning. Arah menuju petala salju sangat jauh. Setelah beristirahat sesaat, mereka melanjutkan perjalanan menuju petala salju. Perjalanan ini kian panjang, tapi tak ada satu pun dari mereka bertiga yang mengeluh. Tekad mereka sudah bulat, mereka harus pulang membawa mawar merah. Musim berganti. Hawa dingin menemani mereka selama perjalanan kali ini. Ainsley berusaha menata langkahnya dengan hati-hati.
“Apakah kalian baik-baik saja?” Nightingales yang melayang di udara berusaha memantau keadaan kedua sehabatnya itu. Ainsley tersenyum kecil.
“ Kami baik-baik saja, Nightingales,” seru Failea, “sayapku masih sanggup menempuh perjalanan sampai ke petala salju,” lanjutnya.
Cuit … Cuit … Cuit … Cuit … Nightingales bernyanyi untuk meringankan perjalanan. Hati yang senang membuat perjalanan tidak terasa melelahkan. Sampai akhirnya mereka tiba di petala salju. Semua terlihat putih, salju telah turun di tempat ini. Adakah mawar yang tumbuh dan bertahan di tengah dinginnya salju. Ainsley membatin. Dia tidak ingin kehilangan harapan untuk mendapatkan setangkai mawar merah. Kali ini, Nightingales yang menemukan pokok mawar hampir mati. Seluruh batangnya diselimuti salju. Ainsley pun segera bersimpuh membersihkan salju yang menempel di batang pohon mawar itu.
“Mawar, kami datang dari jauh. Kami telah menempuh perjalanan yang sangat lama. Kami mencari sekuntum bunga mawar merah untuk menyembuhkan luka-luka yang diderita Ayahku. Tolonglah kami, Mawar. Berikanlah setangkai mawar merah pada kami.” Ainsley berkata dengan suara yang nyaris tak terdengar. Matanya berkaca-kaca. Hanya inilah harapan terakhir yang ia miliki.
“Ya, tolonglah kami, Mawar. Aku akan menyanyikan lagu yang merdu untukmu.” Nightingales berusaha menawarkan suaranya yang indah untuk membantu Ainsley mendapatkan mawar merah yang dicarinya, seperti yang sudah-sudah.
“Aku adalah Rosanna, dan memang mawarku berwarna merah,” kata mawar tersendat. Mata Ainsley berbinar senang.
“Tapi, salju telah membekukan pembuluh darahku, sehingga aku tidak bisa berbunga. Aku hanya bisa berbunga jika ada seekor burung yang mau menancapkan dadanya di duriku. Darah burung itulah yang akan menumbuhkan bungaku,” perlahan-lahan, mawar mencoba menjelaskan.
Ainsley tertegun. Ia kemudian bertanya, “Tidak bisakah darah anak manusia yang kau gunakan?”
“Tidak bisa gadis cantik, karena burung itu juga harus bernyanyi semalam suntuk untuk menumbuhkan tunas dan bunga-bungaku.”
“Aku akan melakukannya, Ainsley,” Nightingales berkata mantap, “kau tidak usah khawatir, aku akan baik-baik saja.” Burung bul-bul itu mencoba menenangkan Ainsley, yang terlihat khawatir dengan keselamatan Nightingales.
“Baiklah, kita akan segera melakukannya,” seru Nightingales, yakin.
Rosanna dan burung bul-bul pun segera bersiap-siap. Ainsley dan Failea menunggu mereka di bawah pohon yang letaknya tak jauh dari Rosanna tumbuh. Perjalanan yang panjang dan melelahkan membuat mereka tertidur. Sementara tidak jauh dari mereka, Nightingales sudah mulai menancapkan dadanya di duri pohon mawar. Darah mulai mengalir. Rosanna menyerapnya perlahan-lahan. Menyalurkan ke ranting-rantingnya dan mulai membentuk tunas-tunas baru.
“Tancapkanlah dadamu lebih dalam dan bernyanyilah dengan merdu, agar bungaku mekar dengan indah,” kata sang mawar.
Nightingales pun bernyanyi dengan merdu, tidak dirasakannya sakit dari tusukan duri mawar itu. Ia terus bernyanyi tentang cinta dan pengorbanan. Cinta seorang anak yang mau berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan obat bagi kesembuhan ayahnya. Serta pengorbanan dirinya yang tulus untuk sahabatnya, Ainsley. Sementara itu, di bawah pohon, Ainsley bermimpi tentang hal-hal yang menakutkan.
Pagi menjelang, Ainsley mendapati Failea masih tertidur di sampingnya. Dia segera membangunkannya dan bergegas mendatangi pokok mawar. Namun, alangkah kagetnya Ainsley ketika mendapati Nightingales terkapar tak bernyawa di bawah pohon mawar. Ia juga melihat pokok mawar itu sudah mengeluarkan setangkai bunga mawar yang mekar sempurna.
“Nightingales...!” Failea menjerit, hinggap di tubuh Nightingales yang dingin dan kaku. Ainsley menangis tersedu-sedu, mendapati sahabatnya sudah tidak bernyawa lagi. Rasa sakit yang teramat sangat menyayat hatinya. Dia telah kehilangan salah satu sahabat terbaiknya. Sahabat yang dengan rela menyerahkan nyawa untuk menolongnya.
“Mawarku telah tumbuh dengan sempurna. Silakan kalian petik. Semoga bisa menjadi obat untuk ayahmu yang terluka,” Mawar merah berbicara dengan lancar. Batangnya telah menghijau. Pembuluh darahnya sudah normal kembali.
Ainsley lalu memetik setangkai mawar merah dengan berlinangan air mata. Setelah mengucapkan terima kasih kepada mawar merah, dia beranjak dari tempat itu sambil membawa jasad Nightingales yang dia bungkus rapi dengan kain sobekan bajunya. Failea terbang di sampingnya tanpa bersuara. Mereka diliputi duka yang mendalam. Perjalanan pulang terasa panjang dan melelahkan tanpa kicauan merdu si burung bul-bul, Nightingales.
Sesampai di rumah, Iora dan Aster menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Iora tampak girang melihat Ainsley membawa bungkusan kecil, “Kalian mendapatkannya?”
Aster yang tak melihat keberadaan Nightingales, bertanya, “Kenapa kalian terlihat muram, di mana Nightingales ?” Ia melihat sekeliling, mencari si burung bul-bul.
“Kita telah kehilangan Nightingales,” Failea menjawab dengan suara parau.
“Ainsley, apa yang terjadi dengan Nightingales?” suara Iora penuh tanya.
“Nightingales telah mengorbankan hidupnya untuk mendapatkan mawar merah ini.” Ainsley menunjukkan setangkai mawar merah yang dipetiknya di petala salju. Ada perasaan bersalah di nada suaranya.
Mereka semua terdiam. Nightingales adalah sahabat mereka yang baik. Kematiannya membuat mereka semua merasa sangat kehilangan. Setelah hening cukup lama, Aster memutuskan untuk membuka suara, “Ainsley, Nightingales sudah berkorban untuk mendapatkan mawar itu, kita tidak boleh menyia-nyiakannya. Segeralah kau jadikan mawar itu sebagai obat untuk menyembuhkan Ayahmu. Walaupun Nightingales telah tiada, aku yakin ia pasti sangat bahagia karena bisa menolong sahabatnya.”
Ainsley teringat kondisi ayahnya. Dia segera berlari ke rumahnya. Ayahnya sedang berbaring di tempat tidur, keadaannya semakin memprihatinkan. Ainsley segera membuatkan ramuan obat dari bunga mawar merah itu. Lalu, dengan hati-hati ia meminumkan ramuan itu kepada ayahnya. Setelah habis, ia membiarkan ayahnya beristirahat.
Ainsley kembali teringat Nightingales. Ia kemudian membuka bungkusan yang tadi ia letakkan di atas meja. Dia berencana membuat upacara kecil untuk menguburkan sahabatnya itu. Namun, ketika ia beranjak membuka pintu, ia melihat tubuh ayahnya bergerak-gerak. Ainsley berbalik, mendekati ayahnya. Ayah Ainsley membuka mata perlahan, lalu tersenyum melihat Ainsley.
“Ayah, sudah sembuh?” Ainsley berseru girang.
“Hem … Sepertinya begitu, tubuh Ayah terasa segar sekali.”
Ayah Ainsley mencoba bangkit dari tempat tidur. Ainsley serta merta memeluk ayahnya. “Syukurlah Ayah sudah sembuh. Aku senang sekali, Ayah. Tapi, aku juga sedang sedih. Sahabatku ... Nigtingales …,” Ainsley tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia hanya menunjuk sebuah bungkusan di tangannya. “Kita harus menguburkannya, Ayah,” ujarnya setengah berbisik.
“Ada apa dengan Nightingales?” seru ayah, terkejut.
Ainsley menatapnya, penuh haru, “Nanti kuceritakan kepada ayah, Iora, dan Aster.”
Mereka berjalan beriringan keluar rumah. Ayah segera menggali lubang di bawah pohon ek untuk menguburkan Nightingales. Setelah penguburan selesai, mereka duduk di sisi kuburan. Ainsley kemudian menceritakan kembali perjalanannya bersama Nightingales dan Failea untuk mendapatkan setangkai mawar merah itu kepada ayah, Iora, dan Aster.
***
Amanda selesai baca bukunya.
"Cerita yang bagus dari asalnya Irlandia," kata Amanda.
Amanda menutup bukunya dan menaruh buku dengan baik. Ibu menghampiri Amanda. Ibu mengajak Amanda keluar rumah, ya ke rumah teman ibu.
No comments:
Post a Comment