CAMPUR ADUK

Tuesday, August 10, 2021

ALICE, PERI DAN IKAN AJAIB

Desi selesai membantu ibu memasak di dapur, ya sampai menikmati makanan di ruang makan. Desi duduk di ruang tengah sambil membaca buku cerita yang bagus banget sih.

Isi buku yang di baca Desi :

Alice adalah anak perempuan yang sangat baik hati. Ia hidup bersama dengan beberapa saudaranya. Setiap hari, Alice mencari ikan di sungai untuk lauk makan semua saudaranya. Ya! Alice selalu mengutamakan saudara-saudaranya, daripada dirinya sendiri. Alhasil, tubuhnya menjadi kurus. Meski demikian, Alice tak pernah mengeluh. Ia selalu riang gembira.

Suatu hari, Alice sedang mencari ikan di sungai. Tiba-tiba, ia melihat peri yang terperangkap. Tanpa membuang waktu, Alice langsung menolongnya.

“Aku tahu kamu anak yang baik, Alice,” ucap peri itu.

Alice merasa bingung, bagaimana peri itu bisa mengetahui namanya.

“Jangan bingung. Setiap hari, aku memperhatikanmu. Untuk hadiah kebaikanmu, aku akan memberikan seekor ikan. Kamu boleh memakan daging ikan itu.Tapi, kamu jangan memakan tulangnya.Tulang ikan itu bisa mengabulkan apa pun permintaanmu. Ingat, gunakan permintaan itu sebaik mungkin,” jelas peri itu.

Olala, dari dalam sungai, muncul seekor ikan yang besar. Alice pun langsung menangkapnya. Setelah menangkap ikan itu, Alice membawanya pulang. Alice memasak ikan itu, dan memakannya bersama saudara-saudaranya. Sesuai dengan perintah peri, Alice menyimpan tulang ikan itu. Ia berniat akan menggunakan tulang itu saat menghadapi masalah yang sulit.

Waktu terus berlalu. Rupanya, ada banyak masalah yang menimpa Alice. Tapi, Alice selalu berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tak mau bergantung kepada seseorang, atau bahkan kepada tulang ikan ajaib. Suatu hari, ketika Alice sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, ia menghadapi masalah yang teramat sulit. Dengan berat hati, akhirnya Alice mengeluarkan tulang ikan ajaib.

“Tulang ikan ajaib, aku membutuhkan bantuanmu,” pinta Alice.

Cling! Olala, tulang ikan itu berubah menjadi peri yang dulu ditemuinya di sungai.

“Kamu sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, Alice. Aku senang, karena selama ini kamu bisa melewati masalahmu dengan baik dan tanpa membutuhkan bantuanku. Sekarang, apa yang bisa aku bantul?” ucap peri itu.

Alice pun menceritakan semua masalahnya. Seketika, sang peri mengabulkan semua permintaan Alice. Bahkan, sang peri mempertemukan Alice dengan seorang pemuda yang kaya raya. Itu sebagai hadiah, karena Alice bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada orang lain. Alice pun menikah dengan pemuda itu. Sejak saat itu, keluarga Alice tidak lagi hidup miskin. Mereka hidup bahagia bersama-sama.

***

Desi terus membaca pesan moral yang di tulis dengan baik di buku sih yaitu jika ada masalah, selesaikanlah dengan kemampuan diri sendiri dulu. Jika sudah tak mampu, baru meminta bantuan orang lain. Dengan begitu, kita akan menjadi anak yang bijak.

"Cerita yang bagus," kata Desi.

Desi telah selesai membaca bukunya, ya buku di tutup dan di taruh di meja. 

"Nonton Tv ah!" kata Desi.

Desi mengambil remot di meja dan di hidupkan dengan baik Tv. Acara Tv yang di tonton Desi, ya acara masakan sih karena memang Desi sangat suka memasak sih. Remot di taruh di meja sama Desi dan fokus nonton Tv dengan baik.

KINTARO

Tina duduk santai di ruang tengah, ya sedang membaca buku yang ia pinjem dari teman baiknya Tere. Buku cerita memang berasal dari Jepang, ya di tulis dengan baik di buku sih.

Isi buku yang di baca Tina :

Konon dahulu kala tinggallah seorang anak laki-laki bernama Kintaroo bersama ibunya di sebuah desa jauh di pedalaman gunung Ashigara. Kintaroo adalah seorang anak yang baik hati dan berbakti kepada orang tuanya. Dia mempunyai keistimewaan yaitu mempunyai kekuatan fisik yang sangat kuat. Kemana pun Kintaroo pergi, dia selalu membawa senjata kapak.

Suatu hari ketika sedang menebang pohon di hutan, tiba-tiba ada seekor beruang besar menyerang Kintaroo. Dengan gesit Kintaroo menghindari setiap serangan si beruang. Lalu dengan kekuatannya dia mengangkat tubuh beruang itu dan membantingnya ke tanah dengan keras. Beruang itu pun menyerah kalah dan tunduk kepada Kintaroo.

Sejak saat itu kemana pun Kintaroo pergi selalu menaiki punggung si beruang. Melihat si beruang yang menjadi raja hutan di gunung itu kalah, binatang-binatang yang lain pun ikut tunduk pada Kintaroo. Akhirnya Kintaroo dinobatkan menjadi pemimpin para binatang di hutan itu.

Sejak kecil Kintaroo selalu di didik ibunya agar menjadi seorang ksatria yang hebat dan pilih tanding. Suatu hari ibu membuatkan onigiri (nasi kepal) buat Kintaroo dan semua binatang sahabatnya karena mereka mau bermain-main ke gunung. Di gunung mereka saling beradu kekuatan dengan bermain sumo.

“Ayo siapa lagi yang mau adu kekuatan denganku?” tantang Kintaroo pada semua binatang sahabatnya.

Namun semua tidak ada yang menjawab karena tenaganya sudah habis terkuras setelah tadi bermain sumo dengan Kintaroo.

“Wah, kalian payah semua! Baru segitu saja sudah capek!”

Ketika matahari mulai condong ke arah barat mereka mengakhiri permainannya dan pulang ke rumah. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan serombongan pasukan kerajaan. Rombongan itu bermaksud pergi ke desa sebelah tapi mereka tersesat dan terjebak jurang dalam yang tidak ada jembatan penyeberangannya.

“Hai, anak muda! Bisakah kamu menolong kami?” tanya pemimpin pasukan itu.

“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Kintaroo.

“Begini. Kami ingin ke desa sebelah tapi tersesat dan terjebak di tempat ini. Kalau harus mengambil jalan memutar, pasti akan kemalaman di tengah hutan. Satu-satunya jalan harus menyeberangi jurang ini. Tapi sayang kami tidak menemukan sebuah jembatan.”

“Oh, begitu. Baiklah.”

Kemudian Kintaroo mengerahkan seluruh kekuatannya merobohkan sebuah pohon besar yang ada di pinggir jurang. Lalu menjadikan pohon itu sebagai jembatan penyeberangan. Akhirnya mereka semua bisa menyeberang ke desa sebelah. Melihat kekuatan Kintaroo tersebut, Minamoto Raiko sang pemimpin pasukan merasa sangat kagum dan meminta Kintaroo supaya mau menjadi anak buahnya.

“Kau hebat sekali anak muda. Siapa namamu?”

“Kintaroo, tuanku.”

“Ketahuilah! Aku adalah Minamoto  Raiko pemimipin tertinggi di Jepang. Maukah kau bergabung menjadi anak buahku?”

“Dengan senang hati, paduka. Tetapi saya harus mendapat ijin dari ibu saya dahulu.”

Kemudian mereka menuju rumah Kintaroo bersama-sama. Begitu bertemu dengan ibunya, Kintaroo langsung mengutarakan maksud Minamoto Raiko yang ingin menjadikannya sebagai anak buahnya.

“Apakah ibu mengijinkan saya menjadi prajurit?”

“Ibu mengijinkanmu, anakku. Jadilah seorang prajurit yang baik,” kata ibunya sambil membelai rambut Kintaroo.

Setelah menjadi anak buah Minamoto Raiko, nama Kintaroo diubah menjadi Sakatono Kintoki. Kintoki pun berpamitan kepada semua binatang sahabatnya di hutan untuk pergi ke ibukota kerajaan. Ketika rombongan Minamoto Raiko melewati kaki gunung Suzuka. Ada sebuah papan pengumuman yang bertuliskan ‘Barang siapa bisa membasmi setan akan diberi hadiah besar!’

Setelah membaca papan pengumuman itu, Kintoki menawarkan diri untuk menjadi pembasmi setan. Lalu Minamoto Raiko pun memberinya ijin. Kintoki segera menyelinap masuk ke dalam goa tempat tinggal setan itu. Di dalam goa dia memperkenalkan diri kepada raja setan sebagai seorang seniman jalanan.

“Hai, manusia! Berani sekali kau masuk istanaku? Apa kau sudah bosan hidup?” bentak raja setan pada Kintoki.

“Ampun baginda raja setan. Kedatangan saya kemari memang saya sengaja. Karena saya ingin menghibur semua setan yang ada di dalam goa ini.”

“Apa? Mau menghibur? Hahahahaa… Bagus, bagus… Sudah lama aku tidak pernah menonton hiburan. Apa yang akan kau tunjukkan pada kami?”

“Saya akan menyanyi dan menari.”

“Baiklah. Sekarang cepat lakukan!” perintah raja setan.

Kintoki pun segera menyanyi dan menari menghibur para setan dalam goa. Raja setan sangat senang dan terkagum-kagum pada kepandaian Kintoki menyanyi dan menari. Begitu raja setan dan anak buahnya terlena dan lengah karena mabuk berat, tiba-tiba Kintoki menyerang para setan dan mengalahkannya satu per satu.

“Hai! Apa yang kamu lakukan?” raja setan sangat terkejut begitu Kintoki tiba-tiba menyerang dirinya.

Raja setan tak bisa menghindari serangan Kintoki dan dia pun bisa ditakhlukkan. Kintoki segera mengikat raja setan dan semua anak buahnya lalu membawanya ke tempat Minamoto Raiko.

“Hebat Kintoki! Kau benar-benar seorang pemberani,” kata Minamoto Raiko memuji keberanian Kintoki. Dia lalu memberikan hadiah sebuah pedang kepada Kintoki dan mengangkatnya menjadi seorang samurai.

Setelah itu Kintoki kembali pulang ke gunung untuk menjenguk ibu dan semua binatang sahabatnya. Ibunya sangat senang dan terharu melihat Kintaroo yang sudah menjadi seorang samurai yang gagah perkasa.

***

Tina selesai membaca bukunya, ya buku di taruh di meja dengan baik.

"Nonton Tv ah!" kata Tina.

Tina mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik banget. Acara Tv yang di tonton Tina, ya sinetron tema cinta. Tina menaruh remot di meja dan fokus nonton acara Tv yang bagus banget sih.

PATUNG JISOO BERCAMPING BAMBU

Yanti sedang duduk di kamarnya, ya sedang membaca buku cerita yang bagus asal cerita dari Jepang memang di tulis dengan baik sih di buku.

Isi buku yang di baca Yanti :

Dahulu kala di negeri Jepang hiduplah sepasang kakek nenek yang sangat baik hati. Mereka juga sangat taat beribadah. Meskipun setiap hari rajin bekerja dari pagi hingga sore, tapi kehidupan mereka selalu kekurangan. Meskipun begitu mereka tetap bersyukur dan suka menolong sesama. Suatu hari di musim semi. Setelah seharian bekerja menggarap sawah, kakek dan nenek itu duduk istirahat di pinggir sawah sambil makan nasi bontotannya. Tiba-tiba ada seekor kera dan tupai berloncatan di dekatnya.

“Oh, kalian juga ingin makanan ini, ya?” ujar sang kakek sambil memberikan sebagian makanannya.

Lalu ketika musim panas tiba, matahari pun bersinar begitu menyengat. Seakan-akan panasnya hendak membakar semua yang ada.

“Waduh… panas sekali hari ini! Ah, sepertinya patung jisoo itu  juga kepanasan. Kalau begitu akan kusirami air,” kata sang kakek.

Begitulah disela-sela bekerja di sawah, kakek dan nenek itu selalu menyempatkan diri untuk menyirami patung jisoo yang berada di jalan menuju persawahan dengan air sungai kecil yang mengalir didekatnya. Jisoo menurut kepercayaan agama Budha merupakan makhluk sejenis malaikat yang suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Oleh karena itu orang-orang Jepang di jaman dulu banyak yang membuat patungnya untuk menjaga desa mereka. Musim panas pun berlalu, berganti dengan musim gugur yang penuh dengan hasil panen palawija dan buah-buahan. Kakek dan nenek itu pun tidak lupa mempersembahkan sesaji kepada patung jisoo berupa ketimun dan buah kesemek hasil panenannya sebagai rasa terima kasih.

“Oh, Dewa. Terimalah persembahan kami ini. Di tahun ini pun kami telah diberkahi dengan hasil panen yang melimpah. Terima kasih dewa,” demikian kata kakek dan nenek itu bersamaan sambil membungkukkan badannya dengan hormat di hadapan patung jisoo.

Lalu musim gugur pun berlalu berganti dengan musim dingin yang dingin membeku. Hampir setiap hari hujan salju turun terus-menerus. Rumah, jalan-jalan, gunung dan persawahan semua tertutup oleh salju tebal, sehingga tidak ada lahan yang bisa ditanami lagi. Kakek dan nenek itu pun tidak bisa bekerja di sawah. Mereka tinggal di rumah sambil membuat berbagai macam kerajinan seperti bakiak kayu, caping dan sepatu dari jerami kering. Waktu itu sudah mendekati pergantian tahun baru.

“Kek, besok lusa kan hari pertama tahun baru. Yah, karena kita tidak punya ketan yang akan ditumbuk, jadi kita tidak bisa merayakan tahun baru dengan membuat kue mochi,” ujar nenek dengan raut muka sedih.

“Jangan sedih begitu, nek! Tahun ini aku pengin makan kue mochi buatanmu, lho! Kalau begitu, bagaimana kalau besok aku pergi ke kota menjual caping-caping ini?” kata sang kakek bersemangat menghibur istrinya.

“Wah, itu ide bagus sekali, kek. Nanti kita bisa membeli ketan untuk membuat kue mochi dengan uang hasil jualan caping-caping itu,” kata sang nenek menyetujui usul suaminya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang kakek berangkat ke kota untuk menjual caping-caping buatannya.

“Hati-hati di jalan ya, kek? Kalau sudah laku semua, cepatlah pulang ke rumah,” ujar sang nenek mengantar keberangkatan sang kakek.

“Tentu, nek. Jangan khawatir! Kamu juga sekarang harus menyiapkan perabotan untuk membuat kue mochi nanti malam.”

Sesampainya di kota, kakek tua itu segera menawarkan caping-capingnya. Dia berjalan menyusuri jalan-jalan trotoar kota sambil berteriak,“Caping… caping… Caping, pak? Caping, bu? Murah, lho! Bisa dicoba kok! Caping… caping…”

Namun tak ada seorang pun yang mau membeli caping-caping itu.

“Wah, gimana nih? Caping-capingku tak satu pun yang terjual. Pasti nenek akan sangat kecewa karena tak ada sepeser pun uang untuk membeli ketan,” gumam kakek dalam hati sambil membayangkan wajah kecewa istrinya.

Ketika matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat, kakek itu pun segera beranjak pulang tanpa membawa ketan dan uang sepeser pun. Di tengah perjalanan pulang, hujan salju turun begitu deras. Kakek tua itu melihat ada sekelompok patung jisoo di pertigaan jalan menuju desanya.

“Kalau hujan saljunya deras seperti ini, pasti patung-patung jisoo itu pun kedinginan. Ah, bagusnya caping-capingku ini kuberikan mereka saja, biar tidak kehujanan.”

Kakek itu pun segera menaruh capingnya satu demi satu ke atas kepala patung-patung jisoo itu sambil membersihkan salju yang menempel ditubuh patung-patung itu. Satu, dua, tiga, empat, lima… Yah, habis!!! Padahal masih ada satu patung jisoo paling kecil yang belum kebagian caping. Patungnya ada enam buah, sedangkan capingnya cuma ada lima buah.

“Gimana nih?” pikir sang kakek mencari akal,”Aha!!!”

Dia pun segera membuka ikat kepalanya lalu mengikatkannya pada patung jisoo terkecil sambil berkata,”Maaf ya, jisoo kecil. Aku hanya bisa memberikan ikat kepalaku ini untukmu.”

Setelah itu, sang kakek duduk di hadapan patung-patung jisoo itu sambil menyajikan kue mochi yang dibuatnya dari salju yang telah dikepal-kepalnya terlebih dahulu. Dia pun menyembah dan berdoa.

“Dewa, besok adalah hari pertama tahun baru. Tapi tidak ada yang bisa kupersembahkan untukmu. Karena itu aku buatkan kue mochi salju ini untukmu. Terimalah persembahanku ini. Semoga di tahun baru ini akan banyak tercurah berkahmu.”

Setelah berdoa, kakek itu pun melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah. Dia berjalan tertatih-tatih di tengah derasnya hujan salju tanpa caping dan ikat kepalanya.

“Nek, nenek… Aku pulang.”

“Ya, masuklah, kek! Wah, tubuhmu dipenuhi salju. Tentu kamu kedinginan. Oh, iya?Ketannya mana?” tanya nenek.

Kakek itu pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya di sepanjang hari itu kepada istrinya.

“Oh, itu perbuatan yang mulia sekali, kek. Jisoo-jisoo itu pun pasti senang dengan apa yang telah kau lakukan itu,” kata sang nenek sambil tersenyum.

Mereka berdua pun duduk di dekat perapian sambil minum air hangat menanti detik-detik pergantian malam tahun baru.

“Meskipun malam ini kita tidak bisa makan kue mochi , tapi lebih baik sehat wal afiat seperti ini ya, nek?”

“Benar, kek. Semoga di tahun depan juga diberi kesehatan seperti ini,” sahut sang nenek.

Di luar rumah hujan salju turun semakin deras. Membuat malam pergantian tahun terasa kian dingin dan membeku. Namun samar-samar terdengar suara aneh dari kejauhan yang lama-kelamaan terdengar semakin jelas mendekati  rumah kakek dan nenek itu.

“Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…”

Kakek dan nenek itu pun terkejut, lalu membuka pintu rumah ingin tahu ada apa di luar sana. Beberapa saat kemudian dari balik bukit salju muncul sosok orang-orangan yang memakai caping berjalan berbaris berurutan satu-satu  seperti tentara. Mereka terlihat seperti menggendong sesuatu.

“Kek,bukankah itu patung-patung jisoo?” ujar sang nenek sambil mengucek-ucek matanya.

“Benar, nek. Ituuu…ituuu… patung-patung jisoo yang kuberi caping tadi sore. Benar itu mereka!”

“Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…”

Patung-patung jisoo itu terus berjalan di atas jalan yang sudah tertutup salju tebal menuju rumah kakek dan nenek. Mereka berhenti tepat di depan pintu rumah itu. Satu demi satu patung-patung jisoo itu memberikan bingkisan sambil berkata,”Ini semua untuk kakek dan nenek. Silakan!”

Barang-barang bingkisan itu dibiarkan menumpuk di halaman rumah begitu saja. Ada satu karung beras, satu karung ketan, sekeranjang botol sake, ikan segar, benang dan kain  untuk membuat kimono. Karena begitu terkejutnya, kakek dan nenek itu cuma melongo tanpa bisa berkata sepatah kata pun.

“Kakek dan nenek sekarang tidak usah bersedih hati lagi. Semoga tahun ini menjadi tahun yang banyak berkahnya.”

Setelah berkata demikian, patung-patung jisoo itu pun pergi meninggalkan kakek dan nenek yang masih terbengong-bengong sambil terus berkata ‘Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…’ bersama-sama.

“Terima kasih jisoo. Terima kasih,” demikian ujar sang kakek dan nenek sambil membungkukkan tubuhnya dengan hormat.

Akhirnya kakek dan nenek yang baik hati itu pun bisa merayakan malam tahun baru dengan membuat kue mochi.

***

Yanti selesai membaca bukunya dengan baik, ya buku di tutup dan di taruh rak buku dengan baik. Yanti segera melanjutkan kegiataannya dengan menggambar di buku gambarnya dengan baik.

KISAH WAJAH KATAK BISA JELEK

Minul sedang duduk santai di ruang tamu, ya sambil membaca buku cerita berasal dari Brazil di tulis buku dengan baik sih.

Isi buku yang di baca Minul :

Dahulu kala katak memiliki wajah yang tampan seperti binatang hutan lainnya. Akan tetapi, sebuah kejadian mengubah semuanya. Kisah itu bermula saat Dewa Langit berencana mengadakan pesta perayaan di kerajaannya. Dewa Langit mengundang semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk katak yang hidup di tepi danau.

Katak merasa sangat senang karena mendapat undangan dari ewa Langit, tapi ia bingung bagaimana caranya pergi ke atas langit untuk menghadiri pesta itu. Katak lalu pergi ke rumah armadillo untuk bertanya tentang undangan pesta dari Dewa Langit.

“Kawanku, Armadilo, apakah kau menerima undangan pesta dari Dewa Langit?” tanya katak.

“Iya, Katak, tapi aku tidak akan datang. Aku tidak bisa terbang ke atas langit untuk menghadiri pesta itu. Bagaimana denganmu?” Armadilo balik bertanya.

“Aku juga menerima undangan pesta dari Dewa Langit. Aku ingin datang ke pesta itu bagaimana pun caranya,” jawab katak, bersemangat.

Setelah berkunjung ke tempat armadillo, katak pergi ke rumah paman kakaktua, binatang paling sombong di bumi. Kesombongan paman kakatua membuatnya mempunyai sedikit teman karena banyak binatang hutan yang tidak menyukainya.

“Paman, apakah kau menerima undangan pesta dari Dewa langit?” tanya katak.

“Tentu saja. Dewa Langit bahkan mengundangku untuk memainkan biola di pestanya,” jawab paman kakatua sambil membusungkan dada.

“Benarkah, Paman?” tanya katak.

“Dewa Langit tahu kalau permainan biolaku sangat indah. Tentu saja ia memintaku untuk memainkan biola di pestanya. Bagaimana denganmu, Katak? Pasti kau tidak akan datang ke pesta itu, kan? Binatang danau sepertimu tidak akan mungkin bisa pergi ke istana langit,” kata paman kakaktua dengan sombong.

“Aku akan dapang ke pesta itu, bagaimana pun caranya!” jawab katak, bersemangat.

“Hahaha. Jangan bermimpi, Katak,” ejek paman kakaktua.

“Aku akan datang ke pesta itu. Besok datanglah ke rumahku tepat pukul 4 sore. Aku akan pergi bersamamu,” kata katak kepada paman kakaktua.

Keesokan harinya, tepat pukul 4 sore, paman kakaktua datang ke rumah katak sambil membawa biola kebanggaannya.

“Ayo, kita berangkat, Katak! Nanti kita terlambat sampai di pesta!” ajak paman kakaktua.

“Tunggu sebentar. Satu menit saja. Aku belum siap berangkat ke pesta,” seru katak dari dalam rumah.

Katak sedang mengamati biola paman kakaktua, yang baru saja dipinjamnya, di dalam rumah. Setelah mengamati cukup lama, katak melompat masuk ke dalam dawai biola dan bersembunyi di dalamnya. Sementara itu, paman kakaktua yang menunggu di luar rumah mulai kehilangan kesabaran.

“Katak, cepatlah! Kita nanti terlambat!” teriak paman kakaktua.

Tak ada jawaban. Katak tetap diam dan bersembunyi di dalam dawai biola.       Paman kakaktua, yang kehabisan kesabaran, mencari katak di dalam rumah namun ia sama sekali tak melihatnya.

“Aku tinggalkan katak saja. Aku sudah menunggunya terlalu lama,” kata paman kakaktua sambil mengambil biolanya dan terbang ke atas langit.

Paman Kakatua terlambat sampai di pesta Raja Langit. Beberapa undangan yang menghadiri pesta mulai bertanya-tanya mengapa paman kakaktua datang terlambat.

“Aku menunggu Katak,” jawab paman kakaktua.

“Kau bodoh sekali, Kakatua, katak, kan, tidak mungkin bisa pergi ke atas sini, kenapa kau menunggunya!” kata mereka.

Katak yang bersembunyi di dalam biola paman kakaktua mendengar pembicaraan itu. Setelah situasi memungkinkan, ia menyelinap keluar dari dalam dawai biola dan muncul di tengah pesta.

“Kau hebat sekali, Katak! Bagaimana caramu datang ke pesta ini?” tanya para undangan yang datang.

“Aku hanya beruntung saja sehingga bisa sampai di pesta ini,” jawab katak merendah.

Semua undangan yang hadir di pesta itu memuji katak. Hal itu membuat paman kakaktua menjadi iri. Ia lalu pergi meninggalkan pesta tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada Dewa Langit. Saking terburu-buru, ia juga melupakan biola kebanggaannya. Biola itu tertinggal di ruang pesta.

Saat pesta hampir berakhir, katak kembali melompat masuk ke dalam dawai biola. Katak menunggu paman kakaktua, yang akan membawanya pulang ke bumi, dengan tenang. Menit demi menit berlalu, namun paman kakaktua tak muncul-muncul juga. Katak pun mulai merasa khawatir karena satu per satu hadirin pesta sudah pulang.

“Celaka, aku tidak bisa pulang ke bumi!” gumam katak di dalam hati.

Tak berapa lama, burung elang tampak mendatangi biola paman kakaktua.

“Paman Kakaktua pasti lupa sehingga biolanya tertinggal di sini. Aku bawakan saja biola ini untuknya,” gumam burung elang sambil membawa biola berat itu dengan kedua cakarnya.

Dalam perjalanan pulang, ketika burung elang hampir sampai di bumi, ia teringat sifat sombong paman kakaktua.

“Mengapa aku sudi membawakan biola paman kakaktua? Dia, kan, binatang paling sombong di bumi,” geurutu burung elang pada dirinya sendiri.

Tanpa pikir panjang, burung elang melepaskan biola berat itu dari kedua cakarnya sehingga biola berat itu jatuh dan melayang-layang. Katak, yang berada di dalam dawai biola, menjadi ketakutan. Dari lubang di dawai biola ia bisa melihat batu-batu besar berada tepat di bawahnya.

“Menyingkirlah batu-batu besar! Menyingkirlah!” teriak katak dengan lantang, tapi batu-batu itu tuli dan tidak bisa mendengar teriakannya. 

Biola milik paman kakaktua pun terjatuh dan hancur berkeping-keping. Katak lalu merangkak keluar serpihan biola itu dengan kondisi badan yang sakit dan bengkak-bengkak. Ketika ia meraba wajahnya, ia mendapati lebam dan bengkak-bengkak di sana. Sehak saat itu, wajah katak yang semula tampan pun berubah menjadi buruk rupa.

***

Yunita selesai membaca bukunya, ya buku di tutup dan di taruh di meja.

"Main ah!" kata Yunita.

Yunita keluar dari rumahnya, ya main ke rumah Tina di sebelah rumahnya sih.

KISAH TERJADI MALAM

Yunita sedang duduk santai di ruangan perpustakaan sekolah, ya membaca buku cerita yang asal cerita dari Brazil memang di tulis di buku dengan baik sih.

Isi buku yang di baca Yunita : 

Dahulu kala, saat bumi masih muda, tidak pernah terjadi malam di bumi. Matahari bersinar sepanjang hari sehingga semua makhluk, yang ada di dalamnya, selalu terjaga. Sementara itu jauh di dasar samudera, ada sebuah kerajaan Dasar Laut yang tidak pernah mengenal siang hari. Mereka selalu hidup dalam kegelapan di dasar laut. Suatu ketika Putri Kerajaan Dasar Laut berenang ke permukaan. Ia terpesona melihat matahari bersinar. 

“Betapa indahnya matahari itu. Sinarnya menghangatkan dunia…” 

Putri Laut lalu pergi ke daratan dan berjalan seperti manusia biasa dengan kedua kakinya yang indah. Putri Laut menyusuri hutan-hutan, mendaki gunung, dan menuruni lembah. Sang Putri sangat terpesona dengan keindahan di bumi hingga akhirnya ia tersesat. Ia tidak bisa menemukan jalan kembali ke lautan. 

“Celaka… Aku tersesat. Aku harus menemukan jalan pulang ke lautan…,” kata Putri Laut. 

Putri Laut sedang mencari jalan pulang ke lautan ketika ia tanpa sengaja bertemu dengan seorang pangeran yang tampan. Putri Laut dan Pangeran langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Pangeran lalu membawa Putri Laut ke Istananya. Tak lama kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia di Istana. 

“Aku benar-benar beruntung karena memiliki istri secantik dirimu, Putri Laut…,” puji Pangeran.

“Aku juga merasa sangat beruntung memiliki suami pemberani, Suamiku…,” balas Putri Laut.

Setelah setahun mereka menikah, mereka dianugerahi seorang anak laki-laki yang tampan. Putri Laut hidup bahagia bersama dengan Pangeran dan putranya, namun ia tetap merindukan kehidupan di lautan. Ia merindukan hari-hari di mana ada kegelapan yang mengobati rasa lelah karena kehidupan di bumi selalu terik. 

“Suamiku, aku merindukan kehidupan di dasar laut. Di sana ada kegelapan yang menaungi kita dari lelahnya raga. Aku tidak pernah menemukan malam di muka bumi ini…,” kata Putri Laut suatu hari kepada suaminya. Pangeran tahu apa yang dirasakan istrinya itu. 

Sambil membelai rambut indah istrinya, Pangeran berkata, “Istriku, aku akan melakukan apa saja asalkan kau tetap tinggal di muka bumi bersamaku dan bersama anak kita…”

“Benarkah, Suamiku..? Kau akan mengabulkan apa pun yang kupinta?” tanya Putri Laut tak percaya.

“Ya. Aku akan mengabulkan apa pun keinginanmu,” janji Pangeran. 

Putri Laut tersenyum senang, lalu berkata kepada Pangeran, “Seperti yang kukatakan tadi, aku sangat merindukan kegelapan. Apakah kau mau menghadirkan kegelapan di muka bumi untukku?” Pangeran menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana mewujudkan keinginan istrinya. 

Putri Laut tahu apa yang dipikirkan suaminya, ia pun berkata lagi kepada Pangeran, “Untuk menghadirkan kegelapan di muka bumi, kau harus mengambilnya dari Istana Dasar Laut. Ayahku, Raja Dasar Laut, memiliki semua itu. 

Kau hanya perlu memintanya dengan baik-baik,” saran Putri Laut. 

“Benarkah? Bila itu yang harus kulakukan, aku akan melakukannya dengan senang hati,” kata Pangeran. 

Keesokkan harinya Pangeran pergi ke lautan. Ia menyelam ke Istana Dasar Laut sesuai permintaan Istrinya. Ia menempuh perjalanan yang panjang dan berbahaya. Setelah sampai di Istana Dasar Laut, ia segera menghadap Raja Dasar Laut untuk meminta kegelapan. 

“Aku adalah suami dari putrimu, wahai Raja Penguasa Lautan. Istriku sangat mendambakan kegelapan seperti yang ada di Dasar laut….”

“Baiklah, wahai suami dari putriku. Aku akan memberikan satu tas besar penuh berisi kegelapan yang bernama malam. Kau harus membawa malam dengan sangat hati-hati. Kau hanya boleh membukanya di sebuah ruang tertutup di Istanamu…” kata Raja Dasar Laut. 

“Baiklah, Raja, aku akan mengingat semua pesanmu dengan baik.” 

Setelah mendapatkan kegelapan dari Raja Dasar laut, Pangeran mohon diri untuk kembali ke daratan. Ia berenang membawa tas berisi  malam ke permukaan. Sesampainya di bumi, Pangeran menggendong tas besar itu dengan sangat hati-hati. Saat Pangeran berjalan menyusuri hutan, ia mendengar suara aneh yang selama ini belum pernah ia dengar sama sekali. Suara itu adalah suara burung hantu, suara kumbang malam, suara embusan dan badai malam, serta suara-suara lain yang hanya bisa di dengar sewaktu malam hari. Pangeran, yang ketakutan mendengar suara itu, lalu menjatuhkan tas yang berisi malam. Tas itu pun rusak dan semua isinya terhambur keluar. Awan hitam, bintang-bintang, burung hantu, kumbang malam, serta semua yang berhubungan dengan kegelapan malam naik ke atas langit. 

“Aduh, celaka, aku menjatuhkan tas berisi malam yang diberikan Raja Dasar Laut!” seru Pangeran.

Pangeran lalu naik ke atas pohon tertinggi, berusaha menangkap kembali awan, bintang, dan semua isi tas dari Raja Dasar Laut, namun usahanya sia-sia. Mereka sudah terlanjur naik sangat tinggi ke atas langit. Di atas langit, awan dan bintang menutupi mega hingga membuat  matahari, yang semula tidak pernah mengenal kegelapan, menjadi malu. Matahari yang merasa malu kemudian bersembunyi di sisi bumi yang lain. Malam hari pun akhirnya tercipta untuk pertama kali di muka bumi. Sementara itu, Putri Laut, yang berada di Istana, melihat hari berubah menjadi malam dari jendela. 

“Ternyata suamiku telah menepati janjinya. Inilah yang kuidam-idamkan selama ini. Kegelapan malam yang menentramkan hati.”

***

Yunita selesai membaca buku cerita yang bagus itu, ya buku di taruh di rak buku dengan baik. Yunita keluar dari perpustakaan sekolah dengan baik.

TEMPURUNG CANTIK KUMBANG BRAZIL

Seli duduk santai di ruang makan, ya sambil membaca buku cerita dari Brazil tertulis dengan baik sih di buku.

Isi buku yang di baca Seli :

Dahulu kala kumbang Brasil tidak memiki tempurung yang indah seperti sekarang. Dulu mereka memiliki tempurung berwarna cokelat dan kusam seperti kumbang lainnya. Meski kumbang Brasil memiliki tempurung yang tidak indah, tapi mereka tetap baik hati dan tidak pernah malu dengan tempurung itu. Setiap hari ia berjemur di bawah sinar matahari, membersihkan dan merapikan tempurungnya. Suatu hari sewaktu kumbang Brasil sedang berjalan di sebuah padang, muncul seekor tikus besar dari dalam tanah. Tikus itu melihat kumbang Brasil yang sedang berjalan lambat lalu menghinanya. 

“Bagaimana mungkin ada binatang selambat dirimu? Kau itu berjalan atau melata?” sindir tikus tanah sambil tertawa. 

Kumbang Brasil merasa tersinggung dengan perkataan tikus tanah, tapi ia mencoba untuk menahan diri.

 “Tikus, cara berjalanku memang seperti ini. Apakah kau bisa berjalan lebih cepat dariku? Ataukah kau berjalan lambat juga seperti diriku?”

Kumbang Brasil menanggapi ejekan tikus tanah dengan lemah lembut. Tikus tanah memang binatang yang mudah tersinggung. Ia pun langsung naik pitam setelah mendengar perkataan kumbang Brasil.

“Apa katamu? Kau menghinaku? Ayo, kita buktikan siapa yang lebih cepat di antara kita berdua! Besok kita lomba lari mengelilingi bukit!” tantang tikus tanah. 

“Baiklah bila itu yang kau inginkan, Tikus tanah,” kata kumbang Brasil menyanggupi. 

Keesokan harinya, tikus tanah dan kumbang Brasil datang ke bukit. Mereka bersiap melangsungkan perlombaan lari. Pada perlombaan itu, burung beo si penjahit bertindak sebagai juri. 

“Aku akan membuakan jubah yang sangat indah dan berwarna hijau emas untuk siapa pun yang akan memenangkan perlombaan ini. Aku juga akan membuatkan jubah berwarna abu-abu untuk siapa pun yang kalah. Jubah itu adalah pertanda bagi kalian sehingga semua binatang hutan dapat melihatnya. Kalian tidak boleh melepaskan mantel itu seumur hidup kalian,” kata burung beo. 

“Baiklah, kami setuju,” seru kumbang Brasil dan tikus tanah bersamaan. 

Beberapa saat berselang, burung beo si penjahit memberikan aba-aba. Tikus tanah segera melesat, berlari dengan sangat cepat, sementara kumbang Brasil berjalan sangat lambat. 

“Kumbang Brasil tidak akan bisa mengalahkanku! Jalannya saja sangat lambat. Bodoh benar aku ini, mengapa aku berlari secepat ini, aku pasti akan memenangkan perlombaan ini!!” kata tikus tanah. 

Ia pun berhenti berlari dan mulai berjalan dengan santai. Ketika tikus besar sampai di sisi bukit yang lain, ia sangat terkejut karena melihat kumbang Brasil sedang duduk bersama burung beo si penjahit. “Bagaimana mungkin kau sampai di garis finish secepat ini?” tanya tikus tanah. 

“Oleh karena jalanku lambat, aku memutuskan untuk terbang,” jawab kumbang Brasil.

“Benarkah kau bisa terbang? Aku tidak tahu kalau kau bisa terbang! Celakalah aku!” kata tikus tanah.

Setelah perlombaan selesai, burung beo si penjahit memberikan jubah berwarna abu-abu kepada tikus tanah dan jubah berwarna hijau emas kepada kumbang Brasil. Sejak saat itu kumbang Brasil selalu bangga memakai jubah kemenangannya yang berkulaian seperti emas ketika terkena cahaya matahari. Sementara tikus tanah selalu bersembunyi di tanah karena merasa malu jika binatang lain melihatnya memakai jubah abu-abu. Bertahun-tahun kemudian, kumbang Brasil memiliki anak. Suatu ketika, anak kumbang Brasil menatap langit yang berwarna biru cerah, lalu berkata kepada ayahnya, “Ayah, aku bosan dengan warna hijau emas di punggungku. Aku ingin memiliki jubah berwarna biru seperti warna langit.” 

Kumbang Brasil bingung mendengar permintaan anaknya itu. Ia lalu membawa kumbang kecil ke tempat burung beo si penjahit. 

“Burung beo si penjahit, anakku ingin mengganti warna jubah hijaunya menjadi biru seperti warna langit,” kata kumbang Brasil. 

Burung beo si penjahit terdiam sejenak, lalu berkata, “Baiklah. Aku akan membuatkan jubah berwarna biru langit dengan hiasan perak sehingga saat sinar matahari menyinarinya akan terlihat kemilau seperti bintang di langit malam yang indah.” 

Burung Beo lalu mengukur panjang punggung anak kumbang Brasil agar jubah yang dibuatnya tidak kebesaran. Setelah itu burung beo si penjahit mulai membuatkan jubah berwarna biru untuk anak kumbang Brasil. Setelah berhari-hari membuat jubah itu, burung beo akhirnya menyelesaikan jubah biru yang sangat indah itu. 

“Ini jubahmu, Nak. Setelah berhari-hari aku bersusah payah, akhirnya aku bisa menyelesaikannya,” kata burung beo si penjahit sambil menyerahkan jubah biru yang indah kepada kumbang kecil. 

Anak kumbang sangat senang menerima jubah biru itu dan segera memakainya. Hari demi hari terus berganti, namun jubah biru di punggung kumbang Brasil tidak pernah bertambah panjang dan selalu membatasi pertumbuhan ukuran tubuhnya. Sejak itu, ada kumbang Brasil berwarna biru keperakan yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil dari kumbang Brasil berwarna hijau emas. Beratus-ratus tahun kemudian, keindahan tempurung kumbang Brasil juga menjadi inspirasi bagi orang-orang Brasil dalam membuat bendera untuk negerinya. Mereka membuat sebuah bangun persegi berwarna hijau dengan gambar berlian emas, seperti yang terdapat di punggung kumbang Brasil hijau, di bagian tengahnya. Mereka juga menggambar lingkaran berwarna biru yang melambangkan bumi dan bintang putih keperakkan, seperti warna kumbang biru Brasil, di dalam berlian itu.

***

Seli selesai membaca bukunya dengan baik, ya memang sih ceritanya bagus banget. Seli menutup bukunya dan di taruh di meja dengan baik.

KELINCI KEHILANGAN EKOR PANJANGNYA

Arsi sedang duduk asik di halaman belakang sambil membaca buku cerita yang asal cerita berasal dari Brazil memang di tulis dengan baik di buku sih..

Isi buku yang di baca Arsi :

Dahulu kala, kelinci memiliki ekor yang sangat panjang, sementara kucing tidak memiliki ekor sama sekali. Kelinci sangat bangga dengan ekornya dan selalu memamerkan ekor itu kepada semua binatang hutan. Suatu hari kelinci bertemu dengan kucing dan berkata kepadanya,

“Kucing, lihatlah ekor panjangku yang indah. Aku heran mengapa kau tidak memiliki ekor sama sekali.”

Perkataan kelinci membuat kucing sakit hati dan memunculkan rasa iri di dalam hatinya.

“Aku akan mencuri ekor panjangmu, Kelinci,” kata kucing di dalam hati.

Saat kelinci tertidur di balik semak, diam-diam kucing mendatanginya sambil membawa sebilah pisau yang sangat panjang. Kucing lalu memotong ekor kelinci dengan menggunakan pisau yang dia bawa. Setelah mendapatkan ekor kelinci, kucing pulang ke rumahnya dan menjahit ekor kelinci itu di tubuhnya.

“Sekarang aku memiliki ekor panjang yang indah. Aku dan anak keturunanku akan bangga berjalan di muka bumi dengan ekor yang indah ini,” kata Kucing setelah selesai menjahit ekornya.

Tak berselang lama, kelinci terjaga dan menyadari kalau ekornya telah hilang.

“Ini pasti ulah kucing. Aku harus menemuinya!” seru kelinci marah.

Ia pun bergegas pergi ke rumah kucing untuk meminta kembali ekornya.

“Kembalikan ekor panjangku yang telah kaucuri,” teriak kelinci setelah sampai di rumah kucing.

“Aku sudah menjahit ekormu dengan sangat kuat di tubuhku. Aku tidak bisa melepasnya kembali. Aku akan memberimu sebilah pisau tajamku sebagai gantinya,” kata kucing.

Kelinci sangat kecewa, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia pun terpaksa menerima sebilah pisau tajam milik kucing sebagai ganti ekor panjangnya.

“Mungkin dengan pisau ini, aku bisa mencari ekor yang baru,” kata kelinci menghibur dirinya sendiri.

Kelinci kemudian pergi dari rumah kucing dengan membawa sebilah pisau tajan. Kelinci berjalan menyusuri padang hingga akhirnya ia sampai di sebuah hutan bambu. Di sana ia melihat seorang manusia sedang kesulitan membuat keranjang bambu.

“Apa yang sedang kau lakukan, Manusia?” tanya kelinci.

“Aku sedang membuat keranjang bambu, tapi aku tidak mempunyai pisau. Aku tidak bisa menyelesaikan keranjangku tanpa pisau yang tajam,” kata Manusia.

Kelinci merasa kasihan kepada manusia itu. Ia pun meminjamkan pisau tajam yang ia dapatkan dari kucing kepada manusia. Manusia menggunakan pisau kelinci untuk memotong bilah bambu, namun tanpa sengaja ia merusakkannya.

“Maafkan aku, Kelinci. Aku telah merusakkan pisaumu. Aku akan memberimu sebuah keranjang bambu yang baru saja kuselesaikan sebagai gantinya,” kata manusia.

Kelinci merasa kecewa karena pisaunya rusak, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menerima keranjang bambu itu.

“Baiklah, aku akan menerima keranjang bambu itu sebagai ganti pisauku yang telah kau rusakkan,” kata kelinci.

Setelah mendapatkan keranjang dari manusia, kelinci pergi dari hutan bambu sambil menggendong keranjang bambu besar di punggungnya. Kelinci terus berjalan hingga akhirnya ia sampai di sebuah ladang wortel. Di sana ia melihat seorang petani tua yang sedang memasukkan wortel ke dalam saku celananya.

“Seandainya aku punya keranjang bambu, aku pasti tidak akan  kerepotan seperti ini,” keluh pak petani.

Kelinci merasa kasihan dengan pak petani. Ia pun mendekati pak petani, lalu berkata,

“Aku akan meminjamkan keranjang bambuku ini kepadamu. Semoga keranjang bambuku ini dapat meringankan pekerjaanmu.”

“Kau sungguh baik hati, Kelinci. Keranjangmu itu akan memudahkanku mengangkut wortel-wortelku,” kata pak petani senang.

Pak petani lalu memasukkan semua wortel yang baru saja ia panen ke dalam keranjang mambu milik kelinci. Berulang kali pak petani mengangkut pulang hasil panen wortelnya dengan keranjang itu, tapi sungguh malang, tanpa sengaja pak petani merusakkan keranjang bambu milik kelinci.

“Maafkan aku, Kelinci. Aku tidak sengaja merusakkan keranjang bambu milikmu. Aku akan memberimu beberapa wortel sebagai gantinya,” kata pak petani.

Kelinci merasa kecewa karena keranjang bambunya rusak, tapi ia tidak punya pilihan lain selain menerima wortel-wortel itu.    

“Baiklah, aku akan menerima wortelmu sebagai ganti keranjang bambuku yang telah kau rusakkan,” kata kelinci.

Setelah mendapatkan beberapa wortel, sebagai ganti keranjang, dari pak petani, kelinci pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, kelinci merasa sangat lapar. Ia pun mengambil wortel pemberian pak petani dan memakannya.

“Enak sekali wortel ini! Baru kali ini aku memakan makanan seenak ini!”

Kelinci pun memakan semua wortel pemberian pak petani dengan sangat lahap.

“Aku tidak peduli ekorku hilang, asalkan setiap hari aku bisa memakan wortel yang lezat!”

Sejak saat itulah, kucing memiliki ekor yang panjang dan kelinci sangat menyukai wortel.

***

Arsi selesai membaca bukunya dengan baik, ya memang sih isi buku bangus banget sih. Maka itu buku di tutup dengan baik. Arsi beranjak dari duduknya di halaman belakang sambil membawa bukunya. Masuk ke dalam rumah terus ke ruang tengah untuk menaruh buku di rak buku.

PUTRI HASE

Yumi duduk di ruang tengah, ya sedang membaca buku cerita yang asal cerita dari Jelang, ya tertulis dengan baik di buku sih.

Isi buku yang di baca Yumi :

Dahulu kala di kota Nara, ibukota Jepang di jaman kuno hiduplah seorang menteri yang bernama Pangeran Toyonari Fujiwara. Dia mempunyai seorang istri yang sangat cantik jelita dan baik budi pekertinya yang bernama Puteri Murasaki. Mereka berdua sudah dijodohkan dan dinikahkan  sejak kecil sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat Jepang di jaman itu. Mereka berdua hidup bahagia sebagai sepasang suami isteri dan saling sayang-menyayangi. Namun, sayangnya walaupun sudah bertahun-tahun berumah tangga, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Mereka sangat sedih dan  merasa keharmonisan rumah tangganya terasa belumlah sempurna tanpa kehadiran seorang anak yang akan menjadi penerus mereka kelak. 

Oleh karena itu mereka bermaksud pergi ke kuil untuk memanjatkan doa supaya dikaruniai anak. Keesokan harinya pergilah mereka berdua ke kuil Hase no Kwannon (kuil Dewi Welas Asih di Hase) dan menetap disana untuk beberapa waktu lamanya. Mereka percaya Sang Dewi Kwannon akan mendengar dan mengabulkan doa-doanya. Setiap hari mereka berdua dengan khusyuk memanjatkan doa supaya segera dikaruniai momongan. Beberapa tahun kemudian Puteri Murasaki pun hamil. Pangeran Toyonari Fujiwara merasa sangat bahagia mendengar berita tentang kehamilan isterinya itu. Dan akhirnya tibalah hari yang sangat mereka nanti-nantikan selama ini. 

Puteri Murasaki melahirkan seorang puteri yang sangat cantik jelita. Mereka berdua memberinya nama Puteri Hase (Hase Hime) karena puteri tersebut merupakan karunia Dewi Kwannon di kuil Hase. Pangeran Toyonari dan Puteri Murasaki sangat menyayangi puteri kecil mereka itu. Mereka berdua mengasuh puteri kesayangannya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Puteri Hime pun tumbuh menjadi seorang puteri kecil yang cantik dan cerdas. Namun, ketika Puteri Hase berumur lima tahun, sang ibu Puteri Murasaki jatuh sakit. 

Banyak tabib telah didatangkan dan berbagai pengobatan telah dicoba, tetapi belum juga menunjukkan hasil yang diharapkan. Bahkan sakit yang diderita Puteri Murasaki terlihat semakin parah. Puteri Murasaki merasa hidupnya sudah tidak akan lama lagi. Maka dia pun memanggil Puteri Hase untuk mendekat kepadanya. Dipandanginya puteri mungilnya itu dengan perasaan mendalam. Dikecup dan dipeluknya dengan penuh kasih sayang. Rasanya dia tak akan sanggup untuk meninggalkan buah hatinya itu. Lalu dia pun berpesan kepada puteri Hase  sambil membelai-belai rambutnya. 

“Puteri Hase, anakku. Tentu ananda sudah tahu penyakit ibunda semakin lama semakin parah, dan ibunda merasa umur ibunda sudah tidak akan lama lagi. Ibunda takkan bisa lagi menemanimu bermain dan belajar. Oleh karena itu ibunda berpesan padamu, dan ingatlah pesan ibunda ini baik-baik. Kelak kalau ibunda sudah tiada, ibunda harap jadilah ananda seorang puteri yang baik. Jangan suka menyusahkan para pelayan ataupun keluarga. Dan, mungkin nanti ayahandamu akan menikah lagi dan ananda akan mempunyai ibu baru. Bersikaplah hormat dan sopan kepadanya, anggaplah dia seperti ibumu sendiri dan patuhilah semua perintahnya. Ketika ananda dewasa nanti, hormatilah orang-orang yang lebih tua darimu dan sayangilah mereka yang lebih muda darimu. Ibunda ingin ananda tumbuh menjadi seorang wanita yang bisa menjadi suri tauladan bagi semua orang.” 

“Baik, ibunda. Ananda berjanji akan selalu mengingat dan melaksanakan semua petuah ibunda,” jawab puteri Hase sambil memeluk ibunya. 

Beberapa hari kemudian puteri Murasaki pun wafat. Puteri Hase sangat sedih ditinggal mati ibu yang sangat dicintainya itu. Begitu pun Pangeran Toyonari, dia merasa sangat sedih dan kehilangan. Beberapa bulan setelah kematian isteri pertamanya, Pangeran Toyonari menikah lagi dengan seorang wanita bangsawan bernama Puteri Terute. Berbeda dengan Puteri Murasaki yang berwatak lembut dan bijaksana, Puteri Terute berwatak sebaliknya. Dia sangat kasar, kejam dan buruk hatinya. Dia selalu bersikap kasar dan tidak pernah menyayangi Puteri Hase sama sekali. Dia hanya bersikap lembut kepada puteri Hase bila berada di hadapan Pangeran Toyonari. 

Meskipun diperlakukan seperti itu oleh ibu tirinya, Puteri Hase tidak pernah merasa dendam dan sakit hati. Dia selalu hormat dan patuh pada semua perintah ibu tirinya itu sesuai pesan almarhumah ibundanya untuk menjadi seorang gadis yang baik dan tidak menyusahkan siapapun juga. Puteri Hase hampir tidak pernah berbuat kesalahan, semua tugas yang diberikan oleh si ibu tiri kepadanya selalu dikerjakannya dengan benar sehingga tidak ada alasan bagi si ibu tiri untuk menghukumnya. Puteri Hase tumbuh menjadi seorang puteri yang cantik dan cerdas. Kegemarannya adalah membuat puisi dan bermain musik. Maka setiap hari dia selalu mengisi waktu luangnya dengan berlatih membuat puisi dan bermain musik. 

Melihat bakat puterinya dalam berkesenian, Pangeran Toyonari pun mendatangkan seorang guru pilihan untuk melatih puteri tercintanya itu bermain koto (kecapi Jepang), menulis surat dan puisi. Puteri Hase merasa sangat senang dan menyerap semua ilmu yang diajarkan sang guru dengan cepat. Ketika menginjak usia 12 tahun, Puteri Hase benar-benar menjadi sangat mahir membuat puisi dan bermain musik. Musim semi pun tiba. Bunga-bunga bermekaran berwarna-warni menghiasi taman dan punggung gunung. Langit biru membentang luas di angkasa raya. Sinar matahari pun mulai menghangatkan kembali hari-hari yang membeku selama musim dingin yang lalu. Tibalah waktu yang selalu dinanti-nantikan masyarakat Jepang di setiap musim semi, yaitu festival bunga sakura. Sang Kaisar bermaksud menyelenggarakan perayaan yang meriah untuk menyambut festival bunga sakura di tahun ini. 

Maka diundanglah seniman dan seniwati ternama untuk meramaikan festival bunga sakura di istana kerajaan. Wajah Pangeran Toyonari terlihat berseri-seri setelah membaca surat yang baru diterimanya. Segera dia menemui Puteri Hase yang sedang duduk bermain kecapi di pinggir kolam ikan koi. Dipandanginya Puteri Hase yang terlihat semakin cantik disaat mulai memasuki usia remajanya.

“Hebat... hebat... Bagus sekali puteriku,” kata Pangeran Toyonari sambil bertepuk tangan memuji kemahiran puterinya. 

“Oh, ayahanda... Salam hormat ananda,” kata Puteri Hase sambil membungkukkan  badan. 

“Kau semakin mahir memainkan kecapi, puteriku. Ayah baru saja menerima kabar gembira. Sang Kaisar mengundang kita untuk datang ke istana di saat festival bunga sakura minggu depan. Kaisar ingin mendengarkan permainan kecapimu yang terkenal sangat merdu itu, dan juga meminta ibumu bermain seruling mengiringi permainan kecapimu itu. Hmm... Perpaduan suara kecapi dan seruling tentu akan terdengar sangat indah dan merdu. Bagaimana istriku, kau bersedia kan? ”

“Eee... Tapi aku... aku sudah tidak begitu mahir memainkan seruling lagi. Sudah lama sekali aku tak pernah bermain seruling,” jawab Puteri Terute dengan gelisah.

“Kau tidak perlu khawatir. Festival bunga sakura masih seminggu lagi. Masih ada waktu untuk berlatih. Setiap hari berlatihlah dengan Hase. Tentu kemahiranmu meniup seruling akan kembali lagi,” kata Pangeran Toyonari memberi semangat pada istrinya. 

“Iya, benar yang dikatakan ayahanda. Sebaiknya mulai hari ini ibunda berlatih bersamaku, tentu disaat festival bunga sakura nanti kita bisa mempersembahkan musik yang bagus di hadapan Kaisar,” kata Puteri Hase menimpali perkataan ayahandanya. 

“Tapi...” 

“Ayolah istriku,” hardik Pangeran Toyonari. 

“Baiklah aku akan mencobanya” kata Puteri Terute dengan perasaan kesal.  

Lalu Puteri Hase dan Puteri Terute pun berlatih memainkan musik bersama-sama.  Namun karena malas berlatih, Puteri Terute tidak bisa mengimbangi permainan kecapi Puteri Hase dengan permainan serulingnya. Puteri Terute malah menyuruh seorang dayang untuk menggantikannya berlatih seruling. Sedangkan dirinya enak-enakan tidur. Puteri Terute hanya mau berlatih seruling kalau ada Pangeran Toyonari. Festival bunga sakura pun tiba. Ibukota kerajaan terlihat begitu meriah. Di sepanjang jalan menuju istana raja dihiasi dengan umbul-umbul yang berwarna-warni. 

Di tambah lagi keindahan bunga sakura yang mulai mekar terlihat sangat indah berwarna-warni menghiasi keelokan kota raja, dan hal ini semakin menyemarakkan suasana pesta di awal musim semi ini. Pangeran Toyonari sekeluarga sudah siap berangkat menuju istana raja. Puteri Hase berdandan sangat cantik, dia mengenakan baju kimono sutra terbagusnya. Dia terlihat sangat anggun dan menawan hati. Sementara itu Puteri Terute terlihat agak gelisah. Dia terlihat mondar-mandir kesana-kemari mencari alasan agar tidak dipaksa tampil memainkan seruling di hadapan Kaisar oleh suaminya.

 “Istriku. Apakah kau sudah siap?” tanya Pangeran Toyonari,”Kalau sudah siap, ayo kita segera berangkat ke istana!” 

“Oh, suamiku. Aku bingung. Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa sakit dan suaraku jadi serak. Mungkin ini karena aku terlalu banyak berlatih meniup seruling kemarin. Aku takut nanti tidak bisa menampilkan tiupan seruling yang baik,” jawab Puteri Terute berbohong dengan suara yang dibuat seolah-olah serak.

 “Hmm... Terus bagaimana ini?” tanya Pangeran Toyonari kebingungan,”Tentu Kaisar akan kecewa sekali.”

 “Begini saja suamiku. Gimana kalau posisiku digantikan oleh dayang Masao saja?  Kulihat dayang Masao sangat mahir meniup seruling,” usul Puteri Terute dengan mimik yang sedih,”Kumohon kabulkanlah permohonanku. Ijinkanlah dayang Masao menggantikanku bermain seruling.”

“Hmm... Baiklah! Apa boleh buat? Ini satu-satunya cara agar Kaisar tidak kecewa,” kata Pangeran Toyonari menyetujui usulan istrinya. 

Akhirnya mereka pun berangkat menuju istana kerajaan, tempat diselenggarakannya festival bunga sakura. Di istana tempat diselenggarakannya pesta, terlihat Kaisar duduk di atas mimbar yang tinggi. Dia mengenakan jubah kebesaran berwarna kuning emas. Dihadapannya tergantung tirai-tirai bambu halus warna merah jambu sehingga Yang Mulia Kaisar bisa dengan leluasa melihat semua yang ada dihadapannya dari balik tirai bambu itu, dan orang lain tidak bisa melihat wajah suci dan mulianya itu. Begitu giliran Puteri Hase memainkan kecapi diiringi tiupan seruling sang dayang, Kaisar merasa sangat terpesona dan tersentuh hatinya mendengar alunan musik yang sangat merdu mendayu. Kaisar sangat terkagum-kagum atas kemahiran Puteri Hase memainkan alat musik kecapi diusianya yang masih begitu belia. Atas keberhasilannya menyuguhkan pertunjukan musik yang bagus itu, keesokan harinya Puteri Hase dihadiahi barang-barang yang bagus oleh Sang Kaisar. Pangeran Toyonari pun semakin menyayangi puteri satu-satunya itu. Dan hal ini  membuat sang ibu tiri, Puteri Terute menjadi sangat iri dan semakin membenci Puteri Hase. 

“Huhhh...!!! Hase lagi, Hase lagi...!!! Kenapa selalu dirinya yang mendapatkan pujian dan keberuntungan itu? Kalau seperti ini terus Pangeran Toyonari tidak akan pernah bisa sepenuhnya mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya padaku dan puteraku?” gerutu Puteri Terute dalam hati,”Aku harus mencari cara untuk menyingkirkan Hase dari rumah ini! Dengan begitu perhatian dan kasih sayang Pangeran Toyonari akan sepenuhnya tercurah untukku dan puteraku.”

Puteri Terute sudah bertekad bulat untuk membunuh Puteri Hase. Diam-diam dia memesan serbuk racun. Hari ini merupakan hari ke lima bulan Mei yang merupakan hari Koinobori, yaitu hari perayaan untuk anak laki-laki. Puteri Hase bermain dengan adik laki-lakinya di halaman rumah. Semua tokoh boneka dan peralatan perang-perangan dikeluarkannya. Puteri Hase menceritakan setiap tokoh boneka dan peralatan perangnya kepada adik tercintanya. Sementara itu Puteri Terute di dalam rumah menyiapkan dua cangkir anggur manis yang akan diberikan kepada kedua anaknya itu. 

Dengan hati-hati dia menaburkan serbuk racun yang sudah dibelinya ke dalam salah satu cangkir. Dia sudah menandai cangkir yang berisi anggur beracun itu dan akan diberikannya kepada Puteri Hase. Lalu dia pun keluar menuju halaman rumah sambil membawa nampan yang berisi dua cangkir anggur manis. 

“Anak-anak, berhentilah bermain. Ini ibunda bawakan anggur manis untuk kalian berdua,” kata Puteri Terute dengan ramah. Puteri Terute memberikan cangkir berisi anggur beracun kepada Puteri Hase dan memberikan cangkir anggur tak beracun kepada puteranya. Ketika Puteri Hase hendak meminum anggur itu, tiba-tiba adik lelakinya merebut cangkirnya dan berkata,”Aku tidak ingin anggur di cangkir ini. Aku ingin minum anggurnya kakak.”

Sang adik langsung menenggak anggur yang berhasil dia rebut dari tangan Puteri Hase. Puteri Terute yang mengetahui hal itu tak sempat mencegah puteranya meminum anggur beracun itu. Tak berapa lama tiba-tiba sang adik roboh dengan mulut berbusa disertai kejang-kejang. Puteri Terute yang mengetahui anak lelakinya sekarat menangis sejadi-jadinya. Tabib segera dipanggil untuk mengobati sang putera, namun nyawa putera Puteri Terute tidak bisa ditolong karena ganasnya racun yang dia minum. Karena keterbatasan pengetahuan di waktu itu, tabib tidak bisa mengetahui kalau dalam anggur itu ada racunnya, dia hanya mengatakan kalau anggur tidak baik diminum oleh anak-anak. Dan itulah penyebab kematian putera Puteri Terute. 

Terbunuhnya sang anak lelaki atas ulahnya sendiri itu tidak membuat Puteri Terute sadar atas kelakuannya yang salah. Dia malah semakin membenci Puteri Hase lebih dari sebelumnya. Dia merasa Puteri Haselah yang menjadi penyebab kematian anaknya. Andai Puteri Hase tidak pernah ada dalam kehidupannya, tentu anaknya tidak akan mati. Begitulah yang ada dalam pikiran jahatnya. Dan Puteri Terute selalu mencari kesempatan untuk menyingkirkan dan membunuh Puteri Hase. Di saat Puteri Hase menginjak usia 13 tahun, dia sudah menjadi seorang seniwati yang hebat. Banyak tanda jasa dan penghargaan dari kerajaan yang diterimanya. 

Musim hujan pun tiba. Hujan deras terus-menerus mengguyur kota Nara setiap harinya. Hingga sungai Tatsuya yang berada di pinggir istana kerajaan banjir besar dan menimbulkan suara bergemuruh yang mengusik ketenangan Kaisar.  Kaisar tidak bisa beristirahat dan sangat terganggu siang dan malam hingga  Kaisar pun jatuh sakit. Akhirnya Sang Kaisar menitahkan kepada semua biksu di kuil-kuil Buda untuk memanjatkan doa supaya banjir segera surut. Namun hal itu tidak membuahkan hasil, bahkan hujan semakin deras mengguyur setiap harinya diiringi deru angin kencang dan halilintar yang menggelegar menyambar-nyambar hingga banjir besar pun semakin meluas. 

Lalu ada seorang biksu Buda yang memberi saran kepada Kaisar agar mencari seorang gadis cantik yang mahir bermain musik, menyanyi dan membuat puisi. Karena menurut kepercayaan kuno hanya gadis seperti itulah yang bisa meredakan amarah alam. Puisi dan doa-doa yang dilantunkannya mampu menggetarkan surga, orang yang sakit bisa sembuh, tanah kering bisa kembali subur, hujan deras bisa reda, angin kencang bisa berhenti seketika. Lalu para pembesar istana menyarankan Kaisar untuk memanggil Puteri Hase yang sudah terkenal pandai dalam bermain musik dan berpuisi itu. Kaisar pun segera memanggil Pangeran Toyonari untuk mengahadap ke istana. 

“Hormat hamba, baginda. Sekiranya ada hal penting apakah sehingga baginda memanggil hamba?” kata Pangeran Toyonari. 

“Pangeran Toyonari, seperti yang telah kau katahui. Bencana besar telah melanda negeri ini. Setiap hari hujan deras terus-menerus mengguyur dari langit, sungai Tatsuya pun meluap dan menimbulkan suara bergemuruh, hingga kepalaku jadi teramat sakit karenanya. Berbagai pengobatan telah kucoba namun sakitku ini tak kunjung sembuh juga, malah terasa semakin parah. Tidak hanya itu, kudengar banjir juga semakin meluas jauh ke pelosok negeri hingga merusak daerah pertanian yang sudah siap panen. Kalau bencana ini tidak segera diatasi, tentu bencana yang lebih besar sudah ada di depan mata. Dan menurut saran penasehat istana dan para biksu untuk menghentikan bencana ini hanya ada satu cara yaitu mencari seorang gadis cantik yang pandai membuat puisi dan bermain musik. Karena hanya lantunan syair dan musik yang dipersembahkannyalah yang bisa menggetarkan surga hingga semua bencana ini berakhir,” kata Kaisar menjelaskan. 

“Apakah Kaisar sudah menemukan gadis itu?” tanya Pangeran Toyonari. 

“Sudah! Aku sudah menemukannya! Gadis itu adalah puterimu sendiri yaitu Puteri Hase. Karena itulah aku memanggilmu ke istana untuk memberikan titahku ini secara langsung.”

 “Baiklah, baginda. Hamba akan menyampaikan titah paduka ini kepada puteri hamba,” kata Pangeran Toyonari sebelum mohon diri. 

Sesampainya di rumah Pangeran Toyonari segera memanggil Puteri Hase dan menyampaikan titah Kaisar untuknya. Puteri Hase sangat terkejut mendapat tugas berat dan mulia itu. Di atas pundaknyalah keselamatan Kaisar dipertaruhkan. Akhirnya Puteri Hase pun menyepi dalam ruangannya mulai menulis bait demi bait puisi yang berisi pujian dan doa-doa yang akan dilantunkannya nanti. Dia menuliskan puisi itu di atas gulungan kertas putih bertinta emas. Pada hari yang telah ditentukan selesailah syair puisi yang telah dia tulis. Lalu diiringi para biksu, pembesar istana, dayang dan juga ayahandanya, Puteri Hase menuju ke tepi sungai Tatsuya. Dia duduk di atas lempengan batu di tepian sungai. Lalu membuka gulungan kertas putih bertinta emas yang berisi syair-syair pujian dan doa-doa yang sudah ditulisnya. 

Diiringi petikan musik koto yang mendayu, dengan sepenuh hati bait demi bait syair itu pun dilantunkan Puteri Hase dengan merdunya dipersembahkan kepada surga. Keajaiban pun terjadi. Perlahan-lahan sungai Tatsuya menjadi tenang, suara gemuruhnya pun sirna. Mendung hitam yang selama ini menggantung di langit kota Nara terlihat menyibak pergi perlahan dihembus angin sepoi. Dan langit biru yang cerah menghias kembali di atas kota Nara. Pelangi besar melengkung berwarna-warni seiring selesainya syair yang dilantunkan Puteri Hase. Surga telah tergerak menjawab doa-doa Puteri Hase. 

Kaisar merasa sangat senang dan bangga atas keberhasilan Puteri Hase. Penyakit yang dideritanya selama ini tiba-tiba sirna tiada terasa lagi. Oleh karena itu Kaisar memberikan hadiah istimewa kepada Puteri Hase dan memberinya pangkat sebagai ‘Chinjo’yaitu Letnan Jenderal. Dan sejak saat itu dia dipanggil ‘Chinjo hime’ (Letnan Jenderal Puteri). Puteri Hase sangat dicintai dan dihormati oleh semua orang.  Namun ada satu orang yang sangat tidak suka dengan keberhasilan Puteri Hase yaitu si ibu tiri, Puteri Terute.  Dia masih dendam terhadap Puteri Hase atas kematian anak lelakinya dulu ketika mencoba meracuni puteri tirinya. Si ibu tiri merasa sangat tersiksa dan iri hati melihat Puteri Hase memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dengan kebaikan Kaisar dan kekaguman semua orang. Rasa iri dan cemburu telah membakar hati sanubarinya. 

Berbagai cara telah dicobanya untuk merusak citra Puteri Hase. Sering dia mengarang cerita dusta dengan menjelek-jelekkan Puteri Hase di hadapan suaminya. Pangeran Toyonari mendengarkan ceritanya sampai selesai, tapi selalu saja mengatakan bahwa apa yang diceritakan istrinya itu tidak benar dan keliru karena Puteri Hase bukan orang seperti itu. Akhirnya, kesempatan untuk menyingkirkan Puteri Hase pun tiba. Pangeran Toyonari ada tugas ke kota lain untuk beberapa waktu lamanya. Puteri Terute telah menyusun rencana jahat untuk menyingkirkan Puteri Hase. Oleh karena itu Puteri Terute menyuruh seorang pelayan tua setianya yang bernama Katoda untuk membawa Puteri Hase ke gunung Hibari yang merupakan daerah paling liar dan paling jauh dari kerajaan, lalu membunuhnya disana. 

Dia mengarang cerita dan berkata kepada si pelayan tua bahwa Puteri Hase akan mendatangkan kesialan yang bertubi-tubi bagi keluarganya. Dan untuk menghindari datangnya kemalangan itu hanya ada satu cara yaitu dengan membunuh Puteri Hase. 

“Kuperintahkan padamu, bawalah Puteri Hase ke gunung Hibari dan bunuhlah dia disana! Dan ingat! Jangan kembali kesini sebelum kau selesaikan tugasmu, kecuali kalau kau ingin menemui ajalmu!” perintah Puteri Terute.

“Baiklah, tuan Puteri,” jawab si pelayan tua. 

Katoda hanya bisa mematuhi perintah majikannya walaupun tahu majikannya itu salah. Maka pada pagi hari yang buta dengan menunggang kuda dibawalah Puteri Hase ke gunung Hibari. Membawanya masuk jauh ke tengah hutan. Sesampainya di tengah hutan Katoda pun menghentikan kudanya. Dipandanginya gadis kecil tak berdosa di hadapannya itu. Dia pun lalu menangis bersimpuh di hadapan Puteri Hase dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi. 

“Maafkan hamba, tuan Puteri. Ini semua hamba lakukan atas perintah ibu tiri paduka, Puteri Terute. Hamba ditugaskan untuk membunuh tuan Puteri,” kata Katoda dengan suara terisak-isak,”Tapi... saya tidak sanggup melakukannya. Saya tidak ingin membunuh tuan Puteri.”

“Jadi ini semua atas perintah ibunda?” tanya Puteri Hase. 

“Benar, puteri.” 

“Kalau begitu kenapa tidak kau bunuh saja diriku? Dan kau bisa kembali pulang ke rumah,” kata Puteri Hase. “Tidak, tuan puteri. Saya tidak mau kembali ke rumah. Saya ingin menebus kesalahan saya ini dengan menjaga dan merawat tuan puteri disini,” kata Katoda. 

Akhirnya Katoda membangun gubuk kecil di tengah hutan itu untuk tempat tinggal mereka berdua. Katoda merawat dan menjaga Puteri Hase dengan penuh kasih sayang seperti anaknya sendiri. Sementara itu Pangeran Toyonari sudah kembali pulang dari tugas luar kotanya. Dia sangat merindukan puteri kesayangannya yaitu Puteri Hase. Namun alangkah sedihnya hati Pangeran Toyonari begitu mengetahui puteri kesayangannya tersebut tak dijumpainya di rumah. 

“Sepertinya Puteri Hase telah berbuat kesalahan besar. Mungkin karena takut kakanda nanti akan marah dan menghukumnya, maka dia melarikan diri dari rumah. Kami semua sudah mencarinya kemana-mana tapi tak kunjung jua menemukannya,” kata Puteri Terute berbohong dengan mimik muka yang dibuat sesedih mungkin. 

Tak percaya dengan apa yang dikatakan isterinya, Pangeran Toyonari bertanya kepada semua pelayan yang ada di dalam rumah itu. Dan jawaban yang diterimanya sama seperti jawaban isterinya bahwa Puteri Hase tiba-tiba menghilang tak diketahui dimana keberadaannya. Pangeran Toyonari merasa sangat sedih tak terkira kehilangan puteri kesayangannya itu. Dia sudah berusaha mengirim prajurit ke berbagai pelosok kerajaan, tetapi keberadaan sang puteri tetap tidak diketemukan. Pangeran Toyonari merasa sangat putus asa. Suatu hari untuk mengusir kesedihannya, Pangeran Toyonari bermaksud berburu rusa di hutan untuk waktu beberapa hari lamanya. 

Dia memerintahkan prajurit-prajuritnya mempersiapkan perbekalan untuk berburu. Dan berangkatlah Pangeran Toyonari beserta para prajuritnya dalam sebuah rombongan besar menuju hutan gunung Hibari yang terkenal liar. Begitu sampai di gunung Hibari, Pangeran Toyonari segera memimpin perburuan. Kudanya dipacu kencang masuk jauh ke dalam hutan. Dan tibalah dia di sebuah lembah sempit nan indah dan damai. Sayup-sayup di dengarnya suara seseorang membaca sutra agama Buda. Suara seorang perempuan yang sangat merdu. Pangeran Toyonari merasa seperti mengenal suara itu. Dia merasa semakin penasaran. 

Lalu mencari asal dari suara itu. Dari kejauhan dilihatnya ada sebuah gubuk kecil di tengah lembah. Dia pun menghela kudanya menuju gubuk kecil itu. Begitu sampai di depan gubuk, dilihatnya ada seorang gadis kecil ditemani oleh seorang pengasuh sedang membaca sutra Buda. Pangeran Toyonari turun dari kudanya dan berjalan mendekati gubuk itu. Betapa terkejutnya dia begitu tahu bahwa gadis kecil yang membaca sutra Buda itu adalah Puteri Hase anaknya. 

“Puteri Hase!” teriak Pangeran Toyonari dengan perasaan bahagia,”Anakku, Puteri Hase!” 

“Oh, ayahanda! Benarkah ini... ayahanda?” teriak Puteri Hase tak percaya. 

Bapak dan anak yang lama tak bertemu itupun segera berpelukan melepas rindu. Dari kedua matanya mengalir air mata bahagia. 

“Dengarkan semua! Perburuan kali ini dibatalkan! Dan pulanglah sebagian dari kalian terlebih dahulu. Beritahukan kabar gembira ditemukannya puteriku ini kepada orang di rumah,” perintah Pangeran Toyonari kepada para prajuritnya. 

“Baik, Yang Mulia,” jawab para prajurit. Pangeran Toyonari merasa heran dan benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya ini. 

Dia merasa keajaiban ini seperti mimpi indah yang jadi kenyataan.

“Anakku, apa sebenarnya yang sudah terjadi padamu?” tanya Pangeran Toyonari masih sambil memeluk dan membelai rambut panjang anak gadisnya. 

“Ayahanda. Ini semua karena ulah ibunda. Ibunda yang sudah membuangku ke tengah hutan ini,” jawab Puteri Hase dengan sesenggukan. 

Lalu Katoda pun menceritakan semua yang sudah dialaminya bersama Puteri Hase. Begitu mendengar cerita Katoda, Pangeran Toyonari menjadi sangat marah dan geram kepada Puteri Terute. Dia bermaksud menghukum istrinya itu dengan hukuman seberat-beratnya. Sementara itu rombongan prajurit yang pulang terlebih dahulu telah sampai di rumah Pangeran Toyonari dan memberitahukan kabar gembira atas ditemukannya Puteri Hase di tengah hutan gunung Hibari. Puteri Terute merasa sangat cemas dan bingung begitu mendengar kabar itu. Dia merasa sangat ketakutan karena ulah jahatnya sudah diketahui oleh Pangeran Toyonari.

Oleh karena itu sebelum suaminya sampai di rumah, dengan diam-diam Puteri Terute melarikan diri dari rumah dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya lagi. Setelah sampai di rumah, Pangeran Toyonari mendapati istrinya sudah tidak ada di rumah. Beberapa prajurit sudah dikerahkan untuk menemukan dan menangkapnya, namun Puteri Terute tidak ditemukan juga keberadaannya. Dia hilang seperti tertelan bumi. Sementara itu Katoda si pelayan setia dianugerahi kedudukan tertinggi dalam melayani keluarga Pangeran Toyonari sampai akhir hayatnya. Puteri Hase tidak pernah melupakan jasa baik sang pelayan setia ini. 

Dia benar-benar berhutang budi padanya. Karena tidak mempunyai anak lelaki, Pangeran Toyonari akhirnya mengangkat anak laki-laki bungsu dari salah seorang bangsawan istana sebagai ahli warisnya. Dan akhirnya setelah mereka dewasa, Pangeran Toyonari menikahkan anak laki-laki itu dengan Puteri Hase. Mereka pun hidup berbahagia sampai di hari tua. Setelah Pangeran Toyonari pensiun, Puteri Hase ditunjuk sebagai penggantinya. Dia terkenal sangat arif dan bijaksana. Sebagai salah satu peninggalan Puteri Hase, sampai sekarang masih tersimpan ‘sebuah jarum’ di salah satu kuil Buda di kota Kyoto yang pernah digunakan Puteri Hase untuk menyulam sebuah permadani bergambar Buda pada kain sutra yang disulam dengan menggunakan benang yang terbuat dari serat batang bunga teratai. Dan semua itu dikerjakan sendiri oleh Puteri Hase.

***

Yumi selesai membaca bukunya sih, ya isi buku memanga bagus sih ceritanya. Jadi buku di tutup sama Yumi dan di taruh di meja dengan baik.

ASAL MULA LORENG HARIMAU

Toto duduk santai di ruang tamu sedang baca buku cerita yang asal dari Brazil, ya di tulis di buku sih. 

Isi buku yang di baca Toto :

Dahulu kala, harimau tidak memiliki belang di tubuhnya. Tubuhnya berwarna kuning emas polos dan sangat indah ketika tertimpa cahaya matahari. Harimau sangat bangga dengan tubuhnya itu. Harimau memiliki ladang pertanian yang sangat luas, tapi ladang itu penuh dengan semak belukar. Harimau, yang ingin menanam jagung, menjadi kebingungan. Ia lalu mengumpulkan semua binatang untuk bertanya siapa yang bisa membersihkan semak belukar di ladangnya.

“Siapa di antara kalian yang bisa membersihkan semak di ladangku? Aku akan memberikan sekantung uang emas sebagai hadiahnya,” kata harimau.

Monyet, yang ikut berkumpul, tertarik dengan hadiah uang emas itu. Ia pun menyanggupi tawaran Harimau untuk membersihkan semak belukar di ladangnya. Keesokkan harinya, monyet mulai bekerja membersihkan semak di ladang harimau. Akan tetapi monyet bukanlah pekerja yang baik, sepanjang hari ia hanya bermalas-malasan dan hanya sedikit sekali membersihkan semak belukar. Harimau pun kecewa melihat pekerjaan monyet dan mengusirnya dari ladang tanpa membayarnya sedikit pun.

Harimau kemudian mempekerjakan kambing untuk membersihkan semak di ladangnya. Kambing adalah pekerja yang rajin, tapi ternyata ia tidak cukup pandai. Ia membersihkan sebagian kecil di sisi ladang, kemudian berpindah mengerjakan sebagian kecil di sisi lain. Hal itu membuat hasil pekerjaan kambing sangat buruk dan tidak rapi sama sekali. Harimau pun merasa kecewa melihat hasil pekerjaan kambing dan mengusir kambing tanpa memberikan bayaran apa pun.

Setelah itu, harimau mulai mempekerjakan armadillo. Harimau menyangka armadillo akan berhasil menyelesaikan pekerjaannya karena badan armadillo cukup besar dan kuat. Armadillo pun pergi ke ladang harimau dan mulai membersihkan semak.

Armadillo membersihkan ladang harimau dengan sangat baik, tapi sayangnya armadillo memiliki nafsu makan yang sangat besar. Ketika ia menemukan sarang semut saat membersihkan ladang, ia melupakan tugasnya dan justru terus menggali sarang semut itu dan memakannya sepanjang hari. Harimau pun merasa kecewa melihat kelakuan armadillo dan mengusirnya tanpa memberikan bayaran apa pun.

Keesokkan harinya, kelinci mendatangi harimau untuk menggantikan armadillo.

“Harimau, aku ingin bekerja membersihkan ladangmu dari semak belukar.”

Harimau tertawa mendengar perkataan kelinci, lalu berkata, “Mana mungkin kau bisa menyelesaikan pekerjaan yang berat itu, Monyet? Kambing dan armadilo yang bertubuh lebih besar darimu saja gagal.”

“Biarkan aku mencobanya, Harimau,” bujuk kelinci.

Harimau pun akhirnya mengizinkan kelinci membersihkan semak belukar di ladangnya. Keesokkan harinya, kelinci sudah berada di ladang harimau sejak pagi-pagi sekali. Ia bekerja dengan sangat giat untuk membersihkan semak belukar. Harimau, yang melihatnya dari kejauhan, menjadi senang. Sore harinya kelinci sudah berhasil menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Ia lalu mendatangi harimau untuk meminta bayaran yang telah dijanjikan.

“Harimau, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku. Sekarang aku meminta sekantung uang emas yang kau janjikan,” tagih kelinci.

Harimau tertawa lalu berkata, “Kau memang binatang bodoh, Kelinci. Mudah sekali aku menipumu. Kau tidak akan menerima bayaran apa pun dariku,” ingkar harimau.

“Tapi kau sudah berjanji, Harimau,” kata kelinci.

Harimau mengaum keras, menperlihatkan gigi taringnya yang tajam. “Pergi dari hadapanku sekarang, Kelinci, atau aku akan memangsamu!” ancam Harimau.

Kelinci ketakutan dan lari tunggang langgang dari hadapan harimau. Ia pergi dari tempat harimau dengan menyimpan rasa dendam. Ia kemudian mendatangi  kambing, armadillo, dan monyet untuk menceritakan kejahatan harimau.

“Kita harus memberinya pelajaran,” usul monyet.

Mereka berempat kemudian mengatur sebuah rencana untuk membalas kejahatan harimau. Keesokan hariya kelinci mendatangi harimau.

“Harimau, mengapa kau tidak mempersiapkan diri? Sebentar lagi sekelompok banteng liar akan datang ke sini dan merusak ladangmu,” kata kelinci.

“Benarkah? Apakah kau yakin dengan perkataanmu?” tanya harimau, memastikan.

“Tentu saja, Harimau. Aku melihat sekelompok banteng sudah sampai di balik bukit.”

“Apa yang harus kulakukan? Mereka pasti memorak-porandakan ladangku,” kata harimau mulai kalut.

Kelinci tersenyum senang karena rencananya berjalan baik.

“Bila kau mau, aku akan membangunkan pagar tinggi dengan duri-duri tajam di atasnya. Banteng-banteng itu pasti tidak akan bisa merusak ladangmu.” Kelinci memberikan saran.

“Kau sungguh baik, Kelinci. Segeralah buat dinding kokoh itu!” kata harimau, menyetujui.

Kelinci lalu memanggil kambing, monyet, dan armadillo untuk membuat pagar bersama-sama. Mereka berempat bahu-membahu mengumpulkan kayu-kayu besar dari dalam hutan untuk mendirikan pagar kokoh yang mengitari ladang harimau. Mereka bekerja dengan giat sehingga tepat sebelum tengah hari, pagar kokoh itu sudah hampir selesai dikerjakan. Mereka lalu menyuruh harimau masuk ke dalam pagar.

“Harimau, pagar sudah hampir jadi, masuklah ke dalamnya.”

Harimau masuk ke dalam pagar itu tanpa rasa curiga. Setelah harimau masuk, kelinci, kambing, monyet, dan armadillo memasang duri-duri mengeliling pagar sehingga Harimau tidak bisa keluar. Mereka berempat kemudian berkata kepada harimau dari luar pagar.

“Banteng-banteng itu sama sekali tidak ada, Harimau. Kami berempat melakukan semua ini untuk membalas kejahatanmu. Mulai sekarang kau akan terkurung di ladangmu sendiri yang selama ini kau bangga-bangakan!”

Harimau tersadar bahwa ia telah ditipu oleh kelinci, kambing, monyet, dan armadillo, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sudah terlanjur terkurung di dalam pagar berduri yang kokoh dan tidak bisa keluar. Beberapa hari pun berlalu dan harimau masih bertahan di dalam pagar berduri dengan menahan lapar dan haus. Oleh karena kelaparan dan kehausan yang tertahankan lagi, harimau pun berniat untuk nekat keluar dari pagar berduri.

“Aku harus keluar dari pagar ini, bagaimana pun caranya. Semakin lama aku berada di dalam sini, aku akan semakin dekat dengan kematian,” pikir harimau.

Harimau mengumpulkan segenap tenaganya yang tersisa sebelum akhirnya melompati pagar dan menerobos duri-duri tajam yang mengelilingi pagar kokoh itu. Duri-duri tajam itu melukai sekujur tubuh harimau dan darah segar menetes dari luka-luka itu. Harimau sama sekali tidak menghiraukan luka-luka itu karena ia ingin segera terbebas dari penjara pagar berduri itu. Setelah hariamu berhasil keluar, luka-luka di sekujur tubuhnya membentuk belang-belang yang tidak hilang sampai sekarang.

***

Toto selesai membaca bukunya dengan baik. Isi buku yang di baca Toto, ya benar-benar bagus sih, jadi buku di tutup dengan baik dan di taruh di meja.

JHI GE PHU DAN PUTRI NAGA

Di sebuah daerah di tiongkok hiduplah seorang pemuda bernama Jhi Ge Phu bersama ayahnya yang sudah renta. Mereka adalah ahli tembikar dan mereka hidup dari hasil menjual tembikar buatannya. Suatu hari di musim salju, Jhi Ge Phu dan ayahnya menuntun keledai mereka ke kota. Keledai mereka yang sudah tua terseok-seok membawa muatan tembikar yang akan mereka jual di kota. Jalanan sangat licin karena tertutup salju. Ayah Jhi Ge Phu khawatir keledai mereka akan terpeleset dan menjatuhkan tembikar-tembikar di punggungnya.

Saat melewati Yuin Nan, mereka harus menyebrangi sebuah sungai yang sudah membeku. Di tengah sungai keledai mereka terpeleset dan jatuh, membuat semua tembikar mereka pecah berkeping-keping. Ayah Jhi Ge Phu yang hendak membatu keledainya malah terpeleset juga. Malang baginya, kepalanya terantuk batu dengan sangat keras sehingga ia pun meninggal.

Jhi Ge Phu sangat sedih. Namun apa mau dikata, semua sudah suratan takdir. Maka dia pun menguburkan jenazah ayahnya di tepi sungai dan juga menguburkan keledainya di samping kuburan ayahnya. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya. Suatu hari dia tiba di pinggir laut. Saat dia sedang merenungi nasibnya, dia dikejutkan oleh suara rebut dan tangisan seorang gadis. Dilihatnya segerombolan pemuda berkuda berlari menuju ke arahnya. 

Salah seorang diantaranya membawa seorang gadis yang sedang meronta-ronta dan menangis. Jhi Ge Phu merasa yakin bahwa gadis itu pasti telah dibawa paksa oleh mereka. Maka segera dia menghadang mereka. Pemuda yang membawa gadis itu sangat marah, dia mengeluarkan cambuk dan melecutkannya ke arah Jhi Ge Phu. Untungnya Jhi Ge Phu sempat menghindar. Ia mencabut pedangnya dan menebas kaki depan kuda pemuda itu sehingga mereka jatuh tersungkur. Tanpa membuang waktu Jhi Ge Phu menyerang si pemuda yang kewalahan melawannya. Akhirnya gerombolan pemuda itu pun melarikan diri. Gadis itu sangat berterima kasih dan mengenalkan dirinya sebagai putri Naga.

“Dimana rumahmu Nona, bagaimana kau bisa dibawa oleh pemuda berandalan itu?” tanya Jhi Ge Phu.

“Rumahku ada di dasar laut. Kebetulan tadi pagi aku ingin menikmati fajar di daratan. Lalu saat aku lengah, tiba-tiba mereka datang menculikku,” katanya.

“Wahai pemuda, kau telah menolongku. Sekarang kau ikutlah denganku untuk menemui orang tuaku. Mereka akan sangat senang bertemu denganmu,” pinta putri Naga.

Jhi Ge Phu sangat penasaran sehingga dia menyetujui ajakan putri Naga. Putri tersebut menyuruhnya memejamkan mata. Sedetik kemudian saat putri Naga menyuruhnya membuka mata, Jhi Ge Phu terpesona dengan pemandangan di depannya.

Dia kini berada di sebuah istana yang sangat megah dan indah. Di hadapannya berdiri dua makhluk yang seperti manusia tapi juga seperti naga, dikelilingi para pelayan dengan bentuk seperti ikan. Kedua naga itu memperkenalkan diri sebagai orang tua gadis yang ditolongnya. Mereka sangat berterima kasih atas pertolongan Jhi Ge Phu. Mereka menjamunya dengan berbagai hidangan yang lezat. Kemudia raja membawa Jhi Ge Phu ke sebuah ruangan yang dipenuhi emas dan permata.

“Sebagai tanda terima kasihku, kau boleh membawa emas permata ini sesukamu, pilihlah!” kata raja.

Jhi Ge Phu dengan halus menolaknya, dia katakan bahwa dia tidak menginginkan imbalan. Namun karena raja terus memaksanya, akhirnya dia meminta seekor anak ayam dan sebuah tongkat. Raja sangat terkejut dengan permintaan tersebut karena kedua benda itu adalah pusaka kerajaan yang orang luar tidak mengetahuinya.

“Anak muda dari mana kau tahu benda-benda pusaka itu?” tanya raja.

“Maaf paduka, tuan putrilah yang memberitahuku,” kata Jhi Ge Phu.

Raja dan ratu segera memahami bahwa anak mereka telah jatuh hati pada pemuda itu. Maka dengan berat hati mereka merelakan pusaka tersebut ke tangan Jhi Ge Phu. Setelah itu mereka mengantar Jhi Ge Phu ke permukaan dengan selamat. Jhi Ge Phu sebenarnya ingin berpamitan dengan putri naga namun sepertinya putri naga tidak mau menampakan diri.

Jhi Ge Phu lalu melanjutkan perjalanannya meski dia tidak tahu harus kemana. Berhari-hari dia berjalan tanpa makan dan minum, akhirnya dia pun pingsan kelelahan. Saat membuka matanya, ternyata dia tidak berada di tanah tempat ia pingsan, namun di sebuah tempat tidur yang besar dan indah. Di hadapannya telah terhidang makanan dan minuman yang lezat. Karena lapar, Jhi Ge Phu menghabiskan hidangan itu dengan lahap.

“Rumah siapa ini,” tanya Jhi Ge Phu dalam hati.

Dia kemudian berkeliling di dalam rumah itu untuk mencari tahu pemiliknya. Anehnya tidak ada seorang pun di dalam rumah itu. Dia menemukan namanya tertempel di salah satu pintu rumah tersebut.

“Mungkin ada orang baik yang meminjamkan rumah ini untukku,” pikirnya. “Aku tidak boleh berdiam diri saja, aku harus bekerja keras!.”

Jhi Ge Phu memutuskan untuk berladang, maka dia segera membabat hutan dan menanaminya dengan sayuran dan buah-buahan. Dia berangkat ke ladang segera setelah matahari menampakkan diri dan baru pulang saat matahari akan kembali ke peraduannya.

Setiap kali dia bangun tidur dan pulang kerja, Jhi Ge Phu selalu mendapati meja makannya telah dipenuhi hidangan. Demikian pula rumah yang ditinggalinya selalu rapi dan bersih. Padahal Jhi Ge Phu tidak pernah bertemu dengan orang lain di rumah itu. Karena penasaran, Jhi Ge Phu memutuskan untuk mencari tahu jawabannya. Suatu hari seperti biasa, pagi-pagi dia berpura-pura pergi ke ladang. Padahal dia bersembunyi dan mengintip.

Tiba-tiba anak ayam yang dibawanya dari istana naga mengeluarkan asap dan BUZZ!! Anak ayam itu menghilang dan berdirilah seorang putri yang sangat cantik. Kini tahulah Jhi Ge Phu bahwa selama ini putri Naga selalu bersamanya. Jhi Ge Phu sangat gembira, dia pun menghampiri putri Naga yang tidak bisa berpura-pura lagi. Mereka memutuskan untuk menikah dan bekerja di ladang bersama-sama.

Suatu hari lewatlah seorang raja dan para pengikutnya. Mereka hendak pergi berburu. Raja sangat terpesona melihat keindahan rumah Jhi Ge Phu dan memutuskan untuk singgah. Raja semakin terpesona melihat bahwa Jhi Ge Phu memiliki istri yang sangat cantik. Timbul niat jahatnya untuk menjadikan putri Naga sebagai istrinya.

Maka ditantangnya Jhi Ge Phu untuk bertanding. Raja memutuskan untuk bertanding membabat hutan selama tiga hari. Jika Jhi Ge Phu berhasil, raja akan memberinya hadiah, namu jika gagal, maka Jhi Ge Phu harus menyerahkan istrinya kepada raja. Jhi Ge Phu sangat sedih karena yakin tidak akan mampu memenuhi tantangan tersebut. Namun putri naga menyarankan untuk meminta tolong pada raja naga.

“Pintalah kapak rembulan pada ayahku!” katanya.

Dengan kapak rembulan di tangannya, Jhi Ge Phu dengan berani berdiri menentang raja. Dia memilih hutan di sebelah timur, sementara raja hutan di sebelah barat. Dengan sekuat tenaga Jhi Ge Phu melemparkan kapak rembulannya ke atas dan BLARR! Seberkas cahaya memancar dan dengan sekejap mata hutan di sebelah timur telah habis terbabat.

Raja sangat marah dan tidak mau mengakui kekalahannya. Dia menantang Jhi Ge Phu untuk menuai padi keesokan harinya. Sekali lagi Jhi Ge Phu meminta pertolongan raja naga yang lalu memberinya sebuah kotak emas berkepala merak.

Esoknya, puluhan pekerja raja bekerja keras menuai padi di ladang sebelah selatan. Jhi Ge Phu segera membuka kotak emasnya. Seberkas cahaya menyilaukan terpancar dari dalamnya dan lalu segera berubah menjadi jutaan ekor burung pemakan padi. Mereka mematuki padi di ladang sebelah utara sehingga dalam sekejap padi-padi itu habis. Raja sangat marah dengan kekalahannya. Dengan geram dia memerintahkan para prajuritnya untuk membawa putri naga dengan paksa. Jhi Ge Phu berusaha melawan namun saying prajurit raja terlalu banyak sehingga ia kewalahan. Didengarnya putri naga berteriak-teriak ketika para prajurit membawanya.

“Ge Phu, Mantel Bulu Merak! Syair keberuntungan!” teriak putri.

Jhi Ge Phu dengan sedih melihat istri yang dicintainya dibawa pergi. Berhari-hari dia memikirkan arti ucapan istrinya. Tiba-tiba pikirannya terbuka dan dia mengerti bahwa dia harus membuat mantel dari bulu merak dan membawanya ke istana. Dia segera mengumpulkan bulu merak. Setiap malam di bawah cahaya rembulan dia menyusun bulu-bulu merak dan merangkai syair keberuntungan. Lalu pada malam ke 49 selesailah sudah mantel bulu merak dan syairnya.

Dengan memakai mantel bulu merak tersebut, Jhi Ge Phu berangkat ke istana. Malam itu adalah malam tahun baru Lunar. Masyarakat kota sedang berpesta. Istana dihiasi lentera dan lampion. Kemeriahan pesta begitu terasa saat Jhi Ge Phu berdiri di pintu gerbang istana. Dia lalu menyanyikan syair keberuntungannya dengan lantang. Pakaiannya yang tidak biasa, menarik perhatian banyak orang. Mereka beramai-ramai menonton Jhi Ge Phu.

Raja yang tidak tahu bahwa orang tersebut adalah Jhi Ge Phu segera memerintahkan untuk membawanya ke dalam istana. Putri Naga segera tahu bahwa suaminya telah datang begitu mendengarnya menyanyikan syair keberuntungan. Dia bergegas masuk ke aula tempat Jhi Ge Phu berada dan dengan ceria menebarkan senyum padanya.

Raja gembira melihat putri berubah ceria. Pikirnya jika ia juga memakai mantel bulu merak, putri akan senang padanya. Tanpa pikir panjang raja merebut mantel itu dan memakainya. Tapi putri naga menunjukan tampang tidak suka, katanya “Sungguh tidak pantas seorang raja berpakaian seperti itu. Sangat tidak sopan. Ini akan membuat sial pada kerajaan. Raja seperti ini harusnya dikurung saja.”

Kata-kata sang putri menimbulkan keributan di istana. Beberapa prajurit dan pejabat berusaha menangkap raja dan sebagian lain melindunginya. Kesempatan ini dipakai oleh Jhi Ge Phu dan putri naga untuk melarikan diri. Mereka berlari kea rah laut. Di sana para prajurit istana naga telah menunggunya dan membawanya kembali ke istana naga. Di sanalah mereka hidup bahagia selamanya.

SALING MENDOAKAN

Malam hari. Dono duduk di halaman belakang sambil menikmati minum teh dan makan keripik talas. Indro selesai urusan kerjaanya, ya keluar dari kamarnya. Saat di ruang tengah, ya Indro tidak melihat Dono.

"Dono tidak nonton Tv. Padahal acara Tv, ya banyak bagus-bagus sih. Pinter yang buat acara Tv," kata Indro.

Indro berpikir dengan baik, ya pada akhirnya memutuskan "Aku nonton Tv nanti aja ah. Ngobrol sama Dono dulu. Pasti Dono di halaman belakang," kata Indro.

Indro ke halaman belakang. Dono menikmati keadaan dengan baik, ya sambil minum tehnya. Indro duduk dan segera menuangkan tekok berisi teh ke cangkir dan segera di minum dengan baik.

"Emmmmm.....enak teh ini," kata Indro.

Dono menaruh cangkir teh di meja dan segera mengambil keripik talas di plastik dan di makan deh keripik talas yang enak itu. Indro menaruh cangkir tehnya di meja.

"Dono," kata Indro.

"Apa?" kata Dono.

"Hari ini. Tahun baru Islam," kata Indro.

"Iya," kata Dono.

Dono mengambil cangkir tehnya dan meminumnya dengan baik, ya begitu juga dengan Indro. Kasino selesai urusan obrolan daring dengan Selfi di leptop. Kasino keluar kamarnya dan ke ruang tengah. Ternyata tidak ada Dono dan Indro di ruang tengah.

"Dono dan Indro...tidak nonton Tv toh," kata Kasino.

Kasino, ya duduk di ruang tengah dan mengambil remot di meja, ya di hidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di pilih Kasino, ya perlombaan menyanyilah.....kan populer sih acaranya sih. Remot di taruh di meja. Kasino asik nonton acara Tv yang bagus itu. Dono dan Indro menaruh cankir di meja dan segera mengambil keripik talas di plastik, ya di makan dengan baik sih keripik talas.

"Don," kata Indro.

"Apa?" kata Dono.

"Cewek itu. Dalam ibadahnya menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Ya doa-nya selalu mendoa kan orang yang ia cintai kan?" kata Indro.

"Mana aku tahu. Aku kan cowok!" kata Dono.

"Ayolah Don. Seriuslah. Jangan becanada!" kata Indro.

"Ok. Cewek yang di didik dengan baik sama orang tuanya. Pasti mendoakan orang yang ia cintainya dengan baik," kata Dono.

"Berarti cewek itu solehah ya?!" kata Indro.

"Ya begitulah. Ajaran Islam kan memang mendidik anak ceweknya untuk menjadi cewek sholehah," kata Dono.

"Aku didik dengan baik sama orang tua. Ya mendoakan cewek yang aku sukai dengan baik sih," kata Indro.

"Emmm," kata Dono.

"Tahun baru Islam...cuma bersantai di halaman belakang sambil melihat langit yang gelap bertabur bintang?!" kata Indro.

"Mau mengapain?" kata Dono.

"Acara gitu...Don!" kata Indro.

"Kan masih dalam pandemi covid-19. Nanti kalau buat acara ngumpul anak muda. Dateng lagi petugas ini dan itu, ya di bubarkan kaya acara yang di beritakan di Tv tuh!" kata Dono.

"Kalau yang di beritakan di Tv kan...memang banyak orang. Cuma di rumah saja. Tiga orang. Aku, Dono dan Kasino...saja!" kata Indro.

"Kalau cuma kita-kita saja. Cuma ngeteh dan makan keripik sih sama...aja ngumpul anak muda," kata Dono.

"Acara memang tiap hari begini Don. Maunya ada perubahan Tahun baru Islam," kata Indro.

"Baca Al-Qur'an...saja!" kata Dono.

"Dari dulu sampai sekarang...yang di omongin tetap. Baca Al-Qur'an," kata Indro.

"Kerjaan orang Islam...memang begitu!" kata Dono.

"Memang iya sih Don," kata Indro.

"Emmmm," kata Dono.

"Ya sudahlah. Lebih baik aku main game saja!" kata Indro.

"Kebiasaan," kata Dono.

"Nama juga...suka main game!" kata Indro.

"Emmmm," kata Dono.

Dono terus menikmati mimum teh dan makan keripik talas yang enak banget. Indro main game di Hp-nya dengan seriuslah. Kasino di ruang tengah, ya masih asik nonton Tv yang acaranya bagus gitu.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK