CAMPUR ADUK

Tuesday, August 10, 2021

PATUNG JISOO BERCAMPING BAMBU

Yanti sedang duduk di kamarnya, ya sedang membaca buku cerita yang bagus asal cerita dari Jepang memang di tulis dengan baik sih di buku.

Isi buku yang di baca Yanti :

Dahulu kala di negeri Jepang hiduplah sepasang kakek nenek yang sangat baik hati. Mereka juga sangat taat beribadah. Meskipun setiap hari rajin bekerja dari pagi hingga sore, tapi kehidupan mereka selalu kekurangan. Meskipun begitu mereka tetap bersyukur dan suka menolong sesama. Suatu hari di musim semi. Setelah seharian bekerja menggarap sawah, kakek dan nenek itu duduk istirahat di pinggir sawah sambil makan nasi bontotannya. Tiba-tiba ada seekor kera dan tupai berloncatan di dekatnya.

“Oh, kalian juga ingin makanan ini, ya?” ujar sang kakek sambil memberikan sebagian makanannya.

Lalu ketika musim panas tiba, matahari pun bersinar begitu menyengat. Seakan-akan panasnya hendak membakar semua yang ada.

“Waduh… panas sekali hari ini! Ah, sepertinya patung jisoo itu  juga kepanasan. Kalau begitu akan kusirami air,” kata sang kakek.

Begitulah disela-sela bekerja di sawah, kakek dan nenek itu selalu menyempatkan diri untuk menyirami patung jisoo yang berada di jalan menuju persawahan dengan air sungai kecil yang mengalir didekatnya. Jisoo menurut kepercayaan agama Budha merupakan makhluk sejenis malaikat yang suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Oleh karena itu orang-orang Jepang di jaman dulu banyak yang membuat patungnya untuk menjaga desa mereka. Musim panas pun berlalu, berganti dengan musim gugur yang penuh dengan hasil panen palawija dan buah-buahan. Kakek dan nenek itu pun tidak lupa mempersembahkan sesaji kepada patung jisoo berupa ketimun dan buah kesemek hasil panenannya sebagai rasa terima kasih.

“Oh, Dewa. Terimalah persembahan kami ini. Di tahun ini pun kami telah diberkahi dengan hasil panen yang melimpah. Terima kasih dewa,” demikian kata kakek dan nenek itu bersamaan sambil membungkukkan badannya dengan hormat di hadapan patung jisoo.

Lalu musim gugur pun berlalu berganti dengan musim dingin yang dingin membeku. Hampir setiap hari hujan salju turun terus-menerus. Rumah, jalan-jalan, gunung dan persawahan semua tertutup oleh salju tebal, sehingga tidak ada lahan yang bisa ditanami lagi. Kakek dan nenek itu pun tidak bisa bekerja di sawah. Mereka tinggal di rumah sambil membuat berbagai macam kerajinan seperti bakiak kayu, caping dan sepatu dari jerami kering. Waktu itu sudah mendekati pergantian tahun baru.

“Kek, besok lusa kan hari pertama tahun baru. Yah, karena kita tidak punya ketan yang akan ditumbuk, jadi kita tidak bisa merayakan tahun baru dengan membuat kue mochi,” ujar nenek dengan raut muka sedih.

“Jangan sedih begitu, nek! Tahun ini aku pengin makan kue mochi buatanmu, lho! Kalau begitu, bagaimana kalau besok aku pergi ke kota menjual caping-caping ini?” kata sang kakek bersemangat menghibur istrinya.

“Wah, itu ide bagus sekali, kek. Nanti kita bisa membeli ketan untuk membuat kue mochi dengan uang hasil jualan caping-caping itu,” kata sang nenek menyetujui usul suaminya.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang kakek berangkat ke kota untuk menjual caping-caping buatannya.

“Hati-hati di jalan ya, kek? Kalau sudah laku semua, cepatlah pulang ke rumah,” ujar sang nenek mengantar keberangkatan sang kakek.

“Tentu, nek. Jangan khawatir! Kamu juga sekarang harus menyiapkan perabotan untuk membuat kue mochi nanti malam.”

Sesampainya di kota, kakek tua itu segera menawarkan caping-capingnya. Dia berjalan menyusuri jalan-jalan trotoar kota sambil berteriak,“Caping… caping… Caping, pak? Caping, bu? Murah, lho! Bisa dicoba kok! Caping… caping…”

Namun tak ada seorang pun yang mau membeli caping-caping itu.

“Wah, gimana nih? Caping-capingku tak satu pun yang terjual. Pasti nenek akan sangat kecewa karena tak ada sepeser pun uang untuk membeli ketan,” gumam kakek dalam hati sambil membayangkan wajah kecewa istrinya.

Ketika matahari sudah mulai terbenam di ufuk barat, kakek itu pun segera beranjak pulang tanpa membawa ketan dan uang sepeser pun. Di tengah perjalanan pulang, hujan salju turun begitu deras. Kakek tua itu melihat ada sekelompok patung jisoo di pertigaan jalan menuju desanya.

“Kalau hujan saljunya deras seperti ini, pasti patung-patung jisoo itu pun kedinginan. Ah, bagusnya caping-capingku ini kuberikan mereka saja, biar tidak kehujanan.”

Kakek itu pun segera menaruh capingnya satu demi satu ke atas kepala patung-patung jisoo itu sambil membersihkan salju yang menempel ditubuh patung-patung itu. Satu, dua, tiga, empat, lima… Yah, habis!!! Padahal masih ada satu patung jisoo paling kecil yang belum kebagian caping. Patungnya ada enam buah, sedangkan capingnya cuma ada lima buah.

“Gimana nih?” pikir sang kakek mencari akal,”Aha!!!”

Dia pun segera membuka ikat kepalanya lalu mengikatkannya pada patung jisoo terkecil sambil berkata,”Maaf ya, jisoo kecil. Aku hanya bisa memberikan ikat kepalaku ini untukmu.”

Setelah itu, sang kakek duduk di hadapan patung-patung jisoo itu sambil menyajikan kue mochi yang dibuatnya dari salju yang telah dikepal-kepalnya terlebih dahulu. Dia pun menyembah dan berdoa.

“Dewa, besok adalah hari pertama tahun baru. Tapi tidak ada yang bisa kupersembahkan untukmu. Karena itu aku buatkan kue mochi salju ini untukmu. Terimalah persembahanku ini. Semoga di tahun baru ini akan banyak tercurah berkahmu.”

Setelah berdoa, kakek itu pun melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah. Dia berjalan tertatih-tatih di tengah derasnya hujan salju tanpa caping dan ikat kepalanya.

“Nek, nenek… Aku pulang.”

“Ya, masuklah, kek! Wah, tubuhmu dipenuhi salju. Tentu kamu kedinginan. Oh, iya?Ketannya mana?” tanya nenek.

Kakek itu pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya di sepanjang hari itu kepada istrinya.

“Oh, itu perbuatan yang mulia sekali, kek. Jisoo-jisoo itu pun pasti senang dengan apa yang telah kau lakukan itu,” kata sang nenek sambil tersenyum.

Mereka berdua pun duduk di dekat perapian sambil minum air hangat menanti detik-detik pergantian malam tahun baru.

“Meskipun malam ini kita tidak bisa makan kue mochi , tapi lebih baik sehat wal afiat seperti ini ya, nek?”

“Benar, kek. Semoga di tahun depan juga diberi kesehatan seperti ini,” sahut sang nenek.

Di luar rumah hujan salju turun semakin deras. Membuat malam pergantian tahun terasa kian dingin dan membeku. Namun samar-samar terdengar suara aneh dari kejauhan yang lama-kelamaan terdengar semakin jelas mendekati  rumah kakek dan nenek itu.

“Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…”

Kakek dan nenek itu pun terkejut, lalu membuka pintu rumah ingin tahu ada apa di luar sana. Beberapa saat kemudian dari balik bukit salju muncul sosok orang-orangan yang memakai caping berjalan berbaris berurutan satu-satu  seperti tentara. Mereka terlihat seperti menggendong sesuatu.

“Kek,bukankah itu patung-patung jisoo?” ujar sang nenek sambil mengucek-ucek matanya.

“Benar, nek. Ituuu…ituuu… patung-patung jisoo yang kuberi caping tadi sore. Benar itu mereka!”

“Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…”

Patung-patung jisoo itu terus berjalan di atas jalan yang sudah tertutup salju tebal menuju rumah kakek dan nenek. Mereka berhenti tepat di depan pintu rumah itu. Satu demi satu patung-patung jisoo itu memberikan bingkisan sambil berkata,”Ini semua untuk kakek dan nenek. Silakan!”

Barang-barang bingkisan itu dibiarkan menumpuk di halaman rumah begitu saja. Ada satu karung beras, satu karung ketan, sekeranjang botol sake, ikan segar, benang dan kain  untuk membuat kimono. Karena begitu terkejutnya, kakek dan nenek itu cuma melongo tanpa bisa berkata sepatah kata pun.

“Kakek dan nenek sekarang tidak usah bersedih hati lagi. Semoga tahun ini menjadi tahun yang banyak berkahnya.”

Setelah berkata demikian, patung-patung jisoo itu pun pergi meninggalkan kakek dan nenek yang masih terbengong-bengong sambil terus berkata ‘Holobis kuntul baris… Holobis kuntul baris…’ bersama-sama.

“Terima kasih jisoo. Terima kasih,” demikian ujar sang kakek dan nenek sambil membungkukkan tubuhnya dengan hormat.

Akhirnya kakek dan nenek yang baik hati itu pun bisa merayakan malam tahun baru dengan membuat kue mochi.

***

Yanti selesai membaca bukunya dengan baik, ya buku di tutup dan di taruh rak buku dengan baik. Yanti segera melanjutkan kegiataannya dengan menggambar di buku gambarnya dengan baik.

No comments:

Post a Comment

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK