Katak merasa sangat senang karena mendapat undangan dari ewa Langit, tapi ia bingung bagaimana caranya pergi ke atas langit untuk menghadiri pesta itu. Katak lalu pergi ke rumah armadillo untuk bertanya tentang undangan pesta dari Dewa Langit.
“Kawanku, Armadilo, apakah kau menerima undangan pesta dari Dewa Langit?” tanya katak.
“Iya, Katak, tapi aku tidak akan datang. Aku tidak bisa terbang ke atas langit untuk menghadiri pesta itu. Bagaimana denganmu?” Armadilo balik bertanya.
“Aku juga menerima undangan pesta dari Dewa Langit. Aku ingin datang ke pesta itu bagaimana pun caranya,” jawab katak, bersemangat.
Setelah berkunjung ke tempat armadillo, katak pergi ke rumah paman kakaktua, binatang paling sombong di bumi. Kesombongan paman kakatua membuatnya mempunyai sedikit teman karena banyak binatang hutan yang tidak menyukainya.
“Paman, apakah kau menerima undangan pesta dari Dewa langit?” tanya katak.
“Tentu saja. Dewa Langit bahkan mengundangku untuk memainkan biola di pestanya,” jawab paman kakatua sambil membusungkan dada.
“Benarkah, Paman?” tanya katak.
“Dewa Langit tahu kalau permainan biolaku sangat indah. Tentu saja ia memintaku untuk memainkan biola di pestanya. Bagaimana denganmu, Katak? Pasti kau tidak akan datang ke pesta itu, kan? Binatang danau sepertimu tidak akan mungkin bisa pergi ke istana langit,” kata paman kakaktua dengan sombong.
“Aku akan dapang ke pesta itu, bagaimana pun caranya!” jawab katak, bersemangat.
“Hahaha. Jangan bermimpi, Katak,” ejek paman kakaktua.
“Aku akan datang ke pesta itu. Besok datanglah ke rumahku tepat pukul 4 sore. Aku akan pergi bersamamu,” kata katak kepada paman kakaktua.
Keesokan harinya, tepat pukul 4 sore, paman kakaktua datang ke rumah katak sambil membawa biola kebanggaannya.
“Ayo, kita berangkat, Katak! Nanti kita terlambat sampai di pesta!” ajak paman kakaktua.
“Tunggu sebentar. Satu menit saja. Aku belum siap berangkat ke pesta,” seru katak dari dalam rumah.
Katak sedang mengamati biola paman kakaktua, yang baru saja dipinjamnya, di dalam rumah. Setelah mengamati cukup lama, katak melompat masuk ke dalam dawai biola dan bersembunyi di dalamnya. Sementara itu, paman kakaktua yang menunggu di luar rumah mulai kehilangan kesabaran.
“Katak, cepatlah! Kita nanti terlambat!” teriak paman kakaktua.
Tak ada jawaban. Katak tetap diam dan bersembunyi di dalam dawai biola. Paman kakaktua, yang kehabisan kesabaran, mencari katak di dalam rumah namun ia sama sekali tak melihatnya.
“Aku tinggalkan katak saja. Aku sudah menunggunya terlalu lama,” kata paman kakaktua sambil mengambil biolanya dan terbang ke atas langit.
Paman Kakatua terlambat sampai di pesta Raja Langit. Beberapa undangan yang menghadiri pesta mulai bertanya-tanya mengapa paman kakaktua datang terlambat.
“Aku menunggu Katak,” jawab paman kakaktua.
“Kau bodoh sekali, Kakatua, katak, kan, tidak mungkin bisa pergi ke atas sini, kenapa kau menunggunya!” kata mereka.
Katak yang bersembunyi di dalam biola paman kakaktua mendengar pembicaraan itu. Setelah situasi memungkinkan, ia menyelinap keluar dari dalam dawai biola dan muncul di tengah pesta.
“Kau hebat sekali, Katak! Bagaimana caramu datang ke pesta ini?” tanya para undangan yang datang.
“Aku hanya beruntung saja sehingga bisa sampai di pesta ini,” jawab katak merendah.
Semua undangan yang hadir di pesta itu memuji katak. Hal itu membuat paman kakaktua menjadi iri. Ia lalu pergi meninggalkan pesta tanpa berpamitan terlebih dahulu kepada Dewa Langit. Saking terburu-buru, ia juga melupakan biola kebanggaannya. Biola itu tertinggal di ruang pesta.
Saat pesta hampir berakhir, katak kembali melompat masuk ke dalam dawai biola. Katak menunggu paman kakaktua, yang akan membawanya pulang ke bumi, dengan tenang. Menit demi menit berlalu, namun paman kakaktua tak muncul-muncul juga. Katak pun mulai merasa khawatir karena satu per satu hadirin pesta sudah pulang.
“Celaka, aku tidak bisa pulang ke bumi!” gumam katak di dalam hati.
Tak berapa lama, burung elang tampak mendatangi biola paman kakaktua.
“Paman Kakaktua pasti lupa sehingga biolanya tertinggal di sini. Aku bawakan saja biola ini untuknya,” gumam burung elang sambil membawa biola berat itu dengan kedua cakarnya.
Dalam perjalanan pulang, ketika burung elang hampir sampai di bumi, ia teringat sifat sombong paman kakaktua.
“Mengapa aku sudi membawakan biola paman kakaktua? Dia, kan, binatang paling sombong di bumi,” geurutu burung elang pada dirinya sendiri.
Tanpa pikir panjang, burung elang melepaskan biola berat itu dari kedua cakarnya sehingga biola berat itu jatuh dan melayang-layang. Katak, yang berada di dalam dawai biola, menjadi ketakutan. Dari lubang di dawai biola ia bisa melihat batu-batu besar berada tepat di bawahnya.
“Menyingkirlah batu-batu besar! Menyingkirlah!” teriak katak dengan lantang, tapi batu-batu itu tuli dan tidak bisa mendengar teriakannya.
Biola milik paman kakaktua pun terjatuh dan hancur berkeping-keping. Katak lalu merangkak keluar serpihan biola itu dengan kondisi badan yang sakit dan bengkak-bengkak. Ketika ia meraba wajahnya, ia mendapati lebam dan bengkak-bengkak di sana. Sehak saat itu, wajah katak yang semula tampan pun berubah menjadi buruk rupa.
***
Yunita selesai membaca bukunya, ya buku di tutup dan di taruh di meja.
"Main ah!" kata Yunita.
Yunita keluar dari rumahnya, ya main ke rumah Tina di sebelah rumahnya sih.
No comments:
Post a Comment