Di sebuah daerah di tiongkok hiduplah seorang pemuda bernama Jhi Ge Phu bersama ayahnya yang sudah renta. Mereka adalah ahli tembikar dan mereka hidup dari hasil menjual tembikar buatannya. Suatu hari di musim salju, Jhi Ge Phu dan ayahnya menuntun keledai mereka ke kota. Keledai mereka yang sudah tua terseok-seok membawa muatan tembikar yang akan mereka jual di kota. Jalanan sangat licin karena tertutup salju. Ayah Jhi Ge Phu khawatir keledai mereka akan terpeleset dan menjatuhkan tembikar-tembikar di punggungnya.
Saat melewati Yuin Nan, mereka harus menyebrangi sebuah sungai yang sudah membeku. Di tengah sungai keledai mereka terpeleset dan jatuh, membuat semua tembikar mereka pecah berkeping-keping. Ayah Jhi Ge Phu yang hendak membatu keledainya malah terpeleset juga. Malang baginya, kepalanya terantuk batu dengan sangat keras sehingga ia pun meninggal.
Jhi Ge Phu sangat sedih. Namun apa mau dikata, semua sudah suratan takdir. Maka dia pun menguburkan jenazah ayahnya di tepi sungai dan juga menguburkan keledainya di samping kuburan ayahnya. Kemudian dia melanjutkan perjalanannya. Suatu hari dia tiba di pinggir laut. Saat dia sedang merenungi nasibnya, dia dikejutkan oleh suara rebut dan tangisan seorang gadis. Dilihatnya segerombolan pemuda berkuda berlari menuju ke arahnya.
Salah seorang diantaranya membawa seorang gadis yang sedang meronta-ronta dan menangis. Jhi Ge Phu merasa yakin bahwa gadis itu pasti telah dibawa paksa oleh mereka. Maka segera dia menghadang mereka. Pemuda yang membawa gadis itu sangat marah, dia mengeluarkan cambuk dan melecutkannya ke arah Jhi Ge Phu. Untungnya Jhi Ge Phu sempat menghindar. Ia mencabut pedangnya dan menebas kaki depan kuda pemuda itu sehingga mereka jatuh tersungkur. Tanpa membuang waktu Jhi Ge Phu menyerang si pemuda yang kewalahan melawannya. Akhirnya gerombolan pemuda itu pun melarikan diri. Gadis itu sangat berterima kasih dan mengenalkan dirinya sebagai putri Naga.
“Dimana rumahmu Nona, bagaimana kau bisa dibawa oleh pemuda berandalan itu?” tanya Jhi Ge Phu.
“Rumahku ada di dasar laut. Kebetulan tadi pagi aku ingin menikmati fajar di daratan. Lalu saat aku lengah, tiba-tiba mereka datang menculikku,” katanya.
“Wahai pemuda, kau telah menolongku. Sekarang kau ikutlah denganku untuk menemui orang tuaku. Mereka akan sangat senang bertemu denganmu,” pinta putri Naga.
Jhi Ge Phu sangat penasaran sehingga dia menyetujui ajakan putri Naga. Putri tersebut menyuruhnya memejamkan mata. Sedetik kemudian saat putri Naga menyuruhnya membuka mata, Jhi Ge Phu terpesona dengan pemandangan di depannya.
Dia kini berada di sebuah istana yang sangat megah dan indah. Di hadapannya berdiri dua makhluk yang seperti manusia tapi juga seperti naga, dikelilingi para pelayan dengan bentuk seperti ikan. Kedua naga itu memperkenalkan diri sebagai orang tua gadis yang ditolongnya. Mereka sangat berterima kasih atas pertolongan Jhi Ge Phu. Mereka menjamunya dengan berbagai hidangan yang lezat. Kemudia raja membawa Jhi Ge Phu ke sebuah ruangan yang dipenuhi emas dan permata.
“Sebagai tanda terima kasihku, kau boleh membawa emas permata ini sesukamu, pilihlah!” kata raja.
Jhi Ge Phu dengan halus menolaknya, dia katakan bahwa dia tidak menginginkan imbalan. Namun karena raja terus memaksanya, akhirnya dia meminta seekor anak ayam dan sebuah tongkat. Raja sangat terkejut dengan permintaan tersebut karena kedua benda itu adalah pusaka kerajaan yang orang luar tidak mengetahuinya.
“Anak muda dari mana kau tahu benda-benda pusaka itu?” tanya raja.
“Maaf paduka, tuan putrilah yang memberitahuku,” kata Jhi Ge Phu.
Raja dan ratu segera memahami bahwa anak mereka telah jatuh hati pada pemuda itu. Maka dengan berat hati mereka merelakan pusaka tersebut ke tangan Jhi Ge Phu. Setelah itu mereka mengantar Jhi Ge Phu ke permukaan dengan selamat. Jhi Ge Phu sebenarnya ingin berpamitan dengan putri naga namun sepertinya putri naga tidak mau menampakan diri.
Jhi Ge Phu lalu melanjutkan perjalanannya meski dia tidak tahu harus kemana. Berhari-hari dia berjalan tanpa makan dan minum, akhirnya dia pun pingsan kelelahan. Saat membuka matanya, ternyata dia tidak berada di tanah tempat ia pingsan, namun di sebuah tempat tidur yang besar dan indah. Di hadapannya telah terhidang makanan dan minuman yang lezat. Karena lapar, Jhi Ge Phu menghabiskan hidangan itu dengan lahap.
“Rumah siapa ini,” tanya Jhi Ge Phu dalam hati.
Dia kemudian berkeliling di dalam rumah itu untuk mencari tahu pemiliknya. Anehnya tidak ada seorang pun di dalam rumah itu. Dia menemukan namanya tertempel di salah satu pintu rumah tersebut.
“Mungkin ada orang baik yang meminjamkan rumah ini untukku,” pikirnya. “Aku tidak boleh berdiam diri saja, aku harus bekerja keras!.”
Jhi Ge Phu memutuskan untuk berladang, maka dia segera membabat hutan dan menanaminya dengan sayuran dan buah-buahan. Dia berangkat ke ladang segera setelah matahari menampakkan diri dan baru pulang saat matahari akan kembali ke peraduannya.
Setiap kali dia bangun tidur dan pulang kerja, Jhi Ge Phu selalu mendapati meja makannya telah dipenuhi hidangan. Demikian pula rumah yang ditinggalinya selalu rapi dan bersih. Padahal Jhi Ge Phu tidak pernah bertemu dengan orang lain di rumah itu. Karena penasaran, Jhi Ge Phu memutuskan untuk mencari tahu jawabannya. Suatu hari seperti biasa, pagi-pagi dia berpura-pura pergi ke ladang. Padahal dia bersembunyi dan mengintip.
Tiba-tiba anak ayam yang dibawanya dari istana naga mengeluarkan asap dan BUZZ!! Anak ayam itu menghilang dan berdirilah seorang putri yang sangat cantik. Kini tahulah Jhi Ge Phu bahwa selama ini putri Naga selalu bersamanya. Jhi Ge Phu sangat gembira, dia pun menghampiri putri Naga yang tidak bisa berpura-pura lagi. Mereka memutuskan untuk menikah dan bekerja di ladang bersama-sama.
Suatu hari lewatlah seorang raja dan para pengikutnya. Mereka hendak pergi berburu. Raja sangat terpesona melihat keindahan rumah Jhi Ge Phu dan memutuskan untuk singgah. Raja semakin terpesona melihat bahwa Jhi Ge Phu memiliki istri yang sangat cantik. Timbul niat jahatnya untuk menjadikan putri Naga sebagai istrinya.
Maka ditantangnya Jhi Ge Phu untuk bertanding. Raja memutuskan untuk bertanding membabat hutan selama tiga hari. Jika Jhi Ge Phu berhasil, raja akan memberinya hadiah, namu jika gagal, maka Jhi Ge Phu harus menyerahkan istrinya kepada raja. Jhi Ge Phu sangat sedih karena yakin tidak akan mampu memenuhi tantangan tersebut. Namun putri naga menyarankan untuk meminta tolong pada raja naga.
“Pintalah kapak rembulan pada ayahku!” katanya.
Dengan kapak rembulan di tangannya, Jhi Ge Phu dengan berani berdiri menentang raja. Dia memilih hutan di sebelah timur, sementara raja hutan di sebelah barat. Dengan sekuat tenaga Jhi Ge Phu melemparkan kapak rembulannya ke atas dan BLARR! Seberkas cahaya memancar dan dengan sekejap mata hutan di sebelah timur telah habis terbabat.
Raja sangat marah dan tidak mau mengakui kekalahannya. Dia menantang Jhi Ge Phu untuk menuai padi keesokan harinya. Sekali lagi Jhi Ge Phu meminta pertolongan raja naga yang lalu memberinya sebuah kotak emas berkepala merak.
Esoknya, puluhan pekerja raja bekerja keras menuai padi di ladang sebelah selatan. Jhi Ge Phu segera membuka kotak emasnya. Seberkas cahaya menyilaukan terpancar dari dalamnya dan lalu segera berubah menjadi jutaan ekor burung pemakan padi. Mereka mematuki padi di ladang sebelah utara sehingga dalam sekejap padi-padi itu habis. Raja sangat marah dengan kekalahannya. Dengan geram dia memerintahkan para prajuritnya untuk membawa putri naga dengan paksa. Jhi Ge Phu berusaha melawan namun saying prajurit raja terlalu banyak sehingga ia kewalahan. Didengarnya putri naga berteriak-teriak ketika para prajurit membawanya.
“Ge Phu, Mantel Bulu Merak! Syair keberuntungan!” teriak putri.
Jhi Ge Phu dengan sedih melihat istri yang dicintainya dibawa pergi. Berhari-hari dia memikirkan arti ucapan istrinya. Tiba-tiba pikirannya terbuka dan dia mengerti bahwa dia harus membuat mantel dari bulu merak dan membawanya ke istana. Dia segera mengumpulkan bulu merak. Setiap malam di bawah cahaya rembulan dia menyusun bulu-bulu merak dan merangkai syair keberuntungan. Lalu pada malam ke 49 selesailah sudah mantel bulu merak dan syairnya.
Dengan memakai mantel bulu merak tersebut, Jhi Ge Phu berangkat ke istana. Malam itu adalah malam tahun baru Lunar. Masyarakat kota sedang berpesta. Istana dihiasi lentera dan lampion. Kemeriahan pesta begitu terasa saat Jhi Ge Phu berdiri di pintu gerbang istana. Dia lalu menyanyikan syair keberuntungannya dengan lantang. Pakaiannya yang tidak biasa, menarik perhatian banyak orang. Mereka beramai-ramai menonton Jhi Ge Phu.
Raja yang tidak tahu bahwa orang tersebut adalah Jhi Ge Phu segera memerintahkan untuk membawanya ke dalam istana. Putri Naga segera tahu bahwa suaminya telah datang begitu mendengarnya menyanyikan syair keberuntungan. Dia bergegas masuk ke aula tempat Jhi Ge Phu berada dan dengan ceria menebarkan senyum padanya.
Raja gembira melihat putri berubah ceria. Pikirnya jika ia juga memakai mantel bulu merak, putri akan senang padanya. Tanpa pikir panjang raja merebut mantel itu dan memakainya. Tapi putri naga menunjukan tampang tidak suka, katanya “Sungguh tidak pantas seorang raja berpakaian seperti itu. Sangat tidak sopan. Ini akan membuat sial pada kerajaan. Raja seperti ini harusnya dikurung saja.”
Kata-kata sang putri menimbulkan keributan di istana. Beberapa prajurit dan pejabat berusaha menangkap raja dan sebagian lain melindunginya. Kesempatan ini dipakai oleh Jhi Ge Phu dan putri naga untuk melarikan diri. Mereka berlari kea rah laut. Di sana para prajurit istana naga telah menunggunya dan membawanya kembali ke istana naga. Di sanalah mereka hidup bahagia selamanya.
No comments:
Post a Comment