CAMPUR ADUK

Thursday, August 5, 2021

ELANG PEMBAWA TULANG BELULANG

Son Ye-Jin selesai mengerjakan PR-nya, ya keluar dari kamarnya sambil membawa buku cerita sih. Son Ye-Jin duduk santai di ruang tengah, ya membaca buku ceritanya dengan baik.

Isi buku yang di baca Son Ye-Jin :

Di sebuah desa dekat kaki gunung, hiduplah dua anak laki-laki bersama ibu tiri mereka. Ayah mereka meninggal beberapa hari sebelumnya. Keduanya merasa sangat sedih karena kepergian ayah mereka. Kini keduanya terpaksa hidup bersama ibu tiri mereka. Setelah kematian ayah mereka, si ibu tiri berubah menjadi lebih kejam dari sebelumnya. Ia bahkan memberikan makanan sisa kepada kedua anak tirinya untuk makan malam mereka. Ketika pagi tiba, kedua kakak-beradik itu diberi perintah oleh ibu tiri mereka. Ia menyuruh keduanya untuk mencari kayu di hutan. Keduanya harus membawa kayu sebanyak-banyaknya dan tidak diijinkan kembali ke rumah sebelum matahari tenggelam. Mereka hanya diberi bekal berupa makanan sisa semalam yang hampir basi. Dengan raut wajah yang sangat sedih keduanya berangkat menuju hutan. 

Mereka harus melewati jalan berkelok-kelok yang terjal untuk dapat sampai ke hutan. Kedua kakak-beradik itu saling menyayangi satu sama lain. Saat ayah mereka masih hidup, keduanya selalu pergi bermain bersama. Mereka pun terkadang mengikuti ayah mereka berburu ke hutan. Meskipun kini keduanya harus tinggal bersama ibu tiri, mereka telah berjanji untuk saling menjaga satu sama lain. Apa pun yang dilakukan oleh si ibu tiri, mereka akan menghadapinya bersama. Mereka tidak memiliki siapa pun untuk melindungi mereka dari ibu tiri yang kejam. Keduanya sampai di hutan setelah melewati perjalanan yang panjang. Terik matahari membakar kulit mereka. Tanpa menyia-nyiakan waktu mereka segera berkeliling untuk mencari kayu bakar. 

Ketika matahari tepat berada di atas kepala keduanya memutuskan untuk memakan bekal mereka. Saat membuka bekal yang diberikan oleh ibu tiri mereka, kedua kakak-beradik itu merasa sangat pilu hatinya. Makanan itu telah basi. Namun karena sangat lapar, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun memakannya dengan berlinang air mata. Setelah mendapatkan cukup banyak kayu bakar, keduanya segera pulang. Matahari telah tenggelam ketika keduanya sampai di rumah. Mereka segera mencari ibu tiri mereka dan menyerahkan kayu-kayu yang telah mereka dapatkan. Namun, si ibu tiri tampak tidak senang dengan jumlah kayu yang mereka bawa. Raut mukanya masam dan mengatakan kepada kedua anak tirinya itu untuk membawa kayu lebih banyak lagi besok. 

Matahari belum terbit ketika ibu tiri membangunkan kedua kakak-beradik itu keesokan harinya. Ia menyuruh keduanya untuk segera bangun dan berangkat mencari kayu agar bisa memperoleh kayu lebih banyak dari hari sebelumnya. Keduanya segera bersiap-siap. Ibu tiri kembali memberikan bekal sebelum mereka berangkat. Kedua kakak-beradik itu mempercepat langkah agar bisa sampai di hutan lebih awal. Dengan begitu mereka mempunyai cukup waktu untuk memperoleh kayu yang lebih banyak. Di hutan, keduanya segera berkeliling mencari kayu bakar. Tubuh mereka memang terlihat sangat kuat untuk bisa membawa kayu sebanyak-banyaknya. Hal itu dikarenakan saat ayah mereka masih hidup, keduanya memperoleh makanan yang sangat bergizi sehingga tubuh mereka menjadi sehat dan kuat. 

Setelah memperoleh cukup banyak kayu bakar, keduanya beristirahat dan membuka bekal mereka. Saat membuka bekal itu, keduanya lagi-lagi merasa sangat sedih. Bekal hari ini tidak lebih baik dari bekal yang ibu tiri mereka berikan kemarin. Sang kakak hanya bisa menghibur adiknya dan mengatakan untuk tidak bersedih. Pencarian kayu masih mereka lanjutkan hingga sore hari. Kali ini keduanya mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak. Mereka berpikir si ibu tiri akan merasa senang karena mereka membawakan kayu yang lebih besar dan lebih banyak. Sesuai pesan ibu tiri, keduanya belum berani pulang hingga matahari tenggelam. Mereka menunggu hingga matahari terlihat berwarna kemerahan. Keduanya lalu membawa kayu-kayu yang sangat berat itu di atas kepala mereka.  Sesampainya di rumah, mereka segera meletakkan kayu dan memberi tahu ibu tiri mereka. 

Namun lagi-lagi si ibu tiri mereka masih merasa kurang puas dengan hasil yang didapat kedua anak tirinya itu. Ia mengamati kayu-kayu itu dengan raut muka yang sangat masam. Kedua kakak-beradik itu pun hanya bisa menghela napas panjang. Kali ini mereka tidak berani menebak apa lagi yang akan diperintahkan oleh si ibu tiri keesokan paginya. Seperti itulah kedua kakak-beradik itu menjalani hidup mereka setiap hari. Keduanya selalu pergi ke hutan untuk memenuhi permintaan ibu tiri mereka. Setiap dibawakan kayu bakar dengan jumlah banyak pun si ibu tiri selalu merasa tidak puas. Kulit mereka semakin hitam terkena sengatan matahari. Rambut mereka sangat kotor. Bahkan tubuh mereka pun berubah menjadi sangat kurus. 

“Jika kalian hanya mendapat kayu sebanyak ini, aku tidak mempunyai cukup uang untuk memberi kalian makan!”

Begitulah kata si ibu tiri setiap kali keduanya pulang dari hutan. Sang kakak sangat mengkhawatirkan adiknya. Ia melihat adiknya semakin lama semakin kurus. Terkadang si ibu tiri tidak memberi mereka makan malam. Keduanya kini tampak sangat kurus dengan kulit dan rambut terbakar sinar matahari. Akan tetapi, tidak ada satu pun orang yang bisa menolong keduanya. Mereka tidak mempunyai kerabat yang bisa membawanya keluar dari rumah ini. Suatu sore ketika keduanya sedang mengikat kayu-kayu di hutan, seekor elang terbang berputar-putar di atas mereka. Keduanya sangat terkejut. Mereka takut kalau-kalau elang itu hendak memangsa mereka. Namun tampaknya burung elang itu melihat kekhawatiran kedua anak laki-laki di bawahnya. Ia pun menghampiri mereka. 

“Jangan takut! Aku akan melindungi kalian!” Setelah berkata seperti itu, ia pun segera pergi meninggalkan mereka yang masih merasa terkejut dengan kehadiran elang tersebut. 

Si ibu tiri merasa makin tidak senang dengan kedua kakak-beradik itu. Saat keduanya sampai di rumah, ia memarahi dan mengatakan bahwa mereka sangat malas sehingga hanya mendapatkan sedikit kayu. Semakin hari keduanya tampak semakin kurus sehingga tubuh mereka terlihat hanya seperti tulang yang dibalut oleh kulit. Si ibu tiri memberikan makanan yang semakin tidak layak untuk keduanya. Karena kekurangan makanan, kakak-beradik itu merasa tubuh mereka semakin lemah. Akan tetapi, ibu tiri terus memaksa mereka untuk pergi ke hutan. Ia mengancam jika keduanya tidak pergi ke hutan, ia tidak akan memberi mereka makan. Dengan langkah terhuyung-huyung keduanya pergi ke hutan. Sesampainya di hutan, sang kakak melihat adiknya telah jatuh pingsan. Ia merasa panik. Dengan cepat ia membawa tubuh adiknya ke bawah pohon. Diberinya air untuk adiknya itu. Beberapa saat kemudian adiknya kembali sadar. Melihat adiknya sangat lemah, sang kakak memberikan semua bekal yang mereka bawa untuk dimakan oleh adiknya. Setelah menunggu adiknya selesai makan, ia segera naik ke atas pohon. Dari atas pohon sang kakak menjatuhkan sesuatu ke bawah. 

“Ini kayunya! Bawalah kepada ibu tiri!” 

Adiknya yang berada di bawah sangat terkejut. Yang dijatuhkan ke bawah bukanlah kayu seperti kata kakaknya, melainkan tangan kakaknya sendiri. Setelah itu sang kakak pun menjatuhkan kedua kakinya ke bawah. 

“Ibu tiri tidak pernah puas,” kata sang kakak kepada adiknya.

“Ia hanya menginginkan tulang-tulang kita, bukan kayu-kayu ini,” lanjut sang kakak lagi.

Melihat kakaknya mematahkan kedua tangan dan kakinya untuk diberikan kepada ibu tiri mereka, sang adik hanya bisa menangis. Melihat kejadian ini, burung elang yang sedang melintas merasa sangat pilu. Ia pun mendekati kedua kakak-beradik yang malang tersebut. Ia mengambil kedua tangan dan kaki sang kakak dan membawanya terbang. Sang burung elang terbang meninggalkan hutan. Ia pergi ke rumah ibu tiri kedua anak malang itu. Melihat ibu tiri sedang berada di rumah, burung elang itu segera merendahkan terbangnya. Ia menghampiri si ibu tiri dan memberikan kedua kaki dan tangan sang kakak. Ibu tiri sangat terkejut melihat sepasang kaki dan tangan itu. 

“Bukankah kamu hanya menginginkan tulang-tulang mereka?” tanya burung elang itu kepada ibu tiri.

Ibu tiri sangat ketakutan. Seluruh tubuhnya gemetar dan matanya membelalak. Ia pun segera berlari dari rumah. Ia berlari dengan sangat kencang. Sejak saat itu ibu tiri tidak pernah lagi kembali ke rumah. Burung elang segera kembali ke hutan dan mengajak kedua kakak-beradik itu untuk kembali ke rumah. Kini keduanya bisa hidup dengan bahagia di rumah mereka. Mereka pun tidak melupakan jasa burung elang yang telah menolong mereka. Keduanya sering pergi ke hutan untuk mengunjungi elang yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman ibu tiri. 

***

Son Ye-Jin selesai membaca buku.

"Bagus cerita yang baru aku baca ini...asal cerita dari Filipina," kata Son Ye-Jin.

Son Ye-Jin menutup bukunya dan buku di taruh di meja.

"Nonton vidio musik di Youtobe saja!" kata Son Ye-Jin.

Son Ye-Jin segera nonton vidio musik yang populer, ya viral gitu di Youtobe di Hp-nya lah.

JUAN DAN POHON AJAIB

Suzy selesai bermain dengan teman-temannya, ya di taman bermain. Suzy di rumahnya, ya duduk santai di ruang tengah sambil baca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Suzy :

Juan adalah seorang anak laki-laki yang tinggal bersama ibu dan kedua kakaknya. Kedua kakaknya tidak senang padanya karena Juan tidak bisa mengerjakan pekerjaan di rumah dengan benar. Ketika membantu mencuci piring, ia selalu membuat piring-piring itu pecah. Saat diminta oleh ibunya untuk mencuci baju, ia selalu membuat baju-baju itu menjadi sobek sehingga tidak bisa dipakai. Karena itulah, kedua kakaknya selalu mengejeknya. Mereka selalu mengatakan bahwa Juan anak yang bodoh. Sejak saat itu Juan pun berhenti membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ia merasa apa yang dikerjakannya justru membuat masalah untuk keluarganya. Kedua kakaknya semakin geram melihat Juan yang hanya bisa bermain setiap hari. Maka suatu hari kedua kakaknya pun meminta ibu mereka untuk menyuruh Juan menebang kayu di hutan. 

Kakak-kakaknya berharap Juan hilang di hutan dan tidak kembali lagi ke rumah. Juan pun berangkat ke hutan. Ia ingin membuktikan bahwa kali ini ia bisa melakukan pekerjaannya dengan benar. Dengan membawa sebuah kapak di tangan, Juan pergi ke tengah hutan mencari kayu yang harus dia tebang. Juan sudah bertekad untuk tidak melakukan kesalahan apa pun agar keluarganya percaya bahwa ia bukanlah anak yang bodoh seperti yang selalu kakak-kakaknya katakan. Ia akan membuktikan ia mampu melakukan perintah ibunya. Sesampainya di hutan, Juan langsung mencari pohon yang dimaksud oleh ibunya. Kini pohon itu telah berada di hadapannya. Ia melihat pohon itu hanyalah pohon yang kecil dan tidak terlalu tinggi. Di dalam hati ia yakin bahwa ia bisa menebangnya dengan sangat mudah. Juan pun melangkah menuju pohon itu. Ketika Juan bersiap mengayunkan kapaknya, tiba-tiba pohon itu berbicara kepadanya. 

“Jangan potong tubuhku!”

Juan terkejut dan menghentikan ayunan kapaknya. 

“Aku berjanji untuk memberikan seekor kambing yang bisa mengeluarkan emas untukmu jika kamu tidak memotongku,” kata pohon itu memohon kepada Juan. 

Juan pun merasa sangat senang dengan tawaran pohon itu. Ia mengurungkan niatnya untuk menebang pohon seperti perintah ibunya. Ia yakin ibunya akan lebih senang jika ia membawa pulang kambing yang ditawarkan oleh si pohon. Kemudian dari dalam kulit pohon itu keluarlah seekor kambing seperti yang dijanjikannya kepada Juan. 

“Ketika kamu memegang ekornya, kambing ini akan mengeluarkan emas,” kata pohon itu.

Juan membawa pulang kambing itu. Di tengah perjalanan pulang, Juan bertemu dengan teman lamanya. Ia berhenti untuk berbincang-bincang dengannya. Juan menceritakan tentang asal-usul kambingnya. Temannya sangat tertarik ketika Juan berkata bahwa kambing yang ia bawa bisa mengeluarkan emas. Teman Juan itu pun ingin untuk mengambil kambing itu dari Juan. Ia lalu mengajak Juan untuk bermain di rumahnya. Sesampainya di rumah, teman Juan memberikan banyak makanan kesukaan Juan. Karena terlalu asyik menyantap makanannya, Juan tidak menyadari bahwa temannya telah menukar kambing itu dengan kambing biasa. Setelah menghabiskan makanannya, Juan pulang ke rumahnya dengan membawa kambingnya. 

Ia sama sekali tidak curiga terhadap temannya. Sesampainya di rumah, Juan segera memberi tahu ibu dan kedua kakaknya tentang kambing yang bisa mengeluarkan emas dengan memegang ekornya. Ibu dan kedua kakaknya tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh Juan. Oleh karena itu, Juan segera ingin membuktikan pada mereka. Juan memegang ekor kambing itu dan mengusap-usapnya. Ibu dan kakaknya memerhatikannya. Namun, karena kambing itu bukanlah kambing yang diberikan oleh pohon di hutan, tidak ada emas yang keluar darinya. Juan mencobanya berkali-kali tapi tetap saja tidak ada apa pun yang keluar dari kambing itu. Ketika sedang mengusap-usap ekor kambing tersebut, kambing itu tiba-tiba malah mengeluarkan kotoran. 

Ibu dan kedua kakaknya pun merasa kesal. Mereka berpikir pastilah Juan hanya berbohong dan hendak membuat mereka marah. Ibu Juan lalu memarahi dan memukul Juan karena telah mengarang cerita bohong tentang kambing yang ia bawa. Kedua kakaknya pun terus memaki Juan dan mengatakan ia tetaplah anak yang bodoh. Juan merasa sangat sedih. Ia tidak mendapatkan makan malam hari itu sebagai hukumannya. Ia hanya bisa menyesali kebodohannya. Ia bertekad akan kembali ke hutan dan menebang pohon yang telah membohonginya. Ia akan membawa pohon itu pada ibunya untuk menebus kesalahan yang telah ia lakukan. Keesokan paginya Juan segera berangkat ke hutan dengan kapaknya. Ia mempercepat langkahnya agar bisa sampai di hutan dengan segera. Tidak berapa lama, Juan segera sampai ke tempat pohon itu berada. Sebelum menebangnya, Juan berbicara kepada pohon itu. 

“Kamu sudah berbohong tentang kambing itu. Kambing itu tidak mengeluarkan emas!” kata Juan dengan wajah yang sangat murka.

Juan sudah mulai mengayunkan kapaknya ketika pohon itu kembali memohon kepadanya untuk tidak dipotong. 

“Jangan! Kali ini aku akan memberikan sebuah jaring untukmu. Jaring itu akan memberikanmu ikan yang sangat banyak. Kamu hanya perlu meletakkannya di tanah dan membukanya, maka jaring itu akan menghasilkan ikan untukmu.”

Pohon itu kembali berjanji pada Juan. Mendengar perkataan pohon itu, Juan merasa sangat senang. Ia yakin kali ini pohon itu tidak mungkin membohonginya. Juan memutuskan untuk tidak menebang pohon itu. Lalu sama seperti ketika pohon itu memberikannya kambing, kali ini dari kulit pohon keluarlah sebuah jaring ikan. Juan segera mengambilnya dan membawanya pulang. Dalam perjalanan pulang, Juan bertemu kembali dengan teman lamanya. Juan pun menceritakan tentang jaring yang ia dapat dari pohon di hutan. Teman Juan yang licik berniat untuk mengambil jaring itu dan menukarnya dengan jaring ikan yang ia punya di rumah. Ia lagi-lagi mengajak Juan ke rumahnya dan memberinya makanan kesukaannya. 

Teman Juan itu pun lalu menukar jaring Juan dengan jaring ikan biasa ketika Juan sedang menikmati makanannya. Juan tidak menyadari hal itu dan pulang begitu saja membawa jaring ikan yang telah ditukar oleh temannya. Juan tidak sabar ingin menunjukkan jaring ikan yang ia bawa kepada ibu dan kedua kakaknya. Kali ini Juan bisa membuktikan kepada mereka tentang keistimewaan jaring ikan yang berhasil ia dapatkan. Begitu sampai di rumah, Juan bergegas memanggil ibu dan kedua kakaknya. Juan berteriak memanggil mereka sehingga ibu dan kakak-kakaknya sangat terkejut. Saat Juan menjelaskan tentang jaring ikan yang bisa mengeluarkan ikan, mereka hanya tertawa dan berpikir kebohongan apa lagi yang hendak Juan tunjukkan. Juan segera beraksi di depan ibu dan kedua kakaknya. Ia membuka jaring ikan dan meletakkannya di tanah sesuai petunjuk pohon di hutan. Juan menggoyang-goyangkan jaring ikan miliknya. 

Akan tetapi, meski berkali-kali mencoba, tidak ada satu ikan pun keluar dari jaring milik Juan. Ibu dan kedua kakaknya kembali memarahi dan memaki-maki Juan. Mereka berkata agar Juan tidak terlalu banyak mengkhayal dan melakukan hal yang bodoh. Juan kembali bersedih. Ia tidak percaya bahwa pohon itu telah berbohong untuk kedua kalinya pada Juan. Ibunya pun memberikan hukuman yang sama untuk Juan. Ia tidak diberi makan malam dan dikurung di kamarnya. Juan tidur dalam keadaan lapar dan bertekad untuk menebang pohon di hutan dan membawanya pulang. Pagi-pagi sekali Juan telah berangkat ke hutan. Ia tidak akan memaafkan pohon yang telah membohonginya dan membuatnya dihukum oleh ibunya. Juan tidak akan percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh pohon itu. Juan membawa kapak yang ukurannya lebih besar dari sebelumnya, dengan begitu ia bisa menebangnya dengan mudah. Ketika sampai di hutan dan melihat pohon itu, Juan menumpahkan kemarahannya. 

“Kamu telah menipuku lagi! Aku akan menebangmu kali ini!” kata Juan dengan geram.

Pohon itu pun kembali memohon kepada Juan. Kali ini ia berjanji akan memberikan sesuatu yang akan bermanfaat untuk Juan. Pohon itu memberikan sebuah tongkat kepada Juan. 

“Tongkat ini sangat sakti. Ketika kamu mengucap ‘Boomba Boomba’ tongkat ini akan memukul siapa saja yang mengganggumu.”

 Mendengar perkataan pohon itu, Juan tidak kuasa untuk menolaknya. Namun, Juan berkata jikalau kali ini pohon itu membohonginya, ia akan menebang pohon itu di hari berikutnya. Pohon itu pun berkata bahwa kali ini pasti tongkat itu akan membantunya. Tanpa berpikir panjang Juan segera pulang membawa tongkat pemberian pohon itu. Juan kembali bertemu dengan teman lamanya yang sangat licik di jalan. 

“Apa yang kamu bawa kali ini, Juan?” temannya itu bertanya kepada Juan.

Ia yakin Juan membawa sesuatu yang bisa ia ambil sama seperti kambing dan jaring ikan sebelumnya.

“Ini hanya tongkat biasa. Tapi apabila aku mengucapkan ‘Boomba Boomba’, maka tongkat ini akan memukul siapa saja yang menggangguku.” 

Mendengar kata ‘Boomba Boomba’, tongkat itu pun terlepas dari tangan Juan dan menuju teman di depannya. Dengan membabi buta tongkat itu memukuli teman Juan yang telah mengambil kambing dan jaring ikan miliknya. 

“Baiklah... baiklaaah... aku akan kembalikan kambing dan jaring ikan yang telah aku ambil darimu,” kata teman Juan yang kesakitan karena pukulan tongkat itu.

Juan pun mendapatkan kembali kambing dan jaring ikan miliknya yang telah ditukar oleh temannya yang iri dan licik itu. Dengan hati yang sangat gembira Juan kembali ke rumah. Di rumah ia kembali memanggil ibu dan kedua kakaknya. 

“Kalian telah mencaci maki dan merendahkanku selama hidupku. Kalian harus menerima akibatnya. Boomba Boomba!” 

Tongkat itu kembali lepas dari tangan Juan dan menuju ke arah kedua kakaknya. Tongkat itu memukul keduanya dengan sangat keras. Kedua kakak Juan berteriak kesakitan dan meminta ampun kepada Juan. Juan lalu memegang ekor kambing dan membentangkan jaring ikan di tanah. Dari kambing itu keluarlah emas yang banyak. Jaring ikan itu pun mengeluarkan ikan yang sangat banyak. Juan pun segera menyuruh tongkat itu berhenti memukul kedua kakaknya. Mereka akhirnya percaya kepada Juan. Setelah peristiwa itu ibu dan kedua kakak Juan memperlakukannya dengan baik. Juan pun kini menjadi anak yang selalu rajin membantu pekerjaan ibunya. Ia telah bertekad untuk membantu ibunya dan mengerjakan pekerjaannya dengan benar tanpa melakukan kesalahan. Tongkat yang diberikan pohon di hutan digunakan Juan untuk hal-hal yang bermanfaat. 

Saat tengah malam ada pencuri yang datang, Juan akan berteriak “Boomba Boomba” dan tongkat itu akan memukuli para pencuri hingga mereka tidak berani kembali. 

Berkat Juan rumah mereka menjadi aman. 

***

Suzy selesai membaca bukunya.

"Ok bagus cerita asal dari Filipina," kata Suzy.

Suzy menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.

"Main game ah!" kata Suzy.

Suzy segera main game di Hp-nya, ya bermain dengan baik sih.

ASAL-USUL TELUK HA LONG DI VIETNAM

Chun Cha selesai bermain dengan adiknya Chun hei. Chun Cha duduk santai di ruang tamu sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Chun Cha :

Teluk adalah bagian laut yang menjorok ke darat dan dibatasi daratan pada ketiga sisinya. Beberapa teluk bisa menjadi tempat wisata, termasuk Teluk Ha Long. Teluk Ha Long atau lebih dikenal dengan Ha Long Bay adalah sebuah teluk yang ada di negara Vietnam. Dalam bahasa Vietnam, Ha Long berarti tempat di mana Naga turun. Keindahan tempat ini membuat banyak wisatawan datang untuk melihat ribuan batu karang yang menjulang tinggi, membentuk pulau-pulau di sekitar teluk. Dahulu kala, ada sebuah laut di Vietnam yang menjadi tempat para nelayan mencari ikan. Para nelayan hidup damai di sebuah desa nelayan di pinggir laut. Setiap malam, mereka membawa kapal ke tengah laut untuk menangkap ikan. Lalu, mereka akan kembali ke darat sebelum matahari terbit. Setiap pagi, desa nelayan selalu ramai oleh kedatangan orang-orang gunung yang membawa hasil panen mereka untuk ditukar dengan ikan. 

Di desa nelayan, orang gunung dan para nelayan akan tukar-menukar barang sesuai kebutuhan, misalnya orang gunung menukar ikan dengan sayur atau buah, dan sebaliknya. Penduduk desa nelayan, kepala desa, serta orang-orang gunung sangat senang dengan kebiasaan tukar menukar barang yang mereka lakukan. Setelah para nelayan pulang melaut dan merapikan hasil tangkapan, mereka akan berkumpul dan bersembahyang dengan dipimpin oleh kepala desa. Mereka akan membawa sedikit tangkapan laut, buah-buahan, dan sayur-sayuran yang sudah dimasak, lalu meninggalkannya di pinggir-pinggir bukit. Hal ini sebagai ungkapan syukur kepada Dewa yang telah melindungi dan memberikan makanan kepada mereka. 

Pada saat bersembahyang, kepala desa mula-mula membakar dupa lalu mengucapkan beberapa doa, “Wahai, para Dewa, kiranya kalian selalu melindungi desa ini. Terimalah persembahan kami sebagai ucapan terima kasih.”

Setelah mereka selesai sembahyang, para laki-laki akan beristirahat, sebelum kembali melaut pada malam hari, sedangkan para wanita akan memasak hasil tangkapan suami mereka. Setelah selesai memasak, semua keluarga akan saling mengantarkan masakan satu sama lain. Kerukunan dan ketulusan untuk saling membantu menjadi napas kehidupan penduduk di desa nelayan. Setiap ada penduduk yang mengalami kesusahan, maka penduduk yang lain tak segan untuk memberikan bantuan dan penghiburan. Pagi ini cuaca di desa nelayan sedikit berbeda, matahari bersinar sangat cerah, namun angin bertiup agak kencang. Semua penduduk sedang bersiap untuk bersembahyang bersama setelah mereka merapikan hasil tangkapan laut. Ketika kepala desa menyelesaikan permohonan kepada Dewa, suara riuh dan kacau terdengar dari arah laut. Para penduduk yang sedang bersembahyang terkejut dan langsung berhamburan ke laut untuk melihat apa yang terjadi. Sesampai di pinggir laut, mereka melihat kapal-kapal besar berisi pasukan yang terlihat siap berperang dengan banyak senjata. Jarak kapal yang masih cukup jauh dari daratan membuat kepala desa segera memerintahkan penduduk menyelamatkan diri. 

“Segera selamatkan anak-anak, para wanita, orang-orang tua!” perintahnya kepada penduduk desa.

“Kita harus lari ke mana, Kepala Desa?” seorang penduduk bertanya dengan muka cemas. 

“Kita akan bersembunyi ke desa orang-orang gunung. Cepat-cepaaat. Segera selamatkan keluarga kalian,” seru kepala desa. 

Para penduduk berhamburan, berusaha menyelamatkan keluarga mereka. Mereka berlarian menuju ke arah desa orang-orang gunung. Namun, saat mereka tengah berlarian, tiba-tiba sebuah ledakan terjadi. Kapal-kapal itu mulai menyerang rumah penduduk dengan membabi buta. Orang-orang desa yang melihat kejadian itu berteriak ketakutan sambil terus berlarian. Anak-anak dan wanita mulai menangis dan terlihat ketakutan. Kapal-kapal besar yang menyerang itu semakin mendekati daratan. Tangisan anak-anak dan wanita kian menjadi-jadi. Kepala desa mulai kebingungan, namun dia segera terpikir untuk meminta bantuan kepada para Dewa. Kepala desa segera berlari dengan sangat berani ke arah bukit tempat mereka sembahyang dan langsung memohon kepada para Dewa. 

“Wahai, para Dewa, kami tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa mereka menyerang kami? Tolonglah kami. Kami tidak tahu harus berbuat apa.” 

“Kami tidak pernah berbuat jahat atau menyerang desa lain. Kami selalu hidup dengan damai dan saling menolong. Tolonglah kami, wahai, Dewa.”

Kepala desa terus berdoa meski suasana di sekitar desa masih sangat kacau. Serangan dari kapal-kapal besar itu belum berhenti. Senjata-senjata mereka yang bisa mengeluarkan api terus menyerang penduduk. Beberapa rumah penduduk desa sudah terbakar, sehingga anak-anak semakin ketakutan dan terus menangis tanpa henti. Semua penduduk sadar jika mereka tidak mungkin berlari. Tiba-tiba semua orang mulai memanggil-manggil Dewa, berdoa memohon pertolongan. 

“Wahai, para Dewa, lindungilah kami, lindungilah kami!”

Kini, semua orang larut dalam doa kepada pelindung mereka yaitu para Dewa. Selang beberapa saat, tanpa mereka sadari, langit menjadi sangat gelap. Kemudian, sebuah sinar yang sangat terang datang dari arah langit. Semua orang, termasuk kapal-kapal besar dan pasukannya terkejut melihat keadaan itu. Perlahan-lahan, cahaya itu mendekat ke desa nelayan. Saat cahaya itu semakin mendekat, penduduk desa nelayan melihat dua ekor naga besar dan bercahaya turun dari langit. 

Mereka spontan berteriak, “Dewa akan menolong kita. Dewa telah mengirim penolong untuk kita...” teriak penduduk desa. 

Rupanya, para Dewa mendengar doa-doa penduduk desa nelayan. Oleh karena itu, para Dewa mengirimkan Ibu Naga dan Anak Naga untuk melindungi penduduk desa nelayan. Ibu Naga dan Anak Naga mendekati kapal-kapal besar. Tiba-tiba, mulut kedua naga itu menyemburkan sesuatu yang berbentuk mutiara ke arah laut. Dan, sungguh ajaib! Mutiara-mutiara itu seketika berubah menjadi batu-batu karang menjulang tinggi di laut. Batu-batu karang itu berjumlah sangat banyak, seakan mengepung kapal-kapal para penyerang. Kapal-kapal itu mulai mundur dan berbalik arah, kembali ke arah mereka datang dan mulai menjauhi daratan. Kepala desa sudah kembali ke tengah-tengah penduduk desa nelayan yang sudah mulai tenang. 

Tiba-tiba seorang anak berteriak sembari menunjuk ke arah laut, “Lihat ... Lihat ... Kedua naga itu ...”

Kedua naga itu mulai terbang ke arah laut. Lalu, keajaiban kembali terjadi. Kedua naga itu terbang ke arah berlainan. Ibu Naga terbang ke arah utara dan Anak Naga terbang ke arah selatan. Tapi, kedua naga itu tidak pergi. Mereka turun ke air dan berubah menjadi batu karang. 

“Mereka akan melindungi desa ini, selamanya,” kata kepala desa kepada penduduk.

Penduduk desa tersenyum satu sama lain dan tampak senang. Mereka tidak takut lagi karena Dewa telah mengirimkan pelindung untuk melindungi dan menjaga desa nelayan. 

***

Chun Cha selesai membaca bukunya.

"Cerita, ya bagus asal dari Vietnam," kata Chun Cha.

Chun Cha menutup bukunya dan menaruh buku dengan baik di meja.

GADIS KEMBAR YANG MEMILIKI PUNDUK

Areum selesai mengerjakan PR-nya, ya di lanjutkan dengan baca buku cerita.

Isi buku yang di baca Areum :

Pada suatu masa, ada seorang lelaki tua yang hidup bersama dua anak perempuannya, gadis kembar cantik jelita bernama Thao dan Hien. Thao dan Hien terlahir dengan punuk di punggung mereka, tetapi mereka adalah gadis tercantik di desa. Mereka tinggal di kaki gunung bersama sang ayah, yang bekerja sebagai petani, karena ibu mereka sudah lama meninggal dunia. Meski Thao dan Hien terlahir kembar, keduanya mempunyai sifat yang bertolak belakang. Thao selalu bersyukur karena dikaruniai wajah yang cantik dan tidak pernah mengeluh karena memiliki punuk. Tetapi Hien selalu mengeluh dan merasa sangat menderita karena terlahir dengan punuk di punggung. Thao adalah gadis yang rajin mengerjakan pekerjaan rumah, sedangkan Hien adalah gadis pemalas. Hien selalu berpikir bahwa dia tidak bisa melakukan banyak hal karena punuknya yang berat. Akan tetapi, Hien adalah anak kesayangan ayah, sehingga ayah tidak pernah marah dengan kemalasan Hien. Setiap pagi Thao selalu bangun pagi-pagi dan segera menyiapkan sarapan untuk ayah dan saudara kembarnya, Hien. Setelah itu, Thao akan membantu ayahnya di ladang, memetik sayuran dan mencabuti rumput liar. Selain Thao, ayah tidak pernah dibantu siapa-siapa, apalagi Hien. Hien selalu enggan membantu ayah di ladang karena takut kulitnya terbakar sinar matahari. 

Thao adalah gadis periang, yang selalu merasa senang membantu ayahnya di ladang. Thao sering meluapkan kegembiraannya dengan bernyanyi. Saat mengambil air dari sumur dan berada di mana pun, Thao selalu bernyanyi dengan suaranya yang sangat merdu. Suara merdu Thao seringkali mengiring burung-burung untuk ikut bernyanyi bersamanya. Suatu hari ayah mereka jatuh sakit. Thao mencoba mengobati sang ayah dengan menumbuk beberapa lembar daun dan mengoleskannya di tubuh ayah. Hari-hari terus berlalu, Thao tak pernah berhenti mengobati ayahnya, tapi ayahnya tidak kunjung sembuh. Thao pun mulai pergi ke ladang untuk menggantikan tugas ayahnya setelah dia menyelesaikan pekerjaan rumah. Seperti biasa, Thao melakukan semua tugasnya dengan gembira. Ia bernyanyi untuk menghibur hatinya yang sedih karena ayahnya yang tak kunjung sembuh. Ia juga memetik beberapa sayuran untuk dibawa pulang. 

Setelah menyelesaikan pekerjaannya di ladang, Thao segera pulang dan memasak untuk ayah dan Hien. Malam itu, ayah mereka meminta Thao dan Hien pergi ke hutan untuk mencari tanaman putri malu karena kesehatan ayah tak kunjung membaik. Thao bersedia mencari tanaman itu ke hutan, namun Hien justru merajuk pada sang ayah untuk tetap tinggal di rumah. Ayah pun tidak bisa menolak keinginan Hien, dan mengizinkannya tidak ikut Thao ke hutan. Pagi itu Thao menyiapkan makanan untuk ayah dan Hien sebelum berangkat ke hutan. Setelah Thao menyelesaikan pekerjaan rumahnya, Thao berpamitan pada ayahnya dan berpesan pada Hien untuk menjaga ayahnya dengan baik. Thao segera berangkat menuju hutan karena perjalanan yang akan dia tempuh cukup jauh. Sesampai di hutan, Thao segera berkeliling untuk mencari tanaman putri malu sebanyak-banyaknya. 

Thao harus mencari ke setiap sudut hutan karena tanaman putri malu tidak mudah ditemukan. Suasana hutan yang sepi membuat Thao bernyanyi tanpa henti sambil terus mencari putri malu. Ketika matahari terbenam, Thao sudah mengisi penuh keranjangnya dan segera bergegas pulang. Selama beberapa saat, Thao berusaha keluar dari hutan, namun ia lupa jalan yang ia lewati. Thao mencoba mengingat jalan yang dilaluinya, tapi semua jalan terasa berputar dan sama. Thao terus berjalan sambil membawa keranjangnya, melewati jalan yang terasa asing dan belum pernah dilewatinya. Thao semakin khawatir karena matahari telah terbenam dan hari sudah malam. Suara binatang malam di hutan pun mulai terdengar dikejauhan. Di tengah kebingungannya, Thao melihat sebuah cahaya yang sangat tinggi. Thao segera berjalan dan berusaha mencari asal cahaya itu. Akhirnya, ia menemukan sekelompok orang yang sedang menyalakan api besar. Sekelompok orang itu tampak seperti sebuah suku yang tinggal di hutan tersebut. Mereka terlihat sedang mengadakan pesta karena mereka sedang menyanyi dan menari. Thao sedang menyaksikan pesta yang berlangsung meriah itu dari jauh ketika seseorang dari suku tersebut melihat kehadiran Thao. 

Orang itu lalu berteriak pada Thao. “Hei... Sedang apa kamu di sana?”

Thao terkejut, tidak menyangka jika salah seorang anggota suku menyadari kehadirannya. Orang itu tampak berbeda dari anggota yang lain. Sepertinya Kepala Suku, pikir Thao. Kepala Suku berjalan menghampiri Thao, tampak curiga dengan kehadirannya. Ia lalu mengiring Thao ke tengah pesta untuk bertanya bagaimana Thao bisa sampai di tempat mereka. Thao mengikuti langkah Kepala Suku, masuk ke tengah-tengah kerumunan. Ketika wajahnya mulai diterangi cahaya api, semua orang dalam pesta terpukau dengan kecantikannya. Thao lalu menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke tempat itu, sehingga orang-orang suku hutan tidak curiga lagi kepadanya. Setelah menceritakan semuanya, mereka mengajak Thao turut serta dalam pesta dan memberinya makanan serta minuman yang lezat. Pesta semakin semarak. Thao bernyanyi dengan suaranya yang merdu hingga membuat semua orang terpana. Ketika Thao selesai bernyanyi, semua orang bertepuk tangan dengan riuh.

“Bisakah kamu menyanyikan satu lagu lagi untuk kami?” teriak seorang pemuda dengan lantang.

Semua orang mengangguk, meminta hal yang sama. Thao hendak mengabulkan permintaan mereka, ketika tiba-tiba dia teringat pada ayahnya yang sedang sakit. Ia harus segera kembali. Namun, Thao tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah menerimanya dengan baik. Thao pun bersedia untuk bernyanyi lagi. Saat menyelesaikan lagunya, orang-orang semakin bersemangat dan bertepuk tangan dengan riuh. Meski terlihat enggan, Thao segera meminta ijin untuk pulang dan berjanji akan berkunjung serta benyanyi untuk mereka di lain hari. Kepala Suku mengizinkan Thao pulang, tetapi dia meminta satu barang Thao sebagai jaminan janjinya. Seorang pemuda segera mengambil punuk di punggung Thao sebagai jaminan karena gadis itu tidak membawa barang apa-apa selain parang dan keranjang berisi tanaman putri malu. Setelah berpamitan dengan semua orang, Thao bergegas meninggalkan hutan untuk pulang ke rumah. 

Thao sampai di rumah ketika matahari hampir terbit. Dia segera merebus tanaman putri malu untuk mengobati ayahnya dan menceritakan semua kejadian yang dia alami di hutan. Thao bercerita tentang suku di hutan dan kebaikan mereka, serta janjinya untuk kembali mengunjungi mereka serta mengambil punuknya. Hien terlihat iri saat mendengar semua cerita Thao dan melihat saudaranya sudah tidak berpunuk lagi. Dia pun berencana menggantikan Thao untuk kembali mengunjungi suku hutan. Hien yakin jika suku itu tidak akan curiga karena wajahnya sangat mirip dengan Thao. Pada suatu hari, Thao hendak pergi ke hutan, namun Hien memohon izin kepada ayahnya untuk menggantikan Thao. Mulanya, ayah melarang Hien pergi karena takut dia akan menghadapi bahaya. Tapi, Hien terus merajuk hingga ayahnya tak bisa melarangnya. Hien pun berangkat ke hutan, menggantikan Thao. Setelah sampai di hutan, Hien menunggu hari gelap hingga ia melihat cahaya yang sama, seperti yang diceritakan Thao. 

Hien lalu mendatangi arah cahaya itu dengan berseri-seri. Saat sampai di tempat suku hutan berada, seorang pemuda suku memanggil Hien, yang dikira Thao, untuk bergabung dengan mereka. Mereka segera meminta ‘Thao’ menepati janjinya untuk bernyanyi bagi mereka. Hien tanpa sungkan segera menyanyikan sebuah lagu. Namun, semua orang menertawakan suara Hien yang sangat buruk. Kepala Suku pun memintanya berhenti menyanyi dan pulang meninggalkan pesta. Hien merasa tersinggung dengan perlakuan Kepala Suku dan semua orang suku hutan. Ia pun memaki Kepala Suku hingga membuatnya marah. Kepala Suku segera memanggil seorang pemuda yang menyimpan punuk Thao dan meminta pemuda itu meletakkan punuk itu kembali ke punggung Hien, yang dikiranya Thao. Pemuda itu membawa sebilah pedang yang amat tajam dan membuat Hien ketakutan. Hien pun diusir keluar hutan dan pulang membawa dua punuk di punggungnya. Hien pulang ke rumah dalam isak tangis, menyesali kelicikan dan sikapnya yang tidak pernah bersyukur.

***

Areum selesai membaca bukunya.

"Bagus ah cerita dari asalnya Vietnam," kata Areum.

Areum pun berpikir mau ngapaiin, ya pada akhirnya memutuskan dengan berkata "Main game ah!"

Areum menutup bukunya, ya di susun rapih di meja. Areum main game di Hp-nya dengan baik.

POHON BELIMBING BERTUAH

Ahnjong selesai membantu ibu memasak di dapur. Ahnjong duduk santai sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Ahnjong :

Pada zaman dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka mempunyai dua anak laki-laki yang mempunyai sifat bertolak belakang. Sang kakak adalah orang yang sangat rakus dan licik. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Sedangkan sang adik adalah seorang yang baik hati serta tidak rakus seperti kakaknya. Suatu hari ketika keduanya sudah beranjak dewasa dan berkeluarga, kedua orang tua mereka meninggal dunia. Ayah dan ibu mereka mewariskan harta yang sangat banyak untuk keduanya. Setelah mengurus pemakaman kedua orang tuanya, sang kakak memanggil sang adik beserta istrinya. 

“Aku adalah anak laki-laki tertua, jadi akulah yang berhak membagi harta warisan ayah dan ibu,” kata Sang Kakak. 

Sang kakak yang sangat tamak mengambil semua harta warisan peninggalan  orang tua mereka. Ia hanya memberi sebuah rumah yang sangat kecil di dekat hutan kepada sang adik. Sang adik pun tinggal di sana bersama istrinya, sedangkan sang kakak membawa semua harta warisan peninggalan orang tua mereka. Sang kakak sangat senang memiliki banyak harta sehingga tidak perlu khawatir dengan masa depan keluarganya. Sang adik menerima keputusan kakaknya dengan ikhlas. Di rumah barunya, sang adik tidak memiliki apapun, kecuali sebuah pohon belimbing di halaman belakang rumah. Ia berharap jika pohon belimbing itu bisa berbuah, sehingga ia dan istrinya bisa menjual buahnya untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Pohon belimbing itu berdaun sangat lebat, berbatang besar, dan memiliki akar kuat, yang menancap ke dalam tanah. Sang adik dan istrinya merawat pohon belimbing itu dengan baik. Setiap hari mereka menyirami pohon belimbing itu agar cepat berbuah. Mereka juga rajin membersihkan setiap helai daun yang jatuh tertiup angin dan berserakan di sekitar pohon. Suatu pagi sang adik melihat pohon belimbing itu sudah mulai berbuah. Ia dan istrinya sangat gembira karena pohon belimbing itu berbuah sangat banyak. Mereka pun semakin rajin merawat pohon belimbing itu sambil menunggu buah belimbing siap dipetik. Beberapa hari berlalu, buah belimbing akhirnya siap untuk dipetik. 

Namun sang adik menunda untuk memetik buah belimbing itu karena sudah terlalu sore. Saat pagi tiba, ia segera menuju ke halaman belakang rumah sambil membawa karung. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika melihat buah belimbing yang semula banyak, kini hanya tinggal sedikit dan tidak cukup untuk dijual ke pasar. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memetik buah belimbing itu. Keesokan harinya, ketika sang adik memeriksa buah belimbingnya, ia mendapati seekor burung gagak bertengger di pohon belimbing. Gagak itu mengambil buah belimbing dan membawanya pergi. Hari demi hari, burung gagak selalu datang setiap hari untuk mengambil buah belimbing sang adik. Akhirnya, sang adik memberanikan diri untuk menghampiri burung gagak itu. 

“Wahai, Burung Gagak, pohon belimbing ini satu-satunya harta yang aku punya. Jika engkau mengambil buahnya setiap hari, aku dan istriku tidak bisa menjualnya ke pasar,” Sang Adik berkata jujur. 

“Jangan khawatir, aku akan mengganti buah belimbing ini dengan emas.”

“...” 

“Besok, tunggulah di sini dan siapkan sebuah tas kain kecil!” 

“...”

“Dan ingatlah, tas itu tidak boleh lebih panjang dari lenganmu!” 

“...”

Sang adik hanya termangu mendengar perkataan burung gagak itu. Setelah burung itu pergi, ia segera memberitahukan kejadian itu kepada istrinya. Sang istri kemudian membuat sebuah tas kain, sesuai dengan permintaan burung gagak. Mereka menunggu pagi dengan tidak sabar. Mereka ingin membuktikan apakah burung gagak itu menepati janjinya atau hanya membohongi mereka. Keesokan paginya, burung gagak itu tampak bertengger di pohon belimbing. Ketika sang adik dan istrinya keluar rumah, burung gagak segera membuka sayapnya lebar-lebar, lalu berubah menjadi burung gagak yang sangat besar. Burung gagak itu segera memberi isyarat agar mereka naik ke punggungnya. Burung gagak raksasa itu terbang melewati hutan dan berhenti di sebuah gunung. Burung itu kemudian membawa mereka ke sebuah tempat, yang mirip sebuah sumur. Menakjubkan. Tempat itu penuh dengan emas berkilauan. 

Burung gagak segera menyuruh mereka mengambil emas-emas itu dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah kejadian itu, sang adik dan istrinya menjadi kaya raya, namun hal tersebut tidak membuat mereka sombong. Mereka masih memelihara pohon belimbing keberuntungan di belakang rumah dengan baik. Sekali waktu, burung gagak pun datang untuk mengambil buah belimbing. Sang adik dan istrinya mulai hidup berkecukupan. Suatu hari, sang adik merindukan kakaknya dan berniat untuk mengundang keluarga kakaknya ke rumah mereka. Ia meminta istrinya memasak makanan-makanan enak untuk menjamu sang kakak. 

Akan tetapi, ketika sang adik datang ke rumah kakaknya untuk mengundang secara langsung, sang kakak menolak undangan sang adik. Sang kakak berpikir jika sang adik hanya ingin meminta harta warisan, sehingga ia mencoba membujuk sang kakak dengan berbuat baik. Sang adik pulang dengan sedih, tapi ia tidak menyerah begitu saja. Setiap hari ia memohon kepada sang kakak untuk datang ke rumahnya. Akhirnya, sang kakak bersedia menerima undangan sang adik. Pada hari yang telah disepakati, sang kakak berkunjung ke rumah sang adik. Namun, dia sangat terkejut saat melihat rumah adiknya yang begitu bagus. 

Ia begitu terheran-heran, tidak percaya karena dahulu dia meninggalkan adiknya tanpa memberi harta apa-apa. Maka, terdorong oleh rasa penasaran, sang kakak bertanya kepada sang adik bagaimana dia bisa menjadi kaya. Sang adik kemudian bercerita mengenai pohon belimbing dan burung gagak yang telah memberikan keberuntungan kepadanya. Kehidupan sang adik yang berkecukupan membuat sang kakak iri. Ia mulai membuat rencana untuk mendapatkan emas-emas dari burung gagak. Dengan licik, sang kakak pura-pura minta maaf kepada sang adik karena telah mengusir dan tidak memberikan harta warisan kepadanya. 

Sang kakak juga mengajak adiknya bertukar tempat tinggal untuk sementara waktu sebagai permintaan maafnya. Sang adik menuruti kemauan sang kakak tanpa curiga. Mereka pun bertukar rumah untuk sementara waktu. Sejak tinggal di rumah sang adik, sang kakak melakukan semua kebiasaan sang adik tanpa terkecuali. Ia menyirami dan merawat pohon belimbing setiap hari. Ia berharap burung gagak akan datang dan membawanya ke gunung untuk mendapatkan emas. Dan, benar saja. Suatu pagi burung gagak datang untuk mengambil buah belimbing. Sang kakak pun menghampiri burung gagak dan berkata persis seperti ucapan sang adik dahulu. Jawaban burung gagak pun sama seperti jawaban yang dulu dia berikan kepada sang adik. 

“Jangan khawatir, aku akan mengganti buah belimbing ini dengan emas.”

“Besok, tunggulah di sini dan siapkan sebuah tas kain kecil!” 

“Dan ingatlah, tas itu tidak boleh lebih panjang dari lenganmu!”

Setelah burung gagak pergi, sang kakak mulai membuat tas dengan muka berseri-seri. Namun, ia sangat serakah sehingga ia membuat tas yang sangat besar. Ia berpikir jika ia bisa membawa banyak emas jika ukuran tasnya lebih besar. Dengan demikian, ia akan semakin kaya raya dan lebih kaya daripada adiknya. Keesokan pagi sang kakak dan burung gagak pergi ke tempat emas-emas berada. Sesampai di tempat itu, sang kakak segera mengambil banyak emas. Ia mengisi penuh tasnya dengan emas, termasuk saku celana dan bajunya. Semuanya diisi dengan emas. Setelah sang kakak selesai mengambil emas, mereka segera bersiap pulang. Burung gagak mulai mengepakkan sayapnya dan terbang dengan membawa sang kakak di punggungnya. Sang kakak tersenyum puas dan berteriak dengan keras. “Aku akan kaya raya... Aku akan kaya rayaaaaaa...” teriaknya di atas punggung burung gagak yang sedang terbang. 

Selang beberapa saat, burung gagak merasakan sesuatu yang sangat berat di punggungnya. Dia berusaha mengepakkan sayapnya yang terasa semakin berat. Akan tetapi, usahanya terhenti. Ketika melewati lautan, burung gagak memiringkan sayap kirinya dan sang kakak yang rakus dan tamak terjatuh bersama dengan emas-emas yang ia bawa. Burung gagak segera melanjutkan perjalanan dan mengabari sang adik serta keluarga sang kakak jika sang kakak terjatuh di lautan. Mereka sangat terkejut dan merasakan kesedihan yang mendalam. Namun, semua orang selalu menuai hasil perbuatannya. Tuaian yang baik akan memberikan hasil yang baik, sedangkan tuaian yang buruk akan menghasilkan hasil yang buruk. 

***

Ahnjong selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus dari asal cerita Vietnam," kata Ahnjong.

Ahnjong menutup buku dan menaruh buku di meja.

"Nonton film kartun," kata Ahnjong.

Ahnjong menonton film kartun, ya di Hp-nya saja sih kemajuan teknologi gitu.

SI BAIK TAM DAN SAUDARA TIRINYA CAM

Agueda selesai merawat tanamannya di halaman depan rumah. Agueda duduk santai di teras depan rumah sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Agueda :

Tam adalah gadis kecil yang baik hati dan sangat ceria. Dia hidup bahagia bersama ayah dan ibunya. Setiap hari ayah Tam selalu mengajaknya jalan-jalan dan bermain di sungai sedangkan ibunya selalu memasak makanan kesukaan Tam. Tam sangat mencintai ibu dan ayahnya. Namun, suatu hari ibu Tam jatuh sakit dan segera setelah dia meninggal. Sejak itu, Tam hanya tinggal bersama ayahnya. Tam berubah menjadi gadis kecil yang murung. Meskipun ayahnya sangat mencintai Tam, namun Tam sangat kehilangan ibunya. Sejak kematian ibunya, Tam selalu mengajak ayahnya bermain bersama. Kesedihan Tam meningkat ketika Ayah bertemu dengan seorang wanita dan menikahinya. Mereka menggelar pesta pernikahan yang meriah di rumah. 

Namun, selama pernikahan, wanita itu mengunci Tam di sebuah kamar dan tidak memberinya makan. Kini, wanita itu telah menjadi ibu tiri Tam. Setahun kemudian, Tam memiliki saudara tiri bernama Cam. Kelahiran saudara tirinya membuat Tam semakin menderita. Ibu tiri Tam tidak pernah mencintainya. Ketika Ayah pergi bekerja, ibu tiri Tam akan menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah. Peristiwa itu berlangsung selama bertahun-tahun tanpa sepengetahuan ayah Tam. Ketika Tam dan saudara tirinya, Cam, menjadi dewasa, ayah mereka meninggal. Tam sangat sedih karena dia tidak memiliki siapa pun yang siap. Kini, Tam harus tinggal bersama ibu dan saudara tirinya. Ibu tiri dan saudara tiri Tam, Cam, memiliki temperamen yang sama. 

Mereka sering menyuruh Tam melakukan pekerjaan rumah tanpa henti. Mereka juga sering tidak memberi makan Tam. Suatu hari ibu tiri Tam menyuruhnya mencari kayu bakar di hutan yang sangat jauh. Tam tidak bisa melanggar perintah ibu tirinya, jadi dia pergi pagi-pagi sekali untuk mencari kayu bakar. Sebenarnya Ibu Tiri berharap Tam akan dimakan binatang buas ketika dia pergi ke hutan yang sangat jauh. Dengan demikian Tam tidak akan pernah kembali ke rumah. Namun, Tam telah kembali ke rumah dengan kayu bakar ketika matahari tepat di atas kepalanya. Ibu tiri kecewa karena rencananya tidak berhasil. Dia segera memikirkan cara lain untuk membuat Tam pergi selamanya dan tidak kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian, Ibu Tiri memerintahkan Tam untuk mengambil air dari sungai yang jaraknya sangat jauh dari rumah. 

Tam harus melewati ladang tanpa pohon untuk mencapai sungai. Ibu tiri berharap sinar matahari yang cerah akan membuat kulit Tam terbakar dan menggelap, sehingga Tam menjadi gadis yang jelek. Namun, harapan ibu tiri tidak pernah menjadi kenyataan. Setiap kali dia mengambil air dari sungai, Tam selalu menyeka wajahnya dengan air sungai dan dia bahkan terlihat lebih cantik. Kulit Tam juga terlihat lebih cerah dan tidak terbakar matahari. Ibu tiri dan Cam semakin kesal dengan Tam. Cam selalu iri dengan kecantikan saudara tirinya, Tam. Rencana mereka yang gagal berkali-kali tidak mematahkan ambisi Ibu Tiri dan Cam untuk membuat Tam pergi dari rumah. Suatu hari ibu tiri menyuruh Cam dan Tam pergi memancing. Ibu tiri mengingatkan mereka bahwa mereka berdua harus menangkap banyak ikan untuk dimasak. 

“Ingat, kamu harus menangkap ikan sebanyak mungkin! Jika ada yang menangkap ikan kecil, tidak ada makan malam untuknya.” 

Tam dan Cam kemudian berangkat ke tempat yang disuruh ibu mereka. Sesampainya di tempat itu, Tam langsung berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Sedangkan Cam justru menghabiskan harinya untuk bermain-main di sekitar sungai. Saat matahari hampir terbenam, Tam kembali memeriksa tangkapannya. Ada ember penuh ikan. Saat bersiap-siap untuk pulang, Cam mendekati Tam dan mulai berpikir untuk selingkuh. 

“Tam, kamu harus mencuci tubuhmu yang berlumpur dulu! Anda terlihat sangat jelek. Aku akan marah jika melihatmu seperti ini.”

Tam mengikuti kata-kata saudara tirinya tanpa curiga. Dia segera membasuh wajah dan tubuhnya yang berlumuran lumpur dan meninggalkan embernya. Cam kemudian memindahkan ikan di ember Tam ke embernya, dan meninggalkannya sendirian. Ketika Tam kembali, dia sangat sedih dan menangis karena embernya kosong. Ibu pasti akan menghukumku karena aku pulang tanpa ikan, pikir Tam sambil terisak. Sementara Tam masih terisak, tiba-tiba sebuah suara lembut menyapanya.

“Ada apa, gadis cantik? Kenapa kamu menangis?" 

Tam mencari asal suara itu. Tam melihat sosok wanita yang sangat cantik di belakangnya. Tam juga menceritakan apa yang dia alami dan apa yang telah dilakukan Cam. Dia juga mengatakan bahwa dia terlalu takut untuk pulang karena ibu tirinya pasti akan menghukumnya. Setelah mendengar semua keluhan Tam, wanita cantik itu meminta Tam untuk melihat ke dalam embernya lagi. Tam memiringkan kepalanya dan melihat seekor ikan merah kecil bermata emas berenang di sisa-sisa air di embernya. Tam menatap ikan itu, tak percaya. 

“Bawa pulang ikan itu dan masukkan ke dalam sumur! Beri dia makan tiga kali sehari dari apa yang Anda makan! Anda harus meninggalkan makanan Anda untuk ikan!” 

Wanita cantik itu menghilangkan keterkejutan Tam. Tam berkedip tak percaya lagi, tapi dia segera mengangguk, membenarkan kata-kata wanita itu. Tam bergegas membawa pulang ikan itu. Dia diam-diam memasukkan ikan ke dalam sumur di belakang rumah agar tidak terlihat oleh ibu tirinya dan Cam. Dia juga selalu ingat untuk meninggalkan makanannya untuk ikan setiap hari. Karena sekarang Tam tidak diberi makan malam, maka Tam selalu menyisihkan jatah makan siangnya untuk ikan. Setiap kali Tam pergi ke sumur, ikan akan muncul dan menyapa Tam. Ibu tiri curiga dengan tingkah Tam saat melihat Tam berbicara dengan ikan di dalam sumur. 

Keesokan harinya tanpa sepengetahuan Tam, Ibu Tiri pergi ke sumur dan menangkap ikan malang itu dan menggorengnya. Tam sangat sedih mengetahui bahwa Ibu Tiri telah menangkap dan menggoreng ikannya. Di tengah kesedihannya, wanita yang pernah memberinya ikan muncul kembali. Dia menghibur Tam dan memintanya untuk menemukan tulang ikan dan menguburnya dengan benar. Ketika pagi tiba Tam mulai mencari tulang ikannya. Dia telah mencarinya di seluruh rumah, tetapi tidak menemukannya. Dia kemudian pergi ke halaman belakang untuk melihat ke belakang. 

"Koook... Koook... Beri aku segenggam jagung dan akan kutunjukkan di mana tulangnya," kata seekor ayam.

Tam segera berlari mengambil segenggam jagung dan memberikannya pada ayam. Ayam juga menunjukkan adanya tulang. Tam segera mengambil tulang-tulang itu dan menguburnya di halaman belakang. Hari ini Tam bangun sangat pagi. Ibu tiri memerintahkan Tam untuk melakukan semua pekerjaan rumah seperti, memetik sayuran di ladang, memasak, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara itu, Ibu Tiri dan Cam bahkan bersiap-siap untuk pergi ke pesta ulang tahun putra Raja yang diadakan oleh istana. Semua warga diundang untuk menghadiri pesta. Sebenarnya Tam ingin pergi ke pesta, namun semua pekerjaan yang diberikan oleh Ibu Tiri tidak memungkinkannya untuk datang ke acara tersebut. Tam hanya bisa tinggal di rumah dan melakukan semua pekerjaannya. Dia sangat sedih. Dia ingat ayah dan ibunya yang telah meninggal. Ia juga membayangkan jika ayahnya tidak menikah dengan ibu tirinya, mungkin hidupnya tidak akan menderita seperti sekarang. Sementara Tam sedang berduka atas nasibnya, wanita yang telah membantunya muncul kembali. 

"Jangan sedih, anakku! Pergi ke pesta! Aku akan menyelesaikan semua pekerjaanmu.” 

Tam menghapus air matanya. 

"Tapi, aku tidak bisa memakai gaun seperti ini. Saya tidak punya baju yang pas untuk dipakai ke acara itu,” kata Tam pelan.

Wanita itu, dengan kekuatan yang diberikan oleh para Dewa, mengubah kemeja Tam menjadi kemeja yang sangat indah. Dia memberikan sepasang sepatu yang indah untuk Tam. Dia juga mendandani Tam menjadi gadis cantik, seperti putri bangsawan. Tam segera pergi ke istana untuk menghadiri pesta. Semua orang tampak bersukacita dan bernyanyi bersama dalam pesta yang megah. Tam segera bergabung dengan mereka. Kehadiran Tam membuat orang mengagumi kecantikannya. Kekaguman banyak orang membuat Cam sadar akan kehadiran Tam. Ia langsung memberitahu ibunya saat melihat Tam mengenakan gaun yang sangat cantik dan terlihat cantik, sehingga menjadi pusat perhatian semua orang yang hadir. 

Merasa Ibu Tiri dan Cam mengetahui kehadirannya, Tam segera menyelinap ke kerumunan dan berniat untuk pulang. Tam berlari kencang karena takut basah oleh Ibu Tiri dan Cam hingga dia tidak menyadari bahwa salah satu sepatu cantiknya tertinggal di istana. Ketika pesta selesai pada tengah malam, salah satu prajurit istana menemukan sepatu Tam dan membawanya ke hadapan Raja. Semua orang di istana kagum dengan keindahan sepatu itu. Mereka belum pernah melihat sepatu yang begitu indah sebelumnya. Raja juga meminta orang kepercayaannya untuk mengumumkan ke seluruh negeri bahwa Raja sedang mencari pemilik sepatu ini untuk menjadi istri putranya. Setelah pengumuman dibuat di seluruh negeri, banyak gadis datang berbondong-bondong ke istana untuk mencoba sepatu. Namun, tidak ada gadis yang cocok dengan ukuran sepatu cantik ini. 

Tam mencoba datang ke istana karena mengira itu adalah sepatunya. Dan, sepatunya pas di kaki Tam! Raja segera mengumumkan bahwa Tam akan menjadi menantunya. Ibu tiri dan Cam sangat marah mengetahui hal ini. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap orang yang berbuat jahat kepada orang lain selalu mendapat balasannya. Tam bebas dari Ibu Tiri dan Cam yang membuat hidupnya menderita. Sekarang dia sudah menikah dan tinggal di istana, menjadi seorang putri yang dicintai oleh semua orang di seluruh Negeri. 

***

Agueda selesai membaca bukunya dan berkata "Cerita yang bagus asal cerita dari Vietnam."

Agueda menutup bukunya, ya beranjak dari duduknya masuk ke dalam rumah sambil membawa bukunya.

TUKANG KAYU DAN KAPAK EMAS

Catia selesai membantu ibu berjualan, ya di depan rumah sih. Catia duduk santai di ruang tamu sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Catia :

Di sebuah hutan yang sangat lebat hiduplah seorang tukang kayu yang sudah tua. Ia hidup bersama istri dan anak-anaknya. Mereka adalah keluarga yang paling miskin di antara keluarga-keluarga lain di hutan. Namun, meski keluarga mereka hidup dalam kemiskinan, tukang kayu yang sudah tua ini selalu menasihati keluarganya untuk berbuat dan berkata jujur. Setiap hari tukang kayu mencari kayu bakar di hutan. Inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan. Ia menyusuri sungai dan semak-semak untuk mendapatkan  kayu bakar. Lelaki tua ini memotong kayu-kayu besar dengan sebuah kapak bergagang kayu, miliknya satu-satunya. Kapak itu seperti harta karun baginya karena kapak itu membantunya menafkahi keluarga.

Selepas mencari kayu bakar, tukang kayu akan membawanya pulang. Kayu-kayu itu kemudian akan dikeringkan dahulu di halaman rumahnya. Setelah kayu kering, istrinya akan membawanya ke pasar dan menukarnya dengan beras, sayuran, ataupun lauk-pauk untuk dimasak. Kayu-kayu bakar yang mereka jual hanya cukup untuk ditukar dengan bahan makanan. Sehingga tukang kayu hanya mempunyai satu kapak, yang sudah dipakainya selama bertahun-tahun karena tidak bisa membeli kapak yang baru. Tukang kayu seringkali berharap bisa mempunyai kapak baru agar bisa mendapat kayu bakar lebih banyak. Namun, keadaan ekonomi keluarganya tidak mendukung keinginannya. Maka, dia selalu mencoba bersyukur dengan kapak tua miliknya.

Suatu pagi tukang kayu sedang mengasah kapaknya sebelum mencari kayu. Pagi ini ia kembali mengasah kapaknya saat istrinya mulai pergi ke pasar menukarkan kayu. Saat mengasah kapaknya, tukang kayu mendapati jika kapaknya semakin aus dan tipis. Kekuatan kapaknya semakin berkurang untuk memotong kayu besar. Tapi apa boleh buat, kata tukang kayu dalam hati. Tukang kayu segera berangkat mencari kayu bakar sembari membawa kapak dan seutas tali. Kali ini ia akan mencari kayu bakar di dekat sungai. Beberapa hari yang lalu saat ia ke sana, dahan dan ranting pohon hampir mengering, tapi belum cukup kering untuk dipotong. Dahan dan ranting pohon itu pasti sudah kering sekarang, gumamnya di tengah perjalanan.

Perjalanan yang ditempuh tukang kayu tidak mudah. Ia harus melewati semak belukar serta jalan yang naik turun. Tapi, ia sudah terbiasa dengan hal itu, sehingga dia selalu mengerjakannya dengan senang hati. Tak lama kemudian, tukang kayu sudah sampai di tempat tujuan. Suara gemericik air sungai terdengar sangat jelas. Sejenak, tukang kayu melihat air sungai yang sangat jernih dan pepohonan yang hijau serta rimbun di sekitar sungai. Dewa sungai pasti menjaga pepohonan di sekitar sungai ini, pikir tukang kayu. Setelah puas menyegarkan diri dengan pemandangan di sekitar sungai, tukang kayu mulai mengayunkan kapaknya dengan sangat cekatan. Selama beberapa saat, tukang kayu terlihat semakin asyik dengan pekerjaannya dan terus mengayun-ayunkan kapaknya dengan penuh semangat. Namun, ketika hampir menyelesaikan pekerjaannya, kapak tukang kayu tiba-tiba terlepas dari tangannya, melayang, dan akhirnya terjatuh ke sungai.

Sesaat, tukang kayu hanya bisa tertegun. Raut wajahnya terlihat sedih. Bagaimana ia bisa menemukan kapak itu? Bagaimana ia bisa mencari kayu bakar lagi, besok? Tukang kayu bingung harus melakukan apa. Sungai itu terlihat sangat dalam dan arusnya sangat deras. Bahkan di antaranya terlihat batuan yang sangat licin. Akhirnya Tukang kayu memutuskan untuk mencari kapaknya ke dalam sungai. Ia tak peduli seberapa dalam dan derasnya sungai itu. Namun ketika ia hendak menuruni pinggir sungai, tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggilnya.

“Tunggu...”

Ia memutar pandangan, mencari asal suara itu. Pandangannya terhenti pada seseorang berpakaian serba putih dan berambut putih yang menghampirinya dari arah seberang sungai.

“Sedang apa kau di situ?”

Sambil menahan kakinya yang hampir masuk ke air, tukang kayu menjawab, “Aku seorang tukang kayu dan aku hendak mencari kapakku yang jatuh ke sungai. Aku harus menemukan kapak itu karena itu satu-satunya milikku.”

“Tapi kau bisa membahayakan dirimu sendiri. Arus sungai itu sangatlah deras.”

“Aku tak punya pilihan lain. Itu satu-satunya kapak yang memberi makan keluargaku. Kalau kapak itu sampai hilang, maka...” suara tukang kayu terhenti, matanya mulai berkabut.

“Tunggulah di atas. Aku adalah penjaga sungai yang diutus Dewa untuk menjaga sungai ini. Aku akan mengambil kapakmu yang jatuh,” ujar pria berbaju putih sembari turun ke sungai.

Tukang kayu segera naik dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam sungai. Dari atas sungai ia melihat penjaga sungai itu masuk ke dalam sungai.

“Apakah ini kapak yang kau punya?” sang penjaga sungai muncul ke permukaan dengan membawa sebilah kapak bergagang perak.

Meski dari jarak yang cukup jauh, tukang kayu yakin itu bukan kapaknya.

“Bukan, itu bukan kapakku,” jawabnya dengan sedikit berteriak agar suaranya tidak terkalahkan oleh suara arus sungai.

Penjaga sungai kembali menyelam ke dalam sungai. Selang beberapa saat, ia muncul lagi ke permukaan sungai dan membawa kapak bergagang emas.

“Apakah ini kapakmu?” tanyanya lagi.

Tukang kayu melihat kapak bergagang emas itu, lalu berteriak sekali lagi, “Bukan, itu bukan kapakku. Kapakku bergagang kayu, bukan emas.”

Penjaga sungai segera meletakkan kapak emas itu bersisian dengan kapak perak yang ia temukan sebelumnya. Ia pun kembali menyelam ke dasar sungai. Tak lama kemudian ia sudah muncul ke permukaan sungai dengan sebuah kapak bergagang kayu.

Wajah tukang kayu langsung terlihat berseri-seri. Sebelum penjaga sungai sempat bertanya, ia berteriak dengan lantang, “Itu kapakku. Benar, itu kapakku.”

Penjaga sungai segera menghampiri tukang kayu dan menyerahkan kapak itu kepadanya.

“Terima kasih banyak, wahai Penjaga Sungai. Engkau telah menyelamatkanku dan keluargaku,” kata tukang kayu tulus.

Penjaga sungai mengangguk dan tersenyum. Ia lalu mengulurkan kapak perak dan kapak emas yang ia temukan kepada tukang kayu.

“Bawalah pulang ketiga kapak ini. Ini adalah hadiah dari Dewa karena kau orang yang sangat jujur.”

Tukang kayu semakin gembira. Setelah menerima ketiga kapak dan berterima kasih kepada penjaga sungai, ia langsung bergegas pulang. Kabar tentang kapak itu segera menyebar ke semua tetangga tukang kayu. Hampir semua orang ikut gembira karena kini keluarga tukang kayu bisa hidup berkecukupan. Namun, ternyata ada satu orang yang iri kepada tukang kayu. Ia pun pura-pura menanyakan asal mula kapak emas itu.

Setelah mendengar semua cerita tukang kayu, orang iri itu diam-diam pergi ke tempat kapak emas berasal. Saat sampai di sungai tersebut, ia pura-pura kehilangan kapak dan terduduk di dekat pohon sambil menangis. Tak lama kemudian, penjaga sungai muncul, menyapanya, seperti dugaannya.

“Sedang apa kau di situ?” Penjaga sungai mulai bertanya.

Orang iri itu kemudian mengarang cerita tentang kapaknya yang hilang. Penjaga sungai pun segera turun ke sungai untuk mencari kapak orang iri itu. Sesaat kemudian ia muncul dengan kapak emas di tangannya.

“Apakah ini kapakmu?”

Orang iri itu segera menghampiri penjaga sungai dengan sangat gembira. Ia hendak mengambil kapak emas itu.

“Benar... Itu kapakku. Cepat berikan padaku!” katanya tak sabar.

“Kau pembohong! Ini bukanlah kapakmu!” teriak penjaga sungai dengan kencang.

Penjaga sungai sangat murka. Ia segera menarik tubuh orang yang penuh dengan rasa iri dan tamak itu hingga jatuh ke sungai. Orang iri itu tenggelam dan terbawa arus sungai. Sejak kejadian itu, tidak ada satu orang pun yang berani mencari kapak emas ke sungai itu. Mereka percaya bahwa orang yang bersifat jahat dan tamak akan memperoleh hukuman dari Dewa. 

***

Catia selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus cerita asal dari Vietnam."

Catia menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.

KHOAI DAN 100 BATANG BAMBU

Aurora  selesai mengerjakan PR-nya, ya melanjutkan dengan baca buku cerita sih.
Isi buku yang di baca Aurora :

Di sebuah desa di Vietnam hiduplah seorang lelaki tua yang sangat rakus. Ini memiliki banyak pertanian dan sawah. Orang-orang memanggilnya Tuan Tanah. Dia mempekerjakan banyak orang dari desa setempat di ladang dan ladangnya. Para pekerja itu adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki ladang atau ladang. Tuan Tanah selalu memerintahkan para pekerjanya untuk bekerja dari pagi hingga malam dan memberikan upah yang sangat sedikit. Khoai adalah seorang pemuda yang bekerja di salah satu pertanian Tuan Tanah. Dia adalah seorang yatim piatu yang telah bekerja sejak kecil. Khoai selalu bekerja dengan tekun dan tanpa lelah. Etos kerja Khoai membuat Tuan Tanah berpikir untuk memanfaatkannya. Tuan tanah menyadari jika Khoai akan memberinya banyak keuntungan. Ia juga yakin jika Khoai akan menuruti semua perintahnya. Jadi, Tuan Tanah berencana untuk membuat Khoai bekerja lebih keras agar keuntungannya meningkat. Suatu sore Tuan Tanah menelepon Khoai ketika dia baru saja kembali dari pertanian. Khoai segera merapikan peralatan yang dibawanya dari peternakan. Dia buru-buru berlari menemui Tuan Tanah. 

“Khoai, kamu adalah pemuda pekerja keras. Saya sangat senang dengan hasil jerih payah Anda,” kata Tuan Tanah memulai pembicaraan. 

"Jika kamu ingin tinggal di sini dan bekerja dua kali lebih keras dari yang kamu lakukan sekarang, aku akan menikahimu dengan putriku ketika dia dewasa." 

Khoai sangat senang menerima tawaran Tuan Tanah. Dia benar-benar menanggapi tawaran tuannya dengan serius. Khoai segera mengemasi barang-barang di rumahnya dan tinggal di rumah Tuan Tanah. Ia bertekad untuk bekerja lebih keras lagi. Setiap hari Khoai mulai bekerja di ladang sebelum matahari terbit. Dia selalu datang ke ladang saat pekerja lain masih tertidur di rumahnya. Ketika pekerja lain pulang, Khoai melanjutkan pekerjaannya di ladang sendirian. Setiap hari dia bekerja tanpa lelah, bahkan dia tetap bekerja ketika dia sakit. Tuan tanah sangat senang melihat Khoai bekerja dua kali lebih keras dari sebelumnya. Saat panen tiba, Tuan Tanah tampak berseri-seri karena panennya berkali-kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Dia menghasilkan keuntungan yang sangat besar sehingga dia mampu membeli lebih banyak ternak dan sawah. 

Kekayaan Tuan Tanah tumbuh. Tahun demi tahun berlalu, putri Tuan Tanah juga tumbuh dewasa. Khoai semakin berharap jika Tuan Tanah akan menepati janjinya, menikahkan Khoai dengan putrinya. Khoai sudah sering bertemu dan berbicara dengan putri Tuan Tanah. Khoai menyukai gadis cantik dan sopan itu. Tanpa sepengetahuan Khoai, Tuan Tanah diam-diam menerima lamaran dari putra Kepala Desa yang sangat kaya. Kedua keluarga telah sepakat untuk menikahkan anak mereka. Bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Kini, setiap keluarga sibuk mempersiapkan pernikahan. Tuan tanah berusaha merahasiakan pernikahan itu dari Khoai. Namun, Khoai segera mengetahui berita itu dari seorang teman, yang bekerja untuk Tuan Tanah seperti dirinya. Khoai sangat marah. Dia merasa ditipu dan dieksploitasi oleh Tuan Tanah. Khoai segera pergi menemui tuannya. 

"Kamu berbohong!" Khoai berteriak di belakang Tuan Tanah yang sedang bersantai di halaman belakang rumahnya. 

“Kau berjanji akan menikahi putrimu denganku, bukan? Tetapi mengapa saya mendengar bahwa Anda sedang mempersiapkan pernikahan putra Anda dengan putra Kepala Desa? Anda hanya memanfaatkan saya!” 

Tuan tanah terkejut. Dia segera menoleh ke belakang dan menemukan Khoai berdiri di depannya dengan wajah merah menahan amarahnya. Tuan tanah ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi dia takut Khoai akan semakin marah padanya. Dia juga memilih untuk mengarang kebohongan lain.

“Khoai, semua itu tidak benar. Pesta itu adalah pesta pernikahanmu dengan putriku. Aku sudah berjanji padamu dan aku akan menepatinya."

Tuan Tanah berusaha menenangkan Khoai. 

"Tapi masih ada satu syarat lagi yang harus kamu penuhi. Apakah Anda mampu memenuhinya?” Tantangan Tuan Tanah tidak ada habisnya. 

Dia segera memikirkan suatu kondisi yang tidak akan pernah bisa dipenuhi oleh Khoai. 

"Sebelum aku menikahkanmu dengan putriku, carilah seratus bambu dan bawalah kepadaku! Tapi ingat! Anda harus mengikat semua bambu ke pagar dan membawanya ke saya. Apakah kamu mampu?”

Tuan Tanah tersenyum licik, menatap wajah Khoai yang sedikit ragu. Namun, keraguan di wajah Khoai segera menghilang, dia mengangguk, menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Tuan Tanah. Keesokan paginya, Khoai segera pergi ke hutan untuk mencari bambu. Dia membawa parang dan tali untuk mengikat bambunya. Meski harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke hutan, Khoai tidak gentar. Setelah sampai di hutan, Khoai langsung menebang beberapa pohon bambu. Namun, ia harus memasuki beberapa hutan untuk mendapatkan seratus batang bambu. Setelah beberapa kali keluar dan masuk ke dalam hutan, akhirnya Khoai berhasil mendapatkan seratus batang bambu. Khoai sedang beristirahat karena kelelahan ketika teringat syarat yang dikemukakan oleh Tuan Tanah, bahwa ia harus membawa seratus bambu ini dalam bentuk terikat seperti pagar. Khoai menghela nafas, dia segera menyadari bahwa dia hanya memiliki satu tali untuk mengikat bambu. Khoai langsung tertunduk lemas, menyesali kebodohannya. Dalam kesedihannya, Khoai meratapi semua upaya yang telah dia lakukan selama bertahun-tahun. Pada saat itu, tiba-tiba ada suara di belakang Khoai. 

"Oh, anak muda, mengapa kamu menangis?"

Khoai menoleh ke pria itu. Ia segera menghapus air matanya dan perlahan menceritakan kembali apa yang dialaminya. 

"Tenang! Saya akan membantu Anda,” kata pria yang menenangkan Khoai. 

Dia terdiam beberapa saat, lalu mulai menggerakkan tangannya. 

"Tongkat. Tetap pada itu." Pria itu terus berkata sambil menggerakkan tangannya. 

Seolah-olah dia memerintahkan bambu untuk menempel satu sama lain. Khoai terkejut. Ia melihat bambu-bambu itu bergerak dan saling menempel, membentuk sebuah ikatan. Kini bambu-bambu itu sudah dibentuk sesuai dengan keinginan Tuan Tanah. Khoai sangat senang sehingga dia tidak menyadari bahwa pria yang membantunya telah menghilang. Tentunya pria itu adalah Tuhan yang datang untuk membantu saya, pikir Khoai. Khoai kemudian bersiap-siap untuk membawa bambu yang telah diikat satu sama lain. Namun, dia tiba-tiba menyadari bahwa bambu di depannya menjadi sangat panjang. Tidak mungkin dia bisa membawa bambu. Sementara Khoai bingung, pria yang membantunya muncul kembali dan bertanya apa yang terjadi. Khoai menjelaskan bahwa dia tidak mungkin bisa membawa bambu yang sangat panjang itu. Pria itu menggerakkan tangannya lagi, memerintahkan bambu-bambu itu untuk dilepaskan.
 
"Berangkat. Berangkat." 

Dan keajaiban terjadi lagi. Bundel bambu tergelincir kembali tidak seperti sebelumnya. Khoai lega bisa membawa bambu-bambu itu ke rumah Tuan Tanah. Khoai bergegas membawa pulang bambu-bambu itu. Dia lupa jika Tuan Tanah memintanya untuk membawa bambu dalam keadaan terikat satu sama lain seperti pagar. Sesampainya di rumah Tuan Tanah, Khoai terkejut. Rumah Tuan Tanah penuh dengan orang dan dekorasinya seperti pesta pernikahan. Salah satu pekerja Tuan Tanah memberi tahu Khoai bahwa mereka sedang merayakan pernikahan putri Tuan Tanah dan putra Kepala Desa. Kali ini Khoai benar-benar marah karena Tuan Tanah telah berselingkuh. Dia segera menemukan Tuan Tanah sambil terus membawa 100 bambu miliknya. Khoai menuju ke tengah pesta, di mana Tuan Tanah berada. 

“Oh, Tuan Tanah, Anda benar-benar berbohong kepada saya! Saya telah memenuhi syarat Anda untuk menemukan bambu ini. Tapi, mengapa kamu tidak menikahi putrimu denganku?” seru Khoai dengan wajah marah. 

Tuan Tanah memandangi bambu yang dibawa Khoai, lalu tersenyum sinis. Dia mendekat ke arah bambu. 

"Bukankah aku sudah mengatakan bahwa bambu ini harus diikat seperti pagar? Anda tidak memenuhi persyaratan yang saya ajukan. Kamu gagal Khoai!” 

Semua orang yang hadir di pesta itu menertawakan kebodohan Khoai. Khoai hanya bisa diam. Sesaat kemudian dia ingat apa yang telah dilakukan orang yang membantunya di hutan. Dia juga mencoba menggerakkan tangannya, seperti yang dilakukan pria itu. 

"Tongkat. Tetap pada itu." Khoai bergumam sambil menggerakkan tangannya. 

Bambu-bambu itu mulai bergerak dan saling menempel. Namun, bambu itu benar-benar bergerak di sekitar Tuan Tanah yang berdiri di dekatnya. Bambu-bambu itu saling menempel dan membuat Tuan Tanah tersangkut di dalamnya, tidak bisa keluar. Bambu itu terus bergerak mendekat. Tuan tanah mulai panik. Semua orang mencoba membantunya, tetapi tidak ada yang berhasil. Tuan Tanah semakin takut. Dia berteriak, memohon Khoai untuk melepaskan bambu yang mengelilingi tubuhnya dan berjanji untuk menepati janjinya. Dia menyadari bahwa dia telah melakukan banyak kesalahan dan berbohong kepada Khoai untuk mendapatkan banyak keuntungan. Rasa kasihan menyentuh hati Khoai. Dia menggerakkan tangannya lagi dan berkata, “Lepaskan. Berangkat." 

Khoai memerintahkan bambu-bambu itu untuk melepaskan ikatan mereka pada Tuan Tanah. Bambu-bambu itu terpeleset dan kembali seperti baru. Sang Tuan Tanah segera menepati janjinya untuk menikahkan Khoai dengan putrinya. Peristiwa yang menimpanya telah menyadarkan sang Pemilik Tanah. Sejak itu, ia menjadi Tuan Tanah yang selalu memperlakukan karyawannya dengan baik dan tidak lagi Tuan Tanah yang rakus. 

***
Aurora selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal dari Vietnam," kata Aurora.

Aurora menutup bukunya dengan baik. Semua buku di taruh di meja saja sama Aurora.

"Nonton Tv aja!" kata Aurora.

Aurora keluar dari kamarnya, ya ke ruang tengah untuk nonton Tv bersama ayah dan ibu. Acara yang sedang di tonton adalah film yang bercerita tentang keluarga kecil yang bahagia gitu. 

WANITA YANG DUDUK DI BULAN

Andreia selesai mengerjakan sulamannya, ya sulaman di taruh di kamar. Andreia keluar dari kamarnya membawa buku, ya duduk di ruang tengah dengan baik. Dengan segera Andreia membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Andreia :

Bulan dan bintang adalah dua benda langit yang bersinar terang di kegelapan malam. Cahaya bulan yang terang akan membuatnya terlihat ke bumi. Pada saat itu, penduduk bumi akan melihat seorang wanita duduk di bulan. Menurut cerita rakyat Vietnam, jauh sebelum bintang-bintang diciptakan, hanya ada matahari dan bulan. Setelah matahari terbenam, bulan akan mulai memancarkan sinarnya yang dulu terasa sangat panas. Saat itu, masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan di Vietnam merasa tidak nyaman karena sinar bulan yang begitu terik di malam hari. Bahkan, mereka berharap setelah matahari bersinar terik di siang hari, mereka bisa beristirahat di cuaca yang lebih dingin di malam hari. Cahaya bulan yang terasa panas setiap malam, bahkan membuat pepohonan kering. 

Orang-orang juga mulai berpikir jika bulan tidak ada gunanya dan akan lebih baik jika bulan tidak ada. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Suatu hari sepasang suami istri bernama An dan Ninh yang tinggal di kaki Gunung Lon merasakan sinar bulan semakin panas dari hari ke hari. An adalah pemburu hewan yang sangat ahli dalam berburu menggunakan panah. Keahlian memanahnya bahkan sudah terkenal di kalangan masyarakat sekitar Gunung Lon. Anda telah belajar memanah sejak kecil. Ia menjadi lebih mahir dalam memanah karena ia selalu melatih keterampilannya. Anak panah selalu memantul dengan cepat dan tepat pada sasaran hanya dengan sekali tarikan busur panah. Kepiawaian An dalam memanah membuat Ninh, istrinya, mengajaknya menembak bulan dengan panahnya. Hingga penghuni Gunung Lon tidak akan panas lagi. 

"Kamu adalah pemburu yang andal. Ada baiknya jika Anda pergi memanah ke bulan dengan busur dan anak panah Anda agar bulan jatuh. Dengan begitu Anda bisa menyelamatkan orang-orang di sini,” kata Ninh kepada An. 

"Baiklah, aku akan mencobanya," kata An menanggapi permintaan istrinya. 

Dia segera menyiapkan busur dan anak panahnya. Ketika malam tiba, An pergi ke puncak gunung untuk menembak bulan sampai jatuh. Dia telah membawa busur dan anak panah sebanyak mungkin. Sesampainya di puncak Gunung An langsung melengkungkan bulan. Sekali, dua kali, hingga seratus kali An menembakkan panahnya, tetapi bulan tidak bergerak sama sekali. An bahkan melihat ke bawah gunung dan menemukan bahwa banyak pohon telah terbakar oleh sinar bulan yang sangat panas. Sebuah kebingungan dimulai. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan untuk menjatuhkan bulan. Di tengah kebingungannya, sebuah suara terdengar memanggilnya dari belakang. An mencari asal suara, lalu dia melihat seorang lelaki tua di belakangnya. 

"Apakah kamu ingin membuat bulan jatuh?" tanya seorang pria tua berambut putih yang muncul dari sebuah batu besar yang berlubang. 

"Ya, saya ingin menyelamatkan orang-orang dari sinar bulan yang membakar," jawab An dengan lantang. 

"Buatlah busur dari ekor dan tulang harimau. Kemudian buatlah anak panah dari tanduk rusa, maka kamu akan bisa menjatuhkan bulan.” 

Sebelum An bisa menjawab, lelaki tua itu tiba-tiba menghilang. An juga bergegas pulang untuk melaporkan pertemuannya dengan orang tuanya di gunung baru-baru ini. 

"Saya akan menuruti kata-kata orang tua itu," kata An setelah bercerita panjang lebar kepada istrinya.

"Kamu bisa menggunakan busur dan anak panahmu untuk menangkap rusa dan harimau," saran Ninh kepada An. Sebuah kerutan. 

"Saya tidak pernah menggunakan panah saya untuk menangkap rusa dan harimau. Kedua hewan itu sangat kuat. Akan sangat sulit untuk menggunakan panah milikku ini.”

An dan Ninh mulai memikirkan cara untuk menangkap rusa dan harimau tanpa menggunakan panah. Setelah hening sejenak, Ninh tiba-tiba berseru. 

“Gunakan jaring! Ya, Anda bisa menangkap rusa dan harimau dengan jaring.” 

An tampaknya masih ragu dengan ide istrinya. 

"Tapi, bagaimana kita akan membuat jaring?" Ninh menyarankan An untuk membuat jaring yang kuat menggunakan rambut panjangnya.

An setuju dengan usulan istrinya. Malam itu, mereka mengambil sebagian dari rambut Ninh yang sangat panjang dan tebal untuk membuat jaring yang kuat. Keesokan harinya An membawa jaring ke gunung untuk menangkap rusa dan harimau. Ia langsung membuat jebakan dengan jaring dan mengawasi dari kejauhan. Saat harimau sudah masuk perangkap, dia langsung menembakkan panahnya hingga harimau mati. An juga menangkap rusa dengan cara yang sama. Setelah berhasil menangkap kijang dan harimau, An membawanya pulang dan mengambil ekor dan tulang belulang harimau serta tanduk kijang dengan bantuan istrinya. An dan Ninh segera membuat busur dan anak panah sesuai perintah orang tuanya yang ditemui An di gunung, beberapa hari yang lalu. Larut malam, busur dari ekor harimau dan tulang dan anak panah dari tanduk rusa dibuat. 

Keesokan harinya An pergi ke gunung. Dia membawa busur dan anak panah dari ekor dan tulang harimau dan tanduk rusa. Dia pergi sebelum matahari terbenam dan mencapai gunung ketika bulan mulai muncul. An segera mengarahkan busur dan anak panahnya. Dia menarik busurnya sekuat yang dia bisa sehingga panahnya menembak bulan dengan akurat. Bulan juga mulai mengeluarkan pecahan ketika terkena panah An. Fragmen itu perlahan menjadi bintang yang memenuhi langit. Setelah An melengkung beberapa kali, bulan mulai berputar. Namun bulan tetap memancarkan sinar panas yang membakar tumbuhan di sekitar gunung. An mulai putus asa dan memutuskan untuk pulang. Di rumah, Ninh sedang menyulam di atas kain. Di kain itu muncul gambar rumah, pohon kayu manis, sekelompok domba, dan kelinci yang sedang merumput di halaman. Ninh juga menyulam foto dirinya sedang duduk di pohon kayu manis. Dia baru saja akan menyulam foto suaminya ketika dia melihat An pulang dengan wajah muram.

“Nin, apa yang harus aku lakukan? Bulan masih memancarkan sinar yang membara,” keluh An, mulai putus asa.

Ninh mulai berpikir dan tiba-tiba dia teringat kain yang sedang disulamnya. 

"Pakai kain ini untuk menutupi bulan, An. Tutupi panah Anda dengan kain ini dan arahkan ke bulan. Mungkin kain ini bisa menutupi bulan.”

An mengikuti nasihat istrinya dan kembali ke gunung. Ia berharap kali ini tidak gagal lagi. Setelah menutupi panahnya dengan kain bordir Ninh, An menarik panahnya dengan keras dan melepaskan panah yang di tutupi kain itu ke bulan. Sihir! Kain itu segera menutupi bulan dan membuat cahaya bulan redup. Bulan masih bersinar tapi tidak sepanas sebelumnya. An sangat senang. Malam berikutnya, warga di kaki gunung berkumpul untuk membuat pesta merayakan keberhasilan An. Mereka senang karena An berhasil membuat bulan tidak memancarkan sinar yang sangat panas lagi. An dan Ninh ambil bagian dalam pesta. An tampak senang dengan keberhasilannya. Dia kemudian menatap bulan yang telah ditutupi oleh kain bordir istrinya. Gambar yang di sulam istrinya di kain muncul di bulan. Tiba-tiba, gambar di kain yang menutupi bulan mulai bergeser. An memalingkan muka dari bulan dan melihat Ninh, yang duduk di sebelahnya, terbang menuju bulan. Kejutan yang tidak bisa dipercaya.

“Ninh… Ninh… Kenapa kamu lupa menggambarku di atas sulaman? Nin, kembali! Kembalilah, Nin!" An berteriak histeris, berusaha menghubungi istrinya. 

Semua orang terkejut dengan peristiwa itu. Tapi Ninh lebih jauh dari kaki gunung dan terlihat lebih dekat ke bulan. Saat sampai di bulan, Ninh terlihat duduk di atas pohon kayu manis, seperti yang terlihat pada gambar yang dibordirnya. Ninh juga merasa takut tanpa suaminya di bulan. Dia mulai membuat kepang dari rambut panjangnya dan melemparkannya ke arah An. Rambut Ninh begitu panjang hingga mencapai An dan menariknya ke bulan. Sejak saat itu mereka berdua hidup bahagia di bulan sebagai hadiah untuk menyelamatkan umat manusia.

***

Andreia selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus cerita ini berasal dari Vietnam."

Andreia menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.

"Nonton Tv ah!" kata Andreia.

Andreia mengambil remot di meja dan segera menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Andreia, ya film kartunlah. Remot di taruh dengan baik di meja, ya Andreia fokus nonton Tv yang acaranya bagus itu.

SAFIA PUTRI BONEKA

Aline selesai bermain sepeda dengan teman-temannya, ya cuma muter komplek perumahan saja. Aline duduk santai di ruang tengah di rumahnya lah, ya sambil membaca bukunya dengan baik.

Isi buku yang di baca Aline :

Suatu hari, Putri Safia berjalan-jalan di luar istana. Ia mengunjungi rumah orang-orang miskin. Putri Safia juga meninggalkan santunan untuk mereka. Pada saat Putri Safia melintasi sebuah kedai, seorang pria asing melihatnya. Ia terpesona akan kecantikan sang putri. Pria separuh baya itu bernama Ghazlan. Ia seorang penyihir yang jahat. Ia sedang dalam perjalanan dan melintasi kerajaan Putri Safia. Timbullah niat jahatnya. Ia ingin menjadikan putri istrinya dan menjadi raja di kerajaan tersebut. Ghazlan tahu bila ia datang langsung meminang putri, ia pasti akan ditolak. Mana mungkin putri mau menikah dengan pria yang seumuran dengan ayahnya. Ghazlan pun berencana memanfaatkan kekuatan sihirnya. Ghazlan datang ke istana. Ia meminta izin untuk bertemu dengan raja. Ia mengaku sebagai seorang ilmuwan yang sedang dianiaya musuh. 

“Raja, Yang Mulia, saya Ghazlan dari kerajaan seberang. Saya datang menemui Anda untuk memohon perlindungan.” 

“Selamat datang di kerajaan kami yang aman dan damai, Tuan. Perlindungan seperti apakah yang Anda harapkan dari kami?” sambut Sang Raja.

“Saya sedang menulis sebuah buku yang sangat penting, tetapi penguasa di tempat saya berasal tidak menyukainya. Ia selalu berusaha menangkap saya. Ia pun tak segan menganiaya bila saya tetap melanjutkan menulis buku ini. Jika Anda berkenan, saya bermaksud menyelesaikan buku saya di sini.”

Raja memang terkenal menyukai ilmu pengetahuan. Ia menghimpun banyak buku dan membuat perpustakaan kerajaan. Karenanya, Raja sangat senang mendengar rencana Ghazlan. 

“Oh, tentu saja, Tuan. Kami menyambut Anda dengan sukacita. Buku apa yang sedang Anda tulis?” tanya Raja antusias. 

“Saya sedang menulis buku pengobatan, Yang Mulia.”

“Bagus, bagus. Kalau begitu, Anda bisa tinggal di kastil dekat dengan perpustakaan kerajaan. Silakan menyelesaikan buku Anda di sana,” kata Raja memberi izin. 

Ghazlan tersenyum senang. Rencananya berhasil. Ia mendapatkan tempat tinggal yang layak. Raja juga menyuruh pelayan istana mengirimkan makanan dan memenuhi semua kebutuhannya. Namun alih-alih menulis buku, Ghazlan malah melakukan hal lain. Di kastil itu dia terus melatih mantra-mantra sihirnya. Ia bersiap-siap sebelum menjalankan rencana jahatnya. Ia harus memastikan semua mantranya akan berhasil. Jika salah sedikit saja, pasti akan ketahuan. Raja pun bisa menjatuhkan hukuman berat padanya. Ketika Ghazlan sudah fasih melafalkan mantra-mantranya, ia mulai beraksi. Ghazlan menyamar menjadi wanita tukang cuci istana. Ia datang ke kamar Safia dan mengetuk pintunya.

“Siapa?” tanya Putri Safia. 

“Saya, Tuan Putri. Tukang cuci istana.”

“Masuklah kalau begitu.” 

Ghazlan pun masuk ke kamar Putri Safia. Putri sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca buku. Putri tak sedikit pun curiga pada Ghazlan yang membawa keranjang besar. Secepat kilat, Ghazlan memasukkan Putri Safia ke dalam kantong pakaian yang besar. Kemudian ia memasukkannya ke dalam keranjang. Ghazlan membawa Putri Safia ke dalam kastil tempatnya tinggal. 

“Lepaskan aku!” teriak Putri Safia saat dikeluarkan dari kantong cucian. 

“Sekarang bukan saatnya ribut, Tuan Putri. Anda harus saya amankan dulu sebelum rencana saya berikutnya berjalan!” tukas Ghazlan. 

Penyihir pun mengucapkan mantra. Perlahan-lahan Putri Safia merasakan tubuhnya membeku dan menyusut. Ia berubah menjadi boneka kecil. Ia masih bisa bicara, mendengar, dan melihat. Namun ia sama sekali tak bisa bergerak. 

“Diamlah di sini dulu, Putri!”

Ghazlan menyimpan boneka Putri Safia ke dalam lemarinya dengan hati-hati. Putri Safia merasa marah pada Ghazlan. Raja telah memberinya bantuan, tapi dia malah berbuat kejahatan. Namun, Putri Safia juga merasa sedih. Dalam keadaaannya sekarang, ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia merasa khawatir pada kedua orang tuanya. Ia takut Ghazlan melakukan hal yang jahat pada mereka. 

“Tolong!” teriak Putri Sofia. 

Berulang kali ia menjerit meminta tolong, tapi tak ada yang mendengar. Suaranya menjadi kecil dan begitu lemah. Mungkin tak ada manusia yang bisa mendengarnya. Putri Safia menangis sedih di dalam lemari kayu. Sementara itu istana gempar karena sang putri menghilang. Tak ada satu pun yang tahu ke mana putri pergi, termasuk para dayang. Raja dan Ratu sangat gundah kehilangan putri kesayangan mereka. Ratu terus menangisi Putri Safia. Raja mengerahkan pasukan untuk mencari sang putri ke seluruh penjuru kerajaan. Sayangnya usaha itu tak membuahkan hasil. Ghazlan terus mendampingi raja. Ia berpura-pura ikut sedih dan mengkhawatirkan keadaan Putri Safia. 

“Raja, saya telah mengundang beberapa peramal di kerajaan ini untuk mencari Putri Safia. Mereka berkumpul di aula istana,” ucap penasihat kerajaan. 

Raja menemui mereka dengan wajah yang sedih. Raja berharap mereka bisa menemukan di mana Putri Safia sekarang berada. Dengan begitu, Raja bisa menjemput putrinya pulang ke istana. Sayangnya Ghazlan telah memantrai lemari tempat ia menyimpan putri. Mantra itu membuat putri yang tersimpan dalam lemari tak dapat dicari dengan ilmu sihir lain. Ghazlan mengikuti Raja. Ia ingin memastikan para peramal itu tak ada yang bisa mematahkan mantranya.

“Maafkan kami, Paduka. Kami telah berusaha semampu kami. Tetapi kami tak mendapatkan satu pun petunjuk di mana Putri Safia berada,” ucap salah seorang peramal. 

Ghazla tersenyum licik dan berkata dalam hati, “Sampai kapan pun kalian tak akan bisa menemukannya.” 

Sudah seminggu Putri Safia menghilang dari istana. Seluruh warga kerajaan ikut berduka. Mereka teringat akan kebaikan dan keramahan sang putri. Sementara itu para pejabat istana berkasak-kusuk. Mereka mengira putri telah menghilang selamanya. Mereka malah membicarakan tentang penerus Raja.

“Raja tak memiliki keturunan selain Putri Safia, kira-kira siapa nanti yang akan menggantikannya?”

“Ya, betul. Raja juga tak memiliki satu pun saudara. Kerajaan pasti akan kehilangan pemimpin.”

 “Tentulah aku yang akan menggantikan Raja. Lihat saja sebentar lagi. Tak akan lama waktunya,” gumam Ghazlan dalam hati saat mendengar pembicaraan pejabat-pejabat istana. 

Ghazlan pun bersiap menjalankan rencana berikutnya. Kali ini dia mengendap-endap ke kamar Ratu. Ghazlan berpura-pura menjadi pengantar makanan. Ratu jatuh sakit karena terus memikirkan sang putri. Saat Ghazlan datang, tak ada siapa pun di dalam kamar karena Ratu sedang tertidur. 

“Ini kesempatan yang baik,” ucap Ghazlan lirih. 

Ghazlan pun segera memindahkan Ratu ke meja pengantar makanan dan menutupinya dengan kain yang lebar. Ghazlan bergegas ke kastilnya sebelum Ratu terbangun. Sesampainya di kastil, Ghazlan langsung mengubah Ratu yang masih tertidur menjadi boneka. Ia menyimpannya di lemari yang berbeda dengan lemari Putri Safia. Putri Safia melihat tindakan Ghazlan dari dalam lemarinya. Ia mengintip dari lubang kunci. Ia sangat marah karena Ghazlan telah berbuat jahat pada ibunya. 

“Jangan-jangan, setelah ini dia akan mengubah Ayah menjadi boneka juga. Tapi apa yang bisa kulakukan?” pikir Putri Safia. 

Sementara ini, dia belum menemukan satu pun cara untuk lepas dari pengaruh sihir Ghazlan. Benarlah perkiraan Putri Safia. Tak lama berselang, Ghazlan membawa Raja dan mengubahnya menjadi boneka. Ghazlan menyimpan boneka Raja di lemari yang sama dengan boneka Ratu. Kerajaan berada dalam kebingungan. Keluarga raja mereka telah hilang satu per satu. Kini sang raja juga menghilang. Penasihat kerajaan tak bisa menemukan di mana Raja berada. Ia hampir putus asa. 

“Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Siapa yang akan memerintah kerajaan. Bila keadaan ini terus dibiarkan, bisa-bisa para pejabat istana akan berebut menjadi pengganti Raja,” keluhnya. 

Ghazlan mendekati penasihat kerajaan. Ia berusaha menenangkannya. Namun pada saat yang bersamaan, ia juga memengaruhi penasihat kerajaan untuk menyerahkan pemerintahan padanya. 

“Saya rasa Anda benar, Tuan Ghazlan. Lebih baik pemerintahan sementara diserahkan para orang yang tidak berhubungan langsung dengan jabatan apa pun di istana. Dengan begitu akan lebih netral dan semua bisa menerimanya,” ucap penasihat kerajaan. 

“Anda sungguh bijaksana, Tuan Penasihat,” puji Ghazlan untuk membuat penasihat semakin percaya padanya. 

Penasihat kerajaan pun segera mengumpulkan pejabat kerajaan. Pejabat kerajaan terpaksa menyetujui pengangkatan Ghazlan menjadi pengganti raja sementara. Penasihat juga mengumumkannya kepada rakyat di penjuru kerajaan. Mereka kini mempunyai raja baru. Ghazlan mulai mengganti para pejabat kerajaan yang tidak menyukainya. Ia membuat aturan baru di kerajaan. Sihir dilarang keras dipelajari dan digunakan. Ghazlan beralasan ilmu sihir sering digunakan untuk kejahatan sehingga harus dimusnahkan. Padahal sebenarnya dia tak ingin satu pun orang di kerajaan yang mengusai ilmu sihir kecuali dirinya. Dengan begitu dia bisa melanggengkan kekuasaannya. Ghazlan belum mengubah Putri Safia kembali menjadi manusia. Jika ia terburu-buru mengubahnya kembali, bisa-bisa kedoknya terbongkar. Ghazlan belum berhasil menemukan mantra untuk menghapus ingatan Putri Safia. Suatu hari, seekor tikus kecil masuk ke dalam lemari tempat boneka Putri Safia disimpan. Ia mendengar suara tangis dan mencarinya.

“Apa kau menangis, boneka cantik?” tanya Tikus. 

Putri Safia terkejut. Sudah lama tak ada satu pun yang mendengar teriakannya, apalagi tangisnya.

“Kau mendengar suaraku, tikus kecil?”

“Ya, tentu saja. Kenapa kau bisa bicara dan menangis? Kau boneka ajaib?” tanya Tikus lagi. 

“Kau juga bisa bicara bahasa manusia. Apa kau tikus ajaib?” Putri Safia balik bertanya. 

“Tidak. Kau bicara dalam bahasaku,” elak Tikus. 

“Apa aku sekarang sedang bicara dalam bahasa tikus?” Putri Safia jadi bingung. 

“Entah. Mungkin kita bicara dengan bahasa berbeda. Apa itu penting? Yang penting kita saling memahami apa yang kita bicarakan, bukan?” 

“Ya, kau benar,” jawab Putri Safia.

“Jadi, kenapa kau menangis?”

“Entah sudah berapa lama aku berada dalam lemari ini, Tikus. Aku tak tahu kapan siang kapan malam. Tapi rasanya sudah sangat lama aku berada di sini. Tak ada yang mendengar teriakanku meminta tolong. Kaulah yang pertama mendatangiku dan mengatakan mendengar tangisanku,” cerita sang putri.

“Aku sebenarnya adalah Safia, putri raja kerajaan ini,” lanjut Putri Safia. 

“Jadi kau putri yang hilang itu? Bagaimana kau bisa berada di sini? Mengapa kau menjadi boneka?” sela si tikus kecil. 

“Penyihir jahat telah mengubahku menjadi seperti ini. Ia juga mengubah ayah dan ibuku menjadi boneka. Keduanya disimpan di lemari kayu di sudut sana.” 

“Malang sekali nasib keluargamu. Sekarang kerajaan ini punya raja baru. Namanya Raja Ghazlan. Ia melarang sihir dipelajari dan digunakan di kerajaan ini. Mungkin penyihir yang mengubahmu menjadi seperti ini telah pergi dari kerajaan.”

“Apa? Ghazlan menjadi raja?” Putri terkejut.

“Ya. Memangnya kenapa?”

“Dialah yang menyihir aku dan kedua orang tuaku menjadi boneka.” 

“Jadi dia penyihir?” 

Putri Safia mengangguk. 

“Dia telah mengusir peramal dan penyihir baik keluar dari kerajaan ini. Sebagian dari mereka kini tinggal di hutan,” ujar tikus kecil itu.

“Kira-kira, mereka bisa mengembalikan aku menjadi manusia lagi atau tidak, ya?”

“Kalau itu aku tidak tahu. Begini saja. Aku akan membawamu keluar dari lemari ini untuk menemuinya. Ada penyihir wanita yang kukenal. Ia penyihir yang baik. Ia tinggal di tengah hutan. Aku akan membantumu pergi ke mana saja untuk mengembalikanmu menjadi manusia.” 

Wajah Putri Safia merona senang. 

“Terima kasih, tikus kecil!” 

Tikus itu segera mengerat lemari kayu untuk membuat lubang. Ketika lubang itu sudah cukup lebar untuk dilewati boneka Putri Safia, ia menarik boneka itu keluar. Ia lalu membawa sang putri pergi menemui penyihir wanita di hutan. 

“Tikus kecil, apa yang kau bawa?” ujar sang penyihir wanita saat melihat si tikus memanggul sesuatu.

Tikus pun menceritakan semua yang ia alami. Ia memperkenalkan Putri Safia pada penyihir itu.

“Maafkan saya, Yang Mulia Putri. Saya tidak tahu Anda dalam masalah seperti ini,” ucap penyihir wanita. Ternyata ia mengenali Putri Safia.

Ia merasa iba dengan musibah yang menimpa keluarga raja. 

“Maafkan juga kalian jadi terusir dari kerajaan. Jika ayahku bisa kembali menjadi raja, ia pasti akan mengizinkan kalian tinggal lagi di dalam kerajaan.”

“Terima kasih, Putri.”

“Jadi, apakah Anda bisa menolongnya?” tanya tikus kecil. 

Penyihir itu menggeleng sedih. 

“Ilmu sihir untuk mengubah manusia menjadi bentuk lain termasuk ilmu sihir hitam. Saya tak pernah mempelajarinya. Saya tak tahu mantra untuk mematahkan sihirnya.”

Putri dan tikus kecil kecewa mendengarnya. Mereka tak tahu harus berbuat apa lagi.

“Namun, ada cara lain untuk menghilangkan kekuatan sihir jahat yang dimiliki seseorang. Tapi cara ini cukup berbahaya,” lanjut sang penyihir wanita.

“Bagaimana caranya? Sebahaya apa pun, akan kucoba,” ucap sang putri. 

“Anda harus pergi ke ladang rumput ajaib untuk mengambil benihnya. Rumput ajaib itu dijaga oleh anjing hitam yang buas. Agar ia tenang, Anda harus menyanyikan lagu pengantar tidur. Setelah itu, teruskan perjalanan ke selatan hingga bertemu dengan kuda oranye,” ucap penyihir wanita memberi penjelasan. 

“Lantas apa yang harus kami lakukan?”

“Beri makan kuda itu benih rumput ajaib. Ia akan patuh. Bisikkan padanya untuk mengantar Anda ke pohon pir sihir. Anda bisa memetik satu lalu ukirkan nama penyihir jahat yang ingin Anda hilangkan kekuatan sihirnya. Di dekat pohon pir sihir, ada sumur yang di dalamnya hidup ghoul.”

“Apa itu ghoul?” tanya Putri Safia.

“Dia adalah raksasa yang memakan kekuatan sihir para penyihir. Saat pir sihir bertuliskan nama penyihir Anda lemparkan ke dalam sumur. Ghoul akan memakannya dan menyerap kekuatan penyihir tersebut. Anda akan terbebas dari pengaruh sihirnya.” 

“Baiklah, aku akan pergi dengan tikus kecil ini.” 

“Hati-hatilah, Putri!” 

Putri Safia dan tikus kecil itu pergi menuju ladang rumput ajaib. Saat mereka tiba, anjing hitam tengah bersiaga. Tikus kecil meletakkan boneka Putri Safia di dekat anjing itu secara diam-diam. Putri mulai bernyanyi lagu pengantar tidur. Tikus kecil pun segera mengambil beberapa batang rumput ajaib yang benihnya sudah tua. Setelah itu, tikus kembali pada sang putri dan membawanya pergi. Mereka mencari kuda oranye ke selatan. Setelah berjalan cukup jauh, mereka menemukannya. Benih rumput ajaib itu segera diberikan pada kuda oranye. Mereka naik ke punggung kuda. Kuda oranye itu tidak berlari, ia terbang membawa tikus kecil dan boneka putri menuju pohon pir sihir. 

“Inikah pohon pir itu?”

“Saya rasa iya. Saya akan memanjat dan menjatuhkan sebuah,” ujar tikus kecil. 

Buah pir ranum jatuh di dekat boneka putri. Tikus kecil menuliskan nama Ghazlan dengan gigi serinya yang tajam. Ia lalu mendorong buah itu ke dalam sumur. Buah itu pun terjatuh. 

“Aaarrrgghhh!!” 

Terdengar suara teriakan dari dalam sumur yang mengejutkan tikus dan Putri Safia. Namun, tiba-tiba Putri Safia merasakan ada yang berubah. Tubuhnya terasa menghangat dan melemas. Ia kembali menjadi manusia dengan ukuran yang semestinya. Putri Safia sangat gembira. Sekarang kedua orang tuanya pasti juga telah berubah menjadi manusia normal. Ia mencari tikus kecil yang menolongnya.

“Tikus kecil, di mana kau?” 

Putri Safia tak menemukannya di mana-mana. Ia malah menemukan seorang pemuda tergeletak di dekat sumur. 

“Tuan, Anda baik-baik saja?” 

Putri Safia berusaha menolong pemuda itu. Sang pemuda mulai siuman. Ia tampak terkejut melihat dirinya sendiri. 

“Aku berubah? Aku juga berubah?” gumamnya. 

Putri Safia tak mengerti. 

“Apanya yang berubah?” tanya Putri Safia.

“Putri juga sudah berubah?” tanya pemuda itu seolah telah mengenal Putri Safia.

“Ya, saya kembali menjadi manusia. Siapa Anda? Anda mengenal saya?” tanya Putri Safia lagi. 

“Saya tikus kecil, Putri. Nama saya Firas. Seorang penyihir telah mengubah saya menjadi tikus saat saya tertidur ketika menunggui kebun kurmanya. Saya tak tahu siapa penyihir itu. Mungkin dia penyihir yang sama dengan penyihir yang mengubah Anda menjadi boneka. Terima kasih, Putri. Berkat Anda saya bisa kembali menjadi manusia,” ujar pemuda yang ternyata adalah jelmaan tikus kecil. 

“Saya yang seharusnya berterima kasih pada Anda,” ucap Putri Safia sambil tersipu. 

Firas dan Putri Safia segera kembali ke istana. Mereka harus segera membongkar kejahatan Ghazlan. Raja dan Ratu juga perlu diselamatkan. Di istana, Ghazlan kebingungan karena kemampuan sihirnya tiba-tiba sirna. Ia terus mencoba merapalkan mantranya, tapi tak satu pun mantra yang bekerja. Ghazlan pun curiga. Sudah lama ia tidak menengok kastil lamanya. Setelah menjadi raja, ia pindah ke istana. Ghazlan terkejut saat membuka lemarinya. Boneka Putri Safia telah menghilang. Sedangkan dari lemari lain di sudut kamar, terdengar bunyi gaduh meminta lemari di buka. Pada saat bersamaan, Putri Safia dan Firas masuk ke dalam kastil itu. Mereka menangkap basah Ghazlan. Firas segera meringkusnya. Ghazlan tak berdaya tanpa kekuatan sihirnya. Putri Safia bergegas menyelamatkan kedua orang tuanya. Ia membuka lemari tempat ayah dan ibunya disembunyikan. 

“Ayah! Ibu!” 

Putri Safia memeluk keduanya. Ia lega kedua orang tuanya selamat. 

“Apa yang terjadi? Kenapa Ayah dan Ibu ada di dalam lemari ini, Safia?” tanya Raja. 

Ia tak ingat apa yang telah terjadi. Rupanya Ghazlan telah menggunakan mantra penidur untuk menangkap raja. Putri Safia menjelaskan semua kepada ayah dan ibunya. Raja menjadi marah. Ia begitu geram pada Ghazlan. Raja pun mengirim Ghazlan ke penjara untuk merasakan akibat dari perbuatan jahatnya. Raja juga sangat berterima kasih kepada Firas. Tanpanya, tentu keluarga raja belum bisa terbebas dari sihir jahat Ghazlan. 

“Firas, bagaimana kalau kau kunikahkan dengan putriku? Kulihat kau pemuda yang baik,” ucap Raja.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak bermaksud menolak. Hamba hanya seorang pemuda miskin. Tak pantas menjadi menantu Paduka Raja,” jawab Firas. 

Putri Safia kecewa mendengar penolakan halus Firas. 

“Kalau begitu, aku hadiahkan kau kebun yang luas di wilayah Selatan. Juga seratus ekor unta dan seratus ekor domba. Nah, sekarang kau bukan lagi pemuda miskin,” ucap Raja. 

Firas tak percaya mendengarnya. Selama ini dia menolong putri tanpa mengharapkan pamrih apa pun.

“Terima kasih, Paduka Raja. Saya memenuhi permintaan Anda bila Putri juga menyetujuinya,” jawab Firas.

Tentu saja Putri Safia setuju. Ketika Putri Safia tahu bahwa Firas adalah tikus kecil yang telah membantunya, ia telah jatuh hati padanya. Keduanya pun melangsungkan pernikahan dan hidup bahagia selamanya. 

***

Aline selesai membaca bukunya.

"Cerita yang bagus asal cerita dari Filipina," kata Aline.

Aline menutup bukunya dan menaruh buku di rak buku. 

"Nonton Tv aja!" kata Aline.

Aline mengambil remot di meja dan menghidupkan Tv dengan baik. Acara Tv yang di tonton Aline, ya film kartun. Aline menaruh remot di meja dengan baik dan fokus nonton Tv yang bagus itu.

CAMPUR ADUK

MUMBAI XPRESS

Malam gelap bertabur bintang di langit. Setelah nonton Tv yang acara sepak bola. Budi duduk dengan santai di depan rumahnya sedang baca cerp...

CAMPUR ADUK