Di sebuah hutan yang sangat lebat hiduplah seorang tukang kayu yang sudah tua. Ia hidup bersama istri dan anak-anaknya. Mereka adalah keluarga yang paling miskin di antara keluarga-keluarga lain di hutan. Namun, meski keluarga mereka hidup dalam kemiskinan, tukang kayu yang sudah tua ini selalu menasihati keluarganya untuk berbuat dan berkata jujur. Setiap hari tukang kayu mencari kayu bakar di hutan. Inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan. Ia menyusuri sungai dan semak-semak untuk mendapatkan kayu bakar. Lelaki tua ini memotong kayu-kayu besar dengan sebuah kapak bergagang kayu, miliknya satu-satunya. Kapak itu seperti harta karun baginya karena kapak itu membantunya menafkahi keluarga.
Selepas mencari kayu bakar, tukang kayu akan membawanya pulang. Kayu-kayu itu kemudian akan dikeringkan dahulu di halaman rumahnya. Setelah kayu kering, istrinya akan membawanya ke pasar dan menukarnya dengan beras, sayuran, ataupun lauk-pauk untuk dimasak. Kayu-kayu bakar yang mereka jual hanya cukup untuk ditukar dengan bahan makanan. Sehingga tukang kayu hanya mempunyai satu kapak, yang sudah dipakainya selama bertahun-tahun karena tidak bisa membeli kapak yang baru. Tukang kayu seringkali berharap bisa mempunyai kapak baru agar bisa mendapat kayu bakar lebih banyak. Namun, keadaan ekonomi keluarganya tidak mendukung keinginannya. Maka, dia selalu mencoba bersyukur dengan kapak tua miliknya.
Suatu pagi tukang kayu sedang mengasah kapaknya sebelum mencari kayu. Pagi ini ia kembali mengasah kapaknya saat istrinya mulai pergi ke pasar menukarkan kayu. Saat mengasah kapaknya, tukang kayu mendapati jika kapaknya semakin aus dan tipis. Kekuatan kapaknya semakin berkurang untuk memotong kayu besar. Tapi apa boleh buat, kata tukang kayu dalam hati. Tukang kayu segera berangkat mencari kayu bakar sembari membawa kapak dan seutas tali. Kali ini ia akan mencari kayu bakar di dekat sungai. Beberapa hari yang lalu saat ia ke sana, dahan dan ranting pohon hampir mengering, tapi belum cukup kering untuk dipotong. Dahan dan ranting pohon itu pasti sudah kering sekarang, gumamnya di tengah perjalanan.
Perjalanan yang ditempuh tukang kayu tidak mudah. Ia harus melewati semak belukar serta jalan yang naik turun. Tapi, ia sudah terbiasa dengan hal itu, sehingga dia selalu mengerjakannya dengan senang hati. Tak lama kemudian, tukang kayu sudah sampai di tempat tujuan. Suara gemericik air sungai terdengar sangat jelas. Sejenak, tukang kayu melihat air sungai yang sangat jernih dan pepohonan yang hijau serta rimbun di sekitar sungai. Dewa sungai pasti menjaga pepohonan di sekitar sungai ini, pikir tukang kayu. Setelah puas menyegarkan diri dengan pemandangan di sekitar sungai, tukang kayu mulai mengayunkan kapaknya dengan sangat cekatan. Selama beberapa saat, tukang kayu terlihat semakin asyik dengan pekerjaannya dan terus mengayun-ayunkan kapaknya dengan penuh semangat. Namun, ketika hampir menyelesaikan pekerjaannya, kapak tukang kayu tiba-tiba terlepas dari tangannya, melayang, dan akhirnya terjatuh ke sungai.
Sesaat, tukang kayu hanya bisa tertegun. Raut wajahnya terlihat sedih. Bagaimana ia bisa menemukan kapak itu? Bagaimana ia bisa mencari kayu bakar lagi, besok? Tukang kayu bingung harus melakukan apa. Sungai itu terlihat sangat dalam dan arusnya sangat deras. Bahkan di antaranya terlihat batuan yang sangat licin. Akhirnya Tukang kayu memutuskan untuk mencari kapaknya ke dalam sungai. Ia tak peduli seberapa dalam dan derasnya sungai itu. Namun ketika ia hendak menuruni pinggir sungai, tiba-tiba terdengar suara orang yang memanggilnya.
“Tunggu...”
Ia memutar pandangan, mencari asal suara itu. Pandangannya terhenti pada seseorang berpakaian serba putih dan berambut putih yang menghampirinya dari arah seberang sungai.
“Sedang apa kau di situ?”
Sambil menahan kakinya yang hampir masuk ke air, tukang kayu menjawab, “Aku seorang tukang kayu dan aku hendak mencari kapakku yang jatuh ke sungai. Aku harus menemukan kapak itu karena itu satu-satunya milikku.”
“Tapi kau bisa membahayakan dirimu sendiri. Arus sungai itu sangatlah deras.”
“Aku tak punya pilihan lain. Itu satu-satunya kapak yang memberi makan keluargaku. Kalau kapak itu sampai hilang, maka...” suara tukang kayu terhenti, matanya mulai berkabut.
“Tunggulah di atas. Aku adalah penjaga sungai yang diutus Dewa untuk menjaga sungai ini. Aku akan mengambil kapakmu yang jatuh,” ujar pria berbaju putih sembari turun ke sungai.
Tukang kayu segera naik dan mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam sungai. Dari atas sungai ia melihat penjaga sungai itu masuk ke dalam sungai.
“Apakah ini kapak yang kau punya?” sang penjaga sungai muncul ke permukaan dengan membawa sebilah kapak bergagang perak.
Meski dari jarak yang cukup jauh, tukang kayu yakin itu bukan kapaknya.
“Bukan, itu bukan kapakku,” jawabnya dengan sedikit berteriak agar suaranya tidak terkalahkan oleh suara arus sungai.
Penjaga sungai kembali menyelam ke dalam sungai. Selang beberapa saat, ia muncul lagi ke permukaan sungai dan membawa kapak bergagang emas.
“Apakah ini kapakmu?” tanyanya lagi.
Tukang kayu melihat kapak bergagang emas itu, lalu berteriak sekali lagi, “Bukan, itu bukan kapakku. Kapakku bergagang kayu, bukan emas.”
Penjaga sungai segera meletakkan kapak emas itu bersisian dengan kapak perak yang ia temukan sebelumnya. Ia pun kembali menyelam ke dasar sungai. Tak lama kemudian ia sudah muncul ke permukaan sungai dengan sebuah kapak bergagang kayu.
Wajah tukang kayu langsung terlihat berseri-seri. Sebelum penjaga sungai sempat bertanya, ia berteriak dengan lantang, “Itu kapakku. Benar, itu kapakku.”
Penjaga sungai segera menghampiri tukang kayu dan menyerahkan kapak itu kepadanya.
“Terima kasih banyak, wahai Penjaga Sungai. Engkau telah menyelamatkanku dan keluargaku,” kata tukang kayu tulus.
Penjaga sungai mengangguk dan tersenyum. Ia lalu mengulurkan kapak perak dan kapak emas yang ia temukan kepada tukang kayu.
“Bawalah pulang ketiga kapak ini. Ini adalah hadiah dari Dewa karena kau orang yang sangat jujur.”
Tukang kayu semakin gembira. Setelah menerima ketiga kapak dan berterima kasih kepada penjaga sungai, ia langsung bergegas pulang. Kabar tentang kapak itu segera menyebar ke semua tetangga tukang kayu. Hampir semua orang ikut gembira karena kini keluarga tukang kayu bisa hidup berkecukupan. Namun, ternyata ada satu orang yang iri kepada tukang kayu. Ia pun pura-pura menanyakan asal mula kapak emas itu.
Setelah mendengar semua cerita tukang kayu, orang iri itu diam-diam pergi ke tempat kapak emas berasal. Saat sampai di sungai tersebut, ia pura-pura kehilangan kapak dan terduduk di dekat pohon sambil menangis. Tak lama kemudian, penjaga sungai muncul, menyapanya, seperti dugaannya.
“Sedang apa kau di situ?” Penjaga sungai mulai bertanya.
Orang iri itu kemudian mengarang cerita tentang kapaknya yang hilang. Penjaga sungai pun segera turun ke sungai untuk mencari kapak orang iri itu. Sesaat kemudian ia muncul dengan kapak emas di tangannya.
“Apakah ini kapakmu?”
Orang iri itu segera menghampiri penjaga sungai dengan sangat gembira. Ia hendak mengambil kapak emas itu.
“Benar... Itu kapakku. Cepat berikan padaku!” katanya tak sabar.
“Kau pembohong! Ini bukanlah kapakmu!” teriak penjaga sungai dengan kencang.
Penjaga sungai sangat murka. Ia segera menarik tubuh orang yang penuh dengan rasa iri dan tamak itu hingga jatuh ke sungai. Orang iri itu tenggelam dan terbawa arus sungai. Sejak kejadian itu, tidak ada satu orang pun yang berani mencari kapak emas ke sungai itu. Mereka percaya bahwa orang yang bersifat jahat dan tamak akan memperoleh hukuman dari Dewa.
***
Catia selesai membaca bukunya dan berkata "Bagus cerita asal dari Vietnam."
Catia menutup bukunya dan buku di taruh di meja dengan baik.
No comments:
Post a Comment